PENDAHULUAN
Banyak komplikasi yang bisa terjadi pada infeksi HIV dalam perjalanan
penyakitnya. Beberapa pasien akan mengalami fase bebas gejala yang serius
sampai mereka mencapai tahap akhir dari keadaan imunosupresi sedangkan yang
lainnya akan sering mengalami komplikasi yang tidak mengancam hidup
sepanjang hidup mereka. Kematian biasanya terjadi karena banyak sebab
1
termasuk infeksi sistemik, keganasan, penyakit neurologis, wasting dan malnutrisi
dan kegagalan multiorgan. Kondisi yang sering terjadi dan membutuhkan terapi
agresif pada pasien AIDS menjelang kematiannya adalah retinitis
cytomegalovirus, candidiasis, infeksi herpes simplex virus, kompleks
mycobacterium avis, kompleks demensia AIDS, infeksi hepatitis B atau C, Kaposi
Sarkoma, dan Pneumocystis carinii pneumonia. 2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Bagian luar HIV diliputi oleh selubung yang disebut ‘envelope’ dan di
bagian dalam terdapat sebuah inti (Core).
1. Envelope
HIV bergaris tengah 1/10.000 mm dan mempunyai bentuk bulat seperti
bola. Lapisan paling luar disebut Envelope, terdiri dari dua lapisan
molekul lemak yang disebut lipids. Lapisan ini diambil dari sel manusia
ketika partikel virus yang baru terbentuk dengan membentuk tonjolan
dan lepas dari sel tersebut. Selubung virus terisi oleh protein yang
berasal dari sel induk, termasuk 72 turunan (rata-rata) protein HIV
komplek yang menonjol dari permukaan selubung. Protein ini disebut
env, terdiri atas sebuah tutup (cap) terbuat dari 3-4 molekul Glycoprotein
(gp) 120 dan sebuah batang yang terdiri atas 3-4 molekul gp 41 sebagai
rangka struktur dalam envelope virus. 3
2. Inti (Core)
Dalam envelope partikel HIV yang sudah matang terdapat inti yang
berbentuk peluruyang disebut Capsid, terbentuk dari 2000 turunan
protein virus lainnya, P 24. Capsid mengelilingi 2 helaian tunggal RNA
HIV, yang masing-masing memiliki 9 gen dari virus. 3 diantaranya gag,
pol dan env, mengandung informasi yang diperlukan untuk membuat
protein terstruktur untuk partikel virus baru. Gen env, misalnya
mengkode protein gp 160 yang dipecah oleh enzim virus untuk
membentuk gp 120 dan gp 41, yang merupakan komponen env.3 buah
gen pengatur, tat, rev dan nef dan 3 gen tambahan, vif, vpr, dan vpu
mengandung informasi yang diperlukan untuk memproduksi protein
yang mengatur kemampuan HIV menginfeksi suatu sel, membuat
turunan virus baru atau menimbulkan penyakit. Protein yang dikode oleh
nef misalnya menyebabkan virus dapat melakukan replikasi secara
efisien sacara efisien dan protein yang dikode oleh vpu berpengaruh
terhadap pelepasan partikel virus baru dari sel yang diinfeksi. Inti HIV
juga mencakup sebuah protein yang disebut P7, yaitu protein
nucleocapsid HIV, dan 3 buah enzim yang berperan dalam langkah
berikutnya dalam siklus hidup virus, yaitu: Reverse, Transcriptase,
4
Integrase dan Protase. Protein HIV lainnya adalah P17 atau matriks HIV,
terletak antara inti dan envelope. 4
Famili: Retroviridae.
Sub famili: Lentivirinae.
Genus: Lentivirus.
Spesies: Human Immunodeficiency Virus 1 (HIV-1).
5
terdiri dari 11 subtipe atau clades (A-K). Telah teridentifikasi 6 subtipe HIV-
2 yaitu sub tipe A-F. 2
Glikoprotein terdiri dari dua sub-unit gp120 dan gp41. Sub unit 120
mempunyai afinitas tinggi terhadap reseptor CD4+ dan bertanggung jawab
untuk ikatan awal virus pada sel. Perlekatan ini menginduksi perubahan
konformasi yang memicu perlekatan kedua pada koreseptor. Dua reseptor
kemokin utama yang digunakan oleh HIV adalah CCR5 dan CXCR4. Ikatan
dengan kemoreseptor ini menginduksi perubahan konformasi pada sub unit
glikoprotein 41 (gp41) yang mendorong masuknya sekuens peptida gp41 ke
dalam membran target yang memfasilitasi fusi virus. Setelah terjadinya fusi,
virus tidak berselubung mempersiapkan untuk mengadakan replikasi. 2
6
menyebabkan infeksi kronik dan persisten, umumnya dalam sel sistem imun
yang berumur panjang seperti T-limfosit memori. Kedua, pengintegrasian
secara acak menyebabkan kesulitan target. Selanjutnya integrasi acak pada
HIV ini menyebabkan kelainan seluler dan mempengaruhi apoptosis. 2
Gabungan DNA virus dan DNA sel inang akan mengalami replikasi,
transkripsi dan translasi. DNA polimerase mencatat dan mengintegrasi
provirus DNA ke mRNA, dan mentranslasikan pada mRNA sehingga terjadi
pembentukan protein virus. Pertama, transkripsi dan translasi dilakukan
dalam tingkat rendah menghasilkan berbagai protein virus seperti Tat, Nef
dan Rev. Protein Tat sangat berperan untuk ekspresi gen HIV, mengikat pada
bagian DNA spesifik yang memulai dan menstabilkan perpanjangan
transkripsi. Belum ada fungsi yang jelas dari protein Nef. Protein Rev
mengatur aktivitas post transkripsional dan sangat dibutuhkan untuk reflikasi
HIV. 2
2.5 Epidemiologi
Sejak tahun 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih amat jarang
ditemukan di Indonesia. Sebagian besar odha pada periode itu berasal dari
7
kelompok homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin
meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam
yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik. Sampai
dengan akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. 1
Setelah infeksi primer, selama 4-11 hari masa antara infeksi mukosa
dan viremia permulaan, viremia dapat terdeteksi selama sekitar 8-12 minggu.
Virus tersebar luas ke seluruh tubuh selama masa ini, dan menjangkiti organ
limfoid. Pada tahap ini terjadi penurunan jumlah sel –T CD4+ yang beredar
secara signifikan. Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena
virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4+. Limfosit
CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang
8
penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respons imun
yang progresif.1,2,5
Siklus hidup virus dari saat infeksi sel ke saat produksi keturunan baru
yang menginfeksi sel berikutnya rata-rata 2,6 hari. Limfosit T -CD4+,
merupakan target utama yang bertanggung jawab memproduksi virus. Pasien
akan menderita gejala-gejala konstitusional dan gejala klinis yang nyata,
seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang lebih tinggi
dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV
yang ditemukan pada pasien dengan penyakit tahap lanjut, biasanya jauh
lebih virulen dan sitopatik dari pada strain virus yang ditemukan pada awal
infeksi. 1,2,5
Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut
Simian Immunodeficiency Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4+
dan monosit pada mukosa vagina. Virus dibawa oleh antigen presenting cells
ke kelenjar getah bening regional. Pada model ini, virus dideteksi pada
kelenjar getah bening maka dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel individual di
kelanjar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan
hibridasi in situ dalam 7 sampai 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV
dideteksi 7-21 hari setelah infeksi. Puncak jumlah sel yang mengekspresikan
SIV di kelanjar getah bening berhubungan dengan puncak antigenemia p26
SIV. Jumlah sel yang mengekspresikan virus di jaringan limfoid kemudian
menurun secara cepat dan dihubungkan sementara dengan pembentukan
respons imun spesifik.1
9
Gambar 2.2 Patogenesis infeksi HIV
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang
masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembag menjadi pasien
AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang
terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal.
Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis,
sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. 1
10
sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan memburuk, dan
akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang makin berat, pasien masuk
tahap AIDS. Jadi yang disebut laten secara klinik (tanpa gejala), sebenarnya
bukan laten bila ditinjau dari sudut penyakit HIV. Manifestasi dari awal dari
kerusakan sistem kekebalan tubuh adalah kaerusakan mikroarsitektur folikel
kelnjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid, yang
dapat dilihat dengan pemeriksaan hibridasi in situ. 1
Respon imun terdiri dari respon imun spesifik dan non spesifik.
Respon imun spesifik atau disebut juga komponen adaptif atau imunitas
11
didapat adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan khusus terhadap satu
jenis antigen, karena itu tidak dapat berperan terhadap antigen jenis lain.
Respon imun non spesifik disebut juga komponen non adaptif atau innate,
atau imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang tidak ditujukan
hanya untuk satu jenis antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen.
Imunitas alamiah sudah ada sejak individu dilahirkan dan terdiri atas berbagai
macam elemen non spesifik. Perbedaannya dengan pertahanan tubuh non
spesifik adalah pertahanan tubuh spesifik harus kontak atau ditimbulkan
terlebih dahulu oleh antigen tertentu, baru ia akan terbentuk. Sedangkan
pertahanan tubuh non spesifik sudah ada sebelum ia kontak dengan antigen. 2
12
efektif membunuh virus karena virus mencegah sel yang terinfeksi untuk
mengekspresikan Mayor Histompatibility Complex (MHC-1). Antibodi
terhadap glikoprotein envelope seperti gp 120 dapat inefektif, karena virus
dengan cepat memutasi regio gp 120 yang merupakan sasaran antibodi.
Respon imun HIV justru dapat meningkatkan penyebaran penyakit. Virus
yang dilapisi antibodi dapat berikatan dengan (Fragmen crystalizable
Receptor) Fc-R pada makrofag dan sel dendritik di kelenjar limfoid, sehingga
meningkatkan virus masuk ke dalam sel-sel tersebut dan menciptakan
reservoir baru. Bila CTL berhasil menghancurkan sel terinfeksi, virus akan
dilepas dan menginfeksi lebih banyak sel. 2
Transmisi Seksual
1. Homoseksual
Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas
homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari
semua golongan rusial. Cara hubungan seksual anogenetal
merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi penularan
HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi
13
semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan
mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami
pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital.
2. Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui
hubungan heteroseksual pada promiskuitas dan penderita
terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun
wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.
2. Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak
mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil,
melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu
termasuk penularan dengan resiko rendah.
14
Tabel 2.1 Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia dikaitkan dengan
faktor resiko dilapor s/d Desember 2010.
Heteroseksual/HeterosexuaL 12.717
Homo-Biseksual/Homo-Bisexual 724
15
oportunistik berat yang sangat bervariasi atau neoplasma yang tidak umum
(terutama Sarcoma Kaposi). Gejala yang lebih serius pada orang dewasa
seringkali didahului oleh gejala prodormal (diare dan penurunan berat badan)
meliputi kelelahan, malaise, demam, napas pendek, diare kronis, bercak putih
pada lidah (kandidiasis oral) dan limfadenopati. Gejala-gejala penyakit pada
saluran pencernaan , dari esophagus sampai kolon merupakan penyebab
utama kelemahan. 1,2,5
16
c) Demam berkepanjangan tanpa alasan (di atas 37,5°C, sementara atau
terus-menerus, lebih dari 1 bulan)
d) Kandidiasis mulut berkepanjangan
e) Oral hairy leukoplakia
f) Tuberkulosis paru
g) Infeksi bakteri yang berat (mis. pnemonia, empiema, piomiositis,
infeksi tulang atau sendi, meningitis atau
h) bakteremia)
i) Stomatitis, gingivitis atau periodontitis nekrotising berulkus yang akut
j) Anemia (<8g/dl), neutropenia (<0,5 × 109/l) dan/atau trombositopenia
kronis (<50 × 109/l) tanpa alasan
17
s) Limfoma (serebral atau non-Hodgkin sel-B)
t) Karsinoma leher rahim invasif
u) Leishmaniasis diseminata atipikal
v) Nefropati bergejala terkait HIV atau kardiomiopati bergejala terkait
HIV
Diagnosis pada infeksi HIV dilakukan dengan dua metode yaitu metode
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium. Seseorang dinyatakan
terinfeksi HIIV apabila dengan pemeriksaan laboratorium terbukti terinfeksi
HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi atau pemeriksaan untuk
mendeteksi adanya virus dalam tubuh. Diagnosis AIDS untuk kepentingan
surveilans ditegakkan apabila terdapat infeksi oportunistik atau limfosit
CD4+ kurang dari 200 sel/mm3. 1
1) Diagnosis klinik
Sejak tahun 1980 WHO telah berhasil mendefinisikan kasus klinik dan
sistem stadium klinik untuk infeksi HIV. WHO telah mengeluarkan
batasan kasus infeksi HIV untuk tujuan pengawasan dan merubah
klasifikasi stadium klinik yang berhubungan dengan infeksi HIV pada
dewasa dan anak. Pedoman ini meliputi kriteria diagnosa klinik yang patut
diduga pada penyakit berat HIV untuk mempertimbangkan memulai terapi
antiretroviral lebih cepat.
2) Diagnosis Laboratorium
Metode pemeriksaan laboratorium dasar untuk diagnosis infeksi HIV
dibagi dalam dua kelompok yaitu:
1) Uji Imunologi
Uji imunologi untuk menemukan respon antibodi terhadap
HIV-1 dan digunakan sebagai test skrining, meliputi enzyme
18
immunoassays atau enzyme–linked immunosorbent assay (ELISAs)
sebaik tes serologi cepat (rapid test). Uji Western blot atau indirect
immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk memperkuat
hasil reaktif dari test skrining. Uji yang menentukan perkiraan
abnormalitas sistem imun meliputi jumlah dan persentase CD4++
dan CD8+ T-limfosit absolute. Uji ini sekarang tidak digunakan
untuk diagnose HIV tetapi digunakan untuk evaluasi.
19
melalui uji virologi (tes virus), sebelum anak dianggap mengidap
HIV-1.
World Health Organization (WHO) menganjurkan
pemakainan salah satu dari 3 strategi pemeriksaan antibodi
terhadap HIV di bawah ini, tergantung pada tujuan penyaringan
keadaan populasi dan keadaan pasien.
Prevalensi Strategi
Tujuan Pemeriksaan
infeksi HIV Pemeriksaan
Keamanan transfusi dan Semua
I
transplantasi prevalensi
Surveilance > 10% I
≤ 10% II
Bergejala
Diagnosis infeksi > 30% I
HIV/AIDS
≤ 30% II
Tanpa gejala > 10% II
≤ 10% III
20
dengan sensitivitas tertinggi dan pada pemeriksaan kedua dipakai
reagensia yang lebih spesifik serta berbeda jenis antigen atau
tekhniknya dari yang dipakai pada pemeriksaan pertama. Bila
hasil pemeriksaan kedua juga reaktif, maka disimpulkan sebagai
terinfeksi HIV. Namun, jika hasil pemeriksaanyang kedua adalah
non-reaktif, maka pemeriksaan harus diulang dengan ke-2
metode. Bila hasil tetap tidak sama, maka dilaporkan sebagai
interminate. 1
Rapid test
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibodi
terhadap HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel,
imunodot (dipstik), imunofiltrasi atau imunokromatografi. ELISA tidak
dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil rapid tes dan semua hasil
rapid tes reaktif harus dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA. 2
Western blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil
serologi rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot
21
menemukan keberadaan antibodi yang melawan protein HIV-1 spesifik
(struktural dan enzimatik). Western blot dilakukan hanya sebagai
konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA atau rapid tes).
Hasil negative Western blot menunjukkan bahwa hasil positif
ELISA atau rapid tes dinyatakan sebagai hasil positif palsu dan pasien
tidak mempunyai antibodi HIV-1. Hasil Western blot positif
menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan usia
lebih dari 18 bulan. 2
2) Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus,
tes amplifikasi asam nukleat/nucleic acid amplification test (NAATs) ,
test untuk menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA arau RNA HIV-
1 dan test untuk komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus
(antigen p24)). 2
Kultur HIV
22
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi
dalam plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus
terdeteksi dengan menguji cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari
untuk aktivitas reverse transcriptase virus atau untuk antigen spesifik
virus. 2
Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibodi p24
atau dalam keadaan bebas dalam aliran darah individu yang terinfeksi
HIV-1. Pada umumnya uji antigen p24 jarang digunakan dibanding
teknik amplifikasi RNA atau DNA HIV karena kurang sensitif.
Sensitivitas pengujian meningkat dengan peningkatan teknik yang
digunakan untuk memisahkan antigen p24 dari antibodi anti-p24. 2
23
lebih lama. Infeksi oportunistik yang paling sering terjadi pada pasien AIDS
meliputi infeksi dari: 1,2,5
24
menghambat replikasi virus HIV. Karena replikasi aktif HIV
menyebabkan kerusakan progresif sistem imun, menyebabkan
berkembangnya infeksi oportunistik, keganasan (malignasi), penyakit
neurologi, penurunan berat badan yang akhirnya mendorong ke arah
kematian. 1,2,9
25
molekul sebelumnya untuk menghasilkan protein bentuk akhir dari inti virion
matang dan protease penting untuk produksi virion infeksius matang selama
replikasi. Obat golongan ini menghambat kerja enzim protease sehingga
mencegah pembentukan virion baru yang infeksius. Golongan ini terdiri dari:
Saquinavir, Ritonavir, Nelfinavir, Amprenavir.
5) Antagonists CCR5
Bekerja dengan cara mengikat CCR5 (reseptor kemokin 5) di
permukaan sel CD4+ dan mencegah perlekatan virus HIV dengan sel pejamu.
Golongan ini terdiri dari: Maraviroc, Aplaviroc, Vicrivirox.
26
Nama Nama
Golongan Sediaan Dosis (per hari)
Dagang Generik
Kolom A Kolom B
Lamivudin + zidovudin Evafirenz
27
Lamivudin + didanosin
Lamivudin + stavudin
Lamivudin + zidovudin Nevirapin
Lamivudin + stavudin
Lamivudin + didanosin
Lamivudin + zidovudin Nelvinafir
Lamivudin + stavudin
Lamivudin + didanosin
* Tidak dianjurkan pada wanita hamil trimester pertama atau wanita yang
berpotensi tinggi untuk hamil
Catatan: kombinasi yang sama sekali tidak boleh adalah: zidovudin +
stavudin.
28
yang memerlukan pengobatan dan layanan konseling tindak lanjut untuk
memberikan dukungan psikososial. Indikasi lain untuk ditawarkan tes HIV
adalah adanya infeksi menular seksual, hamil, tuberculosis (TB) aktif, gejala
dan tanda lain yang mengarah pada infeksi HIV serta pasien yang beresiko
tinggi tertular HIV. 1,2,9
Keputusan untuk memulai terapi ARV pada OHDA dewasa dan remaja
didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis. Namun pada keadaan
tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu keputusan memulai terapi
ARV, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus memulai terapi ARV.
Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu pengobatan
diredakan sebelum terapi ARV. Saat yang paling tepat untuk memulai terapi
ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama.
Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi ARV dimulai pada saat
CD4+ < 200 sel/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4+ di atas
jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4+ maka terapi ARV sebaiknya
dimulai sebelum CD4+ kurang dari 200 sel/mm3. Terapi ARV dianjurkan pada
pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat dan CD4+ < 350 sel/mm3.
Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan CD4+ < 350 sel/mm3.1,2,9
Keterangan:
29
asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada
petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumberdaya terbatas. 1,2,9
1) Mulai pengobatan ARV pada semua pasien dengan HIV yang mempunyai
jumlah CD4+ ≤ 350 sel/mm3tanpa memandang gejala klinik.
2) Tes CD4+ diharuskan untuk mengetahui jika pasien dengan stadium klinik
1 dan 2 perlu memulai terapi ARV.
3) Mulai pengobatan ARV pada semua pasien HIV dengan stadium klinik 3
dan 4 tanpa memandang jumlah CD4+.
30
2.13.4 Kepatuhan terapi antiretroviral
31
2.13.5 Evaluasi terapi Antiretroviral
1) Kegagalan klinis:
Munculnya IO pada stadium 4 setelah setidaknya 6 bulan dalam terapi
ARV, kecuali TB, kandidosis esofageal, dan infeksi bakterial berat yang
tidak selalu diakibatkan oleh kegagalan terapi. Telaah respon dari terapi
terlebih dahulu, bila responnya baik maka jangan diubah dulu.
2) Kegagalan Virologis:
Viral load > 10 000 / ml setelah 6 bulan menjalani terapi ARV. Kegagalan
terapai ARV tidak dapat didiagnosis berdasarkan kriteria klinis semata
dalam 6 bulan pertama pengobatan. Viral load masih merupakan indikator
yang paling sensitif dalam menentukan adanya kegagalan terapi.
32
Gejala klinis yang muncul dalam waktu 6 bulan terapi sering kali
menunjukkan adanya IRIS (Immune reconstitution inflammatory
syndrome) dan bukan kegagalan terapi ARV.
3) Kegagalan Imunologis:
Setelah satu tahun terapi CD4+ kembali atau lebih rendah dari pada awal
terapi ARV. Penurunan CD4+ sebesar 50% dari nilai tertinggi yang pernah
dicapai selama terapi ART (bila diketahui).
1) Efek samping
Kadang-kadang efek samping obat dapat begitu kuat, tidak dapat
ditoleransi atau bahkan mengancam jiwa dimana pengobatan harus diubah.
Dalam kasus seperti ini biasanya aman untuk mengubah hanya obat yang
menyebabkan efek samping.
2) Kegagalan pengobatan
Perubahan pengobatan diperlukan ketika ARV gagal untuk memperlambat
replikasi virus dalam tubuh. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat dari
resistensi obat, kepatuhan kurang, penyerapan obat kurang, kombinasi obat
lemah, peningkatan viral load HIV atau timbulnya penyakit terkait tanda-
tanda kegagalan ART. CD4+ juga dapat digunakan untuk menentukan
apakah perlu mengubah terapi atau tidak. Sebagai contoh, munculnya
penyakit baru yang termasuk dalam stadium 3, di mana dipertimbangkan
untuk mengubah terapi, tetapi bila CD4+ >200 sel/mm3 tidak dianjurkan
untuk mengubah terapi. Kadar viral load yang optimal sebagai batasan
untuk mengubah paduan ARV belum dapat ditentukan dengan pasti.
33
Namun viral load > 5000-10.000 turunan/ml diketahui berhubungan
dengan perubahan klinis yang nyata atau turunnya jumlah CD4+.2,9
BAB III
KESIMPULAN
34
HIV-1 meliputi tiga kelompok virus yang berbeda yaitu M (main), N (New
atau non-M, non-O) dan O (Outlier). Kelompok M yang dominan terdiri
dari 11 subtipe atau clades (A-K). Telah teridentifikasi 6 subtipe HIV-2
yaitu sub tipe A-F.
Penularan HIV HIV ditularkan selama kontak seksual (termasuk seks
genital-oral), melalui paparan parenteral (pada transfusi darah yang
terkontaminasi dan pemakaian bersama jarum suntik / injecting drugs use
(IDU)), dan dari ibu kepada bayinya selama masa perinatal. Seseorang
yang positif- HIV asimtomatis dapat menularkan virus, adanya penyakit
seksual lainnya seperti sifilis dan gonorhoe meningkatkan resiko penularan
seksual HIV sebanyak seratus kali lebih besar, karena peradangan
membantu pemindahan HIV menembus barier mukosa.
Gejala Klinis pada HIV Gejala infeksi akut HIV tidak spesifik:
kelelahan, ruam kulit, nyeri kepala, mual, dan berkeringat di malam hari.
Gejala yang lebih serius didahului oleh gejala prodormal (diare dan
penurunan berat badan) meliputi kelelahan, malaise, demam, napas
pendek, diare kronis, bercak putih pada lidah (kandidiasis oral) dan
limfadenopati.
WHO menetapkan empat stadium klinik: Stadium Klinis 1: Asimptomatik
(Total CD4+ = > 500/ml), Stadium Klinis 2: Sakit ringan (Total CD4+ =
200 - 499/ml), Stadium Klinis 3: Sakit sedang, Stadium Klinis 4: Sakit
berat (Total CD4+ = < 200/ml)
Diagnosis pada HIV dengan Metode pemeriksaan klinis, dan
Pemeriksaan laboratorium, Seseorang terinfeksi HIV (+) à pem lab
terbukti terinfeksi HIV, baik dengan metode pem antibodi atau pem untuk
mendeteksi adanya virus dalam tubuh. Diagnosis AIDS à infeksi
oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3.
Penatalaksanaan Menekan replikasi virus HIV dengan obat
antiretroviral (ARV), Mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker
yang menyertai infeksi HIV/AIDS, Pengobatan suportif, yaitu makanan
yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan dukungan psikososial dan
dukungan agama.
35
Obat Antiretroviral (ARV) obat yang menghambat replikasi Human
Immunodeficiency Virus (HIV). 6 golongan obat antiretroviral yaitu
Nucleoside/ nucleotide reverse transcriptase inhibitors (NRTI), Non-
nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs), Protease inhibitors
(PIs), Fusion inhibitors (FIs), Antagonists CCR5, Integrase strand transfer
inhibitors (INSTI).
Tujuan pengobatan Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat
Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan
HIV, Memperbaiki kualitas hidup ODHA, Memulihkan dan / atau
memelihara fungsi kekebalan tubuh, Menekan replikasi virus secara
maksimal dan secara terus menerus.
36