Anda di halaman 1dari 66

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 KONSEP DASAR HIV/AIDS


2.1.1 Definisi HIV/AIDS
HIV adalah sekelompok virus yang dikenal sebagai retrovirus, yang merupakan
singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. Virus ini membawa materi genetik
mereka dalam bentuk asam ribonukleat (RNA) dan bukan asam deoksiribonukleat
(DNA). Infeksi HIV terjadi ketika virus memasuki sel CD4 (T. Helper) pejamu dan
menyebabkan sel ini mereplikasi RNA virus dan protein virus, yang pada akhirnya
menyerang sel CD4 lain. Sindrom imunodefisiensi di dapat (Acquired
Immunodeficiency Syndrome, AIDS) didefinisikan sebagai bentuk paling berat dalam
rangkaian penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency
Virus) (Smeltzer, 2016).

Istilah Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) digunakan untuk menjelaskan


defisit sistem imun yang berkaitan dengan gangguan oportunistik (merupakan
manifestasi AIDS yang paling umum terjadi, sering terjadi secara simultan, seperti
tuberkulosis/TB dan Pneumocystis Jiroveci atau Pneumocystis Carinii). AIDS
merupakan tahap akhir dan fatal dari infeksi HIV. HIV merupakan retrovirus yang
ditularkan melalui kontak langsung dengan darah yang terinfeksi dari cairan darah.
Konsentrasi utama dari virus terjadi pada darah, semen, sekresi vagina dan serviks,
cairan serebrospinal (CSS) pada individu yang terinfeksi. Virus ini juga ditemukan
pada ASI dan saliva (Priscilla, Karen, and Gerene, dalam buku KMB, volume 1, edisi
5, 2016).

Secara sederhana definisi mengenai ODHA, yaitu orang dengan HIV atau AIDS dapat
dirujuk ke kriteria infeksi HIV menurut The Centers For Disease Control and

1
Prevention (CDC). Untuk infeksi HIV, pada pasien dengan usia lebih dari 18 bulan
harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Tes penyaring terhadap anti-HIV positif, yang biasanya diikuti dengan tes
konfirmasi dengan Westren Bolt atau immunofluorescence antibody test, atau
b. Hasil positif pada tes virologik HIV yang bukan antibodi seperti: HIV-RNA, HIV-
DNA, antigen p24 HIV, isolasi HIV dengan kultur.

Adapun definisi untuk AIDS menurut surveilens CDC adalah sebagai berikut:
a. Hitung jumlah sel CD4 kurang dari 200/uL dan adanya infeksi HIV secara
laboratorik, atau
b. Adanya AIDS-indicator disease, yang nanti akan diuraikan sesuai kategori klinis C
menurut sistem klasifikasi CDC yang lebih kompleks.
(Danny Wiradharma, 2014)

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa HIV adalah jenis retrovirus yang
menjadi penyebab utama timbulnya AIDS. AIDS adalah sekumpulan gejala penyakit
karena adanya penurunan sistem kekebalan tubuh/ daya tahan tubuh yang disebabkan
oleh infeksi HIV, yang ditandai dengan adanya penurunan jumlah sel CD4 kurang dari
200/uL secara laboratorik.

2.1.2 Etiologi
Penyebab utama penyakit HIV/AIDS adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV)
yang merupakan family humanretrovirus dan subfamily lentivirus. Ada dua grup yang
penting pada manusia, yaitu Human T Lymphotropic viruses, HTLV-I dan HTLV-II,
serta Human Immunodeficiency Viruses, HIV-I dan HIV-II. HIV-I yang terutama
menyebabkan penyakit HIV di seluruh dunia, sedangkan HIV-II terutama di Afrika
(Wiradharma, 2014).

2
2.1.2.1 Morfologi

Gambar 2.1.1 Komponen Virus HIV (AIDSinfo, 2018)

Gambar 2.1.2 HIV Virion (Levinson 2010, dalam buku Aspek


Immunologi HIV-AIDS, oleh Wiradharma, 2014)

HIV sebenarnya merupakan virus yang relatif sederhana di mana genomnya hanya
mengandung tiga gen struktural yang mengkode pembentukan sekitar sembilan protein
yang berbeda. Secara skematik seperti gambar 2, HIV dibagian dalam mengandung
dua molekul identik dari single starnded, positive-polarity RNA, yang biasa disebut

3
diploid; yang dikaitkan dengan enzim protease dan protein p24. Dalam nukleokapsid,
didapati juga enzim protease dan integrase. Di bagian luar, karena HIV termasuk virus
yang memiliki envelope, capsidnya diliputi oleh suatu lipoprotein envelope yang
mengandung dua protein spesifik, yaitu gp 120 dan gp 41. Envelope yang merupakan
suatu membran lipoprotein, bagian lipidnya berasal dari membran sel penjamu. Protein
lain yaitu protein matriks p 17 memperantarai interaksi antara protein capsid dengan
envelope.

2.1.2.2 Genom HIV


HIV mempunyai dua jenis gen, yaitu gen struktural dan gen regulator. Gen struktural
HIV ada tiga jenis, yaitu gag, pol, dan env, umumnya dijumpai pada semua retrovirus.
Sedangkan gen regulator HIV terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok gen yang
dibutuhkan untuk replikasi sebanyak dua buah dan kelompok accessory genes
sebanyak empat buah. Gen regulator yang berkaitan dengan replikasi berperan dalam
aktifitas transkripsi dari gen-gen virus dan mentransport mRNA dari inti ke sitoplasma
sedangkan gen-gen aksesoris berperan dalam menghambat ekspresi molekul CD4 dan
molekul MHC kelas I pada permukaan sel terinfeksi. Disamping itu, ia berperan juga
dalam transportasi viral core dari sitoplasma ke inti sel dan memudahkan pengeluaran
virion dari sel.

Gen gag mengkode internal “core” proteins, yaitu p24 dan p7 untuk nukleokapsid, dan
p17 yang menyusun matriks. Protein yang terpenting adalah p24, yang merupakan
salah satu antigen yang digunakan untuk tes serologi. Gen pol mengkode beberapa
protein, yaitu enzim-enzim yang terdapat di dalam nukleokapsid. Enzim-enzim
tersebut adalah transcriptase, integrase, dan protease.

Reverse transcriptase, suatu RNA-dependent DNA polymerase yang merupakan asal-


usul sebutan bagi famili retrovirus. Enzim membantu transkripsi genom RNA menjadi
DNA proviral. Reverse Transcriptase juga mengandung ribonuclease H aktivity yang
berperan dalam menyusun double-stranded proviral DNA. Integrase memperantarai
integrasi DNA proviral ke dalam DNA pejamu. Protease memecah precursor

4
polyproteins untuk menjadi polipeptida virus yang fungsional. Gen env mengkode
precursor glikoprotein gp 160, yang kemudian dipecah menjadi dua envelopel suface
glycoprotein, gp 120, dan gp 41.

2.1.2.3 Antigen HIV


Ada dua kelompok antigen HIV yang penting. Pertama adalah type-spesific envelope
glycoproteins, yaitu gp 120 dan gp 41, dimana gp 120 menonjol di permukaan virus
dan akan berinteraksi dengan molekul CD4 di permukaan sel pejamu. Sedangkan gp
41 terbenam di dalam envelope dan memperantai fusiviral envelope dengan membran
sel pejamu pada saat infeksi. Gen yang mengkode gp 120 cepat mengalami mutasi dan
menghasilkan banyak antigenic variants. Antibodi terhadap gp 120 menetralisir
infektivitas HIV, tetapi karena cepatnya kemunculan gp 120 variants, menimbulkan
kesulitan untuk memproduksi vaksin yang efektif. Kecepatan mutasi yang tinggi ini
nampaknya menjadi sifat enzim reverse transcriptase yang merupakan suatu error-
prone enzyme. HIV juga tidak memiliki mekanisme untuk mengoreksi mutasi yang
terjadi. Hal ini berarti satu dalam tiga siklus HIV akan terbentuk suatu virus yang
mengandung mutasi baru. Kedua adalah antigen p 24 yang berlokasi di dalam core.
Antibodi terhadap antigen p 24 tidak dapat menetralisir inefektivitas HIV, tetapi
berguna sebagai marker serologik yang penting dari infeksi ini.

2.1.2.4 Siklus Replikasi HIV


Tahap awal dari siklus ini dimulai dengan masuknya HIV ke dalam sel pejamu, yang
berlangsung sebagai berikut:
a. Gp 120 mulai berikatan dengan molekul CD4 yang relatif panjang dan fleksibel,
tetapi interaksi ini tidak membuat virus menempel pada permukaan sel. Adanya
molekul CD4 pada sel merupakan prasyarat bagi HIV untuk masuk. Oleh karena
itu, hanya sel CD4+T, monosit/makrofag dan sel dendritik yang bisa terinfeksi.
b. Gp 120 setelah itu berikatan dengan salah satu dari dua chemokine receptors,
CCR5-yang terutama diekspresikan oleh makrofag, sel dendritik, dan sel T
mukosa, atau CXCR4- yang diekspresikan terutama oleh sel T. Molekul gp 120
dari strain HIV yang berbeda memilih untuk berikatan dengan salah satu

5
chemokine receptor tersebut. Oleh karena itu, sebagian strain HIV lebih memilih
menginfeksi monosit atau sel dendritik, sedangkan lainnya lebih memilih
menginfeksi sel T.
c. Chemokine receptor memiliki domain ekstraseluler yang pendek dan ikatannya
dengan gp 120 akan menempelkan virus dengan sel pejamu. Ikatan dengan suatu
Chemokine receptor juga menginduksi perubahan gp 41 yang dalam keadaan biasa
memiliki struktur mirip dengan stapler tertutup. Saat gp 120 berikatan dengan
suatu Chemokine receptor, gp 41 membuka dan menembus membrane sel.
d. Langkah terakhir adalah gp 41 kembali ke posisi 3, tertutup dan panjangnya
menjadi seperti semula, sehingga terjadi fusi virus envelope dan sel membran.

Apabila penularan terjadi secara seksual, virus mungkin menggunakan CCR5 pada sel
dendritik dan sel T mukosa yang terdapat di mukosa genitalia untuk masuk ke pejamu.
Sel dendritik dan sel T mukosa bermigrasi ke nodus limpatikus regional dan
menginfeksi sel-sel lain di sentrum germinativum. Sedangkan transmisi nonseksual
seperti mereka yang saling berganti-ganti menggunakan jarum suntik yang sama, HIV
dapat memilih CXCR4 atau CCR5 sebagai reseptor kedua, setelah molekul CD4,
untuk masuk ke pejamu.

Enzim Reverse Transcriptase memasuki sel pejamu bersamaan dengan genom RNA.
Enzim ini di dalam sitoplasma mengubah genom RNA menjadi double-Stranded
DNA, yang kemudian bermigrasi ke nukleus di mana ia akan berintegrasi ke DNA sel
pejamu, dengan bantuan enzim integrase. mRNA virus ditranskripsi dari proviral
DNA oleh RNA polymerase sel-sel pejamu dan ditranslasi menjadi beberapa
poliprotein yang panjang. Poliprotein tersebut di pecah oleh viral-encoded protease
menjadi protein-protein nucleokapsid, matriks, dan enzim-enzim virus seperti reverse
transkriptase, protease, dan integrase. Enzim celluler protease akan memecah
poliprotein tersebut menjadi protein envelope, gp 120 dan gp 41.

Virion yang imatur di dalam sitoplasma, bersama dengan berbagai hasil pemecahan
precursor polyproteins yang membentuk nukleokapsid, dengan bantuan matriks

6
protein berinteraksi dengan membran sel di tempat tertentu. Kemudian membran sel
berevaginasi di situ sehingga terbentuk suatu budding virion, yang kemudian
dilepaskan dari sel pejamu sebagai virion matur.

Gambar 2.1.3 Siklus replikasi HIV, Wiradharma (2014)

2.1.3 Transmisi
Virus HIV menular melalui beberapa cara penularan yaitu:
a. Virus HIV dapat ditemukan di cairan tubuh, seperti darah, sperma, cairan vagina,
dan air susu ibu. Akan tetapi, virus ini tidak dapat menular melalui cairan tubuh
seperti ludah, keringat, tinja, urine, dan air mata.
b. Hubungan seksual
HIV dapat menular melalui hubungan seksual yang tidak aman. Penularan ini
terjadi melalui sperma dan cairan vagina. Resiko penularan dapat dikurangi dengan
menggunakan kondom. Meskipun kedua pelaku seks sudah positif HIV, mereka

7
harus tetap memakai kondom. Jika tidak, ada kemungkinan terjadi infeksi ulang
dengan tipe HIV yang berbeda serta infeksi penyakit menular lainnya. Resiko
penularan terbesar ada pada ODHA yang melakukan seksual dengan pasangan
yang berbeda-beda atau berganti-ganti pasangan atau punya banyak partner seks.
c. Transfusi darah, darah atau produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Kemungkinan penularan melalui darah dan produk darah yang tercemar virus HIV
sangatlah besar yaitu 90%. Oleh karena itu, untuk menjaga agar darah bebas dari
HIV dan virus lainnya, calon pendonor darah dan darah yang tersedia harus
diperiksa terlebih dahulu.
d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alat-alat lain yang
menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinfeksi HIV, dan langsung
digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi bisa menularkan HIV.
e. Alat-alat untuk menoreh kulit
Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat seseorang, membuat
tato, memotong rambut, dan sebagainya bisa menularkan HIV sebab alat tersebut
mungkin dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu.
f. Menggunakan jarum suntik secara bergantian
Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun digunakan oleh para
pengguna narkoba (Injecting Drug User-IDU) sangat berpotensi menularkan HIV.
Selain jarum suntik, para pemakai IDU secara bersama-sama juga menggunakan
tempat penyampur, pengaduk, dan gelas pengoplos obat, sehingga berpotensi
tinggi untuk menularkan HIV.
g. Penularan dari ibu ke bayi
Penularan dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero). Semakin besar
jumlah virus HIV pada ibu hamil, semakin besar pula kemungkinan penularan ke
anak yang sedang di kandung. Walaupun demikian, tidak semua bayi yang lahir
dari ibu positif HIV telah terinfeksi HIV.
h. Kemungkinan penularan virus HIV melalui ciuman bibir sangatlah kecil. Akan
tetapi, resiko ini akan meningkat tajam jika terdapat luka di sekitar bibir atau di
dalam rongga mulut.

8
i. Virus HIV tidak dapat menular melalui udara, makanan, minuman, ataupun
sentuhan. Bahkan, perlu diingat, virus ini cepat mati jika berada di luar tubuh.
Karena itu, hidup bersama orang HIV positif bukanlah hal yang perlu ditakuti.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa virus HIV tidak menular melalui
kontak biasa seperti berikut:
1) Bersalaman
2) Berciuman
3) Batuk
4) Bersin
5) Gigitan nyamuk
6) Bekerja, bersekolah, makan, dan berkendaraan bersama.
7) Memakai fasilitas umum, misalnya kolam renang, wc umum, telepon umum,
sauna dan sebagainya.
8) Memakai tempat tidur atau peralatan rumah tangga bersama.

9
2.1.4 Patofisiologi

Skema 2.1.1 Patofisiologi HIV/AIDS dengan diagnosa keperawatan yang muncul

10
Patoflow

Virus akan bergabung dengan


DNA pasien

Fase awal proses infeksi


(Imunokompeten)
Peningkatan aktifitas imun; pada
tingkat seluler, serum atau
Akan terjadi humoral dan antibodi
respon imun upregulation

Infeksi HIV akan menghancurkan Sehingga T-helper tidak dapat


sel-sel T memberikan induksi kepada sel-
sel efektor sistem imun

Daya tahan tubuh menurun


masuk ke stadium lanjut

Selama infeksi primer jumlah Membuat individu yang


monosit CD4+ dalam darah terinfeksi HIV akan mungkin
menurun dengan cepat terkena infeksi oportunistik

Setelah infeksi akut, dimulailah


infeksi HIV asimptomatik (tanpa
gejala)

Mulai menampakkan gejala


Fase imunodefisiensi
akibat infeksi oportunistik
(penurunan berat badan,
demam lama, pembesaran
kelenjar getah bening, diare,
tuberculosis, infeksi jamur,
herpes, dan lain-lain

Skema.2.1.2 Patoflow HIV, sumber: Desmawati, 2013

11
2.1.4 Klasifikasi Klinis/Stadium Penyakit HIV
Tahap penyakit HIV didasarkan pada riwayat klinis, pemeriksaan fisik, temuan
laboratorium tentang disfungsi imun, tanda dan gejala, dan infeksi serta keganasan
(malignansi). Definisi kasus standar dari Centre Of Disease Control dan Prevention
(CDC) tentang AIDS mengkategorikan infeksi HIV dan AIDS pada individu dewasa
dan remaja berdasarkan kondisi klinis yang disebabkan oleh infeksi HIV dan jumlah
sel T CD4+. Empat kategori status terinfeksi diindikasikan oleh:
a. Infeksi primer (infeksi HIV akut/baru, sindrom HIV akut: penurunan dramatis
jumlah sel T CD4, yang normalnya antara 500 dan 1500 sel/mm3)
b. HIV tak-bergejala (CDC Kategori A: lebih dari 500 limfosit TCD4+/mm3)
c. HIV bergejala (CDC kategori B: 200 sampai 499 limfosit T CD4+/mm3)
d. AIDS (CDC kategori C: lebih sedikit dari 200 limfosit TCD4+/mm3)

WHO mengklasifikasikan HIV/AIDS menjadi klasifikasi laboratorium dan klinis


a. Klasifikasi laboratorium
Tabel 2.1.1
Klasifikasi HIV/AIDS dengan uji laboratorium menurut WHO
Stadium Klinis SK SK SK
Limfosit CD4+/mm3
1: Asimtomatik 2: Awal 3: Intermidiet 4: Lanjut
>2000 >500 1A 2A 3A 4A
1000-2000 200-500 1B 2B 3B 4B
<1000 <200 1C 2C 3C 4C
Sumber: Depkes RI, dalam buku Asuhan Keperawatan pada pasien terinfeksi HIV
AIDS, 2013

b. Klasifikasi klinis
Pada beberapa negara, pemeriksaan limfosit CD4+ tidak tersedia. Dalam hal ini
pasien bisa di diagnosis berdasarkan gejala klinis, yaitu berdasarkan tanda dan
gejala mayor dan minor. Dua gejala mayor ditambah dua gejala minor
didefinisikan sebagai infeksi HIV simptomatik.

Gejala mayor, yaitu terdiri dari: penurunan berat badan ≥ 10%, demam
memanjang atau lebih dari 1 bulan, diare kronis, dan tuberkulosis. Kemudian

12
untuk gajala minor, terdiri dari: kandidiasis orofaringeal, batuk menetap lebih dari
satu bulan, kelemahan tubuh, berkeringat malam, hilang nafsu makan, infeksi kulit
generalisata, limfadenopati generalisata, Herpes zoster, infeksi Herpes Simplex
kronis, pneumonia, dan sarkoma kaposi.

Beberapa penelitian menunjukkan reabilitas klasifikasi derajat klinis menurut WHO


bisa memprediksi morbiditas dan mortalitas pasien yang terinfeksi HIV. Klasifikasi
klinis infeksi HIV pada orang dewasa menurut WHO dibagi menjadi empat stadium,
yaitu:
a. Stadium I: asimtomatik, dengan aktifitas fisik masih normal
1) Tidak ada gejala
2) Limfadenopati generalisata persisten, yang biasanya ditemukan pembesaran
kelenjar getah bening multipel berukuran kecil tanpa nyeri.

b. Stadium II: sakit ringan, dengan aktivitas fisik masih normal


1) Berat badan menurun <10%
2) Kelainan mulut dan mukosa yang ringan, seperti dermatitis seboroik (berupa
lesi kulit bersisik pada batas antara wajah dan rambut serta sisi hidung),
prurigo/ papular pruritic eruption (suatu ruam kulit berupa papel yang gatal),
onikomikosis, ulkus oral yang rekuren/ berulang, dan Chelitis angular (luka
pada sudut mulut).
3) Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
4) Infeksi saluran napas bagian atas, seperti sinusitis bakterialis, faringitis,
tonsilitis, dan otitis media.

c. Stadium III: sakit sedang, dengan penampilan lemah dan pasien berada di tempat
tidur <50% perhari dalam bulan terakhir.
1) Berat badan menurun >10%
2) Diare kronis lebih dari satu bulan
3) Demam berkepanjangan lebih dari satu bulan
4) Kandidiasis orofaringeal

13
5) Oral hairy leukoplakia, berupa garis vertikal putih di samping lidah, tidak
nyeri, tidak hilang bila di kerok.
6) TB paru dalam tahun terakhir
7) Infeksi bakterial yang berat seperti pnemonia, piomiositish, empiema,
meningitis, osteitis/arthritis, pelvic inflammatory disease, bakteriemia

d. Stadium IV: sakit berat, dengan penampilan sangat lemah, hampir selalu berada
di tempat tidur, >50% perhari dalam bulan terakhir
1) HIV wasting syndrome, yaitu berat badan turun lebih dari 10% ditambah diare
kronis lebih dari satu bulan atau demam lebih dari satu bulan yang tidak
disebabkan oleh penyakit lain.
2) Pnemonia pneumocytis carinii
3) Toksoplasmosis otak
4) Diare kriptosporidiosis lebih dari satu bulan
5) Kriptokokosis ekstrapulmonal
6) Retinitis virus sitomegalo
7) Herpes simplex mukokutan > 1 bulan
8) Leukoensefalopati multifokal progresif
9) Mikosis diseminata seperti histoplasmosis
10) Kandidiasis di esphagus, trakea, bronkus, dan paru
11) Mikobakteriosis atipikal diseminata
12) Septisemia salmonelosis nontifoid
13) Tuberkulosis di luar paru
14) Limfoma
15) Sarkoma kaposi
16) Ensefalopati HIV, yaitu gangguan kognitif dan atau disfungsi motorik yang
mengganggu aktivitas hidup sehari-hari dan bertambah buruk dalam beberapa
minggu atau bulan yang tidak disertai penyakit penyerta lain selain HIV.

Klasifikasi menurut CDC (The Center for Disease Control and Prevention)
didasarkan pada dua sistem, yaitu dengan melihat jumlah supresi kekebalan tubuh

14
yang dialami pasien serta stadium klinis. Jumlah supresi kekebalan tubuh ditunjukkan
oleh limfosit CD4+. Sistem ini didasarkan pada tiga kisaran CD4+ dan tiga kategori
klinis, yaitu:
a. Kategori 1 : ≥ 500 sel/µl
b. Kategori 2 : 200-499 sel/µl
c. Kategori 3 : < 200 sel/µl

Klasifikasi tersebut didasarkan pada jumlah limfosit CD4+ yang terendah dari pasien.
Kemudian pada tabel 2.1.2 menjelaskan bahwa klasifikasi CDC juga bisa digunakan
untuk surveilans penyakit, penderita yang dikategorikan kelas A3, B3, C1-3
dikategorikan AIDS. Sekali dilakukan klasifikasi, maka pasien tidak dilakukan
klasifikasi ulang, meskipun terjadi perbaikan status imunologi misalnya peningkatan
nilai CD4+ karena pengaruh terapi atau faktor lain.

Tabel.2.1.2
Klasifikasi klinis dan CD4 pasien remaja dan orang dewasa menurut CDC
CD4 Kategori Klinis
Total % A B C
(Asimptomatik, (Simptomtik) (AIDS)
infeksi akut)
≥ 500/ml ≥29% A1 B1 C1
200-499 14-28% A2 B2 C2
< 200 < 14% A3 B3 C3
Sumber: Depkes, dalam buku Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV
AIDS, 2013

Kategori klinis A meliputi infeksi HIV tanpa gejala (asimptomatik), limfadenopati


generalisata yang menetap, dan infeksi HIV akut primer dengan penyakit penyerta
atau adanya riwayat infeksi HIV akut.

15
Kategori klinis B terdiri atas kondisi dengan gejala (simptomatik) pada remaja atau
orang dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak termasuk dalam kategori C dan
memenuhi paling sedikit satu dari beberapa kriteria berikut:
a) Keadaan yang dihubungkan dengan infeksi HIV atau adanya kerusakan
kekebalan dengan perantara sel (Cell mediated immunity), atau;
b) Kondisi yang dianggap oleh dokter telah memerlukan penanganan klinis atau
membutuhkan penatalaksanaan akibat komplikasi infeksi HIV. Contoh berikut ini
termasuk dalam kategori tersebut, tetapi tidak terbatas pada contoh ini saja.
1) Angiomatosis basilari
2) Kandidiasis orofaringeal
3) Kandidiasis vulvovaginal
4) Displasia leher rahim
5) Demam 38,5o atau diare lebih dari satu bulan.
6) Oral hairy leukoplakia
7) Herpes zoster
8) Purpura idiopatik trombositopenik
9) Listeriosis
10) Penyakit radang panggul
11) Neuropati perifer

Kategori klinis C meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS. Pada tahap ini,
individu yang terinfeksi HIV menunjukkan perkembangan infeksi dan keganasan
yang mengancam kehidupan, misalnya:
a. Kandidiasis bronki, trakea, dan paru
b. Kandidiasis esophagus
c. Kanker leher rahim invasif
d. Coccidiodomycosis menyebar atau di paru
e. Kriptokokosis diluar paru
f. Retinitis virus sitomegalo
g. Ensefalopati yang berhubungan dengan HIV
h. Herpes simpleks dan ulkus lebih dari sebulan lamanya

16
i. Bronkitis, esofagitis, atau pneumonia
j. Histoplasmosis menyebar atau di luar paru
k. Isoporiasi intestinal kronis lebih sebulan lamanya
l. Sarkoma kaposi
m. Limfoma burkitt
n. Limfoma imunoblastik
o. Limfoma primer di otak
p. Mycobakterium avium compex atau M. Kansasii tersebar atau di luar paru.
q. Mikobakterium jenis lain atau jenis yang tidak dikenal menyebar atau di luar
paru.
r. Pneumonia Pneumocystis carinii
s. Pneumonia yang berulang
t. Leukoensefalopati multifokal progresif
u. Toksoplasmosis di otak
v. Septikemia Salmonella yang berulang

2.1.5 Manifestasi Klinis


Gejala menyebar dan dapat mempengaruhi setiap sistem organ. Manifestasi berkisar
dari abnormalitas respons imun yang sifatnya ringan tanpa disertai tanda dan gejala
yang jelas hingga imunosupresi yang bermakna, infeksi yang mengancam jiwa,
keganasan, dan efek langsung HIV pada jaringan tubuh.

2.1.5.1 Pernapasan
a. Sesak napas, dispnea, batuk, nyeri dada, dan demam terkait dengan infeksi
oportunistik, seperti yang disebabkan oleh Pneumocystis jiroveci (pneumonia
Pneumocystis [PCP], infeksi yang paling sering terjadi), Myobacterium avium-
intrcellulare, sitomegalovirus (CMV), dan spesies Legionella.
b. Tuberkulosis yang berhubungan dengan HIV terjadi sejak awal proses infeksi HIV,
sering kali mendahului ditegakkannya diagnosis AIDS.

17
2.1.5.2 Gastrointestinal
a. Kehilangan nafsu makan
b. Mual dan muntah
c. Kandidiasis oral dan esofagus (bercak putih, nyeri saat menelan, nyeri
retrosternum dan kemungkinan lesi oral)
d. Diare kronis, kemungkinan dengan efek yang dramatis (misalnya penurunan berat
badan bermakna, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, ekskoriasi kulit perianal,
kelemahan, dan ketidakmampuan untuk melaksanakan aktivitas hidup sehari-hari)

2.1.5.3 Sindrom Pelisutan (kakeksia)


a. Malnutrisi energi-protein multifaktor
b. Penurunan berat badan involunter dan bermakna lebih dari 10% dari berat badan
awal
c. Diare kronis (lebih dari 30 hari) atau kelemahan kronis dan demam intermiten
(berkala) atau konstan tanpa dibarengi dengan penyakit lain.
d. Anoreksia, diare, malabsorsi gastrointestinal (GI), kekurangan nutrisi, dan bagi
beberapa pasien mengalami status hipermetabolik.

2.1.5.4 Onkologi
Jenis kanker tertentu sering kali terjadi pada penderita AIDS dan dianggap sebagai
kondisi yang mengidentifikasi (menggambarkan) AIDS:
a. Sarkoma kaposi (KS) adalah keganasan yang paling sering dikaitkan dengan HIV
dan mengenai lapisan endotel pembuluh darah dan limfa (menunjukkan perjalanan
penyakit yang beragam dan agresif, berkisar dari lesi kutaneus lokal sampai
penyebaran [diseminata] penyakit yang mengenai banyak sistem organ).
b. Limfoma sel-B adalah keganasan kedua tersering kondisi ini cenderung terjadi di
luar nodus limfe, paling sering terjadi di otak, sumsum tulang belakang, dan
saluran gastrointestinal (GI). Jenis limfoma secara khas memiliki derajat tinggi,
mengindikasikan pertumbuhan yang agresif dan resistensi terhadap terapi.
c. Kanker serviks invasif adalah pertumbuhan abnormal yang terbentuk pada serviks
(bagian bawah dari rahim atau uterus). Penyebab kanker serviks yang paling umum

18
adalah infeksi yang disebabkan oleh virus papiloma manusia (HPV), meskipun
tidak semua wanita yang terinfeksi oleh HPV akan menderita kanker serviks.
Infeksi ini dapat menular melalui aktivitas seksual (Elizabeth, 2020).

2.1.5.5 Neurologi
Gangguan neurokognitif yang berhubungan dengan HIV terdiri dari gangguan kognitif
yang sering kali disertai oleh disfungsi motorik dan perubahan perilaku.
a. Neuropati perifer yang berhubungan dengan HIV sering dijumpai dalam proses
infeksi HIV dan dapat terjadi dalam beragam pola, dengan jenis yang paling sering
terjadi adalah polineuropati sensori distal (distal sensory polyneuropathy, DSPN)
atau polineuropati simetris distal. Polineuropati sensori distal dapat memicu nyeri
hebat dan penurunan fungsi.
b. Ensefalopati HIV (sebelumnya disebut sebagai kompleks demensia AIDS [ADC])
adalah suatu sindrom klinis yang dicirikan oleh penurunan progresif fungsi
kognitif, perilaku, dan motorik. Gejala mencakup defisit memori, sakit kepala,
kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan psikomotor, apati, ataksia,
dan di tahap lanjut terjadi gangguan kognitif global, perlambatan respon verbal,
pandangan hampa/kosong, paraparesis spastik, hiperrefleksia, psikosis, halusinasi,
tremor, inkontinensia, kejang, mutisme (ketidakmampuan bicara-ed), dan
kematian.
c. Cryptococcus neoformans, suatu infeksi jamur(demam, sakit kepala, lemah
(malaise), leher kaku, mual, muntah, perubahan status mental, dan kejang).
d. Leukoensefalopati multifokal progresif (PML), suatu gangguan demielinase sistem
saraf pusat (konfusi mental, kebutaan, afasia, kelemahan otot, paresis, dan
kematian).
e. Infeksi lain yang umum terjadi yang mengenai sistem saraf mencakup Toxoplasma
gondii, CMV, dan infeksi Mycobacterium tuberculosis.
f. Neuropati sentral dan perifer, termasuk mielopati vaskular (paraparesis spastik,
ataksia, dan inkontinensia).

19
2.1.5.6 Depresif
a. Depresi disebabkan oleh banyak faktor dan dapat mencakup riwayat penyakit
mental sebelumnya, gangguan neuropsikiatrik, faktor psikososial, atau respons
terhadap gejala penyakit.
b. Individu penderita HIV AIDS yang mengalami depresi dapat mengalami rasa
bersalah dan malu yang tidak rasional, kehilangan harga diri, merasa tidak berdaya
dan tidak berharga, serta memiliki gagasan untuk bunuh diri.

2.1.5.7 Integumen
a. Virus sarkoma kaposi, herpes simpleks, dan herpes zoster serta berbagai bentuk
dermatitis dihubungkan dengan vesikel yang terasa nyeri.
b. Folikulitis, yang berhubungan dengan kulit kering dan bersisik atau dermatitis
atopik (eksema atau psoriasis).

2.1.5.8 Ginekologi
a. Kandidiasis vaginal berulang dan persisten mungkin merupakan tanda pertama
infeksi HIV.
b. Penyakit menular seksual ulseratif, syankroid, sifilis, dan herpes, lebih berat pada
wanita penderita HIV.
c. HPV (Human Papillomavirus) menyebabkan kutil kelamin dan merupakan faktor
resiko neoplasia intraepitel serviks, suatu perubahan sel yang sering kali menjadi
pencetus terjadinya kanker serviks.
d. Wanita penderita HIV 10 kali lebih cenderung mengalami neoplasia intraepitel
serviks.
e. Wanita penderita HIV memiliki insidensi penyakit radang panggul dan
abnormalitas menstruasi (amenorea atau perdarahan di antara periode menstruasi)
yang lebih tinggi.

2.1.6 Penatalaksanaan Medis


Konfirmasi antibodi HIV dilakukan dengan menggunakan enzim immunoassay (EIA
sebelumnya disebut enzyme-linked immunosorbent assay [ELISA]), Western blot

20
assay dan tes beban virus seperti metode amplifikasi (penggandaan) target. Selain
assay antibodi HIV-1 ini, kini tersedia dua teknik tambahan: tes saliva OraSure dan tes
OraQuick Rapid HIV-1 (Brunner dan Suddarth’s dalam Smeltzer 2016).

2.1.6.1 Pengendalian dan terapi infeksi Oportunistik


Tujuan utama dari penatalaksanaan pasien AIDS yang sakit kritis adalah
menghilangkan, mengendalikan, atau pemulihan infeksi oportunistik, infeksi
nosokomial, atau sepsis (Desmawati, 2013). Penatalaksanaan infeksi-infeksi
oportunistik diarahkan pada dukungan pada sistem-sistem yang terlibat. Digunakan
agen-agen farmakologik spesifik untuk mengidentifikasi organism juga agen-agen
eksperimental atau organism yang tidak umum. Pada lingkungan perawat kritis,
prosedur-prosedur isolasi tambahan seperti tindakan kewaspadaan neutropenik
mungkin diperlukan untuk mencegah tenaga perawatan kesehatan dari penularan
organisme lingkungan yang umum kepada pasien dengan AIDS. Infeksi stafilokokus
adalah perhatian utama pada lingkungan perawatan kritis. Pasien-pasien dengan AIDS
yang terinfeksi oleh bakteri ini akan mengalami septik, yang ditandai oleh demam,
hipotensi, dan takikardi. Tindakan-tindakan pengendalian infeksi yang aman untuk
mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi-komplikasi yang mengakibatkan sepsis
harus dipertahankan bagi pasien di lingkungan perawatan kritis.

Adapun pedoman untuk terapi infeksi oportunistik harus dikonsultasikan guna


mendapat rekomendasi terbaru. Fungsi imun harus ditingkatkan dengan mulai
memberikan terapi antiretrovirus yang sangat aktif (highly active antiretroviral
therapy, HAART), sehingga lebih cepat mengatasi infeksi oportunistik (Smeltzer,
2016).

a. Pneumonia Pneumocystis
1) Trimetoprim-sulfametoksazol (TMP-SMZ) adalah terapi pilihan untuk PCP
kortikosteroid tambahan harus dimulai sedini mungkin (dan tentu saja dalam
waktu 72 jam).

21
2) Regimen terapeutik alternatif (ringan sampai sedang) mencakup (1) dapson dan
TMP (2) primaquin ditambah klindamisin dan (3) suspensi atovaquon.
3) Regimen terapeutik alternatif (sedang sampai berat) mencakup (1) primaquin
ditambah klindamisin atau (2) pentamidin intravena (IV).
4) Efek merugikan mencakup hipotensi, gangguan metabolisme glukosa sehingga
memicu terjadinya diabetes mellitus akibat kerusakan pada pankreas,
kerusakan ginjal, disfungsi hati, dan neutropenia.

b. Kompleks Mycobacterium Avium


1) Dewasa dan remaja yang terinfeksi HIV harus mendapatkan kemoprofilaksis
untuk melawan penyakit kompleks Mycobacterium avium (MAC) jika jumlah
CD4+ mereka kurang dari 50 sel/µL.
2) Azitromisin (Zithromax) dan klaritromisin (Biaxin) merupakan agens
profilaksis pilihan.
3) Rifabutin adalah agen profilaksis alternatif, meskipun interaksi obat dapat
membuat agens ini sulit digunakan.

c. Meningitis Kriptokokus
1) Terapi primer terbaru untuk meningitis kriptokokus adalah amfoterisin B per
IV dengan atau tanpa flusitosin oral (5-FC, Ancobon) atau flukonazol
(Diflucan).
2) Kemungkinan efek merugikan yang serius dari amfoterisin B mencakup
anafilaksis, kerusakan ginjal, dan hati, ketidakseimbangan elektrolit, anemia,
demam, dan menggigil hebat.

d. Retinitis CMV
1) Valgansiklovir oral, gansiklovir IV, gansiklovir IV dilanjutkan dengan
valgansiklovir oral, foskarnet IV, sidofovir IV, dan implan gansiklovir
intraokular yang disetrai dengan valgansiklovir merupakan terapi yang efektif
untuk retinitis CMV.

22
2) Reaksi merugikan yang sering terjadi akibat pemberian gansiklovir adalah
neutropenia berat, yang membatasi penggunaan zidovudin (azidotimidin [AZT]
Compound S, Retrovir) secara bersamaan.
3) Reaksi merugikan yang biasa terjadi akibat foskarnet adalah nefrotoksisitas,
termasuk gagal ginjal akut, dan ketidakseimbangan elektrolit, termasuk
hipokalsemia, hiperfosfatemia, dan hipomagnesemia, yang dapat mengancam
jiwa.
4) Efek merugikan umum lainnya mencakup kejang, gangguan saluran IG,
anemia, flebitis di tempat infusi dan nyeri punggung bawah.
5) Kemungkinan supresi sumsum tulang belakang (menyebabkan penurunan
jumlah sel darah putih [SDP] dan trombosit), kandidiasis oral, dan kerusakan
hati dan ginjal yang memerlukan pemantauan ketat.

e. Infeksi lain
Asiklovir oral, famsiklovir, atau valasiklovir dapat digunakan untuk mengatasi
infeksi yang disebabkan oleh herpes simpleks atau herpes zoozter. Kandidiasis
esofagus atau oral ditangani secara topikal dengan trcohes klotrimazol (Mycelex)
oral atau suspensi nistatin. Infeksi kandidiasis (sariawan) kronis yang sulit
disembuhkan atau mengenai esofagus ditangani dengan ketokonazol (Nizoral) atau
flukonazol (Diflucan) (Smeltzer, 2016)

2.1.6.2 ARV (antiretroviral)


ARV bisa diberikan pada pasien untuk menghentikan aktivitas virus, memulihkan
sistem imun dan mengurangi terjadinya infeksi oportunistik, memperbaiki kualitas
hidup, dan menurunkan kecacatan. ARV tidak menyembuhkan pasien, namun bisa
memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang usia harapan hidup penderita
HIV/AIDS.

Obat obat ARV yang beredar saat ini sebagian besar bekerja berdasarkan siklus
replikasi HIV, sementara obat-obat baru lainnya masih dalam penelitian. Jenis-jenis
ARV mempunyai target yaitu:

23
1) Entry (saat masuk)
HIV harus masuk ke dalam sel T untuk dapat memulai kerjanya yang merusak.
HIV mula-mula melekat diri pada sel, kemudian menyatukan membran luarnya
dengan membran luar sel. Enzim reverse transcriptase dapat dihalangi oleh obat
AZT, ddC, 3TC, dan D4T, enzim integrase mungkin dihalangi oleh obat
saquinavir, Ritonivir, dan Indinivir.
2) Early replication
Sifat HIV adalah mengambil alih mesin genetik sel T. Setelah bergabung dengan
sebuah sel, HIV menaburkan bahan-bahan genetiknya ke dalam sel. Di sini HIV
mengalami masalah dengan kode genetiknya yang tertulis dalam bentuk yang
disebut RNA, sedangkan pada manusia kode genetiknya tertulis dalam DNA.
Untuk mengatasi masalah ini, HIV membuat enzym reverse transcriptase (RT)
yang menyimpan RNA-nya ke dalam DNA. Obat Nucleose RT Inhibitor (Nukes)
menyebabkan terbentuknya enzim reverse transcriptase yang cacat. Golongan non-
nucleoside RT inhibitor memiliki kemampuan untuk mengikat encim reverse
transcriptase sehingga membuat enzim itu tidak berfungsi.
3) Late replication
HIV harus menggunting sel DNA untuk kemudian memasukkan DNA-nya sendiri
kedalam guntingan tersebut dan menyambung ke dalam helaian DNA tersebut.
Alat penyambung itu adalah enzim integrase, maka obat integrase inhibitors
diperlukan untuk menghalangi penyambungan ini.
4) Assembly (perakitan/ penyatuan)
Begitu HIV mengambil alih bahan-bahan genetik sel, maka sel akan diatur untuk
membuat berbagai potongan sebagai bahan untuk membuat virus baru. Potongan
ini harus dipotong dalam ukuran yang benar yang dilakukan enzim protease HIV,
maka pada fase ini, obat jenis Protease Inhibitor diperlukan untuk menghalangi
terjadinya penyambungan ini (Desmawati, 2013)

2.1.6.3 Terapi antidiare


Terapi dengan oktreotid asetat (Sandostatin), suatu analog sintetik dari somastotatin,
telah terbukti efektif dalam menangani diare kronik yang berat.

24
2.1.6.4 Kemoterapi
a. Sarkoma Kaposi
1) Tujuan terapi adalah untuk mengurangi gejala dengan memperkecil ukuran lesi
kulit, mengurangi ketidaknyamanan yang disebabkan oleh edema dan ulserasi,
dan untuk mengontrol gejala yang berhubungan dengan mukosa atau viseral
yang terkena lesi.
2) Terapi radiasi efektif sebagai tindakan paliatif alfa-interferon dapat memicu
regresi tumor dan meningkatkan fungsi sistem imun.

b. Limfoma
Keberhasilan terapi limfoma akibat AIDS terbatas karena begitu cepatnya
perkembangan keganasan ini. Kombinasi regimen kemoterapi dan terapi radiasi
dapat memunculkan respon awal, tetapi biasanya berjangka pendek.

2.1.6.5 Terapi antidepresan


a. Terapi depresi mencakup psikoterapi yang diintegrasikan dengan farmakoterapi
(antidepresan [misalnya; imipramin, desipramin, dan fluoksetin] dan kemungkinan
psikostimulan [misalnya metilfenidat]).
b. Terapi elektrokonvulsif mungkin merupakan pilihan untuk pasien yang menderita
depresi berat yang tidak berespons terhadap intervensi farmakologi.

2.1.6.6 Terapi nutrisi


Diet sehat yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien penting
dilakukan.
a. Pasien diare harus mengkonsumsi diet rendah lemak, laktosa, serat tak larut, dan
kafein serta diet tinggi serat larut.
b. Jumlah kalori harus diukur guna mengevaluasi status nutrisi dan memulai terapi
yang tepat untuk pasien yang mengalami penurunan berat badan yang tidak jelas
penyebabnya.

25
c. Stimulan nafsu makan dapat digunakan pada pasien anoreksia yang disebabkan
oleh AIDS.
d. Suplemen oral dapat digunakan untuk melengkapi diet yang kurang kalori dan
protein.
(Smeltzer, 2016)

2.2 KONSEP DASAR PENGETAHUAN


2.2.1 Definisi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra
manusia yaitu: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui pendidikan, pengalaman orang lain,
media massa, maupun lingkungan (Notoatmodjo, 2012, dalam karya tulis ilmiah oleh
Hidayatul Karomah, 2015).

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan


seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam menumbuhkan rasa
percaya diri maupun sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan bahwa
pengetahuan merupakan fakta yang mendukung tindakan seseorang (Notoatmodjo,
dalam karya tulis ilmiah oleh Hidayatul Karomah, 2015).

Jadi, jika kita simpulkan bahwa pengertian dari pengetahuan yang terkait dengan
HIV/AIDS adalah ilmu yang mempelajari tentang konsep dasar dari HIV/AIDS yang
diantaranya meliputi pengertian, etiologi, tanda dan gejala, patofisiologi, transmisi,
cara pencegahan, dan pengobatannya. Tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS dapat
mendukung tindakan seseorang yang dicerminkan dalam sikap dan perilaku sehari-
harinya. Pengetahuan tentang HIV/AIDS juga dapat mempengaruhi pola pikir
seseorang baik itu menuju ke arah yang positif maupun negatif, tergantung dari tingkat
pemahaman mereka.

26
2.2.2 Jenis Pengetahuan
Menurut Budiman dan Riyanto (2013) pengetahuan merupakan bagian dari perilaku
kesehatan. Ada dua jenis pengetahuan sebagai berikut:
a. Pengetahuan Implisit
Pengetahuan implisit adalah pengetahuan yang terbentuk dari pengalaman
seseorang dan berisi faktor-faktor yang tidak bersifat nyata misalnya keyakinan
pribadi, perspektif, dan prinsip. Secara implisit pengetahuan sulit untuk di transfer
ke orang lain, biasanya pengetahuan ini berisi kebiasaan dan budaya.
b. Pengetahuan eksplisit
Pengetahuan secara eksplisit yaitu pengetahuan yang disimpan dalam wujud nyata
atau wujud perilaku kesehatan. Pengetahuan nyata diaplikasikan dalam tindakan
yang berhubungan dengan kesehatan. Misalnya seperti seseorang berperilaku
sehat dengan menerapkan prinsip tiga cara pencegahan penularan HIV/AIDS
dalam kehidupannya sehari-hari yaitu: abstinence (menahan nafsu), be faith ful
(setia), dan menggunakan kondom saat melakukan aktifitas seksual.

2.2.3 Proses Terjadinya Pengetahuan


Menurut Notoatmodjo (2012) pengetahuan mengungkapkan bahwa sebelum orang
mengadopsi perilaku baru didalam diri orang tersebut terjadi proses sebagai berikut:
a. Kesadaran (Awareness), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
terlebih dahulu terhadap stimulasi (obyek). Misalnya seseorang sadar bahwa ada
penyakit yang bernama HIV/AIDS.
b. Merasa (Interest), tertarik terhadap stimulasi atau obyek tersebut disini sikap
obyek mulai timbul. Misalnya seseorang mulai tertarik untuk mengetahui lebih
lanjut seputar penyakit HIV/AIDS.
c. Menimbang-nimbang (Evaluation), terhadap baik dan tidaknya stimulasi tersebut
bagi dirinya, hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. Misalnya
seseorang mulai menimbang-nimbang apakah penyakit HIV/AIDS tersebut
merugikan atau tidak untuk dirinya.
d. Mencoba (Trial), dimana subyek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai
dengan apa yang dikehendaki. Misalnya seseorang mencari informasi lebih lanjut

27
tentang bagaimana cara untuk mencegah penularan penyakit HIV/AIDS tersebut,
kemudian mulai mencoba menerapkannya.
e. Adaption, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran dan sikap terhadap stimulasi. Misalnya seseorang telah berperilaku
sesuai dengan pengetahuan yang ia dapatkan tentang HIV/AIDS dengan
kesadarannya sendiri, dan dapat menjadi sebuah kebiasaan yang baru.

Pada penelitian selanjutnya, menurut Notoatmodjo (2014), menyimpulkan bahwa


pengadopsian perilaku yang melalui proses seperti diatas dan didasari oleh
pengetahuan, kesadaran yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng
(ling lasting) namun sebaliknya jika perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan
kesadaran, maka perilaku tersebut bersifat sementara atau tidak akan berlangsung
lama. Perilaku manusia dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu aspek fisik, psikis dan
sosial yang secara terinci merupakan refleksi dari berbagai gejolak kejiwaan seperti
pengetahuan, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya yang ditentukan dan
dipengaruhi oleh faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisik dan sosial budaya.

2.2.4 Tingkat Pengetahuan


Menurut Kholid dan Notoadmodjo (2012) terdapat enam tingkat pengetahuan, yaitu:
a. Tahu (Know)
Tahu adalah mengingat kembali memori yang telah ada sebelumnya setelah
mengamati sesuatu.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan tentang suatu objek yang
diketahui dan diinterpretasikan secara benar.
c. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi adalah suatu kemampuan untuk mempraktekkan materi yang sudah
dipelajari pada kondisi real (sebenarnya).
d. Analisis (Analysis)

28
Analisis adalah kemampuan menjabarkan atau menjelaskan suatu objek atau materi
tetapi masih di dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu
dengan yang lainnya.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis adalah suatu kemampuan menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu
bentuk keseluruhan yang baru.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi adalah pengetahuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi
atau objek.

2.2.5 Cara Memperoleh Pengetahuan


Menurut Notoatmodjo (2012) dari berbagai macam cara yang telah digunakan untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, dapat dikelompokkan menjadi
dua yakni:
2.2.5.1 Cara tradisional atau non ilmiah
Cara tradisional terdiri dari empat cara yaitu :
a. Trial and Error
Cara ini dipakai orang sebelum adanya kebudayaan, bahkan mungkin sebelum
adanya peradaban. Pada waktu itu bila seseorang menghadapi persoalan atau
masalah, upaya yang dilakukan hanya dengan mencoba-coba saja. Cara coba-coba
ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah,
dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil maka di coba kemungkinan yang
lain sampai berhasil. Oleh karena itu cara ini disebut dengan metode Trial (coba)
dan Error (gagal atau salah atau metode coba salah adalah coba-coba).

b. Kekuasaaan atau otoritas


Dalam kehidupan manusia sehari-hari, banyak sekali kebiasaan dan tradisi yang
dilakukan oleh orang, penalaran, dan tradisi-tradisi yang dilakukan itu baik atau
tidak. Kebiasaan ini tidak hanya terjadi pada masyarakat tradisional saja,
melainkan juga terjadi pada masyarakat modern. Kebiasaan-kebiasaan ini seolah-

29
olah diterima dari sumbernya berbagai kebenaran yang mutlak. Sumber
pengetahuan ini dapat berupa pemimpin-pemimpin masyarakat baik formal
maupun informal, ahli agama, pemegang pemerintahan dan sebagainya.

c. Berdasarkan pengalaman pribadi


Adapun pepatah mengatakan “Pengalaman adalah guru terbaik“. Pepatah ini
mengandung maksud bahwa pengalaman itu merupakan sumber pengetahuan atau
pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan.

d. Jalan pikiran
Sejalan perkembangan kebudayaan umat kebudayaan umat manusia cara berpikir
umat manusia pun ikut berkembang. Dari sini manusia telah mampu menggunakan
penalarannya dalam memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain, dalam
memperoleh kebenaran pengetahuan manusia telah menjalankan jalan pikirannya,
baik melalui induksi maupun deduksi. Induksi dan deduksi pada dasarnya adalah
cara melahirkan pemikiran secara tidak langsung melalui pertanyaan-pertanyaan
yang dikemukakan.

2.2.5.2 Cara modern atau cara ilmiah


Cara baru memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih sistematis, logis dan ilmiah
yang disebut metode ilmiah. Kemudian metode berfikir induktif bahwa dalam
memperoleh kesimpulan dilakukan dengan mengadakan observasi langsung, membuat
catatan terhadap semua fakta sehubungan dengan objek yang diamati (Notoatmodjo,
2012).

2.2.6 Fungsi Pengetahuan


Setiap kegiatan yang dilakukan umumnya memberi manfaat. Pengetahuan merupakan
upaya manusia yang secara khusus dengan objek tertentu, terstruktur, tersistematis,
menggunakan seluruh potensi kemanusiaan dan dengan menggunakan metode tertentu.
Pengetahuan merupakan sublimasi atau intisari dan berfungsi sebagai pengendali

30
moral dari pada pluralitas keberadaan ilmu pengetahuan (Notoatmodjo, 2003 dalam
Wawan dan Dewi, 2011).

Maka dapat disimpulkan bahwa fungsi dari pemberian pengetahuan HIV/AIDS adalah
untuk menambah wawasan seseorang mengenai HIV/AIDS yang dapat merubah pola
pikir seseorang sehingga mau ikut serta berpartisipasi untuk berperilaku positif dalam
upaya pencegahan penularan dan penyebaran HIV/AIDS. Selain itu juga diharapkan
dengan meningkatnya pengetahuan HIV/AIDS, maka akan menekan angka morbiditas
dan mortalitas akibat penyakit HIV/AIDS .

2.2.7 Sumber Pengetahuan


Sumber pengetahuan dapat dibedakan atas dua bagian besar yaitu bersumber pada
daya indrawi, dan budi (intelektual) manusia. Pengetahuan indrawi dimiliki oleh
manusia melalui kemampuan indranya tetapi bersifat rasional. Pengetahuan diperoleh
manusia juga karena ia juga mengandung kekuatan psikis, daya indra memiliki
kemampuan menghubungkan hal-hal konkret material dalam ketunggalannya.
Pengetahuan indrawi bersifat parsial disebabkan oleh adanya perbedaan kemampuan
tiap indra. Pengetahuan intelektual adalah pengetahuan yang hanya dicapai oleh
manusia, melalui rasio intelegensia. Pengetahuan intelektual mampu menangkap
bentuk atau kodrat objek dan tetap menyimpannya di dalam dirinya (Notoatmodjo,
2003 dalam Wawan dan Dewi, 2011).

2.2.8 Faktor- faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan


Menurut Budiman dan Riyanto (2013) faktor yang mempengaruhi pengetahuan
meliputi:
a. Pendidikan
Pendidikan adalah proses perubahan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok
dan merupakan usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan.

31
b. Informasi/ Media Massa
Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan,
memanipulasi, mengumumkan, menganalisis dan menyebarkan informasi dengan
tujuan tertentu.
c. Sosial, Budaya dan Ekonomi
Tradisi atau budaya seseorang yang dilakukan tanpa penalaran apakah yang
dilakukan baik atau buruk akan menambah pengetahuannya walaupun tidak
melakukan. Status ekonomi juga akan menentukan tersedianya fasilitas yang
dibutuhkan untuk kegiatan tertentu sehingga status ekonomi akan mempengaruhi
pengetahuan seseorang.
d. Lingkungan
Lingkungan mempengaruhi proses masuknya pengetahuan kedalam individu
karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan direspons sebagai
pengetahuan oleh individu. Lingkungan yang baik akan pengetahuan yang
didapatkan akan baik tapi jika lingkungan kurang baik maka pengetahuan yang
didapat juga akan kurang baik.
e. Pengalaman
Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman orang lain maupun diri sendiri
sehingga pengalaman yang sudah diperoleh dapat meningkatkan pengetahuan
seseorang. Pengalaman seseorang tentang suatu permasalahan akan membuat
orang tersebut mengetahui bagaimana cara menyelesaikan permasalahan dari
pengalaman sebelumnya yang telah dialami sehingga pengalaman yang didapat
bisa dijadikan sebagai pengetahuan apabila mendapatkan masalah yang sama.
f. Usia
Semakin bertambahnya usia maka akan semakin berkembang pula daya tangkap
dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperoleh juga akan semakin
membaik dan bertambah.

Menurut Zulyanto dkk (2014), beberapa faktor penyebab tingginya kasus HIV/AIDS
di Indonesia, diantaranya adalah masih rendahnya pengetahuan yang memadai tentang

32
HIV/AIDS. Masyarakat umumnya memiliki persepsi bahwa infeksi HIV/AIDS hanya
menular pada kelompok beresiko tinggi, terutama pekerja seks, pengguna jarum
suntik, ataupun pasangan homoseksual. Dengan demikian, masyarakat menjadi kurang
waspada dan kurang sadar bahwa sesungguhnya infeksi HIV/AIDS telah meluas dan
bisa di derita oleh siapapun. Data yang ada memperlihatkan bahwa kasus AIDS
sebagian besar justru dialami oleh ibu rumah tangga, pekerja swasta, buruh, anak
sekolah/ mahasiswa, PNS, ataupun petani. Rendahnya pengetahuan juga menyebabkan
stigma dan diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS masih kerap terjadi. Biasanya
timbul persepsi terhadap penderita HIV/AIDS berkaitan dengan nilai-nilai, seperti rasa
malu, sikap menyalahkan, dan menghakimi (Tri Paryati dkk, 2013). UNAIDS (2013)
bahkan menekankan bahwa persistensi stigma dan diskriminasi telah menjadi masalah
utama untuk menangani HIV secara efektif di banyak negara. Pengalaman di beberapa
negara yang sukses mengurangi kasus HIV/AIDS, termasuk Zimbabwe, menunjukkan
bahwa peningkatan pengetahuan HIV/AIDS terbukti mampu mengurangi perilaku seks
bebas, terutama pada kelompok usia remaja.

2.2.9 Mengukur Tingkat Pengetahuan


Menurut Budiman dan Riyanto (2013) pengetahuan seseorang ditetapkan menurut hal-
hal berikut :
a. Bobot I : tahap tahu dan pemahaman
b. Bobot II : tahap tahu, pemahaman, aplikasi dan analisis
c. Bobot III : tahap tahu, pemahaman, aplikasi, analisis sintesis dan evaluasi

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu wawancara atau
kuesioner yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subjek penelitian
atau responden. Dalam mengukur pengetahuan harus diperhatikan rumusan kalimat
pertanyaan menurut tahapan pengetahuan, Budiman dan Riyanto (2013).

Menurut Skinner (2007) didalam buku Budiman dan Riyanto (2013) pengukuran
tingkat pengetahuan dilakukan bila seseorang mampu menjawab mengenai materi

33
tertentu baik secara lisan maupun tulisan, maka dikatakan seseorang tersebut
mengetahui bidang tersebut. Sekumpulan jawaban yang diberikan tersebut dinamakan
pengetahuan.

Menurut Arikunto (2006) dalam Wawan dan Dewi (2011) pengetahuan seseorang
dapat diketahui dan diinterprestasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu:
a. Baik : Hasil presentase 76% - 100%
b. Cukup : Hasil presentase 56% - 75%
c. Kurang : Hasil presentase < 56%

2.3 KONSEP DASAR SPIRITUALITAS


2.3.1 Pengertian Spiritualitas
Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan yang Maha Kuasa dan
Maha Pencipta. Sebagai contoh seseorang yang percaya kepada Allah sebagai Pencipta
atau sebagai Maha Kuasa. Menurut Burkhart (1993) dalam Buku Asuhan Keperawatan
Kesehatan Jiwa tahun 2009, spiritualitas meliputi aspek sebagai berikut.
a. Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam
kehidupan.
b. Menemukan arti dan tujuan hidup.
c. Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri
sendiri.
d. Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang Maha
Tinggi

Mickey et al (1992) dalam Buku Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa tahun 2009,
menguraikan spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi eksistensial
dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan,
sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang denga Tuhan Yang
Maha Penguasa. Selanjutnya, Stoll (1989) dalam Buku Asuhan Keperawatan
Kesehatan Jiwa tahun 2009, menguraikan bahwa spiritualitas sebagai konsep dua
dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal adalah

34
hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan
seseorang. Dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri, dengan
orang lain, dan dengan lingkungan.

Menurut Florence Nightingale dalam Yusuf, dkk (2016), Spirituality adalah proses
kesadaran menanamkan kebaikan secara alami, yang mana menemukan kondisi terbaik
bagi kualitas perkembangan yang lebih tinggi. Spiritualitas mewakili totalitas
keberadaan seseorang dan berfungsi sebagai perspektif pendorong yang menyatukan
berbagai aspek individual. Spiritualitas dalam keperawatan, adalah konsep yang luas
meliputi nilai, makna dan tujuan, menuju inti manusia seperti kejujuran, cinta, peduli,
bijaksana, penguasaan diri dan rasa kasih, sadar akan adanya kualitas otoritas yang
lebih tinggi, membimbing spirit atau transenden yang penuh dengan kebatinan,
mengalir dinamis seimbang dan menimbulkan kesehatan tubuh-pikiran-spirit

2.3.2 Faktor-faktor kebutuhan spiritual


Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan spiritual antara lain :
a. Perkembangan
Usia perkembangan dapat menentukan proses pemenuhan kebutuhan spiritual,
karena setiap tahap perkembangan memiliki cara meyakini kepercayaan terhadap
Tuhan.
b. Keluarga
Keluarga memiliki peran yang cukup strategis dalam memenuhi kebutuhan
spiritual, karena keluarga memiliki ikatan emosional yang kuat dan selalu
berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari.
c. Ras/suku
Ras/suku memiliki keyakinan/kepercayaan yang berbeda, sehingga proses
pemenuhan kebutuhan spiritual pun berbeda sesuai dengan keyakinan yang
dimiliki.
d. Agama yang dianut
Keyakinan pada agama tertentu yang dimiliki oleh seseorang dapat menentukan
arti pentingnya kebutuhan spiritual.

35
e. Kegiatan keagamaan
Adanya kegiatan keagamaan dapat selalu mengingatkan keberadaan dirinya
dengan Tuhan dan selalu mendekatkan diri kepada Penciptanya (Asmadi, 2008).

2.3.3 Komunikasi Terapeutik dalam Memahami Spiritualitas


Aturan American Nurses Associated untuk perawat (1985) dalam sheila (2012)
menyatakan bahwa perawat harus menjamin martabat manusia pada semua klien tanpa
memperhatikan perbedaan budaya, status ekonomi, asal etnik, kebangsaan, politik, ras,
agama, peran, dan orentasi seksual. Kesejahteraan spiritual klien sama pentingnya
dengan komponen fisik dan psikososial asuhan keperawatan.

Spiritualitas merupakan keyakinan klien tentang kehidupan, kesehatan, penyakit,


kematian, dan hubungan individu dengan alam semesta (Gary & Kavanagh, 1991,
dalam buku Ajar Keperawatan Jiwa, sheila, 2012). Spiritualitas berbeda dari agama:
agama merupakan sistem keyakinan yang terorganisasi tentang satu atau lebih
kekuatan yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui yang mengatur alam semesta dan
memberi pedoman untuk hidup harmonis dengan alam semesta dan sesama (Andrew &
Boyle, 1999, dalam buku Ajar Keperawatan Jiwa, sheila, 2012). Keyakinan agama dan
keyakinan spiritual biasanya didukung oleh individu lain dengan keyakinan yang sama
dan mengikuti aturan dan ritual yang sama dalam kehidupan sehari-hari. Spiritualitas
dan agama sering memberi rasa nyaman dan harapan kepada individu dan dapat sangat
mempengaruhi kesehatan dan praktik perawatan kesehatan individu.

Perawat pertama kali harus mengkaji keyakinan agama dan keyakinan spiritualnya.
Agama dan spiritualitas merupakan isu yang sangat subyektif dan dapat sangat
bervariasi pada setiap individu. Perawat harus tetap objektif dan tidak menghakimi
keyakinan klien dan tidak boleh membiarkan keyakinan klien mengubah asuhan
keperawatan. Perawat harus mengkaji kebutuhan spiritual dan kebutuhan keagamaan
klien dan menjaga agar tidak memaksakan keyakinan pada klien. Perawat harus
memastikan bahwa klien tidak diabaikan atau diejek karena nilai dan keyakinannya

36
berbeda dari nilai dan keyakinan staf (Burges, 1997, dalam buku Ajar Keperawatan
Jiwa, sheila, 2012).

Saat hubungan terapeutik berkembang, perawat harus menyadari dan menghormati


keyakinan agama dan keyakinan spiritual klien. Mengabaikan atau bersikap
menghakimi akan mengurangi rasa percaya dengan cepat dan dapat menghancurkan
hubungan. Misalnya, perawat yang menangani klien penduduk asli Amerika melihat
klien tersebut memandang langit dan berbicara kepada “Tuhan”. Apabila perawat tidak
menyadari bahwa spiritualitas klien menjelma semua benda dengan roh, termasuk
matahari, bulan, bumi, dan pohon, perawat dapat keliru menginterpretasi tindakan
klien tidak tepat.

Karena keyakinan dan praktik spiritual serta keyakinan dan praktik agama membantu
banyak klien melakukan koping terhadap stress dan penyakit, perawat harus sangat
peka terhadap keyakinan dan praktik spiritual klien serta menerimanya.
Menggabungkan praktik tersebut ke dalam perawatan klien dapat membantu klien
melakukan koping terhadap penyakit dan menemukan makna serta tujuan dalam
situasi tersebut dan dapat menawarkan sumber dukungan yang kuat.

2.3.4 Respons Adaptif Spiritual


Respons Adaptif Spiritual dikembangkan dari konsep Ronaldson (2000), Kauman, dan
Nipan (2003), dalam buku Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS,
2013. Respons adaptif spiritual, meliputi: harapan yang realistis, tabah dan sabar, serta
pandai mengambil hikmah. Dibawah ini adalah skema 2.3.1, yang menggambarkan
secara singkat mengenai hubungan antara mekanisme koping dengan stress yang dapat
dikaitkan dengan penderita HIV/AIDS.

37
Rangsangan
Fisika, Kimia, Psikis, Sosial

Individu

ADAPTIF BEBAN EKSTRA

Mekanisme Koping Perubahan Neurohormonal

Perubahan Perubahan Perilaku


Jaringan Organ

Skema 2.3.1 Hubungan antara Mekanisme Koping dengan Stres


Sumber: Notosoedirdjo M, 1998 (dalam buku buku Asuhan Keperawatan pada Pasien
Terinfeksi HIV/AIDS, 2013)

2.3.5 Asuhan Keperawatan Respon Spiritual


Asuhan keperawatan pada aspek spiritual ditekankan pada penerimaan pasien terhadap
sakit yang dideritanya (Ronaldson [2000], dalam buku Asuhan Keperawatan pada
Pasien Terinfeksi HIV/AIDS, 2013), sehingga pasien HIV akan dapat menerima
dengan ikhlas terhadap sakit yang dialami dan mampu mengambil hikmah. Asuhan
keperawatan yang dapat diberikan adalah:
a. Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan
Harapan merupakan salah satu unsur yang penting dalam dukungan sosial. Orang
bijak mengatakan “hidup tanpa harapan akan membuat orang putus asa dan bunuh
diri”. Perawat harus meyakinkan kepada pasien bahwa sekecil apapun
kesembuhan, akan memberikan ketenangan dan keyakinan pasien berobat.

b. Pandai mengambil hikmah


Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan kepada pasien
untuk selalu berfikir positif terhadap semua cobaan yang dialaminya. Dibalik
semua cobaan yang dialami pasien, pasti ada maksud dari Sang Pencipta. Pasien

38
harus difasilitasi untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan jalan
melakukan ibadah secara terus-menerus. Sehingga pasien diharapkan memperoleh
suatu ketenangan selama sakit.

c. Ketabahan hati
Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati dalam
menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat akan tabah
dalam menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut biasanya mempunyai
keteguhan hati dalam menentukan kehidupannya.

Ketabahan hati sangat dianjurkan kepada pasien HIV. Perawat dapat menguatkan
diri pasien dengan memberikan contoh nyata dan atau mengutip kitab suci atau
pendapat orang bijak; bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada umat-
Nya, melebihi kemampuannya (Al Baqarah, 2:286). Pasien harus diyakinkan
bahwa semua cobaan yang diberikan pasti mengandung hikmah yang sangat
penting dalam kehidupannya.

Pada respons spiritual pasien HIV, penggunaan strategi koping meningkatkan


harapan dan ketabahan pasien serta memicu pasien untuk pandai mengambil
hikmah. Pada tabel 2.3.1, dalam Uji Wilcoxon Signed Rank Teset menjelaskan
tentang bagaimana pengaruh model PAKAR terhadap respons spiritual pada pasien
terinfeksi HIV. Hasil Uji Mann-Whitney respons sosial pada semua subvariabel
pada kelompok PAKAR menunjukkan hasil yang signifikan. Sebaliknya, pada
kelompok standar semua subvariabel spiritual tidak menunjukkan perubahan yang
signifikan.

39
Tabel 2.3.1 Uji Wilcoxon Signed Rank Test (Pre-post) Respons Spiritual
Kelompok PAKAR dan Standar
Pakar Standar
Respons
Z Hitung Signifikansi Z Hitung Signifikansi
Harapan -3,758 P=0,000 -0,775 P=0,439
Tabah -3,848 P=0,000 -1,941 P=0,052
Hikmah -3,368 P=0,001 -0,812 P=0,417
Sumber: Nursalam, dalam buku Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi
HIV/AIDS, 2013

2.3.6 Mengukur Tingkat Spiritualitas


Ada bebrapa cara untuk mengukur tingkat spiritualitas. Dalam penelitian ini, hanya
akan menggunakan dua macam alat ukur spiritualitas yaitu dengan menggunakan
Daily Spiritual Experience Scale (DSES) dan kuesioner respon spiritual khusus pada
ODHA. Dibawah ini akan dijelaskan secara singkat tentang kedua instrumen tersebut.

2.3.6.1 Daily Spiritual Experience Scale (DSES)


Daily Spiritual Experience Scale (DSES) adalah Instrument self-deskripsi dibuat dan
dirancang oleh Underwood dan Teresi (2002). Peneliti memungkinkan mengukur
pengalaman spiritual sebagai aspek penting dari spiritualitas/religiusitas dalam
kehidupan sehari-hari. Skala dengan 15 item termasuk konstruksi seperti rasa takut,
rasa syukur, pengampunan, rasa persatuan dengan transenden, cinta kasih, dan
keinginan untuk kedekatan dengan Allah. Alat ukur pada awalnya dikembangkan
untuk studi di bidang kesehatan, tetapi telah semakin banyak digunakan, yang secara
luas dalam ilmu-ilmu sosial, program penilaian, dan untuk memeriksa perubahan
dalam percobaan agama / spiritual dari waktu ke waktu (Wahyuni, 2015).

Daily Spiritual Experience Scale (DSES) terdiri 15 item laporan diri mengukur
pengalaman spiritual. Secara khusus bertujuan untuk mengukur pengalaman spiritual
yang biasa dilakukan atau sehari-hari, bukan pengalaman mistik (seperti, mendengar

40
suara-suara) dan bagaimana semua itu adalah bagian dari kehidupan sehari-hari
individu. 14 item kuesioner pertama diukur pada 6 point jenis skala Likert: beberapa
kali sehari, setiap hari, hampir setiap hari, beberapa hari, sesekali, dan tidak pernah
atau hampir tidak pernah. Item 15 diukur pada skala 4 point: Tidak Dekat ada di
Semua, Sedikit Dekat, Sangat Dekat, jarak sedekat mungkin (Wahyuni, 2015).

Prosedur ini adalah untuk menghasilkan model dua faktor: Faktor 1 ditetapkan sebagai
hubungan vertikal (Tuhan / Transenden), yang terdiri dari 12 item (misalnya,
Pertemuan pada agama atau spiritualitas), α = 0,87. Faktor 2 dicirikan sebagai
hubungan horizontal (manusia / orang lain), yang terdiri dari tiga item (misalnya, Saya
merasa peduli tanpa pamrih pada orang lain), α = 0,59. Dibawah ini adalah tabel yang
menjelaskan tentang pengelompokan item yang terdiri dari item persepsi tentang
adanya sesuatu yang bersifat transdien (vertikal) dan item persepsi tentang peristiwa
transdien (horizhontal).

Tabel 2.3.2.
Blue print skala pengalaman spiritualitas
No. Indikator Item Jumlah
1. Persepsi tentang adanya sesuatu 1,3,7,8,9,12,15 7
yang bersifat transdien (hubungan
dengan Tuhan/ vertikal)
2. Persepsi tentang peristiwa transdien 2,4,5,6,10,11,13,14 8
Jumlah 15
Sumber: Rahmawati, 2016
Adapun hasil pengukuran 15 item pertanyaan dalam DSES, adalah sebagai berikut:
a. Nilai 15-40 = tingkat spiritualitas rendah
b. Nilai 41-65 = tingkat spiritualitas sedang
c. Nilai 66-90 = tingkat spiritualitas tinggi
Dengan hasil pengukuran satu item pernyataan tentang kedekatan dengan Tuhan akan
dihasilkan dalam distribusi frekuensi kedekatan ODHA dengan Tuhan (Rahmawati,
2016).

41
2.3.6.2 Kuesioner Respon Spiritual
Jenis instrumen penelitian yang dapat dipergunakan pada ilmu keperawatan dapat
diklasifikasikan menjadi 5 bagian, yang meliputi pengukuran (1) biofisiologis; (2)
observasi; (3) wawancara, (4) kuesioner, dan (5) skala (Nursalam, 2014). Adapun
jenis instrumen spiritual lainnya yang dipakai oleh peneliti diadopsi dari buku
Nursalam 2014 adalah jenis kuesioner respon spiritual yang berfokus pada ODHA.
Pada jenis pengukuran ini peneliti mengumpulkan data secara formal kepada subjek
untuk menjawab pertanyaan secara tertulis dengan menggunakan multiple choice, dan
skala pengukuran menggunakan Likert Scale.

Terdiri dari 10 item pertanyaan, dengan pilihan jawaban: “selalu” nilainya 3, “sering”
nilainya 2, “kadang-kadang” nilainya 1, “tidak pernah” nilainya 0. Pertanyaan 1
sampai 3 mengandung makna “harapan”, pertanyaan 4 sampai 7 mengandung makna
“Tabah/ sabar”, dan pertanyaan 8 sampai 10 mengandung makna “hikmah”. Kemudian
makna harapan memiliki jumlah nilai 9, makna tabah/ sabar memiliki jumlah nilai 12,
dan makna hikmah memiliki jumlah nilai 9, sehingga jumlah keseluruhannya bernilai
30. Di bawah ini adalah tabel respon spiritual yang digunakan pada pasien HIV/AIDS:

Tabel 2.3.3.
Respons Spiritual (10 x 3) = 30
Tidak
Selalu Sering Kadang
No. Pertanyaan pernah Kode
3 2 1
0
1. Saya percaya tanpa
bantuan Tuhan
saya tidak mungkin
sembuh

2. Selama dirawat di
rumah sakit, saya
menggunakan
waktu lebih banyak
untuk mendekatkan
diri pada Tuhan

42
Tidak
Selalu Sering Kadang
No. Pertanyaan pernah Kode
3 2 1
0
3. Saya yakin dengan
usaha keras, sakit
yang saya alami
bisa disembuhkan
4. Dengan berdoa
saya mendapat
semangat untuk
tabah menanggung
sakit
5. Kalau saya banyak
berdoa, saya
merasa tenang dan
damai
6. Saya tetap sabar
menghadapi
cobaan berupa sakit
ini
7. Saya merasa hidup
lebih berarti kalau
saya tabah dalam
menghadapi
cobaan
8. Saya merasa sakit
yang saya alami
merupakan
peringatan dari
Tuhan
9. Sakit yang saya
alami merupakan
cara dari Tuhan
agar bisa menerima
dan
memahami diri dan
orang lain
10. Saya percaya
bahwa di balik
penderitaan ini
pasti ada
hikmahnya
Sumber: Nursalam (2014)

43
2.4 PERILAKU PENCEGAHAN PENULARAN HIV/AIDS
2.4.1 Perilaku
2.4.1.1 Definisi Perilaku
Perilaku dapat didefinisikan dari berbagai sudut pandang. Dari sudut biologis, perilaku
dapat diartikan sebagai suatu kegiatan atau aktifitas organisme yang bersangkutan,
baik yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. Perilaku manusia
adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri (Notoatmodjo, 1993, dalam buku
Psikologi untuk Keperawatan, Sunaryo, 2014).

Sementara itu, secara operasional, perilaku dapat diartikan sebagai suatu respons
organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut
(Notoatmodjo, 1993, dalam buku Psikologi untuk Keperawatan, Sunaryo, 2014).
Ensiklopedia Amerika juga menyebutkan bahwa perilaku juga diartikan sebagai suatu
aksi-reaksi organisme terhadap lingkungannya. Perilaku baru dapat terjadi apabila ada
sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni disebut rangsangan. Artinya
rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu (Notoatmodjo,
1993, dalam buku Psikologi untuk Keperawatan, Sunaryo, 2014).

Ahli psikologi lainnya, Kwick (1974, dalam buku Psikologi untuk Keperawatan,
Sunaryo, 2014), mengungkapkan bahwa perilaku adalah tindakan suatu organisme
yang dapat diamati dan dipelajari. Pada dasarnya, perilaku manusia adalah proses
interaksi individu dengan lingkungannya sebagai manifestasi hayati bahwa dia adalah
makhluk hidup (Kusmiyati dan Desminiarti, 1990 dalam buku Psikologi untuk
Keperawatan, Sunaryo, 2014). Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa
perilaku manusia adalah aktivitas yang timbul karena adanya stimulus dan respon,
serta dapat diamati baik secara langsung maupun tidak langsung (Sunaryo, 2014).

2.4.1.2 Perilaku Manusia


Perilaku adalah operasionalisasi dan aktualisasi sikap seseorang atau sekelompok
orang dalam atau terhadap suatu (situasi dan kondisi) lingkungan masyarakat, alam,
teknologi, dan organisasi (Ndraha dalam Pasolong, 2008, dalam Nawi, 2017).

44
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan perilaku merupakan aktualisasi sikap
seseorang atau sekelompok orang dalam wujud tindakan atau aktivitas sebagai hasil
interaksi dengan lingkungannya. Tindakan atau aktivitas tersebut didasari atas
kebutuhan, motivasi, dan tujuan. Sedangkan lingkungan yang dimaksud adalah
organisasi dimana individu atau sekelompok orang berkarya.

Perilaku adalah suatu reaksi psikis seseorang terhadap lingkungannya. Dari batasan
dapat diuraikan bahwa reaksi dapat diuraikan bermacam-macam bentuk, yang pada
hakekatnya digolongkan menjadi dua, yaitu bentuk pasif (tanpa tindakan nyata atau
konkret) dan dalam bentuk aktif (dengan tindakan nyata atau konkret). Perilaku adalah
keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi
tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek dilingkungan sekitarnya. Dalam
pengertian umum perilaku adalah segala perbuatan tindakan yang dilakukan makhluk
hidup. Perilaku adalah suatu aksi dan reaksi suatu organisme terhadap lingkungannya.
Hal ini berarti bahwa perilaku baru berwujud bila ada sesuatu yang diperlukan untuk
menimbulkan tanggapan yang disebut rangsangan. Dengan demikian suatu rangsangan
tentu akan menimbulkan perilaku tertentu pula (Manuntung, 2018).

Sarwono (2000, dalam buku Psikologi untuk Keperawatan, Sunaryo, 2014), dalam
bukunya Pengantar Umum Psikologi, mengungkapkan bahwa perilaku manusia
berbeda dengan makhluk yang lain, termasuk ciri-cirinya. Adapun ciri-ciri perilaku
manusia yang membedakan dari makhluk lain adalah kepekaan sosial, kelangsungan
perilaku, orientasi pada tugas, usaha dan perjuangan, serta keunikan setiap individu.

Dari beberapa uraian tentang definisi perilaku diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
perilaku adalah sebagai suatu aksi dan reaksi makhluk hidup terhadap lingkungan
sekitarnya, dengan didasari atas kebutuhan, motivasi, dan tujuan. Selain itu, perilaku
manusia berbeda dengan makhluk lain, perbedaan tersebut adalah kepekaan sosial,
kelangsungan perilaku, orientasi pada tugas, usaha dan perjuangan, serta keunikan
setiap individu, yang akan diuraikan sebagai berikut:

45
Pertama, kepekaan sosial, artinya kemampuan manusia untuk dapat menyesuaikan
perilakunya sesuai harapan dan pandangan orang lain. Manusia, disamping sebagai
makhluk biologis dan makhluk sosial, dalam hidupnya memerlukan kawan dan perlu
bekerja sama dengan orang lain. Perilaku manusia bersifat situasional, artinya periaku
manusia akan berbeda pada situasi yang berbeda. Misalnya, perilaku manusia pada
saat membesuk orang yang sedang sakit di rumah sakit, berbeda dengan perilaku pada
saat menghadiri resepsi; perilaku pada saat takziah (melayat) berbeda dengan perilaku
pada saat mengikuti pesta; dan perilaku manusia akan berbeda pada saat menghadapi
orang sedang marah, bersenang-senang, tertimpa musibah, belajar, mengikuti seminar,
dan sebagainya.

Kedua, kelangsungan perilaku, artinya perilaku manusia terjadi secara


berkesinambungan (kontinuitas), bukan secara sporadis. Jadi, antara perilaku yang
satu dengan perilaku yang lain terdapat kaitannya, perilaku sekarang adalah kelanjutan
perilaku di masa lalu, dan seterusnya. Dengan kata lain, perilaku manusia terjadi
secara berkesinambungan, bukan secara serta-merta.

Jadi, sebenarnya perilaku manusia tidak pernah berhenti pada suatu saat. Perilaku pada
masa lalu merupakan persiapan bagi perilaku di masa mendatang, dan perilaku di masa
mendatang merupakan kelanjutan perilaku masa lalu. Fase perkembangan manusia
bukan merupakan fase perkembangan yang berdiri sendiri, terlepas dari perkembangan
lain dalam kehidupan manusia. Misalnya, seorang mahasiswa Diploma 3 (D3)
Keperawatan yang setiap hari mengikuti kuliah, akhirnya lulus dan memiliki
kepandaian, keterampilan, dan kompetensi di bidang keperawatan, kemudian
mendapatkan pekerjaan, memperoleh penghasilan, berumah tangga, memiliki
keturunan, mendapatkan cucu, dan seterusnya.

Ketiga, orientasi pada tugas, artinya setiap perilaku manusia selalu memiliki orientasi
pada suatu tugas tertentu. Seorang mahasiswa yang rajin belajar menuntut ilmu,
orientasinya adalah dapat menguasai ilmu pengetahuan tertentu. Demikian juga pada
individu yang bekerja, mereka berorientasi untuk menghasilkan sesuatu. Misalnya,

46
seorang mahasisiwa yang sedang giat belajar menghadapi ujian semester, pada malam
hari perlu tidur agar besok pagi badan terasa segar dan mampu mengerjakan soal
dengan baik; seorang pegawai yang seharian bekerja perlu beristirahat dan perlu
berekreasi. Contoh perilaku pegawai ini sebenarnya berorientasi pada tugas dan harus
dipenuhi agar ia dapat menghimpun tenaga atau energi kembali sehingga dapat bekerja
dengan semangat.

Keempat, usaha dan perjuangan. Usaha dan perjuangan pada manusia telah dipilih dan
ditentukan sendiri, serta tidak akan memperjuangkan sesuatu yang memang tidak ingin
diperjuangkan. Jadi, sebenarnya manusia memiliki cita-cita (aspiration) yang ingin
diperjuangkannya, sedangkan hewan hanya berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang
sudah tersedia di alam.

Contoh yang dapat dikemukakan adalah seorang mahasiswa yang akan pergi kuliah ke
kampus menggunakan bus.calon penumpang pada pagi hari sangat banyak sehingga
tiap orang harus berusaha dengan susah payah utnuk dapat naik bus. Walaupun banyak
bus yang tersedia, mahasiswa tersebut hanya akan berusaha naik bus ke jurusan
kampus tempat ia kuliah, sedangkan bus-bus ke jurusan lainnya akan dibiarkan saja,
walaupun jurusan tersebut penumpangnya tidak sepenuh bus yang akan ditumpangi.

Kelima, keunikan setiap individu. Unik di sini mengandung arti bahwa manusia yang
satu berbeda dengan manusia yang lain, tidak ada dua manusia yang sama persis di
muka bumi ini, walaupun ia dilahirkan kembar. Manusia memiliki ciri-ciri, sifat,
watak, tabiat, kepribadian, dan motivasi tersendiri yang membedakannya dari manusia
lainnya. Perbedaan pengalaman yang dialami individu pada masa lalu dan cita-citanya
di kemudian hari menentukan perilaku individu di masa kini yang berbeda-beda pula.

2.4.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku


Perilaku manusia tidak terbentuk dengan sendirinya, namun dipengaruhi oleh bebrapa
faktor. Secara umum, perilaku manusia dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu

47
kebutuhan, motivasi, faktor perangsang dan penguat, serta sikap dan kepercayaan.
Keempat faktor tersebut akan dibahas secara ringkas berikut ini.
a. Kebutuhan
Pada dasarnya, manusia memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi setiap
harinya. Tokoh yang terkenal dengan teori kebutuhan adalah Abraham Harold
Maslow (1 April 1908-8 Juni 1979). Maslow (1970, dalam buku Psikologi untuk
Keperawatan, Sunaryo, 2014) menjelaskan bahwa manusia memiliki kebutuhan
dasar, yaitu kebutuhan fisiologis/ biologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan
mencintai dan dicintai, kebutuhan akan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri.
Kelima kebutuhan ini dijelaskan dalam bentuk hierarki yang sering dikenal dengan
Hierarki Kebutuhan Maslow, seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.4.1 dibawah
ini

Gambar 2.4.1 Hierarki Kebutuhan Maslow

Pertama, kebutuhan fisiologis/ biologis merupakan kebutuhan pokok yang utama


bagi manusia. Kebutuhan ini meliputi oksigen (O2), air (H2O), cairan dan elektrolit,
serta makanan/minuman dan seks. Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan
terjadi ketidakseimbangan fisiologis. Misalnya, kekurangan O2 dapat menimbulkan
sesak napas, kekurangan cairan dan elektrolit dapat menyebabkan dehidrasi.

48
Kedua, kebutuhan rasa aman. Keamanan mutlak diperlukan manusia. Tanpa
adanya keamanan, manusia akan merasa selalu terancam dalam menjalani
kehidupan. Misalnya, rasa aman terhidar dari pencurian, perampokan, dan
kejahatan; rasa aman terhindar dari konflik, tawuran, kerusuhan, peperangan, dan
sebagainya; rasa aman memperoleh perlindungan hukum; rasa aman terhindar dari
sakit dan penyakit.

Kebutuhan yang ketiga adalah kebutuhan mencintai dan dicintai. Cinta dan kasih
sayang dapat dirasakan oleh setiap manusia. Misalnya, seseorang mendambakan
kasih sayang/ cinta kasih dari orang lain, baik dari orang tua, saudara, teman,
maupun kekasih; seseorang ingin dicintai atau mencintai orang lain; seseorang
ingin diterima oleh kelompok tempat ia berada.

Keempat adalah kebutuhan akan harga diri. Seseorang dapat merasa tidak dihargai
apabila harga dirinya terancam. Misalnya, hasil kerja seseorang ingin dihargai dan
ia pun harus menghargai hasil kerja orang lain; seseorang bersikap toleransi atau
saling menghargai dalam kehidupan sehari-hari.

Terakhir (kelima), kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan


yang berada pada tingkat paling atas dalam hierarki kebutuhan manusia. Contoh
yang dapat diambil terkait aktualisasi diri adalah seseorang ingin dipuji atau
disanjung orang lain; seseorang ingin sukses atau berhasil dalam mencapai cita-
cita; seseorang ingin lebih menonjol dan berhasil dibandingkan orang lain, baik
dalam karier, usaha, keyakinan, dan sebagainya.

Tingkat dan jenis kebutuhan tersebut tidak dapat dipisahkan antara satu dengan
yang lain karena merupakan satu kesatuan atau rangkaian, walaupun pada
hakikatnya kebutuhan fisiologis merupakan faktor yang dominan untuk
keberlangsungan hidup manusia. Dalam memenuhi kebutuhan, masing-masing
tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Misalnya, seseorang

49
memenuhi kebutuhan fisiologisnya terlebih dahulu, kemudian kebutuhan rasa
aman, dan seterusnya. Perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan terjadi secara
simultan.

b. Motivasi
Motivasi adalah dorongan penggerak untuk mencapai tujuan tertentu, baik yang
disadari maupun tidak disadari. Motivasi dapat timbul dari dalam diri individu atau
lingkungan. Motivasi yang terbaik adalah motivasi yang datang dari dalam diri
sendiri (motivasi intrinsik), bukan pengaruh lingkungan (motivasi ekstrinsik).
Misalnya, seorang mahasiswa belajar dengan tekun dan giat karena ada motivasi
untuk memperoleh indeks prestasi (IP) 3,5 (motivasi intrinsik); seorang mahasiswa
termotivasi masuk akademi keperawatan karena melihat keberhasilan saudaranya
yang menjadi perawat (motivasi ekstrinsik).

c. Faktor perangsang dan penguat


Perilaku manusia dapat didukung dengan adanya faktor perangsang dan penguat.
Untuk meningkatkan motivasi berperilaku dapat dilakukan dengan empat cara.
Pertama, dengan cara memberi hadiah atau ganjaran yang dapat berupa
penghargaan, pujian, piagam, hadiah, promosi pendidikan, dan jabatan. Kedua,
dengan melakukan kompetisi atau persaingan yang sehat. Ketiga, dengan
memperjelas tujuan atau sasaran atau menciptakan tujuan antara (pace making).
Terakhir, dapat dilakukan dengan menginformasikan keberhasilan kegiatan yang
telah dicapai sehingga dapat memotivasi agar lebih berhasil.

d. Sikap dan kepercayaan


Dua hal yang dapat mempengaruhi perilaku adalah sikap dan kepercayaan. Sikap
seseorang sangat memperngaruhi perilaku, baik positif maupun negatif. Misalnya,
sikap ibu terhadap pentingnya imunisasi bagi bayi (sikap positif) atau sebaliknya
(sikap negatif); sikap seseorang yang benci dan iri terhadap keberhasilan orang lain
(sikap negatif).

50
Hal lain yang mempengaruhi perilaku adalah kepercayaan yang dimiliki seseorang.
Apabila kepercayaan positif, perilaku positif akan muncul, dan sebaliknya.
Misalnya seseorang percaya bahwa perbuatan yang baik akan memperoleh pahala
di kemudian hari (kepercayaan positif); pasien yang percaya terhadap seorang
dokter yang merawatnya akan menimbulkan kepercayaan yang positif terhadap
dokter tersebut, dengan memperhatikan apa nasihatnya atau sebaliknya.

Selain keempat faktor di atas, terdapat beberapa faktor lain yang juga
mempengaruhi perilaku seseorang. Faktor tersebut meliputi faktor endogen,
eksogen, dan proses belajar. Ketiga hal ini berperan penting terhadap pembentukan
perilaku seseorang.

Pertama, faktor endogen atau genetik atau keturunan, yaitu konsep dasar atau
modal untuk perkembangan perilaku makhluk hidup itu sendiri. Faktor genetik
berasal dari dalam diri individu. Beberapa faktor genetik tersebut, diantaranya
adalah jenis kelamin, jenis ras, sifat fisik, sifat kepribadian, bakat pembawaan, dan
inteligensi.

Kedua, faktor eksogen. Faktor eksogen merupakan faktor yang berasal dari luar
individu. Beberapa hal yang termasuk faktor eksogen adalah faktor lingkungan,
pendidikan, agama, sosial dan ekonomi, kebudayaan, serta faktor-faktor lain.
Agama adalah bagian dari komponen spiritualitas merupakan salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi perilaku manusia. Seseorang yang memiliki
pemahaman spiritualitas yang baik akan mempengaruhi perilakunya, misalnya
dalam ajaran Islam dijelaskan bahwa berzina (berhubungan seksual diluar nikah
dan berganti-ganti pasangan) itu adalah perbuatan dosa, seperti yang terkandung
dalam QS. Al-Israa:32. Apabila seseorang meyakini hal tersebut, maka ia tidak
akan sekalipun melakukan perbuatan zina karena dilarang oleh agama yang ia anut.
Kita ketahui bersama dalam kesehatan bahwa berhubungan seksual dengan
berganti-ganti pasangan adalah salah satu perilaku beresiko yang dapat menularkan
penyakit HIV/AIDS.

51
Faktor lain yang juga terlibat dalam mempengaruhi perilaku adalah susunan saraf
pusat, persepsi dan emosi. Persepsi memegang peranan yang penting dalam
pembentukan perilaku karena persepsi merupakan sarana utama untuk
memindahkan energi yang berasal dari stimulus (rangsang) melalui neuron (saraf)
ke simpul saraf yang seterusnya akan berubah menjadi perilaku atau tindakan.
Impuls saraf indra pendengaran, penglihatan, pembau, pengecap, dan peraba
disalurkan dari tempat terjadinya rangsangan melalui impuls saraf ke susunan saraf
pusat, yaitu otak. Kemudian, individu menyadarinya melalui persepsi sehingga
terbentuk suatu perilaku.

Ketiga, proses belajar (learning Process). Proses belajar merupakan bentuk


mekanisme sinergi antara faktor hereditas dan lingkungan dalam rangka
terbentuknya perilaku. Akhirnya, semua faktor yang dijelaskan diatas dapat
mempengaruhi perilaku secara berkesinambungan.

2.4.1.4 Proses Pembentukan Perilaku


Menurut Notoatmodjo dalam Sunaryo (2014) menyatakan bahwa terdapat dua macam
respons dalam proses pembentukan perilaku, yaitu respondent response (reflexive),
dan operant response (instrumental behavior). Respondent response adalah merupakan
tanggapan yang disebabkan oleh adanya rangsangan (stimulus) tertentu atau electing
stimuli yang menimbulkan tanggapan relatif tetap. Misalnya, seseorang melihat orang
lain makan rujak akan menimbulkan keluarnya air liur; cahaya kilat halilintar akan
menimbulkan refleks menutup mata.

Hal yang termasuk dalam respondent response adalah respons emosi atau emosi
perilaku (emotional behavior). Bisa terjadi karena ada hal-hal yang tidak
menyenangkan, misalnya menangis karena sedih, sakit, atau terharu; muka pucat
karena ketakutan; muka merah karena marah, dll. Dalam kehidupan sehari-hari, baik
respondent response maupun emotional behavior keberadaannya sangat terbatas pada
manusia, dan sangat kecil kemungkinannya untuk dimodifikasi.

52
Sementara itu, operant response terjadi dan dikuti oleh perangsang tertentu
(reinforcing stimuli atau reinforce) sehingga memperkuat tanggapan atau perilaku
tertentu yang telah dilakukan. Misalnya seorang mahasiswa keperawatan tekun dalam
belajar sehingga memperoleh indeks prestasi diatas 3,5 kemudian diberi hadiah oleh
orang tuanya karena prestasinya baik, lalu ia akan lebih giat lagi belajar agar kelak
memperoleh hadiah lagi. Operant response merupakan bagian terbesar dari perilaku
manusia yang kemungkinan memodifikasinya tidak terbatas.

Untuk membentuk jenis tanggapan atau perilaku, perlu diciptakan kondisi tertentu
yang disebut operant conditioning. Proses pembentukan perilaku dalam operant
conditioning menurut Skinner dalam Notoatmodjo dalam Sunaryo (2014) terdiri dari
tiga langkah, yaitu:
a. Langkah pertama adalah melakukan pengenalan (identifikasi) terhadap sesuatu
yang menjadi penguat, dapat berupa hadiah.
b. Langkah kedua adalah melakukan analisis yang digunakan untuk mengenal bagian
kecil pembentuk perilaku sesuai yang diinginkan. Kemudian, bagian kecil tersebut
disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju terbentuknya perilaku yang
diinginkan.
c. Langkah ketiga adalah menggunakan bagian kecil perilaku tersebut.

Contoh pembentukan perilaku terkait kebiasaan kebersihan atau perilaku toilet training
dapat dilihat berikut ini. Pertama, individu memakai sandal dan pergi ke kamar mandi
sebelum tidur. Kemudian melakukan buang air kecil dan mengambil air untuk mencuci
alat kelamin. Selajutnya, melepas sandal sebelum naik tempat tidur, naik ke tempat
tidur, dan memberi hadiah setiap kali ia berhasil melakukan semuanya.

2.4.1.5 Bentuk Perilaku


Perilaku dapat diberi batasan sebagai suatu tanggapan (response) individu terhadap
rangsangan (stimuli) baik yang berasal dari dalam maupun luar individu tersebut.
Secara garis besar, terdapat dua macam bentuk perilaku, yaitu perilaku pasif (internal
response) dan perilaku aktif (eksternal response). Perilaku pasif memiliki sifat yang

53
masih tertutup (covert bihavior). Perilaku ini terjadi dalam diri individu dan tidak
dapat diamati secara langsung serta hanya sebatas sikap dan belum ada tindakan yang
nyata. Misalnya, berpikir, berangan-angan, atau berfantasi, tahu kegunaan kondom
namun tidak digunakan dalam melakukan hubungan seksualitas yang berganti-ganti
pasangan, dan menganjurkan sesama ODHA untuk minum ARV secara rutin, tetapi
dia sendiri tidak rutin minum ARV.

Sementara itu, perilaku aktif memiliki sikap yang terbuka. Artinya perilaku ini dapat
diobservasi langsung, dan berupa tindakan yang nyata (overt bihavior). Misalnya
seorang ODHA tidak hanya menganjurkan teman ODHAnya untuk minum ARV
secara rutin, tetapi dia juga minum ARV secara rutin; ODHA tidak hanya tahu
kegunaan kondom, namun dia juga memakainya ketika ingin berhubungan seksualitas
dengan pasangannya; seseorang menganjurkan orang lain untuk cepat berobat bila
sakit, seperti yang ia lakukan selama ini; ODHA belajar tentang cara-cara mencegah
penularan HIV/AIDS kepada orang lain dengan membaca buku khusus HIV/AIDS.

2.4.1.6 Perilaku Kesehatan


Perilaku kesehatan adalah tanggapan seseorang terhadap rangsangan yang berkaitan
dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan lingkungan
(Sunaryo, 2014). Notoatmodjo dalam Sunaryo (2014), menyatakan bahwa rangsangan
yang terkait dengan perilaku kesehatan terdiri dari empat unsur, yaitu sakit dan
penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan lingkungan. Perilaku terhadap
sakit dan penyakit adalah perilaku tentang bagaimana seseorang menanggapi rasa sakit
dan penyakit baik yang sifatnya internal maupun eksternal.

Contoh perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan adalah


rajin berolah raga dan makan makanan yang bergizi serta menghindari segala macam
bentuk perilaku beresiko tertular HIV/AIDS. Sementara itu, contoh perilaku
pencegahan penyakit adalah tidak menggunakan narkoba suntik, setia pada pasangan;
penggunaan kondom untuk mencegah Penyakit Menular Seskual (PMS) yang dapat
menimbulkan penyakit HIV/AIDS. Kemudian, yang termasuk contoh perilaku

54
pencarian pengobatan adalah berobat ke puskesmas, rumah sakit, atau ke fasilitas
pelayanan kesehatan tradisional. Terakhir, yang termasuk contoh perilaku pemulihan
kesehatan adalah ODHA minum ARV secara rutin.

Sementara itu, perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan adalah respons seseorang
terhadap sisitem pelayanan kesehatan modern dan tradisional, meliputi respons
terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, cara pelayanan kesehatan, petugas kesehatan,
dan pemberian obat-obatan di unit pelayanan kesehatan. Respons tersebut dapat
terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap dan penggunaan fasilitas, petugas dan
pemberian obat-obatan. Lain halnya dengan perilaku sistem pelayanan kesehatan,
perilaku terhadap makanan adalah respons individu terhadap makanan. Yang termasuk
ke dalam perilaku terhadap makanan meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan praktik
terhadap makanan serta unsur-unsur yang terkandung didalamnya (gizi dan vitamin),
dan pengelolaan makanan sehubungan dengan kebutuhan tubuh kita.

Sementara itu, perilaku terhadap lingkungan kesehatan adalah respons individu


terhadap lingkungan sebagai faktor penentu kesehatan manusia. Lingkup perilaku ini
sesuai dengan lingkup kesehatan lingkungan, yaitu perilaku terhadap air bersih,
perilaku terkait pembuangan air kotor atau limbah, dan lain-lain. Perilaku terhadap air
bersih meliputi komponen, manfaat, penggunaan air bersih untuk kepentingan
kesehatan, dan apabila ODHA terluka kemudian darahnya terjatuh ke lantai, maka
harus segera dibersihkan dan di disinfektan.

2.4.1.7 Klasifikasi Perilaku Kesehatan


Becker dalam Notoatmodjo dalam Sunaryo (2014) mengungkapkan bahwa klasifikasi
perilaku yang berhubungan dengan kesehatan terdiri dari perilaku kesehatan, perilaku
sakit, dan perilaku peran sakit. Perilaku kesehatan adalah perilaku individu yang ada
kaitannya dengan promosi kesehatan, pencegahan penyakit, higiene personal,
pemilihan makanan, dan sanitasi. Misalnya, bayi perlu diberikan imunisasi dasar.

55
Sementara itu, perilaku sakit adalah semua aktivitas individu yang merasa sakit untuk
mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakitnya, pengetahuan dan kemampuan
individu untuk mengenal penyakit, pengetahuan dan kemampuan individu tentang
penyebab penyakit, dan berbagai usaha untuk mencegah penyakit. Misalnya, setiap
penderita TBC minimal harus mengetahui penyebab, gejala, cara penularan,
pencegahan, dan pengobatannya.

Kemudian, perilaku peran sakit adalah segala aktifitas individu yang sedang menderita
sakit untuk memperoleh kesembuhan. Misalnya, individu berusaha berobat ke fasilitas
pelayanan pengobatan setiap kali sakit. Contoh lainnya adalah individu yang menderita
flu berusaha membeli obat flu ke warung.

Sadli dalam Notoatmodjo dalam Sunaryo (2014) menunjukkan bahwa terdapat


hubungan yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungan sosial.
Hubungan ini dapat dilihat pada gambar 2.6

a b

c d

Gambar 2.4.2 Diagram interaksi perilaku kesehatan (Sadli dalam Notoatmodjo dalam
Sunaryo, 2014)

Keterangan gambar:
a. Perilaku kesehatan individu, berupa sikap dan kebiasaan individu yang erat
kaitannya dengan lingkungan
b. Lingkungan keluarga, berupa sikap dan kebiasaan anggota keluarga mengenai
kesehatan
c. Lingkungan terbatas, berupa tradisi, adat istiadat, dan kepercayaan masyarakat
terkait dengan kesehatan

56
d. Lingkungan umum, seperti kebijakan pemerintah dibidang kesehatan, UU
kesehatan, program kesehatan, dsb.

2.4.1.8 Perilaku Sakit dan Perilaku Sehat


Sarwono dalam Sunaryo (2014) menjelaskan tentang perilaku sakit dan perilaku sehat.
Perilaku sakit adalah segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu yang sedang
sakit agar memperoleh kesembuhan. Sebaliknya perilaku sehat adalah tindakan yang
dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Tindakan ini
meliputi pencegahan penyakit, perawatan kebersihan diri, dan pemeliharaan
kebugaran. Kebugaran dapat di jaga melalui olahraga dan makanan bergizi. Jika
kebugaran tubuh tidak dijaga, individu dapat menderita penyakit. Jika seseorang sering
berganti-ganti pasangan seksualitas, maka akan beresiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Kusmiyati dan Desminiarti dalam Sunaryo (2014) mengungkapkan bahwa terdapat


tujuh perilaku sakit yang diamati tersebut meliputi:
a. Ketakutan, pada umumnya, orang yang sakit memang merasa takut. Bentuk
ketakutannya dapat meliputi takut penyakit tidak sembuh, takut terhadap kematian,
takut mengalami kecacatan, dan takut tidak mendapat pengakuan dari lingkungan
sehingga merasa diisolasi. Misalnya takut istri dan anak menjadi terlantar apabila
ia meninggal, karena telah didiagnosa HIV/AIDS.
b. Menarik diri, salah satu perasaan yang muncul pada orang yang sakit adalah
kecemasan (ansietas). Untuk mengatasi kecemasan tersebut, salah satu caranya
adalah dengan menarik diri dari lingkungan. Misalnya tidak akan berbicara atau
berdiam diri apabila tidak diajak bicara atau ditanya; tidak berani mengungkapkan
apa yang dirasakan; lebih banyak berdiam diri.
c. Egoisentris, mengandung arti bahwa perilaku individu yang sakit banyak
mempersoalkan tentang dirinya sendiri. Misalnya seseorang hanya ingin
mempersoalkan atau menceritakan tentang penyakit yang sedang ia derita;
seseorang tidak ingin mendengarkan persoalan orang lain.

57
d. Terlalu memperhatikan persoalan kecil. Artinya, individu yang sakit berperilaku
melebih-lebihkan persoalan yang kecil. Akibatnya pasien menjadi cerewet, banyak
menuntut, dan banyak mengeluh tentang masalah sepele.
e. Reaksi emosional tinggi. Artinya, perilaku individu yang sakit ditandai dengan
sangat sensitif mereka terhadap hal-hal remeh sehingga menyebabkan reaksi
emosional tinggi. Sebagai contoh, ketika makan siang di rumah sakit datang agak
terlambat, sudah marah-marah.
f. Perubahan persepsi terhadap orang lain. Karena beberapa faktor tersebut di atas,
seseorang yang sakit sering mengalami perubahan persepsi terhadap orang lain.
Misalnya, dokter adalah dewa penolong yang sangat diharapkan untuk dapat
menyembuhkan penyakitnya; perawat dipandang sebagai orang yang tepat untuk
mencurahkan isi hati karena mempunyai sifat sabar, keibuan, dapat melindungi,
menolong, dapat dipercaya, dan dapat memberikan motivasi untuk sembuh.
g. Berkurangnya minat. Individu yang menderita sakit, disamping memiliki rasa
cemas, juga kadang-kadang mengalami stress. Faktor patologis inilah yang
menjadi salah satu sebab berkurangnya minat sehingga ia tidak memiliki perhatian
terhadap segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitarnya. Misalnya seseorang
yang dalam keadaan sehat, biasanya senang terhadap berita olahraga, namun
setelah ia sakit minatnya berkurang terhadap berita tersebut.

2.4.1.9 Perubahan Perilaku pada Orang Sehat


Perubahan perilaku tidak hanya dialami oleh orang yang sakit, tetapi juga dapat
dialami oleh orang yang sehat. Perubahan ini dapat diamati oleh kita sebagai manusia.
Perubahan perilaku tersebut meliputi konflik, frustasi, dan sikap marah.
a. Konflik, merupakan keadaan yang terjadi akibat adanya dua keinginan atau lebih.
Konflik adalah kondisi atau dorongan yang tidak harmonis, konflik artinya
bertentangan atau tidak serasi (Sunaryo, 2014). Terdapat tiga jenis konflik, yaitu:
1) Approach-approach conflict adalah konflik yang terjadi apabila keinginan,
kondisi, atau dorongan yang ada sama-sama dikehendaki karena mengandung
resiko yang sama-sama positif. Misalnya seorang ODHA mempunyai dua
pilihan untuk berobat yaitu ke rumah sakit X dan Yayasan Z. Di rumah sakit X

58
terdapat fasilitas untuk ODHA dengan pelayanan yang memuaskan, namun di
Yayasan Z jarak tempuh dari rumah keluarganya sangat dekat. Dalam
menentukan pilihan mana yang akan dimasuki, pasti dalam dirinya timbul
dorongan yang bertentangan, namun keduanya positif.
2) Avoidance-avoidance conflict adalah konflik yang terjadi apabila semua
keinginan, kondisi dan dorongan yang ada sama-sama tidak dikehendaki atau
bersifat negatif. Peribahasa mengatakan seperti makan buah simalakama.
Misalnya, seorang ODHA menderita kanker payudara disarankan untuk
melakukan operasi. Padahal, apabila penyakit tersebut dioperasi, belum tentu
akan sembuh karena sampai saat ini belum ditemukan obatnya. Sebaliknya,
jika tidak dioperasi, penderitaan yang lebih parah akan ia rasakan.
3) Approach-appoidance conflict merupakan konflik yang terjadi apabila
keinginan, kondisi, dan dorongan yang dikehendaki mengandung resiko positif
dan negatif yang seimbang. Misalnya, seorang ODHA dengan TB paru harus
meminum obat ARV dan OAT, namun keluarga ODHA tidak mampu untuk
membayar obat-obat tersebut secara kontinyu, karena keterbatasan ekonomi.

b. Frustrasi, merupakan suatu keadaan yang terjadi akibat konflik berkepanjangan


atau tidak terselesaikan atau ada perasaan kecewa berat karena tujuan yang dicita-
citakan tidak tercapai. Akibatnya, hal-hal yang tidak diinginkan dapat terjadi.

c. Sikap marah, yaitu sikap mudah marah dapat terjadi apabila frustrasi yang dialami
oleh seseorang tidak dapat dikelola dengan baik. Akibatnya, orang lain dapat
dirugikan karena sikap marahnya tersebut.

2.4.1.10 Domain Perilaku


Bloom dalam Sunaryo (2014) mengungkapkan bahwa domain perilaku terdiri dari
domain kognitif, afektif, dan psikomotor, seperti yang digambarkan dalam skema
2.4.1. Domain kognitif dapat diukur dari pengetahuan sedangkan domain afektif dapat
diukur dari sikap. Sementara itu, domain psikomotor dapat diukur dari keterampilan.

59
Dewantara dalam Sunaryo (2014) selanjutnya menyatakan bahwa terbentuknya
perilaku baru, khususnya pada orang dewasa, dapat diawali dari domain cipta/ kognisi,
rasa/emosi, hingga karsa/konasi, seperti yang digambarkan pada skema 2.4.2. Domain
cipta/kognisi, yaitu individu tahu terlebih dahulu terhadap stimulus berupa objek
sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada individu. Kemudian, domain
rasa/emosi terjadi sebagai respons batin dalam bentuk sikap dari individu trehadap
objek yang diketahui. Akhirnya, pada domain karsa/ konasi, terjadi respons berupa
tindakan akibat adanya objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya. Apabila
digambarkan melalui skema, dapat dilihat seperti di bawah ini.
Domain kognitif Domain afektif Domain psikomotor

Faktanya, stimulus yang diterima individu dapat langsung menimbulkan tindakan,


tanpa harus mengetahui terlebih dahulu tentang makna stimulus yang diterima.
Singkatnya, tindakan seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan atau sikap.

1.Kognitif

2. Afektif Perilaku 3. Psikomotor

Skema 2.4.1 Domain perilaku menurut Bloom (dalam Sunaryo, 2014)

1. Cipta
(kognisi)

2. Rasa (emosi) Perilaku 3. Karsa (konasi)

Skema 2.4.2 Domain perilaku menurut Dewantara (dalam Sunaryo, 2014)

60
2.4.2 Pencegahan
Menurut Oktavia (2013) upaya preventif/ pencegahan adalah sebuah usaha yang
dilakukan individu dalam mencegah terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan.
Preventif secara etimologi berasal dari bahasa latin pravenire yang artinya datang
sebelum/antisipasi/mencegah untuk tidak terjadi sesuatu. Dalam pengertian yang luas
preventif diartikan sebagai upaya secara sengaja dilakukan untuk mencegah
terjadinyan gangguan, kerusakan, atau kerugian bagi seseorang.

2.4.3 Perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS


Pencegahan penularan HIV pada wanita dilakukan secara primer yang mencakup
mengubah perilaku seksual dengan menerapkan prinsip ABC, yakni Abstinantce (tidak
melakukan hubungan seksual), Be faithful (setia kepada pasangan), dan Condom
(pergunakan kondom jika terpaksa melakukan hubungan dengan pasangan). Wanita
juga disarankan untuk tidak menggunakan narkoba, terutama narkoba suntikan dengan
pemakaian jarum yang bergantian, serta pemakaian alat menoreh kulit dan benda tajam
secara bergantian dengan orang lain (misalnya tindik, tato, silet cukur, dan lain-lain).
Petugas kesehatan perlu menerapkan kewaspadaan universal dan menggunakan darah
serta produk darah yang bebas dari HIV untuk pasien (Nursalam, 2005, dalam buku
Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS, 2013).

Menurut Depkes RI (2003) dalam buku Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi
HIV/AIDS (2013), WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah penularan
HIV dari ibu ke bayi dan anak, yaitu dengan mencegah jangan sampai wanita
terinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah dengan HIV/AIDS dicegah supaya tidak hamil,
apabila sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular pada bayi dan
anaknya, namun bila ibu dan anak sudah terinfeksi maka sebaiknya diberikan
dukungan dan perawatan bagi ODHA dan keluarganya.

Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui empat cara, mulai saat hamil, saat
melahirkan, dan setelah lahir yaitu: penggunaan antiretroviral selama kehamilan,
penggunaan antiretroviral saat persalinan dan bayi yang baru dilahirkan, penanganan

61
obstetrik selama persalinan, penatalaksanaan selama menyusui. Pemberian
antiretroviral bertujuan agar viral load rendah sehingga jumlah virus yang ada dalam
darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV. Obat yang bisa dipilih
untuk negara berkembang adalah Nevirapine, pada saat persalinan diberikan 200 mg
dosis tunggal, sedangkan pada bayi bisa diberikan 2 mg/kg BB 72 jam pertama setelah
lahir dosis tunggal. Obat lain yang bisa dipilih adalah AZT yang diberikan mulai
kehamilan 36 minggu 2 x 300 mg/hari dan 300 mg setiap jam selama persalinan
berlangsung.

Orang yang terinfeksi dianjurkan untuk mencegah penularan HIV lebih lanjut dengan
cara:
a. Memberi tahu calon pasangan seks akan infeksi HIV hingga mereka dapat
melakukan pencegahan yang diperlukan. Abstinensia aktivitas seksual dengan
orang lain adalah salah satu opsi yang akan mengeliminasi resiko penularan infeksi
HIV secara seksual.
b. Melindungi pasangan selama melakukan aktivitas seksual apapun dengan
melakukan tindakan pencegahan yang diperlukan untuk mencegah orang tersebut
mengalami kontak dengan darah, semen, urin, feses, saliva, sekret serviks, atau
sekret vagina dari orang yang terinfeksi. Meski kemanjuran penggunaan kondom
untuk mencegah infeksi HIV masih dalam penelitian, penggunaan kondom yang
konsisiten seyogyanya dapat menurunkan penularan HIV dengan cara mencegah
pajanan terhadap semen dan limfosit yang terinfeksi.
c. Memberi tahu pasangan seks terdahulu dan semua orang yang pernah
menggunakan jarum bersama-sama akan kemungkinan pajanan terhadap HIV dan
mendorong mereka untuk menjalani konseling dan pengujian.
d. Bagi penyalah guna obat secara IV, mengikuti atau melanjutkan program untuk
mengeliminasi penyalahgunaan zat IV. Jarum, alat lain, serta obat-obatan
sebaiknya jangan digunakan bersama-sama.
e. Jangan pernah secara bersama-sama menggunakan sikat gigi, pisau cukur, atau alat
lain yang dapat terkontaminasi darah.

62
f. Menahan diri untuk mendonorkan darah, plasma, organ tubuh, jaringan lain, atau
semen.
g. Menghindari kehamilan sampai resiko penularan HIV dari ibu ke janin atau
neonatus diketahui lebih lanjut.
h. Membersihkan dan melakukan disinfeksi terhadap permukaan yang tertumpahi
darah atau cairan tubuh lain, berkenaan dengan rekomendasi sebelumnya.
i. Memberi tahu dokter, dokter gigi, dan profesional lain di bidang kesehatan yang
sesuai akan status antibodinya saat mencari pertolongan medis, sehingga pasien
dapat diperiksa secara tepat.
(Benjamin, 2010)

2.4.4 Cara Pengukuran Perilaku


Menurut Azwar (2011), pengukuran perilaku yang berisi pernyataan-pernyataan
terpilih dan telah diuji reabilitas dan validitasnya maka dapat digunakan untuk
mengungkapkan perilaku kelompok responden. Kriteria pengukuran perilaku yaitu:
a. Perilaku positif jika nilai T skor yang diperoleh responden dari kuesioner > T mean
b. Perilaku negatif jika nilai T skor yang diperoleh responden dari kuesioner < T
mean

Subyek memberi respon dengan dengan empat kategori ketentuan, yaitu: selalu, sering,
jarang, tidak pernah, dengan skor jawaban :
a. Jawaban dari item pernyataan perilaku positif
1) Selalu (SL) jika responden sangat setuju dengan pernyataan kuesioner dan
diberikan melalui jawaban kuesioner skor 4
2) Sering (SR) jika responden setuju dengan pernyataan kuesioner dan diberikan
melalui jawaban kuesioner skor 3
3) Jarang (JR) jika responden ragu-ragu dengan pernyataan kuesioner dan
diberikan melalui jawaban kuesioner skor 2
4) Tidak Pernah (TP) jika responden tidak setuju dengan pernyataan kuesioner
dan diberikan melalui jawaban kuesioner skor 1

63
b. Jawaban dari item pernyataan untuk perilaku negatif
1) Selalu (SL) jika responden sangat setuju dengan pernyataan kuesioner dan
diberikan melalui jawaban kuesioner skor 1
2) Sering (SR) jika responden setuju dengan pernyataan kuesioner dan diberikan
melalui jawaban kuesioner skor 2
3) Jarang (JR) jika responden ragu-ragu dengan pernyataan kuesioner dan
diberikan melalui jawaban kuesioner skor 3
4) Tidak Pernah (TP) jika responden tidak setuju dengan pernyataan kuesioner
dan diberikan melalui jawaban kuesioner skor 4

Penilaian perilaku yang didapatkan jika :


a. Nilai > 50, berarti subjek berperilaku positif
b. Nilai < 50 berarti subjek berperilaku negatif

64
2.5 KERANGKA TEORI

Ilmu Pengetahuan : Spiritualitas:


a. Tahu (Know) a. Perkembangan
b. Memahami (Comprehension) b. Keluarga
c. Aplikasi (Aplication) c. Ras/suku
d. Analisis (Analysis) d. Agama yang dianut
e. Sintesis (Synthesis) e. Kegiatan keagamaan
f. Evaluasi (Evaluation)

1.Kognitif

2. Afektif Perilaku 3. Psikomotor

(Bloom dalam Sunaryo, 2014)


Pencegahan penularan HIV/AIDS dari ODHA kepada orang lain :
- Memberi tahu calon pasangan seks akan infeksi HIV
- Melindungi pasangan selama melakukan aktivitas seksual apapun
- Bagi penyalah guna obat secara IV, mengikuti atau melanjutkan program untuk
mengeliminasi penyalahgunaan zat IV.
- Jangan pernah secara bersama-sama menggunakan sikat gigi, pisau cukur, atau alat
lain yang dapat terkontaminasi darah
- Menahan diri untuk mendonorkan darah, plasma, organ tubuh, jaringan lain, atau
semen.
- Menghindari kehamilan sampai resiko penularan HIV dari ibu ke janin atau
neonatus diketahui lebih lanjut.
- Membersihkan dan melakukan disinfeksi terhadap permukaan yang tertumpahi
darah atau cairan tubuh lain, berkenaan dengan rekomendasi sebelumnya.
- Memberi tahu dokter, dokter gigi, dan profesional lain di bidang kesehatan yang
sesuai akan status antibodinya saat mencari pertolongan medis, sehingga pasien
Skema 2.5.1 : Kerangka Teori
dapat diperiksa secara tepat.
Skema 2.5.1 : Kerangka Teori

65
Dari kerangka teori diatas, dapat dijelaskan bahwa Ilmu Pengetahuan mempunyai enam tahap
tingkat pengetahuan yaitu: tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi menurut
Kholid dan Notoadmodjo (2012). Kemudian faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan
spiritualitas meliputi: perkembangan, keluarga, ras/suku, agama yang dianut, dan kegiatan
keagamaan menurut Asmadi (2008). Keduanya kemudian dapat mempengaruhi perilaku
ODHA, sementara perilaku memiliki domain kognitif (Intelektual), Afektif (sikap), dan
psikomotor (keterampilan) menurut Bloom dalam Sunaryo (2014). Dari pengetahuan dan
spiritualitas ODHA yang berkaitan dengan penyakit HIV/AIDS diharapkan dapat
mempengaruhi perilaku ODHA untuk ikut serta dalam mencegah penularan HIV/AIDS yang
terdiri dari delapan cara pencegahan penularan HIV/AIDS (Benjamin, 2010).

66

Anda mungkin juga menyukai