Anda di halaman 1dari 28

Referat Imunologi

April 2005

ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY SYNDROME


(AIDS)

Gustinawati Ratu, Ruland DN Pakasi, Hardjoeno


Bagian Patologi Klinik FK Unhas-Perjan RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar

I. PENDAHULUAN

Acquired Immunodeficiendy Sindrome (AIDS) adalah suatu kelainan yang disebabkan


oleh infeksi human immunodefisiency virus type 1 (HIV-1) dan ditandai oleh penurunan
yang progresif dari sistim imun seluler, terutama pada infeksi sekunder atau malignansi.
HIV-1 diidentifikasi pertama kali oleh Luc Montanier pada Institut Pasteur, Paris tahun
1983 dan kemudian diperkenalkan lebih mendetail oleh Robert Gallo di Washington dan
Jay Levy di San Fransisco pada tahun 19841.

Infeksi oleh HIV mulai menjadi masalah kesehatan yang penting di Indonesia sejak kasus
pertama yang didiagnosis pada tahun 1987. Beberapa tahun terakhir jumlah kasus infeksi
HIV yang dilaporkan meningkat dengan tajam. Di tahun 1998, jumlah kasus infeksi HIV
kumulatif yang dilaporkan secara resmi sebnayak 819 (227 diantaranya AIDS). Jumlah
ini meningkat menjadi 1678 kasus (635 AIDS) pada bulan september 2001. Perubahan
pada gambaran epidemiologik akhir-akhir ini telah memasukkan Indonesia dalam
kategori negara dengan epidemik yang terpusat2,3.

HIV adalah termasuk jenis retrovirus yang tergolong family lentivirus. Infeksi dari
lentivirus secara khas ditandai dari sifat latennya yang lama, masa inkubasi yang lama,
replikasi virus yang persisten dan keterlibatan dari sususnan saraf pusat. Sedangkan ciri

1
khas untuk suatu jenis retrovirus yaitu; dikelilingi oleh membran lipid, mempunyai
kemampuan variasi genetik yang tinggi, mempunyai cara yang unik untuk replikasi serta
dapat menginfeksi seluruh jenis vertebra3,4,5.

Virus HIV yang diketahui ada 2 tipe, tipe 1 lebih popular dan lebih penting dibanding
dengan tipe 2 oleh karena tidak hanya dilihat dari jumlah orang yang terinfeksi lebih
banyak tetapi juga distribusi tipe virus ini adalah secara global dan juga lebih bersifat
patogen. Perbedaan tipe 1 dan tipe 2 adalah pada berat molekul dari protein serta assesori
gen yang dikandungnya. HIV 2 secara genetik lebih cenderung berhubungan dengan SIV
(simian immunodeficiency virus infection) pada monyet yang merupakan salah satu
contoh dari infeksi lentivirus. HIV-1 dan HIV-2 keduanya bereplikasi dalam CD4 sel T
dan menjadikan seseorang terinfeksi walaupun penurunan kekebalan tubuh lebih ringan
pada individu yang terinfeksi HIV-23,4,5

II. PATOGENESIS

HIV terdiri dari 3 bagian utama yaitu envelope yang merupakan bagian terluar, caspid
(pol) polimerisasi yang meliputi isi virus dan core(gag) untuk grup antigen protein,

Gbr.1. Struktur HIV4,5,6

2
merupakan isi virus. Lapisan envelope terdiri dari lemak ganda yang terbentuk dari
membran sel penjamu serta protein dari sel penjamu. Pada lapisan ini tertanam
glikoprotein gp41. Pada bagian luar glikoprotein ini terikat molekul gp120. Pada
elektroforesis kompleks antara gp120 dan gp41 membentuk pita gp160. Caspid
merupakan lapisan protein yang dikenal sebagai p17. Pada bagian core terdapat sepasang
RNA rantai tunggal, enzim-enzim yang berperan dalam replikasi seperti reserve
transcriptase (p61), endonuklease (p31), dan protease (p51) serta protein lainnya
terutama p24 (Gbr.1).3,7,8,9

Infeksi HIV merupakan suatu immunodefisiensi, disebabkan oleh replikasi virus yang
terus-menerus. Virus akan menginfeksi semua sel yang memperlihatkan antigen T 4
(CD4), dimana HIV akan menggunakannya untuk melekat pada sel. Reseptor kemokin
(CCR5 dan CXCR4) penting untuk virus masuk, dan individu dengan delesi CCR5
mudah terinfeksi, dan sekali terinfeksi, penyakit akan mengalami progressif yang lambat.
Ketika HIV masuk ke dalam sel, akan mengadakan replikasi dan menyebabkan sel akan
mengalami fusi dan mati.6,8

HIV masuk ke dalam sel host melalui interaksi yang spesifik, yaitu gp120 yang terdapat
pada lapisan luar virus, akan menempel pada permukaan luar limfosit-CD4 yang
merupakan reseptornya. HIV akan mengadakan penetrasi dan fusi ke dalam limfosit-CD4
melalui gp41 dengan adanya koreseptor CXCR4, sedangkan koreseptor untuk makrofag
adalah ß- kemokin reseptor CCR5. Selama periode 4-9 minggu setelah virus masuk
penderita akan tampak sakit dengan gejala seperti panas badan dan nyeri otot yang
tampak seperti menderita influensa. Setelah di dalam limfosit-CD4, reverse transcriptase
virus akan teraktivasi dan terjadi konversi dari single-stranded RNA virus menjadi
double stranded DNA yang berintegrasi dengan DNA manusia (fase laten)6,8
Setelah kurang lebih 3-10 tahun (sejak terinfeksi HIV), tergantung kondisi penderita,
jumlah virusnya meningkat dan limfosit-CD4 jumlahnya menurun dan karenanya
penderita bisa masuk ke dalam stadium Acquired Immunodeficiency syndrome (AIDS)
(Gbr.2)2,4,8

3
III. SIKLUS HIDUP HIV1,10
III.1. HIV mengikat dan masuk
Infeksi terhadap host dimulai jika HIV berikatan pada reseptor spesifik dari sel
membran. Interaksi membutuhkan pengenalan dari dua reseptor permukaan
protein sel host oleh protein envelop gp120 virus. Ada tidaknya protein seluler ini
membatasi cakupan tipe sel host terhadap infeksi strain HIV.
Ko-reseptor pertama adalah CD4 yang berada terutama pada sel limposit T dan
makrofag. Ko-reseptor kedua yang dibutuhkan untuk virus masuk adalah CCR5
dan CXCR4. Meskipun semua strain HIV akan mengenal dan berikatan pada
CD4, afinitas ko-reseptor beragam. Kemampuan mengikat dan tropism dari virus
bergantung pada sruktur protein gp120. Pola khusus dari susunan region variabel
V3 dan V4, gp120 berhubungan dengan afinitas koreseptor yang berbeda dan
mengikat CD4.
Strain virus kemudian mengikat CR5 menginfeksi makrofag dan sel T, dan
ditandai oleh berkurangnya pertumbuhan agresif in vitro. Sebaliknya dengan
strain CXCR4 menginfeksi hanya sel T. Pertumbuhan strain X4 in vitro ditandai
oleh tingginya titer virus dan terdapatnya sel-sel sinsitia yang dibentuk melalui
fusi multiple sel yang terinfeksi. Kemampuan replikasi virus bergantung pada
banyak variabel selain daripada penggunaan koreseptor, kemampuan
pembentukan sinsitium mungkin lebih berhubungan kepada efisiensi
pertumbuhan virus dibandingkan pada tropism.

Gbr.2. HIV masuk ke dalam sel1

4
III.2 Kompleks pre-integrasi
Setelah gp120 mengikat CD4 dan ko-reseptor, perubahan sesuai dengan gp41
menyebabkan insersi pada hidrofubik terminal N fusi region peptide ke dalam
membran target sel. Insersi ini menghasilkan fusi membran dan masuk ke dalam
sitoplasma. Informasi genetik HIV adalah genom RNA. Atas infeksi sel host baru,
genom RNA ini berubah ke dalm single-stranded DNA yang selanjutnya double-
stranded DNA untuk berintegrasi ke dalam genom sel host. Dua tahap
polimerisasi ini dilakukan oleh reverse transcriptase virus, yang co-packaged
dalam partikel virus. Genom double-stranded DNA membentuk kompleks dengan
sel host dan protein virus (termasuk matriks, integrase, dan Vpr) yang secara aktif
ditransport ke dalm nukleus.

Gbr. 3. Siklus Hidup HIV1

III.3. Integrasi dan traskripsi


Genom HIV double-stranded secara random berintegrasi ke dalam genom sel host
melalui penyambung DNA yang dilakukan oleh integrase virus atau bentuk
lingkaran DNA yang stabil. Bentuk integrasi HIV dikenal sebagai provirus. DNA
provirus direplikasi sebagai bagian dari genom sel normal dan menetap dalam
bentuk ini untuk periode yang panjang dan melalui beberapa putaran mitosis sel.

5
5٫ LTR berfungsi sebagai promoter, mengatur produksi RNA transcriptase
bergantung dengan adanya faktor-faktor transkripsi sel host dan protein Tat virus.
Protein virus melakukan berbagai peranan dalam menurunkan fungsi seluler
normal dan menfasilitasi replikasi virus.
III.4. Perakitan dan pelepasan HIV
Perakitan RNA dan protein HIV ke dalam virion membutuhkan suatu pengaturan
dari sistim seluler untuk menghasilkan, memproses dan mentransport komponen
ini dibawah posisi yang benar pada membran sel. Protein virus mempunyai fungsi
yang sangat penting dalam proses ini.
Virus polipeptida yang imatur di proses ke dalam bentuk yang fungsional melalui
enzim protease dan digabung dengan transkrip RNA HIV ke dalam partikel virus
yang lahir/mulai hidup. Vpu meningkatkan pelepasan virion dari membran sel,
yang terjadi melalui proses “budding”. Pelepasan siklus partikel virus yang
komplet dari replikasi selanjutnya menginfeksi sel host yang baru.

6
Gbr.4. Cara Kerja ARV dalam Siklus Hidup HIV

7
IV. PERLANGSUNGAN INFEKSI HIV

Perlangsungan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam tahapan seperti berikut4,8,11 :
2-3 minggu 2-3 minggu

Infeksi virus sindrom retroviral akut gejala menghilang + serokonversi


 infeksi kronis
rata-rata 8 tahun
HIV asimptomatik infeksi HIV/AIDS simptomatik  kematian
Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut sindrom retroviral akut atau acute
retroviral syndrome. Sindrom retroviral akut kemudian diikuti oleh penurunan CD4 dan
peningkatan kadar RNA-HIV dalam plasma (viral load). Jumlah CD4 secara perlahan
akan menurun dalam beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat dalam
1,5-2,5 tahun sebelum pasien masuk AIDS. Viral load akan meningkat dengan cepat pada
awal infeksi yang kemudian turun pada suatu titik tertentu. Dengan berlanjutnya infeksi,
viral load secara perlahan akan meningkat. Pada fase akhir penyakit akan ditemukan
jumlah sel CD4<200/mm3, diikuti timbulnya infeksi oportunistik, munculnya kanker
tertentu, berat badan menurun secara cepat dan munculnya gejala neurologis. Periode
jendela (window period) adalah masa tes serologik untuk antibodi HIV masih
menunjukkan hasil negatip sementara sebenarnya virus sudah ada dalam jumlah banyak
dalam darah penderita. Sebenarnya pada saat itu tes laboratorium telah mampu
mendeteksinya sebab pada periode jendela terdapat peningkatan kadar antigen p24 secara
bermakna.

8
Gbr. 5. Perjalanan penyakit infeksi HIV1
J---J hit. sel T CD4,, K----K titer viremia
plasma

V. CARA PENULARAN

HIV masuk tubuh manusia terutama melalui darah, semen dan sekret vagina, serta
transmisi dari ibu ke anak dengan cara penularan11,12 :
1. Transmisi seksual : merupakan cara yang paling umum dan tertinggi terhadap
resiko terjadinya infeksi HIV
2. Transfusi darah dan produk darah yang terinfeksi : HIV dapat diperoleh melalui
transfusi darah. Kemungkinan untuk memperoleh infeksi HIV setelah menerima
darah yang terinfeksi HIV adalah 95%.
3. Transmisi maternal : HIV dapat ditularkan dari seorang ibu yang terinfeksi terhadap
bayinya selama kehamilan, persalinan atau sesudah persalinan melalui air susu ibu.

9
4. Instrumen yang terkontaminasi HIV : penggunaan alat-alat yang terkontaminasi
HIV, seperti pemakaian bersama jarum suntik diantara pengguna obat-obatan
(narkoba). Akupunktur dan tato dapat juga menjadi perantara transmisi HIV.

VI. KLASIFIKASI

Terdapat berbagai klasifikasi klinis HIV / AIDS satu diantaranya menurut Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) dan WHO sepert tampak pada tabel 1.

Tabel.1. Sistim Klasifikasi dari Infeksi HIV.4,13

CD4 Kategori Klinis


Total % A B C
(Asimtomatik, (simtomatik) (AIDS)
Infeksi Akut)
500/ml  29% A1 B1 C1
200-499 14-28% A2 B2 C2
 200  14% A3 B3 C3
Kategori Klinis A meliputi infeksi HIV tanpa gejala (asimtomatik), limfadenopati
generallisata yang menetap (Persistent Generalized Lymphadenopathy/PGL) dan infeksi
HIV akut primer dengan penyakit penyerta atau adanya riwayat infeksi HIV akut.
Kategori klinis B terdiri atas kondisi dengan gejala (simtomatis) pada remaja atau orang
dewasa atau yang terinfeksi HIV yang tidak termasuk dalam kategori C dan memenuhi
paling kurang satu dari beberapa kriteria berikut :
a. Keadaan yang dihubungkan dengan infeksi HIV dan atau adanya kerusakan
kekebalan yang diperantarakan sel (Cell mediated immunity) atau
b. Kondisi yang dianggap dokter telah memerlukan penanganan klinis atau
membutuhkan penatalaksaan akibat komplikasi infeksi HIV a.l :
 Angiomatosis basilari
 Kandidiasis orofaringeal
 Kandidiasis vulvovaginal
 Herpes Zoster

10
Kategori C meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS misalnya :
 Kandidiasis bronki, trakea dan paru
 Kandidiasis esofagus
 kanker leher rahim invasif
 Kriptokokosis di luar paru
 Sarkoma Kaposi
Seorang dewasa (>12 tahun) dianggap AIDS apabila menunjukkan tes HIV positip
dengan strategi pemeriksaan yang sesuai dengan sekurang-kurangnya didapatkan 2 gejala
mayor yang berkaitan dan 1 gejala minor, dan gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan
lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV3

Gejala mayor :
 Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
 Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
 Demam yang berkepanjangan lebih dari 1 bulan
 Penurunan kesadaran dan gangguan neurologist
 Demensia
Gejala minor :
 Batuk menetap lebih dari 1 bulan
 Dermatitis generalisata
 Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
 Kandidiasis orofaringeal
 Herpez simpleks kronis progresif
 Limfadenopati generalisata
 Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita.

VII. TES LABORATORIUM

Tes laboratorium untuk menetapkan diagnosis infeksi HIV dapat dibagi dalam dua
kelompok yaitu tes yang mencari adanya virus dan antibodi dalam tubuh penderita
seperti1,14,15 :

11
VII.1. Mencari virus dalam darah penderita
- kultur/biakan virus
- deteksi antigen ; p24
- PCR (polymerase chain reaction)

VII.2. Mencari adanya antibodi terhadap berbagai komponen virion HIV dalam
serum penderita (tes serologik)
- Tes Enzime Linked Immunosorbent Assay (EIA/ELISA)
- Tes sederhana / cepat (tes imunokromatografi)
- Tes konfirmasi sepert Western Blot (WB), Indirect immunofluorescence assay
(IFA)

Namun jenis pemeriksaan yang sering dipakai sehari-hari adalah deteksi antibodi (anti-
HIV).7

VII.1.1. Kultur/biakan virus

Untuk diagnosis kultur virus HIV- 1 membutuhkan penanaman HIV-1 in vitro. Ini bisa
dikerjakan melalui co-cultivating peripheral blood mononuclear cells ( PBMC٫s) dari
pasien dengan PBMCS normal. Pengujian kultur supernatan untuk HIV dihasilkan dalam
2 minggu, khususnya untuk uji p24 antigen dihasilkan beberapa minggu. Sebagai pilihan,
plasma dapat dikultur untuk mendeteksi sel bebas viremia. Kultur HIV-1 dapat
mendeteksi kira2 setengah dari kelahiran perinatal yang terinfeksi HIV-1 dan sekitar 3
sampai 4 kali pada usia 3 bulan dengan spesifisitas sampai 100%. Kekurangan dari kultur
HIV menyangkut harga, panjangnya waktu untuk mengeluarkan hasil (sampai berbulan-
bulan), memerlukan keahlian perkerja laboratorium dan tidak dapat mendeteksi infeksi
dini.13

VII.1.2. Antigen p24

Uji p24 HIV-1 dilakukan untuk mendeteksi core antigen p24 yang dihasilkan oleh gen
gag HIV-1. Test ini berlawanan dengan test Elisa untuk antibody HIV, sebab metodenya

12
menggunakan suatu antibody pada p24 HIV dilapisi fase solid yang “menempel” pada
p24 sampel pasien. Enzym konyugasi sebagai antibody kedua untuk p24 kemudian
ditambahkan dan metode standard Elisa digunakan untuk pendeteksian. Uji p24 dapat
digunakan pada serum, plasma atau cairan serebrospinal. Antigen p24 mampu
mendeteksi hanya pada orang-orang yang terinfeksi HIV-1 setelah satu minggu. Uji p24
tidak digunakan sebagai test saring, tetapi berguna dalam mendeteksi infeksi HIV-1 dari
bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV. Sensitivitas uji p24 adalah 100 % tetapi
spesifisitasnya hanya 18 %.14

VII.1.3. PCR (Polymerase Chain Reaction)

Metode PCR untuk pendeteksian HIV dapat dilakukan pada jaringan dan plasma. Pada
jaringan, suatu probe DNA digunakan untuk mendeteksi DNA provirus HIV-1, dimana
target DNA tersebut dapat meningkatkan sensivitas lebih tinggi. PCR dapat mendeteksi
satu copy DNA virus dari sati sel dengan menghasilkan 100 ribu sampai satu juta sel.
Metode PCR mampu mendeteksi secara dini serum perinatal dengan infeksi HIV yang
didapat. Sensitivitas uji ini tepat untuk mendeteksi sekitar setengah dari infeksi usia bulan
pertama dan hampir semua infeksi pada usia setelah enam bulan, dengan sensitivitas
sama dengan metode kultur.15Kuantitas RNA HIV-1 plasma atau sel mononuclear darah
perifer dapat dilakukan dengan PCR atau “branched DNA (bDNA) untuk monitoring
progressif infeksi HIV tanpa tergantung pada jumlah T-limposit CD4 +. Metode bDNA
kurang sensitive disbanding dengan PCR, tetapi lebih cepat dan reproducible dan
mempunyai metode yang mirip dengan elisa.

VII.1.3. Tes Enzime Linked Immunosorbent Assay (EIA/ELISA)

Metode awal yang paling sering digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV adalah tes
Elisa. Tes ini cukup sederhana dilakukan pada laboratium klinik dengan teknisi terlatih,
dan oleh karena itu merupakan tes “gold standard” yang paling sering digunakan pada
bank darah dan skrining pasien pada negara-negara berkembang. Pada negara-negara
berkembang, dimana pelayanan plebotomi dan transport specimen darah tidak tersedia

13
secara cepat, non invasive, menyebabkan tes Elisa sangat efektif. Tes Elisa untuk HIV
menggunakan selain virus segar yang lisat, protein yang rekombinan, atau peptide
sintesis dari fase antigen solid. Jika antibody untuk p24, p31, gp 41 dan gp 120/160 ada,
sensitivitas dan spesifisitas lebih 99 %, sensitivitas menurun sampai 95 % jika antibode
p31 dan gp 41 tidak ada.15 Sampel yang positip harus diulang kembali dengan tes
konfirmasi sebelum hasil dinyatakan positip. Biasanya tes konfirmasi adalah tes yang
lebih spesifik, tetapi lebih mahal dan sulit untuk dilakukan yaitu Western blot (WB)1

Pada populasi dengan prevalensi HIV yang rendah (tanpa factor resiko), kebanyakan tes
EIA positip akan memberikan hasil positip palsu. Positip palsu dapat terjadi pada orang-
orang dengan keganasan hematologik, infeksi virus yang akut, hepatitis alkoholik.

VII.2.1. Tes sederhana / cepat (tes imunokromatografi)

Rapid tes adalah suatu tes yang digunakan secara luas terutama di daerah dengan fasilitas
yang terbatas. Tes ini bisa dilakukan lebih cepat daripada elisa dan memberikan hasil
dalam 10-30 menit, tanpa membutuhkan laboratorium formal9. Rapid tes mampu
memperlihatkan sensitivitas dan spesifisitas sebanding dengan tes Elisa dan western blot.
Algoritme yang terdiri dari kombinasi dua atau lebih tes rapid menghasilkan tes HIV
dengan nilai prediksi yang sebanding dengan kombinasi Elisa-western blot. Rapid tes
menawarkan keuntungan dengan harga rendah dan mungkin memberikan peningkatan
dalam mendukung tes saring dan diagnosis di negara-negara berkembang1,14

VII.2.2. Tes Western Blot (WB)

Western blot adalah tes yang digunakan untuk konfirmasi setiap hasil elisa/rapid yang
positip oleh karena sensitivitas dan spesifisitasnya yang tinggi, sehingga merupakan
“gold standar” untuk validasi hasil HIV12, akan tetapi tes ini lebih sulit dan mahal
dibandingkan tes saring. Uji western blot mendeteksi antibody dari sera pasien yang
bereaksi dengan sejumlah protein virus yang berbeda. Protein virus ini berpisah dalam
bands dengan berat molekul menggunakan gel elektroforesis protein. Setelah transfer
(blotting) pada suatu material solid, protein kemudian bereaksi dengan antibody HIV

14
yang spesifik dari tes sera yang dapat diidentifikasi. Antibodi dengan struktur atau fungsi
protein yang berbeda nampak pada urutan; pertama, antibody dengan struktur gag
protein, p55, p24, dan p17 yang akan diikuti antibody envelope glikoprotein, gp160,
ekstraseluler gp120, intraseluler gp41 dan selanjutnya komponen polymerase p31, p51
dan p66. WB dikatakan negatip jika tidak ada reaksi dari serum pasien pada setiap bands
protein berat molekul yang sesuai dengan gene HIV. Penderita dengan elisa positip atau
indeterminan dan selanjutnya WB negatip dinyatakan sebagai elisa positip palsu. WB
positip satu yang mana antibody dari semua tiga kelompok utama protein HIV (envelope,
gag dan polymerase) yang terdeteksi, membuktikan infeksi HIV. Reaktivitas antara
positip dan negatip dinyatakan WB indeterminan, yang disebabkan oleh adanya antibody
yang tidak berkaitan dengan reaksi silang protein HIV1.

VII.2.3. INDIRECT IMMUNOFLUORESCENCE ASSAY (IFA)

Tes IFA digunakan untuk konfirmasi tes saring HIV yang positip. Tes ini menggunakan
suatu jalur sel yang terinfeksi HIV sebagi substrat yang akan difiksasi pada kaca slide,
selanjutnya serum penderita diinkubasi pada slide, cuci, dan kemudian menempatkan
pada slide suatu fluresens yang dilabel anti human IgG yang selanjutnya dideteksi
melalui mikroskop fluoresens14.

Diagnosis infeksi HIV biasanya ditentukan dengan ditemukannya antibodi terhadap HIV
dalam darah penderita. Laboratorium di Indonesia melakukan tes terhadap HIV untuk
menegakkan diagnosis, penapisan darah transfusi, epidemiologi dan penelitian.1,7,15
Tes serologik untuk mendeteksi anti-HIV dapat dikelompokkan menjadi tes saring dan
tes konfirmasi. Setelah tes saring dapat diidentifikasi spesimen yang kemungkinan
mengandung anti-HIV, sedangkan setelah tes konfirmasi dapat diketahui bahwa spesimen
yang reaktif pada tes penyaring mengandung antibodi spesifk terhadap HIV.1,7,15

Strategi untuk mendeteksi infeksi HIV tetap menggunakan tes serologic Elisa untuk
antibody HIV. Pada negara berkembang, tes Elisa yang reaktiv harus diulang kembali dan
dikonfirmasi dengan WB sebelum dinyatakan positip. Hasil yang positip palsu adalah
kasus yang jarang, dan tes diulang kembali setelah 3 bulan untuk menghindari “window”

15
dari kemungkinan awal infeksi HIV. Infeksi perinatal dapat dikonfirmasi melalui tes p24
antigen, dan kultur. Progressifitas penyakit dan respons terhadap terapi ARV dapat
dimonitor dengan mengukur plasma viremia melalui jumlah CD4 limposit T.
UNAIDS dan WHO telah nenetapkan pendekatan tes tanpa penggunaan tes WB dengan
pemakaian 3 strategi tes yang baru saja diperbarui untuk meningkatkan ketepatan dan
mengurangi biaya tes (tabel.2)7,13
Tabel.2. Rekomendasi pemakaian strategi tes HIV dari UNAIDS dan WHO pada berbagai tujuan tes dan prevalensi infeksi dalam populasi.
6,7
Tujuan tes Prevalensi Strategi tes

infeksi
Keamanan Semua prevalensi I
transfusi/transplantasi

> 10% I
Surveilans
 10% II

Terdapat gejala I
Diagnosis klinik infeksi HIV > 30%
 30% II

Tanpa gejala klinik > 10% II


infeksi HIV
 10% III

Strategi I7,13.
 Serum atau plasma pasien diperiksa dengan menggunakan simple/rapid (S/R) tes atau
dengan Enzyme Immuno Assay/EIA (disebut tes A1)
 Untuk tujuan transfusi darah atau transplantasi organ, gunakan reagen yang dapa
mendeteksi HIV-1 dan HIV-2 serta mempunyai sensitivitas yang tinggi (> 99%)

16
 Bila tes (A1) menunjukkan hasil reaktif, laporkan dengan reaktif, sedangkan bila
hasilnya non-reaktif maka laporkan NEGATIF

Strategi ini digunakan untuk :


a. Pengamanan darah transfusi atau transplantasi organ, yaitu dengan melakukan uji
saring darah, produk darah dan serum dari donor jaringan tubuh, donor organ tubuh,
sperma maupun ovum
b. Surveilans dengan prevalensi infeksi HIV < 10 %
c. Penentuan diagnosa pada pasien yang mempunyai gejala klinik yang terinfeksi HIV
pada daerah dengan prevalensi infeksi HIV >

Strategi II7,13.
 Serum atau plasma pasien diperiksa dengan menggunakan simple/rapid (S/R) atau
dengan Enzyme Immuno Assay/EIA (disebut tes A1)
 Bila hasil tes A1 menunjukkan non-reaktif, laporkan NEGATIF, sedangkan bila hasil
tes menunjukkan reaktif harus dilakukan tes ulang dengan menggunakan reagen
dengan preparasi antigen yang berbeda dari tes pertama (disebut tes A2)
 Bila hasil tes A2 menunjukkan reaktif, laporkan hasil tersebut dengan reaktif.
Sedangkan bila hasil tes A2 menunjukkan non-reaktif, ulangi tes dengan
menggunakan reagen yang digunakan pada tes A1 dan tes A2
 Bila pada tes ulang menunjukkan hasil tes A1 dan A2 reaktif, laporkan sebagai
reaktif, bila salah satu hasil tes (tes A1 atau A2) menunjukkan non-reaktif, laporkan
sebagai INDETERMINATE. Dan bila ke dua tes A1 dan A2 menunjukkan non-
reaktif, laporkan sebagai NEGATIF
 Reagen untuk tes A1 memiliki sensitivitas yang tertinggi, sedangkan untuk tes A2
harus memiliki spesifisitas yang lebih tinggi daripada tes A1
Strategi ini digunakan pada :
a. Surveilens dengan prevalensi infeksi HIV < 10%
b. Penentuan diagnosis pada pasien yang mempunyai gejala klinik terinfeksi HIV pada
daerah dengan prevalensi infeksi HIV < 30%

17
c. Penentuan diagnosis pada pasien yang tanpa gejala klinik terinfeksi HIV pada daerah
dengan prevalensi infeksi HIV >10%

Strategi III7,13.
 Serum atau plasma pasien di tes dengan menggunakan simple/rapid (S/R) tes atau
dengan Enzyme Immuno Assay (disebut tes A1)
 Bila hasil tes A1 menunjukkan non-reaktif, laporkan NEGATIF. Sedangkan bila hasil
tes menunjukkan reaktif, harus dilakukan tes ulang dengan menggunakan reagen
dengan preparasi antigen yang berbeda dari tes pertama (disebut tes A2)
 Bila hasil tes A2 menunjukkan non-reaktif, ulangi tes dengan menggunakan reagen
yang digunakan pada tes A1 dan tes A2. Pada tes ulang, bila hasil tes A1 dan A2
menunjukkan non-reaktif, laporkan sebagai NEGATIF
 Bila hasil tes A1 dan A2 menunjukkan reaktif atau salah satu tes (tes A1 atau A20
menunjukkan non-reaktif, lakukan tes ulang menggunakan reagen dengan preparasi
antigen yang berbeda dari tes pertama maupun kedua (disebut tes A3)
 Bila hasil tes A1, A2 dan A3 menunjukkan reaktif, laporkan sebagai REAKTIF
 Bila hasil tes A1 dan A2 reaktif serta A3 non reaktif, atau tes A1 dan A3 reaktif serta
A2 non-reaktif, laporkan sebagai INDETERMINATE
 Bila hasil tes A2 dan A3 non-reaktif serta pasien dari daerah dengan prevalensi >
10% (beresiko tinggi), laporkan sebagai INDETERMINATE. Sedangkan bila pasien
berasal dari daerah dengan prevalensi < 10% (beresiko rendah), dapat dianggap
sebagai NEGATIF.

Strategi ini dilakukan untuk mendiagnosis adanya infeksi HIV pada pasien tanpa adanya
gejala klinik terinfeksi HIV dengan prevalensi < 10%1.
Pemilihan reagensia untuk dipakai dalam strategi II dan III sebagai berikut ; untuk tes
pertama harus memiliki sensitivitas yang tertinggi , sedangkan untuk tes kedua dan ketiga
harus memiliki spesifisitas yang tinggi dari yang pertama. Saat ini prevalensi infeksi HIV
di berbagai propinsi di Indonesia berbeda-beda, namun secara keseluruhan masih di
bawah 10%, sehingga direkomendasikan penggunaan strategi III sebagai tes saring yang
ditujukan untuk menegakkan diagnosis1.

18
VIII. DIAGNOSIS BANDING

Infeksi HIV dapat memberikan berbagai macam manifestasi klinik. Diagnosis banding
tergantung pada gejala yang nampak. Jika gejala yang dominan berupa berat bedan
menurun, dan demam di diagnosis banding dengan kanker, infeksi kronik seperti
tuberkulosis dan endokarditis, penyakit endokarditis seperti hipertiroidisme. Jika proses
paru memperlihatkan gejala yang dominant, infeksi paru yang akut dan kronik harus
dipertimbangkan dari infiltrasi paru interstitial difus. Jika berhubungan dengan penyakit
neurologik berupa perubahan status mental atau neuripati dapat dipertimbangkan
alkoholik, penyakit hati, disfungsi ginjal, tiroid dan defisiensi vitamin. Jika diare lebih
menonjol dipertimbangkan dengan infeksi enterokolitis, colitis yang disebabkan
antibiotik, inflamantory bowel disease dan malabsorbsi9.

IX. TERAPI

Terapi untuk infeksi HIV dapat dibagi dalam empat kategori berupa terapi untuk infeksi
oportunistik dan keganasan, antiretroviral, faktor yang menstimulasi hematopoetik dan
pencegahan terhadap infeksi oportunistik. Pada referat ini akan dibatasi pada terapi
antiretroviral9.

Waktu terbaik untuk memulai terapi antiretroviral (ARV/ART) masih tetap kontroversi..
Rekomendasi terkini untuk memulai terapi terhadap HIV asimptomatik dan simptomatik
pada keadaann jumlah sel CD4 < 200/µL. Untuk seseorang asimptomatik dengan jumlah
CD4 > 200/µL, keputusan untuk memulai terapi tergantung kondisi penderita. Penderita
dengan penurunan yang cepat jumlah CD4 atau viral load yang sangat tinggi
(>50.000/µL) harus dipertimbangkan untuk terapi dini. Prinsip penting dalam menuntun
pemberian terapi, saat HIV mengalami resistensi terapi ARV, sasaran utama terapi harus
menekan secara total replikasi virus dan diukur melalui viral load serum yang mana
memperlihatkan suatu korelasi dengan ARV9 (tabel. 3).

19
Monitoring terapi ARV mempunyai dua tujuan; pertama, evaluasi laboratorium terhadap
toksisitas bergantung atas sifat kombinasi obat tetapi umumnya dilakukan setiap tiga
bulan sekali pada pasien dengan regimen yang stabil, kedua monitoring secara teratur
petanda efikasi. Jumlah CD4 dan viral load HIV harus diulang satu samapai dua bulan
setelah permulaan terapi dan setiap tiga empat bulan setelah keadaan pasien stabil secara
klinik9.

Pada beberapa tahun terakhir ini, penatalaksanaan klinis penyakit HIV di negara maju
berubah secara drastis dengan tersedianya obat antiretroviral (ARV). ARV bekerja
langsung menghambat replikasi HIV. Terapi antiretroviral (ART) dengan
mengkombinasikan beberapa obat ARV bertujuan untuk mengurangi viral load agar
menjadi sangat rendah atau dibawah tingkat yang dapat terdeteksi untuk jangka waktu
yang lama5.

Saat ini ada tiga golongan ARV yang tersedia di Indonesia5 :


 Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) : obat ini dikenal sebagai
analog nukleosida yang menghambat proses perubahan RNA virus menjadi DNA.
Proses ini diperlukan agar virus dapat bereplikasi. Obat dalam golongan ini
termasuk Zidovudine (ZDV atau AZT), lamivudine (3TC), didanosine (ddI),
Zalcitabine (ddC), stavudine (d4T) dan abacavir (ABC)
 Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) : obat ini berbeda
dengan NRTI walaupun juga menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA.
Obat dalam golongan ini termasuk nevirapine (NVP), efavirenz (EFV), dan
delavirdine (DLV)
 Protease Inhibitor (PI) : obat ini bekerja menghambat enzim protease yang
memotong rantai panjang asam amino menjadi protein yang lebih kecil. Obat
dalam golongan ini termasuk indinavir (IDV), nelfinavir (NFV_), saquinavir
(SQV), ritonavir (RTV)

Dasar-dasar yang perlu diperhatikan dalam keputusan untuk penggunaan ART5 :

20
 HIV bereplikasi dengna cepat dan terus-menerus sejak awwal infeksi. Pada
seorang yang terinfeksi HIV, sedikitnya sepuleh miliar virus dibuat dan
dihancurkan setiap hari. Walaupun ada replikasi yang cepat, sebagian besar pasien
tetap sehat selama bertahun-tahun sekalipun tanpa terapi ARV
 Replikasi HIV yang terus-menerus mengakibatkan kerusakan pada system
kekebalan tubuh semakin berat dan menyebabkan kerentanan terhadap infeksi
oportunistik, kanker, penyakit saraf, wasting dan berakhit dengan kematian
 Viral load menunjukkan tingginya replikasi HIV dan kecepatan penghancuran sel
CD4, sedangkan penurunan jumlah CD4 menunjukkan tingkat kerusakan pada
system kekebalan yang disebabkan oleh HIV
 Tinggi rendahnya viral load menunjukkan cepat lambatnya perjalanan penyakit
dan kematian. Tes jumlah CD4 dan viral load secara berkala dapat menentukan
arah perkembangan penyakit dan untuk mengetahui kapan sebaiknay memulai
atau mengubah regimen ART
 Penurunan system kekebalan diantara orang-orang yang terinfeksi HIV dapat
berbeda-beda. Keputusan untuk memulai pengobatan dilakukan berdasarkan
jumlah CD4 dan viral load
 Terapi kombinasi ARV dapat menekan replikasi HIV sampai di bawah tingkat
yang dapat dideteksi oleh tes yan gpeka. Penekanan virus yang efektif ini
mencegah timbulnya virus yang resisten kepada onat dan menunda perkembangan
penaykit.

X. PROGNOSIS
Tidak ada terapi untuk infeksi HIV. ARV hanya menurunkan pada jumlah yang rendah
virus HIV.
ARV membantu memperbaiki system imun dan melawan infeksi dan mencegah kanker
yang akan terjadi. Akhirnya, virus dapat resisten terhadap obat-obat yang tersedia, dan
berkembang menjadi AIDS. Kebanyakan infeksi oportunistik tidak terjadi sampai jumlah
CD4 kurang dari 200. Infeksi HIV yang tidak diobati akan menjadi AIDS, mempunyai
harapan hidup 2-3 tahun15.

21
XI. PENCEGAHAN

Cara mencegah infeksi virus adalah dengan menghindari tingkah laku yang beresiko
seperti bersama-sama memakai jarum suntik atau melakukan sex yang tidak terproteksi.
Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV tidak mempunyai setiap gejala.. Tidak melakukan
sex bebas atau menggunakan kondom lateks, mungkin dapat membantu selama oral anal
atau vaginal sex. Hanya kondom lateks dapat digunakan16.

XII. FOLLOW-UP

1. Jumlah sel CD
Oleh karena target spesifik HIV adalah sel CD4, maka jumlah sel CD4 dalam darah
merupakan indikator terbaik terhadap imunodefisiensi. Jumlah terendah sel CD4 (dari
nilai normal 1000 sel/µl), merupakan pertanda tahap lanjut dari penyakit. Setelah
terapi ARV dimulai, jumlah sel CD4 harus dimonitor secara teratur, Jika penderita
berespons terhadap terapi, sel CD4 akan meningkat.
2. Tes PCR RNA HIV
Tes ini mengukur jumlah kopi RNA HIV dalam darah (viral load). Hasil viral load
menunjukkan sejumlah virus dalam darah yang merepresentasikan kecepatan
multiplikasi virus, dan dapat memprediksi kecepatan penurunan sel CD4. Penurunan
viral load, dan peninggian jumlah CD4 sebagai petanda prognosis baik penderita
Jumlah CD4 dan viral load plasma harus diukur setiap 3-6 bulan1,16

XIII. RINGKASAN
Acquired Immunodeficiendy Sindrome (AIDS) adalah suatu kelainan yang disebabkan
oleh infeksi human immunodefisiency virus type 1 (HIV-1) dann ditandai oleh penurunan
yang progresif dari sistim imun seluler, terutama pada infeksi sekunder atau malignansi.
Dikenal ada dua tipe virus HIV, yaitu tipe 1 (HIV-1) lebih populer dan patogen dan tipe 2
(HIV-2). HIV merupakan jenis retrovirus tergolong family lentivirus dengan sifat infeksi
yang khas berupa sifat laten yang lama, masa inkubasi yang lama, replikasi virus yang
persisten dan keterlibatan susunan saraf pusat.

22
Infeksi HIV merupakan imunodefisiensi, yang disebabkan oleh replikasi virus yang terus-
menerus, dan menginfeksi semua sel yang memperlihatkan CD4 sebagai tempat untuk
menempel pada sel sebagai reseptornya.
Tahap replikasi HIV dimulai dengan masuknya HIV pada CD4, dan oleh karena HIV
suatu retrovirus, itu berarti bahwa informasi genetik disimpan pada single-stranded RNA
sebagai pengganti double-stranded DNA yang ditemukan pada kebanyakan organisme.
Untuk bereplikasi, HIV menggunakan enzim reverse transcriptase untuk merubah sifat
RNA menjadi DNA. HIV DNA kemudian akan masuk ke dalam nukleus sel CD4.
Selanjutnya HIV DNA akan menginstruksikan sel untuk membuat sebanyak-banyaknya
kopian virus.
Perjalanan alamiah infeksi HIV dimulai dengan terjadinya infeksi virus  sindrom
retroviral akut  gejala menghilang + serokonversi  infeksi kronis
Klasifikasi klinis HIV/AIDS menurut CDC dan WHO dibagi dalam kategori klinis A, B,
C.
Tes Laboratorium untuk menetapkan diagnosis infeksi HIV dibagi dalam dua kelompok
yaitu tes untuk mencari adanya virus dan mencari adanya antibodi terhadap berbagai
komponen virion HIV dalam serum penderita. Namun jenis pemeriksaan yang paling
sering dipakai sehari-hari adalah deteksi antibodi.

Infeksi HIV dapat memberikan gejala dengan berbagai macam manifestasi klinik,
sehingga diagnosis banding tergantung pada gejala dominan yang ditimbulkannya.
Terapi untuk infeksi HIV dapat dibagi dalam empat kategori berupa terapi untuk infeksi
oportunistik dan keganasan, antiretroviral, faktor yang menstimulasi hematopoetik dan
pencegahan terhadap infeksi oportunistik.
Terapi antiretroviral (ART) dengan mengkombinasikan beberapa obat ARV bertujuan
untuk mengurangi viral load agar menjadi sangat rendah atau dibawah tingkat yang dapat
terdeteksi untuk jangka waktu yang lama. Ada tiga golongan ARV yang tersedia yaitu
NRTI, NNRTI dan PI. Monitoring terapi ARV berupa evaluasi laboratorium terhadap
toksisitas dan petanda efikasi berupa jumlah CD4 dan viral load.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Hoy J, Lewin S, HIV Management in Australia a Guide for Clinical Care, First
Published in 2003 by the Australasian society for HIV Medicine Inc, Sydney.
2. Kumalawati J, Alur Pemeriksaan Anti-HIV, Bagian/Instalasi Patologi Klinik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo,
Jakarta.
3. Patogenesis HIV AIDS, Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal pelayanan
Medik, 2003
4. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan Bagi ODHA, Buku
Pedoman untuk Petugas Kesehatan dan Petugas Lainnya, Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan Departemen
Kesehatan RI, Jakarta 2003.
5. Petunjuk Pemeriksaan HIV, Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal
pelayanan Medik, 2003
6. Kumalawati J, Sukartini N, Hasil Evaluasi Reagensia HIV di Indonesia (Desember
2000- februari 2004, Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/Perjan RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
7. Ferri FF, Human Immunodeficiency Virus in Ferri ,s Clinical Advisor Instant
Diagnosis and Treatment, 2004 Edition,. The Curtis Center Independence Square
West, Philadelphia, Pennsylvania, 430-431
8. Hardjoeno H, Interpretasi Hasil Tes Laboratorium Diagnostik, Hasanuddin
university Press, Ujung Pandang, 2003, 369-387.
9. Lever AML, HIV: The Virus in Medicine International, Number 35 Volume 10,
Published by The Medicine Group ISSN 1358-0620, 109-111.
10. Katz HM, Hollander H, HIV Infection in Current Medical Diagnosis & Treatment,
Forty-third Edition, 2004, Lange Medical Books/McGrow-Hill, Medical Publishing
Division, 1263-1277.
11. Nassar NN, Skiest DJ, Gregg CR et al, Parkland Pocket Guide to HIV Care, Sphinx
Medicus Inc, 1998

24
12. Rao JVRP, HIV Testing Manual, Laboratory Diagnosis, Bio-Safety and Quality
Control, Ministry of Health and Family Welfare National AIDS Control
Organisation Government of India.
13. Piot P, HIV/AIDS-With An Emphasis on Africa in Manson ’s Tropical diseases,
Twentieth Edition, WB Saunders Company LTD, London Philadelphia Toronto
Sydney tokyo, 1996, 305319
14. Tamil AM, Diagnostic Test For Human Immunodeficiency Virus,
azmitml@pksun5.medic.ukm.my.
15. Rapid HIV Testing in HIV/AIDS Policy Guideline, HIV/AIDS and STD
Directorate of health, South Aftica, 2000.
16. Sarma S, HIV/AIDS in Medicine Instant Acces To The Minds of Medicine.
17. Muma RD, Lyons BA, Borucki MJ, Pollard RB, HIV Manual for Health Care
Professionals, Second Edition, Appleton & Lange Stamford, Connecticu

Algoritme tes HIV4,5,12

25
Ket. Algoritme :
A1,A2 dan A3 adalah tes inisial dengan menggunakan dasar/prinsip tes yang berbeda
dan/atau menggunakan preparasi antigen yang berbeda. Reagensia yang dipilih untuk
dipakai pada tes didasarkan pada sensitivitas dan spesifisitas tiap jenis reagen.
Reagen yang dipakai pada tes pertama adalah reagensia yang memiliki sensitivitas

26
tertinggi, sebaiknya > 99%, sedangkan reagensia pada tes selanjutnya (kedua dan
ketiga) memiliki spesifisitas yang lebih tinggi dari yang pertama, untuk tujuan
surveilans harus memiliki spesifisitas minimal sebesar 95% dan untuk tujuan
diagnosis memiki spesifisitas minimal sebesar 98%2.

Tabel.3. Keputusan terapi berdasarkan jumlah CD4, gambaran klinik dan interval
follow-up17.

Kadar T4 Gambaran klinik Keputusan Interval Tujuan monitoring


(Nilai terapi
normal
500- 1000)
1000-500 Acute retroviral Terapi Setiap 6 bulan Memutuskan kapan
sindrom/asimptomatik, gejala simptomatik penanganan terapi
intermitten, kandidiasis/ulkus mulut, anti retroviral
limpadenopati, xerosis, rash
(dermatitis seboroik, follikulitis
500-200 Asimptomatik/simptomatik, gejala Mulai terapi Setiap 3-6 Monitoring respons
kronik atau intermitten, antiretroviral bulan ART dan dan
limpadenopati, kandidiasis/lesi mulut, (ART) putuskan untuk
nause, vomiting, diare, demam, memulai profilaksis
keringat malam, tuberkulosis, xoster, terhadap
nocardia, sarkoma kaposis mungkin pneumocystic
nampak pneumonia dan
infeksi lain
200-50 Peningkatan gejala berat dan persisten, ART dan Setiap 2-3 Evaluasi untuk
berkurangnya daya ingat, ancaman profilaksis. bulan memulai perubahan
infeksi, peningkatan insidens kanker Pertimnangkan ART, pertimbangkan
kelainan paru, peningkatan resiko perubahan profilaksis lain dan
penyebaran penyakit. Pneumocystis ART jika im memperkirakan
carinii pneumonia (PCP), unoklinik resiko terhadap

27
toksoplasma, histoplasmosis, menurun infeksi opotunistik
cryptococcosis
< 50 Peningkatan infeksi oportunistik dan Tergantung ? Monitoring
kematian, PML, demensia AIDS, proses kemungkinan
CMV, MAC dan proses tahap lanjut penderita dan peningkatan
yang lain penyakit, kecemasan penderita.
penderita tetap Pertimbangkan
dengan ART menggunakan viral
dan terapi load untuk evaluasi
profilaksis. progressifitas
Pertimbangkan
perubahan
ART dan
kombinasi

28

Anda mungkin juga menyukai