PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
DEFINISI
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai
EPIDEMIOLOGI
Penularan HIV/AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang mengandung
virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual,
jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang
terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok resiko tinggi
terhadap HIV/AIDS misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersil dan
pelanggannya, serta narapidana.
Namun, infeksi HIV/AIDS saat ini juga telah mengenai semua golongan
masyarakat, baik kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada
awalnya, sebagian besar odha berasal dari kelompok homoseksual maka kini telah
terjadi pergeseran dimana presentase penularan secara heteroseksual dan
pengguna narkotika semakin meningkat. Beberapa bayi yang tertular HIV dari
ibunya menunjukkan tahap yang lebih lanjut dari tahap penularan heteroseksual.
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih amat jarang ditemukan di
Indonesia. Sebagian besar odha pada periode itu berasal dari kelompok
homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak
pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama disebabkan
akibat penularan melalui narkotika suntik. Sampai dengan akhir maret 2005, tercatat
6.789 kasus HIV AIDS dilaporkan. Jumlah itu tentu sangat jauh dari jumlah
sebenarnya. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah
penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai 130.000
orang.
2.3 ETIOLOGI
Agen etilogi AIDS adalah HIV, yang termasuk famili retrovirus manusia dan
subfamili lentivirus. Keempat retrovirus manusia yang telah dkenal termasuk dalam 2
kelompok :
1. Virus limfotropik T manusia, HTLV I dan II, dan
2. Virus imunodefisiensi manusia (human imunodefisiency virus), HIV I dan II.
2.3.1 Morfologi
Pemeriksaan dengan mikroskop elektron memperlihatkan bahwa virio HIVI
memiliki struktur icosahedral dengan banyak tonjolan eksternal yang dibentuk oleh 2
protein utama envelope virus, gp120 sebelah luar dan gp41 yang terletak di
transmembran. Virion menonjol dari permukaan sel (budding) yang terinfeksi dan
melekatkan
berbagai
protein
sel
penjamu
termasuk
antigen
kompleks
Genom
Protein
Selubung
Replikasi
Maturasi
variabilitas genetik.
Partikel menonjol keluar dari membran plasma.
Karateritik yang
menonjol
50%
35%
1%
0,5%
0,5%
0,3%
etanol
isopropanol
nonidet P40
lisol
paraformaldehid, atau
hidrogen peroksida
HIV mudah diinaktivasi dalam cairan atau 10% serum dengan pemanasan
pada suhu 560C selama 10 menit.
2.3.5 Reseptor Virus
6
melakukan katalisis atas reaksi transkripsi terbalik RNA genomic menjadi DNA untai
ganda (double strainded DNA). DNA tersebut bermigrasi ke inti lalu berintegrasi
dengan kromosom sel penjamu melalui kerja enzim lain yang juga di kode oleh virus,
integrase. Penggabungan pro virus ini dengan genom sel penjamu bersifat
permanen. Provirus ini mungkin tetap inaktif secara trankripsional (laten) atau
sebaliknya memperlihatkan ekspresi gen disertai pembentukan virus.
Pengaktifan sel berperan penting pada siklus hidup HIV. Pengaktifan ekspresi
HIV dari keadaan laten bergantung pada interaksi sejumlah faktor sel dan virus.
DNA yang mengalami trankripsi terbalik secara tidak lengkap bersifat labil pada sel
yang inaktif dan tidak akan terintegrasi secara efisien dengan genom sel penjamu
kecuali terjadi pengaktifan sel segera sesudah infeksi. Selain itu, diperlukan
pengaktifan sel penjamu agar terjadi inisiasi transkripsi DNA provirus yang telah
terintegrasi menjadi RNA genomic atau messenger. Setelah transkripsi, mRNA HIV
mengalami tranlasi menjadi berbagai protein yang mengalami modifikasi melalui
pemecahan, glikosilasi, miristilasi, dan fosforilasi. Inti (core) virus dibentuk melalui
penyusunan protein, enzim, dan RNA genomic HIV di membran plasma sel penjamu.
Penonjolan ( budding) bakal virion terjadi melalui membran plasma sel penjamu,
yang merupakan tempat inti virus memperoleh envelope-nya.
PATOGENESIS
HIV menginfeksi sel T dan makrofag secara langsung dan dibawa juga oleh
sel dendrit
Replikasi virus di lymh node regional memicu terjadinya viremia dan
PATOFISIOLOGIS
Dalam
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV maka seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda dan gejala tertentu.
10
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan
gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari.
Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang
resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang
tinggi tapi tubuh masih berkompensasi dengan memproduksi CD4 sekitar 10 6 sel
setiap hari.
2.6
11
serum. Antibodi terhadap protein gag diikuti oleh munculnya antibody terhadap
protein envelope (gp160, gp120, gp88, dan gp41) dan terhadap produk gen pol (p31,
p51, dan p66).
Antibodi terhadap protein envelope HIV diketahui bersifat
protektif dan
HIV
melalui ADCC.
Kadar
12
antibody antienvelope
yang
mampu
memperantarai ADCC paling tinggi pada stadium awal infeksi HIV.Secara in vitro,
pemusnahan yang diperantarai oleh ADCC dapat ditingkatkan oleh IL-2.
Antibodi spesifik HIV juga diduga beperan pada pathogenesis penyakit.
Antibodi terhadap gp41, pada titer rendah telah dibuktikan mampu mempermudah
infeksi sel melalui mekanisme yang diperantarai oleh reseptor Fc yang dikenal
sebagai antibody enhancement. Selain itu antibody anti-gp120 yang berperan pada
pemusnahan sel yang terinfeksi HIV melalui ADCC diduga juga dapat membunuh sel
T CD4+ yang tidak terinfeksi bila sel tersebut mengikat gp120 bebas dari sirkulasi.
2.6.2 Respon Imun Selular
Karena berperan penting pada pertahanan host terhadap sebagian besar
infeksi virus, imunitas yang diperantarai oleh sel T secara umum diperkirakan
merupakan komponen penting respon imun host terhadap HIV. Imunitas sel T dapat
dibagi menjadi sitotoksik/supresor atau sel T CD8+.
Dalam sirkulasi darah tepi orang yang terinfeksi HIV dapat ditemukan limfosit
sitotoksik CD8+ klasik yang MHC-I restricted dan spesifik bagi HIV. Limfosit CD8+
melalui reseptor antigen spesifik-HIV berikatan dan mungkin menyebabkan lisis sel
yang memiliki HLA serupa, mengekspresikan kompleks antigen HIV dengan molekul
MHC kelas I pada permukaannya. Sel T sitotoksik ini dapat ditemukan pada darah
teoi individu yang terinfeksi HIV terutama pada stadium awal infeksi HIV dengan
frekuensi precursor yang relative besar, yaitu 10 sampai 20 sel T sitotoksik per
10.000 sel mononukleus darah tepi.
Selain limfosit T sitotoksik klasik yang MHC-restricted dan limfosit T CD4+
penginduksi, terdapat paling tidak tiga bentuk lain imunitas seluler terhadap HIV.
Ketiganya adalah inhibisi yang diperantarai oleh sel T CD8+, ADCC, dan aktivitas sel
natural killer. Inhibisi yang diperantarai oleh sel T CD8+ mengacu kepada
kemampuan sel T CD8+ dari individu yang terinfeksi HIV menghambat replikasi HIV
dalam biakan jaringan. ADCC merupakan pemusnah pemusnah sel yang
mengekspresikan HIV oleh sel natural killer yang dipersenjatai oleh antibodi spesifik
terhadap antigen HIV. Sel natural killer telah dibuktikan mampu membunuh sel
sasaran yang terinfeksi HIV dalam sistem biakan jaringan.
13
TRANSMISI
HIV ditransmisikan melalui:
Virus dapat ditularkan melalui darah dan produk darah baik pada individu
yang sering tukar menukar jamur tercemar yang digunakan untuk menyuntik obat
terlarang maupun pada individu yang menerima transfusi darah atau produk darah.
Infeksi HIV dan AIDS di antara IDU ( Injectons Drug Users ) terus meningkat di
Amerika Serikat. Infeksi terjadi melalui pajanan intravena ke darah yang terinfeksi
melalui jarum yang tercemar dan pernik obat lainnya. Resiko infeksi meningkat
sesuai lama penggunaan obat injeksi, frekwensi tukar menukar jarum, peran serta
dalam kultur obat yang menggunakan jarum yang sama untuk beberapa individu,
dan penggunaan obat injeksi di daerah geografis dengan pravelensi HIV yang tinggi.
Tranfusi darah utuh, sel darah merah ( Packed Red Blood Cels ), leukosit,
trombosit, dan sel plasma semuanya mampu menularkan HIV, sedangkan Gamma
Globulin Hiperimun, Globulin Imun Hepatitis B, vaksin Hepatitis B yang berasal dari
plasma, dan Globulin Imun Rho ( O ) belum pernah dilaporkan dapat menularkan
HIV. Resiko penularan infeksi HIV melaui transfusi darah atau produk darah
sangatlah kecil karena adanya kombinasi penapisan semua darah terhadap antibodi
HIV dengan ELISA dan pemeriksaan Western Blot sebagai konfirmasi bila mungkin;
penangguhan donor sukarela yang memiliki perilaku beresiko; penyisihanindividu
dengan HIV negative tetapidengan parameter laboratorium pengganti HIV yang
positif misalnya Hepatitis B dan C; dan pemeriksaan serologis untuk sifilis.
Telah dilaporkan beberapa kasus penularan HIV melaui semen yang
digunakan dalam inseminasi buatan dan jaringan yang digunakan pada transplantasi
organ. Dengan demikian, sekarang donor harus diperiksa akan kemungkinan infeksi
HIV sebelum transplantasi.
2.7.3 Melalui
Pekerjaan:
Pekerja
Di
Bidang
Kesehatan
Dan
Petugas
Laboratorium
Terdapat resiko penularan pekerjaan yang kecil namun definitif yaitu seorang
pekerja kesehatan, petugas laboratorium, dan orang lain yang bekerja dengan
specimen/ bahan yang terinfeksi HIV terutama bila menggunakan benda tajam.
Berbagai penelitian mengisyaratkan bahwa resiko penularan HIV setelah kulit
tertusuk jarum atau benda tajam lainnya yang tercemar oleh darah seorang yang
terinfeksi HIV adalah sekitar 0.3 %. Selain itu terdapat laporan mengenai pekerja
kesehatan yang terinfeksi akibat paparan bahan yang tercemar HIV ke membaran
mukosa atau kulita yang mengalami erosi.
16
Adanya penularan HIV serta Hepatitis B dan C ke dan dari petugas kesehatan
mengingatkan pentingnya tindakan pencegahan secara menyeluruh ( universal
precautions ) saat merawat pasien.
2.7.4 Penularan Ibu Janin/Bayi
HIV dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi kepada janinnya sewaktu hamil
atau kepada bayinya sewaktu persalinan. Analisis virologi atas janin yang
mengalami abortus mengisyaratkan bahwa janin dapat terinfeksi selama kehamilan
sampai awal trimester pertama dan kedua. Hal ini didasarkan saat identifikasi infeksi
oleh teknik kultur atau Polymerase Chain Reaction (PCR) pada bayi setelah lahir.
Angka penularan yang lebih tinggi dikaitkan dengan ibu yang simptomatik dan
jumlah sel T CD4+ maternal yang rendah. Selain itu, diperkirakan ibu bila terinfeksi
sewaktu hamil angka penularan ke janin akan meningkat akibat viremia yang timbul
setelah infeksi primer.
Penularan HIV dari ibu kepada bayi pasca kelahiran telah terbukti dengan
kolostrum dan air susu ibu (ASI) dicurigai sebagai perantara infeksi. Virus dapat
ditemukan pada kedua cairan tersebut. Bila memungkinkan pemberian ASI pada ibu
yang terinfeksi dihindari.
2.7.5 Cairan Tubuh Lain
Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi HIV
baik melalui ciuman maupun paparan lain, misalnya sewaktu bekerja pada pekerja
kesehatan karena air liur dibuktikan mengandung inhibitor terhadap aktivitas HIV.
Terdapat laporan yang saling bertentangan mengenai isolasi HIV dari cairan
tubuh lain, seperti air mata, keringat, dan urin. Namun, belum ada bukti bahwa
penularan HIV dapat terjadi akibat terpajan cairan tersebut.
17
Pertama, merupakan tahap infeksi akut. Pada tahap ini muncul gejala infeksi
virus tetapi tidak spesifik. Tahap ini muncul 6 minggu pertama setelah
paparan HIV, misalnya:
-
Demam, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri telan, rasa letih, dan
pembesaran kelenjar getah bening
Kedua, merupakan tahap asimptomatik. Pada tahap ini, gejala dan keluhan
menghilang. Tahap ini berlangsung 6 minggu hinnga beberapa bulan bahkan
tahun setelah infeksi. Pada tahap ini sedang terjadi internalisasi HIV ke
intraseluler.
Keempat, merupakan tahap yang lebih lanjut atau tahap AIDS. Pada tahap ini
terjadi penurunan berat badan lebih 10 %, diare lebih 10 bulan, panas yang
tidak diketahui sebabnya lebih dari satu bulan, kandidiasis oral, oral hairy
leukoplakia, tuberculosis paru, dan pneumonia bakteri. Penderita rentan
mengalami
berbagai
macam
infeksi
sekunder,
misalnya
Pneumonia
sarkoma
kaposi.
Hiperaktivitas komplemen
menginduksi
sekresi
2.9 DIAGNOSA
2.9.1 Diagnosa Infeksi HIV
Diagnosa ditegakkan berdasarkan klinis dan dipastikan melalui pemeriksaaan
laboratorium.
2.9.2 Diagnosa Klinis
Di Indonesia, diagnosa AIDS untuk keperluan surveilan epidemiologi dibuat
apabila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya 2 gejala mayor
dan 1 gejala minor.
Gejala mayor:
-
Gejala minor:
-
Apabila didapatkan salah satu tanda atau gejala berikut dilaporkan sebagai
kasus AIDS, walaupun tanpa pemeriksaan laboratorium: Sarkoma Kaposi,
pneumonia berulang.
Seseorang
dinyatakan
terinfeksi
HIV
apabila
dengan
pemeriksaan
laboratorium terbukti terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi atau
pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh.
Diagnosis HIV untuk kepentingan surveilans ditegakkan apabila terdapat
infeksi oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm 2. Infeksi
Oportunistik/Kondisi yang Sesuai dengan Kriteria Diagnosis AIDS:
-
Ensefalopati HIV
Terdapat gejala klinis berupa gangguan kognitif atau dsfungsi motorik yang
mengganggu kerja atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan oleh
penyebab lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain
dilakukan pemeriksaan lumbal pungsi dan pencitran otak (CT scan atau
MRI)
Herpes simpleks,
dari
satu
bulan),
bronkitis,
Kandidiasis esophagus
Limfoma, Burkitt
Limfoma, imunoblastik
Pneumonia rekuren
Berulang lebih dari satu episode dalam satu tahun
Sarkoma Kaposi
Toksoplasmosis otak
Wasting syndrome
Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik
(minimal 2 kali selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan demam lama
20
21
keputusan yang terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerima apapun hasil tesnya
nanti.
Untuk memberitahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baik hasil
tes positif maupun negative. Jika hasilnya positif akan diberikan informasi mengenai
pengobatan untuk memperpanjang masa tanpa gejala serta cara pencegahan
penularan. Jika hasilnya negatif, konseling tetap perlu dilakukan untuk memberikan
informasi bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak beresiko.
2.10
PENATALAKSANAAN
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun, data selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan
bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (obat antiretroviral/
ARV) bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV.
Orang dengan HIV/AIDS mejadi lebih sehat, dapat bekerja normal dan produktif.
Manfaat ARV dicapai dicapai melalui pulihnya sistem kekebalan akibat HIV dan
pulihnya kerentanan odha terhadap infeksi oportunistik.
Secara umum, penatalaksanaan ODHA terdiri atas beberapa jenis, yaitu :
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasma,
sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih
baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan
dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga
kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian
dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi portunistik
amat berkurang.
Pneumocystis carinii pada odha yang hilang timbul, biasanya mengharuskan odha
minum obat infeksi agar tidak kambuh. Namun sekarang dengan minum obat ARV
teratur, banyak odha yang tidak memerlukan minum obat profilaksis terhadap
pneumonia. Terdapat penurunan kasus kanker yang terkait dengan HIV seperti
Sarkoma Kaposi dan limfoma dikarenakan pemberian obat-obat anti retroviral
tersebut. Sarkoma Kaposi dapat spontan membaik tanpa pengobatan khusus.
Penekanan terhadap replikasi virus menyebabkan penurunan produksi sitokin dan
protein virus yang dapat menstimulasi pertumbuhan Sarkoma Kaposi. Selain itu
pulihnya kekebalan tubuh menyebabkan tubuh dapat membentuk respons imun
yang efektif terhadap human herpesvirus 8 (HHV-8) yang dihubungkan dengan
kejadian sarkoma kaposi.
Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse
transcriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside
reverse transcriptase inhibitor, dan inhibito protease. Tidak semua ARV yang ada
telah tersedia di Indonesia.
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena
obat ARV akan diberikan dalam jangka panjang. Obat ARV direkomendasikan pada
semua pasien yang telah menunjukkan gejala yang termasuk dalam kriteria
diagnosis AIDS ata menunjukkan gejala yang sangat berat, tanpa melihat jumlah
limfosit CD4+. Obat ini juga direkomendasikan pada pasien asimtomatik dengan
limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3. Pasien asimptomatik dengan CD4+ lebih
dari 350 sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml terapi dapat dimulai,
namun dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan
limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000 kopi/ml.
Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi
dari 3 obat ARV. Terdapat beberapa regimen yang dapat dipergunakan (tabel 4),
dengan keunggulan dan kerugiannya masing-masing . Kombinasi obat ARV lini
pertama yang umumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi zidovudin
(ZDV)/lamivudin (3TC), dengan nevirapin.
Obat ARV juga diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan
profilaksis pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang mengandung virus
HIV (post-exposure prophylaxis) dan pencegahan penularan dari ibu ke bayi.
Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat
ARV penting untuk mendapat perhatian lebih besar mengingat sudah ada beberapa
23
bayi di Indonesia yang tertular HIV dari ibunya. Efektivitas penularan HIV dari ibu ke
bayi adalah sebesar 10%-30%. Artinya dari 100 ibu hamil terinfeksi HIV, ada 10
sampai 30 bayi yang akan tertular. Sebagian besar penularan terjadi sewaktu proses
melahirkan, dan sebagian kecil melalui plasenta selama masa kehamilan dan
sebagian lagi melalui air susu ibu.
Kendala yang dikhawatirkan adalah biaya untuk membeli obat ARV. Obat
ARV yang dianjurkan untuk PTMCT adalah zidovudin (AZT) atau nevirapin.
Pemberian Nevirapin dosis tunggal untuk ibu dan anak dinilai sangat udah untuk
diterapkan dan ekonomis. Sebetulnya pilihan yang terbaik adalah pemberian ARV
yang dikombinasikan dengan operasi caesar, karena dapat menekan penularan
sampai 1%. Namun sayangnya di negara berkembang seperti Indonesia tidak
mudah untuk melakukan operasi sectio caesaria yang murah dan aman.
Nama generik
Golonga
n
24
Sediaan
Dosis
(per hari)
Tablet,kandungan:
Duviral
zidovudin 300mg,
2 x 1 tablet
lamivudin 150mg
>60kg: 2 x 40
Stavir
Zerit
Hiviral
3TC
Viramune
Neviral
Retrovir
Adovi
Avirzid
Stavudin(d4T)
Lamivudin(3TC)
NsRTI
NsRTI
Kapsul:30mg,
mg
40mg
<60kg: 2 x 30
Tablet:150mg
Lar.oral 10mg/ml
mg
2 x 150mg
<50kg:2mg/kg
, 2x/hari
1 x 200 mg
selama 14
Nevirapin(NVP)
NNRTI
Tablet 200 mg
hari,
dilanjutkan 2 x
200mg
2 x 300mg,
Zidovudin(ZDV,
AZT)
NsRTI
Kapsul 100mg
atau 2x
250mg (dosis
alternatif)
>60 kg:
2x200mg,
Videx
Didanosin (ddI)
NsRTI
Tablet kunyah:
atau 1x400mg
100mg
<60 kg: 2x
125mg, atau
Stocrin
Nelvex
Viracept
Efavirenz
(EFV, EFZ)
NNRTI
Kapsul 200mg
PI
Tablet 250mg
Nelfinavir (NFV)
1x250mg
1x600mg,
malam
2x 1250mg
harapan
hidup
penderita
diharapkan
dapat
Imunologis
Virologis
sel/mm3
Jumlah virus dapat ditekan paling tidak dibawah 400 kopi
permilliliter atau idealnya dibawah 50 kopi permililiter dan
Terapeutik
Epidemiologi
s
(WHO, 2013)
viral
load, kita dapat memperkirakan resiko kecepatan perjalan penyakit dan kematian
akibat HIV. Pemeriksaan viral load memudahkan untuk memantau efektivitas obat
ARV.
2.11
negara dan amat dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia, WHO, untuk
dilaksanakan secara sekaligus, yaitu:
1. Pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda
2. Program penyuluhan sebaya(peer group education) untuk berbagai kelompok
sasaran.
3. Program kerjasama dengan media cetak dan elektrolit
26
27