Anda di halaman 1dari 8

I.

KONSEP DASAR PENYAKIT HIV AIDS


A. PENGERTIAN
Human immunodeficiency virus adalah virus yang menyerang sistem kekebalan
tubuh manusia sehingga membuat manusia rentan terhadap penyakit.
Aquired Imuno Deficincy Sindrome (AIDS) adalah penyakit oleh retrovirus yang
disebabkan oleh HIV dan ditandai dengan imunosupresi berat yang menimbulkan infeksi
oportunistik, neoplasma skunder dan menifestasi neurologis (Vinay Kumar 2007). AIDS
adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi
HIV (Silvia Price 2006). Definisi AIDS telah meliputi berkurangnya kadar CD4 kurang
dari 200 sebagai Kriteria ambang batas.

B. ETIOLOGI
Penyakit HIV AIDS disebabkan oleh human immunodeficiency virus (HIV).
HIV merupakan suatu retrovirus manusia sitopatik dari family lentivirus. HIV memiliki
diameter 100-150 nm dan berbentuk sferis (spherical) hingga oval karena bentuk
selubung yang menyelimuti partikel virus (virion). Selubung virus berasal dari membran
sel inang yang sebagian besar tersusun dari lipida. Di dalam selubung terdapat bagian
yang disebut protein matriks.
Bagian internal dari HIV terdiri dari dua komponen utama, yaitu genom dan
kapsid. Genom adalah materi genetik pada bagian inti virus yang berupa dua kopi utas
tunggal RNA. Sedangkan, kapsid adalah protein yang membungkus dan melindungi
genom.

C. PATOGENESIS
a. Penularan dan Masuknya Virus
HIV dapat diisolasi dari darah, cairan cerebospinalis, semen, air mata, sekresi
vagina atau cerviks, urine , air susu ibu, dan air liur. Penularan terjadi paling efisien
melalui darah dan semen. Hiv juga dapat ditularkan melalui air susu ibu, dan sekresi
vagina atau serviks. Tiga cara penularannya yaitu melalui kontak seksual, kontak
dengan darah dan kontak ibu-bayi . Setelah virus ditularkan akan terjadi serangkaian
proses yang kemudian menyebabkan infeksi.

1
b. Perlekatan virus
Virion HIV matang memiliki bentuk yang hampir bulat. Selubung luarnya atau
kapsul viral terdiri dari lemak lapis ganda yang mengandung banyak tonjolan protein.
Duri –duri ini terdiri dari 2 lingkup protein yaitu gp 120 dan gp 41. Gp 120 adalah
selubung permukaan external duri dan gp 41 adalah bagian transmembran.
HIV adalah suatu retrovirus sehingga materi genetik berada dalam bentuk RNA
buak DNA. Reverse transcriptase adalah enzim yang mentranskripsikan RNA virus
menjadi DNA pada sel penjamu.
HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki
molekul reseptor membran CD4. Sejauh ini sasaran yang disukai oleh HIV adalah
limfosit T penolong positif CD4 atau sel T-4 (limfosit CD4). Gp 120 HIV berikatan
kuat dengan limfosit CD4+ sehingga gp 41 dapat memerantarai fusi membran virus
ke membran sel. HIV bersifat politropik dan dapat menginfeksi beragam sel manusia.
Setelah virus berfusi dengan limfosit CD4 maka akan berlangsung serangkaian
proses kompleks yang menyebabkan terbentuknya partikel virus baru dari sel yang
terinfeksi.

c. Replikasi virus
Setelah terjadi fusi sel virus RNA virus masuk ke bagian tengah sitoplasma
limfosit CD4+. Setelah nukleokapsid dilepas, maka terjadi transkripsi terbalik dari
satu untai tunggal RNA menjadi DNA salinan (Cdna) untai ganda virus. Integrase
HIV membantu insensi cDNA virus kedalam inti sel pejamu,kemudian menjadi
provirus. Tahap akhir produksi virus membutuhkan HIV protease yang memotong
dan menata protein virus menjadi segmen-segmen kecil yang mengelilingi RNA virus
membentuk partikel virus menular yang menonjol dari sel yang terinfeksi.

d. Respon Imun Terhadap Infeksi HIV


Setelah terpajan HIV, tubuh akan melakukan perlawanan imun intensif. Sel-sel B
mengasilkan antibody spesifik terhadap berbagai protein virus. Ditemukan antibody
netralisasi terhadap ragio di gp 120 selubung virus dan bagian external gp 41. Deteksi
antibody adalah dasar bagi berbagai uji HIV(misalnya, enzyme-linkedimmunosorbent

2
assay(ELISA)). Dalam darah dijumpai IgG dan IgM tetapi seiring dengan
menurunnya titer IgM, titer IgG tetap tinggi sepanjang infeksi. Antibody IgG adalah
antibody utama yang digunakan dalam uji HIV namun antibody HIV tidak
menetralisasikan HIV atau menimbulkan perlindungan pada infeksi lebih lanjut.
Produksi imunoglobulin diatur oleh lomfosit T CD4+ yang diaktifkan oleh sel
penyaji antigen untuk menghasilakn berbagai sitokin (seperti IL2) yang membantu
merangsang sel B untuk membelah dan berdiferensiasi menjadi sel plasma, kemudian
menghasilkan imunoglobulin yang spesifik untuk antigen yang merangsangnya.

e. Pengukuran Sel CD4+ dan memantau penurunan


Pada system imun yang utuh, jumlah limfosit CD4+ berkisaran dari 600 sampai
1200mm3 darah. Setelah infeksi virus primer, hitung limfosit CD4+ turun di bawah
kadar normal untuk orang yang bersangkutan. Faktor- factor eksternal seperti stress,
merokok, obat dan alcohol dapat mempengaruhi fungsi hormone dan imun dapat
berlaku sebagai variable peganggu.
Pasien dengan hitung limfosit CD4+ kurang dari 200 mengalami imunosupresi yang
berat dan berisiko tinggi terjangkit keganasan dan infeksi oportunistik. Tubuh hampir
tidak berdaya sama sekali terhadap berbagai mikroorganisme yang menginvasi seperti
bakteri, virus, fungus, protozoa dan parasit.

D. PATOFISIOLOGI
Virion HIV masuk ke dalam tubuh seseorang dalam keadaan bebas atau berada di
dalam sel limfosit. Virus ini memasuki tubuh dan terutama menginfeksi sel yang
mempunyai molekul CD4. Sel-sel CD4-positif (CD4+) mencakup monosit, makrofag dan
limfosit T4 helper. Saat virus memasuki tubuh, benda asing ini segera dikenal oleh sel T
helper (T4), tetapi begitu sel T helper menempel pada benda asing tersebut, reseptor sel T
helper tidak berdaya, bahkan HIV bisa pindah dari sel induk ke dalam sel T helper
tersebut. Jadi, sebelum sel T helper dapat mengenal benda asing HIV, ia lebih dahulu
sudah dilumpuhkan. HIV kemudian mengubah fungsi reseptor di permukaan sel T helper
sehingga reseptor ini dapat menempel dan melebur ke sembarang sel lainnya sekaligus

3
memindahkan HIV. Sesudah terikat dengan membran sel T4 helper, HIV akan
menginjeksikan dua utas benang RNA yang identik ke dalam sel T4 helper
Dengan menggunakan enzim yang dikenal sebagai reverse transcriptase, HIV
akan melakukan pemrograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk
membuat double-stranded DNA (DNA utas-ganda). DNA ini akan disatukan ke dalam
nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen.
Fungsi T helper dalam mekanisme pertahanan tubuh sudah dilumpuhkan, genom
dari HIV (proviral DNA) dibentuk dan diintegrasikan pada DNA sel T helper sehingga
menumpang ikut berkembang biak sesuai dengan perkembangan biakan sel T helper.
Sampai suatu saat ada mekanisme pencetus (mungkin karena infeksi virus lain) maka
HIV akan aktif membentuk RNA, ke luar dari T helper dan menyerang sel lainnya untuk
menimbulkan penyakit AIDS. Karena sel T helper sudah lumpuh maka tidak ada
mekanisme pembentukan sel T killer, sel B dan sel fagosit lainnya. Kelumpuhan
mekanisme kekebalan inilah yang disebut AIDS (Acquired Immunodeficiency
Syndrome) atau Sindroma Kegagalan Kekebalan.

E. PATHWAY
Terlampir

F. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi Klinis Gejala dan tanda HIV/AIDS menurut WHO adalah sebagai berikut
1. Stadium Klinis I
 Asimtomatik (tanpa gejala)
 Limfadenopati Generalisata (pembesaran kelenjar getah bening/limfe
seluruh tubuh)
 Skala Aktivitas : asimtomatik, aktivitas normal.
2. Stadium Klinis II
 Berat badan menurun kurang dari 10%
 Kelainan kulit dan mukosa ringan
 Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
 Infeksi saluran nafas bagian atas, seperti sinusitis

4
 Skala aktivitas simtomatik, aktivitas normal.
3. Stadium 3
 Berat badan menurun lebih dari 10 %
 Diare kronis lebih dari 1 bulan
 Demam lebih dari satu bulan
 Kandidiasis orofaringeal.
 TB paru dalam beberapa tahun terakhir.
 Infeksi bakterial berat.
 Skala Aktivitas : pada umumnya lemah, terbaring di tempat tidur > 50%
dalam masa 1 bulan terakhir.
4. Stadium Klinis 4
 HIV wasting syndrome.
 Pneumocystis carinii pneumonia.
 Toxoplasmosis otak.
 Cryptosporidiosis dengan diare > 1 bulan.
 Cryptococcosis ekstra paru.
 Penyakit cytomegalovirus pada satu organ selain hati, limpa atau kelenjar
limfe.
 Infeksi virus herpes simpleks mukokutaneus > 1 bulan, atau infeksi
saluran cerna
 Progressive multifocal leucoencephalopathy.
 Micosisendemic diseminata.(histoplasosis, coccidioidimycosis)
 Candidiasis esophagus, trakea, bronkus, atau paru paru
 Atypical mycibacteriosis disseminated.
 Non thypoid salmonella septicaemia
 Tuberkulosis ekstra paru.
 Limfoma.
 Sarkoma Kaposi.
 Ensefalopati HIV (Nursalam, Ninuk DK, 2002)

5
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Dipstick test HIV
Test ini sering di gunakan sebagai test awal untuk mendeteksi anti bodi HIV-1
atau HIV-2 pada Serum, plasma atau darah dari orang yang di anggap mempunyai
resiko terpapar dengan virus HIV, namun bila hasil tidak reaktif belum dapat
dikatakan bahwa belum pernah terpapar dengan HIV.
2. Tes Saliva
Test ini untuk mendeteksi antibody HIV pada saliva pasien dengan menggunakan
alat OraSure test dengan akurasi 99,8%. Seperti di ketahui saliva merupakan cairan
tubuh yang dapat menularkan penyebaran dari virus HIV. Test ini di gunakan untuk
pemeriksaan virus HIV pada orang penderita hemophilia yang sulit di ambil darahnya
karena resiko perdarahan dan orang yang menggunakan obat anti koagulan.
3. Tes ELISA
ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay), tes ini mendeteksi antibodi yang
dibuat tubuh terhadap virus HIV. Antibodi tersebut biasanya diproduksi mulai
minggu ke 2, atau bahkan setelah minggu ke 12 setelah terpapar virus HIV. Kerena
alasan inilah maka para ahli menganjurkan pemeriksaan ELISA dilakukan setelah
minggu ke 12 sesudah melakukan aktivitas seksual berisiko tinggi atau tertusuk
jarum suntik yang terkontaminasi. Tes ELISA dapat dilakukan dengan sampel darah
vena, air liur, atau urine Saat ini telah tersedia Tes HIV Cepat (Rapid HIV Test).
Pemeriksaan ini sangat mirip dengan ELISA. Ada dua macam cara yaitu
menggunakan sampel darah jari dan air liur.
Hasil positif pada ELISA belum memastikan bahwa orang yang diperiksa telah
terinfeksi HIV. Masih diperlukan pemeriksaan lain, yaitu Western Blot atau IFA,
untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan ELISA ini. Jadi walaupun ELISA
menunjukkan hasil positif, masih ada dua kemungkinan, orang tersebut sebenarnya
tidak terinfeksi HIV atau betul-betul telah terinfeksi HIV ( Price SA, Wilson LM,
2006).
4. Tes Western Blot
Sama halnya dengan ELISA, Western Blot juga mendeteksi antibodi terhadap
HIV. Western Blot menjadi tes konfirmasi bagi ELISA karena pemeriksaan ini lebih

6
sensitif dan lebih spesifik, sehingga kasus yang tidak dapat disimpulkan sangat kecil.
Walaupun demikian, pemeriksaan ini lebih sulit dan butuh keahlian lebih dalam
melakukannya (Price SA, Wilson LM, 2006)
Tes ini untuk mendeteksi antibodi HIV -1. Alat ini mengandung virus HIV yang
sudah di lemahkan dengan psoralen dan sinar ultra violet. Protein specific HIV-1 di
kelompokkan sesuai dengan berat molekulnya dengan elektroforesis pada larutan
sodium dodecysulfat, larutan ini di campur dengan serum yang akan di periksa,
kemudian di simpan dalam incubator, kemudian di nilai skor reaksi berdasarkan
intensitasnya. Bila hasil tidak reaktif
seseorang pasti tidak terpapar dengan virus HIV
5. Tes IFA
IFA (Indirect Fluorescent Antibody) juga meurupakan pemeriksaan konfirmasi
ELISA positif. Seperti halnya pemeriksaan diatas, IFA juga mendeteksi antibodi
terhadap HIV. Salah satu kekurangan dari pemeriksaan ini adalah biayanya sangat
mahal.
6. Tes PCR
PCR atau polymerase chain reaction adalah uji yang memeriksa langsung
keberadaan virus HIV di dalam darah. Tes ini dapat dilakukan lebih cepat yaitu
sekitar seminggu setelah terpapar virus HIV. Tes ini sangat mahal dan memerlukan
alat yang canggih. Oleh karena itu, biasanya hanya dilakukan jika uji antibodi diatas
tidak memberikan hasil yang pasti. Selain itu, PCR test juga dilakukan secara rutin
untuk uji penapisan (screening test) darah atau organ yang akan didonorkan
(Nursalam, Ninuk DK, 2002).

H. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Medis
a. Terapi ARV
Pemberian ARV tidak serta merta segera diberikan begitu saja pada penderita
yang dicurigai, tetapi perlu menempuh langkah-langkah yang arif dan bijaksana,
serta mempertimbangkan berbagai faktor; dokter telah memberikan penjelasan
tentang manfaat, efek samping, resistensi dan tata cara penggunaan ARV;

7
kesanggupan dan kepatuhan penderita mengkonsumsi obat dalam waktu yang
tidak terbatas; serta saat yang tepat untuk memulai terapi ARV (Nasronudin,
2007).
b. Jenis ARV
 Nucleoside reserve tanscriptase inhibitors (NsRTI) seperti Abacavir(ABC),
idanosine (ddl), Lamivudine (3TC), Stavudin (d4T) , Zidovudine(ZDV/AZT).
 Non nucleoside reserve transcriptase inhibitors (NNRTI) , seperti Efavirenz
EFV/EFZ), Nevirapine (NVP)
 Protease Inhibitors (PI) seperti Indinavir(IDV), Ritonavir(RTV,r), Lopinavir
+ ritonavir (LPV/r), Nelvinafir (NFV), Saquinavir (SQV).
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Istirahat, dukungan nutrisi yang memadai berbasis makronutrien dan mikronutrien
untuk penderita HIV&AIDS, konseling termasuk pendekatan psikologis dan
psikososial, membiasakan gaya hidup sehat antara lain membiasakan senam.

Anda mungkin juga menyukai