TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian HIV/AIDS
menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi human
tahap akhir dari infeksi HIV. Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan
patogen yang menyerang sistem imun manusia, terutama semua sel yang memiliki
B. Etiologi
AIDS disebabkan oleh virus HIV-1 dan HIV-2. HIV adalah virus yang
memiliki struktur yang hampir sama. HIV-1 mempunyai gen vpu tetapi tidak
mempunyai gen vpx, sedangkan HIV-2 mempunyai gen vpx tetapi tidak mempunyai
gen vpx.5
RNA diploid dan enzim reverse transcriptase (RT), protease serta integrase. Reverse
kapsid (p24) adalah core antigen virus HIV yang merupakan petanda terdini adanya
1
sehingga membentuk struktur nukleokapsid. Antigen P17 merupakan bagian dalam
sampul HIV. Pada bagian permukaan virion terdapat tonjolan yang terdiri atas
molekul glikoprotein (gp120) dengan bagian transmembran gp41. Antigen gp120 ini
C. Patogenesis
HIV memasuki sel melalui molekul CD4 pada permukaan sel seperti sel T
CD4, sel makrofag, monosit, dan dendrit. Pada infeksi HIV terjadi imunosupresi yang
disebabkan oleh menurunnya jumlah dan terganggunya fungsi sel T CD4. Proses ini
tidak hanya disebabkan oleh efek sitopatik langsung, tetapi juga oleh efek sitopatik
tidak langsung yang dinamakan patogenesis imun.1 Selain efek langsung dan tak
langsung juga ada peranan sel sitotoksik CD8 dalam infeksi HIV, yaitu sel CD8 akan
2
mengikat sel yang terinfeksi oleh virus HIV dan mengeluarkan perforin yang
menyebabkan kematian sel. Sel CD8 juga dapat menekan replikasi HIV didalam
limfosit CD4.7
Peningkatan permeabilitas membran sel T CD4, sehingga ion dan air masuk
b. Penimbunan DNA virus yang tidak terintegrasi ke genom host memberikan efek
toksik pada sel T CD4 yang terinfeksi dan menganggu fungsi normal sel host
HIV dapat menginfeksi sel prekursor T CD4 didalam timus sehingga sel tersebut
tidak berkembang menjadi matur. Akibatnya jumlah sel T CD4 perifer menurun.
Terjadi karena sel T CD4 yang terinfeksi HIV memproduksi protein virus
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap sel T CD4 yang belum terinfeksi sehingga
3
akan mengikat sel T CD4 yang belum terinfeksi dan melebur menjadi satu dengan 2
inti.
Molekul gp120 yang dibentuk oleh sel T CD4 yang terinfeksi dapat berikatan
dengan molekul CD4 yang normal.dan oleh kompleks gp120-anti120 membuat sel
yang normal menjadi apoptosis. Disamping itu, molekul ini juga dapat menyebabkan
Sel T CD4 normal yang sudah berikatan dengan molekul gp120 selain
mengalami apoptosis juga akan mengalami lisis melalaui proses ADCC (antibody
Adanya gangguan produksi sitokin oleh sel makrofag dan monosit akan
Disregulasi produksi sitokin pada infeksi HIV aktivasi sel Th2, yaitu
4
dendrit mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan envelope HIV,
sehingga sel dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid.
dendrit dapat menularkan HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel.
Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah
banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia
disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus
lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau T
helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Setelah penyebaran
infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap
antigen virus. Respons imun dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi
pertama.
Pada fase ini kelenjar getah bening dan limpa menjadi tempat replikasi HIV dan
destruksi sel. Sistem imun masih kompeten untuk mengatasi infeksi mikroba
oportunistik dan belum tampak gejala klinik infeksi HIV. Pada fase ini jumlah virus
rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak mengandung HIV, tetapi penghancuran
sel T CD4+ di jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlahnya dalam sirkulasi terus
berkurang.
Fase ini rentan terhadap infeksi lain dan respon imun terhadap infeksi tersebut
akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid. Penyakit HIV
5
berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS yaitu dimana terjadi destruksi
seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang dari 200
sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pada penderita AIDS mudah mendapat
Perjalanan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam tahapan sebagai berikut :
2-3minggu 2-3minggu
Infeksi virus sindrom retro viral akut gejala menghilang
+
Serokonversi
5-10tahun
Infeksi kronis HIV/AIDS simtomatik Infeksi kronis HIV asimtomatik
Rata-rata 1,3 tahun Kematian
Kematian
1. Transmisi virus
3. Serokonversi
6. AIDS (indikator sesuai dengan CDC 1993 atau jumlah CD4 < 200/mm3)
6
7. Infeksi HIV lanjut ditandai oleh jumlah CD4<50/mm3
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga
satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian
berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi
pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan
gejala infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung
selama 2-6 minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk dan gejala-gejala ini
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang
berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan
penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula perjalanannya
demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis,
Umum Demam 90
7
Nyeri otot 54
Nyeri sendi -
Rasa lemah -
Limfadenopat 74
i
Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV
akan memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada
akhirnya, odha akan menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini berarti
telah masuk ke tahap AIDS. Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului oleh
akselerasi penurunan jumlah limfosit CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala klinis
kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover HIV dalam kelenjar limfe
Karena manifestasi awal kerusakan dari system imun tubuh adalah kerusakan
8
mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV meluas ke jaringan
limfoid, yang dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi insitu. Sebagian replikasi
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel
setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul
HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit
Pejalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80%
pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga
adalah penyakit yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan biasanya tidak
ditemukan pada ODHA yang tertular dengan cara lain. Lamanya pengguna jarum
suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama
tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk.
Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah dengan
lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat
hubungan antara jumlah RNA virus dalam plasma dan jumlah limfosit CD4+
9
Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer, HIV
menyebar luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat pada
pemeriksaan darah tepi. Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV, ditandai
Gamba
r 2.2 perjalanan alamiah infeksi HIV
Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi
hingga mencapai di bawah batas kritis yang akan memungkinkan terjadinya infeksi
oportunistik.
E. Cara Penularan
10
a. Transmisi vertikal dari ibu ke janin
Pada waktu bayi terpapar dengan darah ibu atau sekret genetalia yang
mengandung HIV. Transmisi ini terjadi pada 20-50% kasus. Resiko tertular
HIV melalui ASI adalah 11-29%. Penularan dapat terjadi pada trimester
Suntikan intravena
kontak langsung darah dengan jarum dan spuit yang terkontaminasi. Meski
jumlah darah dalam spuit relatif kecil, efek kumulatif pemakaian bersama alat
resiko penularan. Penularan cara ini banyak dialami oleh para pengguna
narkoba.
Penularan darah dapat terjadi jika pada pasien yang menerima transfusi darah
dan penderita HIV. Namun demikian resiko yang berkaitan dengan transfusi
kini sudah banyak berkurang sebagai hasil dari pemeriksaan serologi yang
11
Kontak seksual
paling dominan dari semua cara penularan. Pada hubungan heteroseksual atau
ataupun oral antara dua individu. Kontak ini akan meningkatkan kemungkinan
peluang untuk terkena virus HIV lewat sekret tubuh. Peningkatan frekuensi
ini. Tingkatan resiko penularan HIV juga tergantung dari jumlah virus yang
F. Diagnosis
1. Anamnesis
fisik, pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat
kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan
memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk menentukan tata
laksana selanjutnya.10
12
Tabel 2.3 Daftar tilik riwayat pasien
13
14
Tabel 2.4 Tanda dan Gejala Klinis yang patut dicurigai HIV/AIDS
Stadium
15
Tabel 2.5 Stadium HIV/AIDS
Pemeriksaan penunjang
pemeriksaan antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus HIV
(umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan PCR
untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit Sedangkan untuk
16
2. Stadium Klinis
(asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV
(sakit berat atau AIDS). Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4,
stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk memulai terapi profilaksis
AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV. Selama stadium individu bisa saja
merasa sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit. Pada stadium lanjut,
system imun individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi Opportunistik dan
mereka terus menerus menderita penyakit minor dan mayor Karen tubuhnya tidak
Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi, memang
tua yang terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan
diare. Penderita AIDS dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 3-4 penderita tidak
memperlihatkan gejala yang khas. Sesudah tahun ke 5-6 mulai timbul diare berulang,
penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut dan terjadi
Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spectrum
yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatif) pada stadium awal sampai
dengan gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit
17
lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi, bahkan
diketahui jelas. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang – ulang dan pemaparan
semakin buruk. Keadaan yang buruk juga ditunjukkan oleh peningkatan B2 mikro
Perjalanan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu :11
Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan.
Gejala yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia, malaise,
gejala kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada, nyeri
Pada fase ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi viremia. Gejala tersebut
diatas merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya unis yang berlangsung kira-kira 1-
2 minggu.
sekitar 5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun sebenarnya terjadi
ini bukanlah hal yang bersifat prognostic dan tidak terpengaruh bagi hidup penderita.
18
Saat ini sudah mulai terjadi penurunan jumlah sel CD4 sebagai petunjuk menurunnya
Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai gejala
penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat imunitas
pemderita.
Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan misalnya
reaktivasi dari herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat sembuh total atau
hanya dengan pengobatan biasa. Keganasan juga dapat timbul pada fase yang lebih
lanjut dari sub-fase ini dan dapat berlanjut ke sub fase berikutnya, demikian juga
Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam jiwa
penderita. Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering pada fase yang
lebih awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan telah dikatakan tubuh sudah
> 10% dari nilai basal, dan diare >1 bulan tanpa penyebab jelas.
19
Kelainan neurologis: Ensefalopati HIV, limfoma SSP primer, meningitis aseptik,
atau komplikasi
memeriksakan darahnya dengan tes khusus dan berkonsultasi dengan dokter. Jika dia
positif mengidap AIDS, maka akan timbul gejala-gejala yang disebut degnan ARC
Bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu gejala minor dan tidak ada
sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti kanker, malnutrisi berat atau pemakaian
20
Dermatitis preuritik umum
Kandidias orofaring
Limfadenopati generalisata
2. Pemeriksaan penunjang
pemeriksaan antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus HIV
(umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan PCR
untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit Sedangkan untuk
yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu didahului
dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat
menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama (A1)
harus digunakan tes dengan sensitivitas yang tinggi (>99%), sedang untuk
pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi
(>99%).10
21
Gambar 2.3 Alur Pemeriksaan Laboratorium HIV
sensitivitas tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan hasil yang
memastikan adanya infeksi oleh HIV. Uji konfirmasi yang sering dilakukan saat ini
adalah dengan teknik Western Blot (WB). Hasil tes positif palsu dapat disebabkan
adanya otoantibodi, penerima vaksin HIV, dan kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil
tes positif pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif belum tentu berarti tertular
mengingat adanya IgG terhadap HIV yang berasal dari darah ibu. IgG ini dapat
bertahan selama 18 bulan sehingga pada kondisi ini, tes perlu diulang pada usia anak
> 18 bulan. 2
22
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah dengan
pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin dilakukan secara rutin.
kombinasi yang digunakan adalah tiga kali positif pemeriksaan penyaring dengan
Bila hasil tes tidak sama misal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan
yang ketiga non- reaktif atau apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga non-
reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut
memiliki riwayat pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa
riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan
23
G. Tatalaksana
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa
pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk
(ARV).
c. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih
dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan.
harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.
(AZT)
24
Etravirine (ETV), Nevirapine (NVP)
Darunavir (DRV)
(bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah
untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau
belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA
dewasa.
25
a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4 (Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4,
maka penentuan mulai terapi ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis.)
Rekomendasi : 10
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 < 350 sel/mm3
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan
26
Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS) - Sindrom Pulih Imun
(SPI)
Imun (SPI) adalah perburukan kondisi klinis sebagai akibat respons inflamasi
berlebihan pada saat pemulihan respons imun setelah pemberian terapi antiretroviral.
Sindrom pulih imun mempunyai manifestasi dalam bentuk penyakit infeksi maupun
non infeksi. Manifestasi tersering pada umumnya adalah berupa inflamasi dari
penyakit infeksi. Sindrom pulih imun infeksi ini didefinisikan sebagai timbulnya
manifestasi klinis atau perburukan infeksi yang ada sebagai akibat perbaikan respons
imun spesifik patogen pada ODHA yang berespons baik terhadap ARV.10
Mekanisme SPI belum diketahui dengan jelas, diperkirakan hal ini merupakan
respon imun berlebihan dari pulihnya sistem imun terhadap rangsangan antigen
tertentu setelah pemberian ARV. Insidens sindrom pulih imun secara keseluruhan
27
berdasarkan meta analisis adalah 16.1%. Namun, insidens ini juga berbeda pada tiap
tempat, tergantung pada rendahnya derajat sistem imun dan prevalensi infeksi
Pada saat ini dikenal dua jenis SPI yang sering tumpang tindih, yaitu sindrom
pulih imun unmasking (unmasking IRD) dan sindrom pulih imun paradoksikal. Jenis
unmasking terjadi pada pasien yang tidak terdiagnosis dan tidak mendapat terapi
untuk infeksi oportunistiknya dan langsung mendapatkan terapi ARV-nya. Pada jenis
tersebut.
Manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi dan tergantung dari bahan
infeksi atau non-infeksi yang terlibat, sehingga diagnosis menjadi tidak mudah. Pada
waktu menegakkan diagnosis SPI perlu dicantumkan penyakit infeksi atau non
2. Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi yang terkait dengan
28
Gejala klinis dari infeksi yang diketahui sebelumnya yang telah berhasil
disembuhkan
Kegagalan terapi
Beberapa faktor risiko terjadinya SPI adalah jumlah CD4 yang rendah saat
memulai terapi ARV, jumlah virus RNA HIV yang tinggi saat memulai terapi ARV,
banyak dan beratnya infeksi oportunistik, penurunan jumlah virus RNA HIV yang
cepat selama terapi ARV, belum pernah mendapat ARV saat diagnosis infeksi
oportunistik, dan pendeknya jarak waktu antara memulai terapi infeksi oportunistik
jumlah antigen dan meneruskan terapi ARV. Terapi antiinflamasi seperti obat
antiiflamasi non steroid dan steroid dapat diberikan. Dosis dan lamanya pemberian
1. Pemantauan klinis
minggu sejak memulai terapi ARV dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah
Pada setiap kunjungan perlu dilakukan penilaian klinis termasuk tanda dan
29
gejala efek samping obat atau gagal terapi dan frekuensi infeksi (infeksi bakterial,
2. Pemantauan laboratoris
bulan, atau lebih sering bila ada indikasi klinis. Angka limfosit total (TLC = total
keberhasilan terapi.
Untuk pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu dilakukan
pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai terapi dan pada minggu
ke 4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada indikasi tanda dan gejala anemia
Pengukuran ALT (SGPT) dan kimia darah lainnya perlu dilakukan bila ada tanda
dan gejala dan bukan berdasarkan sesuatu yang rutin. Akan tetapi bila
menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 antara 250 – 350 sel/mm3
Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang mendapatkan TDF
Keadaan hiperlaktatemia dan asidosis laktat dapat terjadi pada beberapa pasien
yang mendapatkan NRTI, terutama d4T atau ddI. Tidak direkomendasi untuk
pemeriksaan kadar asam laktat secara rutin, kecuali bila pasien menunjukkan
30
tanda dan gejala yang mengarah pada asidosis laktat
dan lipid. Beberapa ahli menganjurkan pemeriksaan gula darah dan profil lipid
secara reguler tetapi lebih diutamakan untuk dilakukan atas dasar tanda dan
gejala
Pengukuran Viral Load (VL) sampai sekarang tidak dianjurkan untuk memantau
pasien dalam terapi ARV dalam keadaan terbatas fasilitas dan kemampuan
Hasil VL dapat memprediksi gagal terapi lebih awal dibandingkan dengan hanya
Pemberian terapi ARV akan meningkatkan jumlah CD4. Hal ini akan berlanjut
terjadi, terutama pada pasien dengan jumlah CD4 yang sangat rendah pada saat
mulai terapi. Meskipun demikian, pasien dengan jumlah CD4 yang sangat rendah
tetap dapat mencapai pemulihan imun yang baik tetapi memerlukan waktu yang
lebih lama.
Pada pasien yang tidak pernah mencapai jumlah CD4 yang lebih dari 100
sel/mm3 dan atau pasien yang pernah mencapai jumlah CD4 yang tinggi tetapi
kemudian turun secara progresif tanpa ada penyakit/kondisi medis lain, maka
31
perlu dicurigai adanya keadaan gagal terapi secara imunologis.
Data jumlah CD4 saat mulai terapi ARV dan perkembangan CD4 yang
dievaluasi tiap 6 bulan sangat diperlukan untuk menentukan adanya gagal terapi
secara imunologis. Pada sebagian kecil pasien dengan stadium lanjut dan jumlah
CD4 yang rendah pada saat mulai terapi ARV, kadang jumlah CD4 tidak
32