Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian HIV/AIDS

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan penyakit yang

menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi human

immunodeficiency virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae.2 AIDS merupakan

tahap akhir dari infeksi HIV. Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan

patogen yang menyerang sistem imun manusia, terutama semua sel yang memiliki

penanda CD4+ di permukaannya seperti makrofag dan limfosit T.1

B. Etiologi

AIDS disebabkan oleh virus HIV-1 dan HIV-2. HIV adalah virus yang

tergolong kedalam keluarga retrovirus subkelompok lentivirus. HIV-1 dan HIV -2

memiliki struktur yang hampir sama. HIV-1 mempunyai gen vpu tetapi tidak

mempunyai gen vpx, sedangkan HIV-2 mempunyai gen vpx tetapi tidak mempunyai

gen vpx.5

HIV mempunyai inti berbentuk silindris dan eksentrik, mengandung genom

RNA diploid dan enzim reverse transcriptase (RT), protease serta integrase. Reverse

transcriptase digunakan RNA template untuk memproduksi hybrid DNA. Antigen

kapsid (p24) adalah core antigen virus HIV yang merupakan petanda terdini adanya

infeksi HIV-1, ditemukan beberapa hari- minggu sebelum terjadi serokonversi

sintesis antibody terhadap HIV-1. Antigen ini menutupi komponen nukleoid,

1
sehingga membentuk struktur nukleokapsid. Antigen P17 merupakan bagian dalam

sampul HIV. Pada bagian permukaan virion terdapat tonjolan yang terdiri atas

molekul glikoprotein (gp120) dengan bagian transmembran gp41. Antigen gp120 ini

yang mengikat reseptor sel CD4 pada sel T dan makrofag.6

Gambar 2.1 Struktur virus HIV

C. Patogenesis

1. Pengaruh HIV terhadap sistem imun

HIV memasuki sel melalui molekul CD4 pada permukaan sel seperti sel T

CD4, sel makrofag, monosit, dan dendrit. Pada infeksi HIV terjadi imunosupresi yang

disebabkan oleh menurunnya jumlah dan terganggunya fungsi sel T CD4. Proses ini

tidak hanya disebabkan oleh efek sitopatik langsung, tetapi juga oleh efek sitopatik

tidak langsung yang dinamakan patogenesis imun.1 Selain efek langsung dan tak

langsung juga ada peranan sel sitotoksik CD8 dalam infeksi HIV, yaitu sel CD8 akan

2
mengikat sel yang terinfeksi oleh virus HIV dan mengeluarkan perforin yang

menyebabkan kematian sel. Sel CD8 juga dapat menekan replikasi HIV didalam

limfosit CD4.7

1. Efek sitopatik langsung1

a. Proses replikasi virus dalam sel T CD4 , menyebabkan:

 Peningkatan permeabilitas membran sel T CD4, sehingga ion dan air masuk

kedalam sel dan mengakibatkan lisis sel

 Menghambat sintesis protein sel host  kematian sel T CD4

b. Penimbunan DNA virus yang tidak terintegrasi ke genom host memberikan efek

toksik pada sel T CD4 yang terinfeksi dan menganggu fungsi normal sel host

sehingga sel T CD4 menjadi mati.

c. Interaksi molekul gp120 HIV dengan molekul CD4 intrasel.

d. Hambatan maturasi sel prekursor T CD4

HIV dapat menginfeksi sel prekursor T CD4 didalam timus sehingga sel tersebut

tidak berkembang menjadi matur. Akibatnya jumlah sel T CD4 perifer menurun.

2. Efek sitopatik tidak langsung1

Beberapa hipotesis mengenai efek sitotoksik tidak langsung mengenai

penurunan jumlah dan fungsi sel T CD yang di akibatkan virus HIV:

a. Pembentukan sel sinsitia

Terjadi karena sel T CD4 yang terinfeksi HIV memproduksi protein virus

gp120 dan mengekspresikannya di permukaan membrannya. Molekul gp120

mempunyai afinitas yang tinggi terhadap sel T CD4 yang belum terinfeksi sehingga

3
akan mengikat sel T CD4 yang belum terinfeksi dan melebur menjadi satu dengan 2

inti.

2. Apoptosis sel T reaktif

Molekul gp120 yang dibentuk oleh sel T CD4 yang terinfeksi dapat berikatan

dengan molekul CD4 yang normal.dan oleh kompleks gp120-anti120 membuat sel

yang normal menjadi apoptosis. Disamping itu, molekul ini juga dapat menyebabkan

refrakter terhadap semua stimulasi, sehingga fungsi selT CD4 berkurang.

3. Destruksi autoimun yang diinduksi HIV1

Sel T CD4 normal yang sudah berikatan dengan molekul gp120 selain

mengalami apoptosis juga akan mengalami lisis melalaui proses ADCC (antibody

dependent cellular cytotoxicity) dan fiksasi komplemen.

4. Perubahan produksi sitokin sehingga menginduksi hambatan maturasi

 Adanya gangguan produksi sitokin oleh sel makrofag dan monosit akan

menghambat maturasi sel precursor T CD4.

 Disregulasi produksi sitokin pada infeksi HIV  aktivasi sel Th2, yaitu

aktivasi imunitas humoral (sel B)  kadar immunoglobulin serum meningkat

 produksi autoantibody meningkat  penyakit autoimun.

D. Perjalanan Klinis HIV

1. Fase infeksi akut5,8

Sel dendrit di epitel tempat masuknya virus bertindak sebagai antigen

precenting cell (APC) menangkap virus yang kemudian bermigrasi ke kelenjar

limfoid dan mempresentasikannya ke sel limfosit CD4 sehingga merangsangnya. Sel

4
dendrit mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan envelope HIV,

sehingga sel dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid.

dendrit dapat menularkan HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel.

Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah

banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia

disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus

lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau T

helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Setelah penyebaran

infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap

antigen virus. Respons imun dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi

virus, yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan

pertama.

2. Fase Laten Klinis (clinical laten period) 5,8

Pada fase ini kelenjar getah bening dan limpa menjadi tempat replikasi HIV dan

destruksi sel. Sistem imun masih kompeten untuk mengatasi infeksi mikroba

oportunistik dan belum tampak gejala klinik infeksi HIV. Pada fase ini jumlah virus

rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak mengandung HIV, tetapi penghancuran

sel T CD4+ di jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlahnya dalam sirkulasi terus

berkurang.

3. Fase Kronik Progresif 5,8

Fase ini rentan terhadap infeksi lain dan respon imun terhadap infeksi tersebut

akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid. Penyakit HIV

5
berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS yaitu dimana terjadi destruksi

seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang dari 200

sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pada penderita AIDS mudah mendapat

infeksi oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal

(nefropati HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat (ensefalopati HIV).

Perjalanan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam tahapan sebagai berikut :

2-3minggu 2-3minggu
Infeksi virus sindrom retro viral akut gejala menghilang
+
Serokonversi
5-10tahun
Infeksi kronis HIV/AIDS simtomatik Infeksi kronis HIV asimtomatik
Rata-rata 1,3 tahun Kematian

Kematian

Perjalanan penyakit infeksi HIV dapat dibagi dalam :

1. Transmisi virus

2. Infeksi HIV primer (sindrom retroviral akut)

3. Serokonversi

4. Infeksi kronik asimtomatik

5. Infeksi kronik simtomatik

6. AIDS (indikator sesuai dengan CDC 1993 atau jumlah CD4 < 200/mm3)

6
7. Infeksi HIV lanjut ditandai oleh jumlah CD4<50/mm3

Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga

satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian

berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi

pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang

terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan

penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan

perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap.2

Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan

gejala infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung

selama 2-6 minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,

pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk dan gejala-gejala ini

akan membaik dengan atau tanpa pengobatan.2

Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang

berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan

penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula perjalanannya

lambat (non-progessor). Sejalan dengan memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai

menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun,

demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis,

infeksi jamur, herpes dan lain-lainnya.2

Tabel 2.1 Gejala klinis infeksi primer HIV

Kelompok Gejala Kekerapan (%)

Umum Demam 90

7
Nyeri otot 54
Nyeri sendi -
Rasa lemah -

Mukokutan Ruam kulit 70


Ulkus di mulut 12

Limfadenopat 74
i

Neurologi Nyeri kepala 32


Nyeri belakang mata -
Fotofobia -
Depresi -
Meningitis 12

Saluran cerna Anoreksia -


Nausea -
Diare 32
Jamur di mulut 12

Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV

akan memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada

akhirnya, odha akan menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini berarti

telah masuk ke tahap AIDS. Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului oleh

akselerasi penurunan jumlah limfosit CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala klinis

menghilangnya gejala limfadenopati generalisata yang disebabkan hilangnya

kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover HIV dalam kelenjar limfe

Karena manifestasi awal kerusakan dari system imun tubuh adalah kerusakan

8
mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV meluas ke jaringan

limfoid, yang dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi insitu. Sebagian replikasi

HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.2

Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak

menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel

setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul

HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit

CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan

memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari.2

Pejalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80%

pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga

adalah penyakit yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan biasanya tidak

ditemukan pada ODHA yang tertular dengan cara lain. Lamanya pengguna jarum

suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama

seseorang menggunkan narkotika suntikan, makin mudah ia terkena pneumonia dan

tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk.

Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah dengan

lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat

menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya

biasanya lebih progresif. 2

Secara ringkas, perjalanan alamiah penyakit HIV/AIDS dikaitkan dengan

hubungan antara jumlah RNA virus dalam plasma dan jumlah limfosit CD4+

ditampilkan dalam gambar 2.2.8

9
Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer, HIV

menyebar luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat pada

pemeriksaan darah tepi. Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV, ditandai

dengan penurunan viremia.8

Gamba
r 2.2 perjalanan alamiah infeksi HIV
Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi

hingga mencapai di bawah batas kritis yang akan memungkinkan terjadinya infeksi

oportunistik.

E. Cara Penularan

Cara penularan HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama9 :

10
a. Transmisi vertikal dari ibu ke janin

 Transmisi terjadi melalui plasenta (intrauterine) atau intrapartum

Pada waktu bayi terpapar dengan darah ibu atau sekret genetalia yang

mengandung HIV. Transmisi ini terjadi pada 20-50% kasus. Resiko tertular

HIV melalui ASI adalah 11-29%. Penularan dapat terjadi pada trimester

ketiga, tetapi pemajanan selama persalinan dan kelahiran merupakan faktor

utama yang membedakan antara persalinan pervaginan dan operasi sesar.

b. Transmisi langsung ke peredaran darah melalui transfusi atau jarum suntik

 Suntikan intravena

Penularan infeksi melalui suntikan intra vena disebabkan karena terjadinya

kontak langsung darah dengan jarum dan spuit yang terkontaminasi. Meski

jumlah darah dalam spuit relatif kecil, efek kumulatif pemakaian bersama alat

peralatan suntik yang sudah terkontaminasi tersebut akan meningkatkan

resiko penularan. Penularan cara ini banyak dialami oleh para pengguna

narkoba.

 Darah dan produk darah

Penularan darah dapat terjadi jika pada pasien yang menerima transfusi darah

dan penderita HIV. Namun demikian resiko yang berkaitan dengan transfusi

kini sudah banyak berkurang sebagai hasil dari pemeriksaan serologi yang

secara sukarela diminta sendiri, pemrosesan konsentrat faktor pembekuan,

pemanasan, dan cara-cara inaktivasi virus yang semakin efektif.

c. Transmisi melalui mukosa genital.

11
 Kontak seksual

Penularan melalui hubungan heteroseksual ataupun homoseksual adalah cara

paling dominan dari semua cara penularan. Pada hubungan heteroseksual atau

homoseksual berarti terjadi kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal,

ataupun oral antara dua individu. Kontak ini akan meningkatkan kemungkinan

trauma pada mukosa rektum ataupun vagina dan selanjutnya memperbesar

peluang untuk terkena virus HIV lewat sekret tubuh. Peningkatan frekuensi

berhubungan dengan pasangan bergantian juga turut menyebarkan penyakit

ini. Tingkatan resiko penularan HIV juga tergantung dari jumlah virus yang

keluar dan masuk kedalam pintu masuk tubuh seseorang.

F. Diagnosis

1. Anamnesis

Anamnesis yang lengkap termasuk faktor risiko pajanan HIV , pemeriksaan

fisik, pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat

kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan

diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium,

memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk menentukan tata

laksana selanjutnya.10

Tabel 2.2 Faktor Risiko Infeksi HIV

12
Tabel 2.3 Daftar tilik riwayat pasien

13
14
Tabel 2.4 Tanda dan Gejala Klinis yang patut dicurigai HIV/AIDS
Stadium

15
Tabel 2.5 Stadium HIV/AIDS

Pemeriksaan penunjang

Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan pemeriksaan

laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain dengan

pemeriksaan antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus HIV

(umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan PCR

untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit Sedangkan untuk

kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi

oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3.7

16
2. Stadium Klinis

WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I

(asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV

(sakit berat atau AIDS). Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4,

stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk memulai terapi profilaksis

infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah terapi ARV.10

AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV. Selama stadium individu bisa saja

merasa sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit. Pada stadium lanjut,

system imun individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi Opportunistik dan

mereka terus menerus menderita penyakit minor dan mayor Karen tubuhnya tidak

mampu memberikan pelayanan.10

Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi, memang

tidak memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu kemudian orang

tua yang terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan

diare. Penderita AIDS dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 3-4 penderita tidak

memperlihatkan gejala yang khas. Sesudah tahun ke 5-6 mulai timbul diare berulang,

penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut dan terjadi

pembengkakan didaerah kelenjar getah bening. Jika diuraikan tanpa penanganan

medis, gejala PMS akan berakibat fatal.10

Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spectrum

yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatif) pada stadium awal sampai

dengan gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit

17
lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi, bahkan

dapat lebih lama lagi.10

Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya HIV menjadi AIDS belum

diketahui jelas. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang – ulang dan pemaparan

terhadap infeksi-infeksi lain mempengaruhi perkembangan kearah AIDS.

Menurunnya hitungan sel CDA di bawah 200/ml menunjukkan perkembangan yang

semakin buruk. Keadaan yang buruk juga ditunjukkan oleh peningkatan B2 mikro

globulin dan juga peningkatan I9A.11

Perjalanan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu :11

a. Infeksi Akut : CD4 : 750 – 1000

Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan.

Gejala yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia, malaise,

gejala kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada, nyeri

retrobulber, gangguan kognitif danapektif), gangguan gas trointestinal (nausea, diare).

Pada fase ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi viremia. Gejala tersebut

diatas merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya unis yang berlangsung kira-kira 1-

2 minggu.

b. Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/ml

Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian, umumnya

sekitar 5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun sebenarnya terjadi

replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Beberapa penderita mengalami

pembengkakan kelenjar lomfe menyeluruh, disebut limfa denopatio (LEP), meskipun

ini bukanlah hal yang bersifat prognostic dan tidak terpengaruh bagi hidup penderita.

18
Saat ini sudah mulai terjadi penurunan jumlah sel CD4 sebagai petunjuk menurunnya

kekebalan tubuh penderita, tetapi masih pada tingkat 500/ml.

c. Infeksi Kronis Simtomatik

Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai gejala

penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat imunitas

pemderita.

1). Penurunan Imunitas sedang : CD4 200 – 500

Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan misalnya

reaktivasi dari herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat sembuh total atau

hanya dengan pengobatan biasa. Keganasan juga dapat timbul pada fase yang lebih

lanjut dari sub-fase ini dan dapat berlanjut ke sub fase berikutnya, demikian juga

yang disebut AIDS-Related (ARC).

2) Penurunan Imunitas berat : CD4 < 200

Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam jiwa

penderita. Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering pada fase yang

lebih awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan telah dikatakan tubuh sudah

dalam kehilangan kekebalannya.

Sindrom klinis stadium simptomatik yang utama:

 Limfadenopati Generalisata yang menetap

 Gejala konstutional: Demam yang menetap > 1 bulan, penurunan BB involunter

> 10% dari nilai basal, dan diare >1 bulan tanpa penyebab jelas.

19
 Kelainan neurologis: Ensefalopati HIV, limfoma SSP primer, meningitis aseptik,

mielopati, neuropati perifer, miopati.

 Penyakit infeksiosa sekunder: pneumonia, Candida albicans, M. Tuberculosis,

Cryptococcus neoformans, Toxxoplasma gondii, Virus Herpes simpleks

 Neoplasma Sekunder: Sarkoma Kaposi (kulit dan viseral), neoplasma limfoid

 Kelainan lain: Sindrom spesifik organ sebagai manifestasi prmer penderita TB

atau komplikasi

Untuk memastikan apakah seseorang kemasukan virus HIV, ia harus

memeriksakan darahnya dengan tes khusus dan berkonsultasi dengan dokter. Jika dia

positif mengidap AIDS, maka akan timbul gejala-gejala yang disebut degnan ARC

(AIDS Relative Complex).12

Adapun gejala-gejala yang biasa nampak pada penderita AIDS adalah:

a. Dicurigai AIDS pada orang dewasa

Bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu gejala minor dan tidak ada

sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti kanker, malnutrisi berat atau pemakaian

kortikosteroid yang lama.

1). Gejala Mayor

Penurunan berat badan lebih dari 10%

Diare kronik lebih dari satu bulan

Demam lebih dari satu bulan

2). Gejala Minor

Batuk lebih dari satu bulan

20
Dermatitis preuritik umum

Herpes zoster recurrens

Kandidias orofaring

Limfadenopati generalisata

Herpes simplek diseminata yang kronik progresif

2. Pemeriksaan penunjang

Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan pemeriksaan

laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain dengan

pemeriksaan antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus HIV

(umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan PCR

untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit Sedangkan untuk

kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi

oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3.10

Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional

yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu didahului

dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat

menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama (A1)

harus digunakan tes dengan sensitivitas yang tinggi (>99%), sedang untuk

pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi

(>99%).10

21
Gambar 2.3 Alur Pemeriksaan Laboratorium HIV

Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang memiliki

sensitivitas tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan hasil yang

reaktif, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk

memastikan adanya infeksi oleh HIV. Uji konfirmasi yang sering dilakukan saat ini

adalah dengan teknik Western Blot (WB). Hasil tes positif palsu dapat disebabkan

adanya otoantibodi, penerima vaksin HIV, dan kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil

tes positif pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif belum tentu berarti tertular

mengingat adanya IgG terhadap HIV yang berasal dari darah ibu. IgG ini dapat

bertahan selama 18 bulan sehingga pada kondisi ini, tes perlu diulang pada usia anak

> 18 bulan. 2

22
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah dengan

tes konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia,

pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin dilakukan secara rutin.

WHO menganjurkan strategi pemeriksaan dengan kombinasi dari pemeriksaan

penyaring yang tidak melibatkan pemeriksaan WB sebagai konfirmasi. Di Indonesia,

kombinasi yang digunakan adalah tiga kali positif pemeriksaan penyaring dengan

menggunakan strategi 3.2

Bila hasil tes tidak sama misal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan

yang ketiga non- reaktif atau apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga non-

reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut

memiliki riwayat pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa

riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan

dilaporkan sebagai non-reaktif.2

Tabel 2.6 Interpretasi dan Tindak Lanjut pemeriksaan A1

23
G. Tatalaksana

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.

Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa

pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk

menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. 2

Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu: 11

a. Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral

(ARV).

b. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang

menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,

toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.

c. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih

baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan

dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan.

Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan,

harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.

Terapi Antiretroviral (ARV) 2

Obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni :

 Nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) : Abacavir (ABC), Didanosine

(ddI) Emtricitabine (FTC) Lamivudine (3TC) Stavudine (d4T) Zidovudine

(AZT)

 Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) : Efavirenz (EFV),

24
Etravirine (ETV), Nevirapine (NVP)

 Protease inhibitors (PI): Atazanavir (ATV), Ritonavir (RTV), Lopinavir (LPV),

Darunavir (DRV)

Anjuran pemilihan obat ARV lini pertama : 10

Saat Memulai Terapi ARV : 2

Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4

(bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah

untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau

belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA

dewasa.

25
a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4 (Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4,

maka penentuan mulai terapi ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis.)

b. Tersedia pemeriksaan CD4

Rekomendasi : 10

1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 < 350 sel/mm3

tanpa memandang stadium klinisnya.

2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan

koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.

Panduan obat ARV yang tidak dianjurkan : 10

26
Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS) - Sindrom Pulih Imun

(SPI)

Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS) atau Sindrom Pulih

Imun (SPI) adalah perburukan kondisi klinis sebagai akibat respons inflamasi

berlebihan pada saat pemulihan respons imun setelah pemberian terapi antiretroviral.

Sindrom pulih imun mempunyai manifestasi dalam bentuk penyakit infeksi maupun

non infeksi. Manifestasi tersering pada umumnya adalah berupa inflamasi dari

penyakit infeksi. Sindrom pulih imun infeksi ini didefinisikan sebagai timbulnya

manifestasi klinis atau perburukan infeksi yang ada sebagai akibat perbaikan respons

imun spesifik patogen pada ODHA yang berespons baik terhadap ARV.10

Mekanisme SPI belum diketahui dengan jelas, diperkirakan hal ini merupakan

respon imun berlebihan dari pulihnya sistem imun terhadap rangsangan antigen

tertentu setelah pemberian ARV. Insidens sindrom pulih imun secara keseluruhan

27
berdasarkan meta analisis adalah 16.1%. Namun, insidens ini juga berbeda pada tiap

tempat, tergantung pada rendahnya derajat sistem imun dan prevalensi infeksi

oportunistik dan koinfeksi dengan patogen lain. 10

Pada saat ini dikenal dua jenis SPI yang sering tumpang tindih, yaitu sindrom

pulih imun unmasking (unmasking IRD) dan sindrom pulih imun paradoksikal. Jenis

unmasking terjadi pada pasien yang tidak terdiagnosis dan tidak mendapat terapi

untuk infeksi oportunistiknya dan langsung mendapatkan terapi ARV-nya. Pada jenis

paradoksikal, pasien telah mendapatkan pengobatan untuk infeksi oportunistiknya.

Setelah mendapatkan ARV, terjadi perburukan klinis dari penyakit infeksinya

tersebut.

Manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi dan tergantung dari bahan

infeksi atau non-infeksi yang terlibat, sehingga diagnosis menjadi tidak mudah. Pada

waktu menegakkan diagnosis SPI perlu dicantumkan penyakit infeksi atau non

infeksi yang menjadi penyebabnya (misal IRIS TB, IRIS Toxoplasmosis). 10

International Network Study of HIV-associated IRIS (INSHI) membuat

konsensus untuk kriteria diagnosis sindrom pulih imun sebagai berikut : 10

1. Menunjukkan respons terhadap terapi ARV dengan:

 Mendapat terapi ARV

 Penurunan viral load > 1 log kopi/ml (jika tersedia)

2. Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi yang terkait dengan

inisiasi terapi ARV

3. Gejala klinis tersebut bukan disebabkan oleh:

28
 Gejala klinis dari infeksi yang diketahui sebelumnya yang telah berhasil

disembuhkan

 Efek samping obat atau toksisitas

 Kegagalan terapi

 Ketidakpatuhan menggunakan ARV

Beberapa faktor risiko terjadinya SPI adalah jumlah CD4 yang rendah saat

memulai terapi ARV, jumlah virus RNA HIV yang tinggi saat memulai terapi ARV,

banyak dan beratnya infeksi oportunistik, penurunan jumlah virus RNA HIV yang

cepat selama terapi ARV, belum pernah mendapat ARV saat diagnosis infeksi

oportunistik, dan pendeknya jarak waktu antara memulai terapi infeksi oportunistik

dan memulai terapi ARV.10

Tatalaksana SPI meliputi pengobatan patogen penyebab untuk menurunkan

jumlah antigen dan meneruskan terapi ARV. Terapi antiinflamasi seperti obat

antiiflamasi non steroid dan steroid dapat diberikan. Dosis dan lamanya pemberian

kortikosteroid belum pasti, berkisar antara 0,5- 1 mg/kg/hari prednisolon.10

Pemantauan Pasien dalam Terapi Antiretroviral13,14

1. Pemantauan klinis

Frekuensi Pemantauan klinis tergantung dari respon terapi ARV. Sebagai

batasan minimal, Pemantauan klinis perlu dilakukan pada minggu 2, 4, 8, 12 dan 24

minggu sejak memulai terapi ARV dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah

mencapai keadaan stabil.

Pada setiap kunjungan perlu dilakukan penilaian klinis termasuk tanda dan

29
gejala efek samping obat atau gagal terapi dan frekuensi infeksi (infeksi bakterial,

kandidiasis dan atau infeksi oportunirtik lainnya) ditambah konseling untuk

membantu pasien memahami terapi ARV dan dukungan kepatuhan.

2. Pemantauan laboratoris

 Direkomendasikan untuk melakukan pemantauan CD4 secara rutin setiap 6

bulan, atau lebih sering bila ada indikasi klinis. Angka limfosit total (TLC = total

lymphocyte count) tidak direkomendasikan untuk digunakan memantau terapi

karena perubahan nilai TLC tidak dapat digunakan untuk memprediksi

keberhasilan terapi.

 Untuk pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu dilakukan

pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai terapi dan pada minggu

ke 4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada indikasi tanda dan gejala anemia

 Pengukuran ALT (SGPT) dan kimia darah lainnya perlu dilakukan bila ada tanda

dan gejala dan bukan berdasarkan sesuatu yang rutin. Akan tetapi bila

menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 antara 250 – 350 sel/mm3

maka perlu dilakuan pemantauan enzim transaminase pada minggu 2, 4, 8 dan 12

sejak memulai terapi ARV (bila memungkinkan), dilanjutkan dengan

pemantauan berdasar gejala klinis

 Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang mendapatkan TDF

 Keadaan hiperlaktatemia dan asidosis laktat dapat terjadi pada beberapa pasien

yang mendapatkan NRTI, terutama d4T atau ddI. Tidak direkomendasi untuk

pemeriksaan kadar asam laktat secara rutin, kecuali bila pasien menunjukkan

30
tanda dan gejala yang mengarah pada asidosis laktat

 Penggunaan Protease Inhibitor (PI) dapat mempengaruhi metabolisme glukosa

dan lipid. Beberapa ahli menganjurkan pemeriksaan gula darah dan profil lipid

secara reguler tetapi lebih diutamakan untuk dilakukan atas dasar tanda dan

gejala

 Pengukuran Viral Load (VL) sampai sekarang tidak dianjurkan untuk memantau

pasien dalam terapi ARV dalam keadaan terbatas fasilitas dan kemampuan

pasien. Pemeriksaan VL digunakan untuk membantu diagnosis gagal terapi.

Hasil VL dapat memprediksi gagal terapi lebih awal dibandingkan dengan hanya

menggunakan pemantauan klinis dan pemeriksaan jumlah CD4

 Jika pengukuran VL dapat dilakukan maka terapi ARV diharapkan menurunkan

VL menjadi tidak terdeteksi setelah bulan ke 6.

3. Pemantauan pemulihan jumlah sel CD4

 Pemberian terapi ARV akan meningkatkan jumlah CD4. Hal ini akan berlanjut

bertahun-tahun dengan terapi yang efektif. Keadaan tersebut, kadang tidak

terjadi, terutama pada pasien dengan jumlah CD4 yang sangat rendah pada saat

mulai terapi. Meskipun demikian, pasien dengan jumlah CD4 yang sangat rendah

tetap dapat mencapai pemulihan imun yang baik tetapi memerlukan waktu yang

lebih lama.

 Pada pasien yang tidak pernah mencapai jumlah CD4 yang lebih dari 100

sel/mm3 dan atau pasien yang pernah mencapai jumlah CD4 yang tinggi tetapi

kemudian turun secara progresif tanpa ada penyakit/kondisi medis lain, maka

31
perlu dicurigai adanya keadaan gagal terapi secara imunologis.

 Data jumlah CD4 saat mulai terapi ARV dan perkembangan CD4 yang

dievaluasi tiap 6 bulan sangat diperlukan untuk menentukan adanya gagal terapi

secara imunologis. Pada sebagian kecil pasien dengan stadium lanjut dan jumlah

CD4 yang rendah pada saat mulai terapi ARV, kadang jumlah CD4 tidak

meningkat atau sedikit turun meski terjadi perbaikan klinis.

32

Anda mungkin juga menyukai