Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan karakteristik
penyakit imunosupresif berat yang dikaitkan dengan infeksi oportunistik, tumor
ganas, degenerasi saraf pusat. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan
retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama CD4+
T-sel dan makrofag komponen-komponen utama sistem kekebalan sel), dan
menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan
terjadinya

penurunan

sistem

kekebalan

yang

terus-menerus,

yang

akan

mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh. Sedangkan Acquired Immunodeficiency


Syndrome (AIDS) menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan
menurunnya sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV telah ditetapkan sebagai penyebab
AIDS, tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan
indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS.1
Sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai Maret 2015, HIV-AIDS
tersebar di 390 (75%) dari 514 Kabupaten/Kota di seluruh provinsi di Indonesia.
Jumlah kumulatif infeksi HIV sampai dengan Maret 2015 dilaporkan sebanyak
167.350 kasus dan jumlah AIDS yang dilaporkan sebanyak 66.835 orang. 2 Mother-tochild transmission atau transmisi dari ibu ke anak diartikan sebagai penularan HIV
dari ibu yang positif HIV kepada anaknya yang terjadi di masa kehamilan, persalinan,
dan/atau proses menyusui.3 Kasus HIV/AIDS dengan risiko infeksi transmisi
perinatal (dari ibu ke bayinya) di Indonesia didapatkan 351 kasus tahun 2008 dan
tahun 2011 naik dua kali lipat menjadi 742 kasus (0,34%). Tahun 2013 jumlah
kumulatif kasus transmisi perinatal meningkat hingga mencapai 1.438 kasus (0,41%).
Pada tahun 2016, kasus infeksi HIV pada ibu hamil diestimasikan mengalami
peningkatan menjadi 0,49%.4
Pada ibu hamil yang telah terinfeksi HIV memiliki kemungkinan besar untuk
kemudian menularkan HIV tersebut kepada bayinya apabila tidak dilakukan upaya

preventif. Upaya preventif atau pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi dikenal
dengan nama Prevention of Mother-to-Child Transmission of HIV (PMTCT).2,4
Prevention of Mother-to-Child Transmission of HIV menargetkan jumlah infeksi HIV
baru dari ibu ke anak menjadi kurang dari 40.000 pada tahun 2018 dan kurang dari
20.000 pada tahun 2020, serta target untuk memastikan 95% ibu hamil dengan HIV
mendapatkan terapi seumur hidup pada tahun 2018.5
Pemahaman dan laporan kasus mengenai kehamilan dengan HIV/AIDS sangat
diperlukan para praktisi kesehatan dalam upaya untuk mencegah transmisi infeksi
dari ibu ke bayi. Sehingga dengan adanya pemahaman tersebut pendekatan
pencegahan sejak awal yakni sejak ibu hamil melakukan ANC pada tempat pelayanan
kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

HIV (Human Immunodeficiency Virus)


Human immunodeficiency virus (HIV) adalah suatu virus ribonucleic acid

(RNA) dari famili retrovirus subfamili Lentiviridae. Hingga saat ini dikenal dua jenis
HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 diketahui sebagai penyebab sindrom defisiensi imun
(AIDS) yang tersering atau dahulu dikenal sebagai Human T-cell lymphotrophic virus
type III (HTLV-III), lymphadenopathy-associated virus (LAV) dan AIDS-associated
virus. Virus ini memiliki karakteristik akibat hubungannya dengan penyakit yang
bersifat imunosupresif dengan keterliatan sistem saraf pusat dan periode inkubasi
yang panjang setelah infeksi sebelum manifestasi klinis muncul.6
Secara morfologik, virus ini berbentuk bulat terdiri dari bagian inti (core) yang
berbentuk silinder dan selubung (envelope) yang terbuat dari lipid bilayer yang
membungkus bagian inti. Pada inti tersebut terdapat RNA virus HIV. Virus ini harus
mentransfer informasi genetiknya berupa RNA menjadi DNA sebelum diterjemahkan
menjadi protein. Untuk tujuan itu maka virus HIV memerlukan suatu enzim disebut
sebagai reverse transcriptase.5,7

Gambar 1. Struktur human immunodeficiency virus (HIV)5


3

Pada selubung virus terdapat glikoprotein yang terdiri dari dua protein yang
mengkoordinasi masuknya HIV ke dalam sel. Glikoprotein dengan ukuran yang lebih
besar dinamakan gp120 yaitu komponen untuk spesifikasi sel yang akan diinfeksi.
Gp120 terutama akan berikatan dengan CD4, yaitu reseptor yang terdapat pada
permukaan sel limfosit T helper, makrofag, monosit, sel langerhans, dan sel glia.
Glikoprotein lebih kecil disebut gp41 yang bekerja sama sebagai protein fusi yaitu
protein yang berikatan dengan reseptor sel lain yang berdekatan sehingga akan
membentuk sinsitium.8 Genom dari HIV mengandung 3 gen utama yakni gag, pol,
env. Gen env mengkoding komponen struktural dan fungsional HIV termasuk
selubung glikoprotein: selubung luar glikoprotein gp120 dan glikoprotein
transmembrane gp41 dengan precursor gp160. Komponen yang dikoding oleh gen
gag yakni protein nukloekapsid inti p55 (protein precursor), p40, p24 (kapsid atau
antigen inti), p17 (matriks), p7 (nukleokapsid). Komponen yang dikoding oleh gen
pol, yakni protein enzim p66 dan p51 (reverse transcriptase), p11(protease), dan p32
(integrase).6

2.2

Epidemiologi
Estimasi kasus HIV/AIDS secara global hingga dengan tahun 2015 berdasarkan

2016 UNAIDS fact sheet adalah 36,7 juta orang terinfeksi dengan jumlah kasus baru
sebanyak 2,1 juta kasus dengan total jumlah kematian akibat AIDS di tahun 2015
sebesar 1,1 juta.10 Sebanyak 17,7 juta perempuan dewasa atau hampir 44,8%
terinfeksi HIV/AIDS. Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan
jumlah ODHA pada kelompok orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV yaitu para
penjaja seks komersial dan penyalah-guna NAPZA suntikan di beberapa provinsi
seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur sehingga provinsi
tersebut

tergolong

sebagai

daerah

dengan

tingkat

epidemi

terkonsentrasi

(concentrated level of epidemic). Tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi


meluas (generalized epidemic). Hasil estimasi tahun 2009, di Indonesia terdapat
186.000 orang dengan HIV positif. Dari Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS

di Indonesia sampai dengan September 2011 tercatat jumlah Odha yang mendapatkan
terapi ARV sebanyak 22.843 dari 33 provinsi dan 300 kab/kota, dengan rasio laki-laki
dan perempuan 3 : 1, dan persentase tertinggi pada kelompok usia 20-29 tahun.
HIV juga dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi kepada anaknya yaitu mother
to child HIV transmission (MTCT). Angka kasus penularan HIV dari ibu ke anak di
Indonesia telah mencapai 2,8% dari seluruh kasus HIV-AIDS yang dilaporkan. Dalam
laporan tersebut juga dinyatakan sebagian besar yaitu sekitar 90,3% perempuan HIV
positif berada dalam usia reproduksi aktif. Lebih dari 90% kasus anak yang terinfeksi
HIV ditularkan melalui penularan dari ibu ke anak. Anak dengan HIV positif sering
mengalami gangguan tumbuh kembang bahkan sampai kematian. Anak HIV positif
didapatkan lebih sering mengalami infeksi.12
2.3

Patogenesis Infeksi HIV


Retrovirus tidak dapat bertahan diluar sel inang yang hidup dan tidak

memiliki deoxyribonucleioc acid (DNA). Patofisiologi virus ini melibatkan siklus


hidup virus, lingkungan seluler inang, dan jumlah virus pada penderita. Setelah
menginfeksi tubuh, partikel virus tertarik pada sel dengan molekul reseptor CD4 dan
menempel dengan fusi pada membran sel atau dengan endositosis. Infeksi bergantung
dari jumlah virion HIV yang menginfeksi dan jumlah sel yang ada pada area kontak
yang memiliki reseptor CD4 yang memadai.6
HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4 yang mempunyai
reseptor CD4. Setelah masuk ke dalam tubuh, HIV akan menempel pada sel yang
mempunyai molekul CD4 pada permukaannya. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas
yang sangat besar terhadap HIV, terutama terhadap molekul gp120 dari selubung
virus. Diantara sel tubuh yang memiliki CD4, sel limfosit T memiliki molekul CD4
yang paling banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus
pada limfosit T. Setelah penempelan, terjadi diskontinuitas dari membran sel limfosit
T yang disebabkan oleh protein gp41 dari HIV, sehingga seluruh komponen virus
harus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T.6

Setelah virus masuk ke dalam sel, akan dihasilkan enzim reverse


transcriptase. Adanya enzim reverse transcriptase akan menyebabkan RNA virus
diubah menjadi suatu DNA. Enzim

reverse transcriptase

tidak mempunyai

mekanisme proof-reading (mekanisme baca ulang DNA yang dibentuk) sehingga


terjadi mutasi yang tinggi dalam proses penerjemahan RNA menjadi DNA. Tingkat
reproduktif virus yang tinggi ditambah dengan mutasi ini menyebabkan HIV
mengalami evolusi dengan cepat dan sering terjadi resistensi yang berkelanjutan
terhadap pengobatan.7
Bersamaan dengan enzim reverse trancriptase, akan dibentuk RNAse. Akibat
aktivitas enzim tersebut, maka RNA yang asli dihancurkan. Sedangkan seuntai DNA
yang tadi telah terbentuk akan mengalami polimerisasi menjadi dua untai DNA
dengan bantuan enzim polymerase. DNA yang terbentuk ini kemudian pindah dari
sitoplasma ke dalam inti sel limfosit T dan menyisip ke dalam DNA sel penjamu
dangan bantuan enzim integrase, dan DNA ini disebut sebagai provirus. Provirus
yang terbentuk ini tinggal dalam keadaan laten atau dalam keadaan replikasi yang
sangat lambat, tergantung pada aktivitas dan diferensiasi sel penjamu (T-CD4) yang
diinfeksinya, sampai kelak terjadi suatu stimulasi yang dapat memicu DNA ini untuk
keluar dari DNA inang dan menjadi aktif, serta selanjutnya terjadi replikasi dalam
kecepatan yang tinggi. Keadaan laten ini dapat berlangsung selama 1 sampai 12 tahun
dari infeksi awal HIV dan dalam keadaan ini pasien tidak mempunyai gejala
(asimptomatik). Pada stadium laten ini, HIV dan respon imun anti HIV dalam tubuh
pasien dalam keadaan steady state. 6
Infeksi akut dengan cepat meningkatkan viral load dan menyebabkan viremia
yang ringan sampai moderat. Walaupun viral load cenderung menurun dengan cepat
setelah infeksi akut pada orang dewasa, viral load menurun lebih lambat pada anakanak yang terinfeksi secara vertikal (2-3 bulan setelah terinfeksi, jumlah viral
load dalam tubuh menetap sekitar 750.000/mL) dan dapat tidak mencapai
level steady state sampai mereka berumur 4-5 tahun. Hal ini disebabkan karena
imaturitas sistem imun anak-anak. Walaupun bayi mempunyai sejumlah antigen
presenting cell dan sel-sel efektor lebih banyak daripada orang dewasa, produksi

sitokin, proliferasi dan sitotoksisitas sel-sel tersebut pada bayi jauh lebih berkurang
karena infeksi HIV ini. 6,9
Infeksi HIV pada limfosit T-CD4 diatas mengakibatkan perubahan pada
fungsi dan penghancuran sel T-CD4 hingga populasinya berkurang. Mekanisme
disfungsi dan penurunan jumlah sel limfosit T-CD4 ini diduga melalui proses
pengaruh sitotoksik langsung HIV (single cell killing), pembentukkan sinsitium,
respon imun spesifik, limfosit T sitolitik yang spesifik untuk HIV, mekanisme
autoimun dan anergi. 6,9
Penurunan jumlah dan fungsi sel T-CD4 yang merupakan orchestrator dari
suatu sistem imun menyebabkan individu yang terinfeksi HIV akan lebih berisiko
untuk terkena infeksi oportunistik, infeksi sistemik berat, penyakit sistem organ yang
kemudian berakhir dengan kematian.9

Gambar 2. Siklus Replikasi HIV 9


2.4

Transmisi HIV
Penularan HIV dapat terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung virus,

seperti misalnya terjadi melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun


heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkoba, transfuse komponen darah dan
dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya. secara horizontal maupun vertikal (dari ibu
ke anak).
1. Transmisi Seksual
7

Salah satu transmisi virus HIV adalah melalui hubungan seksual. Hal ini terjadi
pada 80-90% dari total kasus sedunia. Penularan lebih mudah terjadi bila terdapat
lesi penyakit kelamin dengan ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes
genitalis, sifilis, dan gonore. Hubungan seksual melalui anal memiliki risiko
paling tinggi. Untuk pasangan dengan HIV negatif, reseptif seksual melalui anal
lebih berisiko dibandingkan insertif seksual melalui anal. Selain itu adanya epitel
silindris pada mukosa rektum, mukosa uretra laki-laki dan kanalis servikalis
ternyata mempunyai reseptor CD4 yang merupakan target utama HIV. Hubungan
seksual melalui vagina adalah resiko tertinggi nomor dua.
2. Transmisi Non Seksual
HIV dapat ditularkan melalui transmisi parenteral yaitu akibat penggunaan jarum
suntik. Pemakaian jarum tidak steril/pemakaian bersama jarum suntik pada para
pecandu narkotik suntik. Risiko pemakaian jarum suntik sangat tinggi sampai
lebih dari 90%. Total kasus ditemukan sekitar 3-5% dari total kasus sedunia. Pada
umumnya, daerah perkotaan memiliki insiden yang tinggi pada penularan melalui
jarum suntik.
Transmisi parenteral lainnya adalah melalui donor/transfusi darah. Resiko
penularannya mencapai >90%, artinya bila seseorang mendapat transfusi darah yang
terkontaminasi HIV maka dapat dipastikan orang tersebut akan menderita HIV
sesudah transfusi tersebut dan telah terdapat 5-10% dari total kasus sedunia.
Infeksi dari ibu dan anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa
perinatal yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. 10,11 Infeksi
HIV secara vertikal terjadi pada satu dari tiga periode berikut :
1. Intra uterin : Terjadi sebelum kelahiran atau pada masa awal kehamilan sampai
trimester kedua yang mencakup kira-kira 30-50% dari penularan secara vertikal.
Janin dapat terinfeksi melalui transmisi virus lewat plasenta dan melewati selaput
amnion khususnya bila selaput amnion mengalami peradangan atau infeksi.
2. Intra partum: Transmisi vertikal paling sering terjadi selama persalinan dengan
jumlah kasus kurang lebih 50-60%. Banyak faktor-faktor mempengaruhi risiko
untuk terinfeksi pada periode ini. Secara umum, semakin lama dan semakin

banyak jumlah kontak neonatus dengan darah ibu dan sekresi serviks dan vagina,
maka semakin besar risiko penularan. Bayi prematur dan BBLR mempunyai
risiko terinfeksi lebih tinggi selama persalinan karena barier kulitnya yang lebih
tipis dan pertahanan imunologis pada mereka lebih lemah.
3. Post partum : Bayi baru lahir terpajan oleh cairan ibu yang terinfeksi. Bayi dapat
tertular melalui pemberian air susu ibu yang terinfeksi HIV dengan risiko kirakira 7-22%.
Lebih dari 90% penularan HIV dari ibu ke anak terjadi selama dalam kandungan,
persalinan dan menyusui.

2.5

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi HIV memiliki spektrum yang luas. Terdapat

beberapa macam klasifikasi manifestasi klinis infeksi HIV. Klasifikasi yang umum
dipakai adalah klasifikasi yang dibuat oleh Center for Disease Control (CDC),
USA, sebagai berikut:
1. Masa Inkubasi
Masa inkubasi adalah waktu terjadinya infeksi sampai munculnya gejala
pertama pada pasien. Pada infeksi HIV hal ini sulit diketahui. Penelitian pada
sebagian besar kasus didapatkan masa inkubasi rata-rata 5-10 tahun degan variasi
yang lebar yaitu antara 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun. Masa inkubasi pada anakanak didapatkan rata-rata 21 bulan dan pada orang dewasa sekitar 60 bulan.
Meskipun belum terdapat gejala, tetapi individu tersebut telah dapat menjadi sumber
penularan.
2. Stadium Awal Infeksi HIV
Gejala ini serupa dengan gejala infeksi virus umumnya yaitu berupa demam,
sakit kepala, sakit tenggorokan, mialgia, pembesaran kelenjar dan rasa lemah. Infeksi
dapat berat pada sebagian orang disertai dengan penurunan kesadaran. Sindrom ini
akan menghilang dalam beberapa minggu. Tes serologi baru akan positif dalam kurun

waktu 3-6 bulan karena telah terbentuk antibodi. Masa 3-6 bulan ini disebut window
periode, yaitu kondisi penderita dapat menularkan tetapi hasil tes HIV negatif secara
laboratorium
3. Stadium Tanpa Gejala (Asimptomatik)
Fase akut akan diikuti fase kronik asimptomatik dengan waktu bisa sampai
bertahun-tahun (5-7 tahun). Virus yang ada didalam tubuh secara pelan-pelan terus
menyerang sistem pertahanan tubuh. Walaupun tidak ada gejala, virus masih dapat
diisolasi dari darah pasien. Hal ini berarti bahwa selama fase ini pasien dalam fase
infeksius. Selama fase ini disuga terjadi replikasi lambat pada sel-sel tertentu dan
laten pada sel-sel lainnya. Aktivitas HIV pada masa ini jelas terjadi dibuktikan
dengan menurunnya fungsi sistem imun dari waktu ke waktu dan terjadi sampai
jumlah virus dapat mengantisipasi sistem imun.
4. Stadium AIDS Related Compleks
Stadium ARC (AIDS Related Complex) adalah bila terjadi dua atau lebih
gejala klinis yang berlangsung lebih dari 3 bulan, antara lain :

Berat badan turun lebih dari 10%

Demam lebih dari 380C

Keringat malam hari tanpa sebab yang jelas

Diare kronis tanpa sebab yang jelas

Rasa lelah berkepanjangan

Herpes zoster dan kandidiasis mulut

Pembesaran kelenjar limfe, anemia, leukopenia, limfopenia, trombositopenia

Adanya antigen HIV atau antibodi terhadap HIV.


5. Stadium AIDS
WHO mengklasifikasikan HIV/AIDS pada orang dewasa menjadi 4 stadium
klinis, yaitu :
a. Stadium I

10

Bersifat asimptomatik, aktivitas normal dan dijumpai adanya Limfadenopati


generalisata.
b. Stadium II
Simptomatik, aktivitas normal, berat bedan menurun <10%, terdapat kelainan
kulit dan mukosa yang ringan seperti dermatitis seroboik, prorigo, onikomikosis,
ulkus yang berulang dan kheilitis angularis, herpes zoster dalam 5 tahun terakhir,
adanya infeksi saluran napas bagian atas seperti sinusitis bakterialis.
c. Stadium III
Pada umumnya kondisi tubuh lemah, aktivitas di tempat tidur <50%, berat badan
menurun >10%, terjadi diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan, demam
berkepanjangan lebih dari 1 bulan, terdapat kandidiasis orofaringeal, TB paru
dalam 1 tahun terakhir, infeksi bacterial yang berat seperti pneumonia dan
piomiositis.
d. Stadium IV
Pada umumnya kondisi tubuh lemh, aktivitas di tempat tidur <50%, terjadi HIV
wasting syndrome, semakin bertambahnya infeksi oprtunistik sepertipneumonia
Pneumocystic carinii, toksoplasmosis otak, diare kriptosporidiosis lebih dari 1
bulan, kriptosporidiosis ekstrapulmonal, retinitis virus sitomegalo, herpes
simpleks mukomutan >1 bulan, leukoensefalopati multifocal progresif, mikosis
diseminata seperti histospamosis, kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus dan
paru, tuberculosis di luar paru, limfoma, sarcoma Kaposi serta ensefalopati HIV.11
Gejala AIDS dikatakan lengkap bila gejala ARC ditambah dengan satu atau
lebih penyakit oportunistik seperti pneumonia pneumocystis carinii, sarcoma Kaposi,
dan infeksi sitomegalovirus. Orang dewasa dicurigai menderita AIDS bila dijumpai
minimal 2 gejala mayor dan 1 gejala minor. Gejala-gejala mayor tersebut adalah:

Penurunan berat badan lebih dari 10%

Diare kronik lebih dari 1 bulan

Demam lebih dari 1 bulan (terus-menerus/intermitten)


Sedangkan yang termasuk gejala-gejala minor yaitu:

Batuk lebih dari 1 bulan

Dermatitis
11

Herpes zoster rekuren

Kandidiasis orofaring

Limfadenopatia umum

Herpes simpleks diseminata yang kronik dan progresif


Anak-anak diduga menderita AIDS bila didapati minimal 2 gejala mayor dan
minor dengan catatan tidak ada riwayat imunosupresi, misalnya kanker atau
malnutrisi berat.
Adapun gejala mayor tersebut yaitu:

Penurunan berat badan atau pertumbuhan lambat dan abnormal.

Diare kronik lebih dari 1 bulan

Demam lebih dari 1 bulan


Sedangkan yang termasuk gejala-gejala minor yaitu:

Limfadenopati umum

Kandidiasis orofaring

Infeksi umum (otitis, faringitis)

Batuk persisten

Dermatitis umum

Infeksi HIV maternal

2.6 Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke anak
Terdapat tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke
anak, yaitu faktor ibu, bayi/anak dan tindakan obstetrik.13,14
1. Faktor Ibu
a. Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan
jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat

12

mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV


menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1000 kopi/ml) dan
sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml.
b. Jumlah Sel CD4
Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar.
c. Status gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan asupan seperti asam folat, vitamin D,
kalsium, zat besi, mineral selama hamil berdampak bagi kesehatan ibu dan
janin akhirnya dapat meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit
infeksi yang dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke
bayi.
d. Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual, infeksi saluran
repsoduksi lainnya, malaria dan tuberculosis, berisiko meningkatkan jumlah
virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
e. Gangguan pada payudara
Ganguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses dan luka
di putting payudara dapat meningkatka risiko penularan HIV melalui ASI
sehingga tidak disarankan untuk memberikan ASI kepada bayinya dan bayi
dapat disarankan untuk diberikan susu formula.
2. Faktor Bayi
a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir premature dengan BBLR lebih rentan terinfeksi HIV karena sistem
organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan baik.
b. Periode pemberian ASI
Semakin panjang periode pemberian ASI, makan semakin tinggi risiko
penularan HIV.
c. Adanya luka dimulut bayi
Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan
ASI.
3. Faktor obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Hal
yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV selama persalinan adalah :
a. Jenis persalinan
Risiko penularan persalinan pervaginam lebih tinggi dibandingkan persalinan
SC.
b. Lama persalinan
13

Semakin lama persalinan maka semakin lama kontak bayi dengan jalan lahir
sehingga memperbesar risiko penularan.
c. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningatkan risiko
penularan hingga 2 kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4
jam
d. Tindakan episiotomy, ekstraksi vakum dan forceps meningkatkan risiko
penularan HIV karena berpotensi melukai ibu.
2.7

Pengaruh Infeksi HIV pada Kehamilan


Penelitian di negara maju sebelum era anti retrovirus menunjukkan bahwa

HIV tidak menyebabkan peningkatan kelahiran prematur, berat badan lahir rendah
atau gangguan pertumbuhan intra uterin. Sedangkan di negara berkembang, infeksi
HIV meningkatkan kejadian aborsi, prematuritas, gangguan pertumbuhan intra uterin
dan kematian janin intra uterin terutama pada stadium lanjut. Selain karena kondisi
fisik ibu yang lebih buruk juga karena kemungkinan penularan perinatalnya lebih
tinggi.
a. Transmisi Vertikal HIV
Risiko penularan HIV dari ibu ke janin dengan tanpa intervensi dilaporkan
berkisar antara 15%-45%. Risiko penularan ini lebih tinggi di negara berkembang
dibandingkan dengan negara maju (21%-43% dibandingkan 14%-26%). Penularan
dapat terjadi pada intra uterin, intrapartum dan post partum. Sebagian besar penularan
terjadi intra partum. Pada ibu yang tidak menyusui, sekitar 24%-40% penularan
terjadi intra uterin dan sekitar 60%-75% terjadi selama persalinan. Sedangkan pada
ibu yang menyusui bayinya, sekitar 20%-25% penularan terjadi intra uterin, sekitar
60%-70% intra partum dan saat awal menyusui dan sekitar 10%-15% setelah
persalinan. Risiko infeksi intra uterin, intra partum dan pasca persalinan adalah 6%,
18% dan 4% dari keseluruhan kelahiran ibu dengan HIV positif.
a. Transmisi Intra Uterin
Kejadian transmisi HIV pada janin kembar dan ditemukannya DNA HIV, IgM
anti-HIV dan antigen p24 pada neonatus pada minggu pertama membuktikan
bahwa transmisi dapat terjadi selama kehamilan. Mekanisme penularan masih

14

belum jelas dan diduga melalui plasenta. Pemeriksaan patologi menemukan HIV
dalam plasenta ibu yang terinfeksi HIV. Sel limfosit atau monosit ibu yang
terinfeksi HIV atau virus HIV itu sendiri dapat mencapai janin secara langsung
melalui lapisan sinsitiotrofoblas atau secara tidak langsung melalui trofoblas dan
menginfeksi sel makrofag plasenta (sel Houfbauer) yang mempunyai reseptor
CD4. Plasenta diduga juga mempunyai efek anti HIV-1 dengan mekanisme yang
masih belum diketahui. Salah satu hormon plasenta yaitu human chorionic
gonadotropin (hCG) diduga melindungi janin dari HIV-1 melalui beberapa cara
seperti menghambat penetrasi virus ke jaringan plasenta, mengontrol replikasi
virus di dalam sel plasenta, dan menginduksi apoptosis sel-sel yang terinfeksi
HIV-1.6 Menurut Pediatric Virology Committee of the AIDS Clinical Trials Group
(PACTG), transmisi dikatakan intra uterin/infeksi awal, jika tes virologi positif
dalam 48 jam setelah kelahiran dan tes berikutnya juga positif
Malnutrisi yang seringkali ditemukan pada wanita dengan HIV-AIDS akan
meningkatkan risiko transmisi karena akan menurunkan imunitas, meningkatkan
progresivitas penyakit ibu, meningkatkan risiko berat badan lahir rendah dan
prematuritas dan menurunkan fungsi imunitas gastrointestinal dan fetus. Pada
penelitian prospektif random terkontrol, defisiensi vitamin A (kurang dari
1,05 mol/L) yang dihubungkan dengan gangguan fungsi sel T dan sel B ternyata
berhubungan dengan peningkatan transmisi HIV. Namun penelitian Dreyfuss, dkk
tidak dapat membuktikan bahwa defisiensi mikronutrien akan meningkatkan
transmisi antepartum atau sebaliknya.
b. Transmisi Intrapartum
Transmisi intrapartum atau infeksi lambat didiagnosis jika pemeriksaan
virologis negatif dalam 48 jam pertama setelah kelahiran dan tes 1 minggu
berikutnya menjadi positif dan bayi tidak menyusui.
Selama persalinan, bayi dapat tertular darah atau cairan servikovaginal yang
mengandung HIV melalui paparan pada trakheobronkial atau tertelan pada saat
melewati jalan lahir. HIV ditemukan pada cairan servikovaginal wanita terinfeksi

15

HIV-AIDS sekitar 21% dan pada cairan aspirasi lambung bayi yang dilahirkan
sekitar 10%. Terdapatnya HIV pada cairan servikovaginal berhubungan dengan
duh tubuh vagina abnormal, kadar sel CD4 yang rendah dan defisiensi vitamin A.
Selain menurunkan imunitas, defisiensi vitamin A akan menurunkan integritas
plasenta dan permukaan mukosa jalan lahir sehingga akan memudahkan terjadi
trauma pada jalan lahir dan transmisi HIV secara vertikal.
Besarnya paparan pada jalan lahir juga dikaitkan dengan ulkus serviks atau
vagina, korioamnionitis, ketuban pecah sebelum waktunya, persalinan prematur,
penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forceps,
episiotomi dan rendahnya kadar CD4 ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam
sebelum persalinan akan meningkatkan risiko transmisi antepartum sampai dua
kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam sebelum persalinan.
Diantara faktor-faktor tersebut, kadar HIV ibu pada saat persalinan atau
menjelang persalinan merupakan prediktor paling penting. Risiko penularan lebih
tinggi terjadi pada ibu hamil dengan infeksi HIV primer. Namun, belum ada
angka pasti tentang jumlah kadar HIV yang memungkinkan untuk terjadinya
penularan. Garcia, dkk melaporkan sekitar 21% penularan HIV pada ibu dengan
kadar HIV sebesar 100.000 kopi/mL menjelang atau saat persalinan akan
menyebabkan risiko penularan sebesar 63%.1 John, dkk menemukan penularan
empat kali lebih tinggi pada ibu dengan kadar HIV > 43.000 kopi/mL. Namun,
kadar HIV yang rendah atau tidak terdeteksi tidak menjamin bahwa bayi tidak
akan tertular karena pada beberapa kasus penularan tetap terjadi. John, dkk pada
penelitiannya mengemukakan transmisi yang terjadi pada tiga orang ibu dengan
kadar HIV 1 juta kopi/mL. Selain itu, kadar HIV ibu sebelum dan saat persalinan
juga akan menentukan kadar HIV pada bayi yang ditularkannya. Wiener, dkk
mengemukakan hubungan linier kadar HIV ibu dan kadar HIV bayi pada 3 bulan
pertama kehidupannya.
Selain faktor ibu, faktor janin ternyata juga mempengaruhi transmisi
perinatal. Prematuritas dan berat badan lahir rendah diduga berperan karena
sistem imunitas pada bayi tersebut belum berkembang baik. Beberapa penelitian

16

menghubungkan kelahiran prematur dengan stadium penyakit HIV ibu,


penggunaan kokain atau opiat. Pada bayi kembar, urutan kelahiran juga
memegang peranan. Menurut Duliege, dkk bayi yang lahir pertama kali
mempunyai risiko penularan dua kali lebih tinggi dibandingkan bayi yang lahir
kedua. Hal tersebut disebabkan bayi yang lahir pertama lebih lama berada dijalan
lahir dan biasanya berukuran lebih besar, sehingga secara tidak langsung
membersihkan jalan lahir untuk bayi yang lahir berikutnya.
c. Transmisi Post Partum
Air susu ibu diketahui mengandung HIV dalam jumlah yang cukup
banyak. Konsentrasi median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang menderita
HIV adalah 1 per 104 sel. Partikel virus dapat ditemukan pada komponen sel dan
non-sel air susu ibu. Pada penelitian Nduati, dkk HIV ditemukan pada 58%
pemeriksaan kolostrum dan air susu ibu. Kadar HIV tertinggi dalam air susu ibu
terjadi mulai minggu pertama sampai tiga bulan setelah persalinan. HIV dalam
konsentrasi rendah masih dapat dideteksi pada air susu ibu sampai 9 bulan setelah
persalinan. Risiko penularan pada bayi yang disusui paling tinggi pada enam
bulan pertama, kemudian menurun secara bertahap pada bulan-bulan berikutnya.
Kadar HIV pada air susu ibu dipengaruhi kadar serum ibu, sel CD4 ibu, dan
defisiensi vitamin A. Semba, dkk mengemukakan bahwa kadar HIV di dalam air
susu ibu lebih tinggi pada ibu yang anaknya terinfeksi HIV daripada yang tidak
terinfeksi HIV. Berbagai macam faktor lain yang dapat mempertinggi risiko
transmisi HIV melalui air susu ibu antara lain mastitis atau luka diputing susu,
abses payudara, lesi dimukosa mulut bayi, prematuritas dan respon imun bayi.
2.8

Diagnosis Infeksi HIV


Diagnosis infeksi HIV juga ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium. Populasi yang


memiliki resiko tinggi untuk terinfeksi HIV diantaranya :

17

1. Hubungan seksual antara pria dengan pria


Epidemi penyebaran virus HIV pada hubungan seksual antara pria dan
pria semakin berkembang di berbagai negara terutama di kota-kota
besar. Prevalensinya adalah rata-rata 13 kali lebih tinggi daripada
populasi umum. Hal tersebut dimungkinkan oleh penularan lebih
mudah pada hubungan seks anal tanpa kondom dibandingkan dengan
hubungan seks tanpa kondom. Hal lain yang mendukung adalah
adanya kecenderungan rendahnya pemakaian kondom, pasangan pria
yang berganti-ganti dan penggunaan narkotika yang bersamaan.
Prevalensi HIV akibat hubungan seksual antara pria dengan pria
bervariasi di berbagai negara. Penelitian menyebutkan prevalensinya
berkisar antara 3% di Timur Tengah dan Afrika Utara hingga 25.4% di
Caribbean. Beberapa negara lain juga menunjukkan tidak adanya
penurunan insiden HIV pada hubungan seksual pria dengan pria,
namun cenderung meningkat, termasuk diantaranya China dan
Thailand.
2. Populasi di penjara dan tempat terlokalisir lainnya
Secara umum, prevalensi HIV, infeksi menular seksual, Hepatitis B dan
C serta TBC di populasi penjara diperkirakan 2 kali sampai 10 kali lebih
tinggi daripada di populasi umum. Faktor yang mempengaruhi adalah
kepadatan penduduk, kekerasa seksual, penggunaan narkoba, ataupun
penggunaan tato. Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi HIV
yang tinggi pada perempuan dibanding laki-laki dan jauh lebih tinggi
daripada perempuan yang berada di populasi umum.
3. Penggunaan narkotika
Di dunia, 158 negara telah melaporkan penggunaan narkoba secara
injeksi,

dan

123

negara

(78%)

diantaranya

telah

melaporkan

terinfeksinya HIV diantara pengguna tersebut. The United Nations


Office on Drugs and Crime (UNODC) bersama WHO memperkirakan
18

pada tahun 2012 terdapat 12.7 juta orang yang menggunakan narkoba
secara injeksi dan 1.7 juta diantaranya terinfeksi HIV. Penelitian
menunjukkan di Indonesia sendiri prevalensi HIV dari pengguna
narkoba diperkirakan 36.4%.
4. Pekerja seks
Secara global, prevalensi HIV pada pekerja seks diperkirakan sebesar
12%. Pekerja seks berada pada resiko tinggi terinfeksi HIV karena
multipartner dan tidak adanya penggunaan kondom.
5. Transgender
Penelitian

pada

tahun

2013

menyoroti

mengenai

perempuan

transgender. Didapatkan diantara 7.197 wanita transgender di 10


negara berpendapatan menengah dan rendah, prevalensinya adalah
17.7%. sedangkan diantara 3.869 wanita transgender d lima negara
berpendapatan tinggi, prevalensi HIV adalah 21.6%. 16

Gambar 3. Tes Laboratorium Untuk HIV17

19

1. Pemeriksaan laboratorium awal untuk HIV yang sesuai dengan FDA (Food and
Drug Administration) yang mendeteksi antibody HIV-1 dan HIV-2 dan HIV-1
antigen p24 untuk menentukan infeksi HIV-1, HIV-2 dan HIV-1 akut. Tidak
diperlukan tes lebih jauh untuk specimen yang non rekatif terhadap
immunoassay ini.
2. Specimen dengan antibody/antigen yang reaktif terhadap immunoassay
sebelumnya (didapatkan reaktif pada tes ulang), harus dilakukan pemeriksaan
imunoassay untuk membedakan antibodi HIV-1 dan antibodi HIV-2. Hasil
reaktif dibedakan menjadi antibody HIV-1, antibodi HIV-2, antibody HIV-1
NAT.
3. Specimen yang reaktif terhadap initial immunoassay dan non reaktif terhadap
tes kedua harus dites dengan HIV-1 NAT (nucleic acid test).
a. Reactif terhadap HIV-1 NAT dan non reactive terhadap tes antibody HIV1/HIV-2 mengindikasikan infeksi akut HIV-1.
b. Reactif terhadap HIV-1 NAT dan tidak dapat ditentukan terhadap tes
antibody HIV-1/HIV-2 mengindikasikan infeksi akut HIV-1.
c. Non reaktif terhadap HIV-1 NAT dan non reaktif terhadap tes antibody
HIV-1/HIV-2 mangindikasikan false-positif pada initial immunoassay.
Untuk menegakkan diagnosis infeksi HIV dengan melakukan pemeriksaan
laboratorium kita bagi dalam dua kelompok yaitu uji imunologi dan uji virology.
1. Uji Imunologi
Bertujuan untuk menemukan adanya respon antibody terhadap HIV dan juga
digunakan sebagai test skrining.
a. ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay)
b. Radioimmunoassay (RIA)
c. Electrochemiluminescence Immunoassay (ECLIA)
d. Rapid Test
e. Western Blot
2. Uji Virologi
a. Kultur HIV
b. Nucleic Acid Amplification Test (NAAT HIV-1)
c. Uji Antigen p24
d. PCR Test
2.9

Penatalaksanaan Infeksi HIV


1. Pemberian Antiretrovirus
20

Antiretrovirus

direkomendasikan

untuk

semua

wanita

yang

terinfeksi HIV-AIDS yang sedang hamil untuk mengurangi risiko transmisi


perinatal. Hal ini berdasarkan bahwa risiko transmisi perinatal meningkat
sesuai dengan kadar HIV ibu dan risiko transmisi dapat diturunkan hingga
20% dengan terapi antiretrovirus.
Tujuan utama pemberian antiretrovirus pada kehamilan adalah
menekan

perkembangan

virus,

memperbaiki

fungsi

imunologis,

memperbaiki kualitas hidup, mengurangi morbiditas dan mortalitas


penyakit yang menyertai HIV. Pada kehamilan, keuntungan pemberian
antiretrovirus

ini

harus

dibandingkan

dengan

potensi

toksisitas,

teratogenesis dan efek samping jangka lama. Akan tetapi, efek penelitian
mengenai toksisitas, teratogenesis, dan efek samping jangka lama
antiretrovirus pada wanita hamil masih sedikit. Efek samping tersebut
diduga akan meningkat pada pemberian kombinasi antiretrovirus, seperti
efek teratogenesis kombinasi antiretrovirus dan antagonis folat yang
dilaporkan oleh Jungmann, dkk.

Penelitian terakhir oleh Toumala, dkk

menunjukkan bahwa terapi kombinasi antiretrovirus tidak meningkatkan


risiko prematuritas, berat badan lahir rendah atau kematian janin
intrauterine bila dibandingkan terapi monoterapi.
Obat antiretrovirus yang pertama kali diteliti untuk mengurangi
risiko transmisi perinatal adalah zidovudin (ZDV). Pediatric Virology
Committee

of

the

AIDS

Clinical

Trials

Group (PACTG)

menyatakan

pemberian zidovudin peroral mulai minggu ke-14 kehamilan, dilanjutkan


dengan zidovudin intravena pada saat intrapartum untuk ibu, diikuti
dengan zidovudin sirup yang diberikan pada bayi sejak usia 6-12 jam
sampai 6 minggu.19
Regimen pemberian Zidovudine berdasarkan PACTG 076 yaitu saat
antepartum diberikan Zidovudine oral dari kehamilan 14-34 minggu
dengan dosis 5x100mg/hari, selama intrapartum diberikan Zidovudine
intravena dengan dosis awal 2mg/kgBB/jam dilanjutkan infus 1mg/kgBB

21

sampai

hari

setelah

melahirkan.

Dosis

untuk

postpartum yaitu

Zidovudine sirup, 2 mg/kgBB, dimulai 8-12 jam postpartum dan diteruskan


sampai 6 minggu.
Pada penelitian dengan bayi yang tidak mendapat air susu ibu
ditemukan efektif menurunkan transmisi perinatal dari 25,5% pada
kelompok kontrol menjadi 8,3%. Penelitian ini kemudian dilanjutkan
dengan PACTG 185 yang menambahkan imunoglobulin spesifik HIV
intravena yang diberikan tiap bulan pada ibu mulai minggu ke 20-30
hingga persalinan, kemudian dilanjutkan pemberian pada bayi dalam 12
jam pertama. Namun ternyata hiperimunoglobulin tidak memberikan efek
protektif tambahan seperti yang diharapkan.19
Protokol PACTG 076 dirasa cukup rumit karena membutuhkan
kepatuhan yang baik dan memerlukan biaya yang besar. Penelitian
retrospektif oleh Wade, dkk di New York menunjukkan kepatuhan orang
dengan HIV-AIDS mengikuti protokol ini seringkali tidak komplit. Transmisi
yang terjadi 6,1% jika terapi dimulai antepartum, sekitar 10,0% jika
dimulai intrapartum dan 5,9% jika hanya diberikan pada bayi dalam 12
jam pertama. Kejadian transmisi menjadi lebih tinggi sampai 18,4% jika
zidovudin baru diberikan setelah usia 48 jam .
Beberapa penelitian mencoba menggunakan zidovudin dalam
jangka waktu yang lebih singkat dengan regimen yang lebih sederhana
dan

murah. Makin

lama

penggunaan

antiretrovirus,

makin

besar

kemungkinan penurunan risiko transmisi HIV. Joao, dkk mengungkapkan


pada

bayi

yang

tidak

tertular

HIV,

rata-rata

lama

penggunaan

antiretrovirus pada ibunya adalah 16,63 minggu dibandingkan dengan


lama penggunaan antiretrovirus ibu yang selama 6,28 minggu pada
kelompok bayi yang tertular HIV.
Selain monoterapi dengan zidovudin, regimen lain yang sudah
diteliti adalah monoterapi dengan nevirapin dan terapi kombinasi

22

zidovudin dan lamivudin. Lallement, dkk juga sedang meneliti kombinasi


zidovudin dan nevirapin. Regimen neviravin dapat diberikan dosis tunggal
200 mg bagi ibu pada saat melahirkan disertai pemberian nevirapin 2
mg/kgBB dosis tunggal bagi bayi pada usia 2 atau 3 hari.

Berdasarkan penelitian Perinatal HIV Guidelines Working Group di Amerika


Serikat dinyatakan rekomendasi pemberian antiretrovirus. Rekomendasi ini tidak
berbeda dengan yang direkomendasikan oleh British HIV Association.18
Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang belum pernah menggunakan
antiretrovirus

sebelumnya

disarankan

untuk

menjalani

pemeriksaan

klinis,

imunologis dan virologis standar. Pertimbangan inisiasi dan pemilihan antiretrovirus


sama dengan wanita yang terinfeksi HIV-AIDS yang tidak hamil dengan
pertimbangan efek terhadap kehamilan.
Regimen

zidovudin

seperti

tercantum

dalam

rekomendasi

PACTG,

direkomendasikan setelah trimester pertama tanpa memandang kadar HIV ibu.


Regimen kombinasi direkomendasikan pada wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS
yang status klinis, imunologis, dan virologisnya berat atau kadar HIV > 1000
kopi/mL. Jika wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS datang pada trimester pertama
kehamilan, pemberian antiretrovirus dapat ditunda sampai usia kehamilan 10-12
minggu.18
Pada wanita hamil yang terinfeksi HIV- AIDS yang sedang mendapatkan
antiretrovirus,

bila

kehamilan

diketahui

setelah

trimester

pertama, terapi

antiretrovirus sebelumnya diteruskan, sebaiknya dengan menyertakan zidovudin. Jika


kehamilan diketahui pada trimester pertama, wanita hamil yang terinfeksi HIV- AIDS
diberikan konseling tentang keuntungan dan risiko antiretrovirus pada trimester
pertama. Jika wanita hamil yang terinfeksi HIVAIDS memilih menghentikan
antiretrovirus selama trimester pertama, semua obat harus dihentikan untuk kemudian
diberikan secara simultan setelah trimester pertama untuk mencegah resistensi obat.
Tanpa mempertimbangkan regimen sebelumnya, zidovudin dianjurkan untuk
diberikan selama intrapartum dan pada bayi.

23

Terapi antiretroviral/ARV/HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) dalam


program PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission PPIA = Pencegahan
Penularan Ibu ke Anak) adalah penggunaan obat antiretroviral jangka panjang
(seumur hidup) untuk mengobati perempuan hamil HIV positif dan mencegah
penularan HIV dari ibu ke anak. Pemberian obat antiretroviral dalam program
PMTCT/PPIA ditujukan pada keadaan seperti terpapar berikut ini.18
No.
1

3
4

Situasi Klinis
ODHA dengan indikasi
Terapi
ARV
dan
kemungkinan
hamil
atau sedang hamil

Rekomendasi pengobatan
AZT + 3TC + NVP atau
TDF + 3TC(atau FTC) + NVP
Hindari EFV pada trimester pertama
AZT + 3TC + EVF* atau

TDF + 3TC (atau FTC) + EVF*


ODHA
sedang Lanjutkan paduan (ganti dengan NVP atau
menggunakan Terapi ARV golongan PI jika sedang menggunakan
dan kemudian hamil
EFV pada trimester I)
Lanjutkan dengan ARV yang sama selama
dan sesudah persalinan
ODHA
hamil
dengan ARV mulai pada minggu ke 14 kehamilan
jumlah CD4 >350/mm3 Paduan sesuai dengan butir 1
atau dalam stadium klinis 1.
ODHA
hamil
dengan Segera Mulai Terapi ARV
jumlah CD4 < 350/mm3
atau dalam stadium klinis 2,
3 atau 4
ODHA
hamil
Tuberkulosis aktif

Ibu hamil dalam


persalinan
dan
diketahui status HIV

dengan OAT yang sesuai tetap diberikan


Paduan untuk ibu, bila pengobatan mulai
trimester II dan III:
AZT (TDF) + 3TC + EFV
masa Tawarkan tes dalam masa persalinan; atau
tidak tes setelah persalinan.

Jika hasil tes reaktif maka dapat diberikan


paduan pada butir 1
ODHA datang pada masa Paduan pada butir 1
persalinan
dan
belum
24

mendapat Terapi ARV


Jika bayi dari ibu wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS datang setelah
persalinan, sedangkan ibu belum mendapatkan antiretrovirus selama kehamilan atau
intrapartum direekomendasikan zidovudin sirup diberikan pada bayi selama 6
minggu, dimulai secepatnya dalam 6-12 jam setelah kelahiran.
Beberapa dokter dapat memilih kombinasi zidovudin dengan antiretrovirus lain,
terutama jika ibunya diketahui resisten terhadap zidovudin. Namun, efikasi regimen
ini belum diketahui dan dosis untuk anak belum sepenuhnya diketahui. Segera setelah
persalinan, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS menjalani pemeriksaan seperti
CD4 dan kadar HIV untuk menentukan kelanjutan pemberian antiretrovirus. Bayi
perlu menjalani pemeriksaan diagnostik awal agar dapat diberikan ARV sesegera
mungkin jika ternyata HIV positif.
Menurut 2015 Guideline and when to start antiretroviral therapy and on preexposure prophylaxis for HIV oleh WHO, antiretroviral therapy (ART) harus
diberikan sedini mungkin pada semua wanita hamil dan menyusui yang terdiagnosis
HIV pada level CD4 apapun dan harus dilanjutkan seumur hidup dengan rekomendasi
kuat.19

25

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama
Jenis Kelamin
Umur
Status
Agama
Suku/Bangsa
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
Nama Suami
Pekerjaan Suami
CM
MRS

: WAN
: Perempuan
: 28 tahun
: Menikah
: Hindu
: Bali/Indonesia
: SMA
: Ibu Rumah Tangga
: Banjar Baledan, Desa Klumpu, Klungkung
: SUM
: Supir
: 552383
: 21 April 2016 pk. 10.30 WITA

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Sakit perut hilang timbul
Riwayat Penyakit Sekarang
Penderita datang dengan keluhan sakit perut hilang timbul sejak pukul 07.00
WITA (21/04/16). Tidak ada riwayat keluar air atau keluar lendir bercampur
darah pervaginam. Gerak anak dirasakan baik. Pasien mengatakan tidak ada
riwayat demam sebelumnya. Pasien juga menyangkal adanya riwayat batuk
lama, riwayat diare lama dan penurunan berat badan.
Pasien dan suami pasien diketahui HIV positif sejak awal Januari 2016 ketika
kontrol kehamilan di Puskesmas Sukawati. Sejak saat itu pasien langsung
mengkonsumsi ARV secara rutin.
Riwayat Menstruasi
Pasien mengatakan mulai menstruasi pertama kali kurang lebih saat umur 16
tahun. Siklus menstruasi dikatakan teratur setiap 28 hari sekali, lamanya
menstruasi rata-rata tiga sampai empat hari, dengan volume 50 cc. Pasien
mengalami keluhan nyeri perut saat awal haid namun dikatakan tidak
menganggu aktivitas.
Riwayat Perkawinan

26

Pasien menikah satu kali saat pasien berusia 18 tahun.


Riwayat Obstetri
Hari pertama haid terakhir pasien adalah 23 Juli 2015. Tanggal perkiraan
persalinan adalah 30 April 2016. Ini merupakan kehamilan kedua pasien. Anak
pertama lahir pada tahun 2006, aterm, pspt b, ditolong oleh tenaga kesehatan,
berjenis kelamin perempuan dengan berat badan 3300 gram dan saat ini dalam
keadaan normal.
Riwayat Antenatal Care
Pasien melakukan antenatal care lebih dari tiga kali di bidan Puskesmas
Sukawati. Pasien mengatakan teratur dalam melakukan pemeriksaan ke bidan.
Pasien mengaku melakukan imunisasi sebanyak 2 kali. Keluhan saat kehamilan
disangkal pasien.
Riwayat Penggunaan Kontrasepsi
Pasien mengatakan menggunakan kontrasepsi berupa pil KB yang dimulai sejak
kelahiran anak pertama dan berhenti sekitar tahun 2014.

Riwayat Penyakit Dahulu/Operasi/Pengobatan


Pasien menyangkal memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan
kehamilan saat ini, seperti penyakit asma, penyakit jantung, diabetes melitus, dan
hipertensi. Riwayat transfuse dan operasi disangkal.
Pasien diketahui HIV positif sejak awal Januari 2016. Saat itu pasien kontrol
rutin kehamilan ke Puskesmas Sukawati dan dilakukan tes HIV kemudian
ditemukan hasil reaktif. Suami pasien ditemukan HIV positif sedangkan anak
pertama pasien yang berusia 10 tahun dinyatakan negative. Sejak saat itu, pasien
dan suami pasien mengkonsumsi ARV secara rutin namun dikatakan lupa nama
jenis ARV nya.
Riwayat hubungan seksual multipartner disangkal pasien dan suami pasien.
Proses penularan penyakit ini diperkirakan oleh pasien berasal dari suaminya.
Suami pasien mengaku memiliki riwayat berhubungan seksual dengan seorang

27

wanita yang memiliki riwayat multipartner. Hal tersebut terjadi sebelum


menikah, yaitu sekitar 13 tahun lalu.
Riwayat Sosial
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. Suami pasien bekerja sebagai supir
travel. Pasien merasa kebutuhan rumah tangganya tercukupi untuk saat ini.
Riwayat Keluarga
Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit seperti diabetes melitus, hipertensi,
jantung dan asma pada keluarganya.
Riwayat Alergi
Riwayat alergi disangkal pasien.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan umum
: Baik
Kesadaran
: Compos mentis (GCS: E4V5M6)
Tekanan darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 82 kali/menit
Frekuensi napas
: 22 kali/menit
o
Temperatur axilla: 36,8 C
Berat badan
: 61 kg (Sebelum Hamil)
: 69,5 kg (Sesudah Hamil)
Tinggi badan
: 162 cm
BMI
: 23,2 kg/m2 (Sebelum Hamil)
: 26,4 kg/m2 (Sesudah Hamil)
Status Generalis
Mata
Thorax
Abdomen

: Anemis (-/-), ikterus (-/-), reflek pupil (+/+) isokor


: Cor
: S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
: Sesuai status obstetri

Ekstremitas

: Akral hangat : ekstremitas atas +/+


ekstremitas bawah +/+
Oedem

: ekstremitas atas -/ekstremitas bawah -/-

Status Obstetri
(21 April 2016)
28

Mammae
Inspeksi
Hiperpigmentasi aerola mammae, payudara tampak tegang dengan puting susu
menonjol
Abdomen
Inspeksi : Tampak perut membesar, disertai adanya striae gravidarum (linea
nigra), tidak tampak bekas luka operasi.
Palpasi
Pemeriksaan Leopold
I.

Tinggi fundus uteri 3 jari dibawah processus xiphoideus. Teraba bagian

II.

bulat dan lunak (kesan bokong)


Teraba bagian keras, datar, dan memanjang di perut bagian kanan (kesan

III.

punggung) dan teraba bagian kecil di perut bagian kiri (kesan ekstremitas).
Teraba bagian bulat, keras dan susah digerakkan (kesan kepala).

IV.

Bagian bawah sudah masuk pintu atas panggul (divergent)

Tinggi fundus uteri 30 cm


His (+)
Gerak janin (+)
Tafsiran berat janin : 2790 gram
Auskultasi
Bising usus (+), denyut jantung janin terdengar paling keras di sebelah kanan
bawah umbilikus dengan frekuensi 140 x/menit.
Vagina:
VT
P 4 cm
Eff. 50%, konsistensi lunak
Ketuban (+) Blood slym (-)
29

Teraba kepala, H II, tidak teraba bagian kecil atau tali pusat.

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (Darah Rutin tgl. 21/04/2016)

PARAMETER
Hemoglobin
Hematokrit
Lekosit
Trombosit
Eritrosit
RDW-CV
MPV
PCT
Limfosit
Gran #
Rapid Test : Reaktif
3.5
3.7

HASI
L
13,4
37,4
11,1
199
4,64
14,1
9,9
0.197
1,8
8,6

SATUAN
g/dL
%
ribu/l
ribu/l
juta/l
%
fL
%
%
%

KISARAN NORMAL
11 17
35 47
4 10
150 400
3,5 5,5
11,5 14,5
7-11
0,108 0,282
0,8-4,0
2-7

Diagnosis Utama
G2P1001 37 minggu 3 hari T/H + PK I + Infeksi HIV
Penatalaksanaan
Pdx

:-

Tx

- MRS
- IVFD RL 20 tpm
- konsul PMTCT
- Tenofovir
- Lamivudine
- Efavirene
- SC cito
Mx

: Observasi keluhan, vital sign, djj

KIE : Pasien dan keluarga tentang keadaan Ibu dan janin serta rencana tindakan,
risiko tindakan, dan komplikasi dari tindakan yang akan dilakukan.

30

3.7 Perjalanan Persalinan Pasien


Pk. 14.15 WITA
Lahir bayi 2700 gram AS: 8-9, kelainan kongenital (-). Lahir

plasenta kesan

lengkap
Evaluasi : Ass

Kontraksi uterus (+) baik


Perdarahan aktif (-)

: P2002, Post SC hari 0 + MOW + Infeksi HIV

Planning :
- Dx: - Tx : IVFD RL + 20 IU oksitosin 30 tpm s/d 12 jam post SC
Drip analgetik ~ TS anastesi
Cefazolin 2 x 1 gr IV
DC 1 x 24 jam
Puasa s/d 6 jam post SC
Alinamin F 3x1 IV
- Mx : Observasi 2 jam post SC
- KIE
3.8 Perkembangan Kesehatan Pasien ( 22 April 2014, Pukul 06.00 WITA)
S
O`

: Nyeri post op (+) BAK (+), BAB (-), Flatus (+)


: St. Present
KU baik
TD : 100/60 mmHg

R : 20x/menit

N : 72x/menit

Tax: 36,5C

St. General :
Mata

: Anemis -/-, ikterus-/-, refleks pupil +/+ isokor

THT

: kesan tenang

Leher

: kaku kuduk (-)


Pembesaran kelenjar limfe-/Pembesaran kelenjar parotis -/-

31

Pembesaran kelenjar tiroid (-)


Thorak

: Simetris

Cor :
Inspeksi

: ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: ictus cordis tidak teraba

Perkusi

: batas kiri

: MCL (S) ICS V

batas kanan : PSL (D) ICS IV


batas atas
Auskultasi

: ICS II

: S1S2 tunggal reguler murmur (-)

Pulmo :
Inspeksi

: gerak pernafasan simetris statis dan dinamis

Palpasi

: Vocal fremitus N/N

Perkusi

: sonor/sonor

Auskultasi

: vesikuler +/+, rhonchi -/-, wheezing -/-

Abdomen : ~ Status Obstetri


Ekstremitas: Hangat
-

Edema

St. Obstetri :
Abdomen
-

Inspeksi

: distensi (-)

Auskultasi : Bising Usus (+) Normal

Palpasi

Luka operasi terawat

: TFU 2 jari bawah pusat, kontraksi uterus (+) baik

Vagina
-

Inspeksi

: Perdarahan aktif (-), lochia (+)

: P2002, Post SC hari 1 + MOW + Infeksi HIV

:
- Tx : Aff infus

32

Aff DC
Cefadroxil 3x500 mg
Inbion 2 x 1 tab
Na Diclofenac 2 x 500 mg
Paracetamol 3 x 500 mg
Methylergometrin 3 x 0,125 mg
- KIE
3.8 Perkembangan Kesehatan Pasien ( 23 April 2014, Pukul 06.00 WITA)
S
O`

: Nyeri post op (+) BAK (+), BAB (-), Flatus (+)


: St. Present
KU baik
TD : 110/70 mmHg

R : 20x/menit

N : 80x/menit

Tax: 36,3C

St. General :
Mata

: Anemis -/-, ikterus-/-, refleks pupil +/+ isokor

THT

: kesan tenang

Leher

: kaku kuduk (-)


Pembesaran kelenjar limfe-/Pembesaran kelenjar parotis -/Pembesaran kelenjar tiroid (-)

Thorak

: Simetris

Cor :
Inspeksi

: ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: ictus cordis tidak teraba

Perkusi

: batas kiri

: MCL (S) ICS V

batas kanan : PSL (D) ICS IV


batas atas
Auskultasi

: ICS II

: S1S2 tunggal reguler murmur (-)

Pulmo :

33

Inspeksi

: gerak pernafasan simetris statis dan dinamis

Palpasi

: Vocal fremitus N/N

Perkusi

: sonor/sonor

Auskultasi

: vesikuler +/+, rhonchi -/-, wheezing -/-

Abdomen : ~ Status Obstetri


Ekstremitas: Hangat
-

Edema

St. Obstetri :
Abdomen
-

Inspeksi

: distensi (-)

Auskultasi : Bising Usus (+) Normal

Palpasi

Luka operasi terawat

: TFU 2 jari bawah pusat, kontraksi uterus (+) baik

Vagina
-

Inspeksi

: Perdarahan aktif (-), lochia (+)

: P2002, Post SC hari 1 + MOW + Infeksi HIV

:
- Dx: - Tx : Cefadroxil 2x500 mg
Inbion 2 x 1 tab
Na Diclofenac 2 x 500 mg
Paracetamol 3 x 500 mg
Methylergometrin 3 x 0,125 mg
- KIE
Kontrol Poliklinik 26/4/2016

34

35

BAB IV
PEMBAHASAN
IV.1 Masalah pada Ibu dan Janin
Pada pasien ini tidak ditemukan gejala-gejala seperti berat badan turun lebih
dari 10%, demam lebih dari 380C, berkeringat di malam hari tanpa sebab yang jelas,
diare kronis tanpa sebab yang jelas, rasa lelah berkepanjangan, herper zoster dan
kandidiasis mulut, pembesaran kelenjar imfe, anemia, leucopenia, limfopenia, serta
trombositopenia, namun tetap dilakukan konseling PMTCT karena hasil rapid test
pada pasien ini reaktif.
Pada ibu hamil dengan infeksi HIV sangat mungkin terjadi transmisi vertikal
dari ibu ke janinnya. Dimana selama persalinan, bayi dapat tertular darah atau cairan
servikovaginal yang mengandung HIV melalui paparan pada trakheobronkial atau
tertelan pada saat melewati jalan lahir. Risiko transmisi vertikal dari ibu ke janin
dapat dikurangi dengan tidak melakukan persalinan pervaginam. Sectio caessaria
dapat mengurangi paparan bayi terhadap lingkungan servikovaginal.

IV.2 Diagnosis
Pasien perempuan berusia 28 tahun datang ke Ruang Bersalin RSUD Sanjiwani
Gianyar pada tanggal 21 April 2016 pukul 10.30 WITA dengan keluhan sakit perut
hilang timbul sejak pukul 07.00 WITA. Riwayat keluar air pervaginam ataupun
keluar darah disangkal. Gerakan anak dirasakan baik. Pasien menyangkal memiliki
penyakit yang berhubungan dengan kehamilan saat ini seperti asma, penyakit jantung,
kencing manis, dan tekanan darah tinggi. Riwayat penyakit sistemik dan kronia di
keluarga juga disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status present dan status generalis dalam
batas normal. Pada pemeriksaan status obstetri didapatkan TFU 3 jari bawah
processus xiphoideus (30 cm), kontraksi uterus (+), letak kepala dengan punggung
kanan, Bagian terbawah sudah masuk PAP dan DJJ 140x/menit. Pemeriksaan VT
36

dilakukan dengan hasil pembukaan 4 jari, effacement 50%, ketuban (+), blood
slym (-), teraba kepala, H II, tidak teraba bagian kecil atau tali pusat.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan pasien
didiagnosis dengan G2P1001 uk 37 mg 3 hari T/H + PK I + Infeksi HIV. Diagnosis
HIV/AIDS didasarkan pada hasil rapid test yang reaktif.
IV.3

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Antepartum

Pasien

ini

menderita

HIV/AIDS

yang

menyertai

kehamilannya.

Dalam

penatalaksanaan antepartum yang diberikan adalah memeriksakan status penyakit


HIV/AIDS pada pasien. Saat ini pasien hanya pernah memeriksakan bahwa dalam
keadaan reaktif atau positif menderita HIV/AIDS. Telah dilakukan konseling PMTCT
dan pemberian ARV profilaksis pada ibu berupa tenofovir, lamivudine dan efavirene.
Pemberian antiretrovirus selama kehamilan bertujuan untuk menekan jumlah virus
dan meningkatkan kadar CD4 dalam darah, sehingga nantinya akan menurunkan
kemungkinan transmisi HIV dari ibu ke janin. Kadar viral load dan CD4 diperiksa
setiap trimester untuk evaluasi. Apabila terjadi peningkatan viral load atau penurunan
yang kurang memuaskan, maka diperlukan pemeriksaan resistensi obat atau
kepatuhan minum obat pasien.
Penatalaksanaan Intrapartum
Dalam pemilihan persalinan, pasien dapat memilih untuk melahirkan secara per
vaginam maupun seksio cesarea. Namun, dari beberapa penelitian menunjukkan
seksio cesarea bisa menurunkan risiko transmisi intrapartum dari ibu ke bayi.
Meskipun demikian, pertimbangan memilih seksio harus memikirkan risiko
komplikasi seksio itu sendiri. Pada pasien ini telah dilakukan seksio untuk melahirkan
bayinya.
Penatalaksanaan Postpartum
Beberapa penelitian juga menyatakan bahwa transmisi pasca persalinan dapat melalui
ASI, sehingga rekomendasi dari WHO menyebutkan untuk menghindari pemberian
37

ASI pada ibu yang terkena HIV jika alternatif susu lain tersedia dan aman. Kemudian,
bayi tersebut diberikan sirup zidovudin 2 mg/kg setiap enam jam selama enam
minggu. Pada bayi yang telah terinfeksi HIV in utero, ASI eksklusif dianjurkan
kecuali jika keadaan ibu memungkinkan.
4.3

Prognosis

Pemberian profilaksis antiretroviral pada berbagai tahap persalinan telah secara


signifikan menurunkan risiko transmisi vertikal HIV dari ibu ke bayi hingga 2%25%, bahkan kurang. Transmisi dapat lebih dikurangi apabila ditambah dengan
pemilihan seksio cesarea elektif yang juga mampu menurunkan risiko transmisi
intrapartum hingga 87% dibandingkan metode persalinan lain tanpa profilaksis
antiretroviral.

38

BAB V
SIMPULAN
Kehamilan yang disertai dengan infeksi HIV perlu mendapatkan perhatian
serius sebab selain melibatkan ibu dan bayi, kondisi ini membawa ancaman infeksi
seumur hidup yang harus ditanggung ibu dan bayi. Pada ibu dengan HIV/AIDS dapat
terjadi penurunan imunitas yang mengakibatkan terjadinya infeksi oportunistik.
Infeksi HIV pada kehamilan juga dapat menyebabkan terjadinya transmisi vertikal
dari ibu ke bayi dalam kandungannya.
Transmisi vertikal ibu ke bayi dapat dikurangi dengan pemilihan jalur
persalinan per abdominal (sectio cesarea). Namun sectio cesarea dikatakan dapat
menurunkan risiko transmisi vertikal HIV/AIDS hingga sebesar 87% jika
dikombinasi dengan pemberian antiretrovirus
Penatalaksanaan infeksi HIV dalam kehamilan dapat dilakukan melalui tiga
cara yaitu penatalaksanaan antepartum, intrapartum, dan pospartum. Penatalaksanaan
antepartum berkaitan dengan pemberian ARV pada ibu hamil yang dinyatakan positif
terinfeksi HIV melalui pemeriksaan rapid test dan CD4.
Penatalaksanaan intrapartum berkaitan dengan pemilihan jalur persalinan
dimana pemilihan seksio disertai dengan ARV profilaksis dapat menurunkan risiko
transmisi vertikal dari ibu ke bayi. Penatalaksanaan postpartum sendiri berkaitan
dengan pemberian ASI dimana WHO, UNICEF, dan UNAIDS mengeluarkan
rekomendasi untuk menghindari pemberian Air Susu Ibu yang terkena HIV jika ada
susu lain yang lebih aman.
Apabila rekomendasi profilaksis utama selama antepartum, intrapartum, dan
postpartum dilakukan dengan baik ditambah pemilihan seksio cesarea, diharapkan
akan menurunkan kemungkinan tranmisi vertikal infeksi HIV pada bayi.

39

Anda mungkin juga menyukai