PENDAHULUAN
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan karakteristik
penyakit imunosupresif berat yang dikaitkan dengan infeksi oportunistik, tumor
ganas, degenerasi saraf pusat. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan
retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama CD4+
T-sel dan makrofag komponen-komponen utama sistem kekebalan sel), dan
menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan
terjadinya
penurunan
sistem
kekebalan
yang
terus-menerus,
yang
akan
preventif. Upaya preventif atau pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi dikenal
dengan nama Prevention of Mother-to-Child Transmission of HIV (PMTCT).2,4
Prevention of Mother-to-Child Transmission of HIV menargetkan jumlah infeksi HIV
baru dari ibu ke anak menjadi kurang dari 40.000 pada tahun 2018 dan kurang dari
20.000 pada tahun 2020, serta target untuk memastikan 95% ibu hamil dengan HIV
mendapatkan terapi seumur hidup pada tahun 2018.5
Pemahaman dan laporan kasus mengenai kehamilan dengan HIV/AIDS sangat
diperlukan para praktisi kesehatan dalam upaya untuk mencegah transmisi infeksi
dari ibu ke bayi. Sehingga dengan adanya pemahaman tersebut pendekatan
pencegahan sejak awal yakni sejak ibu hamil melakukan ANC pada tempat pelayanan
kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
(RNA) dari famili retrovirus subfamili Lentiviridae. Hingga saat ini dikenal dua jenis
HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 diketahui sebagai penyebab sindrom defisiensi imun
(AIDS) yang tersering atau dahulu dikenal sebagai Human T-cell lymphotrophic virus
type III (HTLV-III), lymphadenopathy-associated virus (LAV) dan AIDS-associated
virus. Virus ini memiliki karakteristik akibat hubungannya dengan penyakit yang
bersifat imunosupresif dengan keterliatan sistem saraf pusat dan periode inkubasi
yang panjang setelah infeksi sebelum manifestasi klinis muncul.6
Secara morfologik, virus ini berbentuk bulat terdiri dari bagian inti (core) yang
berbentuk silinder dan selubung (envelope) yang terbuat dari lipid bilayer yang
membungkus bagian inti. Pada inti tersebut terdapat RNA virus HIV. Virus ini harus
mentransfer informasi genetiknya berupa RNA menjadi DNA sebelum diterjemahkan
menjadi protein. Untuk tujuan itu maka virus HIV memerlukan suatu enzim disebut
sebagai reverse transcriptase.5,7
Pada selubung virus terdapat glikoprotein yang terdiri dari dua protein yang
mengkoordinasi masuknya HIV ke dalam sel. Glikoprotein dengan ukuran yang lebih
besar dinamakan gp120 yaitu komponen untuk spesifikasi sel yang akan diinfeksi.
Gp120 terutama akan berikatan dengan CD4, yaitu reseptor yang terdapat pada
permukaan sel limfosit T helper, makrofag, monosit, sel langerhans, dan sel glia.
Glikoprotein lebih kecil disebut gp41 yang bekerja sama sebagai protein fusi yaitu
protein yang berikatan dengan reseptor sel lain yang berdekatan sehingga akan
membentuk sinsitium.8 Genom dari HIV mengandung 3 gen utama yakni gag, pol,
env. Gen env mengkoding komponen struktural dan fungsional HIV termasuk
selubung glikoprotein: selubung luar glikoprotein gp120 dan glikoprotein
transmembrane gp41 dengan precursor gp160. Komponen yang dikoding oleh gen
gag yakni protein nukloekapsid inti p55 (protein precursor), p40, p24 (kapsid atau
antigen inti), p17 (matriks), p7 (nukleokapsid). Komponen yang dikoding oleh gen
pol, yakni protein enzim p66 dan p51 (reverse transcriptase), p11(protease), dan p32
(integrase).6
2.2
Epidemiologi
Estimasi kasus HIV/AIDS secara global hingga dengan tahun 2015 berdasarkan
2016 UNAIDS fact sheet adalah 36,7 juta orang terinfeksi dengan jumlah kasus baru
sebanyak 2,1 juta kasus dengan total jumlah kematian akibat AIDS di tahun 2015
sebesar 1,1 juta.10 Sebanyak 17,7 juta perempuan dewasa atau hampir 44,8%
terinfeksi HIV/AIDS. Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan
jumlah ODHA pada kelompok orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV yaitu para
penjaja seks komersial dan penyalah-guna NAPZA suntikan di beberapa provinsi
seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur sehingga provinsi
tersebut
tergolong
sebagai
daerah
dengan
tingkat
epidemi
terkonsentrasi
di Indonesia sampai dengan September 2011 tercatat jumlah Odha yang mendapatkan
terapi ARV sebanyak 22.843 dari 33 provinsi dan 300 kab/kota, dengan rasio laki-laki
dan perempuan 3 : 1, dan persentase tertinggi pada kelompok usia 20-29 tahun.
HIV juga dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi kepada anaknya yaitu mother
to child HIV transmission (MTCT). Angka kasus penularan HIV dari ibu ke anak di
Indonesia telah mencapai 2,8% dari seluruh kasus HIV-AIDS yang dilaporkan. Dalam
laporan tersebut juga dinyatakan sebagian besar yaitu sekitar 90,3% perempuan HIV
positif berada dalam usia reproduksi aktif. Lebih dari 90% kasus anak yang terinfeksi
HIV ditularkan melalui penularan dari ibu ke anak. Anak dengan HIV positif sering
mengalami gangguan tumbuh kembang bahkan sampai kematian. Anak HIV positif
didapatkan lebih sering mengalami infeksi.12
2.3
reverse transcriptase
tidak mempunyai
sitokin, proliferasi dan sitotoksisitas sel-sel tersebut pada bayi jauh lebih berkurang
karena infeksi HIV ini. 6,9
Infeksi HIV pada limfosit T-CD4 diatas mengakibatkan perubahan pada
fungsi dan penghancuran sel T-CD4 hingga populasinya berkurang. Mekanisme
disfungsi dan penurunan jumlah sel limfosit T-CD4 ini diduga melalui proses
pengaruh sitotoksik langsung HIV (single cell killing), pembentukkan sinsitium,
respon imun spesifik, limfosit T sitolitik yang spesifik untuk HIV, mekanisme
autoimun dan anergi. 6,9
Penurunan jumlah dan fungsi sel T-CD4 yang merupakan orchestrator dari
suatu sistem imun menyebabkan individu yang terinfeksi HIV akan lebih berisiko
untuk terkena infeksi oportunistik, infeksi sistemik berat, penyakit sistem organ yang
kemudian berakhir dengan kematian.9
Transmisi HIV
Penularan HIV dapat terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung virus,
Salah satu transmisi virus HIV adalah melalui hubungan seksual. Hal ini terjadi
pada 80-90% dari total kasus sedunia. Penularan lebih mudah terjadi bila terdapat
lesi penyakit kelamin dengan ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes
genitalis, sifilis, dan gonore. Hubungan seksual melalui anal memiliki risiko
paling tinggi. Untuk pasangan dengan HIV negatif, reseptif seksual melalui anal
lebih berisiko dibandingkan insertif seksual melalui anal. Selain itu adanya epitel
silindris pada mukosa rektum, mukosa uretra laki-laki dan kanalis servikalis
ternyata mempunyai reseptor CD4 yang merupakan target utama HIV. Hubungan
seksual melalui vagina adalah resiko tertinggi nomor dua.
2. Transmisi Non Seksual
HIV dapat ditularkan melalui transmisi parenteral yaitu akibat penggunaan jarum
suntik. Pemakaian jarum tidak steril/pemakaian bersama jarum suntik pada para
pecandu narkotik suntik. Risiko pemakaian jarum suntik sangat tinggi sampai
lebih dari 90%. Total kasus ditemukan sekitar 3-5% dari total kasus sedunia. Pada
umumnya, daerah perkotaan memiliki insiden yang tinggi pada penularan melalui
jarum suntik.
Transmisi parenteral lainnya adalah melalui donor/transfusi darah. Resiko
penularannya mencapai >90%, artinya bila seseorang mendapat transfusi darah yang
terkontaminasi HIV maka dapat dipastikan orang tersebut akan menderita HIV
sesudah transfusi tersebut dan telah terdapat 5-10% dari total kasus sedunia.
Infeksi dari ibu dan anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa
perinatal yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. 10,11 Infeksi
HIV secara vertikal terjadi pada satu dari tiga periode berikut :
1. Intra uterin : Terjadi sebelum kelahiran atau pada masa awal kehamilan sampai
trimester kedua yang mencakup kira-kira 30-50% dari penularan secara vertikal.
Janin dapat terinfeksi melalui transmisi virus lewat plasenta dan melewati selaput
amnion khususnya bila selaput amnion mengalami peradangan atau infeksi.
2. Intra partum: Transmisi vertikal paling sering terjadi selama persalinan dengan
jumlah kasus kurang lebih 50-60%. Banyak faktor-faktor mempengaruhi risiko
untuk terinfeksi pada periode ini. Secara umum, semakin lama dan semakin
banyak jumlah kontak neonatus dengan darah ibu dan sekresi serviks dan vagina,
maka semakin besar risiko penularan. Bayi prematur dan BBLR mempunyai
risiko terinfeksi lebih tinggi selama persalinan karena barier kulitnya yang lebih
tipis dan pertahanan imunologis pada mereka lebih lemah.
3. Post partum : Bayi baru lahir terpajan oleh cairan ibu yang terinfeksi. Bayi dapat
tertular melalui pemberian air susu ibu yang terinfeksi HIV dengan risiko kirakira 7-22%.
Lebih dari 90% penularan HIV dari ibu ke anak terjadi selama dalam kandungan,
persalinan dan menyusui.
2.5
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi HIV memiliki spektrum yang luas. Terdapat
beberapa macam klasifikasi manifestasi klinis infeksi HIV. Klasifikasi yang umum
dipakai adalah klasifikasi yang dibuat oleh Center for Disease Control (CDC),
USA, sebagai berikut:
1. Masa Inkubasi
Masa inkubasi adalah waktu terjadinya infeksi sampai munculnya gejala
pertama pada pasien. Pada infeksi HIV hal ini sulit diketahui. Penelitian pada
sebagian besar kasus didapatkan masa inkubasi rata-rata 5-10 tahun degan variasi
yang lebar yaitu antara 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun. Masa inkubasi pada anakanak didapatkan rata-rata 21 bulan dan pada orang dewasa sekitar 60 bulan.
Meskipun belum terdapat gejala, tetapi individu tersebut telah dapat menjadi sumber
penularan.
2. Stadium Awal Infeksi HIV
Gejala ini serupa dengan gejala infeksi virus umumnya yaitu berupa demam,
sakit kepala, sakit tenggorokan, mialgia, pembesaran kelenjar dan rasa lemah. Infeksi
dapat berat pada sebagian orang disertai dengan penurunan kesadaran. Sindrom ini
akan menghilang dalam beberapa minggu. Tes serologi baru akan positif dalam kurun
waktu 3-6 bulan karena telah terbentuk antibodi. Masa 3-6 bulan ini disebut window
periode, yaitu kondisi penderita dapat menularkan tetapi hasil tes HIV negatif secara
laboratorium
3. Stadium Tanpa Gejala (Asimptomatik)
Fase akut akan diikuti fase kronik asimptomatik dengan waktu bisa sampai
bertahun-tahun (5-7 tahun). Virus yang ada didalam tubuh secara pelan-pelan terus
menyerang sistem pertahanan tubuh. Walaupun tidak ada gejala, virus masih dapat
diisolasi dari darah pasien. Hal ini berarti bahwa selama fase ini pasien dalam fase
infeksius. Selama fase ini disuga terjadi replikasi lambat pada sel-sel tertentu dan
laten pada sel-sel lainnya. Aktivitas HIV pada masa ini jelas terjadi dibuktikan
dengan menurunnya fungsi sistem imun dari waktu ke waktu dan terjadi sampai
jumlah virus dapat mengantisipasi sistem imun.
4. Stadium AIDS Related Compleks
Stadium ARC (AIDS Related Complex) adalah bila terjadi dua atau lebih
gejala klinis yang berlangsung lebih dari 3 bulan, antara lain :
10
Dermatitis
11
Kandidiasis orofaring
Limfadenopatia umum
Limfadenopati umum
Kandidiasis orofaring
Batuk persisten
Dermatitis umum
2.6 Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke anak
Terdapat tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke
anak, yaitu faktor ibu, bayi/anak dan tindakan obstetrik.13,14
1. Faktor Ibu
a. Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan
jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat
12
Semakin lama persalinan maka semakin lama kontak bayi dengan jalan lahir
sehingga memperbesar risiko penularan.
c. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningatkan risiko
penularan hingga 2 kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4
jam
d. Tindakan episiotomy, ekstraksi vakum dan forceps meningkatkan risiko
penularan HIV karena berpotensi melukai ibu.
2.7
HIV tidak menyebabkan peningkatan kelahiran prematur, berat badan lahir rendah
atau gangguan pertumbuhan intra uterin. Sedangkan di negara berkembang, infeksi
HIV meningkatkan kejadian aborsi, prematuritas, gangguan pertumbuhan intra uterin
dan kematian janin intra uterin terutama pada stadium lanjut. Selain karena kondisi
fisik ibu yang lebih buruk juga karena kemungkinan penularan perinatalnya lebih
tinggi.
a. Transmisi Vertikal HIV
Risiko penularan HIV dari ibu ke janin dengan tanpa intervensi dilaporkan
berkisar antara 15%-45%. Risiko penularan ini lebih tinggi di negara berkembang
dibandingkan dengan negara maju (21%-43% dibandingkan 14%-26%). Penularan
dapat terjadi pada intra uterin, intrapartum dan post partum. Sebagian besar penularan
terjadi intra partum. Pada ibu yang tidak menyusui, sekitar 24%-40% penularan
terjadi intra uterin dan sekitar 60%-75% terjadi selama persalinan. Sedangkan pada
ibu yang menyusui bayinya, sekitar 20%-25% penularan terjadi intra uterin, sekitar
60%-70% intra partum dan saat awal menyusui dan sekitar 10%-15% setelah
persalinan. Risiko infeksi intra uterin, intra partum dan pasca persalinan adalah 6%,
18% dan 4% dari keseluruhan kelahiran ibu dengan HIV positif.
a. Transmisi Intra Uterin
Kejadian transmisi HIV pada janin kembar dan ditemukannya DNA HIV, IgM
anti-HIV dan antigen p24 pada neonatus pada minggu pertama membuktikan
bahwa transmisi dapat terjadi selama kehamilan. Mekanisme penularan masih
14
belum jelas dan diduga melalui plasenta. Pemeriksaan patologi menemukan HIV
dalam plasenta ibu yang terinfeksi HIV. Sel limfosit atau monosit ibu yang
terinfeksi HIV atau virus HIV itu sendiri dapat mencapai janin secara langsung
melalui lapisan sinsitiotrofoblas atau secara tidak langsung melalui trofoblas dan
menginfeksi sel makrofag plasenta (sel Houfbauer) yang mempunyai reseptor
CD4. Plasenta diduga juga mempunyai efek anti HIV-1 dengan mekanisme yang
masih belum diketahui. Salah satu hormon plasenta yaitu human chorionic
gonadotropin (hCG) diduga melindungi janin dari HIV-1 melalui beberapa cara
seperti menghambat penetrasi virus ke jaringan plasenta, mengontrol replikasi
virus di dalam sel plasenta, dan menginduksi apoptosis sel-sel yang terinfeksi
HIV-1.6 Menurut Pediatric Virology Committee of the AIDS Clinical Trials Group
(PACTG), transmisi dikatakan intra uterin/infeksi awal, jika tes virologi positif
dalam 48 jam setelah kelahiran dan tes berikutnya juga positif
Malnutrisi yang seringkali ditemukan pada wanita dengan HIV-AIDS akan
meningkatkan risiko transmisi karena akan menurunkan imunitas, meningkatkan
progresivitas penyakit ibu, meningkatkan risiko berat badan lahir rendah dan
prematuritas dan menurunkan fungsi imunitas gastrointestinal dan fetus. Pada
penelitian prospektif random terkontrol, defisiensi vitamin A (kurang dari
1,05 mol/L) yang dihubungkan dengan gangguan fungsi sel T dan sel B ternyata
berhubungan dengan peningkatan transmisi HIV. Namun penelitian Dreyfuss, dkk
tidak dapat membuktikan bahwa defisiensi mikronutrien akan meningkatkan
transmisi antepartum atau sebaliknya.
b. Transmisi Intrapartum
Transmisi intrapartum atau infeksi lambat didiagnosis jika pemeriksaan
virologis negatif dalam 48 jam pertama setelah kelahiran dan tes 1 minggu
berikutnya menjadi positif dan bayi tidak menyusui.
Selama persalinan, bayi dapat tertular darah atau cairan servikovaginal yang
mengandung HIV melalui paparan pada trakheobronkial atau tertelan pada saat
melewati jalan lahir. HIV ditemukan pada cairan servikovaginal wanita terinfeksi
15
HIV-AIDS sekitar 21% dan pada cairan aspirasi lambung bayi yang dilahirkan
sekitar 10%. Terdapatnya HIV pada cairan servikovaginal berhubungan dengan
duh tubuh vagina abnormal, kadar sel CD4 yang rendah dan defisiensi vitamin A.
Selain menurunkan imunitas, defisiensi vitamin A akan menurunkan integritas
plasenta dan permukaan mukosa jalan lahir sehingga akan memudahkan terjadi
trauma pada jalan lahir dan transmisi HIV secara vertikal.
Besarnya paparan pada jalan lahir juga dikaitkan dengan ulkus serviks atau
vagina, korioamnionitis, ketuban pecah sebelum waktunya, persalinan prematur,
penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forceps,
episiotomi dan rendahnya kadar CD4 ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam
sebelum persalinan akan meningkatkan risiko transmisi antepartum sampai dua
kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam sebelum persalinan.
Diantara faktor-faktor tersebut, kadar HIV ibu pada saat persalinan atau
menjelang persalinan merupakan prediktor paling penting. Risiko penularan lebih
tinggi terjadi pada ibu hamil dengan infeksi HIV primer. Namun, belum ada
angka pasti tentang jumlah kadar HIV yang memungkinkan untuk terjadinya
penularan. Garcia, dkk melaporkan sekitar 21% penularan HIV pada ibu dengan
kadar HIV sebesar 100.000 kopi/mL menjelang atau saat persalinan akan
menyebabkan risiko penularan sebesar 63%.1 John, dkk menemukan penularan
empat kali lebih tinggi pada ibu dengan kadar HIV > 43.000 kopi/mL. Namun,
kadar HIV yang rendah atau tidak terdeteksi tidak menjamin bahwa bayi tidak
akan tertular karena pada beberapa kasus penularan tetap terjadi. John, dkk pada
penelitiannya mengemukakan transmisi yang terjadi pada tiga orang ibu dengan
kadar HIV 1 juta kopi/mL. Selain itu, kadar HIV ibu sebelum dan saat persalinan
juga akan menentukan kadar HIV pada bayi yang ditularkannya. Wiener, dkk
mengemukakan hubungan linier kadar HIV ibu dan kadar HIV bayi pada 3 bulan
pertama kehidupannya.
Selain faktor ibu, faktor janin ternyata juga mempengaruhi transmisi
perinatal. Prematuritas dan berat badan lahir rendah diduga berperan karena
sistem imunitas pada bayi tersebut belum berkembang baik. Beberapa penelitian
16
17
dan
123
negara
(78%)
diantaranya
telah
melaporkan
pada tahun 2012 terdapat 12.7 juta orang yang menggunakan narkoba
secara injeksi dan 1.7 juta diantaranya terinfeksi HIV. Penelitian
menunjukkan di Indonesia sendiri prevalensi HIV dari pengguna
narkoba diperkirakan 36.4%.
4. Pekerja seks
Secara global, prevalensi HIV pada pekerja seks diperkirakan sebesar
12%. Pekerja seks berada pada resiko tinggi terinfeksi HIV karena
multipartner dan tidak adanya penggunaan kondom.
5. Transgender
Penelitian
pada
tahun
2013
menyoroti
mengenai
perempuan
19
1. Pemeriksaan laboratorium awal untuk HIV yang sesuai dengan FDA (Food and
Drug Administration) yang mendeteksi antibody HIV-1 dan HIV-2 dan HIV-1
antigen p24 untuk menentukan infeksi HIV-1, HIV-2 dan HIV-1 akut. Tidak
diperlukan tes lebih jauh untuk specimen yang non rekatif terhadap
immunoassay ini.
2. Specimen dengan antibody/antigen yang reaktif terhadap immunoassay
sebelumnya (didapatkan reaktif pada tes ulang), harus dilakukan pemeriksaan
imunoassay untuk membedakan antibodi HIV-1 dan antibodi HIV-2. Hasil
reaktif dibedakan menjadi antibody HIV-1, antibodi HIV-2, antibody HIV-1
NAT.
3. Specimen yang reaktif terhadap initial immunoassay dan non reaktif terhadap
tes kedua harus dites dengan HIV-1 NAT (nucleic acid test).
a. Reactif terhadap HIV-1 NAT dan non reactive terhadap tes antibody HIV1/HIV-2 mengindikasikan infeksi akut HIV-1.
b. Reactif terhadap HIV-1 NAT dan tidak dapat ditentukan terhadap tes
antibody HIV-1/HIV-2 mengindikasikan infeksi akut HIV-1.
c. Non reaktif terhadap HIV-1 NAT dan non reaktif terhadap tes antibody
HIV-1/HIV-2 mangindikasikan false-positif pada initial immunoassay.
Untuk menegakkan diagnosis infeksi HIV dengan melakukan pemeriksaan
laboratorium kita bagi dalam dua kelompok yaitu uji imunologi dan uji virology.
1. Uji Imunologi
Bertujuan untuk menemukan adanya respon antibody terhadap HIV dan juga
digunakan sebagai test skrining.
a. ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay)
b. Radioimmunoassay (RIA)
c. Electrochemiluminescence Immunoassay (ECLIA)
d. Rapid Test
e. Western Blot
2. Uji Virologi
a. Kultur HIV
b. Nucleic Acid Amplification Test (NAAT HIV-1)
c. Uji Antigen p24
d. PCR Test
2.9
Antiretrovirus
direkomendasikan
untuk
semua
wanita
yang
perkembangan
virus,
memperbaiki
fungsi
imunologis,
ini
harus
dibandingkan
dengan
potensi
toksisitas,
teratogenesis dan efek samping jangka lama. Akan tetapi, efek penelitian
mengenai toksisitas, teratogenesis, dan efek samping jangka lama
antiretrovirus pada wanita hamil masih sedikit. Efek samping tersebut
diduga akan meningkat pada pemberian kombinasi antiretrovirus, seperti
efek teratogenesis kombinasi antiretrovirus dan antagonis folat yang
dilaporkan oleh Jungmann, dkk.
of
the
AIDS
Clinical
Trials
Group (PACTG)
menyatakan
21
sampai
hari
setelah
melahirkan.
Dosis
untuk
postpartum yaitu
murah. Makin
lama
penggunaan
antiretrovirus,
makin
besar
bayi
yang
tidak
tertular
HIV,
rata-rata
lama
penggunaan
22
sebelumnya
disarankan
untuk
menjalani
pemeriksaan
klinis,
zidovudin
seperti
tercantum
dalam
rekomendasi
PACTG,
bila
kehamilan
diketahui
setelah
trimester
pertama, terapi
23
3
4
Situasi Klinis
ODHA dengan indikasi
Terapi
ARV
dan
kemungkinan
hamil
atau sedang hamil
Rekomendasi pengobatan
AZT + 3TC + NVP atau
TDF + 3TC(atau FTC) + NVP
Hindari EFV pada trimester pertama
AZT + 3TC + EVF* atau
25
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama
Jenis Kelamin
Umur
Status
Agama
Suku/Bangsa
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
Nama Suami
Pekerjaan Suami
CM
MRS
: WAN
: Perempuan
: 28 tahun
: Menikah
: Hindu
: Bali/Indonesia
: SMA
: Ibu Rumah Tangga
: Banjar Baledan, Desa Klumpu, Klungkung
: SUM
: Supir
: 552383
: 21 April 2016 pk. 10.30 WITA
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Sakit perut hilang timbul
Riwayat Penyakit Sekarang
Penderita datang dengan keluhan sakit perut hilang timbul sejak pukul 07.00
WITA (21/04/16). Tidak ada riwayat keluar air atau keluar lendir bercampur
darah pervaginam. Gerak anak dirasakan baik. Pasien mengatakan tidak ada
riwayat demam sebelumnya. Pasien juga menyangkal adanya riwayat batuk
lama, riwayat diare lama dan penurunan berat badan.
Pasien dan suami pasien diketahui HIV positif sejak awal Januari 2016 ketika
kontrol kehamilan di Puskesmas Sukawati. Sejak saat itu pasien langsung
mengkonsumsi ARV secara rutin.
Riwayat Menstruasi
Pasien mengatakan mulai menstruasi pertama kali kurang lebih saat umur 16
tahun. Siklus menstruasi dikatakan teratur setiap 28 hari sekali, lamanya
menstruasi rata-rata tiga sampai empat hari, dengan volume 50 cc. Pasien
mengalami keluhan nyeri perut saat awal haid namun dikatakan tidak
menganggu aktivitas.
Riwayat Perkawinan
26
27
Ekstremitas
Status Obstetri
(21 April 2016)
28
Mammae
Inspeksi
Hiperpigmentasi aerola mammae, payudara tampak tegang dengan puting susu
menonjol
Abdomen
Inspeksi : Tampak perut membesar, disertai adanya striae gravidarum (linea
nigra), tidak tampak bekas luka operasi.
Palpasi
Pemeriksaan Leopold
I.
II.
III.
punggung) dan teraba bagian kecil di perut bagian kiri (kesan ekstremitas).
Teraba bagian bulat, keras dan susah digerakkan (kesan kepala).
IV.
Teraba kepala, H II, tidak teraba bagian kecil atau tali pusat.
PARAMETER
Hemoglobin
Hematokrit
Lekosit
Trombosit
Eritrosit
RDW-CV
MPV
PCT
Limfosit
Gran #
Rapid Test : Reaktif
3.5
3.7
HASI
L
13,4
37,4
11,1
199
4,64
14,1
9,9
0.197
1,8
8,6
SATUAN
g/dL
%
ribu/l
ribu/l
juta/l
%
fL
%
%
%
KISARAN NORMAL
11 17
35 47
4 10
150 400
3,5 5,5
11,5 14,5
7-11
0,108 0,282
0,8-4,0
2-7
Diagnosis Utama
G2P1001 37 minggu 3 hari T/H + PK I + Infeksi HIV
Penatalaksanaan
Pdx
:-
Tx
- MRS
- IVFD RL 20 tpm
- konsul PMTCT
- Tenofovir
- Lamivudine
- Efavirene
- SC cito
Mx
KIE : Pasien dan keluarga tentang keadaan Ibu dan janin serta rencana tindakan,
risiko tindakan, dan komplikasi dari tindakan yang akan dilakukan.
30
plasenta kesan
lengkap
Evaluasi : Ass
Planning :
- Dx: - Tx : IVFD RL + 20 IU oksitosin 30 tpm s/d 12 jam post SC
Drip analgetik ~ TS anastesi
Cefazolin 2 x 1 gr IV
DC 1 x 24 jam
Puasa s/d 6 jam post SC
Alinamin F 3x1 IV
- Mx : Observasi 2 jam post SC
- KIE
3.8 Perkembangan Kesehatan Pasien ( 22 April 2014, Pukul 06.00 WITA)
S
O`
R : 20x/menit
N : 72x/menit
Tax: 36,5C
St. General :
Mata
THT
: kesan tenang
Leher
31
: Simetris
Cor :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: batas kiri
: ICS II
Pulmo :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: sonor/sonor
Auskultasi
Edema
St. Obstetri :
Abdomen
-
Inspeksi
: distensi (-)
Palpasi
Vagina
-
Inspeksi
:
- Tx : Aff infus
32
Aff DC
Cefadroxil 3x500 mg
Inbion 2 x 1 tab
Na Diclofenac 2 x 500 mg
Paracetamol 3 x 500 mg
Methylergometrin 3 x 0,125 mg
- KIE
3.8 Perkembangan Kesehatan Pasien ( 23 April 2014, Pukul 06.00 WITA)
S
O`
R : 20x/menit
N : 80x/menit
Tax: 36,3C
St. General :
Mata
THT
: kesan tenang
Leher
Thorak
: Simetris
Cor :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: batas kiri
: ICS II
Pulmo :
33
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: sonor/sonor
Auskultasi
Edema
St. Obstetri :
Abdomen
-
Inspeksi
: distensi (-)
Palpasi
Vagina
-
Inspeksi
:
- Dx: - Tx : Cefadroxil 2x500 mg
Inbion 2 x 1 tab
Na Diclofenac 2 x 500 mg
Paracetamol 3 x 500 mg
Methylergometrin 3 x 0,125 mg
- KIE
Kontrol Poliklinik 26/4/2016
34
35
BAB IV
PEMBAHASAN
IV.1 Masalah pada Ibu dan Janin
Pada pasien ini tidak ditemukan gejala-gejala seperti berat badan turun lebih
dari 10%, demam lebih dari 380C, berkeringat di malam hari tanpa sebab yang jelas,
diare kronis tanpa sebab yang jelas, rasa lelah berkepanjangan, herper zoster dan
kandidiasis mulut, pembesaran kelenjar imfe, anemia, leucopenia, limfopenia, serta
trombositopenia, namun tetap dilakukan konseling PMTCT karena hasil rapid test
pada pasien ini reaktif.
Pada ibu hamil dengan infeksi HIV sangat mungkin terjadi transmisi vertikal
dari ibu ke janinnya. Dimana selama persalinan, bayi dapat tertular darah atau cairan
servikovaginal yang mengandung HIV melalui paparan pada trakheobronkial atau
tertelan pada saat melewati jalan lahir. Risiko transmisi vertikal dari ibu ke janin
dapat dikurangi dengan tidak melakukan persalinan pervaginam. Sectio caessaria
dapat mengurangi paparan bayi terhadap lingkungan servikovaginal.
IV.2 Diagnosis
Pasien perempuan berusia 28 tahun datang ke Ruang Bersalin RSUD Sanjiwani
Gianyar pada tanggal 21 April 2016 pukul 10.30 WITA dengan keluhan sakit perut
hilang timbul sejak pukul 07.00 WITA. Riwayat keluar air pervaginam ataupun
keluar darah disangkal. Gerakan anak dirasakan baik. Pasien menyangkal memiliki
penyakit yang berhubungan dengan kehamilan saat ini seperti asma, penyakit jantung,
kencing manis, dan tekanan darah tinggi. Riwayat penyakit sistemik dan kronia di
keluarga juga disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status present dan status generalis dalam
batas normal. Pada pemeriksaan status obstetri didapatkan TFU 3 jari bawah
processus xiphoideus (30 cm), kontraksi uterus (+), letak kepala dengan punggung
kanan, Bagian terbawah sudah masuk PAP dan DJJ 140x/menit. Pemeriksaan VT
36
dilakukan dengan hasil pembukaan 4 jari, effacement 50%, ketuban (+), blood
slym (-), teraba kepala, H II, tidak teraba bagian kecil atau tali pusat.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan pasien
didiagnosis dengan G2P1001 uk 37 mg 3 hari T/H + PK I + Infeksi HIV. Diagnosis
HIV/AIDS didasarkan pada hasil rapid test yang reaktif.
IV.3
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Antepartum
Pasien
ini
menderita
HIV/AIDS
yang
menyertai
kehamilannya.
Dalam
ASI pada ibu yang terkena HIV jika alternatif susu lain tersedia dan aman. Kemudian,
bayi tersebut diberikan sirup zidovudin 2 mg/kg setiap enam jam selama enam
minggu. Pada bayi yang telah terinfeksi HIV in utero, ASI eksklusif dianjurkan
kecuali jika keadaan ibu memungkinkan.
4.3
Prognosis
38
BAB V
SIMPULAN
Kehamilan yang disertai dengan infeksi HIV perlu mendapatkan perhatian
serius sebab selain melibatkan ibu dan bayi, kondisi ini membawa ancaman infeksi
seumur hidup yang harus ditanggung ibu dan bayi. Pada ibu dengan HIV/AIDS dapat
terjadi penurunan imunitas yang mengakibatkan terjadinya infeksi oportunistik.
Infeksi HIV pada kehamilan juga dapat menyebabkan terjadinya transmisi vertikal
dari ibu ke bayi dalam kandungannya.
Transmisi vertikal ibu ke bayi dapat dikurangi dengan pemilihan jalur
persalinan per abdominal (sectio cesarea). Namun sectio cesarea dikatakan dapat
menurunkan risiko transmisi vertikal HIV/AIDS hingga sebesar 87% jika
dikombinasi dengan pemberian antiretrovirus
Penatalaksanaan infeksi HIV dalam kehamilan dapat dilakukan melalui tiga
cara yaitu penatalaksanaan antepartum, intrapartum, dan pospartum. Penatalaksanaan
antepartum berkaitan dengan pemberian ARV pada ibu hamil yang dinyatakan positif
terinfeksi HIV melalui pemeriksaan rapid test dan CD4.
Penatalaksanaan intrapartum berkaitan dengan pemilihan jalur persalinan
dimana pemilihan seksio disertai dengan ARV profilaksis dapat menurunkan risiko
transmisi vertikal dari ibu ke bayi. Penatalaksanaan postpartum sendiri berkaitan
dengan pemberian ASI dimana WHO, UNICEF, dan UNAIDS mengeluarkan
rekomendasi untuk menghindari pemberian Air Susu Ibu yang terkena HIV jika ada
susu lain yang lebih aman.
Apabila rekomendasi profilaksis utama selama antepartum, intrapartum, dan
postpartum dilakukan dengan baik ditambah pemilihan seksio cesarea, diharapkan
akan menurunkan kemungkinan tranmisi vertikal infeksi HIV pada bayi.
39