Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai


kumpulan gejala atau panyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan
tubuh akibat infeksi olah virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang
termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak
negara di seluruh dunia. UNAIDS, badan WHO yang mengurusi masalah AIDS,
memperkirakan jumlah odha di seluruh dunia pada Desember 2004 adalah 35,9-
44,3 juta orang.1

Data dari World Health Organization (WHO) 2007 menunjukkan bahwa


sekitar 33,2 juta orang terinfeksi oleh human immunodeciency virus (HIV), 2,5
juta orang mendapat infeksi baru per tahun dan 2,1 juta orang meninggal karena
Acquired Immunodeficiency Syndromes (AIDS) per tahun. Sebagian besar
penderita HIV (68% dari total secara global) berada di Afrika regio sub-Sahara.2

Pertambahan jumlah penderita di Asia terjadi paling cepat di Indonesia.


Prevalensi HIV/AIDS di Indonesia pada tahun 2005 mencapai 2% dan mengalami
peningkatan menjadi 3% adalah pada tahun 2007. Data Departemen Kesehatan
Republik Indonesia Juli 1987 sampai Maret 2008 tercatat 6130 kasus infeksi HIV
dan 11.868 kasus AIDS. Jakarta merupakan provinsi dengan jumlah pasien
HIV/AIDS terbanyak di seluruh Indonesia sebanyak 3077 (17%) pasien. Sekitar
58% penderita HIV/AIDS di Indonesia berusia antara 15 tahun -29 tahun yang
merupakan usia produktif.2

Banyak komplikasi yang bisa terjadi pada infeksi HIV dalam perjalanan
penyakitnya. Beberapa pasien akan mengalami fase bebas gejala yang serius
sampai mereka mencapai tahap akhir dari keadaan imunosupresi sedangkan yang
lainnya akan sering mengalami komplikasi yang tidak mengancam hidup
sepanjang hidup mereka. Kematian biasanya terjadi karena banyak sebab

1
termasuk infeksi sistemik, keganasan, penyakit neurologis, wasting dan malnutrisi
dan kegagalan multiorgan. Kondisi yang sering terjadi dan membutuhkan terapi
agresif pada pasien AIDS menjelang kematiannya adalah retinitis
cytomegalovirus, candidiasis, infeksi herpes simplex virus, kompleks
mycobacterium avis, kompleks demensia AIDS, infeksi hepatitis B atau C, Kaposi
Sarkoma, dan Pneumocystis carinii pneumonia. 2

Lima penyebab utama kematian HIV terbanyak adalah sepsis (mortaliti


11,9%), penyakit ginjal (8,8%), penyakit hati (6,5% ), hepatitis viral (3,1%) dan
perdarahan gastrointestinal (1,8%). Satu penelitian membandingkan tren mortaliti
HIV sebelum dan sesudah terapi HAART. Antara tahun 2000-2003 kematian
karena penyakit hati, hipertensi dan alkohol meningkat. Kematian karena penyakit
infeksi yang berkaitan dengan AIDS seperti pneumocystosis, non tuberkulosa
mycobacterial, dan cytomegalovirus menurun secara signifikan. Mortaliti karena
beberapa penyakit tidak mengalami perubahan seperti pneumonia, kanker,
limfoma non-Hodgkin. Mortaliti karena gagal jantung kongestif termasuk yang
tetap (sebelum HAART mortaliti 0,9%, setelah HAART mortaliti 1,1%).2

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi HIV/AIDS

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang


menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS.
HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas
menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki
CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel
limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan
berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan
dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan
sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan
pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang
terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun.1

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome,


yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan
tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai
kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan
penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini,
sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain.2
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup
dalam sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke
dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini
ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit
maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik.2

2.2 Struktur HIV

3
Bagian luar HIV diliputi oleh selubung yang disebut ‘envelope’ dan di
bagian dalam terdapat sebuah inti (Core).

1. Envelope
HIV bergaris tengah 1/10.000 mm dan mempunyai bentuk bulat seperti
bola. Lapisan paling luar disebut Envelope, terdiri dari dua lapisan
molekul lemak yang disebut lipids. Lapisan ini diambil dari sel manusia
ketika partikel virus yang baru terbentuk dengan membentuk tonjolan
dan lepas dari sel tersebut. Selubung virus terisi oleh protein yang
berasal dari sel induk, termasuk 72 turunan (rata-rata) protein HIV
komplek yang menonjol dari permukaan selubung. Protein ini disebut
env, terdiri atas sebuah tutup (cap) terbuat dari 3-4 molekul Glycoprotein
(gp) 120 dan sebuah batang yang terdiri atas 3-4 molekul gp 41 sebagai
rangka struktur dalam envelope virus. 3
2. Inti (Core)
Dalam envelope partikel HIV yang sudah matang terdapat inti yang
berbentuk peluruyang disebut Capsid, terbentuk dari 2000 turunan
protein virus lainnya, P 24. Capsid mengelilingi 2 helaian tunggal RNA
HIV, yang masing-masing memiliki 9 gen dari virus. 3 diantaranya gag,
pol dan env, mengandung informasi yang diperlukan untuk membuat
protein terstruktur untuk partikel virus baru. Gen env, misalnya
mengkode protein gp 160 yang dipecah oleh enzim virus untuk
membentuk gp 120 dan gp 41, yang merupakan komponen env.3 buah
gen pengatur, tat, rev dan nef dan 3 gen tambahan, vif, vpr, dan vpu
mengandung informasi yang diperlukan untuk memproduksi protein
yang mengatur kemampuan HIV menginfeksi suatu sel, membuat
turunan virus baru atau menimbulkan penyakit. Protein yang dikode oleh
nef misalnya menyebabkan virus dapat melakukan replikasi secara
efisien sacara efisien dan protein yang dikode oleh vpu berpengaruh
terhadap pelepasan partikel virus baru dari sel yang diinfeksi. Inti HIV
juga mencakup sebuah protein yang disebut P7, yaitu protein
nucleocapsid HIV, dan 3 buah enzim yang berperan dalam langkah
berikutnya dalam siklus hidup virus, yaitu: Reverse, Transcriptase,

4
Integrase dan Protase. Protein HIV lainnya adalah P17 atau matriks HIV,
terletak antara inti dan envelope. 4

Gambar 2.1 Struktur Virus HIV-1

2.3 Klasifikasi HIV

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan kelompok virus RNA: 2

 Famili: Retroviridae.
 Sub famili: Lentivirinae.
 Genus: Lentivirus.
 Spesies: Human Immunodeficiency Virus 1 (HIV-1).

Human Immunodeficiency Virus 2 (HIV-2) HIV menunjukkan


banyak gambaran khas fisikokimia dari familinya. Terdapat dua tipe yang
berbeda dari virus AIDS manusia, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe
dibedakan berdasarkan susunan genom dan hubungan filogenetik
(evolusioner) dengan lentivirus primata lainnya. Berdasarkan pada deretan
gen env, HIV-1 meliputi tiga kelompok virus yang berbeda yaitu M (main), N
(New atau non-M, non-O) dan O (Outlier). Kelompok M yang dominan

5
terdiri dari 11 subtipe atau clades (A-K). Telah teridentifikasi 6 subtipe HIV-
2 yaitu sub tipe A-F. 2

2.4 Siklus HIV

Virus memasuki tubuh terutama menginfeksi sel yang mempunyai


molekul protein CD4+. Kelompok sel terbesar yang mempunyai molekul
CD4+ adalah limfosit T. Sel target lain adalah monosit, makrofag, sel
dendrite, sel langerhans dan sel microglia. Ketika HIV masuk tubuh,
glycoprotein (gp 120) terluar pada virus melekatkan diri pada reseptor CD4+
(cluster of differentiation 4), protein pada limfosit T-helper, monosit,
makrofag, sel dendritik dan mikroglia otak. 2

Glikoprotein terdiri dari dua sub-unit gp120 dan gp41. Sub unit 120
mempunyai afinitas tinggi terhadap reseptor CD4+ dan bertanggung jawab
untuk ikatan awal virus pada sel. Perlekatan ini menginduksi perubahan
konformasi yang memicu perlekatan kedua pada koreseptor. Dua reseptor
kemokin utama yang digunakan oleh HIV adalah CCR5 dan CXCR4. Ikatan
dengan kemoreseptor ini menginduksi perubahan konformasi pada sub unit
glikoprotein 41 (gp41) yang mendorong masuknya sekuens peptida gp41 ke
dalam membran target yang memfasilitasi fusi virus. Setelah terjadinya fusi,
virus tidak berselubung mempersiapkan untuk mengadakan replikasi. 2

Material genetik virus adalah RNA single stand-sense positif


(ssRNA), virus harus mentranskripsi RNA ini dalam DNA secara optimal
pada replikasi sel manusia (transkripsi normal terjadi dari DNA ke RNA, HIV
bekerja mundur sehingga diberi nama retrovirus). Untuk melakukannya HIV
dilengkapi dengan enzim unik RNA-dependent DNA polymerase (reverse
transcriptase). Reverse transcriptase pertama membentuk rantai DNA
komplementer, menggunakan RNA virus sebagai templet. Hasil sintesa
lengkap molekul double-strand DNA (dsDNA) dipindahkan ke dalam inti dan
berintegrasi ke dalam kromoson sel tuan rumah oleh enzim integrase.
Integrasi ini menimbulkan beberapa masalah, pertama HIV dapat

6
menyebabkan infeksi kronik dan persisten, umumnya dalam sel sistem imun
yang berumur panjang seperti T-limfosit memori. Kedua, pengintegrasian
secara acak menyebabkan kesulitan target. Selanjutnya integrasi acak pada
HIV ini menyebabkan kelainan seluler dan mempengaruhi apoptosis. 2

Gabungan DNA virus dan DNA sel inang akan mengalami replikasi,
transkripsi dan translasi. DNA polimerase mencatat dan mengintegrasi
provirus DNA ke mRNA, dan mentranslasikan pada mRNA sehingga terjadi
pembentukan protein virus. Pertama, transkripsi dan translasi dilakukan
dalam tingkat rendah menghasilkan berbagai protein virus seperti Tat, Nef
dan Rev. Protein Tat sangat berperan untuk ekspresi gen HIV, mengikat pada
bagian DNA spesifik yang memulai dan menstabilkan perpanjangan
transkripsi. Belum ada fungsi yang jelas dari protein Nef. Protein Rev
mengatur aktivitas post transkripsional dan sangat dibutuhkan untuk reflikasi
HIV. 2

Perakitan partikel virion baru dimulai dengan penyatuan protein HIV


dalam sel inang. Nukleokapsid yang sudah terbentuk oleh ssRNA virus
disusun dalam satu kompleks. Kompleks nukleoprotein ini kemudian
dibungkus dengan 1 membran pembungkus dan dilepaskan dari sel pejamu
melalui proses ”budding” dari membran plasma. Kecepatan produksi virus
dapat sangat tinggi dan menyebabkan kematian sel inang. 2

2.5 Epidemiologi

Penularan HIV/AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang


mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual
maupun heteroseksual, jarum suntik pada pangguna narkotika, transfusi
komponen dara dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya.
Oleh karena itu, kelompok resiko tinggi terhadap HIV/AIDS adalah pangguna
narkotika, pekerja seks komersil dan pelanggannya, serta narapidana. 1

Sejak tahun 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih amat jarang
ditemukan di Indonesia. Sebagian besar odha pada periode itu berasal dari

7
kelompok homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin
meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam
yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik. Sampai
dengan akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. 1

Fakta yang paling mengkhawatirkan adalah bahwa peningkatan


infeksi HIV yang semakin nyata pada pengguna narkotika. Pengguna
narkotika suntik mempunyai resiko tinggi untuk tertular oleh virus HIV atau
bibit-bibit penyakit lain yangdapat menular melalui darah. Penyebabnya
adalah penggunaan jarum suntik secara bersama dan berulang yang lazim
dilakukan oleh sebagian besar pengguna narkotika. 1

Survey yang dilakukan pada tahun 1999-2000 pada beberapa klinik


KB, puskesmas dari Rumah Sakit di Jakarta yang dipilih secara acak
menemukan bahwa 6 (1,12%) ibu hamil dari 537 orang yang bersedia
menjalani tes HIV ternyata positif terinfeksi HIV. 1

2.6 Patogenesis HIV

Perjalanan khas infeksi HIV yang tidak diobati, berjangka waktu


sekitar satu dekade. Tahap-tahapnya meliputi infeksi primer, penyebaran
virus ke organ limfoid, latensi klinis, peningkatan ekspresi HIV, penyakit
klinis dan kematian. Durasi antara infeksi primer dan progresi menjadi
penyakit klinis rata-rata sekitar 10 tahun. Pada kasus yang tidak diobati,
kematian biasanya terjadi dalam 2 tahun setelah onset gejala. 1,2,5

Setelah infeksi primer, selama 4-11 hari masa antara infeksi mukosa
dan viremia permulaan, viremia dapat terdeteksi selama sekitar 8-12 minggu.
Virus tersebar luas ke seluruh tubuh selama masa ini, dan menjangkiti organ
limfoid. Pada tahap ini terjadi penurunan jumlah sel –T CD4+ yang beredar
secara signifikan. Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena
virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4+. Limfosit
CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang

8
penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respons imun
yang progresif.1,2,5

Respon imun terhadap HIV terjadi selama 1 minggu sampai 3 bulan


setelah terinfeksi dan dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah
menurun sampai ke level “steady-state”, viremia plasma menurun dan level
sel CD4+ kembali meningkat. Tetapi respon imun tidak mampu
menyingkirkan infeksi secara sempurna, dan sel-sel yang terinfeksi HIV
menetap dalam limfoid. Masa laten klinis ini dapat berlangsung sampai 10
tahun, selama masa ini banyak terjadi replikasi virus. 1,2,5

Siklus hidup virus dari saat infeksi sel ke saat produksi keturunan baru
yang menginfeksi sel berikutnya rata-rata 2,6 hari. Limfosit T -CD4+,
merupakan target utama yang bertanggung jawab memproduksi virus. Pasien
akan menderita gejala-gejala konstitusional dan gejala klinis yang nyata,
seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang lebih tinggi
dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV
yang ditemukan pada pasien dengan penyakit tahap lanjut, biasanya jauh
lebih virulen dan sitopatik dari pada strain virus yang ditemukan pada awal
infeksi. 1,2,5

Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut
Simian Immunodeficiency Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4+
dan monosit pada mukosa vagina. Virus dibawa oleh antigen presenting cells
ke kelenjar getah bening regional. Pada model ini, virus dideteksi pada
kelenjar getah bening maka dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel individual di
kelanjar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan
hibridasi in situ dalam 7 sampai 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV
dideteksi 7-21 hari setelah infeksi. Puncak jumlah sel yang mengekspresikan
SIV di kelanjar getah bening berhubungan dengan puncak antigenemia p26
SIV. Jumlah sel yang mengekspresikan virus di jaringan limfoid kemudian
menurun secara cepat dan dihubungkan sementara dengan pembentukan
respons imun spesifik.1

9
Gambar 2.2 Patogenesis infeksi HIV

2.7 Patofisiologi HIV

Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang
masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembag menjadi pasien
AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang
terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal.
Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis,
sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. 1

Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala


tertentu. Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut,
3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri
menelan, pembengkakan kelanjar getah bening, ruam, diare, atau batuk.
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala).
Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada
sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya
sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya lambat (non-progressor). 1

Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai


menampakkan gejala-gejala akibat infeksi opportunistik seperti berat badan
menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare,
tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain. Tanpa pengobatan ARV,
walaupun selama beberapa tahun tidak menunjukkan gejala, secara bertahap

10
sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan memburuk, dan
akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang makin berat, pasien masuk
tahap AIDS. Jadi yang disebut laten secara klinik (tanpa gejala), sebenarnya
bukan laten bila ditinjau dari sudut penyakit HIV. Manifestasi dari awal dari
kerusakan sistem kekebalan tubuh adalah kaerusakan mikroarsitektur folikel
kelnjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid, yang
dapat dilihat dengan pemeriksaan hibridasi in situ. 1

Gambar 2.3 Jenis Infeksi sekundernya

2.8 Respon Imun Terhadap Infeksi HIV

Respon imun merupakan hasil kerjasama antara sel-sel yang berperan


dalam respon imun itu sendiri. Sel-sel tersebut terdapat pada organ limfoid
seperti kelenjar limfe , sumsum tulang , kelenjar timus , dan limpa. Respon
imun ini akan mendeteksi keberadaan molekul-molekul asing dimana
molekul tersebut memiliki bentuk yang berbeda dengan molekul normal. 2

Respon imun terdiri dari respon imun spesifik dan non spesifik.
Respon imun spesifik atau disebut juga komponen adaptif atau imunitas

11
didapat adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan khusus terhadap satu
jenis antigen, karena itu tidak dapat berperan terhadap antigen jenis lain.
Respon imun non spesifik disebut juga komponen non adaptif atau innate,
atau imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang tidak ditujukan
hanya untuk satu jenis antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen.
Imunitas alamiah sudah ada sejak individu dilahirkan dan terdiri atas berbagai
macam elemen non spesifik. Perbedaannya dengan pertahanan tubuh non
spesifik adalah pertahanan tubuh spesifik harus kontak atau ditimbulkan
terlebih dahulu oleh antigen tertentu, baru ia akan terbentuk. Sedangkan
pertahanan tubuh non spesifik sudah ada sebelum ia kontak dengan antigen. 2

Bila respon imum non spesifik tidak dapat mengatasi invasi


mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme
pertahanan (respon imun) spesifik adalah mekanisme pertahanan yang
diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem
imun lainnya seperti sel makrofag. Dilihat dari caranya diperoleh maka
mekanisme pertahanan spesifik disebut juga respons imun didapat (adaptive
immunity). 2

Satu sampai tiga minggu pasca infeksi, ditemukan respon imun


spesifik HIV berupa antibodi terhadap protein gp 120 dan p24, juga
ditemukan sel T sitotoksik HIV yang spesifik. Dengan adanya respon imun
yang adaptif tersebut, viremia menurun dan tidak disertai gejala klinis. Hal ini
berlangsung 2-12 tahun, dengan menurunnya jumlah CD4++ akan
menunjukkan gejala klinis. Dalam 3-6 minggu pascainfeksi ditemukan kadar
antigen HIV p24 dalam plasma yang tinggi. Antibodi HIV spesifik dan sel T
sitotoksik menurun, sedangkan p24 meningkat. 2

Perjalanan infeksi HIV ditandai oleh beberapa fase yang berakhir


dengan defisiensi imun. Jumlah sel CD4++ dalam darah mulai menurun di
bawah normal 1500 sel/mm3 dan penderita menjadi rentan terhadap infeksi
dan disebut menderita AIDS. Penderita AIDS membentuk antibodi dan
menunjukkan respon Cytotoxic T Lymphocyte (CTL) terhadap antigen virus.
Namun respon tersebut tidak mencegah progres penyakit. CTL juga tidak

12
efektif membunuh virus karena virus mencegah sel yang terinfeksi untuk
mengekspresikan Mayor Histompatibility Complex (MHC-1). Antibodi
terhadap glikoprotein envelope seperti gp 120 dapat inefektif, karena virus
dengan cepat memutasi regio gp 120 yang merupakan sasaran antibodi.
Respon imun HIV justru dapat meningkatkan penyebaran penyakit. Virus
yang dilapisi antibodi dapat berikatan dengan (Fragmen crystalizable
Receptor) Fc-R pada makrofag dan sel dendritik di kelenjar limfoid, sehingga
meningkatkan virus masuk ke dalam sel-sel tersebut dan menciptakan
reservoir baru. Bila CTL berhasil menghancurkan sel terinfeksi, virus akan
dilepas dan menginfeksi lebih banyak sel. 2

2.9 Penularan HIV

Cara penularan HIV dapat melalui:

 Transmisi Seksual

Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual


maupun Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling
sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan
vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi
HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada
pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan
seks. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti
pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi
terinfeksi virus HIV.

1. Homoseksual
Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas
homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari
semua golongan rusial. Cara hubungan seksual anogenetal
merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi penularan
HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi

13
semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan
mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami
pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital.

2. Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui
hubungan heteroseksual pada promiskuitas dan penderita
terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun
wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.

 Transmisi Non Seksual


1. Transmisi Parenral
a. Akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat
tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah
gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang
tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi
melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan
tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara
transmisi parental ini kurang dari 1%.
b. Darah atau Produk Darah  Transmisi melalui transfusi atau
produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun
1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di
negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa
sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat
trasfusi darah adalah lebih dari 90%.

2. Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak
mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil,
melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu
termasuk penularan dengan resiko rendah.

14
Tabel 2.1 Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia dikaitkan dengan
faktor resiko dilapor s/d Desember 2010.

Faktor Resiko AIDS

Heteroseksual/HeterosexuaL 12.717

Homo-Biseksual/Homo-Bisexual 724

Transfusi Darah/Blood Transfusion 48

Transmisi Perinatal/Perinatal Trans. 628

Tak Diketahui/Unknown 772

Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak


dapat ditularkan antara lain:
1. Kontak fisik
Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS,
bernapas dengan udara yang sama, bekerja maupun berada dalam
suatu ruangan dengan pasien tidak akan tertular. Bersalaman,
berpelukan maupun mencium pipi, tangan dan kening penderita
HIV/AIDS tidak akan menyebabkan seseorang tertular.

2. Memakai milik penderita


Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan
maupun peralatan kerja penderita HIV/AIDS tidak akan menular.
3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.

2.10 Gejala Klinis Pada HIV

Gejala-gejala dari infeksi akut HIV tidak spesifik, meliputi kelelahan,


ruam kulit, nyeri kepala, mual, dan berkeringat di malam hari. AIDS ditandai
dengan supresi yang nyata pada sitem imun dan perkembangan infeksi

15
oportunistik berat yang sangat bervariasi atau neoplasma yang tidak umum
(terutama Sarcoma Kaposi). Gejala yang lebih serius pada orang dewasa
seringkali didahului oleh gejala prodormal (diare dan penurunan berat badan)
meliputi kelelahan, malaise, demam, napas pendek, diare kronis, bercak putih
pada lidah (kandidiasis oral) dan limfadenopati. Gejala-gejala penyakit pada
saluran pencernaan , dari esophagus sampai kolon merupakan penyebab
utama kelemahan. 1,2,5

Tanpa pengobatan interval antara infeksi primer oleh HIV dan


timbulnya penyakit klinis pertama kali pada orang dewasa biasanya panjang,
rata-rata sekitar 10 tahun. WHO menetapkan empat stadium klinik pada
pasien yang terinfeksi HIV/AIDS, sebagai berikut: 2,5-8

1) Stadium Klinis 1  Asimptomatik (Total CD4+ = > 500/ml)


a) Tanpa gejala (asimtomatis)
b) Limfadenopati generalisata persisten

2) Stadium Klinis 2  Sakit ringan (Total CD4+ = 200 - 499/ml)


a) Kehilangan berat badani yang sedang tanpa alasanii (<10% berat badan
diperkirakan atau diukur)
b) Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang (sinusitis, tonsilitis,
ototis media dan faringitis)
c) Herpes zoster
d) Kheilitis angularis
e) Ulkus di mulut yang berulang
f) Erupsi papular pruritis
g) Dermatitis seboroik
h) Infeksi jamur di kuku

3) Stadium Klinis 3  Sakit sedang


a) Kehilangan berat badan yang parah tanpa alasan (>10% berat badan
diperkirakan atau diukur)
b) Diare kronis tanpa alasan yang berlangsung lebih dari 1 bulan

16
c) Demam berkepanjangan tanpa alasan (di atas 37,5°C, sementara atau
terus-menerus, lebih dari 1 bulan)
d) Kandidiasis mulut berkepanjangan
e) Oral hairy leukoplakia
f) Tuberkulosis paru
g) Infeksi bakteri yang berat (mis. pnemonia, empiema, piomiositis,
infeksi tulang atau sendi, meningitis atau
h) bakteremia)
i) Stomatitis, gingivitis atau periodontitis nekrotising berulkus yang akut
j) Anemia (<8g/dl), neutropenia (<0,5 × 109/l) dan/atau trombositopenia
kronis (<50 × 109/l) tanpa alasan

4) Stadium Klinis 4  Sakit berat (Total CD4+ = < 200/ml)


a) Sindrom wasting HIV
b) Pneumonia Pneumocystis
c) Pneumonia bakteri parah yang berulang
d) Infeksi herpes simplex kronis (orolabial, kelamin, atau rektum/anus
lebih dari 1 bulan atau viskeral pada
e) tempat apa pun)
f) Kandidiasis esofagus (atau kandidiasis pada trakea, bronkus atau paru)
g) Tuberkulosis di luar paru
h) Sarkoma Kaposi (KS)
i) Infeksi sitomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain)
j) Toksoplasmosis sistem saraf pusat
k) Ensefalopati HIV
l) Kriptokokosis di luar paru termasuk meningitis
m) Infeksi mikobakteri non-TB diseminata
n) Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML)
o) Kriptosporidiosis kronis
p) Isosporiasis kronis
q) Mikosis diseminata (histoplasmosis atau kokidiomikosis di luar paru)
r) Septisemia yang berulang (termasuk Salmonela nontifoid)

17
s) Limfoma (serebral atau non-Hodgkin sel-B)
t) Karsinoma leher rahim invasif
u) Leishmaniasis diseminata atipikal
v) Nefropati bergejala terkait HIV atau kardiomiopati bergejala terkait
HIV

2.11 Diagnosis HIV

Diagnosis pada infeksi HIV dilakukan dengan dua metode yaitu metode
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium. Seseorang dinyatakan
terinfeksi HIIV apabila dengan pemeriksaan laboratorium terbukti terinfeksi
HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi atau pemeriksaan untuk
mendeteksi adanya virus dalam tubuh. Diagnosis AIDS untuk kepentingan
surveilans ditegakkan apabila terdapat infeksi oportunistik atau limfosit
CD4+ kurang dari 200 sel/mm3. 1

Pemeriksaan laboratorium meliputi uji imunologi dan uji virologi.2,5

1) Diagnosis klinik
Sejak tahun 1980 WHO telah berhasil mendefinisikan kasus klinik dan
sistem stadium klinik untuk infeksi HIV. WHO telah mengeluarkan
batasan kasus infeksi HIV untuk tujuan pengawasan dan merubah
klasifikasi stadium klinik yang berhubungan dengan infeksi HIV pada
dewasa dan anak. Pedoman ini meliputi kriteria diagnosa klinik yang patut
diduga pada penyakit berat HIV untuk mempertimbangkan memulai terapi
antiretroviral lebih cepat.

2) Diagnosis Laboratorium
Metode pemeriksaan laboratorium dasar untuk diagnosis infeksi HIV
dibagi dalam dua kelompok yaitu:
1) Uji Imunologi
Uji imunologi untuk menemukan respon antibodi terhadap
HIV-1 dan digunakan sebagai test skrining, meliputi enzyme

18
immunoassays atau enzyme–linked immunosorbent assay (ELISAs)
sebaik tes serologi cepat (rapid test). Uji Western blot atau indirect
immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk memperkuat
hasil reaktif dari test skrining. Uji yang menentukan perkiraan
abnormalitas sistem imun meliputi jumlah dan persentase CD4++
dan CD8+ T-limfosit absolute. Uji ini sekarang tidak digunakan
untuk diagnose HIV tetapi digunakan untuk evaluasi.

Deteksi antibodi HIV


Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang diduga telah
terinfeksi HIV. Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes
terhadap antibodi HIV ini yaitu adanya masa jendela. Masa jendela
adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai timbulnya
antibodi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai
terbentuk pada 4-8 minggu setelah infeksi.1
ELISA dengan hasil reaktif (positif) harus diulang dengan
sampel darah yang sama, dan hasilnya dikonfirmasikan dengan
Western Blot atau IFA (Indirect Immunofluorescence Assays).
Sedangkan hasil yang negatif tidak memerlukan tes konfirmasi
lanjutan, walaupun pada pasien yang terinfeksi pada masa jendela
(window period), tetapi harus ditindak lanjuti dengan dilakukan uji
virologi pada tanggal berikutnya.
Hasil negatif palsu dapat terjadi pada orang-orang yang
terinfeksi HIV-1 tetapi belum mengeluarkan antibodi melawan
HIV-1 (yaitu, dalam 6 (enam) minggu pertama dari infeksi,
termasuk semua tanda-tanda klinik dan gejala dari sindrom
retroviral yang akut. Positif palsu dapat terjadi pada individu yang
telah diimunisasi atau kelainan autoimune, wanita hamil, dan
transfer maternal imunoglobulin G (IgG) antibodi anak baru lahir
dari ibu yang terinfeksi HIV-1. Oleh karena itu hasil positif ELISA
pada seorang anak usia kurang dari 18 bulan harus di konfirmasi

19
melalui uji virologi (tes virus), sebelum anak dianggap mengidap
HIV-1.
World Health Organization (WHO) menganjurkan
pemakainan salah satu dari 3 strategi pemeriksaan antibodi
terhadap HIV di bawah ini, tergantung pada tujuan penyaringan
keadaan populasi dan keadaan pasien.

Tabel 2.2 Strategi Pemeriksaan anti-HIV 1

Prevalensi Strategi
Tujuan Pemeriksaan
infeksi HIV Pemeriksaan
Keamanan transfusi dan Semua
I
transplantasi prevalensi
Surveilance > 10% I
≤ 10% II
Bergejala
Diagnosis infeksi > 30% I
HIV/AIDS
≤ 30% II
Tanpa gejala > 10% II
≤ 10% III

Pada keadaan yang memenuhi dilakukannya strategi I,


hanya dilakukan 1 kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan reaktif,
maka dianggap sebagai kasus terinfeksi HIV dan bila hasil
pemeriksaan non-reaktif dianggap tidak terinfeksi HIV. Reagensia
yang dipakai untuk pemeriksaan pada strategi ini harus memiliki
sensitivitas yang tinggi (> 99%).1

Strategi II menggunakan 2 kali pemeriksaan jika serum


pada pemerksaan pertama memberikan hasil reaktif. Jika pada
pemeriksaan pertama hasilnya non-reaktif, maka dilaporkan hasil
tesnya negatif. Pemeriksaan pertama menggunakan reagensia

20
dengan sensitivitas tertinggi dan pada pemeriksaan kedua dipakai
reagensia yang lebih spesifik serta berbeda jenis antigen atau
tekhniknya dari yang dipakai pada pemeriksaan pertama. Bila
hasil pemeriksaan kedua juga reaktif, maka disimpulkan sebagai
terinfeksi HIV. Namun, jika hasil pemeriksaanyang kedua adalah
non-reaktif, maka pemeriksaan harus diulang dengan ke-2
metode. Bila hasil tetap tidak sama, maka dilaporkan sebagai
interminate. 1

Strategi III menggunakan 3 kali pemeriksaan. Bila hasil


pemeriksaan perta, kedua, dan ketiga reaktif, maka dapat
disimpulkan bahwa pasien tersebut memang terinfeksi HIV. Bila
hasil pemeriksaan tidak sama, misalnya hasil tes pertama reaktif,
kedua reaktif dan ketiga non-reaktif atau pertama reaktif, kedua dan
ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai equivocal atau
indeterninate bila pasien yang diperiksa memilki riwayat
pemaparan terhadap HIV atau berisiko tinggi tertular HIV.
Sedangkan bila hasil seperti yang disebut sebelumnya terjadi pada
orang tanpa riwayat pemaparan terhadap HIV atau tidak berisiko
tertular HIV, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai non-
reaktif. 1

Rapid test
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibodi
terhadap HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel,
imunodot (dipstik), imunofiltrasi atau imunokromatografi. ELISA tidak
dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil rapid tes dan semua hasil
rapid tes reaktif harus dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA. 2

Western blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil
serologi rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot

21
menemukan keberadaan antibodi yang melawan protein HIV-1 spesifik
(struktural dan enzimatik). Western blot dilakukan hanya sebagai
konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA atau rapid tes).
Hasil negative Western blot menunjukkan bahwa hasil positif
ELISA atau rapid tes dinyatakan sebagai hasil positif palsu dan pasien
tidak mempunyai antibodi HIV-1. Hasil Western blot positif
menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan usia
lebih dari 18 bulan. 2

Indirect Immunofluorescence Assays (IFA)


Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan
lebih sedikit dan sedikit lebih mahal dari uji Western blot. Antibodi Ig
dilabel dengan penambahan fluorokrom dan akan berikatan pada antibodi
HIV jika berada pada sampel. Jika slide menunjukkan fluoresen
sitoplasma dianggap hasil positif (reaktif), yang menunjukkan
keberadaan antibodi HIV-1. 2

Penurunan sistem imun


Progresi infeksi HIV ditandai dengan penurunan CD4+ T limfosit,
sebagian besar sel target HIV pada manusia. Kecepatan penurunan CD4+
telah terbukti dapat dipakai sebagai petunjuk perkembangan penyakit
AIDS. Jumlah CD4+ menurun secara bertahap selama perjalanan
penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktu ke waktu rata-rata 100
sel/tahun. 2

2) Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus,
tes amplifikasi asam nukleat/nucleic acid amplification test (NAATs) ,
test untuk menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA arau RNA HIV-
1 dan test untuk komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus
(antigen p24)). 2

Kultur HIV

22
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi
dalam plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus
terdeteksi dengan menguji cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari
untuk aktivitas reverse transcriptase virus atau untuk antigen spesifik
virus. 2

NAAT HIV-1 (Nucleic Acid Amplification Test)


Menemukan RNA virus atau DNA proviral yang banyak dilakukan
untuk diagnosis pada anak usia kurang dari 18 bulan. Karena asam nuklet
virus mungkin berada dalam jumlah yang sangat banyak dalam sampel.
Pengujian RNA dan DNA virus dengan amplifikasi PCR, menggunakan
metode enzimatik untuk mengamplifikasi RNA HIV-1. Level RNA HIV
merupakan petanda prediktif penting dari progresi penyakit dan menjadi
alat bantu yang bernilai untuk memantau efektivitas terapi antivirus. 2

Uji Antigen p24

Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibodi p24
atau dalam keadaan bebas dalam aliran darah individu yang terinfeksi
HIV-1. Pada umumnya uji antigen p24 jarang digunakan dibanding
teknik amplifikasi RNA atau DNA HIV karena kurang sensitif.
Sensitivitas pengujian meningkat dengan peningkatan teknik yang
digunakan untuk memisahkan antigen p24 dari antibodi anti-p24. 2

2.12 Infeksi Oportunistik

Penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien HIV tahap


lanjut adalah infeksi oportunistik, yaitu infeksi berat yang diinduksi oleh
agen-agen yang jarang menyebabkan penyakit serius pada individu dengan
kemampuan imun baik.

Oleh karena itu pengobatan ditujukan untuk mengatasi beberapa agen


patogen oportunistik sehingga memungkinkan pasien AIDS bertahan hidup

23
lebih lama. Infeksi oportunistik yang paling sering terjadi pada pasien AIDS
meliputi infeksi dari: 1,2,5

1. Protozoa  Spesies Toxoplasma gondii, Isospora belli.


2. Jamur  Candida albicans, Cyyptococcus neoforman, Coccidioides
immitis, Histoplasma capsulatum, Pneumonitis carinii.
3. Bakteri  Mycobacterium avium-intraseluler, Mycobacterium
tuberculosis, Lysteria monocytogen, Nocardia asteroids, spesies
salmonella, spesies streptokokus.
4. Virus  Cytomegalovirus, virus herves simpleks, virus varicella-
zoster, adenovirus, virus hepatitias.

2.13 Penatalaksanaan Pada HIV

Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu: 1

1. Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat


antoiretroviral (ARV),
2. Pengobatan untuk mangatasi berbagai penyakit infksi dan kanker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,
toksoplasma, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks,
3. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang
lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan
psikososial dan dukungasn agama serta juga tidur yang cukup dan
perlu menjaga kebersihan.

2.13.1 Obat Antiretroviral (ARV)

Antiretroviral (ARV) adalah obat yang menghambat replikasi


Human Immunodeficiency Virus (HIV). Pengobatan infeksi HIV dengan
antiretroviral digunakan untuk memelihara fungsi kekebalan tubuh
mendekati keadaan normal, mencegah perkembangan penyakit,
memperpanjang harapan hidup dan memelihara kualitas hidup dengan cara

24
menghambat replikasi virus HIV. Karena replikasi aktif HIV
menyebabkan kerusakan progresif sistem imun, menyebabkan
berkembangnya infeksi oportunistik, keganasan (malignasi), penyakit
neurologi, penurunan berat badan yang akhirnya mendorong ke arah
kematian. 1,2,9

Terdapat lebih dari 20 obat antiretroviral yang digolongkan dalam


6 golongan berdasarkan mekanisme kerjanya, terdiri dari:2,9

1) Nucleoside/ nucleotide reverse transcriptase inhibitors (NRTI)


NRTIs bekerja dengan cara menghambat kompetitif reverse
transcriptase HIV-1 dan dapat bergabung dengan rantai DNA virus
yang sedang aktif dan menyebabkan terminasi. Obat golongan ini
memerlukan aktivasi intrasitoplasma, difosforilasi oleh enzim menjadi
bentuk trifosfat. Golongan ini terdiri dari: Analog deoksitimidin
(Zidovudin), analog timidin (Stavudin), analog deoksiadenosin
(Didanosin), analog adenosisn (Tenovir disoproxil fumarat/TDF),
analog sitosin (Lamivudin dan Zalcitabin) dan analog guanosin
(Abacavir)

2) Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs)


NNRTIs bekerja dengan cara membentuk ikatan langsung
pada situs aktif enzim reverse transcriptase yang menyebabkan
aktivitas polimerase DNA terhambat. Golongan ini tidak bersaing
dengan trifosfat nukleosida dan tidak memerlukan fosforilasi untuk
menjadi aktif. Golongan ini terdiri dari: Nevirapin, Efavirenz,
Delavirdin.

3) Protease inhibitors (PIs)


Selama tahap akhir siklus pertumbuhan HIV, produk-produk gen Gag-
Pol dan Gag ditranslasikan menjadi poliprotein dan kemudian menjadi
partikel yang belum matang. Protease bertanggung jawab pada pembelahan

25
molekul sebelumnya untuk menghasilkan protein bentuk akhir dari inti virion
matang dan protease penting untuk produksi virion infeksius matang selama
replikasi. Obat golongan ini menghambat kerja enzim protease sehingga
mencegah pembentukan virion baru yang infeksius. Golongan ini terdiri dari:
Saquinavir, Ritonavir, Nelfinavir, Amprenavir.

4) Fusion inhibitors (FIs)


FIs menghambat masuknya virus ke dalam sel, dengan cara berikatan
dengan subunit gp 41 selubung glikoprotein virus sehingga fusi virus ke sel
target dihambat. Obat golongan ini terdiri dari: Enfuvirtide (T-20 atau
pentafuside).

5) Antagonists CCR5
Bekerja dengan cara mengikat CCR5 (reseptor kemokin 5) di
permukaan sel CD4+ dan mencegah perlekatan virus HIV dengan sel pejamu.
Golongan ini terdiri dari: Maraviroc, Aplaviroc, Vicrivirox.

6) Integrase strand transfer inhibitors (INSTI)


Bekerja dengan cara menghambat penggabungan sirkular DNA (cDNA)
virus dengan DNA sel inang (hospes). Golongan ini terdiri dari: Raltegravir
dan elvitegravir. Terapi tunggal ARV menyebabkan kemunculan cepat mutan
HIV yang resisten terhadap obat. Kombinasi obat antiretroviral merupakan
strategi yang menjanjikan secara klinik, ditunjuk sebagai terapi antiretroviral
yang sangat aktif (HAART). Kombinasi ini mempunyai target multi langkah
pada reflikasi virus sehingga memperlambat seleksi mutan HIV. Tetapi
HAART tidak dapat menyembuhkan infeksi HIV, karena virus menetap pada
reservoir yang berumur panjang pada sel-sel yang terinfeksi, termasuk sel T
CD4+ memori, sehingga ketika HAART dihentikan atau terdapat kegagalan
terapi , produksi virus kembali meningkat.

Tabel 2.3 Obat ARV yang beredar di Indonesia1

26
Nama Nama
Golongan Sediaan Dosis (per hari)
Dagang Generik

Duviral Tablet, kandungan: 2 x 1 tablet


zidovudin 300 mg,
lamivudin 150 mg
Stavir Stavudin NsRTI Kapsul: 30 mg, 40 > 60 Kg: 2 x 40 mg
Zerit (d4T) mg < 60 Kg: 2 x 30 mg
Hiviral Lamivudi NsRTI Tablet 150 mg Lar. 2 x 150 mg
3TC n (3TC) Oral 10 mg/ml < 50 Kg: 2 mg/Kg,
2x/hari
Viramune Nevirapin NNRTI Tablet 200 mg 1 x 200 mg selama
Neviral (NVP) 14 hari, dilanjutkan
2 x 200 mg
Retrovir Zidovudin NsRTI Kapsul 100 mg 2 x 300 mg, atau 2 x
Adovi (ZDV, 250 mg (dosis
AZT) alternatif)
Avirzid Didanosin NsRTI Tablet kunyah: 100 > 60 Kg: 2 x 200
Videx (ddI) mg mg, atau 1 x 400 mg
< 60 Kg: 2 x 125
mg, atau 1 x 250 mg
Stocrin Efavirenz NNRTI Kapsul 200 mg 1 x 600 mg, malam
(EFV,
EFZ)
Nelvex Nelfinavir PI Tablet 250 mg 2 x 1250 mg
Viracept (NFV)
NsRTI = nucleoside reverse transcriptase inhibitor,
NNRTI = non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor,
PI = protease inhibitor

Tabel 2.4 Kombinasi Obat ARV untuk terapi inisial 1

Kolom A Kolom B
Lamivudin + zidovudin Evafirenz

27
Lamivudin + didanosin
Lamivudin + stavudin
Lamivudin + zidovudin Nevirapin
Lamivudin + stavudin
Lamivudin + didanosin
Lamivudin + zidovudin Nelvinafir
Lamivudin + stavudin
Lamivudin + didanosin
* Tidak dianjurkan pada wanita hamil trimester pertama atau wanita yang
berpotensi tinggi untuk hamil
Catatan: kombinasi yang sama sekali tidak boleh adalah: zidovudin +
stavudin.

2.13.2 Tujuan pengobatan Antiretroviral

Berdasarkan pedoman nasional tahun 2004, tujuan pengobatan dengan


Antiretroviral adalah: 1,2

1) Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat


2) Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan
HIV
3) Memperbaiki kualitas hidup ODHA
4) Memulihkan dan / atau memelihara fungsi kekebalan tubuh
5) Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus

2.13.3 Indikasi memulai terapi Antiretroviral

Prosedur memulai ARV sesuai dengan Pedoman Nasional tahun 2007,


dimana tes HIV ditawarkan pada pasien yang mengingikannya setelah
mendapatkan konseling pra tes pada unit layanan konseling dan pemeriksaan
sukarela (Voluntary Counseling and Testing/ VCT) untuk menemukan kasus

28
yang memerlukan pengobatan dan layanan konseling tindak lanjut untuk
memberikan dukungan psikososial. Indikasi lain untuk ditawarkan tes HIV
adalah adanya infeksi menular seksual, hamil, tuberculosis (TB) aktif, gejala
dan tanda lain yang mengarah pada infeksi HIV serta pasien yang beresiko
tinggi tertular HIV. 1,2,9

Keputusan untuk memulai terapi ARV pada OHDA dewasa dan remaja
didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis. Namun pada keadaan
tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu keputusan memulai terapi
ARV, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus memulai terapi ARV.
Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu pengobatan
diredakan sebelum terapi ARV. Saat yang paling tepat untuk memulai terapi
ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama.
Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi ARV dimulai pada saat
CD4+ < 200 sel/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4+ di atas
jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4+ maka terapi ARV sebaiknya
dimulai sebelum CD4+ kurang dari 200 sel/mm3. Terapi ARV dianjurkan pada
pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat dan CD4+ < 350 sel/mm3.
Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan CD4+ < 350 sel/mm3.1,2,9

Keterangan:

CD4+ dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya


terapi. Contoh, TB paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4+ berapapun
dan kondisi lain yang menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV
(misalnya, diare kronis, demam berkepanjangan). Nilai yang tepat dari CD4+
di atas 200 sel/mm3 dimana terapi ARV harus dimulai belum dapat ditentukan.

Jumlah limfosit total ≤ 1200 sel/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti


bila pemeriksaan CD4+ tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang
berkaitan dengan HIV (stadium II atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan
pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4+, ODHA

29
asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada
petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumberdaya terbatas. 1,2,9

WHO tahun 2009 merekomendasikan untuk memulai terapi ARV: 1,2,9

1) Mulai pengobatan ARV pada semua pasien dengan HIV yang mempunyai
jumlah CD4+ ≤ 350 sel/mm3tanpa memandang gejala klinik.
2) Tes CD4+ diharuskan untuk mengetahui jika pasien dengan stadium klinik
1 dan 2 perlu memulai terapi ARV.
3) Mulai pengobatan ARV pada semua pasien HIV dengan stadium klinik 3
dan 4 tanpa memandang jumlah CD4+.

Pada pasien dengan infeksi opotrunistik aktif, jangan memulai terapi


ARV bila masih terdapat IO yang aktif. Pada dasarnya IO harus diobati atau
diredakan dulu, kecuali Mycobacterium Avium Complex (MAC), dimana terapi
ARV merupakan pilihan yang lebih baik, terutama apabila terapi spesifik untuk
MAC tidak tersedia. Keadaan lain yang mungkin akan membaik ketika dimulai
terapi ARV adalah kandidosis dan riptosporidosis.1,2,9

Persyaratan lain sebelum memulai terapi ARV: 2,9

1) Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang


dengan konseling kepatuhan yang telah baku, sehingga pasien paham
benar akan manfaat, cara penggunaan, efek samping obat, tanda-tanda
bahaya dan lain sebagainya yang terkait dengan terapi ARV.
2) Pasien yang akan mendapat terapi ARV harus memiliki pengawas minum
obat (PMO), yaitu orang dekat pasien yang akan mengawasi kepatuhan
minum obat.
3) Pasien yang mendapat terapi ARV harus menjalani pemeriksaan untuk
pemantauan klinis dengan teratur.

30
2.13.4 Kepatuhan terapi antiretroviral

Alasan utama terjadinya kegagalan terapi ARV adalah ketidakpatuhan


atau adherence (kepatuhan) yang buruk. Kepatuhan harus selalu dipantau dan
dievaluasi secara teratur serta didorong pada setiap kunjungan pasien.
Kepatuhan pada pengobatan antiretroviral sangat kuat hubungannya dengan
supresi virus HIV, menurunkan resistensi, meningkatkan harapan hidup dan
memperbaiki kualitas hidup. Karena pengobatan HIV merupakan pengobatan
seumur hidup, dan karena banyak pasien yang memulai terapi dalam kondisi
kesehatan yang baik dan tidak meunjukkan tanda penyakit HIV, maka
kepatuhan menjadi tantangan khusus dan membutuhkan komitmen dari pasien
dan tim yang merawatnya. 1,2,9

Kepatuhan berhubungan dengan karakteristik pasien, aturan dan


dukungan kuat dari keluarga pasien. Informasi harus diberikan dan pasien
mengerti mengenai penyakit HIV dan aturan khusus untuk menggunakan obat
adalah sangat penting. Beberapa faktor yang berhubungan dengan kurangnya
kepatuhan, meliputi: 2,9

1) Tingkat pendidikan yang rendah


2) Umur (seperti : kurang penglihatan, lupa)
3) Kondisi psikis (seperti : depresi, kurang dukungan sosial, dimensia,
psikosis)
4) Ketergantungan obat aktif
5) Kesulitan menerima pengobatan (seperti : sulit menelan obat, jadwal
minum obat harian)
6) Aturan pakai yang rumit (seperti : frekwensi pemberian obat, persyaratan
makanan)
7) Efek obat yang tidak diinginkan
8) Pengobatan melelahkan.

31
2.13.5 Evaluasi terapi Antiretroviral

Setelah pengobatan dengan ARV dimulai, diperlukan pemantauan


klinis dan laboratorium, meliputi: 1,2,9

1) Penilaian tanda/gejala toksisitas obat yang potensial


2) Konseling dan penilaian kepatuhan penilaian respon terapi dan tanda-
tanda kegagalan pengobatan
3) Pengukuran berat badan
4) Pengujian CD4+ paling sedikit setiap 6 bulan
5) Pemantauan Hb bagi pasien yang menggunakan AZT
Pemantauan dilakukan 2,4,8,12 dan 24 minggu setelah pengobatan
dimulai dan kemudian setiap enam bulan sekali untuk pasien yang telah
stabil pada terapi.

2.13.6 Indikasi kegagalan terapi Antiretroviral

Kegagalan terapi dapat didefinisikan secara klinis dengan menilai


perkembangan penyakit, secara imunologis dengan penghitungan CD4+ dan
/atau secara virologis dengan mengukur viral load. 2,9

1) Kegagalan klinis:
Munculnya IO pada stadium 4 setelah setidaknya 6 bulan dalam terapi
ARV, kecuali TB, kandidosis esofageal, dan infeksi bakterial berat yang
tidak selalu diakibatkan oleh kegagalan terapi. Telaah respon dari terapi
terlebih dahulu, bila responnya baik maka jangan diubah dulu.

2) Kegagalan Virologis:
Viral load > 10 000 / ml setelah 6 bulan menjalani terapi ARV. Kegagalan
terapai ARV tidak dapat didiagnosis berdasarkan kriteria klinis semata
dalam 6 bulan pertama pengobatan. Viral load masih merupakan indikator
yang paling sensitif dalam menentukan adanya kegagalan terapi.

32
Gejala klinis yang muncul dalam waktu 6 bulan terapi sering kali
menunjukkan adanya IRIS (Immune reconstitution inflammatory
syndrome) dan bukan kegagalan terapi ARV.

3) Kegagalan Imunologis:
Setelah satu tahun terapi CD4+ kembali atau lebih rendah dari pada awal
terapi ARV. Penurunan CD4+ sebesar 50% dari nilai tertinggi yang pernah
dicapai selama terapi ART (bila diketahui).

2.13.7 Indikasi Penggantian Antiretroviral

Efek samping obat dan kegagalan pengobatan merupakan dua alasan


utama kemungkinan kombinasi ARV diubah. 2,9

1) Efek samping
Kadang-kadang efek samping obat dapat begitu kuat, tidak dapat
ditoleransi atau bahkan mengancam jiwa dimana pengobatan harus diubah.
Dalam kasus seperti ini biasanya aman untuk mengubah hanya obat yang
menyebabkan efek samping.

2) Kegagalan pengobatan
Perubahan pengobatan diperlukan ketika ARV gagal untuk memperlambat
replikasi virus dalam tubuh. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat dari
resistensi obat, kepatuhan kurang, penyerapan obat kurang, kombinasi obat
lemah, peningkatan viral load HIV atau timbulnya penyakit terkait tanda-
tanda kegagalan ART. CD4+ juga dapat digunakan untuk menentukan
apakah perlu mengubah terapi atau tidak. Sebagai contoh, munculnya
penyakit baru yang termasuk dalam stadium 3, di mana dipertimbangkan
untuk mengubah terapi, tetapi bila CD4+ >200 sel/mm3 tidak dianjurkan
untuk mengubah terapi. Kadar viral load yang optimal sebagai batasan
untuk mengubah paduan ARV belum dapat ditentukan dengan pasti.

33
Namun viral load > 5000-10.000 turunan/ml diketahui berhubungan
dengan perubahan klinis yang nyata atau turunnya jumlah CD4+.2,9

BAB III

KESIMPULAN

 AIDS  sebagai kumpulan gejala atau panyakit yang disebabkan oleh


menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi olah virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus).
 Klasifikasi HIV  Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan
kelompok virus RNA. Terdapat dua tipe yang berbeda dari virus AIDS
manusia, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Berdasarkan pada deretan gen env,

34
HIV-1 meliputi tiga kelompok virus yang berbeda yaitu M (main), N (New
atau non-M, non-O) dan O (Outlier). Kelompok M yang dominan terdiri
dari 11 subtipe atau clades (A-K). Telah teridentifikasi 6 subtipe HIV-2
yaitu sub tipe A-F.
 Penularan HIV  HIV ditularkan selama kontak seksual (termasuk seks
genital-oral), melalui paparan parenteral (pada transfusi darah yang
terkontaminasi dan pemakaian bersama jarum suntik / injecting drugs use
(IDU)), dan dari ibu kepada bayinya selama masa perinatal. Seseorang
yang positif- HIV asimtomatis dapat menularkan virus, adanya penyakit
seksual lainnya seperti sifilis dan gonorhoe meningkatkan resiko penularan
seksual HIV sebanyak seratus kali lebih besar, karena peradangan
membantu pemindahan HIV menembus barier mukosa.
 Gejala Klinis pada HIV  Gejala infeksi akut HIV tidak spesifik:
kelelahan, ruam kulit, nyeri kepala, mual, dan berkeringat di malam hari.
Gejala yang lebih serius didahului oleh gejala prodormal (diare dan
penurunan berat badan) meliputi kelelahan, malaise, demam, napas
pendek, diare kronis, bercak putih pada lidah (kandidiasis oral) dan
limfadenopati.
 WHO menetapkan empat stadium klinik: Stadium Klinis 1: Asimptomatik
(Total CD4+ = > 500/ml), Stadium Klinis 2: Sakit ringan (Total CD4+ =
200 - 499/ml), Stadium Klinis 3: Sakit sedang, Stadium Klinis 4: Sakit
berat (Total CD4+ = < 200/ml)
 Diagnosis pada HIV  dengan Metode pemeriksaan klinis, dan
Pemeriksaan laboratorium, Seseorang terinfeksi HIV (+) à pem lab
terbukti terinfeksi HIV, baik dengan metode pem antibodi atau pem untuk
mendeteksi adanya virus dalam tubuh. Diagnosis AIDS à infeksi
oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3.
 Penatalaksanaan  Menekan replikasi virus HIV dengan obat
antiretroviral (ARV), Mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker
yang menyertai infeksi HIV/AIDS, Pengobatan suportif, yaitu makanan
yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan dukungan psikososial dan
dukungan agama.

35
 Obat Antiretroviral (ARV)  obat yang menghambat replikasi Human
Immunodeficiency Virus (HIV). 6 golongan obat antiretroviral yaitu
Nucleoside/ nucleotide reverse transcriptase inhibitors (NRTI), Non-
nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs), Protease inhibitors
(PIs), Fusion inhibitors (FIs), Antagonists CCR5, Integrase strand transfer
inhibitors (INSTI).
 Tujuan pengobatan  Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat
Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan
HIV, Memperbaiki kualitas hidup ODHA, Memulihkan dan / atau
memelihara fungsi kekebalan tubuh, Menekan replikasi virus secara
maksimal dan secara terus menerus.

36

Anda mungkin juga menyukai