Anda di halaman 1dari 12

PLASENTA DAN CAIRAN AMNION

Disusun Oleh:

Dita Latisha Savira


(19360095)

Preseptor:

dr. Fonda Octarianingsih Shariff, Sp.OG

PROGRAM KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN
BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2021
12
PLASENTA DAN CAIRAN AMNION
Gulardi H. Wiknjosastro

Tujuan Intruksional Umum


Menjelaskan perkembangan plasenta, transfer zat, fungsi plasenta, dan fungsi cairan
amnion.

Tujuan Intruksional Khusus


1. Menyebutkan tahapan perkembangan plasenta.
2. Menyebutkan struktur desidua vera, plasenta, korion frondusum, vili korialis.
3. Menjelaskan mekanisme transfer zat (glukosa, oksigen) pada plasenta.
4. Menjelaskan perbedaan hemoglobin janin dan dewasa dalam mengikat oksigen.
5. Menjelaskan pembentukan cairan amnion dan risiko pada oligohidramnion dan
polihidramnion.

Setelah nidasi, trofoblas terdiri atas 2 lapis, yaitu bagian dalam disebut sitotrofoblas dan
bagian luar disebut sinsisiotrofoblas. Endometrium atau sel desidua di mana terjadi nidasi
menjadi pucat dan besar disebut sebagai reaksi desidua. Sebagian lapisan desidua mengalami
fagositosis oleh sel trofoblas. Reaksi desidua agaknya merupakan proses untuk menghambat
invasi, tetapi berfungsi sebagai sumber pasokan makanan1.

Sebagian sel trofoblas terus menembus bagian dalam lapisan endometrium mendekati
lapisan basal endometrium di mana terdapat pembuluh spiralis, kemudian terbentuk lakuna
yang berisi plasma ibu. Proses pelebaran darah arteri spiralis sangat penting sebagai bentuk
fisiologik yaitu model mangkuk. Hal ini dimungkinkan karena penipisan lapisan endotel
arteri akibat invasi trofoblas yang menumpuk lapisan fibrin di sana.

Proses invasi trofoblas tahap kedua mencapai bagian miometrium arteri spiralis terjadi
pada kehamilan 14 - 15 minggu dan saat ini perkembangan plasenta telah lengkap. Apabila
model mangkuk tersebut kurang sempurna, akan timbul kekurangan pasokan darah ibu yang
berakibat iskemia plasenta dan terjadi preeklampsia. Lakuna yang kemudian terbentuk akan
menjadi ruang intervili.
Gambar 12-1. Trofoblas yang akan menjadi plasenta melakukan invasi ke arah desidua. Pada
perkembangan selanjutnya akan terbentuk semacam akar dan lakuna

Sel trofoblas awal kehamilan disebut sebagai vili primer, kemudian akan berkembang
menjadi sekunder dan tersier pada trimester akhir.
Gambar 12-2. Perkembangan dari lakuna menjadi ruang intervili plasenta. Bagian luar adalah
lapisan sel sinsisiotrofoblas dan bagian dalam adalah sitotrofoblas

Bagian dasar sel trofoblas (Gambar 1.2-5) akan menebal yang disebut korion frondosum
dan berkembang menjadi plasenta. Sementara itu, bagian luar yang menghadap ke kavum
uteri disebut korion laeve yang diliputi oleh desidua kapsularis. Desidua yang menjadi tempat
implantasi plasenta disebut desidua basalis.

Gambar 12-3. Potongan plasenta yang telah lengkap,


perhatikan semburan-sirkulasi darah ibu, yang terpisah dari vili (hemokorialis)
Gambar 1.2-4. Embrio dengan body stalk (A) amnion belum mendekati korion (B) amnion
sudah mendekati korion

Gambar 12-5. Embrio berusia seputar 6 minggu


Pada usia kehamilan 8 minggu (6 minggu dari nidasi) zigot telah melakukan invasi
terhadap 40-60 arteri spiralis di daerah desidua basalis. Vili sekunder akan mengapung di
kolam darah ibu, di tempat sebagian vili melekatkan diri melalui integrin kepada desidua.

Struktur Plasenta

Vili akan berkembang seperti akar pohon di mana di bagian tengah akan mengandung
pembuluh darah janin. Pokok vili (stem villi) akan berjumlah lebih kurang 200, tetapi
sebagian besar yang di perifer akan menjadi atrofik, sehingga tinggal 40-50 berkelompok
sebagai kotiledon.

Luas kotiledon pada plasenta aterm diperkirakan 11 m2. Bagian tengah vili adalah stroma
yang terdiri atas fibroblas, beberapa sel besar (sel Hoffbauer), dan cabang kapilar janin.
Bagian luar vili ada 2 lapis, yaitu sinsisiotrofoblas dan sitotrofoblas, yang pada kehamilan
akhir lapisan sitotrofoblas akan menipis. Ada beberapa bagian sinsisiotrofoblas yang menebal
dan melipat yang disebut sebagai simpul (syncitial knots). Bila sitotrofoblas mengalami
hipertrofi, maka itu petanda hipoksia.

Arus Darah Utero-plasenta

Janin dan plasenta dihubungkan dengan tali pusat yang berisi 2 arteri dan satu vena; vena
berisi darah penuh oksigen, sedangkan arteri yang kembali dari janin berisi darah kotor. Bila
terdapat hanya satu arteri ada risiko 15 % kelainan kardiovaskular; ini dapat terjadi pada 1 :
200 kehamilan.

Tali pusat berisi massa mukopolisakarida yang disebut jeli Wharton dan bagian luar
adalah epitel amnion. Panjang tali pusat bervariasi, yaitu 30-90 cm.

Pembuluh darah tali pusat berkembang dan berbentuk seperti heliks, maksudnya agar
terdapat fleksibilitas dan terhindar dari torsi. Tekanan darah arteri pada akhir kehamilan
diperkirakan 70/60 mmHg, sedangkan tekanan vena diperkirakan 25 mmHg. Tekanan darah
yang relatif tinggi pada kapilar, termasuk pada vili maksudnya ialah seandainya terjadi
kebocoran, darah ibu tidak masuk ke janin.

Pada kehamilan aterm arus darah pada tali pusat berkisar 350 ml/menit. Pada bagian ibu di
mana arteri spiralis menyemburkan darah, tekanan relatif rendah yaitu 10 mmHg. Arus darah
uteroplasenta pada kehamilan aterm diperkirakan 500-750 ml/menit4.

Patologi pada berkurangnya arus darah uteroplasenta, misalnya pada preeklampsia,


mengakibatkan perkembangan janin terhambat (PJT). Konsep yang diterima saat ini ialah
implantasi plasenta yang memang tidak normal sejak awal menyebabkan model arteri spiralis
tidak sempurna (relatif kaku). Hal ini menyebabkan sirkulasi uteroplasenta abnormal dan
berakibat risiko preeklampsia.
Ada beberapa kondisi akut yang juga mempengaruhi fungsi plasenta, yaitu solusio
plasenta, plasenta previa, kontraksi hipertonik, dan obat epinefrin.

Angiotensin II pada kadar faali merupakan zat yang mempertahankan arus darah
uteroplasenta karena pengaruh pada produksi prostasiklin. Namun, bila kadar tinggi, akan
terjadi vasokonstriksi.

Obat penghambat angiotensin, misalnya ACE inhibitor, merupakan kontraindikasi pada


kehamilan.

Posisi tidur ibu terlentang pada kehamilan aterm dapat mengurangi arus darah aortokaval
yang disebabkan himpitan uterus sehingga ams darah ke uterus berkurang.

Transfer Plasenta

Plasenta merupakan organ yang berfungsi respirasi, nutrisi, ekskresi, dan produksi
hormon. Transfer zat melalui vili terjadi melalui mekanisme difusi sederhana, difusi
terfasilitasi, aktif, dan pinositosis (Gambar 12-3). Faktor-faktor yang mempengaruhi transfer
tersebut ialah berat molekul, solubilitas, dan muatan ion.

Difusi sederhana juga diatur oleh epitel trofoblas, tetapi dapat terjadi seperti pada
membran semipermeabel, misalnya oksigen, akan terjadi pertukaran akibat perbedaan kadar
pada janin dengan ibu.

Difusi terfasilitasi (faciliated diffusion) terjadi akibat perbedaan (gradien) kadar zat dan
juga dapat terjadi akselerasi akibat peran enzim dan reseptor, misalnya perbedaan kadar
glukosa antara ibu dan janin.

Transpor aktif terjadi dengan melibatkan penggunaan energi, misalnya pada asam amino
dan vitamin.

Pinositosis terjadi pada transfer zat bermolekul besar, yaitu molekul ditelan ke dalam sel
dan kemudian diteruskan ke dalam sirkulasi janin, misalnya zat IgG, fosfolipid dan
lipoprotein.

Sel janin seperti eritrosit dan limfosit dalam jumlah sangat sedikit mungkin dapat
ditemukan pada sirkulasi perifer ibu. Ini menandakan bahwa tidak sepenuhnya terisolasi. Hal
ini memungkinkan deteksi kelainan bawaan janin setelah seleksi sel darah dari ibu.
Gambar 12-6. Saturasi oksigen janin lebih tinggi daripada ibu
pada tekanan oksigen yang sama (efek Bohr).

Fungsi Plasenta

Pertukaran gas yang terpenting ialah transfer oksigen dan karbondioksida. Saturasi
oksigen pada ruang intervili plasenta ialah 90%, sedangkan tekanan parsial ialah 9 mmHg.
Sekalipun tekanan pO2 janin hanya 25 mmHg, tingginya hemoglobin F janin memungkinkan
penyerapan oksigen dari plasenta. Di samping itu, perbedaan kadar ion H+ dan tingginya
kadar karbondioksida dari sirkulasi janin memungkinkan pertukaran dengan oksigen (efek
Bohr) – lihat Gambar 12-6.

Perbedaan tekanan 5 mmHg antara ibu dan janin memungkinkan pertukaran CO2 (dalam
bentuk asam karbonat, karbamino Hb, atau bikarbonat) pada plasenta. Ikatan CO2 dengan Hb
bergantung pada factor yang mempengaruhi pelepasan oksigen. Jadi karbamino Hb
meningkat bila oksigen dilepas – disebut sebagai efek Haldane.

Keseimbangan asam basa bergantung pada kadar H+, asam laktat, dan bikarbonat pada
sirkulasi janin-plasenta. Pada umumnya asidosis terjadi akibat kekurangan oksigen.

Metabolisme karbohidrat terutama ditentukan oleh kadar glukosa yang dipasok oleh ibu.
Sebanyak 90 % dari kebutuhan energi berasal dari glukosa. Kelebihan glukosa akan disimpan
sebagai glikogen dan lemak. Glikogen disimpan di hati, otot, dan plasenta; sedangkan lemak
di sekitar jantung dan belakang skapula. Glukosa dan monosakarida dapar langsung melewati
plasenta, tetapi disakarida tidak dapat. Kadar glukosa janin berkaitan dengan kadar ibu dan
tidak dipengaruhi oleh hormon karena mereka tidak melewati plasenta. Plasenta mengatur
utilisasi glukosa dan mampu membuat cadangan separuh dari kebutuhan.
Pada pertengahan kehamilan, 70 % glukosa akan mengalami metabolisme dengan cara
glikolisis, 10 % melalui jalur pentosafosfat, dan sisanya disimpan dalam bentuk glikogen dan
lemak. Pada kehamilan aterm utilisasi glukosa menurun 30%. Cadangan glikogen janin amat
diperlukan sebagai sumber energi, misalnya pada keadaan asfikisa di mana terjadi glikolisis
anerobik.

Janin membutuhkan asam lemak untuk pembentukan membran sel dan cadangan yang
berguna untuk sumber energi pada periode neonatus dini.

Asam lemak bebas yang berikatan dengan albumin atau lipoprotein seperti trigliserida
akan dipasok melalui sirkulasi darah dalam bentuk silomikra. Asam lemak bebas dapat
melalui plasenta, dan ternyata janin mampu mengubah asam linoleat menjadi arakidonat. Bila
ibu puasa, janin akan menggunakan cadangan trigliserida.

Janin mampu menyintesis protein dari asam amino yang dipasok lewat plasenta. Asam
amino masuk melalui plasenta, dan ternyata kadarnya lebih tinggi daripada ibunya. Plasenta
tidak berperan dalam sintesis protein; ia memang membentuk protein yang diekskresi ke
sirkulasi ibu, seperti korionik gonadotropin dan human placenta lactogen.

Pada aterm, janin menumpuk 500 g protein. Globulin imun juga diproduksi janin seperti
IgM yang terbentuk pada kehamilan 20 minggu, di samping IgA dan IgG.

Konsentrasi ureum lebih tinggi pada janin dibandingkan ibu sebanyak 0,5 mmol/l dan
bersihan diperkirakan 0,54 mg/menit/kg.

Hormon dan Protein Plasenta

Plasenta dan janin merupakan suatu kesatuan organ endokrin yang berperan memproduksi
hormon (lihat bab hormon plasenta).

Selaput dan Cairan Amnion

Selaput amnion merupakan jaringan avaskular yang lentur tetapi kuat. Bagian dalam
selaput yang berhubungan dengan cairan merupakan jaringan sel kuboid yang asalnya
ektoderm. Jaringan ini berhubungan dengan lapisan interstisial mengandung kolagen I, III,
dan IV. Bagian luar dari selaput ialah jaringan mesenkim yang berasal dari mesoderm.
Lapisan amnion ini berhubungan dengan korion laeve.

Lapisan dalam amnion merupakan mikrovili yang berfungsi mentransfer cairan dan
metabolik. Lapisan ini menghasilkan zat penghambat metalloproteinase-16.
Sel mesenkim berfungsi menghasilkan kolagen sehingga selaput menjadi lentur dan kuat 7.
Di samping itu, jaringan tersebut menghasilkan sitokin IL-6, IL-8, MCP-1 (monosit
chemoattractant protein-1); zat itu bermanfaat untuk melawan bakteri. Di samping itu,
selaput amnion menghasilkan zat vasoaktif: endotelin-1 (vasokonstriktor), dan PHRP
(parathryroid hormone related protein), suatu vasorelaksan 5,7. Dengan demikian, selaput
amnion mengatur peredaran darah dan tonus pembuluh lokal.

Selaput amnion juga meliputi tali pusat. Sebagian cairan akan berasal pula dari difusi pada
tali pusat. Pada kehamilan kembar dikorionik-diamniotik terdapat selaput amnion dari
masing-masing yang bersatu. Namun, ada jaringan korion laeve di tengahnya (pada USG
tampak sebagai huruf Y, pada awal kehamilan); sedangkan pada kehamilan kembar dikorion
monoamniotik (kembar satu telur) tidak akan ada jaringan korion di antara kedua amnion
(pada USG tampak gambaran huruf T).

Masalah pada klinik ialah pecahnya ketuban berkaitan dengan kekuatan selaput. Pada
perokok dan infeksi terjadi pelemahan pada ketahanan selaput sehingga pecah. Pada
kehamilan normal hanya ada sedikit makrofag. Pada saat kelahiran leukosit akan masuk ke
dalam cairan amnion sebagai reaksi terhadap peradangan. Pada kehamilan normal tidak ada
IL-IB, tetapi pada persalinan preterm IL-IB akan ditemukan. Hal ini berkaitan dengan
terjadinya infeksi7.

Sejak awal kehamilan cairan amnion telah dibentuk. Cairan amnion merupakan pelindung
dan bantalan untuk proteksi sekaligus menunjang pertumbuhan. Osmolalitas, kadar natrium,
ureum, kreatinin tidak berbeda dengan kadar pada serum ibu, artinya kadar di cairan amnion
merupakan hasil difusi dari ibunya. Cairan amnion mengandung banyak sel janin (lanugo,
verniks kaseosa). Fungsi cairan amnion yang juga penting ialah menghambat bakteri karena
mengandung zat seperti fosfat dan seng.

Pembentukan Cairan

Selaput amnion yang meliputi permukaan plasenta akan mendapatkan difusi dari
pembuluh darah korion di permukaan. Volume cairan amnion pada kehamilan aterm tata-rata
ialah 800 ml, cairan amnion mempunyai pH 7,2 dan massa jenis 1,0085. Setelah 20 minggu
produksi cairan berasal dari urin janin. Sebelumnya cairan amnion juga banyak berasal dari
rembesan kulit, selaput amnion, dan plasenta. Janin juga meminum cairan amnion
(diperkirakan 500 ml/hari). Selain itu, cairan ada yang masuk ke paru sehingga penting untuk
perkembangannya.

Makna Klinik

Secara klinik cairan amnion akan dapat bermanfaat untuk deteksi dini kelainan kromosom
dan kelainan DNA dari 12 minggu sampai 20 minggu.
Cairan amnion yang terlalu banyak disebut polihidramnion (> 2 liter) yang mungkin
berkaitan dengan diabetes atau trisomi 18. Sebaliknya, cairan yang kurang disebut
oligohidramnion yang berkaitan dengan kelainan ginjal janin, trisomi 21, atau 13, atau
hipoksia janin. Oligohidramnion dapat dicurigai bila terdapat kantong amnion yang kurang
dari 2x2 cm, atau indeks cairan pada 4 kuadran kurang dari 5 cm. Setelah 38 minggu volume
akan berkurang, tetapi pada postterm oligohidramnion merupakan penanda serius apalagi bila
bercampur mekonium.

Pada cairan amnion juga terdapat alfa feto protein (AFP) yang berasal dari janin, sehingga
dapat dipakai untuk menentukan defek tabung saraf. Mengingat AFP cukup spesifik,
pemeriksaan serum ibu dapat dilakukan pada kehamilan trimester 2. Namun, sangat
disayangkan kelainan tersebut terlambat diketahui.

Sebaliknya, kadar AFP yang rendah, estriol, dan kadar tinggi hCG merupakan penanda
sindrom Down. Gabungan penanda tersebut dengan usia ibu > 35 tahun akan mampu
meningkatkan likelihood ratio menjadi 60 % untuk deteksi sindrom Down 5. Gabungan
dengan penanda PAPP-A dan pemeriksaan nuchal translucency (NT) yaitu pembengkakan
kulit leher janin > 3 mm pada usia kehamilan 10 - 14 minggu memungkinkan deteksi
sindrom Down lebih dini.

Pada akhir kehamilan dan persalinan terjadi peningkatan corticotropin-releasing hormone


(CRH), sehingga diduga hormon ini (dihasilkan di hipotalamus, adrenal, plasenta, korion,
selaput amnion) berperan pada persalinan8.

RUJUKAN
1. Symonds EM, Symonds IM. Essential obstetrics and gynecology. Fourth edition.
London: Churchill Livingstone; 2005: 45-60
2. Knuppel RA. Maternal-placental-fetal unit; fetal & early neonatal physiology. In: de
Cherney A, Goodwin TM, Nathan L, Laufe N. editors. Current diagnosis & treatment
Obstetrics & Gynecology. A Lange medical book. New York: McGraw-Hill Medical
Publishing Division; 2007: 158-86
3. Rowe TF, King LA, MacDonald PC, Casey ML. Tissue inhibitor of
metalloproteinase-1 and tissue inhibitor of metalloproteinase-2 expression in human
amnion mesenchymal and epithelial cells. Am J Obstet Gynecol 1997; 176: 915
4. Casey ML, MacDonald PC. Mysyl oxidase (ras recision gene) expression in human
amnion: ontogeny and cellular localization. J Clin Endocrinol Metab 1997; 82: 167
5. Casey ML, Mibe M, Erk A, MacDonald PC. Transforming growth factor-B
stimulation of parathyroid hormone related protein expression in human uterine cells
in culture mRNA levels and protein secretion. J Clin Endocrinol Metab 1992; 74: 950
6. Germain AM, Attaroglu H, MacDonald PC, Casey ML. Parathyroid hormone-related
protein mRNA in vascular human amnion. J Clin Endocrinol Metab 1992;6: 88
7. Romero R, Kadar N, Hobbins JC, Duff GW. Infection and labor: The detection of
endotoxin in amniotic fluid. Am J Obstet Gynecol L987;'1.57: 815
8. Petragl.ia F, Giardino L, Coukos G, Calza L, Vale W et al. Corticotropin-releasing
factor and parturition: plasma and amniotic fluid levels and placental binding sites.
Obstet Gynecol 1990; 75: 784

Anda mungkin juga menyukai