Anda di halaman 1dari 17

Lembar Tugas Mandiri

Nama Modul (PBL Ke-X)


Semester 4/2024/FKUI 2021
Kenzi Naufaldi Muhammad
2106705890 – KD-18

Patofisiologi dan Patogenesis HIV


(Respon Imun Tubuh terhadap HIV)

A. Pendahuluan
Pemicu ketiga modul Infeksi Imunologi menceritakan seorang pria usia
33 tahun bernama Tn. H datang ke poliklinik dengan keluhan diare
hilang timbul selama beberapa bulan terakhir. Pasien pernah menikah,
tetapi sudah bercerai 3 tahun lalu dan dikarunai 1 anak. Pasien pernah
ke dokter kulit dengan kutil kelamin di anus. Berdasarkan hasil
pemeriksaan fisik, pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos
mentis, frekuensi nadi 105 kali/menit, frekuensi pernapasan 28
kali/menit, suhu 37,8oC, dan tekanan darah 110/72 mmHg. Hasil
pemeriksaan matanya adalah tidak ada konjungtiva anemis dan sklera
ikterik. Hasil pemeriksaan mulutnya adalah terdapat bercak-bercak
putih di mukosa dalam mulut. Hasil pemeriksaan parunya adalah paru
vesikuler, serta tidak ada ronkhi dan mengi. Hasil bunyi jantung pasien
adalah bunyi jantung 1-2 murni, serta tidak ada murmur dan gallop.
Hasil pemeriksaan abdomen pasien adalah perut pasien tidak
membuncit, tidak ada nyeri tekan, tetapi lemas dan ada bising usus.
Hasil pemeriksaan ekstremitas pasien adalah tidak ada edema dan
petechiae. Adapun pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan adalah
pemeriksaan laboratorium darah tepi dan pemeriksaan HIV penyaring.
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium darah tepi, hemoglobin
12,1 (N: 12—15) g/dL, leukosit 4.080 (N: 4.000—10.000) /uL, hitung
jenis 0,1/0,8/90,9/7,5/0,7; hematocrit 36,7 (N: 36—46)%, dan

1
trombosit 130.000 (N: 150.000—410.000) /uL. Hasil pemeriksaan HIV
penyaring pasien adalah metode 1, metode 2, dan metode 3 bersifat
reaktif sehingga bisa disimpulkan bahwa pasien berstatus HIV positif.
Pada LTM ini, saya akan membahas patofisiologi dan pathogenesis HIV
(respon imun tubuh terhadap HIV).

B. Isi
Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan virus yang
menyerang sistem imunitas tubuh manusia dan melemahkan
kemampuan tubuh untuk melawan berbagai jenis penyakit. HIV adalah
virus yang ditularkan melalui darah dan biasanya melalui hubungan
seksual, penggunaan obat-obatan terlarang, serta selama proses
kelahiran atau melalui air susu ibu (penularan vertikal). Penyakit HIV
disebabkan oleh infeksi HIV-1 atau HIV-2 yang merupakan retrovirus
dalam family Retroviridae dan genus Lentivirus. Retrovirus adalah virus
RNA berselubung yang ditentukan oleh mekanisme replikasinya melalui
transkripsi terbalik untuk menghasilkan salinan DNA yang berintegrasi
ke dalam genom sel inang.1,2,3
1. Patofisiologi
HIV menghasilkan defisiensi imun seluler yang ditandai dengan
berkurangnya limfosit T pembantu (sel CD4). Kehilangan sel CD4
mengakibatkan infeksi oportunistik dan proses neoplastik
berkembang.1
a. Virologi HIV
HIV-1 dan HIV-2 adalah virus RNA indra positif yang terselubung,
diploid, beruntai tunggal, dengan perantara DNA, yang
merupakan genom virus terintegrasi (provirus) yang bertahan di
dalam DNA sel inang. HIV mengandung tiga gen retroviral yang
menentukan spesies, yakni gag, pol, dan env. Gen gag
mengkode antigen spesifik kelompok, yakni protein struktural
bagian dalam. Gen pol mengkode polimerase yang juga

2
mengandung integrase dan protease (enzim virus), serta
diproduksi sebagai perpanjangan terminal-C dari protein gag.
Gen env mengkode selubung virus, yakni protein struktural luar
yang bertanggung jawab atas spesifisitas tipe sel. Glikoprotein
120, protein selubung virus, berikatan dengan molekul CD4+
inang. HIV-1 memiliki 6 gen aksesori tambahan, yakni tat, rev,
nef, vif, vpu, dan vpr. HIV-2 memiliki 6 gen aksesori tambahan,
yakni tat, rev, nef, vif, vpx, dan vpr. Satu-satunya virus lain yang
diketahui mengandung gen vpu adalah virus imunodefisiensi
simian pada simpanse (SIV cpz) yang setara dengan HIV.
Uniknya, simpanse dengan infeksi HIV-1 aktif resisten terhadap
penyakit. Protein tambahan HIV-1 dan HIV-2 terlibat dalam
replikasi virus dan mungkin berperan dalam proses penyakit.
Bagian luar genom terdiri dari pengulangan terminal panjang
(LTR) yang berisi urutan yang diperlukan untuk transkripsi dan
penyambungan gen, pengemasan virus dari RNA genom, dan
urutan dimerisasi untuk memastikan bahwa 2 genom RNA
dikemas.1

Gambar 1: Tata letak genom HIV-1 dan HIV-2


Proses dimerisasi, pengemasan, dan transkripsi gen saling terkait
erat. Gangguan pada satu proses sering berdampak pada proses
lainnya. LTR hanya ada pada genom DNA proviral. Genom RNA
virus hanya berisi sebagian dari setiap LTR dan LTR lengkap

3
dibuat ulang selama proses transkripsi terbalik sebelum
diintegrasikan ke dalam DNA inang.1
b. Siklus Hidup HIV
HIV menempel dan menembus sel T inang, lalu melepaskan RNA
dan enzim HIV ke dalam sel inang. HIV reverse transcriptase
menyalin RNA virus sebagai DNA proviral. DNA proviral
memasuki inti sel inang dan integrase HIV memfasilitasi integrasi
DNA proviral ke dalam DNA inang. Kemudian, sel inang
menghasilkan RNA HIV dan protein HIV, seperti glikoprotein
selubung 41 dan 120. Protein HIV dirakit menjadi virion HIV dan
tumbuh tunas dari permukaan sel. Protease HIV membelah
protein virus, mengubah virion yang belum matang menjadi virus
yang matang dan dapat menular.3

Gambar 2: Siklus Hidup HIV


Limfosit CD4+ yang terinfeksi menghasilkan > 98 virion HIV
plasma. Sebagian limfosit CD4+ yang terinfeksi merupakan
reservoir HIV yang bisa reaktivasi (contohnya, jika pengobatan
antiviral dihentikan). Pada infeksi HIV sedang hingga berat,

4
sekitar 108 hingga 109 virion dibuat dan dihilangkan setiap hari.
Waktu paruh rerata HIV dalam plasma adalah sekitar 36 jam,
sekitar 24 jam di intraseluler, dan sekitar 6 jam sebagai virus
ekstraseluler. Setiap hari sekitar 30% dari total beban HIV pada
orang yang terinfeksi berpindah. Selain itu, 5 hingga 7% sel CD4
berubah setiap hari dan seluruh kumpulan sel CD4 berubah
setiap 2 hari. Oleh karena itu, AIDS diakibatkan oleh replikasi
HIV secara terus-menerus dan konsisten yang menyebabkan
virus dan pembunuhan limfosit CD4 yang dimediasi oleh
kekebalan tubuh. Tingginya volume replikasi HIV dan tingginya
frekuensi kesalahan transkripsi oleh HIV reverse transcriptase
mengakibatkan banyak mutasi, meningkatkan probabilitas
menghasilkan strain yang resistan terhadap imunitas inang dan
obat-obatan. Infeksi retrovirus jenis lain, human T-lymphotropic
virus (HTLV), lebih jarang terjadi, tetapi juga bisa menyebabkan
penyakit serius.3
c. Sistem Imun
Dua konsekuensi utama dari infeksi HIV adalah kerusakan sistem
kekebalan, terutama penipisan limfosit CD4+ dan aktivasi
kekebalan. Limfosit CD4+ terlibat dalam imunitas seluler dan
imunitas humoral (pada tingkat lebih rendah). Penipisan CD4+
bisa disebabkan oleh beberapa hal, yakni efek sitotoksik
langsung dari replikasi HIV, sitotoksisitas imun yang diperantarai
sel, dan kerusakan timus yang mengganggu produksi limfosit.
Limfosit CD4+ yang terinfeksi memiliki waktu paruh sekitar 2
hari, jauh lebih pendek daripada sel CD4+ yang tidak terinfeksi.
Tingkat penghancuran limfosit CD4+ berkorelasi dengan tingkat
HIV plasma. Biasanya, selama infeksi awal atau primer, tingkat
HIV paling tinggi (> 106 kopi/mL) dan jumlah CD4 turun dengan
cepat. Jumlah CD4 normal adalah 750/mcL dan imunitas hanya
sedikit terpengaruh jika jumlah CD4 > 350/mcL. Jika jumlahnya

5
turun di bawah sekitar 200/mcL, hilangnya imunitas seluler
memungkinkan berbagai pathogen oportunistik aktif kembali
dari keadaan laten dan menyebabkan penyakit klinis. Sistem
kekebalan humoral juga terpengaruh. Hiperplasia sel B di
kelenjar getah bening menyebabkan limfadenopati dan sekresi
antibodi terhadap antigen yang ditemui sebelumnya meningkat,
sering kali menyebabkan hyperglobulinemia. Tingkat antibodi
total (terutama IgG dan IgA) dan titer terhadap antigen yang
ditemui sebelumnya mungkin sangat tinggi. Namun, respons
antibodi terhadap antigen baru (misalnya pada vaksin) menurun
seiring dengan menurunnya jumlah CD4. Peningkatan aktivasi
kekebalan yang tidak normal mungkin disebabkan sebagian oleh
absorbsi komponen bakteri usus. Aktivasi imun berkontribusi
terhadap penurunan CD4+ dan imunosupresi melalui mekanisme
yang masih belum jelas.3
d. Jaringan Lainnya
HIV juga menginfeksi sel monosit non-limfoid (contohnya sel
dendritic pada kulit, makrofag, dan mikroglia otak) dan sel otak,
saluran genital, jantung, dan ginjal sehingga menyebabkan
penyakit pada sistem organ terkait. Strain HIV di beberapa
bagian, seperti sistem saraf (otak dan cairan serebrospinal) dan
saluran genital (air mani, cairan serviks-vagina), bisa mengalami
mutase dan menjadi berbeda secara genetik dari strain yang ada
di plasma sehingga menunjukkan bahwa strain tersebut telah
diseleksi oleh atau telah disesuaikan dengaan kompartemen
anatomi ini. Oleh karena itu, tingkat HIV dan pola resistensi di
kompartemen ini bisa bervariasi secara independent dari tingkat
di dalam plasma.3
e. Perkembangan Penyakit – Respons Imun
Selama beberapa minggu pertama infeksi primer, terdapat
respons imun humoral dan seluler. Respons imun humoralnya

6
ialah antibodi terhadap HIV biasanya bisa diukur dalam beberapa
minggu setelah infeksi primer. Namun, antibodi tidak bisa
sepenuhnya mengendalikan infeksi HIV karena dihasilkan bentuk
HIV yang bermutasi dan tidak bisa dikendalikan oleh antibodi
anti-HIV pasien saat ini. Adapun respons selulernya ialah
imunitas yang dimediasi sel adalah cara yang lebih vital untuk
mengendalikan tingkat viremia yang tinggi (biasanya lebih dari
106 kopi /mL) pada awalnya. Namun, mutasi cepat pada antigen
virus yang menjadi sasaran sitotoksisitas yang diperantarai
limfosit menumbangkan pengendalian HIV pada semua pasien,
kecuali pada sebagian kecil pasien. Tingkat virion HIV plasma,
dinyatakan sebagai jumlah salinan RNA HIV/mL, stabil setelah
sekitar 6 bulan pada tingkat (set point) yang sangat variatif
antarpasien, tetapi rata-rata 30.000 hingga 100.000/mL (4,2
hingga 5 log 10/mL). Variabilitas ini bergantung pada cara faktor
inang berinteraksi dan berdampak pada keragaman genetik virus
HIV. Semakin tinggi titik setel (set point) ini, semakin cepat
jumlah CD4 menurun ke tingkat yang sangat mengganggu
kekebalan (<200/mcL) dan mengakibatkan infeksi oportunistik
dan kanker yang merupakan ciri khas AIDS. Risiko dan tingkat
keparahan infeksi oportunistik, AIDS, dan kanker terkait AIDS
ditentukan oleh dua faktor, yakni jumlah CD4 dan paparan
terhadap patogen yang berpotensi oportunistik. Risiko infeksi
oportunistik tertentu meningkat di bawah ambang batas
(threshold) jumlah CD4, yakni sekitar 200/mcL untuk beberapa
infeksi dan 50/mcL untuk infeksi lainnya, seperti berikut ini:
1) Jumlah CD4 < 200/mcL: peningkatan risiko pneumonia
Pneumocystis jirovecii, ensefalitis toksoplasma, dan
meningitis kriptokokus
2) Jumlah CD4 < 50/mcL: peningkatan risiko infeksi CMV
(sitomegalovirus) dan MAC (Mycobacterium avium complex)

7
Untuk setiap peningkatan 3 kali lipat (0,5 log 10) dalam RNA HIV
plasma pada pasien yang tidak diobati, risiko berkembang
menjadi AIDS atau kematian dalam 2 hingga 3 tahun ke depan
meningkat sekitar 50%. Tanpa pengobatan, risiko berkembang
menjadi AIDS adalah sekitar 1 hingga 2%/tahun dalam 2 hingga
3 tahun pertama infeksi dan sekitar 5 hingga 6%/tahun
setelahnya. Akhirnya, AIDS hampir selalu berkembang pada
pasien yang tidak diobati.3,4
2. Patogenesis
Selama tiga dekade terakhir penelitian intensif mengenai kontribusi
virus dan faktor pejamu (host) menentukan variabilitas hasil infeksi
HIV-1, patogenesis HIV masih menjadi topik menarik yang
memerlukan penelitian lebih lanjut. Pemahaman tentang
mekanisme yang tepat mengenai cara faktor-faktor ini
memengaruhi patogenesis HIV sangat penting untuk
pengembangan strategi efektif untuk mencegah infeksi.4
a. Fase Infeksi HIV
Ada beberapa faktor virus dan pejamu yang menentukan
variabilitas hasil infeksi HIV-1 dan tingkat perkembangan
penyakit pada orang yang terinfeksi HIV-1. Tropisme seluler
yang menentukan fenotipe virus dan reseptor-reseptor yang
menentukan masuknya virus ke berbagai jenis sel merupakan
faktor utama yang memengaruhi patogenesis HIV. Meskipun
penelitian intensif telah dilakukan selama 25 tahun terakhir,
mekanisme pasti mengenai cara faktor-faktor ini berkontribusi
terhadap hilangnya sel T CD4+ secara dramatis dan bertahannya
strain R5 dan X4 selama status AIDS masih belum teridentifikasi
dengan baik.4 Infeksi HIV klinis mengalami tiga fase berikut:
1) Serokonversi Akut
Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa sel Langerhans
adalah target seluler pertama HIV yang menyatu dengan

8
limfosit CD dan menyebar ke jaringan yang lebih dalam. Pada
manusia, terjadinya viremia plasma yang cepat dengan
penyebaran virus yang luas terjadi 4 hari hingga 11 hari
setelah virus masuk ke mukosa. Tidak ada tempat integrasi
yang tetap, tetapi virus cenderung berintegrasi di area
transkripsi aktif, diduga karena area tersebut memiliki
kromatin yang lebih terbuka dan DNA yang lebih mudah
diakses. Hal ini sangat mempersulit pemberantasan virus oleh
inang karena genom provirus yang laten bisa bertahan tanpa
terdeteksi oleh sistem kekebalan dan tidak bisa ditargetkan
oleh antivirus. Selama fase ini, infeksi terjadi dan reservoir
provirus terbentuk. Reservoir ini terdiri dari sel-sel yang
terus-menerus terinfeksi, biasanya makrofag, dan tampaknya
terus-menerus melepaskan virus. Beberapa dari pelepasan
virus mengisi kembali reservoir, dan beberapa lagi
menghasilkan infeksi yang lebih aktif. Reservoir proviral, yang
diukur dengan reaksi berantai DNA polimerase (PCR),
tampaknya sangat stabil. Meskipun penyakit ini menurun
dengan terapi antiviral yang agresif, waktu paruhnya
sedemikian rupa sehingga pemberantasannya tidak dapat
diharapkan. Ukuran reservoir proviral berkorelasi dengan
viral load pada kondisi stabil dan berkorelasi terbalik dengan
respons sel T anti-HIV CD8+. Pengobatan dini yang agresif
terhadap infeksi akut akan menurunkan jumlah proviral dan
pengobatan pada pasien yang baru terinfeksi (tetapi pasca-
konversi) memberikan manfaat jangka panjang. Pada titik ini,
viral load biasanya sangat tinggi dan jumlah sel T CD4 turun
drastic. Dengan munculnya antibodi anti-HIV dan tanggapan
sel T CD8+, viral load turun ke kondisi stabil dan jumlah sel
T CD kembali ke tingkat dalam kisaran referensi meskipun
sedikit lebih rendah daripada sebelum infeksi. Serokonversi

9
mungkin memerlukan waktu beberapa minggu hingga
beberapa bulan. Gejala selama ini mungkin termasuk
demam, penyakit mirip flu, limfadenopati, dan ruam.
Manifestasi ini terjadi pada sekitar setengah dari seluruh
orang yang terinfeksi HIV.1,4
2) Infeksi Tanpa Gejala
Pada tahap infeksi ini, individu terinfeksi hanya menunjukkan
sedikit atau tidak ada tanda atau gejala selama beberapa
tahun hingga satu dekade atau lebih. Replikasi virus jelas
sedang berlangsung selama masa ini, serta respons imun
terhadap virus efektif dan kuat. Pada beberapa pasien,
limfadenopati generalisata persisten merupakan tanda
infeksi. Selama masa ini, viral load cenderung bertahan pada
tingkat yang relatif stabil jika tidak diobati, tetapi jumlah sel
T CD4 terus menurun. Tingkat penurunan ini terkait, namun
tidak mudah diprediksi oleh, viral load yang stabil. Bukti
sekarang menunjukkan bahwa memulai terapi pada awal
periode tanpa gejala adalah efektif. Namun, inisiasi terapi
yang terlambat diketahui mengakibatkan respons terapi yang
kurang efektif dan tingkat pemulihan kekebalan yang lebih
rendah.1,4
3) AIDS
Ketika sistem kekebalan tubuh cukup rusak sehingga infeksi
oportunistik yang signifikan mulai berkembang, orang
tersebut dianggap mengidap AIDS. Untuk tujuan
pengawasan di Amerika Serikat, jumlah sel T CD kurang dari
200/µL juga digunakan sebagai ukuran untuk mendiagnosis
AIDS meskipun beberapa infeksi oportunistik berkembang
ketika jumlah sel T CD4 lebih tinggi daripada 200/µL. Pada
beberapa orang, mungkin tetap relatif sehat dengan jumlah
CD4 kurang dari 200/µL. Banyak infeksi dan kondisi

10
oportunistik yang digunakan untuk menandai kapan infeksi
HIV telah berkembang menjadi AIDS. Frekuensi umum dari
infeksi dan kondisi ini variatif dari jarang hingga umum, tetapi
semuanya jarang atau ringan pada orang yang
imunokompeten. Jika salah satu penyakit ini sangat parah
atau sering terjadi pada orang yang terinfeksi HIV dan tidak
ditemukan penyebab lain yang menyebabkan penekanan
kekebalan, AIDS bisa didiagnosis.1,4

Gambar 3: A) Strain HIV-1 R5 yang bertahan pada semua


tahap infeksi HIV khususnya pada tahap akhir infeksi HIV,
sedangkan strain HIV-1 X4 hanya muncul pada stadium
penyakit lanjut; B) Perjalanan infeksi dan penyakit HIV
b. Penularan (Transmisi) Infeksi HIV
Penularan HIV memerlukan kontak dengan cairan tubuh
(khususnya darah, air mani, cairan vagina, ASI, atau eksudat dari
luka atau lesi kulit dan mukosa) yang mengandung virion HIV
bebas atau sel yang terinfeksi. Penularan lebih mungkin terjadi
dengan tingginya tingkat virion yang biasa terjadi pada infeksi
primer, bahkan ketika infeksi tersebut tidak menunjukkan gejala.
Penularan melalui air liur atau tetesan yang dihasilkan oleh batuk

11
atau bersin sangat kecil kemungkinannya meskipun masih
mungkin terjadi. HIV tidak menular melalui kontak yang tidak
melibatkan pertukaran cairan tubuh.3 Penularan infeksi HIV
biasanya terjadi dengan cara berikut ini:
1) Seksual
Praktik seksual seperti fellatio (seks oral yang dilakukan pada
laki-laki) dan cunnilingus (seks oral yang dilakukan pada
perempuan) tampaknya memiliki risiko yang relatif rendah,
tetapi tidak sepenuhnya aman. Risiko tidak meningkat secara
signifikan jika air mani atau cairan vagina tertelan. Namun,
luka terbuka di mulut bisa meningkatkan risiko. Praktik
seksual dengan risiko tertinggi adalah praktik yang
menyebabkan trauma mukosa, biasanya hubungan seksual.
Hubungan seksual reseptif anal memiliki risiko tertinggi.
Risiko penularan meningkat pada tahap awal dan lanjut
infeksi HIV ketika konsentrasi HIV dalam plasma dan cairan
genital lebih tinggi. Bukti menunjukkan bahwa orang dengan
infeksi HIV yang diobati dengan terapi antiretroviral (ARV)
dan memiliki viral load tidak terdeteksi (penekanan virus)
tidak menularkan virus secara seksual kepada pasangannya.
Sunat (khitan) tampaknya mengurangi risiko laki-laki tertular
infeksi HIV sekitar 50%, dengan membuang mukosa penis
(bagian bawah kulup), yang lebih rentan terhadap infeksi HIV
daripada epitel skuamosa berlapis keratin yang menutupi
seluruh penis.3
2) Terkait dengan Jarum atau Instrumen
Risiko penularan HIV setelah penetrasi kulit dengan alat
medis yang terkontaminasi darah yang terinfeksi rata-rata
sekitar 1/300 tanpa profilaksis antiretroviral pasca pajanan.
Profilaksis segera mungkin mengurangi risiko hingga <
1/1500. Risiko tampaknya lebih tinggi jika lukanya dalam

12
atau jika ada darah yang diinokulasi. Risiko juga meningkat
dengan jarum berlubang dan tusukan arteri atau vena
daripada jarum padat atau benda tembus lainnya yang
dilapisi darah karena volume darah yang bisa ditransfer lebih
besar. Oleh karena itu, berbagi jarum suntik yang pernah
masuk ke pembuluh darah orang lain merupakan aktivitas
berisiko sangat tinggi. Risiko penularan dari petugas layanan
kesehatan yang terinfeksi dan melakukan tindakan
pencegahan yang tepat masih belum jelas, tetapi tampaknya
minimal. Pada tahun 1980an, seorang dokter gigi menularkan
HIV kepada minimal 6 pasiennya melalui cara yang tidak
diketahui. Namun, penyelidikan ekstensif terhadap pasien
yang dirawat oleh dokter lain yang terinfeksi HIV, termasuk
ahli beda, hanya menemukan sedikit kasus lain.3
3) Vertikal (dari Ibu ke Anak)
HIV bisa ditularkan dari ibu ke keturunannya selama
kehamilan secara transplasental, saat melahirkan, maupun
melalui ASI. Risiko kumulatif keseluruhan penularan vertikal
tanpa obat ARV adalah 35 hingga 45%. Tingkat penularan
bisa dikurangi secara signifikan dengan memberikan obat
ARV kepada ibu yang terinfeksi HIV ketika mereka sedang
hamil, saat melahirkan, dan menyusui. Persalinan sesar dan
perawatan bayi selama beberapa minggu setelah lahir juga
mengurangi risikonya. HIV diekskresikan melalui ASI. Risiko
keseluruhan penularan melalui menyusui adalah sekitar 14%,
yang mencerminkan durasi menyusui yang variatif dan
konsentrasi RNA virus dalam plasma. Di negara-negara
dengan sumber daya tinggi, perempuan dengan infeksi HIV
disarankan untuk tidak menyusui. Namun, di rangkaian
terbatas sumber daya, pemberian ASI dikaitkan dengan
penurunan angka kesakitan dan kematian bayi akibat

13
kekurangan gizi dan penyakit menular. Bagi perempuan yang
hidup dengan HIV di rangkaian sumber daya terbatas,
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan
pengobatan ARV dan dukungan kepatuhan yang
dikombinasikan dengan pemberian ASI selama minimal 12
bulan. Kejadian AIDS pada anak-anak menurun di banyak
negara karena banyak perempuan dengan infeksi HIV dan
bayinya dirawat atau mengonsumsi obat ARV profilaksis
selama kehamilan.3
4) Terkait dengan Transfusi atau Transplantasi
Skrining donor darah dengan tes antibodi terhadap HIV dan
RNA HIV telah meminimalkan risiko penularan melalui
transfusi. Risiko penularan HIV kini melalui transfusi darah
diprediksi <1/2.000.000 per unit yang ditransfusikan di
Amerika Serikat. Namun, di banyak negara dengan beban
HIV tinggi, notabenenya darah dan produk darah tidak
disaring untuk HIV, risiko infeksi HIV yang ditularkan melalui
transfusi masih tinggi. Sangat jarang terjadi penularan HIV
melalui transplantasi organ dari donor yang seropositif HIV.
Infeksi telah berkembang pada penerima ginjal, hati,
jantung, pancreas, tulang, dan kulit, notabenenya
mengandung darah, tetapi skrining HIV sangat mengurangi
risiko penularan. Penularan HIV bahkan lebih kecil
kemungkinannya melalui transplantasi kornea, tulang yang
diberi etanol dan diliofilisasi, tulang beku segar tanpa
sumsum, tendon atau fasi yang diliofilisasi, atau duramater
yang diliofilisasi dan diradiasi. Penularan HIV dimungkinkan
melalui inseminasi buatan dengan menggunakan sperma dari
donor yang HIV positif. Beberapa kasus terjadi pada awal
tahun 1980an sebelum tindakan pengamanan dilakukan. Di
Amerika Serikat, pencucian sperma dianggap sebagai metode

14
efektif untuk mengurangi risiko inseminasi pasangan dari
donor sperma yang diketahui mengidap HIV-positif.3

C. Penutup
HIV-1 dan HIV-2 adalah virus RNA indra positif yang terselubung,
diploid, beruntai tunggal, dengan perantara DNA, yang merupakan
genom virus terintegrasi (provirus) yang bertahan di dalam DNA sel
inang. HIV mengandung tiga gen retroviral yang menentukan spesies,
yakni gag, pol, dan env. Siklus hidup HIV adalah HIV menempel dan
memasuki sel inang, lalu transkripsi terbalik, kemudian DNA proviral
memasuki DNA sel inang yang dilanjutkan dengan integrasi dan
transkripsi sebelum perakitan. Setelah perakitan, terjadi migrasi ke
membran sel, lalu pertunasan dan maturase virion menjadi HIV dewasa
dan bisa menular. Konsekuensi utama dari infeksi HIV adalah kerusakan
sistem kekebalan (terutama penipisan limfosit CD4+) dan aktivasi
kekebalan. Limfosit CD4+ terlibat dalam imunitas seluler dan imunitas
humoral (pada tingkat lebih rendah). Penipisan CD4+ bisa disebabkan
oleh beberapa hal, yakni efek sitotoksik langsung dari replikasi HIV,
sitotoksisitas imun yang diperantarai sel, dan kerusakan timus yang
mengganggu produksi limfosit. Peningkatan aktivasi kekebalan yang
tidak normal mungkin disebabkan sebagian oleh absorbsi komponen
bakteri usus. Aktivasi imun berkontribusi terhadap penurunan CD4+
dan imunosupresi melalui mekanisme yang masih belum jelas. HIV juga
menginfeksi sel monosit non-limfoid (contohnya sel dendritic pada kulit,
makrofag, dan mikroglia otak) dan sel otak, saluran genital, jantung,
dan ginjal. Respons imun humoralnya ialah antibodi terhadap HIV
biasanya bisa diukur dalam beberapa minggu setelah infeksi primer.
Namun, antibodi tidak bisa sepenuhnya mengendalikan infeksi HIV
karena dihasilkan bentuk HIV yang bermutasi dan tidak bisa
dikendalikan oleh antibodi anti-HIV pasien saat ini. Adapun respons
seluler selama beberapa minggu pertama infeksi primer ialah imunitas

15
yang dimediasi sel adalah cara yang lebih vital untuk mengendalikan
tingkat viremia yang tinggi (biasanya lebih dari 106 kopi /mL) pada
awalnya. Namun, mutasi cepat pada antigen virus yang menjadi
sasaran sitotoksisitas yang diperantarai limfosit menumbangkan
pengendalian HIV pada semua pasien, kecuali pada sebagian kecil
pasien. Fase infeksi HIV terdiri dari serokonversi akut, infeksi tanpa
gejala, dan AIDS. Transmisi HIV bisa terjadi melalui seksual, terkait
dengan jarum atau instrumen, vertikal (dari ibu ke anak), dan terkait
dengan transfusi atau transplantasi.

16
Referensi
1. Gillroy SA. HIV Infection and AIDS [Internet]. New York City: Medscape;
unknown date [updated 2024 Mar 27; cited 2024 Apr 20]. Available
from: https://emedicine-medscape-com.translate.goog/article/211316-
overview?form=fpf/article/211316-overview?form=fpf/article/211316-
overview?form=fpf/article/211316-overview?form=fpf/article/211316-
overview?form=fpf/article/211316-overview?form=fpf/article/211316-
overview?form=fpf/article/211316-
overview?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc&form=
fpf#a2
2. Jaenab, Prabawati S, Novitasari R, Wulandari SR. Tingkat pengetahuan
remaja tentang hiv/aids di sma negeri 10 Yogyakarta. Jurnal Kesehatan
[Internet]. 2021 Aug 31 [cited 2024 Apr 20];12 Suppl1:337-42.
Available from: http://repository.stikes-
yogyakarta.ac.id/id/eprint/190/1/5.%202020-
2.%20JK_Vol.12_No.1_Tingkat%20Pengetahuan%20Remaja%20Tent
ang%20HIV-AIDS%20di%20SMAN%2010.pdf
3. Cachay ER. Human immunodeficiency virus (hiv) infection [Internet].
Rahway: MSD Manuals; unknown date [updated 2024 Mar 27; cited
2024 Apr 20]. Available from: https://www-msdmanuals-
com.translate.goog/en-in/professional/infectious-diseases/human-
immunodeficiency-virus-hiv/human-immunodeficiency-virus-hiv-
infection?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc&_x_tr_
hist=true#Pathophysiology_v1021378
4. Naif HM. Pathogenesis of hiv infection. Infectious Disease Reports
[Internet]. 2013 Jun 6 [cited 2024 Apr 20];5 Suppl1:26-30. Available
from: https://www-ncbi-nlm-nih-
gov.translate.goog/pmc/articles/PMC3892619/?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=
id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc

17

Anda mungkin juga menyukai