Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb.


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah
pada Stase Bedah yang berjudul Gastroesophageal Reflux Disease.
Makalah ini penulis buat dengan berusaha untuk menjadikan makalah
pada Stase Bedah yang berjudul Gastroesophageal Reflux Disease menjadi
lebih sempurna. Penulis bertujuan agar dapat dipahami dan diterima oleh
semua pembaca.
Dalam penyusunan makalah ini, didasarkan hasil diskusi kelompok, dan
penulis merujuk pada buku-buku serta website di internet. Masalah yang
menyangkut Gastroesophageal Reflux Disease, penulis kemukakan dalam
pembahasan makalah yang telah disusun .
Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada dr. Kukuh, Sp.B sebagai
pembimbing, dan teman-teman yang telah bekerja sama membantu penulis
sehingga dapat terselesaikan makalah ini.
Akhir kata, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun
dengan suatu harapan yang tinggi, semoga laporan yang sederhana ini dapat
memberikan manfaat bagi semuanya.
Wassalam. wr. wb.
Jakarta, 05 Mei 2010

Penulis

GASTROESOPHAGEL REFLUX DISEASE ( GERD )

Definisi PRGE/GERD (Refluks Asam)


Penyakit Refluks Gastro Esofageal (PRGE) atau GastroEsophageal Reflux Disease
(GERD), umumnya dirujuk sebagai PRGE/GERD atau refluks asam (acid reflux),
adalah kondisi dimana isi cairan dari lambung dimuntahkan/dialirkan kembali (refluxes)
kedalam esofagus. Cairan dapat meradang dan merusak lapisan (menyebabkan
esophagitis) dari esofagus meskipun tanda-tanda peradangan yang terlihat terjadi pada
minoritas dari pasien-pasien. Cairan yang dimuntahkan biasanya mengandung asam dan
pepsin yang dihasilkan oleh lambung. (Pepsin adalah enzim yang memulai pencernaan
dari protein-protein dalam lambung). Cairan yang dialirkan kembali juga mungkin
mengandung empedu yang telah membalik kedalam lambung dari duodenum (usus dua
belas jari). Duodenum adalah bagian pertama dari usus kecil yang menyambung pada
lambung. Asam (acid) dipercayai adalah komponen yang paling berbahaya/melukai dari
cairan yang dialirkan kembali. Pepsin dan empedu juga mungkin melukai esofagus,
namun peran mereka dalam menghasilkan peradangan dan kerusakan esofagus adalah
tidak sejelas peran dari asam.
PRGE/GERD adalah kondisi kronis. Sekali ia mulai, ia biasanya adalah seumur hidup.
Jika ada luka pada lapisan esofagus (esophagitis), ini juga adalah kondisi kronis. Lebih
dari itu, setelah esofagus telah sembuh dengan perawatan dan perawatan dihentikan,
luka akan kembali pada kebanyakan pasien-pasien dalam beberapa bulan. Sekali
perawatan untuk PRGE/GERD dimulai, oleh karenanya, ia biasanya akan perlu
diteruskan secara tidak terbatas meskipun diperdebatkan bahwa pada beberapa pasienpasien dengan gejal-gejala yang sebentar-sebentar dan tidak ada esophagitis, perawatan
dapat sebentar-sebentar dan dilakukan hanya selama periode-periode simptomatik.
Faktanya, refluks (aliran balik) dari isi-isi yang cair dari lambung kedalam esofagus
terjadi pada kebanyakan individu-individu yang normal. Satu studi menemukan bahwa
refluks terjadi sama seringnya pada individu-individu normal dan pada pasien-pasien
dengan PRGE/GERD. Pada pasien-pasien dengan PRGE/GERD, bagaimanapun, cairan
yang dialirkan kembali lebih seringkali mengandung asam, dan asam tinggal dalam
esofagus lebi lama. Juga telah ditemukan bahwa cairan mengalir kembali ke tingkat
yang lebih tinggi dalam esofagus pada pasien-pasien dengan PRGE/GERD daripada
individu-individu normal.
Seperti seringkali kasusnya, tubuh mempunyai cara-cara (mekanisme-mekanisme )
untuk melindungi dirinya dari efek-efek aliran balik dan asam yang membahayakan.
Contohnya, kebanyakan refluks (aliran balik) terjadi sepanjang hari ketika individuindividu sedang tegak lurus. Pada posisi tegak lurus, cairan yang dialirkan balik lebih

mungkin mengalir balik turun kedalam lambung yang disebabkan oleh efek dari gaya
berat. Sebagai tambahan, ketika individu-individu dalam keadaan siaga, mereka
menelan secara berulangkali, apakah ada atau tidak ada refluks. Setiap menelan
membawa cairan yang dialirkan balik, balik kedalam lambung. Akhirnya, kelenjarkelenjar air liur dalam mulut menghasilkan air liur, yang mengandung bicarbonate.
Dengan setiap menelan, air liur yang mengandung bicarbonate berjalan menuruni
esofagus. Bicarbonate menetralkan jumlah yang kecil dari asam yang tertinggal dalam
esofagus setelah gaya berat dan menelan telah menghilangkan kebanyakan dari cairan.
Gaya berat, menelan, dan air liur adalah mekanisme pelindung yang penting untuk
esofagus, namun mereka efektif hanya ketika individu-individu berada pada posisi tegak
lurus. Pada waktu malam hari ketika sedang tidur, gaya berat tidak mempunyai efek,
menelan berhenti, dan sekresi dari air liur berkurang. Oleh karenanya, refluks yang
terjadi pada malam hari lebih mungkin berakibat pada asam yang tertinggal lebih lama
dalam esoagus dan menyebabkan kerusakan yang lebih besar pada esofagus.
Kondisi-kondisi tertentu membuat seseorang peka pada PRGE/GERD. Contohnya,
PRGE/GERD dapat menjadi persoalan yag serius selama kehamilan. Tingkat-tingkat
hormon yang naik dari kehamilan kemungkinan menyebabkan refluks dengan
menurunkan tekanan pada sfingter esofagus bagian bawah. Pada saat yang bersamaan,
fetus yang tumbuh meningkatkan tekanan pada perut. Keduanya dari efek-efek ini
diharapkan meningkatkan refluks. Juga, pasien-pasien dengan penyakit-penyakit ini
yang melemahkan otot-otot esofagus, seperti scleroderma atau penyakit-penyakit
jaringan penghubung yang campuran, adalah lebih mudah untuk mengembangkan
PRGE/GERD.

APPENDISITIS

Appendisitis

akut

adalah

penyakit

radang

pada

appendiks

vermiformis yang terjadi secara akut. Apendiks atau umbai cacing hingga
saat ini fungsinya belum diketahui dengan pasti, namun sering menimbulkan
keluhan yang mengganggu. Apendiks merupakan tabung panjang, sempit
(sekitar 6 9 cm), menghasilkan lendir 1-2 ml/hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Bila ada
hambatan dalam pengaliran lendir tersebut maka dapat mempermudah
timbulnya apendisitis (radang pada apendiks). Di dalam apendiks juga
terdapat imunoglobulin, zat pelindung terhadap infeksi dan yang banyak

terdapat di dalamnya adalah Ig A. Selain itu pada apendiks terdapat arteria


apendikularis yang merupakan end-artery.
Etiologi
Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal
berperan sebagai faktor pencetusnya. Diantaranya adalah obstruksi yang
terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi ini biasanya disebabkan karena
adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid,
tumor apendiks, striktur, benda asing dalam tubuh, dan cacing askaris dapat
pula menyebabkan terjadinya sumbatan. Namun, diantara penyebab
obstruksi lumen yang telah disebutkan di atas, fekalit dan hiperplasia
jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi yang paling sering terjadi.
Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi
mukosa apendiks oleh parasit E. histolytica.
Penelitian

epidemiologi

menunjukkan

peranan

kebiasaan

mengkonsumsi makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap


timbulnya penyakit apendisitis. Tinja yang keras dapat menyebabkan
terjadinya

konstipasi.

Kemudian

konstipasi

akan

menyebabkan

meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan


fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon
biasa.
Makan cabai bersama bijinya atau jambu klutuk beserta bijinya sering
kali tak tercerna dalam tinja dan menyelinap kesaluran appendiks sebagai
benda asin. Seseorang yang mengalami penyakit cacing (cacingan), apabila
cacing yang beternak didalam usus besar lalu tersasar memasuki usus
buntu maka dapat menimbulkan penyakit radang usus buntu. Semua ini
akan mempermudah timbulnya apendisitis.

Patofisiologi
Patologi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian
menyebar ke seluruh lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada
apendiks menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi
menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks ke sekum menjadi
terhambat. Makin lama mukus makin bertambah banyak dan kemudian
terbentuklah

bendungan

mukus

keterbatasan

elastisitas

dinding

di

dalam

apendiks,

lumen.

Namun,

sehingga

hal

karena
tersebut

menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang


meningkat tersebut akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga
mengakibatkan timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa.
Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di
daerah epigastrium di sekitar umbilikus.
Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus
meningkat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema
bertambah, dan bakteri akan menembus dinding apendiks. Peradangan
yang timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum setempat,
sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah. Keadaan ini
disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark
dinding apendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini
disebut dengan apendisitis ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah
mengalami ganggren ini pecah, itu berarti apendisitis berada dalam keadaan
perforasi.
Sebenarnya

tubuh

juga

melakukan

usaha

pertahanan

untuk

membatasi proses peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup


apendiks dengan omentum, dan usus halus, sehingga terbentuk massa

periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks.


Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat
mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan
sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya
akan mengurai diri secara lambat.
Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks
yang lebih panjang, dan dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan
tubuh yang masih kurang, memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan
pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena adanya gangguan pembuluh
darah.
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan
sempurna,

tetapi

menyebabkan

akan

terjadinya

membentuk
perlengketan

jaringan
dengan

parut.

Jaringan

jaringan

ini

sekitarnya.

Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada perut


kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan
kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.
Gejala Klinik
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis
adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus
atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan
terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian
dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik
Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga
merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan
adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga
penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap
berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang

apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 - 38,5
derajat celcius.
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul
sebagai akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak
apendiks ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut.
1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum
(terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu
jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke
arah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti
berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena
adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis

Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan


timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik
meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang (diare).

Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih,


dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya
dindingnya.
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga
sulit dilakukan diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani
tepat pada waktunya, sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi
perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak
jelas dan tidak khas.

1. Pada anak-anak

Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan.


Seringkali anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa
jam kemudian akan terjadi muntah- muntah dan anak menjadi lemah
dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis
diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis
baru diketahui setelah terjadi perforasi.
2. Pada orang tua berusia lanjut
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih
dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi
perforasi.
3. Pada wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan
yang gejalanya serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat
genital (proses ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau penyakit
kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan
trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah,
dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan
usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks
terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut
kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.
Pemeriksaan Fisik

Inspeksi : pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal


swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi
perut.

Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa
nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut
kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada
penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan
bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di
perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan
bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).

Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis,


untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika
saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan
apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini
merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.

Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga


dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas
dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi
panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha
kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas
mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan
pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul
pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka
tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada
apendisitis pelvika.

G. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein


reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah
leukosit antara10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%,
sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.

Radiologi : foto polos jarang bermanfaat kecuali terlihatnya fekalith


opaque (5% pasien) didapatkan pada kuadran kanan bawah (terutama
pada anak-anak). Sehingga, X-ray abdominal tidak rutin dilakukan
kecuali terdapat keadaan lain seperti kemungkinan adanya obstruksi
usus atau adanya batu ureter. Diagnosis mungkin dapat ditegakkan
dengan gambaran USG dengan adanya appendix yang membesar atau
berdinding tebal. USG juga terbaik untuk menyingkirkan diagnosis
adanya kista ovarium, kehamilan ektopik, dan abses tuboovarium.
Beberapa penelitian telah membuktikan manfaat dari CT-Scan dengan
atau tanpa kontras untuk menegakkan diagnosis appendicitis akut.
Penemuan pada CT dapat berupa appendix menebal dengan adanya
periappendical stranding dan biasanya dengan keberadaan fecalith
(Gambar 1 dan 2). Nilai presisi dari CT-Scan adalah 95-97% an dengan
akurasi hingga 90-98%. Sebagai tambahan tidak nampaknya appendix
pada gambaran CT-Scan berkaitan dengan penemuan appendix normal
pada 98% kasus. Udara bebas peritoneum jarang terlihat, bahkan pada
appendicitis dengan perforasi

Gambar 1. CT dengan kontras intravena-oral dari appendicitis akut.


Terdapat penebalan dinding appendix dan periappendiceal stranding (panah).

Gambar 2. Fecolith pada Appendix

Diagnosis
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis
klinis apendisitis masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus.
Kesalahan diagnosis lebih sering terjadi pada perempuan dibanding lakilaki. Hal ini dapat disadari mengingat pada perempuan terutama yang masih
muda sering mengalami gangguan yang mirip apendisitis. Keluhan itu
berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis,
atau penyakit ginekologik lain. Untuk menurunkan angka kesalahan
diagnosis apendisitis meragukan, sebaiknya dilakukan observasi penderita
di rumah sakit dengan pengamatan setiap 1-2 jam. Foto barium kurang
dapat dipercaya. Ultrasonografi dan laparoskopi bisa meningkatkan akurasi
diagnosis pada kasus yang meragukan.
Diferensial Diagnosis

Appendisitis akut telah disebut juga sebagai masquerader dan


diagnosis lebih sulit ditegakkan pada wanita muda. Memperoleh anamnese
termasuk dari aktivitas seksual dan keberadaan secret vagina, akan
membantu membedakan appendicitis dengan Penyakit Radang Panggul
(PID/Pelvic Inflammatory Disease). Adanya secret vagina yang berbau dan
didapatkannya bakteri gram negative intraseluler merupakan patognomonik
untuk PID. Nyeri pada pergerakan serviks juga lebih spesifik untuk PID
namun dapat pula terjadi pada appendicitis jika perforasi telah terjadi atau
appendix berada dekat dengan uterus atau adnexa. Rupture of graafian
follicle

(mittelschmerz)

tejadi

pada

pertengahan

siklus

dan

akan

menyebabkan nyeri dan perih lebih diffuse dan biasanya derajatnya lebih
ringan dibandingkan appendicitis.Ruptur kista korpus luteum mirip secara
klinis dengan ruptur folikel graafian namun muncul pada periode menstruasi.
Adanya massa adnexal, adanya perdarahan, dan tes kehamilan positif
menunjukkan adanya rupture kehamilan tuba. Kista ovarium yang terlilit dan
endometriosis biasanya juga sulit dibedakan dengan appendicitis. Pada
keadaan wanita seperti ini, USG dan laparoskopi memiliki nilai diagnosis
yang tinggi .
Lymphadenitis mesenterika akut dan gastroenteritis akut menjadi
diagnosis jika nodus limfe terlihat membesar atau kemerahaan pada
mesenterika dan appendix normal biasanya terlihat pada operasi pada
pasien yang biasanya mengalami keperihan pada kuadran kanan bawah.
Sebelumnya pasien ini mungkin memiliki suhu tubuh yang tinggi, diare, nyeri
abdomen yang lebih diffuse, dan lymphositosis. Diantara kram, abdomen
biasanya relaksaasi secara sempurna. Anak-anak sepertinya lebih sering
mendapatkannya dibandingkan pada orang dewasa. Beberapa dari pasien
ini terkena infeksi with Y. pseudotuberculosis atau Y. enterocolitica, dimana
diagnosis hanya dapat ditegakkan dengan kultur nodus mesenterika atau
dengan pemeriksaan serologic. Pada gastroenteritis akibat Salmonella,

penemuan abdominal mirip, walaupun nyeri dapat lebih berat dan


terlokalisasi, dan demam sering ditemukan. Keberadaan gejala yang serupa
pada keluarga membantu diagnosis. Penyakit Crohns biasanya berkaitan
dengan riwayat gejala yang lama, sering dengan eksaserbasi sebelumnya
yang dinilai sebagai episode gastroenteritis kecuali diagnosis telah
ditegakkan sebelumnya. Sering pula massa akibat radang dapat dipalapasi.
Sebagai tambahan, kolesistitis akut, ulkus perforasi, divertikulitis akut,
obstruksi usus strangulated (teremas), kalkulus uretra, dan pyelonephritis
dapat mempersulit diagnosis.
Penatalaksanaan
Bila dari hasil diagnosis positif apendisitis akut, maka tindakan yang
paling tepat adalah segera dilakukan apendiktomi. Apendektomi dapat
dilakukan dalam dua cara, yaitu cara terbuka dan cara laparoskopi. Apabila
apendisitis baru diketahui setelah terbentuk massa periapendikuler, maka
tindakan yang pertama kali harus dilakukan adalah pemberian/terapi
antibiotik kombinasi terhadap penderita. Antibiotik ini merupakan antibiotik
yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Setelah gejala membaik,
yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat dilakukan. Jika gejala
berlanjut, yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka dianjurkan
melakukan

drainase

dan

sekitar

6-8

minggu

kemudian

dilakukan

apendisektomi. Namun, apabila ternyata tidak ada keluhan atau gejala


apapun dan pemeriksaan klinis serta pemeriksaan laboratorium tidak
menunjukkan tanda radang atau abses setelah dilakukan terapi antibiotik,
maka dapat dipertimbangkan untuk membatalkan tindakan bedah.
Pendekatan yang berbeda dilakukan jika massa dapat terpalpasi pada
3-5 hari dari onset gejala. Penemuan ini biasanya menandakan adanya
phlegmon atau abses dan komplikasi dari exisi bedah sering terjadi. Pasien
seperti ini diatasi dengan antibiotik spektrum luas, drainase abses >3cm,

cairan parenteral, dan istirahat usus (bowel rest) biasanya memberikan


remisi dalam 1 minggu. Appendectomy biasanya dilakukan secara aman
pada 6-12 minggu kemudian. Penelitian klinis acak telah menunjukkan
bahwa pemakaian antibiotic dapat efektif untuk menangani appendicitis akut
dan tidak terperforasi pada 86% pasien pria. Namun pemberian antibiotik
saja terkait dengan jumlah rekurensi yang tinggi dibandingkan dengan
intervensi bedah. Jika massa membesar dan pasien terlihat menjadi lebih
toksik, abses sebaiknya didrainase. Perforasi berkaitan dengan peritonitis
umum dan komplikasinya, termasuk abses subphrenic, pelvis, atau abses
lainnya dan dapat dihindari dengan diagnosis dini. Angka mortalitas untuk
appendicitis tidak terperforasi 0,1%, lebih kecil dibandingkan resiko
anastesia total; untuk appendicitis perforasi, mortalitas biasanya 3% (dan
dapat mencapai 15% pada orang lanjut usia).

PENUTUP
Kesimpulan
Appendisitis akut adalah penyakit radang pada appendiks vermiformis
yang terjadi secara akut. Pada penyakit appendisitis jika tidak diketahui secara
dini dapat mengakibatkan perforasi. Penanganan appendisitis jika sudah
perforasi akan menyulitkan dokter untuk mengangkatnya. Gejala-gejala yang

ditimbulkan sudah jelas seperti yang dipaparkan diatas dan mudah ditemukan
walaupun harus dengan ketelitian yang cermat. Penanganan yang tepat dan
cepat akan semakin cepat pula proses penyembuhan kepada pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Halim-Mubin, A. 2001. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
EGC.
Isselbacter, dkk. 2000. Harrison Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta : EGC.

Price, Sylvia A, dkk. 2006. Patofiologi. Jakarta : EGC.

Disusun oleh :
Desty Wijayanti
NIM : 2006730015

Program Studi Dokter


Universitas Muhammadiyah Jakarta
2010

Anda mungkin juga menyukai