Definisi HIV/AIDS
AIDS (Acquired Immunodeficiency Sindrom/ Sindrom imunodefisiensi didapat), adalah
stadium akhir pada serangkaian abnormalitas imunologis dan klinis yang yang dikenal sebagai
spektrum infeksi HIV. HIV yang dulu disebut sebagai HTLV-III (Human T cell Lymphotropic
Virus III) atau LAV (Lymphadenophaty Virus) adalah virus sitopatik dari famili retrovirus (Price,
1992).
B. Struktur HIV
Virion HIV berbentuk sferis dan memiliki inti berbentuk kerucut, dikelilingi oleh
selubung lipid yang berasal dari membran sel hospes. Inti virus mengandung protein kapsid
terbesar yaitu p24, protein nukleokapsid p7/p9, dua kopi RNA genom, dan tiga enzim virus yaitu
protease, reverse transcriptase dan integrase. Protein p24 adalah antigen virus yang cepat
terdeteksi dan merupakan target antibodi dalam tes screening HIV. Inti virus dikelilingi oleh
matriks protein dinamakan p17, yang merupakan lapisan di bawah selubung lipid. Sedangkan
selubung lipid virus mengandung dua glikoprotein yang sangat penting dalam proses infeksi HIV
dalam sel yaitu gp120 dan gp41. Genom virus yang berisi gengag, pol, dan env yang akan
mengkode protein virus. Hasil translasi berupa protein prekursor yang besar dan harus dipotong
oleh protease menjadi protein mature ( Jawet, 2001).
C. Klasifikasi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan kelompok virus RNA :
Famili : Retroviridae
Sub famili : Lentivirinae
Genus : Lentivirus
Spesies : Human Immunodeficiency Virus 1 (HIV-1)
Human Immunodeficiency Virus 2 (HIV-2)
HIV menunjukkan banyak gambaran khas fisikokimia dari familinya. Terdapat dua tipe
yang berbeda dari virus AIDS manusia, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe dibedakan
berdasarkan susunan genom dan hubungan filogenetik (evolusioner) dengan lentivirus primata
lainnya. Berdasarkan pada deretan gen env, HIV-1 meliputi tiga kelompok virus yang berbeda
yaitu M (main), N (New atau non-M, non-O) dan O (Outlier). Kelompok M yang dominan terdiri
dari 11 subtipe atau clades (A-K). Telah teridentifikasi 6 subtipe HIV-2 yaitu sub tipe A-F
(Jawetz, 2001).
D. Siklus HIV
Virus memasuki tubuh terutama menginfeksi sel yang mempunyai molekul protein CD4.
Kelompok sel terbesar yang mempunyai molekul CD4 adalah limfosit T. Sel target lain adalah
monosit, makrofag, sel dendrite, sellangerhans dan sel microglia (Price, 1992). Ketika HIV
masuk tubuh, glycoprotein (gp 120) terluar pada virus melekatkan diri pada reseptor CD4
(cluster of differentiation 4), protein pada limfosit T-helper, monosit, makrofag, sel dendritik
dan mikroglia otak. Glikoprotein terdiri dari dua sub-unit gp120 dan gp41. Sub unit 120
mempunyai afinitas tinggi terhadap reseptor CD4 dan bertanggung jawab untuk ikatan awal virus
pada sel. Perlekatan ini menginduksi perubahan konformasi yang memicu perlekatan kedua pada
koreseptor. Dua reseptor kemokin utama yang digunakan oleh HIV adalah CCR5 dan CXCR4.
Ikatan dengan kemoreseptor ini menginduksi perubahan konformasi pada sub unit
glikoprotein 41 (gp41) yang mendorong masuknya sekuens peptida gp41 ke dalam membran
target yang memfasilitasi fusi virus. Setelah terjadinya fusi, virus tidak berselubung
mempersiapkan untuk mengadakan replikasi. Material genetik virus adalah RNA single stand-
sense positif (ssRNA), virus harus mentranskripsi RNA ini dalam DNA secara optimal pada
replikasi sel manusia (transkripsi normal terjadi dari DNA ke RNA, HIV bekerja mundur
sehingga diberi nama retrovirus). Untuk melakukannya HIV dilengkapi dengan enzim unik
RNA-dependent DNA polymerase (reverse transcriptase). Reverse transcriptase pertama
membentuk rantai DNA komplementer, menggunakan RNA virus sebagai templet. Hasil sintesa
lengkap molekul double-strand DNA (dsDNA) dipindahkan ke dalam inti dan berintegrasi ke
dalam kromoson sel tuan rumah oleh enzim integrase. Integrasi ini menimbulkan beberapa
masalah, pertama HIV dapat menyebabkan infeksi kronik dan persisten, umumnya dalam sel
sistem imun yang berumur panjang seperti Tlimfosit memori. Kedua, pengintegrasian acak
menyebabkan kesulitan target. Selanjutnya integrasi acak pada HIV ini menyebabkan kelainan
seluler dan mempengaruhi apoptosis. Gabungan DNA virus dan DNA sel inang akan mengalami
replikasi, transkripsi dan translasi. DNA polimerase mencatat dan mengintegrasi provirus DNA
ke mRNA, dan mentranslasikan pada mRNA sehingga terjadi pembentukan protein virus.
Pertama, transkripsi dan translasi dilakukan dalam tingkat rendah menghasilkan berbagai
protein virus seperti Tat, Nef dan Rev. Protein Tat sangat berperan untuk ekspresi gen HIV,
mengikat pada bagian DNA spesifik yang memulai dan menstabilkan perpanjangan transkripsi.
Belum ada fungsi yang jelas dari protein Nef. Protein Rev mengatur aktivitas post transkripsional
dan sangat dibutuhkan untuk reflikasi HIV. Perakitan partikel virion baru dimulai dengan
penyatuan protein HIV dalam sel inang. Nukleokapsid yang sudah terbentuk oleh ssRNA virus
disusun dalam satu kompleks. Kompleks nukleoprotein ini kemudian dibungkus dengan 1
membran pembungkus dan dilepaskan dari sel pejamu melalui proses ”budding” dari membran
plasma. Kecepatan produksi virus dapat sangat tinggi dan menyebabkan kematian sel inang
(Dipiro, 2005).
E. Patogenesis
Perjalanan khas infeksi HIV yang tidak diobati, berjangka waktu sekitar satu dekade.
Tahap-tahapnya meliputi infeksi primer, penyebaran virus ke organ limfoid, latensi klinis,
peningkatan ekspresi HIV, penyakit klinis dan kematian. Durasi antara infeksi primer dan
progresi menjadi penyakit klinis rata-rata sekitar 10 tahun. Pada kasus yang tidak diobati,
kematian biasanya terjadi dalam 2 tahun setelah onset gejala. Setelah infeksi primer, selama 4-11
hari masa antara infeksi mukosa dan viremia permulaan, viremia dapat terdeteksi selama sekitar
8-12 minggu. Virus tersebar luas ke seluruh tubuh selama masa ini, dan menjangkiti organ
limfoid. Pada tahap ini terjadi penurunan jumlah sel –T CD4 yang beredar secara signifikan.
Respon imun terhadap HIV terjadi selama 1 minggu sampai 3 bulan setelah terinfeksi, viremia
plasma menurun dan level sel CD4 kembali meningkat. Tetapi respon imun tidak mampu
menyingkirkan infeksi secara sempurna, dan selsel yang terinfeksi HIV menetap dalam limfoid.
Masa laten klinis ini dapat berlangsung sampai 10 tahun, selama masa ini banyak terjadi
replikasi virus. Siklus hidup virus dari saat infeksi sel ke saat produksi keturunan baru yang
menginfeksi sel berikutnya rata-rata 2,6 hari. Limfosit T -CD4, merupakan target utama yang
bertanggung jawab memproduksi virus. Pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan
gejala klinis yang nyata, seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang lebih
tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV yang ditemukan
pada pasien dengan penyakit tahap lanjut, biasanya jauh lebih virulen dan sitopatik dari pada
strain virus yang ditemukan pada awal infeksi (Jawetz, 2001).
F. Penularan
HIV ditularkan selama kontak seksual (termasuk seks genital-oral), melalui paparan
parenteral (pada transfusi darah yang terkontaminasi dan pemakaian bersama jarum suntik /
injecting drugs use (IDU)) dan dari ibu kepada bayinya selama masa perinatal. Seseorang yang
positif- HIV asimtomatis dapat menularkan virus, adanya penyakit seksual lainnya seperti sifilis
dan gonorhoe meningkatkan resiko penularan seksual HIV sebanyak seratus kali lebih besar,
karena peradangan membantu pemindahan HIV menembus barier mukosa. Sejak pertama kali
HIV ditemukan, aktivitas homoseksual telah dikenal sebagai faktor resiko utama tertularnya
penyakit ini. Resiko bertambah dengan bertambahnya jumlah pertemual seksual dengan
pasangan yang berbeda. Transfusi darah atau produk darah yang terinfeksi merupakan cara
penularan yang paling efektif. Pengguna obat-obat terlarang dengan seringkali terinfeksi melalui
pemakaian jarum suntik yang terkontaminasi. Paramedis dapat terinfeksi HIV oleh goresan
jarum yang terkontaminasi darah, tetapi jumlah infeksi relatif lebih sedikit.
Angka penularan ibu ke anaknya bervariasi dari 13 % sampai 48% pada wanita yang
tidak diobati. Bayi bisa terinfeksi di dalam rahim, selama proses persalinan atau yang lebih
sering melalui air susu ibu (ASI). Tanpa penularan melalui ASI, sekitar 30% dari infeksi terjadi
di dalam rahim dan 70% saat kelahiran. Data menunjukkan bahwa sepertiga sampai separuh
infeksi HIV perinatal di Afrika disebabkan oleh ASI. Penularan selama menyusui biasanya
terjadi pada 6 bulan pertama setelah kelahiran (Jawetz, 2001).
G. Gejala Klinis
Gejala-gejala dari infeksi akut HIV tidak spesifik, meliputi kelelahan, ruam kulit, nyeri
kepala, mual dan berkeringat di malam hari. AIDS ditandai dengan supresi yang nyata pada
sitem imun dan perkembangan infeksi oportunistik berat yang sangat bervariasi atau neoplasma
yang tidak umum (terutama sarcoma Kaposi).
Gejala yang lebih serius pada orang dewasa seringkali didahului oleh gejala prodormal
(diare dan penurunan berat badan) meliputi kelelahan, malaise, demam, napas pendek, diare
kronis, bercak putih pada lidah (kandidiasis oral) dan limfadenopati. Gejala-gejala penyakit pada
saluran pencernaan , dari esophagus sampai kolon merupakan penyebab utama kelemahan.
Tanpa pengobatan interval antara infeksi primer oleh HIV dan timbulnya penyakit klinis pertama
kali pada orang dewasa biasanya panjang, rata-rata sekitar 10 tahun (Jawet, 2005). WHO
menetapkan empat stadium klinik pada pasien yang terinfeksi HIV/AIDS, sebagai berikut :
Tabel 2.1. Stadium klinik HIV
Stadium 1 Asimtomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
Penurunan berat badan 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka disekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo-PPE (Pruritic popular eruption))
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%
Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/ Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (HB < 8 g%), netropenia (< 5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis, pnemoni bacterial yang berat berulang
Herpes simpleks ulseratif lebih dari satu bulan
Kandidosis esophageal
TB Extraparu
Sarcoma Kaposi
Retinitis CMV (Cytomegalovirus)
Abses otak Toksoplasmosis
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Lekoensefalopati multifocal progresif (PML)
Peniciliosis, kriptosporidosis kronis, isosporiasis kronis, mikosis
meluas, histoplasmosis ekstra paru, cocidiodomikosis)
Limfoma serebral atau B-cell, non-Hodgkin (gangguan fungsi neurologis dan tidak
sebab lain seringkali membaik dengan terapi ARV)
Kanker serviks invasive
Leismaniasis atipik meluas
Gejala neuropati atau kardiomiopati terkait HIV
[Sumber : WHO, 2008]
H. Diagnosis
Diagnosis pada infeksi HIV dilakukan dengan dua metode yaitu metode pemeriksaan
klinis dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium meliputi uji imunologi dan uji
virologi.
Tabel 2.2. Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV
eadaan Umum
Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar
Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral > 37,50 C) lebih dari satu
bulan
Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan
Limfadenofati meluas
Kulit
PPE* dan kulit kering yang luas merupakan dugaan kuat infeksi HIV.
Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis sering
terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV
Infeksi
Infeksi jamur Kandidosis oral*
Dermatitis seboroik
Kandidosis vagina kambuhan
Infeksi viral Herpes zoster (berulang/melibatkan lebih dari satu
dermatom)*
Herpes genital (kambuhan)
Moluskum kontagiosum
Kondiloma
Gangguan Pernafasan Batuk lebih dari satu bulan
Sesak nafas
TB
Pnemoni kambuhan
Sinusitis kronis atau berulang
Gejala Neurologis Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan tidak
jelas penyebabnya)
Kejang demam
Menurunnya fungsi kognitif
Keadaan tersebut merupakan dugaan kuat terhadap infeksi HIV
[Sumber : Dep Kes, 2007
b). Diagnosis Laboratorium
Metode pemeriksaan laboratorium dasar untuk diagnosis infeksi HIV dibagi dalam dua
kelompok yaitu :
Rapid test
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibody terhadap HIV-1.
Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel, imunodot (dipstik), imunofiltrasi atau
imunokromatografi. ELISA tidak dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil rapid tes dan
semua hasil rapid tes reaktif harus dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA.
Western blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid tes sebagai
hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot menemukan keberadaan antibodi yang melawan
protein HIV-1 spesifik (struktural dan enzimatik). Western blot dilakukan hanya sebagai
konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA atau rapid tes). Hasil negative Western blot
menunjukkan bahwa hasil positif ELISA atau rapid tes dinyatakan sebagai hasil positif palsu dan
pasien tidak mempunyai antibodi HIV-1. Hasil Western blot positif menunjukkan keberadaan
antibodi HIV-1 pada individu dengan usia lebih dari 18 bulan.
Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam plasma dan sel
darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan menguji cairan supernatan
biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas reverse transcriptase virus atau untuk antigen spesifik
virus.
I. Infeksi Oportunistik
Penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien HIV tahap lanjut adalah infeksi
oportunistik, yaitu infeksi berat yang diinduksi oleh agen-agen yang jarang menyebabkan
penyakit serius pada individu dengan kemampuan imun baik. Oleh karena itu pengobatan
ditujukan untuk mengatasi beberapa agen patogen oportunistik sehingga memungkinkan pasien
AIDS bertahan hidup lebih lama. Infeksi oportunistik yang paling sering terjadi pada pasien
AIDS meliputi infeksi dari:
(1).Protozoa- spesies Toxoplasma gondii, Isospora belli
(2).Jamur – Candida albicans, Cyyptococcus neoforman, Coccidioides immitis,
Histoplasma capsulatum, Pneumonitis carinii
(3). Bakteri – Mycobacterium avium-intraseluler, Mycobacterium tuberculosis, Lysteria
monocytogen, Nocardia asteroids, spesies salmonella, spesies streptokokus
(4).Virus- Cytomegalovirus, virus herves simpleks, virus varicella-zoster, adenovirus,
virus hepatitias (Jawetz, 2001).
Perbedaanya dengan pertahanan tubuh non spesifik adalah pertahanan tubuh spesifik
harus kontak atau ditimbulkan terlebih dahulu oleh antigen tertentu, baru ia akan terbentuk.
Sedangkan pertahanan tubuh non spesifik sudah ada sebelum ia kontak dengan antigen
(Judarwanto, 2009). Bila respon imum non spesifik tidak dapat mengatasi invasi mikroorganisme
maka imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan (respon imun) spesifik adalah
mekanisme pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen
sistem imun lainnya seperti sel makrofag. Dilihat dari caranya diperoleh maka mekanisme
pertahanan spesifik disebut juga respons imun didapat (adaptive immunity) (Albert, 2002).
Satu sampai tiga minggu pasca infeksi, ditemukan respon imun spesifik HIV berupa
antibodi terhadap protein gp 120 dan p24, juga ditemukan sel T sitotoksik HIV yang spesifik.
Dengan adanya respon imun yang adaptif tersebut, viremia menurun dan tidak disertai gejala
klinis. Hal ini berlangsung 2-12 tahun, dengan menurunnya jumlah CD4+ akan menunjukkan
gejala klinis. Dalam 3-6 minggu pascainfeksi ditemukan kadar antigen HIV p24 dalam plasma
yang tinggi. Antibodi HIV spesifik dan sel T sitotoksik menurun, sedangkan p24 meningkat.
Perjalanan infeksi HIV ditandai oleh beberapa fase yang berakhir dengan defisiensi imun.
Jumlah sel CD4+ dalam darah mulai menurun di bawah normal 1500 sel/mm3 dan penderita
menjadi rentan terhadap infeksi dan disebut menderita AIDS (Baratawidjaya, 2009).
MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis infeksi HIV dapat disebabkan HIV-nya sendiri (sindrom retroviral akut,
demensia HIV), infeksi ofortunistik, atau kanker yang terkait AIDS. Perjalanan penyakit HIV
dibagi dalam tahap-tahap berdasarkan keadaan klinis dan jumlah CD4.( Arif Mansjoer, 2000 )
Frekuensi gelaja infeksi retroviral akut sekitar 50-90%. Gambaran klinis menunjukkan demam,
pembesaran kelenjar, hepatoplemagali, nyeri tenggorokan, mialgia, rash seperti morbili, ulkus
pada mukokutan, diare, leukopenia, dan limfosit atipik. Sebagian pasien mengalami gangguan
neorologi seperti mrningitis asepik, sindrom Gillain Barre, atau psikosis akut. Sindrom ini
2. Masa asimtomatik
Pada masa ini pasien tidak menunjukkan jegala,tetapi dapat terjadi limfadenopati umum.
Penurunan jumlah CD4 terjadi bertahap, disebut juga masa jendela (window period).
pneumonia bakterial, kandidosis vagina, sariawan, herped zoster, leukoplakia, ITP, dan
Pada masa ini jumlah CD4 dibawah 200. Penurunan daya tahan ini menyebabkan risiko tinggi
F. KOMPLIKASI
Adapun komplikasi kien dengan HIV/AIDS (Arif Mansjoer, 2000 ) antara lain :
2. Tuberculosis (TBC)
3. Esofagitis
4. Diare
5. Toksoplasmositis
7. Sarcoma Kaposi
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostic untuk penderita AIDS (Arif Mansjoer, 2000) adalah
1. Lakukan anamnesi gejala infeksi oportunistik dan kanker yang terkait dengan AIDS.
3. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda infeksi oportunistik dan kanker terkait. Jangan lupa
4. Dalam pemeriksaan penunjang dicari jumlah limfosot total, antibodi HIV, dan pemeriksaan
Rontgen.
Bila hasil pemeriksaan antibodi positif maka dilakukan pemeriksaan jumlah CD 4, protein
Sedangkan pada pemeriksaan follow up diperiksa jumlah CD4. Bila >500 maka
pemeriksaan diulang tiap 6 bulan. Sedangkan bila jumlahnya 200-500 maka diulang tiap 3-6
bulan, dan bila <200 diberikan profilaksi pneumonia pneumocystis carinii. Pemberian profilaksi
Perlu juga dilakukan pemeriksaan viral load untuk mengetahui awal pemberian obat
Bila tidak tersedia peralatan untuk pemeriksaan CD4 (mikroskop fluoresensi atau
flowcytometer) untuk kasus AIDS dapat digunakan rumus CD4 = (1/3 x jumlah limfosit total)-8.
Pemeriksan Laboratorium Penderita HIV AIDS
Sejak dimulainya epidemi HIV, AIDS telah mematikan lebih dari 25 juta orang; lebih dari 14
juta anak kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya akibat AIDS. Setiap tahun diperkirakan
3 juta orang meninggal karena AIDS; 500,000 diantaranya adalah anak di bawah umur 15 tahun.
Setiap tahun pula terjadi infeksi baru pada 5 juta orang terutama di negara terbelakang dan
berkembang; 700,000 diantaranya terjadi pada anak-anak. Dengan angka transmisi sebesar ini
maka dari 37.8 juta orang pengidap infeksi HIV/AIDS pada tahun 2005, terdapat 2.1 juta anak-
anak di bawah 15 tahun.
Sejak tanggal 5 Juni 1981, banyak definisi yang muncul untuk pengawasan epidemiologi AIDS,
seperti definisi Bangui dan definisi World Health Organization tentang AIDS tahun 1994.
Namun demikian, kedua sistem tersebut sebenarnya ditujukan untuk pemantauan epidemi dan
bukan untuk penentuan tahapan klinis pasien, karena definisi yang digunakan tidak sensitif
ataupun spesifik. Di negara-negara berkembang, sistem World Health Organization untuk infeksi
HIV digunakan dengan memakai data klinis dan laboratorium; sementara di negara-negara maju
digunakan sistem klasifikasi Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat. Grafik
hubungan antara jumlah HIV dan jumlah CD4+ pada rata-rata infeksi HIV yang tidak ditangani.
Keadaan penyakit dapat bervariasi tiap orang. jumlah limfosit T CD4+ (sel/mm³)
jumlah RNA HIV per mL plasma
Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai infeksi dan
kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan
HIV-1.bSistem ini diperbarui pada bulan September tahun 2005. Kebanyakan kondisi ini adalah
infeksi oportunistik yang dengan mudah ditangani pada orang sehat.
Terdapat dua definisi tentang AIDS, yang keduanya dikeluarkan oleh Centers for Disease
Control and Prevention (CDC). Awalnya CDC tidak memiliki nama resmi untuk penyakit ini;
sehingga AIDS dirujuk dengan nama penyakit yang berhubungan dengannya, contohnya ialah
limfadenopati. Para penemu HIV bahkan pada mulanya menamai AIDS dengan nama virus
tersebut. CDC mulai menggunakan kata AIDS pada bulan September tahun 1982, dan
mendefinisikan penyakit ini.bTahun 1993, CDC memperluas definisi AIDS mereka dengan
memasukkan semua orang yang jumlah sel T CD4+ di bawah 200 per µL darah atau 14% dari
seluruh limfositnya sebagai pengidap positif HIV. Mayoritas kasus AIDS di negara maju
menggunakan kedua definisi tersebut, baik definisi CDC terakhir maupun pra-1993. Diagnosis
terhadap AIDS tetap dipertahankan, walaupun jumlah sel T CD4+ meningkat di atas 200 per µL
darah setelah perawatan ataupun penyakit-penyakit tanda AIDS yang ada telah sembuh.
Tes HIV
Banyak orang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi virus HIV. Kurang dari 1% penduduk
perkotaan di Afrika yang aktif secara seksual telah menjalani tes HIV, dan persentasenya bahkan
lebih sedikit lagi di pedesaan. Selain itu, hanya 0,5% wanita mengandung di perkotaan yang
mendatangi fasilitas kesehatan umum memperoleh bimbingan tentang AIDS, menjalani
pemeriksaan, atau menerima hasil tes mereka. Angka ini bahkan lebih kecil lagi di fasilitas
kesehatan umum pedesaan. Dengan demikian, darah dari para pendonor dan produk darah yang
digunakan untuk pengobatan dan penelitian medis, harus selalu diperiksa kontaminasi HIV-nya.
Tes HIV umum, termasuk imunoasai enzim HIV dan pengujian Western blot, dilakukan untuk
mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah kering, atau urin pasien.
Namun demikian, periode antara infeksi dan berkembangnya antibodi pelawan infeksi yang
dapat dideteksi (window period) bagi setiap orang dapat bervariasi. Inilah sebabnya mengapa
dibutuhkan waktu 3-6 bulan untuk mengetahui serokonversi dan hasil positif tes. Terdapat pula
tes-tes komersial untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA, yang dapat
digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV meskipun perkembangan antibodinya belum dapat
terdeteksi. Meskipun metode-metode tersebut tidak disetujui secara khusus untuk diagnosis
infeksi HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di negara-negara maju.
Anak yang berumur kurang dari 18 bulan Diagnosis definitif laboratoris infeksi HIV pada
anak yang berumur kurang dari 18 bulan hanya dapat ditegakkan melalui uji virologik.
Hasil yang positif memastikan terdapat infeksi HIV. Tetapi bila akses untuk uji virologik
ini terbatas, WHO menganjurkan untuk dilakukan pada usia 6-8 minggu, dimana bayi
yang tertular in utero, maupun intra partum dapat tercakup. Uji virologik yang dilakukan
pada usia 48 jam dapat mengidentifikasi bayi yang tertular in utero, tetapi sensitivitasnya
masih sekitar 48%. Bila dilakukan pada usia 4 minggu maka sensitivitasnya naik menjadi
98%.
Satu hasil positif uji virologik pada usia berapa pun dianggap diagnostik pasti. Meskipun
demikian tetap direkomendasikan untuk melakukan uji ulang pada sampel darah yang
berbeda. Bila tidak mungkin dilakukan dua kali maka harus dipastikan kehandalan
laboratorium penguji. Pada anak yang didiagnosis infeksi HIV hanya dengan satu kali
pemeriksaan virologik yang positif, harus dilakukan uji antibodi anti HIV pada usia lebih
dari 18 bulan.
Diagnosis infeksi HIV pada bayi yang mendapat ASI Bila seorang bayi yang terpapar
infeksi HIV mendapat ASI, ia akan terus berisiko tertulari HIV selama masa pemberian
ASI; karenanya uji virologik negatif pada bayi yang terus mendapat ASI tidak
menyingkirkan kemungkinan infeksi HIV. Dianjurkan uji virologik dilakukan setelah
bayi tidak lagi mendapat ASI selama minimal 6 minggu. Bila saat itu bayi sudah berumur
9-18 bulan saat pemberian ASI dihentikan, uji antibodi dapat dilakukan sebelum uji
virologik, karena secara praktis uji antibodi jauh lebih murah. Bila hasil uji antibodi
positif, maka pemeriksaan uji virologik diperlukan untuk mendiagnosis pasti, meskipun
waktu yang pasti anak-anak membuat antibodi anti HIV pada yang terinfeksi post partum
belum diketahui. Bila uji virologik tidak dapat dilakukan tetapi ada tempat yang mampu
memeriksa, semua bayi kurang dari 12 bulan yang terpapar HIV dan menunjukkan gejala
dan tanda infeksi HIV harus dirujuk untuk uji virologik. Hasil yang positif pada stadium
apapun menunjukkan positif infeksi HIV.
Pada usia 12 bulan, sebagian besar bayi yang terpapar HIV sudah tidak lagi memiliki
antibodi maternal. Hasil uji antibodi yang positif pada usia ini dapat dianggap indikasi
tertular (94.5% seroreversi pada usia 12 bulan; Spesifisitas 96%) dan harus diulang pada
usia 18 bulan.
Secara umum waktu pendeteksian tidak berbeda, assay DNA dapat mulai diperiksa pada
usia 48 jam. Pemakaian ARV pada ibu dan bayinya untuk PMTCT tidak akan
mempengaruhi hasilnya. DNA HIV akan tetap terdeteksi pada sel mononuklear darah tepi
anak yang terinfeksi HIV dan sudah mendapat ARV meskipun hasil assay RNA HIVnya
tidak terdeteksi. Sampai saat ini belum ada data pasti apakah sensitivitas RNA HIV atau
assay antigen ICD p24 dipengaruhi oleh profilaksis ARV pada ibu dan bayi. WHO
menyatakan bahwa pemeriksaan RNA tidak berbeda dengan DNA, dalam hal sensitivitas
dan spesifisitas, pada bayi yang lahir mendapat ARV.
Diagnosis infeksi bila ibu minum ARV Belum diketahui apakah pemakaian ARV pada
ibu yang menyusui bayinya dapat mempengaruhi deteksi RNA HIV atau p24 pada bayi,
meskipun sudah dibuktikan uji DNA HIV tidak terpengaruh.
Anak yang berumur lebih dari 18 bulan Diagnosis definitif infeksi HIV pada anak yang
berumur lebih dari 18 bulan (apakah paparannya diketahui atau tidak) dapat
menggunakan uji antibodi, sesuai proses diagnosis pada orang dewasa. Konfirmasi hasil
yang positif harus mengikuti algoritme standar nasional, paling tidak menggunakan
reagen uji antibodi yang berbeda.
Tidak ada algoritme diagnosis klinis tunggal yang terbukti sangat sensitif atau spesifik
untuk mendiagnosis HIV. Akurasi diagnosis berdasarkan algoritme klinis jarang yang
mencapai sensitifitas 70% dan bervariasi menurut umur; bahkan tidak dapat diandalkan
unutk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi yang berumur kurang dari 12 bulan. Uji
antibodi anti HIV (dapat berupa rapid test) dan peningkatan akses untuk uji virologik dini
dapat membantu dokter membuat algoritme diagnostik yang lebih baik. Dalam situasi
sulit diperbolehkan menggunakan dasar klinis untuk memulai pengobatan ARV pada
anak kurang dari 18 bulan dan terpapar HIV yang berada dalam kondisi sakit berat.
Penegakan diagnosis berdasarkan gejala klinis yang dikombinasikan dengan pemeriksaan
CD4 atau parameter lain saat ini belum terbukti sebagai alat diagnosis infeksi HIV. Untuk
bayi dan anak berumur kurang dari 18 bulan yang berada di tempat dimana uji virologik
tidak mungkin dilakukan, terdapat gejala yang sugestif infeksi HIV, diagnosis presumtif
ineksi HIV secara klinis dapat dibuat. Diagnosis infeksi ini dapat menjadi dasar untuk
menilai apakah diperlukan pemberian ARV segera.
Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan dengan gejala dan tanda sugestif infeksi
HIV, dapat digunakan pemeriksaan antibodi untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis
presumtif pada kondisi ini tidak dianjurkan karena pemeriksaan antibodi saja dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis. Beberapa kondisi seperti pneumonia
pneumositis, kandidiasis esofagus, meningitis kriptokokus jarang terjadi pada anak yang
tidak terinfeksi HIV. Karenanya kondisi klinis seperti ini menjadi faktor penentu untuk
pemeriksaan antibodi anti HIV.
Metode yang direkomendasikan untuk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi dan anak
Metode Rekomendasi Tingkat rekomendasi/bukti Uji virologik( DNA, RNA, ICD) Untuk
mendiagnosis infeksi pada bayi < 18 bulan ; uji inisial direkomendasi mulai umur 6-8
minggu A(I) Uji antibodi anti HIV Untuk mendiagnosis infeksi HIV pada ibu atau
identifikasi paparan pada bayi A(I)
Untuk mendiagnosis infeksi pada anak > 18 bulan Untuk mengidentifikasi infeksi HIV
pada umur < 18 bulan dengan kemungkinan besar HIV positif* * Anak kurang dari 18
bulan dengan hasil uji antibodi positif termasuk di antaranya adalah anak yang benar-
benar terinfeksi, dan anak yang tidak terinfeksi tetapi masih membawa antibodi maternal.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan assay antibodi dapat mendeteksi antibodi terhadap HIV. Tetapi karena
antibodi anti HIV maternal ditransfer secara pasif selama kehamilan dan dapat dideteksi
hingga usia anak 18 bulan, maka adanya hasil antibodi yang positif pada anak kurang dari
18 bulan tidak serta merta menjadikan seorang anak pasti terinfeksi HIV. Karenanya
diperlukan uji laboratorik yang mampu mendeteksi virus atau komponennya seperti:
assay untuk mendeteksi DNA HIV dari plasma assay untuk mendeteksi RNA HIV dari
plasma assay untuk mendeteksi antigen p24 Immune Complex Dissociated (ICD)
Teknologi uji virologi masih dianggap mahal dan kompleks untuk negara berkembang.
Real time PCR(RT-PCR) mampu mendeteksi RNA dan DNA HIV, dan saat ini sudah
dipasarkan dengan harga yang jauh lebih murah dari sebelumnya. Assay ICD p24 yang
sudah dikembangkan hingga generasi keempat masih dapat dipergunakan secara terbatas.
Evaluasi dan pemantauan kualitas uji laboratorium harus terus dilakukan untuk kepastian
program. Selain sampel darah lengkap (whole blood) yang sulit diambil pada bayi kecil,
saat ini juga telah dikembangkan di negara tertentu penggunaan dried blood spots (DBS)
pada kertas saring tertentu untuk uji DNA maupun RNA HIV. Tetapi uji ini belum
dipergunakan secara luas, masih terbatas pada penelitian.
Meskipun uji deteksi antibodi tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
definitif HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan, antibodi HIV dapat
digunakan untuk mengeksklusi infeksi HIV, paling dini pada usia 9 sampai 12 bulan pada
bayi yang tidak mendapat ASI atau yang sudah dihentikan pemberian ASI sekurang-
kurangnya 6 minggu sebelum dilakukannya uji antibodi. Dasarnya adalah antibodi
maternal akan sudah menghilang dari tubuh anak pada usia 12 bulan. Pada anak yang
berumur lebih dari 18 bulan uji antibodi termasuk uji cepat (rapid test) dapat digunakan
untuk mendiagnosis infeksi HIV sama seperti orang dewasa. Pemeriksaan laboratorium
lain bersifat melengkapi informasi dan membantu dalam penentuan stadium serta
pemilihan obat ARV. Pada pemeriksaan darah tepi dapat dijumpai anemia,
leukositopenia, limfopenia, dan trombositopenia. Hal ini dapat disebabkan oleh efek
langsung HIV pada sel asal, adanya pembentukan autoantibodi terhadap sel asal, atau
akibat infeksi oportunistik.
Jumlah limfosit CD4 menurun dan CD8 meningkat sehingga rasio CD4/CD8 menurun.
Fungsi sel T menurun, dapat dilihat dari menurunnya respons proliferatif sel T terhadap
antigen atau mitogen. Secara in vivo, menurunnya fungsi sel T ini dapat pula dilihat dari
adanya anergi kulit terhadap antigen yang menimbulkan hipersensitivitas tipe lambat.
Kadar imunoglobulin meningkat secara poliklonal. Tetapi meskipun terdapat
hipergamaglobulinemia, respons antibodi spesifik terhadap antigen baru, seperti respons
terhadap vaksinasi difteri, tetanus, atau hepatitis B menurun.
DAFTAR PUSTAKA
Centers for Disease Control and Prevention. 1994 Revised classification system for
human immunodeficiency virus infection in children less than 13 years of age; Official
authorized addenda: human immunodeficiency virus infection codes and official
guidelines for coding and reporting ICD-9-CM. MMWR 1994;43(No.RR-12):1-10
World Health Organization. Paediatric HIV and treatment of children living with HIV.
Available at http://www.who.int/hiv/paediatric/en/index.html. Accessed 2006. World
Health Organization. The World Health Report: Global Health–today’s challenges.
Available at http://www.who.int/whr/2003/en/Chapter1.pdf.
Epocrates. Drug Information. Epocrates Online. Available at http://www.epocrates.com/.
Kovacs A, Scott GB. Advances in the management and care of HIV-positive newborns
and infants. In: Pizzo PA, Wilfert CM. Pediatric AIDS: The Challenge of HIV Infection
in Infants, Children, and Adolescents. 3rd ed. Philadelphia, Pa: Lippincott Williams &
Wilkins; 1998:567-92.
Laude TA. Manifestations of HIV disease in children. Clin Dermatol. Jul-Aug
2000;18(4):457-67.
Layton TL, Davis-McFarland E. Pediatric human immunodeficiency virus and acquired
immunodeficiency syndrome: an overview. Semin Speech Lang. 2000;21(1):7-17.
Nesheim S, Palumbo P, Sullivan K, Lee F, Vink P, Abrams E, Bulterys M. Quantitative
RNA testing for diagnosis of HIV-Infected infants. J Acquir Immune Defic Syndr
Wade AM, Ades AE. Age-related reference ranges: significance tests for models and
confidence intervals for centiles. Stat Med. 1994 Nov 30;13(22):2359-67.
Shearer WT, Rosenblatt HM, Gelman RS, Oyomopito R, Plaeger S, Stiehm ER, et al.
Lymphocyte subsets in healthy children from birth through 18 years of age: the Pediatric
AIDS Clinical Trials Group P1009 study. J Allergy Clin Immunol. 2003 Nov;112(5):973-
80.
TES DIAGNOSIS
Tes laboratorium untuk menetapkan diagnosis infeksi HIV dapat dibagi dalam dua kelompok
yaitu tes yang mencari adanya virus tersebut dalam tubuh penderita :
- kultur/biakan virus
IV.2. Mencari adanya antibodi terhadap berbagai komponen virion HIV dalam serum penderita
(tes serologik)
- Tes konfirmasi sepert Western Blot (WB), Indirect immunofluorescence assay (IFA)
Namun jenis tes yang tersering dipakai sehari-hari adalah deteksi antibodi (anti-HIV).6
Diagnosis infeksi HIV biasanya ditentukan dengan ditemukannya antibodi terhadap HIV dalam
darah penderita. Laboratorium di Indonesia melakukan tes terhadap HIV untuk menegakkan
diagnosis, penapisan darah transfusi, epidemiologi dan penelitian, setelah menandatangani
inform consent dari V.C.T (Voluntary Conseling and Test)
Tes serologik untuk mendeteksi anti-HIV dapat dikelompokkan menjadi tes saring dan tes
konfirmasi. Yang termasuk tes saring yaitu; tes EIA/Elisa, dan tes rapid/sederhana , tes
konfirmasi yaitu; western blot, IFA. Setelah tes saring dapat diidentifikasi spesimen yang
kemungkinan mengandung anti-HIV, sedangkan setelah tes konfirmasi dapat diketahui bahwa
spesimen yang reaktif pada tes penyaring mengandung antibodi spesifk terhadap HIV.
UNAIDS dan WHO menyarankan pemakaian 3 strategi tes yang baru saja diperbarui untuk
meningkatkan ketepatan dan mengurangi biaya tes dan telah diterima oleh Departemen
Kesehatan.
Surveilans :
Diagnosis :
Strategi I.
1. Serum atau plasma pasien diperiksa dengan menggunakan simple/rapid (S/R) tes atau dengan
Enzyme Immuno Assay/EIA (disebut tes A1)
2. Untuk tujuan transfusi darah atau transplantasi organ, gunakan reagen yang dapat mendeteksi
HIV-1 dan HIV-2 serta mem[punyai sensitivitas yang tinggi (> 99%)
3. Bila tes (A1) menunjukkan hasil reaktif, laporkan dengan reaktif, sedangkan bila hasilnya non-
reaktif maka laporkan NEGATIF
Strategi II.
1. Serum atau plasma pasien diperiksa dengan menggunakan simple/rapid (S/R) atau dengan
Enzyme Immuno Assay/EIA (disebut tes A1)
2. Bila hasil tes A1 menunjukkan non-reaktif, laporkan NEGATIF, sedangkan bila hasil tes
menunjukkan reaktif harus dilakukan tes ulang dengan menggunakan reagen dengan preparasi
antigen yang berbeda dari tes pertama (disebut tes A2)
3. Bila hasil tes A2 menunjukkan reaktif, laporkan hasil tersebut dengan reaktif. Sedangkan bila
hasil tes A2 menunjukkan non-reaktif, ulangi tes dengan menggunakan reagen yang digunakan
pada tes A1 dan tes A2
4. Bila pada tes ulang menunjukkan hasil tes A1 dan A2 reaktif, laporkan sebagai reaktif, bila
salah satu hasil tes (tes A1 atau A2) menunjukkan non-reaktif, laporkan sebagai
INDETERMINATE. Dan bila ke dua tes A1 dan A2 menunjukkan non-reaktif, laporkan sebagai
NEGATIF
5. Reagen untuk tes A1 memiliki sensitivitas yang tertinggi, sedangkan untuk tes A2 harus
memiliki spesifisitas yang lebih tinggi daripada tes A1
Strategi III.
1. Serum atau plasma pasien di tes dengan menggunakan simple/rapid (S/R) tes atau dengan
Enzyme Immuno Assay (disebut tes A1)
2. Bila hasil tes A1 menunjukkan non-reaktif, laporkan NEGATIF. Sedangkan bila hasil tes
menunjukkan reaktif, harus dilakukan tes ulang dengan menggunakan reagen dengan preparasi
antigen yang berbeda dari tes pertama (disebut tes A2)
3. Bila hasil tes A2 menunjukkan non-reaktif, ulangi tes dengan menggunakan reagen yang
digunakan pada tes A1 dan tes A2. Pada tes ulang, bila hasil tes A1 dan A2 menunjukkan non-
reaktif, laporkan sebagai NEGATIF
4. Bila hasil tes A1 dan A2 menunjukkan reaktif atau salah satu tes (tes A1 atau A2)
menunjukkan non-reaktif, lakukan tes ulang menggunakan reagen dengan preparasi antigen yang
berbeda dari tes pertama maupun kedua (disebut tes A3)
5. Bila hasil tes A1, A2 dan A3 menunjukkan reaktif, laporkan sebagai REAKTIF
6. Bila hasil tes A1 dan A2 reaktif serta A3 non reaktif, atau tes A1 dan A3 reaktif serta A2 non-
reaktif, laporkan sebagai INDETERMINATE
7. Bila hasil tes A2 dan A3 non-reaktif serta pasien dari daerah dengan prevalensi > 10%
(beresiko tinggi), laporkan sebagai INDETERMINATE. Sedangkan bila pasien berasal dari
daerah dengan prevalensi <10% (beresiko rendah), dapat dianggap sebagai NEGATIF.
8. Reagen untuk tes A2 harus memilki spesifisitas yang lebih tinggi daripada tes A1 dan untuk
tes A3 harus memiliki spesifisitas yang lebih tinggi dari tes A2
Bila hasil tes dilaporkan indeterminate, maka tes perlu diulangi 6 bulan dan 12 bulan kemudian
Reagensia yang dipilih untuk dipakai pada tes didasarkan pada sensitivitas dan spesifisitas tiap
jenis reagen. Reagen yang dipakai pada tes pertama adalah reagensia yang memiliki sensitivitas
tertinggi, sebaiknya > 99%, sedangkan reagensia pada tes selanjutnya (kedua dan ketiga)
memiliki spesifisitas yang lebih tinggi dari yang pertama, untuk tujuan surveilans harus memiliki
spesifisitas minimal sebesar 95% dan untuk tujuan diagnosis memiki spesifisitas minimal sebesar
98%.
Pada bayi yang baru lahir dengan ibu terinfeksi HIV, dilakukan tes anti-HIV setelah berumur 18
bulan, atau kalau sarana tersedia dapat dilakukan tes antigen
Pada seseorang yang terpapar darah penderita HIV (jarum suntik), bila hasil tes HIV negatip
pada 4 bulan setelah terpapar, dilanjutkan dengan tes tiap 3 bulan selama 1 tahun, bila hasil tetap
negatif, penderita bebas dari infeksi HIV
DASAR DIAGNOSIS KLINIS
Pada pasien ini didapatkan gambaran klinis berupa sefalgia, demam hilang timbul, dermatitis
generalisata, tanda defisit neurologis berupa gangguan fungsi luhur, hemiparese dekstra,
timbulnya refleks patologis adanya refleks primitif.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan kecurigaan lokasi lesi terdapat pada
kedua hemisfer serebri, dan serebeli karena didapatkan adanya kelainan neurologis pada kedua
sisi tubuh, serta berdasarkan pemeriksaan MRI didapatkan adanya multipel abses pada kedua
hemisfer serebri et serebeli.
Sesuai dengan kesimpulan dari diagnosis klinis dan topis maka yang paling tepat sebagai etiologi
adalah adanya SOL di kedua hemisfer, selanjutnya dengan pemeriksaan CT Scan, MRI dan
Serologi didapatkan adanya multipel abses dan juga pada pemeriksaan serologis didapatkan HIV
(+). Adanya multipel abses pada pasien ini diduga disebabkan oleh infeksi toxoplasmosis yang
menyerang SSP, karena sesuai dengan gambaran MRI tentang toxoplasmosis yaitu adanya
multipel lesi, dengan nekrosis sentral dengan gambaran ring enhancement, perifokal edem, dan
efek massa serta adanya corpus calosum enhancement. Serta gejala yang sesuai yaitu nyeri
kepala, defisit neurologis fokal seperti hemiparese serta adanya gangguan status mental.
Diagnosis banding pasien ini difikirkan sebagai multipel abses pada HIV yang disebabkan oleh
Tubesculosis, karena abses pada tuberculoma juga terdapat multipel abses, dengan gambaran
abses yang lebih kecil dengan ukuran 1-2 mm, serta efek massa yang minimal. Namun pada
pasien ini didapatkan adanya gejala infeksi tuberkulosis pada paru, yaitu tidak adanya batuk-
batuk yang lama dan pada pemeriksaan fisik paru tidak didapatkan kelaianan serta pada hasil
MRI didapatkan ukuran yang lebih besar dan efek massa (+).