Anda di halaman 1dari 17

HIV DALAM KEHAMILAN

Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) pertama kali ditemukan yaitu tahun 1981. Pada tahun 2007 diperkirakan terdapat 33 juta orang terinfeksi HIV/AIDS. Tahun 2009, diperkirakan 370.000 anak tertular HIV saat perinatal atau periode

menyusui. Pada akhir tahun 2010 di seluruh dunia diperkirakan 34 juta orang hidup dengan HIV, termasuk 3,4 juta adalah anak-anak usia < 15 tahun. Orang yang baru terinfeksi HIV pada tahun 2010 sebanyak 2,7 juta dan 390.000 diantaranya adalah anak-anak usia < 15 tahun. Lebih dari 1000 kasus baru penularan HIV dari ibu ke bayi terjadi di seluruh dunia setiap hari, sehingga rute ini menjadi rute utama penularan HIV pada anak.1 Secara global, jumlah tahunan orang yang baru terinfeksi HIV terus menurun, walaupun terdapat variasi regional. Dengan pemberian profilaksis antiretrovirus kepada wanita hamil dengan HIV, telah mencegah 350.000 anak tertular infeksi HIV sejak tahun 1995.2 Rencana global dalam mengeliminasi infeksi HIV baru pada anak-anak dan meningkatkan kesehatan ibu ditetapkan beberapa target untuk tahun 2015, termasuk menurunnya jumlah anak-anak yang baru terinfeksi HIV sebanyak 90%, menurunnya jumlah ibu yang meninggal yang disebabkan berhubungan dengan dari ibu-bayi sebanyak kurang dari 5%.2 Pada tahun 2010, pencakupan wanita hamil yang mendapatkan regimen paling efektif untuk mencegah penularan ibu-bayi (tidak termasuk dosis tunggal nevirapin) diperkirakan sebanyak 48%.2 Perkiraan angka kasus AIDS yang didapat pada perinatal menurun secara dramatis dalam dua dekade terakhir. Hal tersebut terutama karena uji coba HIV prenatal dengan terapi antiviral yang diberikan kepada wanita hamil kemudian kepada bayinya. Sebagai tambahan, terapi antiretroviral yang sangat aktif (highly active antiretroviral HIV selama

kehamilan, persalinan dan postpartum sebanyak 50% dan menurunnya penularan HIV

therapy (HAART)) telah mengawali peningkatan orang yang hidup dengan infeksi HIV kronis.3

Etiopatogenesis Human immunodeficiency virus (HIV), HIV-1 dan HIV-2, merupakan famili Retroviridae, yang ditandai dengan selubung virus yang berbentuk sferis. Selubung virus menyelimuti kapsid ikosahedral yang berisi genom virus, yang terdiri dari dua bagian identik, RNA rantai tunggal, dengan panjang sekitar 9,2 kb, berikatan secara nonkovalen oleh rantai hidrogen. Retrovirus unik karena genom virus ditranskripsikan terbalik rantai tunggal RNA sebagai DNA,rantai ganda oleh enzim virus reverse transcriptase, diikuti oleh integrasi ke dalam genom sel host melalui enzim virus integrase. Hal ini membuat HIV dapat bersifat laten dalam sel terinfeksi yang diam, dan membuat eradikasi virus menjadi sulit.4,5 Kebanyakan kasus di seluruh dunia disebabkan oleh infeksi HIV-1.2 Di Amerika Serikat infeksi HIV pada umumnya disebabkan oleh HIV-1. HIV-1 dibagi menjadi 3 grup: M,N dan O. Lebih dari 95% infeksi HIV-1 disebabka oleh grup M, yang terbagi menjadi subtipe (atau clade) A sampai K. HIV-2, endemik di Afrika, Portugis, da Perancis, dan memiliki angka transmisi vertikal yang lebih rendah dibadingkan HIV-1. Progresifitas manusia yang terinfeks HIV-2 muncul lebih lambat daripada yang terinfeksi HIV-1.5,6 Gejala klinis yang umum terdapat pada AIDS adalah terjadinya penekanan pada sistem imun yang disebabkan oleh replikasi virus yang terus-menerus sehingga menimbulkan bermacam-macam infeksi oportunistik dan neoplasma. Penularan secara seksual terjadi bila mukosa sel-sel dendritik berikatan dengan selubung glikoprotein HIV gp120. Sel-sel dendritik tersebut mempresentasikan partikel virus ke limfosit dari timus, atau limfosit T. Limfosit ini digambarkan secara fenotip sebagai kelompok diferensiasi 4 (cluster of differentiation 4 (CD4)) antigen glikoprotein permukaan. Glikoprotein selubung HIV (gp 120) merupakan ligand bagi molekul CD4, sehingga

HIV predominan menginfeksi sel CD4, termasuk sel T, monosit, dan makrofag. Koreseptor penting bagi tempat masuknya virus ke dalam sel, dan dua ko-reseptor HIV primer yang telah diidentifikasi adalah CXCR4 dan CCR5. Ko-reseptor ini berinteraksi dengan glikoprotein selubung dan diperlukan untuk tempat masuk virus dan infeksi. Baik orang dewasa ataupun neonatus hampir selalu terinfeksi diawali dengan strain HIV yang menggunakan ko-reseptor CCR5. Sekali virus masuk ke dalam sel, HIV dapat bereplikasi dan menyebabkan fusi sel dan kematian sel. Beberapa kerusakan imunologi, tidak dijelaskan dengan kelainan kuantitatif dari subset limfosit namun dari kerusakan kualitatif pada kemampuan reaksi CD4 yang terinduksi oleh HIV. Dengan bertambahnya durasi infeksi, jumlah limfosit CD4 semakin menurun.5,6 Ko-reseptor CCR5 terdapat di permukaan sel pada sel dengan positif CD4 (CD4). Setelah infeksi awal, kadar viremia biasaya menurun ke suatu set-point, dan pasien dengan viral load yang paling tinggi pada keadaan tersebut berkembang lebih cepat kepada AIDS dan kematian. Dengan berjalannya waktu, jumlah sel T menurun secara progresif, mengakibatkan terjadinya imunosupresi. Walaupun diduga kehamilan memiliki efek yang minimal pada jumlah sel T-CD4 dan kadar RNA HIV, diketahui selanjutnya kadarnya lebih tinggi pada 6 bulan post partum daripada selama kehamilan.1 Sel-sel lain yang terinfeksi dalam sistem imun adalah limfosit B dan makrofag. Kerusakan pada sel B sebagian karena kelainan dari fungsi limfosit CD4. Efek langsung dan tidak langsung ini dapat menyebabkan hipergammaglobulinemia umum dan menekan respon sel B terhadap serangan antigen baru. Karena kerusakan tersebut imunodefisiensi HIV adalah campuran, yaitu terjadi imunodefisiensi elemen humoral dan selular, terutama pada ana-anak. Makrofag merupakan reservoir bagi HIV dan menyebarkannya ke sistem organ lain.6 Terpisah dari efek imunologik HIV, virus ini juga dapat menyebabkan macammacam efek neurologik secara langsung. Neuropatologi disebabkan karena

dilepaskannya sitokin dan neurotoksin lain oleh makrofag yang terinfeksi. Gangguan eksitatori neurotransmiter dan flux kalsium berperan pada disfungsi neurologik. Infeksi

HIV langsung pada sel tubular ginjal dan epitel gastrointestinal dapat menyebabkan manifestasi infeksi pada sistem organ tersebut.6 Cara penularannya sama dengan virus hepatitis B, dan hubungan seksual merupakan cara utama. Virus ini juga menular melalui darah atau produk darah yang terkontaminasi, dan ibu dapat menulari bayinya. Transmisi virus dari ibu ke bayi dapat terjadi selama kehamilan, persalinan atau menyusui. Tingkat keparahan dari infeksi HIV maternal, metode persalinan dan adanya penyulit penyakit HIV dapat meningkatkan risiko transmisi.1

Diagnosis Konfirmasi diagnosis HIV berdasarkan deteksi antibodi terhadap antigen HIV. Lebih dari 90% pasien yang terinfeksi HIV mempunyai antibodi dan 95% diantaranya tidak menimbulkan gejala. Pada umumnya antibodi yang dibentuk dapat dideteksi sekitar 30 hari setelah infeksi. Mayoritas lebih luas lagi (97%) memiliki antibodi yang dapat dideteksi pada 3 bulan (10-12 minggu) setelah terinfeksi; window period selama 6 bulan sangat jarang dengan tes antibodi modern saat ini. Terdapat 2 jenis alat

diagnostik HIV berdasarkan deteksi antibodi yaitu ELISA dan Western Blot. ELISA mengukur ikatan antibodi anti HIV. Positif palsu terjadi karena autoantibodi yang bereaksi dengan antigen seluler yang terkontaminasi reagen viral. Sehingga untuk konfirmasi diagnosis setelah ELISA positif adalah dengan pemeriksaan Western Blot. Pemeriksaan Western blot, mendeteksi adanya protein antigen virus yang dipisahkan dengan elektroforesis. Jika terdapat antibodi terhadap virus setelah proses pemisahan ini maka hasilnya adalah positif. Positif palsu jarang terjadi pada pemeriksaan ini. Jika hasilnya meragukan maka pemeriksaan dapat diulang 3-6 bulan lagi. Hampir semua orang yang terinfeksi dengan hasil tes Western blot yang tidak dapat dinilai akan menjadi positif bila di tes lagi dalam waktu 1 bulan; hasil yang selalu tidak dapat dinilai selama 6 bulan memberikan kesan hasil yang tidak berhubungan dengan infeksi HIV.4,7

Window period adalah waktu sejak terinfeksi sampai suatu tes dapat mendeteksi perubahan apapun. Window period rata-rata tes antibodi HIV-1 adalah 25 hari untuk subtipe B. Selama masa window period orang yang terinfeksi dapat menularkan HIV kepada orang lain walaupun infeksi HIV mereka tidak dapat terdeteksi dengan tes antibodi. Terapi antiretrovirus selama window period dapat memperlambat

pembentukan antibodi dan memperpanjang window period sampai lebih dari 12 bulan. Tes antigen memotong window period sekitar 16 hari dan Nucleid Acid Testing (NAT) mengurangi period ini sampai 12 hari.7 Tes antigen yang berdasarkan kepada asam nukleat menjelaskan dan mendeteksi satu atau lebih dari beberapa urutan target yang berlokasi di gen HIV spesifik,seperti HIV-1 GAG, HIV-2 GAG, HIV-env, atau HIV-pol. Sejak tahun 2001, donatur darah di Amerika telah diskrining dengan tes berdasarkan asam nukleat, memperpendek window period sampai rata-rata 17 hari (13-28 hari).7 Jumlah CD4 bukan untuk mengetahui adanya HIV. Pemeriksaan tersebut digunakan untuk memonitor fungsi sistem imun pada pasien HIV-positif. Jumlah sel T CD4 yang menurun dianggap sebagai tanda berkembangnya infeks HIV. Jumlah CD4 normal berada diantara 500 sel/mm sampai 1500 sel/mm. Pada penderita HIV-positif, AIDS didiagnosa saat jumlahnya turun di bawah 200 sel/L atau bila infeksi oportunistik tertentu timbul.7 Jumlah sel T CD4 yang rendah berhubungan dengan macam-macam keadaan, termasuk macam-macam infeksi virus, infeksi bakteri, infeksi parasit, sepsis, tuberkulosa, koksidiomikosis, luka bakar, trauma, pemberian protein asing secara intravena, malnutrisi, olahraga yang berlebihan, kehamilan, variasi normal harian, stres psikologik, dan isolasi sosial.7 Pemeriksaan ini juga digunakan untuk menentukan fungsi sistem imun pada orang-orang dengan kerusakan sel T CD4 selain HIV, termasuk beberapa penyakit kelainan darah, kelainan genetik, dan efek samping dari macam-macam obat kemoterapi.7

Transmisi Perinatal Transmisi perinatal dapat terjadi in utero dimana virus HIV masuk ke dalam sirkulasi janin dari darah maternal, pada periode peripartum dimana terdapat paparan terhadap darah dan sekresi pada proses persalinan, dan periode postpartum dengan konsumsi ASI yang mengandung HIV.8 Beberapa faktor telah diketahui berhubungan dengan meningkatnya transmisi HIV perinatal, yaitu jumlah CD4 yang rendah, korioamnionitis, persalinan prematur, penggunaan obat terlarang. Salah satu prediktor kuat bagi transmisi perinatal adalah viral load. Dari penelitian didapatkan tidak terjadi transmisi apabila kadar viral load tidak terdeteksi (bersamaan dengan terapi antiretrovirus) dan transmisi perinatal HIV adalah risiko relatif terhadap kadar viral load terakhir antepartum sebelum persalinan dan jenis terapi antiretrovirus. Hal tersebut mendukung konsep dengan mengurangi kadar viral load maternal dan memberikan HAART dapat menurunkan transmisi perinatal secara efektif.5 Antara 15% dan 40% dari neonatus yang lahir dan tidak disusui, tidak diobati, terinfeksi HIV berasal dari ibu yang terinfeksi HIV. Tanpa adanya intervensi apapun, resiko transmisi perinatal yaitu sebesar 25% dengan variasi antara 13-43%. Dengan adanya intervensi Prevention of Mother to Child HIV Transmission (PMTCT) maka transmisi perinatal ini dapat diturunkan sampai sekitar 2%.9,10 Diperkirakan transmisi yang terjadi sebelum usia kehamilan 36 minggu sebesar 20%, pada beberapa hari sebelum melahirkan sebesar 50%, dan 30% saat intrapartum. Angka transmisi karena menyusui mungkin sampai 30-40%. Transmisi vertikal lebih sering terjadi pada persalinan preterm, terutama pada ketuban pecah yang lama. Dilaporkan bahwa risikonya meningkat 3,7 kali pada persalinan preterm, dan transmisi HIV-1 saat persalinan meningkat 15-25% pada ketuban pecah lebih dari 4 jam. Dilaporkan pula bahwa wanita dengan antibodi HSV-2 maternal secara signifikan meningkatkan risiko sebesar 50% untuk transmisi HIV-1 dari maternal ke bayi saat intrapartum, dan beratribusi meningkatkan infeksi vertikal ko-infeksi HSV-2 maternal sampai 25%.3 Pada suatu studi prospektif didapatkan data sebagai berikut : pada

keadaan viral load < 1.000 copy/mL maka transmisi perinatal akan sangat rendah sampai 0%, viral load 1.000-10.000 copy/mL mencapai 16,6% , viral load 10.00150.000 copy/mL mencapai 21.3%, viral load 50.001-100.000 copy/mL mencapai 30,9% dan > 100.000 copy/ mL maka transmisi akan mencapai 40,6%.9,10 Pemberian Zidovudine (ZDV) dapat menurunkan kadarnya sampai < 500 copy/mL juga menurunkan risiko transmisi. Meskipun dikatakan ZDV efektif dalam menurunkan transmisi pada kadar RNA HIV berapapun.3

Intervensi untuk Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi Dengan intervensi yang baik maka risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 25 45 % bisa ditekan menjadi kurang dari 2%. Intervensi tersebut meliputi 4 konsep dasar:11 (1) Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif , (2) Menurunkan viral load serendah-rendahnya ,(3) Meminimalkan paparan janin/bayi terhadap darah dan cairan tubuh ibu HIV positif, dan (4) Mengoptimalkan kesehatan dari ibu dengan HIV positif. 1. Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif Secara bermakna penularan infeksi virus ke neonatus dan bayi terjadi trans plasenta dan Intra partum. Pertimbangan untuk mengijinkan orang dengan HIV AIDS (Odha) hamil antara lain: apabila daya tahan tubuh cukup baik (CD4 di atas 500), kadar virus (viral load) minimal/ tidak terdeteksi (kurang dari 1.000 copy/mL), dan menggunakan ARV secara teratur . 2. Menurunkan viral load/ kadar virus serendah-rendahnya Obat antiretroviral (ARV) yang ada sampai saat ini baru berfungsi untuk menghambat multiplikasi virus, belum menghilangkan secara total keberadaan virus dalam tubuh Odha. Walaupun demikian, ARV merupakan pilihan utama dalam upaya pengendalian penyakit guna menurunkan kadar virus. 3. Meminimalkan paparan janin dan bayi terhadap cairan tubuh ibu Persalinan dengan seksio sesarea berencana sebelum saat persalinan tiba merupakan pilihan pada Odha. Pada saat persalinan pervaginam, bayi terpapar darah

dan lendir ibu di jalan lahir. Bayi mungkin juga terinfeksi karena menelan darah atau lendir jalan lahir tersebut (secara tidak sengaja pada saat resusitasi). Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa seksio sesarea akan mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 50-66 % . Apabila seksio sesarea tidak bisa dilaksanakan, maka dianjurkan untuk tidak melakukan tindakan invasif yang memungkinkan perlukaan pada bayi (pemakaian elektrode pada kepala janin, ekstraksi forseps, ekstraksi vakum) dan perlukaan pada ibu (episiotomi). 4. Mengoptimalkan kesehatan ibu dengan HIV positif Melalui pemeriksaan ANC secara teratur dilakukan pemantauan kehamilan dan keadaan janin. Roboransia diberikan untuk suplemen peningkatan kebutuhan mikronutrien. Pola hidup sehat antara lain: cukup nutrisi, cukup istirahat, cukup olah raga, tidak merokok, tidak minum alkohol juga perlu diterapkan. Penggunaan kondom tetap diwajibkan untuk menghindari kemungkinan superinfeksi bila pasangan juga Odha, atau mencegah penularan bila pasangan bukan Odha.

Tabel 1. Kriteria untuk memulai terapi ART atau profilaksis pada wanita hamil dengan infeksi HIV berdasarkan jumlah CD4 dan tingkatan klinis WHO12

Pemeriksaan Jumlah tidak dilakukan Tingkatan klinis WHO 1 Tingkatan klinis WHO 2 Tingkatan klinis WHO 3 Tingkatan klinis WHO 4 ARV profilaksis ARV profilaksis ART ART

Pemeriksaan

jumlah

CD4

dapat

CD4 dilakukan dapat CD4 350 sel/mm CD4 > 350 sel/mm

ART ART ART ART

ARV profilaksis ARV profilaksis ART ART

Obat Antiretrovirus (ART) untuk pengobatan wanita hamil untuk kesehatan mereka sendiri dan untuk mencegah infeksi HIV pada bayinya:12 Pada wanita hamil yang dikonfirmasi menderita infeksi HIV, inisiasi ART untuk kesehatan ibu direkomendasikan bagi seluruh wanita dengan jumlah CD4 350 sel/mm, mengabaikan tingkatan klinis WHO, dan bagi seluruh wanita dengan tingkatan klinis WHO 3 atau 4, dengan mengabaikan nilai CD4 Wanita hamil yang terinfeksi HIV yang memerlukan ART untuk kesehatan mereka, harus memulai ART secepat mungkin tanpa memperhatikan usia kehamilan dan dilanjutkan selama kehamilan, persalinan, menyusui (bila menyusui) dan seterusnya. Pada wanita hamil yang memerlukan ART untuk kesehatan mereka, lebih baik diberikan lini pertama regimen ART harus termasuk AZT (zidovudin) + 3TC (lamivudin) sebagai kekuatan dikombinasikan dengan NNRTI (non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor): AZT + 3TC + NVP (nevirapin) atau AZT + 3 TC + EFV (efavirenz). Regimen alternatif yang direkomendasikan adalah TDF + 3TC (atau FTC (emtrisitabin)) + EFV dan TDF(tenofovir disoproxil fumarate) + 3TC (atau FTC) + NVP (catatan: hindari penggunaan EFV pada trimester awal dan gunakan NVP) Seluruh bayi (baik disusui ASI atau susu pengganti) yang terinfeksi HIV yang lahir dari wanita yang mendapatkan ART untuk kesehatan mereka, harus diberi NVP perhari atau AZT 2x sehari sejak lahir atau secepat mungkin sampai usia 46 minggu. to initiate Profilaksis ARV maternal dan bayi untuk mencegah Mother to Child HIV Transmission (MTCT) bagi wanita hamil yang terinfeksi HIV yang tidak terapi untuk kesehatan mereka sendiri:12 Kriteria untuk profilaksis ARV Wanita hamil yang terinfeksi HIV yang tidak memerlukan ART untuk kesehatan mereka memerlukan profilaksis ARV untuk mencegah infeksi HIV pada bayi mereka. Profilaksis ARV harus dimulai secepat mungkin saat usia hamil 14

minggu (trimester kedua) atau secepat mungkin selama kehamilan, persalinan dan setelahnya. Dua pilihan rekomendasi bagi wanita hamil yang tidak termasuk kriteria untuk ART: pilihan A dan pilihan B: Pilihan A: AZT maternal + profilaksis ARV bayi Bagi wanita hamil yag terinfeksi HIV yang tidak memerlukan ART untuk kesehatan mereka, profilaksis ARV pilihan A terdiri atas AZT antepartum 2x sehari, ditambah sd-NVP saat persalinan, ditambah AZT 2x sehari + 3TC selama persalinan dan dilanjutkan selama 7 hari post partum. Pada bayi yang disusui ASI, diberikan NVP setiap hari sejak lahir sampai 1 minggu setelah tidak lagi diberikan ASI, atau selama 4-6 minggu bila pemberian ASI dihentikan sebelum 6 minggu (namun setidaknya sampai 1 minggu setelah disapih). Pada bayi yang hanya mendapat susu pengganti, direkomendasikan pemberian NVP setiap hari atau sd-NVP saat lahir ditambah AZT 2x sehari sejak lahir sampai usia 4-6 minggu Pilihan B: profilaksis ARV triple maternal Bagi wanita hamil yang terifenksi HIV yang tidak termasuk kriteria ART untuk kesehatan mereka, profilaksis ARV pilihan B terdiri dari profilaksis ARV harian sampai persalinan, atau bila menyusui, sampai 1 minggu setelah menghentikan menyusui. Direkomendasikan regimen termasuk AZT + 3TC + LPV/r, AZ +3 TC +ABC, AZ + 3TC + EFV, atau TDF + 3TC (atau FTC) + EFV. Pada bayi, baik diberikan ASI atau tidak, profilaksis ARV triple maternal harus dikombinasikan dengan pemberian NVP harian atau AZT 2x sehari bagi bayi sampai usia 4-6 minggu.
Eligibility for ARV prophylaxisiberikan

10

Pilihan Persalinan Tentang pilihan persalinan, terdapat dugaan adanya hubungan antara cara persalinan dengan transmisi perinatal terhadap HIV. Data yang ada menunjukkan bahwa transmisi vertikal akan lebih rendah jika waktu sejak pecahnya ketuban dengan persalinan semakin pendek, menunjukkan pentingnya seksio sesarea sebagai pilihan persalinan dengan HIV. Data yang diperoleh dari dua penelitian kohort yang dilakukan oleh French Perinatal Cohort dan Swiss Neonatal Study Group menunjukkan pengurangan yang bermakna dari transmisi HIV-1 pada wanita yang mendapat ARV dan dilakukan seksio sesarea elektif. Di Perancis, dikatakan bahwa transmisi HIV pada wanita dengan persalinan seksio sesarea elektif sebesar 0,8%, seksio sesarea emergency sebesar 11,4% dan persalinan pervaginam sebesar 6,6%.13,14 Read dkk melakukan metaanalisis terhadap kedua penelitian tersebut dan didapatkan data bahwa transmisi HIV-1 pada wanita yang bersalin dengan seksio sesarea elektif sebesar 8,2% sedangkan dengan tambahan pemberian ARV dapat diturunkan sampai sebesar 2%. Bayi yang terinfeksi HIV dengan persalinan seksio sesarea sebesar 1,8% dibandingkan dengan persalinan pervaginam 10,5%. Dari data tersebut maka persalinan dengan seksio sesarea masih menjadi pilihan , dalam menurunkan transmisi HIV.13,15 Pada penelitian lain dikatakan juga bahwa seksio sesarea akan lebih baik bahkan pada keadaan viral load < 1.000 copy/mL. Data tersebut didapatkan dari metaanalisis yang dilakukan pada wanita dengan viral load < 1.000 copy/mL, dimana ARV akan menurunkan transmisi dari 10% menjadi 1%, sedangkan seksio sesarea akan

menurunkan transmisi dari 6% menjadi 1,5%. Jika seksio sesarea dan pemberian ARV dilakukan maka transmisi akan menjdi semakin berkurang dari 1,8% menjadi 0%. 4,13 Pada keadaan tertentu, dimana terjadi proses persalinan atau terjadi ketuban pecah dini maka harus dipertimbangkan keuntungan dan kerugian tentang pilihan cara persalinan. Semakin lama ketuban pecah terjadi maka akan semakin tinggi resiko transmisi perinatal.2,7 Semakin lama durasi ketuban pecah juga berhubungan dengan

11

transmisi perinatal. Dari suatu metaanalisis didapatkan risiko transmisi HIV meningkat 2% dari risiko dasar setiap jam bertambahnya waktu ketuban pecah.5 RCOG merekomendasikan untuk melakukan seksio sesarea elektif pada pasien dengan HIV (+) pada usia kehamilan 38 minggu untuk mencegah timbulnya persalinan dan ketuban pecah, direkomendasikan bagi:16
-

Pasien yang menggunakan HAART dengan kadar viral load > 50 copy/mL Pasien yang menggunakan monoterapi ZDV sebagai alternatif HAART Pasien dengan ko-infeksi hepatitis C

Seksio sesarea elektif dapat dilakukan pada pasien dengan usia kehamilan 39 minggu +, dengan viral load < 50 copy/mL, untuk mengurangi risiko takipneu pada bayi. Sedangkan menurut British HIV Association guidelines for the management of HIV infection in pregnant women 2012:17
-

Persalinan pervaginam terencana dapat dilakukan pada pasien dengan kadar viral load < 50 copy/mL yang menggunakan terapi HAART.

Persalinan pervaginam direkomendasikan pada wanita dengan viral load < 50 copy/mL pada 36 minggu.

Bagi wanita dengan viral load 50-399 copy/mL pada 36 minggu, elektif seksio sesarea sebaiknya dipertimbangkan, dilakukan nilai pasti viral load,

perkembangan kadar viral load, lamanya terapi, ketaatan terapi, faktor obstertri lain dan sudut pandang pasien. Bila viral load 400 copy/mL pada 36 minggu, direkomendasikan seksio sesarea Pada wanita yang direkomendasikan untuk persalinan pervaginam, penanganan obstetri mengikuti pedoman seperti pada wanita yang tidak terinfeksi. Vaginal birth after Cesarean section (VBAC) sebaiknya ditawarkan pada wanita dengan viral load < 50 copy/mL. Elektif seksio sesarea direkomendasikan bagi wanita yang menggunakan monoterapi zidovudin tanpa melihat kadar viral load saat persalinan. Pada kasus ketuban pecah, persalinan harus dipercepat. Apabila viral load < 50 copy/mL direkomendasikan induksi persalinan, bila viral load 50-999 copy/mL,

12

dipertimbangkan seksio sesarea secepatnya, dilakukan nilai pasti viral load, perkembangan kadar viral load, lamanya terapi, ketaatan terapi, faktor obstertri lain dan sudut pandang pasien. Dan bila viral load 1000 copy/mL, direkomendasikan seksio sesarea secepatnya. Pada kasus ketuban pecah di usia kehamilan 34 minggu ditangani sama seperti ketuban pecah pada hamil aterm, kecuali pada usia kehamilan 34-37 minggu diberikan profilaksis untuk kuman streptokokus grup B. Bila ketuban pecah pada usia < 34 minggu, diberikan steroid intramuskular, dilakukan kontrol virologik yang optimal, dan diskusi antara multidisipliner tentang waktu dan metode persalinan Pemberian zidovudin intravena intrapartum direkomendasikan pada keadaan: pada kadar viral load > 10.000 copy/mL yang dalam fase inpartu, atau dengan ketuban pecah yang direncanakan seksio sesarea elektif; pada wanita dalam monoterapi zidovudin dalam tindakan seksio sesarea, zidovudin intravena dapat dipertimbangkan.

Konseling Prekonsepsi Aspek yang penting pada konseling prekonsepsi adalah termasuk kontrasepsi yang efektif bila kehamilan belum diinginkan. Antivirus tertentu dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi hormonal. Konseling juga harus termasuk edukasi tentang tingkah laku seksual yang berisiko tinggi untuk mencegah penularan dan untuk menurunkan terpaparnya penyakit menular seksual yang lain. Pengobatan antiretroviral yang berefek teratogenik dihindari apabila wanita tersebut hamil, misalnya efavirenz, yang memiliki efek teratogenik yang siginfikan pada janin primata. Pilihan lain juga dalam hal yang dapat menurunkan jumlah RNA virus HIV secara efektif sebelum hamil.3 Asuhan prekonsepsi/preconception care (PCC), ditujukan kepada perencanaan kehamilan, mengurangi kehamilan yang tidak diinginkan, mengoptimalkan kesehatan ibu sebelum hamil, dan penggunaan kontrasepsi yang aman diperlukan untuk

13

mendapatkan hasil yang optimal dari kesehatan wanita yang terinfeksi HIV dan bayinya, mengurangi efek samping kehamilan, dan memperkuat usaha perlindungan bagi pasangan dan anak yang berisiko. American College of Obstetricians and Gynecologist (ACOG) dan Panel of Treatment of HIVInfected Pregnat Women and Prevention of Perinatal Transmission di Amerika dan organisasi nasional lain merekomendasikan ditawarkan kepada seluruh wanita terinfeksi HIV pada usia subur akan keluarga berencana yang komprehensif dan kesempatan untuk mendapatkan konseling prekonsepsi dan asuhan sebagai komponen dari perawatan kesehatan primer rutin.18 Wanita dengan HIV dapat menggunakan semua metode kontrasepsi yang ada. Pedoman dari WHO dan Center for Disease Control and Prevention (CDC) saat ini mengatakan dengan penggunaan metode yang melibatkan spermisida (dengan atau tanpa diafragma) risikonya lebih besar daripada keuntungannya, karena potensi terjadinya gangguan pada mukosa serviks, yang dapat meningkatkan terlepasnya virus dan transmisi HIV pada pasangan yang tidak terinfeksi. Baik copper intrauterine device (Cu-IUD) dan IUD yang mengandung levonorgestrel dapat digunakan sejak awal atau dilanjutkan pada wanita dengan HIV, termasuk dengan AIDS, yang secara klinis berjalan baik dengan terapi ARV.18 Terdapat kekhawatiran bahwa interaksi farmakokinetik antara kontrasepsi hormonal dan obat ARV dapat memodifikasi kadar steroid dan berpotensi menurunkan efektifitas kontrasepsi atau meningkatkan risiko efek samping. Namun dikatakan baru terbatas secara farmakologik, belum secara klinis, sehingga pada beberapa kasus direkomendasikan metode lain atau tambahan. Metabolit fosamprenavir (FPV), amprenavir dapat terjadi interaksi obat-ke-obat juga menurunkan konsentrasi ARV, direkomendasikan FPV diberikan dengan kontrasepsi hormonal hanya jika dikombinasikan dengan ritonavir (RTV) dosis rendah.18 Tidak ada data atas efektifitas dan untuk mengubah dosis hormonal dalam usaha mengelakkan interaksi tersebut, namun preparat yang mengandung minimum 30 g etinil estradiol (EE) disarankan. Tidak ada bukti yang menunjukkan penurunan efektifitas kontrasepsi depot medroksiprogesteron asetat (DMPA) bila digunakan

14

dengan terapi ARV. Kebanyakan studi menyatakan tidak ada hubungan antara penggunaan kontrasepsi hormonal dengan perkembangan penyakit HIV. Dua studi retrospektif yang besar, memperlihatkan peningkatan risiko sedang dari pertambahan HIV sehubungan dengan penggunaan kombinasi oral estrogen/progestin dan/atau DMPA.18 Dari suatu penelitian didapatkan peningkatan risiko serokonversi HIV (baik transmisi maupun penambahan) berhubungan dengan kontrasepsi hormonal (terutama DMPA) dari 3.700 pasangan serodiskordan Afrika. Kemudian, wanita dengan HIV yang menularkan HIV kepada pasangan yang tidak terinfeksi juga memiliki viral load genital yang tinggi. Sehingga pada wanita dengan infeksi HIV direkomendasikan menggunakan kontrasepsi campuran: harus memiliki akses kepada penggunaan kondom dan metode lain untuk mencegah dan mengurangi risiko HIV dan infeksi lain, terutama mereka yang menggunakan kontrasepsi suntik progestin.18 Menyusui Transmisi vertikal meningkat dengan menyusui, dan tidak direkomendasikan pada wanita dengan HIV positif. Kemungkinan transmisi dari ASI yang diminum per liter diperkirakan sama dengan transmisi dari hubugan sex yang tidak menggunakan pengaman pada heteroseksual pada orang dewasa. Sedangkan terhadap paparan lain, risiko akan berhubungan dengan kadar RNA HIV ibu, status penyakit HIV, kesehatan payudara dan durasi dari menyusui. Transmisi lebih banyak terjadi pada 6 bulan pertama, dan sebanyak dua pertiga infeksi dari bayi yang mendapat ASI berasal dari ASI. Tim peneliti dari Afrika menyatakan regimen antivirus profilaksis perinatal dikurangi pada usia 18 bulan karena berhubungan dengan menyusui. WHO merekomendaskan promosi melanjutkan menyusui dengan penyapihan lebih awal 6 bulan pada wanita di negara berkembang dengan permasalahan malnutrisi dan penyakit infeksi sebagai penyebab utama pada kematian bayi.3

15

DAFTAR PUSTAKA

1.

WHO. Guideline: Vitamin A in pregnancy for reducing the risk of mother-to-child transmission supplementation of HIV. Geneva, World Health Organization, 2011. World Health Organization: Global Hiv/Aids Response Epidemic update and health sector progress towards Universal Access Progress Report 2011. Dapat diunduh di: http://whqlibdoc.who.int/publications/2011/9789241502986_eng.pdf. Diakses pada 22 Desember 2012. Cunningham FG, Gant NF, Levino KJ, Gilstrap LC, Heuth JC, Winstrom KD, editors. Obstetrical Haemorhage. William Obstetric 23st ed. Mc Graw Hill; 2011. p 1246-1253. Kuczkowski KM, MD. Human immunodeficiency virus in the parturient. J Clin Anesthesia, 2003;15 : 3. Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL, editors. Obstetrics: Normal and problem pregnancies 5th ed. Philadelphia. Elsevier Inc; 2007. P 1205-1206. McPhee SJ, Papadakis MA. Current Medical Diagnosis & Treatment 2009, 48th ed. Chapter 31: HIV infection and AIDS. Philadelphia. California. The McGrawHill Companies, Inc; 2009. P 1205-1206. Wikipedia: Diagnosis of HIV/AIDS. 2012. Dapat diunduh di: http://en.wikipedia.org/wiki/Diagnosis_of_HIV/AIDS. Diakses pada 22 Desember 2012. Boucher M. Mode of delivery for pregnant woman infected by the HIV. SOGC clinical practice guideline. 2002;101. Havens PL, Waters D. Management of the infant born to a mother with HIV infection.Pediatr Clin N Am 2004; 909-937. Garcia PM, et al.Maternal levels of plasma Human immunodeficiency virus type I RNA and the risk of perinatal transmission. N Engl J Med.1999, 341: 394-402. hermiyanti S, Setyahad MI, Habsyi H. Modul pelatihan PMTCT. 2008. WHO. Antiretroviral drugs for treating pregnant women and preventing HIV infection in infants: recommendations for a public health approach. 2010 version.Geneva, World Health Organization, 2010.

10

11 12

16

13

Minkoff M. Human immunodeficiency virus infection in pregnancy. ACOG, 2003; 101: 797-810. Mandelbrot L, et al. Perinatal HIV-1 transmission: interaction between zidovudin prophylaxis and mode of delivery in the French perinatal cohort. JAMA 1998;280:55-60. Moodley J, Moodley D. Management of HIV infection in pregnancy. Clin Obstet Gynaecol. 2005; 169-183 NM Low-Beer, ZJ Penn, RCOG Green-top Guideline No. 39 , 2010; 1-28. British HIV Association guidelines for the management of HIV infection in pregnant women 2012. HIV Medicine (2012), 13 (Suppl. 2), 87157. Hoyt MJ, Storm DS, Aaron E, Anderson J. Review Article: Preconception and Contraceptive Care forWomen Living with HIV. Infectious Diseases in Obstetrics and Gynecology Vol 2012, p 1-14; 2012.

14

15

16 17

18

17

Anda mungkin juga menyukai