Anda di halaman 1dari 21

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. HIV/AIDS
2.1.1. Epidemiologi HIV/AIDS
Secara global, terdapat 34 juta orang yang hidup dengan HIV pada
akhir tahun 2011. Pada daerah Afrika Sub-Sahara, kira-kira 1 dari 20 orang
dewasa hidup dengan HIV. Pada tahun 2011 kematian akibat AIDS juga tak
kalah tingginya. Sekitar 1,7 juta orang meninggal akibatnya (UNAIDS,2011).

Indonesia

merupakan

salah

satu

negara

yang

mengalami

peningkatan jumlah insidensi infeksi HIV. Sejak tahun 2001-2011,


Indonesia mengalami peningkatan lebih dari 25% infeksi HIV pada orang
dewasa sekitar 15-49 tahun (UNAIDS,2011).
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2012) pada
tahun 2012 jumlah kasus HIV adalah sebesar 98.390 kasus dan AIDS
sebesar 42.887 yang mana pada tahun 2011 jumlah kasus HIV sebesar
76.879 kasus dan AIDS sebesar 29.879 kasus.
2.1.2. Struktur HIV
HIV termasuk dalam genus Lentivirus dari famili Retroviridae. Struktur
HIV berbentuk sferis yang terdiri atas capsid yang terselimuti dengan envelope
yang berupa komponen membran dan membran yang berasal dari sel host.
Capsid berbentuk peluru yang terbentuk dari protein p24 dari gen gag, capsid
berisi dua duplikat utas RNA yang merupakan genom virus. Di dalam capsid juga
terdapat enzim reverse trancriptase, RNase-H, Integrase, dan Protease. Dibawah
membran host yang membungkus capsid terdapat matriks yang membentuk
struktur virus yang tersusun oleh protein p17 gag outer core. Permukaan luar
membran terdapat envelope glikoprotein yang terdiri atas dua komponen yaitu
gp41 dan gp120. Komponen gp41 merupakan protein transmembran dan bagian
eksternalnya terikat protein gp120 secara nonkovalen hidrofobik. Unit gp41Universitas Sumatera
Utara

gp120 terdapat pada permukaan virus dalam bentuk trimer dan berperan
dalam binding dan fusi virion pada sel target (Widodo & Lusida,2007).
Genom HIV terdiri atas dua molekul identik single stranded positive
RNA yang biasa dikenal dengan diploid. Genom HIV mengkode tiga struktural
protein yaitu gag, pol, dan env, serta mengkode juga enam gen regulator.
Dua gen regulator yaitu tat dan rev dibutuhkan saat replikasi dan empat
lainnya yaitu ref, vif, vpr, dan vpu tidak dibutuhkan saat replikasi dan dikenal
dengan accessory genes. Gen-gen ini akan ditranslasi menjadi proteinprotein prekursor pembentuk virion baru (Widodo & Lusida,2007).

Gambar 2.1. Struktur HIV


Sumber: Penyakit Infeksi di Indonesia, 2007
2.1.3. Siklus Hidup HIV
Masuknya HIV ke dalam sel host didahului dengan proses yang kompleks
dari interaksi beberapa protein. Virus membutuhkan kurang lebih dua reseptor
pada sel target CD4 sebagai reseptor utama dan koreseptor, reseptor kemokin.

Ketika virus mulai menginfeksi sel, gp120 akan berikatan dengan CD4
pada sel host. Ikatan tersebut akan merubah konformasi gp120, terbukanya
lokasi ikatan untuk reseptor kemokin sehingga dapat berikatan dengan
reseptor kemokin pada sel host. Ikatan tersebut akan berakibat pada gp41.
Gp41 akan memperantarai fusi virus dengan membran sel target, sehingga
terlepasnya capsid ke dalam sitoplasma sel host (Widodo & Lusida, 2007)
Di dalam sitoplasma, genom virus yang berupa RNA segera ditranskripsi
balik menjadi DNA. Pertama kali enzim reverse transcriptase akan membuat
Universitas Sumatera
Utara

DNA utas tunggal komplementer terhadap RNA virus. Berikutnya enzim RNase-H
akan mendegradasi RNA virus dan menggantinya dengan mensintesis DNA utas
kedua, sehingga terbentuk double stranded DNA. DNA virus akan bermigrasi dari
sitoplasma ke nukleus dan kemudian akan mengalami sirkularisasi nonkovalen
yang berhubungan dengan Long Terminal Repeat sequences (LTR). Enzim
Integrase mengintegrasikan DNA virus secara acak ke dalam DNA host. LTR
virus berperan sebagai promoter ekspresi gen virus. Transkripsi terjadi karena
bantuan faktor transkrisi dari host, antara lain adalah NF-Kb (Nuclear Factor
kappa B) dan NF-AT (Nuclear Factor Activated T cell). Protein komponen virus
terekspresi dari mRNA berbeda yang berasal dari DNA proviral. Protein prekursor
55kDa akan terpotong menjadi semua protein core virus yang dipotong pada N
terminal oleh protease virus menjadi protein sub unit gag p17, p24, p7, dan p9.
Protein Pol berupa prekursor dari protein RT, RNase, protease, dan integrase.
Protein turunan Protein Pol tersebut segera dikemas dalam inti dari virus baru.
Protein prekursor gp160 Env ditranslasi dari transkrip ssRNA. Prekursor gp160
akan mengalami pembelahan oleh enzim seluler dalam apparatus golgi menjadi
protein matur gp41 dan gp120 (Widodo & Lusida, 2007)
Virion

lengkap

tersusun

pada

sitoplasma

sel

host

dekat

tepi

membran.Core virus yang tersusun segera mengalami budding pada permukaan


membran sel yang terinfeksi, dengan membawa komponen envelope berupa
membran sel host beserta protein envelope virus (Widodo & Lusida, 2007)

2.1.4. Transmisi virus


Menurut Fauci & Lane (2008), Virus HIV ditularkan melalui
beberapa cara yaitu:
1. Transmisi Seksual
Virus HIV merupakan salah satu penyakit menular seksual
(PMS). HIV berada bebas dan menginfeksi mononuklear pada
cairan semen. Meningkat jumlahnya seiring meningkatnya jumlah
sel

mononuklear pada

epididimis dan

uretritis.

Virus juga

didapatkan pada cairan vaginal dan hapusan serviks.


Universitas Sumatera
Utara

Terdapat hubungan penularan HIV melalui hubungan seksual


kelamin-anus. Hal ini terjadi karena mukosa rektum yang tipis dan mudah
terjadi luka mengakibatkan adanya kontaminasi sperma yang mengandung
virus HIV dengan luka pada mukosa rektum. Penularan HIV juga terjadi pada
hubungan seksual kelamin-kelamin. Walaupun mukosa vagina lebih tebal,
namun juga dapat terjadi luka yang akan terkontaminasi oleh sperma yang
mengandung HIV. Hubungan seksual kelamin-oral, menurut beberapa
penelitian memiliki tingkat penularan HIV yang sangat rendah. Namun,
asumsi tersebut tidak dapat menjamin sepenuhnya.

2. Darah
HIV juga dapat ditularkan melalui transfusi darah, transplantasi
jaringan, ataupun penggunaan jarum suntik yang bergantian.
3. Penularan ibu ke bayi
Infeksi HIV dapat ditularkan dari ibu ke janinnya saat hamil, persalinan,
ataupun ASI. Kemungkinan penularan dari ibu ke janin adalah 15-25%
pada negara maju dan 25-35% pada negara berkembang. Tingginya
kemungkinan penularan berkaitan dengan beberapa faktor. Salah satunya
adalah tingginya viremia pada ibu. Pada 552 ibu hamil di Amerika Serikat,
tingkat penularan ibu ke bayi pada ibu dengan <1000copy RNA HIV/ml
darah adalah 0%, pada ibu dengan 1000-10.000copy RNA HIV/ml darah
adalah 16,6%, 21,3% pada ibu dengan 10.001-50.000 copy/ml darah,
30,9% pada ibu dengan 50.001-100.000 copy/ml darah, dan 40,6% pada
ibu > 100.000copy/ml.

Penularan melalui ASI bergantung pada jumlah virus yang terdeteksi


pada ASI, adanya mastitis, jumlah CD4 ibu yang rendah, dan
defisiensi vitamin A pada ibu. Risiko penularan HIV melalui ASI sangat
tinggi pada awal-awal bulan menyusui. Oleh sebab itu, pemberian ASI
eksklusif harus dihindari pada ibu yang terinfeksi HIV.

4. Penularan melalui cairan tubuh lain

Universitas
Sumatera Utara

Walaupun HIV dapat diisolasi dalam jumlah sedikit pada saliva,


namun tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa HIV dapat
ditularkan melalui saliva.
2.1.5. Patogenesis HIV
Virus biasanya masuk tubuh dengan menginfeksi sel Langerhans di
mukosa rektum atau mukosa vagina yang kemudian bergerak dan bereplikasi
di kelenjar getah bening setempat. Virus kemudian disebarkan melalui darah
yang disertai dengan sindrom berupa panas, mialgia, dan arthralgia. Virus
menginfeksi CD4, makrofag dan sel dendritik/APC (Antigen Presenting Cell)
dalam darah dan organ limfoid (Djoerban & Djauzi, 2009).

Antigen virus nukleokapsid, p24 dapat ditemukan dalam darah


selama fase ini. Fase ini kemudian dikontrol oleh sel T CD8 dan antibodi
dalam sirkulasi terhadap p24 dan protein envelop gp120 dan gp41.
Respon inmun tersebut menghancurkan virus HIV dalam KGB selama
fase selanjutnya dan fase laten (Djoerban & Djauzi, 2009).
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi,
namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus
telah menurun. Walau antibodi ini umumnya memiliki aktifitas netralisasi
yang kuat terhadap virus, namun ternyata tidak dapat mematikan virus
(Djoerban & Djauzi, 2009).
Dalam folikel limfoid, virus terkonsentrasi dalam bentuk kompleks
imun yang diikat oleh sel dendritik/APC. Meskipun dalam kadar rendah
virus diproduksi dalam fase laten, destruksi sel CD4 berjalan terus dalam
kelnjar limfoid. Akhirnya jumlah sel CD4 dalam sirkulasi menurun. Hal ini
dapat memerlukan beberapa tahun dan kemudian menjadi fase progresif
kronis dimana penderita menjadi rentan tehadap infeksi oportunistik
(Baratawidjaja & Rengganis, 2010).
Virus HIV yang berikatan dengan CD4 memerlukan reseptor untuk
masuk dan menginfeksi. Terdapat dua koreseptor yang digunakan virus
HIV yaitu CXCR4 untuk menginfeksi sel T dan CCR5 yang digunakan
untuk menginfeksi makrofag (Baratawidjaja & Rengganis,2010).
Universitas Sumatera
Utara

Gambar 2.2. Patogenesis HIV


Sumber: Immunologi Dasar, 2010
2.1.6. Patofisiologi AIDS
Dalam tubuh penderita, partikel virus bergabung dengan DNA sel
pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan
tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian masuk ke
tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS pada
10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV
menunjukkan gejala AIDS (Djoerban & Djauzi, 2009).
Infeksi HIV tidak langsung menimbulkan gejala tertentu. Sebagian
menunjukkan gejala tidak khas pada infeksi akut HIV, 3-6 minggu setelah
terinfeksi. Gejala yang timbul adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan
kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut,
dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini
umumnya berlangsung selama 8-10 tahun (Djoerban & Djauzi, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis
tidak menimbulkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi,
10 pertikel setiap hari. Replikasi ini disertai mutasi dan seleksi virus
sehingga virus menjadi resisten. Bersamaan dengan replikasi virus, terjadi
kehancuran limfosit CD4 yang tinggi (Djoerban & Djauzi, 2009).
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, penderita
mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat
badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelnjar getah
bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan lain sebagainya
(Djoerban & Djauzi, 2009)
2.1.7. Gejala klinis
Menurut Fauci & Lane (2008), gejala klinis HIV/AIDS adalah:
1. Sindroma HIV akut
Gejala klinis yang khas pada sindroma HIV akut adalah demam,
ruam kulit, faringitis dan mialgia. Gejala ini bertahan selama satu
atau beberapa minggu dan perlahan mereda akibat respon imun
dan menurunnya jumlah virus dalam darah.
2. Fase asimtomatik
Pada stadium ini terjadi replikasi yang progresif HIV. Pada pasien
yang tingkat replikasi dan penuruan jumlah CD4 yang tinggi akan
lebih cepat untuk masuk ke fase selanjutnya.
3. Fase simtomatik
Gejala dari penyakit HIV dapat muncul kapan saja dalam perjalan
penyakit ini. Hal ini berkaitan dengan jumlah CD4. Hal yang dapat
menimbulkan komplikasi yang sangat membahayakan pada HIV terjadi
pada pasien dengan CD4 <200/mikroliter. Dapat teradi infeksi-infeksi lain
yang menyertai penderita HIV pada fase ini seperti: P.jiroveci,
mikobakterium atipik, CMV, mikobakterium, dan organisme lain yang tidak
menimbulkan gangguan pada orang dengan sistem imun baik.

Universitas Sumatera
Utara

2.1.8. Stadium Klinis HIV/AIDS


Menurut Kemenkes (2009), stadium klinis HIV/AIDS adalah sebgai

berikut:
9.

Stadium 1
1) Tidak ada gejala
2) Limfadenopati

Generalisata

Persisten II. Stadium 2


1) Penurunan berat badan bersifat sedang yang tak diketahui penyebabnya
(<10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)

2) Infeksi saluran pernafasan yang berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis


media, faringitis)
3) Herpes zoster
4) Keilitis angularis
5) Ulkus mulut yang berulang
6) Ruam kulit berupa papel yang gatal (Papular pruritic eruption)
7) Dermatisis seboroik
8) Infeksi jamur pada kuku
61.

Stadium 3
1) Penurunan berat badan bersifat berat yang tak diketahui penyebabnya
(lebih dari 10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)

2) Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1 bulan
3) Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya
4) Kandidiasis pada mulut yang menetap
5) Oral hairy leukoplakia
6) Tuberkulosis paru
7) Infeksi

bakteri

yang

berat

(contoh:

pneumonia,

empiema,

meningitis, piomiositis, infeksi tulang atau sendi, bakteraemia,


penyakit inflamasi panggul yang berat)
8) Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis
9) Anemi yang tak diketahui penyebabnya (<8g/dl), netropeni (<0.5 x
109/l) dan/atau trombositopeni kronis (<50 x 109/l)
Universitas Sumatera
Utara

IV.

Stadium 4
1) Sindrom wasting HIV
2) Pneumonia Pneumocystis jiroveci
3) Pneumonia bacteri berat yang berulang
4) Infeksi herpes simplex kronis (orolabial, genital, atau anorektal
selama lebih dari 1 bulan atau viseral di bagian manapun)
5) Kandidiasis esofageal (atau kandidiasis trakea, bronkus atau paru)
6) Tuberkulosis ekstra paru
7) Sarkoma Kaposi
8) Penyakit Cytomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain, tidak
termasuk hati, limpa dan kelenjar getah bening)
9) Toksoplasmosis di sistem saraf pusat
10) Ensefalopati HIV
11) Pneumonia Kriptokokus ekstrapulmoner, termasuk meningitis
12) Infeksi mycobacteria non tuberkulosis yang menyebar
13) Leukoencephalopathy multifocal progresif
14) Cyrptosporidiosis kronis
15) Isosporiasis kronis
16) Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
17) Septikemi yang berulang (termasuk Salmonella non-tifoid)
18) Limfoma (serebral atau Sel B non-Hodgkin)
19) Karsinoma serviks invasif
20) Leishmaniasis diseminata atipikal
21) Nefropati atau kardiomiopati terkait HIV yang simtomatis

2.1.9. Pemeriksaan Penunjang HIV/AIDS


Menurut Retnowati (2007), ada beberapa macam pemeriksaan penunjang
pada pasien HIV/AIDS:
1. Pemeriksaan antibodi terhadap HIV
Antibodi yang biasanya diperiksa adalah IgG yang terbentuk sekitar 3-6
minggu pasca terinfeksi. Metode pemeriksaan antibodi adalah Enzyme-

Universitas Sumatera
Utara

linked Immunosorbant Assay (ELISA) dan Rapid test. Hasil pemeriksaan


tersebut juga dapat dikonfirmasi dengan menggunakan tes Western Blot.

2. Deteksi

antigen

HIV.

Pendeteksian

antigen

HIV

adalah

menggunakan deteksi protein virus dan deteksi asam nukleat.


Deteksi protein virus dilakukan dengan mendeteksi protein p24
dengan metode p24 antigen capture assay. Deteksi asam nukleat
dilakukan dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR).
3. Pemeriksaan kadar CD4 dan Viral Load. Pemeriksaan kadar CD4
bertujuan dalam pemantauan keberhasilan terapi dan tingkat keparahan
penyakit. Pemeriksaan tersebut dapat dialkukan dengan imunofloresen
antibodi monoklonal atau dengan alat flowcytometer. Namun, bila
terdapat keterbatasan alat, dapat dilakukan dengan penghitungan limfosit
total. Pemeriksaan Viral Load dilakukan untuk mengetahui jumlah virus
dan berguna dalam pemantauan hasil pengobatan.

2.1.10. Penatalaksanaan HIV/AIDS


Untuk memulai terapi antiretroviral, sebaiknya dilakukan pemeriksaan
kadar CD4 terlebih dahulu. Pengobatan dimulai pada kadar CD4 <350 sel/mm 3.
Namun, jika tidak tersedia peralatan pemeriksaan kadar CD4, dapat dilakukan
pemberian obat antiretroviral berdasarkan stadium klinis (Kemenkes,2009).

Tabel 2.1. Saat memulai terapi pada ODHA dewasa


Target Populasi Stadium Klinis
Jumlah sel CD4
Penderita
HIV Stadium klinis 1 >350 sel/mm3
dewasa
dan 2

Rekomendasi
Belum
mulai
terapi.
Monitor
gejala klinis dan
jumlah sel CD4
setiap 6-12 bulan.
<350 sel/mm3
Mulai terapi
Stadium Klinis 3 Berapapun jumlah Mulai terapi
dan 4
sel CD4
Pasien
dengan Apapun stadium Berapapun jumlah Mulai terapi
koinfeksi TB
klinisnya
sel CD4
Pasien
dengan Apapun stadium Berapapun jumlah Mulai terapi
koinfeksi Hepatitis klinisnya
sel CD4
B kronik aktif
Ibu Hamil
Apapun stadium Berapapun jumlah Mulai terapi
klinisnya
sel CD4
Universitas Sumatera
Utara

Sumber: Kemenkes, 2009


Pemerintah menganjurkan pemberian pengobatan antiretroviral
mengandung 2 Nucleoside Reverse Trancriptase Inhibitor + 1 Non Nucleoside

Reverse Trancriptase Inhibitor.


Tabel 2.2. Panduan lini pertama yang direkomendasikan pada orang
yang belum pernah menerima terapi antiretroviral
Populasi Target Pilihan yang direkomendasikan Catatan
Dewasa dan anak
Zidovudin atau Tenofovir +
Merupakan pilihan
Lamivudin (atau Emtricitabine) + panduan yang sesuai
Efavirenz atau Nevirapine
untuk sebagian besar
pasien. Gunakan FDC
jika ada.
Perempuan Hamil
Zidovudin + Lamivudin +
Tidak boleh
Efavirenz atau Nevirapine
menggunakan
Efavirenz pada
trisemester pertama.
Tenofovir bisa menjadi
pilihan
Ko-infeksiHIVZidovudin atau Tenofovir +
Mulai terapi
TB
Lamivudin + Efavirenz
antiretroviral segera
setelah terapi TB dapat
ditoleransi (antara 2
minggu hingga 8
minggu)
Ko-infeksiHIVTenofovir + Lamivudin +
Diperlukan penggunaan
Hepatitis B kronik
Efavirenz atau Nevirapine
2 ARV yang memiliki
aktif
aktivitas anti-HBV
Sumber: Kemenkes,2011

Pemantauan klinis terhadap pengobatan antiretroviral dilakukan pada


minggu 2, 4, 8, dan 24 minggu sejak mulai terapi antiretroviral dan kemudian
setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai keadaan stabil. Pemantauan CD4 perlu

dilakukan secara rutin setiap 6 bulan, atau lebih sering bila ada indikasi klinis

(Kemenkes,2011).
2.2. Tuberkulosis
2.2.1. Epidemiologi Tuberkulosis
Pada tahun 2011, di dunia diperkirakan insidensi kasus TB sebesar 8,7
juta, atau setara dengan 125 kasus per 100.000 populasi. Diperkirakan kasus

terbanyak terjadi di Asia dan Afrika (WHO,2011).


Universitas Sumatera
Utara

Di Indonesia, angka notifikasi kasus BTA positif baru pada tahun


2011 adalah 83 kasus per 100.000 penduduk, yang meningkat dari tahun
sebelumnya yaitu 78 kasus per 100.000 penduduk (Kemenkes,2012).
2.2.2. Mycobacterium tuberculosis
Bakteri penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis,
berebentuk batang, aerob, berukuran 0,4 x 3 mikrometer, dan tidak
berspora. Mycobacterium tidak dapat diklasifikasikan sebagai bakteri gram
negatif ataupun positif. Namun, digolongkan sebagai Bakteri Tahan Asam
karena sekali bakteri tersebut diwarnai, tidak dapat dilunturkan lagi
menggunakan asam alkohol (Brooks, Butel, dan Morse, 2004).
2.2.3. Patogenesis Tuberkulosis
1. Tuberkulosis Primer
Penularan terjadi akibat kuman yang terdapat dalam droplet yang
infkesius terhisap masuk kedalam paru-paru oleh penderita. Kuman
pertama kali akan berhadapan dengan neutrofil dan kemudian dengan
makrofag. Kebanyakan bakteri akan dibersihkan oleh makrofag dan
sebagian lagi tetap terperangkap pada jaringan paru. Bakteri yang
terperangkap ini akan berkembang biak pada makrofag. Kemudian akan
terbentuk fokus primer yang merupakan sarang-sarang tuberkulosis. Dari
fokus primer akan timbul limfangitis lokal menuju hilus dan diikuti
pembersaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Hal ini
membentuk kompleks primer (Amin & Bahar, 2009).

2. Tuberkulosis Pasca Primer


Kuman yang dorman pada tuberkulosis primer akan muncul
kembali menjadi tuberkulosis pasca primer (sekunder). Tuberkulosis
sekunder terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh seperti AIDS,
penyakit keganasan, diabetes, dan pada penurunan imun lainnya. Dimulai
dengan pembentukan sarang dini di regio atas paru-paru dan menginvasi
ke parenkim paru-paru. Dalam 3-10 minggu sarang dini membentuk suatu
granuloma yang terdiri dari sel histiosit dan datia langerhans yang
dikelilingi oleh limfosit dan jaringan ikat. Nekrosis perkejuan terjadi
Universitas Sumatera
Utara

akibat jaringan disekitar tuberkel mengalami nekrosis. Nekrosis


perkejuan

akan

menjadi

kavitas

bila

isi-nya

keluar

akibat

dibatukkan. Dapat juga terjadi TB milier akibat isi kavitas menyebar


melalui arteri (Amin & Bahar, 2009)
2.2.4. Gejala Klinis TB
Menurut Amin & Bahar (2009), gejala klinis TB adalah:
1. Demam, biasanya subfebril. Dapat terjadi secara kambuh-kambuhan.
2. Batuk/Batuk darah, akibat terjadinya iritasi pada bronkus. Batuk
darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Kebanyakan terjadi
pada kavitas, namun juga dapat terjadi pada ulkus dinding bronkus.

3. Sesak nafas, ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dan


infiltrasi meliputi sebagian paru.
4. Nyeri dada, timbul akibat peradangan yang mencapai pleura
sehingga terjadi pleuritis.
5. Malaise, ditemukan berupa anoreksia, badan semakin kurus, sakit
kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam.
2.2.5. Pemeriksaan Penunjang TB
Pemeriksaan penunjang TB paru adalah melalui beberapa pemeriksaan

yaitu:
1. Mikroskopis BTA.
Diagnosis yang meyakinkan adalah berdasarkan penemuan bakteri
M.tuberculosis

pada

pewarnaan

sputum

ataupun

jaringan.

Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas yang rendah (40-60%).


Metode pewarnaan adalah menggunakan metode Ziehl Nielsen
ataupun Kinyoun. Pada pasien yang diduga menderita TB,
dilakukan pengambilan 3 spesimen sputum yang diambil pada pagi
hari dan langsung diwarnai (Raviglione & OBrien, 2009).
Pemeriksaan dahak untuk diagnosis dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan

yang

berturut-turut

berupa

sewaktu-pagi-sewaktu

(Kemenkes,2011).
Universitas Sumatera
Utara

Bakteri tahan asam diinterpretasikan berwarna merah pada pewarnaan

Kinyoun dan Ziehl Nielsen. Laporan pemeriksaan dibuat dalam beberapa


skala. Skala yang sering dipakai adalah skala International Union Againts

Tuberculosis an Lung Disease (IUATLD) (Kumala,2009).


Tabel 2.3. Interpretasi BTA menurut IUALTD
Interpretasi
Negatif
Tulis jumlah BTA
1+ atau +
2+ atau ++
3+ atau +++

Keterangan
Bila tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan
pandang
Bila ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapangan
pandang
Bila ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapangan
pandang
Bila ditemukan 1-10 BTA dalam satu lapangan
pandang
Bila ditemukan lebih dari 10 BTA dalam satu
lapangan pandang

Sumber: Diagnosis Laboratorium Mikrobiologi Klinik, 2009


2. Kultur
Kultur M.tuberculosis dilakukan pada media Lownstein-Jensen atau
0

Middlebrook 7H10/7H11 dan diinkubasi pada 35-37 celsius dengan


CO2 5-10% selama 8 minggu (Brooks, Butel, dan Morse, 2009).

3. Radiologi
Secara radiologis, TB paru dibedakan atas:
1. TB paru primer : Kelainan biasanya terjadi pada satu lobus,
dan paru kanan lebih sering terkena. Kelainan foto toraks
yang dominan adalah limfadenopati hilus dan mediastinum.
Pada paru bisa dijumpai infiltrat, ground glass opacity,
konsolidasi segmental atau lobar, dan atelektasis, kavitas.
Efusi pleura bisa dijumpai umumnya unilateral disertai
kelainan pada paru (Icksan & Luhur, 2008).
2. TB paru post primer
1. TB paru fokal : Bercak infiltrat yang bisa retikulogranuler,
nodul-nodul yang bisa setempat atau milier, ground
glass opacity, konsolidasi serta kavitas, dan efusi pleura.
Predileksi lesi biasanya di daerah segmen apikal dan
Universitas Sumatera
Utara

segmen posterior lobus atas serta segmen superior lobus

bawah.
2. TB pneumonia dan bronkopneumonia : Lobus paru
bisa terlihat konsolidasi dan kavitas bisa terlihat
daerah konsolidasi pada lobus yang terkena. TB
bronkopneumonia bisa memperlihatkan gambaran
patchy dan bilateral infiltratdan melibatkan daerah
yang jarang terkena pada TB.
3.

Tuberkuloma : gambaran berupa nodul yang tegas,


tetapi bisa dijumpai tepi ireguler karena adanya
fibrosis. Bisa multipel dan mencapai ukuran 5 cm dan
bisa didapati kalsifikasi pada nodul.

4. TB paru milier : bisa dijumpai foto toraks normal atau


bisa berupa nodul milier berukuran 2-3 mm, yang
tersebar merata di kedua paru.
3. Pleuritis TB : terjadi efusi pleura. (Icksan & Luhur, 2008)
4. Tes tuberkulin
Uji tuberkulin mengandung derivat protein yang dimurnikan melalui
fraksionisasi kimiawi dari konsentrasi filtrat kaldu tempat basil
tuberkulosis ditumbuhkan. Terbagi atas 1TU, 5TU, dan 250 TU. Yang
sering digunakan adalah 5TU. Tuberkulin diberikan dengan cara
disuntikkan ke pasien. Orang yang belum pernah kontak dengan
mikobakterium tidak akan menimbulkan reaksi terhadap uji tuberkulin.
Sedangkan orang yang pernah mengalami infeksi primer, terjadi
indurasi, edema, eritema, dan bahkan nekrosis sentral pada daerah
penyuntikan dalam waktu 24-48 jam (Brooks, Butel, dan Morse, 2008).
Hal ini disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat, yang
mengakibatkan sel T tersensitasi dan menggerakkan limfosit ke tempat
suntikan. Limfosit akan merangsang terbentuknya indurasi dan
vasodilatasi lokal, edema, deposit fibrin, dan penarikan sel inflamasi ke
tempat suntikan (Kenyorini, Suradi, dan Surjanto, 2006).
Universitas
Sumatera Utara

Hasil postif jika indurasi lebih besar sama dengan 10 mm. Interpretasi
positif adalah menandakan bahwa seorang individu pernah terinfeksi
diwaktu lampau dan terus mengandung mikobakterium yang hidup
dalam beberapa jaringan (Brooks, Butel, dan Morse, 2008).

5. PCR (Polymerase Chain Reaction)


Reaksi PCR adalah metode amplifikasi suatu sekuens DNA tertentu.
PCR merupakan cara yang sensitif, selektif, dan sangat cepat untuk
memperbanyak sekuens DNA yang diinginkan. (Granner & Weil,2006)
Salah satu metode dalam mendeteksi TB adalah Xpert MTB/RIF yang
merupakan pengembangan dari metode PCR untuk mendeteksi gen TB.
Sensitifitas alat ini lebih tinggi dibandingkan dengan metode pewarnaan
BTA. Pada koinfeksi HIV-TB, sensitifitas pewarnaan BTA dapat menurun.
Namun hal ini tidak terjadi pada metode PCR (WHO,2011)

2.2.6. Penatalaksanaan TB
Tujuan penatalaksanaan TB adalah menghentikan transmisi tuberkulosis
dengan menjadikan pasien tidak infeksi dan mencegah morbiditas dan mortalitas
dengan mengobati pasien. Empat obat-obatan lini pertama digunakan pada
penatalksanaan TB yaitu : Isoniazid (H), Rifampicin (R), Pyrazinamide (Z), dan
Ethambutol (E). Lini kedua pada pengobatan TB digunakan pada pasien-pasien
yang telah mengalami resisten pada pengobatan lini pertama. Terdapat enam
golongan obat-obatan lini kedua yaitu: golongan aminoglikosida yang dapat
diinjeksikan Streptomycin (S), Kanamycin, Amikasin; Capreomycin Polypeptida
yang dapat diinjeksikan; Ethionamide, cycloserine, dan Para-Aminosalicylic
(PAS); dan antibiotik golongan flouroquinolon (Raviglione & OBrien, 2010)

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2011) menetapkan


regimen pengobatan terhadap TB sebagai berikut:
1. Kategori 1
Diberikan untuk pasienbaru TB paru BTA positif, pasien TB paru BTA
negatif foto toraks positif, dan TB ekstra paru. Regimen pengobatan yang
diberikan adalah pada tahap intensif diberikan 2HRZE (HRZE diberikan

Universitas Sumatera
Utara

sekali sehari selama 2 bulan) dan tahap lanjutan diberikan 4H3R3 (HR

diberikan 3 kali seminggu selama 4 bulan).


2. Kategori 2
Panduan obat ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya dimana pasien mengalami pasien kambuh, pasien gagal,
dan pasien dengan pengobatan setelah putus berobat. Panduan yang
diberikan pada tahap intensif adalah 2HRZES (HRZES diberikan
sekali sehari selama 2 bulan) atau 2HRZE (HRZE diberikan sekali
sehari selama 2 bulan) dan tahap lanjutan diberikan 5H3R3E3 (HRE
diberikan 3 kali seminggu selama 5 bulan).

3. OAT sisipan
OAT sisipan adalah sama seperti panduan paket untuk tahap intensif

kategori 1 yang diberikan selama sebulan.


Pemantauan hasil pengobatan adalah dengan pemeriksaan ulang
dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak dinilai lebih baik dalam
mengontrol hasil pengobatan dibandingkan dengan hasil pemriksaan
radiologi. Dahak diperiksa 2 kali yaitu sewaktu dan pagi. Hasil pemeriksaan
dikatakan negatif bila didapatkan kedua pemeriksaan tersebut negatif, dan
postif jika didapatkan salah satu atau keduanya positif (Kemenkes,2011).

2.3. Koinfeksi TB-HIV


2.3.1. Epidemiologi TB-HIV
Tuberkulosis merupakan salah satu infeksi oportunistik yang
menyerang pasien HIV/AIDS. Tahun 2011 di Amerika Serikat, dari 8.683
orang yag didiagnosis TB yang menjalani tes HIV, 6% menderita koinfeksi
dengan HIV. Tahun 2006 769 dari 6.533 pasien TB didiagnosis menderita
koinfeksi HIV (CDC,2013).
2.3.2. Hubungan TB-HIV
Melemahnya

imunitas

tubuh

penderita

HIV/AIDS

sehingga

menjadikannya mudah menderita infeksi oportunistik. Aktifitas Limfosit T CD4

yang berperan untuk merangsang makrofag dalam melakukan fagositosis,


merangsang respon inflamasi, dan

merangsang proliferasi sel B menjadi


Universitas Sumatera
Utara

berkurang dan bahkan tidak terjadi pada pasien HIV. Tuberkulosis dapat muncul
dalam berbagai stadium infeksi HIV. Ketika imunitas selular sebagian terganggu,
TB paru menunjukkan gambaran infiltrat pada lobus atas, kavitas, dan tanpa
limfadenopati atau efusi pleura yang signifikan. Pada HIV stadium lanjut, TB
menunjukkan gejala seperti TB primer dengan infiltrat milier, sedikit atau tanpa
kavitas dan limfadenopati intra toraks. Pemeriksaan sputum positif sangat jarang
ditemukan pada pasien yang menderita HIV. Hal ini menjadikan TB sulit
didiagnosis pada pasien HIV (Raviglione & OBrien, 2010).

I. Peningkatan Infeksi & Reaktivasi TB oleh HIV


Penurunan CD4 merupakan hal yang terjadi pada penderita AIDS. Hal ini
memberi pengaruh besar terhadap peningkatan reaktivasi TB laten dan juga
meningkatkan kemungkinan infeksi baru. Beberapa mekanisme yang mendukung
infeksi TB pada penderita HIV adalah peningkatan reseptor TB pada makrofag,
manipulasi jalur pembunuhan bakteri oleh HIV, perubahan regulasi kemotaksis
dan ketidakseimbangan Th1/Th2. Kemudian HIV juga mempengaruhi respon
apoptosis makrofag yang diperantarai Tumor Necrosis Factor (TNF) terhadap

M.tuberculosis sehingga menjadikan bakteri tersebut dapat bertahan


(Pawlowski et al.,2012)
Pada TB fase laten, kuman TB tidak sepenuhnya dimusnahkan
walaupun kuatnya pertahanan dari Th1. Kegagalan atau melemahnya
pertahanan tersebut dapat menimbulkan reaktivasi infeksi tersebut. Beberapa
mekanisme imun yang mempertahankan dan menjaga perkembangan bakteri
TB mengalami gangguan akibat infeksi dari HIV. Sehingga meningkatkan
kemungkinan untuk menjadikan TB aktif (Pawlowski et al., 2012).
Granuloma terbentuk untuk melokalisasi TB agar tidak menyebar dan
berkembang. CD4 dan TNF memegang peranan penting dalam menjaga utuhnya
granuloma tersebut. Keutuhan granuloma dapat terganggu pada orang yang
mengalami penurunan sitem imun, dan hal inilah yang menjadi hipotesa
bagaimana HIV mengeksaserbasi TB yaitu melalui manipulasi dari granuloma.
CD4 yang menjaga keutuhan granuloma mengalami gangguan akibat dari infeksi
HIV sehingga struktur granuloma menjadi rusak. Hal ini menyebabkan bakteri TB
Universitas Sumatera
Utara

dapat menyebar dari granuloma dan menyebabkan infeksi (Pawlowski et


al., 2012).

Gambar 2.3 Mekanisme Aktivasi TB Laten oleh HIV


Sumber: http://iai.asm.org
II. Peningkatan Replikasi HIV akibat TB
Bakteri TB meningkatkan replikasi akut ataupun kronik HIV pada sel T
dan makrofag. Pada penelitian in vitro ditemukan peningkatan viral load pada
pasien yang terinfeksi HIV-TB. Juga didapatkan bahwa TB dapat meningkatkan
infeksi dan replikasi dari HIV pada monocyte-derived macrophage (MDM) ,
meningkatkan efisiensi transmisi virus dari MDM yang terinfeksi ke sel T,
peningkatan replikasi akibat peningkatan dari koreseptor CXCR4. TNF yang
diproduksi akibat respon dari infeksi TB mengaktifkan replikasi HIV di makrofag.
Bakteri TB yang bertahan pada sel dendritik secara aktif menurunkan kerja proinflamatory dan kemampuan mempresentasikan antigen (Pawlowski et al., 2012).

2.3.3. Diagnosis TB Paru-HIV


Pendekatan diagnostik TB paru pada penderita HIV/AIDS tidak berbeda
dengan orang non-HIV/AIDS yang diduga TB paru atas dasar keluhan dan
pemeriksaan fisik serta harus diperiksa sputum 3 kali. Hasil sputum negatif tidak

Universitas Sumatera
Utara

menyingkirkan adanya penyakit. Kemudian dilakukan kultur terhadap


sputum (Wulandari, 2007).
Menurut Onubogu et al. (2010) dalam penelitiannya, dari 236
pasien TB-HIV yang diperiksa mikroskopis BTA didapatkan 145 orang
negatif dan 91 orang positif. Namun, dari 145 orang yang negatif tersebut
dilakukan kultur terhadap sputum dan didapatkan hasil kultur positif.
Menurut Coimbra et al. (2012) dalam penelitiannya, hasil pemeriksaan
sputum yang negatif merupakan salah satu faktor yang berhubungan
dalam terlambatnya pengobatan pada pasien koinfeksi TB-HIV.
Menurut Fredy, Liwang, Kurniawan & Nasir (2012), terdapat
korelasi yang sangat lemah antara jumlah CD4 dengan jenis TB pada
pasien TB-HIV di Indonesia (p=0.042).
2.3.4. Penatalaksanaan TB-HIV
Panduan penatalaksanaan antiretroviral untuk koinfeksi tuberkulosis yang

berlaku di Indonesia adalah:


Tabel 2.4, Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB
CD4
Panduan yang dianjurkan
Berapapun jumlah CD4 Mulai terapi TB.
Gunakan panduan yang
mengandung EFV (AZT
atau TDF) + 3TC + EFV
(600mg/hari).
Setelah OAT selesai maka
bila
perlu EFV dapat
diganti dengan NVP.
Pada keadaan
dimana
panduan berbasis
NVP
terpaksa
digunakan
bersamaan
dengan
pengobatan TB maka NVP
diberikan tanpa lead-in
dose (NVP diberikan tiap
12 jam sejak awal terapi)
CCD4 tidak mungkin Mulai terapi TB
diperiksa

Keterangan
Mulai terapi ARV segera
setelah terapi TB dapat
ditoleransi (antara
2
minggu hingga 8 minggu)

Mulai terapi ARV segera


setelah terapi TB dapat
ditoleransi (antara
2
minggu hingga 8 minggu)

Sumber: Kemenkes, 2011


Universitas Sumatera
Utara

Kualitas hidup penederita koinfeksi TB-HIV sangat terpengaruh


akibat penyakitnya. Menurut penelitian Deribew et al.(2009), didapatkan
kualitas hidup penderita TB-HIV lebih rendah dari pada penderita HIV
tanpa koinfeksi. Hal ini disebabkan tingginya tingakat depresi, rendahnya
dukungan keluarga, rendahnya pendidikan pasien sehingga meningkatkan
stigma yang buruk pada dirinya sendiri. Dalam penelitian lain Deribew et
al. (2013), dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat peningkatan
kualitas hidup yang signifikan pada pasien koinfeksi TB-HIV pasca
pengobatan ART dan Anti-TB pada bulan keenam pasca pengobatan.

Universitas Sumatera
Utara

Anda mungkin juga menyukai