Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

INFEKSI OPPORTUNITY

Disusun oleh :
Inez Soraya

1102010130

Pembimbing :
Dr. Hj. Shelvi Febrianti, Sp.PD

DIBAWAKAN DALAM TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


SMF PENYAKIT DALAM
RSUD DR.SLAMET GARUT

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Adakala penyakit dapat menjadi penyebab timbulnya penyakit lain. Bahkan penyakit
penyerta, sebut saja demikian, acapkali terdiagnosis lebih dari satu gejala klinis. Dan tak
sedikit dari penyakit penyerta itu sama gawatnya dengan penyakit utama. Oleh karenanya tak
heran bila penatalaksanaanya semakin rumit, baik dari diagnosa, terapi hingga
membengkaknya biaya pengobatan, yang tentu tak sedikit kocek keluar.
Demikian pula halnya dengan penyakit HIV/AIDS. Sejak ditemukan, pada 1981,
hingga kini HIV/AIDS, prevalensinya terus meroket tak terkendali, meski katanya telah ada
program pencegahan HIV/AIDS. Saat ini, diperkirakan penderita AIDS (Odha) di dunia
mencapai 60 juta jiwa. Dan tak satu pun dari penderita AIDS yang terbebas dari ancaman
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Sementara angka kematian karena HIV ini mencapai
25 juta. "Meninggalnya penderita AIDS disebabkan karena infeksi oportunistik dan bukan
karena HIV itu sendiri," kata Prof. Dr. Herdiman Theodorus Pohan, SpPD-KPTI, DTM&H,
pada orasi pengukuhannya sebagai Guru BesarTetap dalam Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, di Auditorium FKUI, 21 Januari lalu.
Menurutnya infeksi oportunistik didefinisikan sebagai suatu infeksi yang timbul
akibat penurunan kekebalan tubuh. Infeksi ini dicetuskan oleh mikroba maupun karena
reaktivasi infeksi laten, yang dalam keadaan normal terkendali oleh sistem kekebalan tubuh.
Kehadiran HIV di dalam tubuh pada awalnya tidak menunjukan gejala apapun.
Namun, lambat laun virus ini menggerogoti sistem imun sampai akhirnya bermanifestasi
klinis. Gambaran klinis penderita AIDS sangat bervariasi, dari gambaran klinis ringan hingga
berat yang berpotensi menyebabkan kematian. Penderita AIDS dapat mengalami infeksi
oportunistik ataupun mengalami keganasan/neoplasma seperti sarkoma kaposi atau limfoma
yang berujung kematian. "Infeksi oportunistik menyebabkan kematian pada lebih dari 90
persen Odha."

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Pengertian Infeksi Oportunistik


Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang ambil kesempatan (opportunity) yang
disediakan oleh kerusakan pada sistem kekebalan tubuh untuk menimbulkan penyakit.
Kerusakan pada sistem kekebalan tubuh ini adalah salah satu akibat dari infeksi HIV, dan
menjadi cukup berat sehingga IO timbul rata-rata 7-10 tahun setelah kita terinfeksi HIV.
Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul akibat penuruan kekebalan
tubuh. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur) yang berasal dari luar
tubuh, maupun yang sudah ada dalam tubuh,n a m u n d a a.

Penyakit infeksi parasit,

jamur dan virus pada penderita AIDS biasanya tidak dapat disembuhkan. Kadang-kadang
penyakit infeksi tersebut dapat diatasi pada tahap akut, biasanya diperlukan pengobatan
jangka panjang untuk mencegah kekambuhanSebagian besar infeksi oportunistik dapat
diobati, namun jika kekebalan tubuh tetap rendah, infeksi oportunistik mudah kambuh
kembali atau juga dapat timbul infeksi oportunistik yang lain (Evi dalam Rahardjo, 2010).

Kerusakan pada sistem kekebalan tubuh kita dapat dihindari dengan penggunaan terapi
antiretroviral (ART) sebelum kita mengalami IO. Namun, karena kebanyakan orang yang
terinfeksi HIV di Indonesia tidak tahu dirinya terinfeksi, timbulnya IO sering kali adalah
tanda pertama bahwa ada HIV di tubuh kita. Jadi, walaupun ART tersedia gratis di Indonesia,
masalah IO tetap ada, sehingga adalah penting kita mengerti apa itu IO dan bagaimana IO
dapat diobati dan dicegah
Dalam tubuh anda terdapat banyak kuman bakteri, protozoa, jamur dan virus. Saat
sistim kekebalan anda bekerja dengan baik, sistim tersebut mampu mengendalikan kumankuman ini. Tetapi bila sistim kekebalan dilemahkan oleh penyakit HIV atau oleh beberapa
jenis obat, kuman ini mungkin tidak terkuasai lagi dan dapat menyebabkan masalah
kesehatan. Infeksi yang mengambil manfaat dari lemahnya pertahanan kekebalan tubuh
disebut "oportunistik". Kata "infeksi oportunistik" sering kali disingkat menjadi "IO".

Hampir setiap orang dengan HIV akan menerima hasil tes positif untuk sitomegalia
(Cytomegalovirus atau CMV). Tetapi penyakit CMV itu sendiri jarang dapat berkembang
kecuali bila jumlah CD4 turun di bawah 50, yang menandakan kerusakan parah terhadap
sistem kekebalan.
Untuk menentukan apakah terinfeksi IO, darah anda dapat dites untuk antigen (potongan
kuman yang menyebabkan IO) atau untuk antibodi (protein yang dibuat oleh sistem
kekebalan untuk memerangi antigen). Bila antigen ditemukan artinya anda terinfeksi.
Ditemukan antibodi berarti anda pernah terpajan infeksi. Anda mungkin pernah menerima
imunisasi atau vaksinasi terhadap infeksi tersebut, atau sistem kekebalan anda mungkin telah
"memberantas" infeksi dari tubuh, atau anda mungkin terinfeksi. Jika anda terinfeksi kuman
yang menyebabkan IO, dan jika jumlah CD4 anda cukup rendah sehingga memungkinkan IO
berkembang, dokter anda akan mencari tanda penyakit aktif. Tanda ini tergantung pada jenis
IO.
Orang yang tidak terinfeksi HIV dapat mengalami IO jika sistem kekebalannya rusak.
Misalnya, banyak obat yang dipakai untuk mengobati kanker dapat menekan sistem
kekebalan. Beberapa orang yang menjalani pengobatan kanker dapat mengalami IO. HIV
memperlemah sistem kekebalan, sehingga IO dapat berkembang. Jika anda terinfeksi HIV
dan mengalami IO, anda mungkin AIDS. Di Indonesia, Departemen Kesehatan bertanggung
jawab untuk memutuskan siapa yang AIDS. Depkes mengembangkan pedoman untuk
menentukan IO yang apa mendefinisikan AIDS. Jika anda HIV, dan mengalami satu atau
lebih IO "resmi" ini, maka anda AIDS.
Menurut data Ditjen PP&PL kandidosis merupakan infeksi oportunistik terbanyak pada
Odha, yakni 31,29 persen. Kemudian secara berurutan, yaitu: tuberkulosis (6,14%),
koksidioidomikosis (4,09%), pneumonia (4.04%), herpes zoster (1,27 %), herpes simpleks
(0,65 %), toksoplasmosis (0,43%), dan CMV (0,17%). Namun secara umum, jenis dan
penyebab infeksi oportunistik dapat berbeda di tiap daerah dikarenakan adanya perbedaan
pola mikroba patogen.
Lebih lanjut, dokter yang kerap menduduki jabatan bendahara di organisasi profesi ini
mengatakan, spektrum infeksi oportunistik sangat terkait dengan jumlah sel CD4. Infeksi
CMV, misalnya, biasa akan timbul pada CD4 lebih kecil dari 100/L, dan prevalensinya akan

semakin meningkat pada jumlah CD4 lebih kecil dari 50/L. sedangkan toksoplasma muncul
pada CD4 kurang dari 200/L dan hampir semuanyaakibat reaktivasi laten.

B.

Jenis jenis Infeksi Opportunity


Ada beberapa jenis IO yang paling umum, yaitu :

Kandidiasis (Thrush)

Kandidiasis adalah infeksi oportunistik yang sangat umum pada orang dengan HIV.
Infeksi ini disebabkan oleh sejenis jamur yang umum, yang disebut kandida. Jamur ini,
semacam ragi, ditemukan di tubuh kebanyakan orang. Sistim kekebalan tubuh yang sehat
dapat mengendalikan jamur ini. Jamur ini biasa menyebabkan penyakit pada mulut,
tenggorokan dan vagina. Infeksi oportunistik ini dapat terjadi beberapa bulan atau tahun
sebelum infeksi oportunistik lain yang lebih berat. Pada mulut, penyakit ini disebut thrush.
Bila infeksi menyebar lebih dalam pada tenggorokan, penyakit yang timbul disebut
esofagitis. Gejalanya adalah gumpalan putih kecil seperti busa, atau bintik merah. Penyakit
ini dapat menyebabkan sakit tenggorokan, sulit menelan, mual, dan hilang nafsu makan.
Kandidiasis berbeda dengan sariawan, walaupun orang awan sering menyebutnya sebagai
sariawan. Kandidiasis pada vagina disebut vaginitis. Penyakit ini sangat umum ditemukan.
Gejala vaginitis termasuk gatal, rasa bakar dan keluarnya cairan kental putih.
Pengobatan Kandidiasis : Sistem kekebalan tubuh yang sehat dapat menjaga supaya
kandida tetap seimbang. Bakteri yang biasa ada di tubuh juga dapat membantu
mengendalikan kandida. Beberapa antibiotik membunuh bakteri pengendali ini dan dapat
menyebabkan kandidiasis. Mengobati kandidiasis tidak dapat memberantas raginya.
Pengobatan akan mengendalikan jamur agar tidak berlebihan.

Pengobatan dapat lokal atau sistemik. Pengobatan lokal diberikan pada tempat infeksi.
Pengobatan sistemik mempengaruhi seluruh tubuh. Banyak dokter lebih senang memakai
pengobatan lokal terlebih dahulu. Ini menimbulkan lebih sedikit efek samping dibanding
pengobatan sistemik. Selain itu risiko kandida menjadi resistan terhadap obat lebih rendah.
Obat-obatan yang dipakai untuk memerangi kandida adalah obat antijamur.
Pengobatan lokal termasuk:

olesan

supositoria yang dipakai untuk mengobati vaginitis

cairan lozenge yang dilarutkan dalam mulut


Pengobatan lokal dapat menyebabkan rasa pedas atau gangguan setempat. Pengobatan
yang paling murah untuk kandidiasis mulut adalah gentian violet; obat ini dioleskan di tempat
ada lesi (jamur) tiga kali sehari selama 14 hari. Obat yang sangat murah ini dapat diperoleh
dari puskesmas atau apotek tanpa resep. Pengobatan sistemik diperlukan jika pengobatan
lokal tidak berhasil, atau jika infeksi menyebar pada tenggorokan (esofagitis). Beberapa obat
sistemik tersedia dalam bentuk pil. Efek samping yang paling umum adalah mual, muntah
dan sakit perut. Kurang dari 20 persen orang mengalami efek samping ini. Kandidiasis dapat
kambuhan. Beberapa dokter meresepkan obat anti-jamur jangka panjang. Ini dapat
menyebabkan resistansi. Ragi dapat bermutasi sehingga obat tersebut tidak lagi berhasil.
Beberapa kasus parah tidak menanggapi obat-obatan lain. Amfoterisin B mungkin dipakai.
Obat ini yang sangat manjur dan beracun, dan diberi secara intravena (disuntik). Efek
samping utama obat ini adalah masalah ginjal dan anemia (kurang darah merah). Reaksi lain
termasuk demam, panas dingin, mual, muntah dan sakit kepala. Reaksi ini biasa membaik
setelah beberapa dosis pertama.
Terapi Alamiah : Beberapa terapi non-obat tampaknya membantu. Terapi tersebut belum
diteliti dengan hati-hati untuk membuktikan hasilnya.

Mengurangi penggunaan gula.

Minum teh Pau d'Arco. Ini dibuat dari kulit pohon Amerika Selatan.

Mengkonsumsi bawang putih mentah atau suplemen bawang putih. Bawang putih
diketahui mempunyai efek anti-jamur dan antibakteri. Namun bawang putih dapat
mengganggu obat protease inhibitor.

Kumur dengan minyak pohon teh (tea tree oil) yang dilarutkan dengan air.

Mengkonsumsi kapsul laktobasilus (asidofilus), atau makan yoghurt dengan bakteri ini.
Mungkin ada manfaatnya setelah mengkonsumsi antibiotik.

Mengkonsumsi suplemen gamma-linoleic acid (GLA) dan biotin. Dua suplemen ini
tampaknya membantu memperlambat penyebaran kandida. GLA ditemukan pada beberapa
minyak yang dipres dingin. Biotin adalah jenis vitamin B.

Virus Sitomegalia (CMV)


Virus sitomegalia (cytomegalovirus/CMV) adalah infeksi oportunistik. Virus ini sangat
umum. Antara 50 persen sampai 85 persen masyarakat Amerika Serikat adalah CMV-positif
waktu mereka berusia 40 tahun. Statistik untuk Indonesia belum diketahui. Sistem kekebalan
tubuh yang sehat menahan virus ini agar tidak mengakibatkan penyakit. Waktu pertahanan
kekebalan menjadi lemah, CMV dapat menyerang beberapa bagian tubuh. Kelemahan
tersebut dapat disebabkan oleh bebagai penyakit termasuk HIV. Terapi antiretroviral (ART)
sudah mengurangi angka penyakit CMV pada Odha sampai dengan 75 persen. Namun,
kurang-lebih 5 persen Odha masih mengembangkan CMV. Penyakit yang paling lazim
disebabkan CMV adalah retinitis. Penyakit ini adalah kematian sel pada retina, bagian
belakang mata. Ini secara cepat dapat menyebabkan kebutaan jika tidak diobati. CMV dapat
menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksikan beberapa organ sekaligus. Risiko CMV
tertinggi waktu jumlah CD4 di bawah 50. CMV jarang terjadi dengan jumlah CD4 di atas
100. Tanda pertama retinitis CMV adalahmasalah penglihatan seperti titik hitam yang
bergerak. Ini disebut 'floater' (katung-katung) dan mungkin menunjukkan adanya radang pada
retina. Anda juga mungkin akan melihat cahaya kilat, penglihatan yang kurang atau
terdistorsi, atau titik buta. Beberapa dokter mengusulkan pemeriksaan mata untuk mengetahui
adanya retinitis CMV. Pemeriksaan ini dilaksanakan oleh ahli mata. Jika jumlah CD4 anda
dibawah 200 dan anda mengalami masalah penglihatan apa saja, sebaiknya anda langsung
menghubungi dokter. Beberapa Odha yang baru saja mulai memakai ART dapat mengalami
radang dalam mata, yang menyebabkan kehilangan penglihatan. Masalah ini disebabkan oleh
sindrom pemulihan kekebalan. Sebuah penelitian baru beranggapan bahwa orang dengan
CMV aktif lebih mudah menularkan HIV-nya pada orang lain.
Pengobatan CMV : Pengobatan pertama untuk CMV meliputi infus setiap hari. Karena harus
diinfus setiap hari, sebagian besar orang memasang 'keran' atau buluh obat yang dipasang
secara permanen pada dada atau lengan. Dulu orang dengan penyakit CMV diperkirakan

harus tetap memakai obat anti-CMV seumur hidup. Pengobatan CMV mengalami kemajuan
dramatis selama beberapa tahun terakhir ini. Saat ini ada tujuh jenis pengobatan CMV yang
telah disetujui oleh FDA di AS. ART dapat memperbaiki sistem kekebalan tubuh. Pasien
dapat berhenti memakai obat CMV jika jumlah CD4-nya di atas 100 hingga 150 dan tetap
begitu selama tiga bulan.

Namun ada dua keadaan yang khusus:

Sindrom pemulihan kekebalan dapat menyebabkan radang yang parah pada mata Odha
walaupun mereka tidak mempunyai penyakit CMV sebelumnya. Dalam hal ini, biasanya
pasien diberikan obat anti-CMV bersama dengan ART-nya.

Bila jumlah CD4 turun di bawah 50, risiko penyakit CMV meningkat.
MAC (Mycobacterium Avium Complex)
Mycobacterium Avium Complex (MAC) adalah penyakit berat yang disebabkan oleh
bakteri umum. MAC juga dikenal sebagai MAI (Mycobacterium Avium Intracellulare).
Infeksi MAC bisa lokal (terbatas pada satu bagian tubuh) atau tersebar luas pada seluruh
tubuh (DMAC). Infeksi MAC sering terjadi pada paru, usus, sumsum tulang, hati dan limpa.
Bakteri yang menyebabkan MAC sangat lazim. Kuman ini ditemukan di air, tanah, debu dan
makanan. Hampir setiap orang memiliki bakteri ini dalam tubuhnya. Sistem kekebalan tubuh
yang sehat dapat mengendalikan MAC, tetapi orang dengan sistem kekebalan yang lemah
dapat mengembangkan penyakit MAC. Hingga 50 persen Odha mengalami penyakit MAC,
terutama jika jumlah CD4 di bawah 50. MAC hampir tidak pernah menyebabkan penyakit
pada orang dengan jumlah CD4 di atas 100.
Tanda dan gejalah MAC
Gejala MAC dapat meliputi demam tinggi, panas dingin, diare, kehilangan berat badan,
sakit perut, kelelahan, dan anemia (kurang sel darah merah). Jika MAC menyebar dalam
tubuh, bakteri ini dapat menyebabkan infeksi darah, hepatitis, pneumonia, dan masalah berat
lain. Gejala seperti ini juga merupakan gejala banyak infeksi oportunistik lain. Jadi, dokter
kemungkinan akan memeriksa darah, air seni, atau air ludah untuk mencari bakteri MAC.
Contoh cairan tersebut dites untuk mengetahui bakteri apa yang tumbuh padanya. Proses ini,
yang disebut pembiakan, perlu beberapa minggu. Bahkan jika anda terinfeksi MAC, sulit

menemukan bakteri MAC. Jika jumlah CD4 anda di bawah 50, dokter mungkin mengobati
anda seolah-olah anda MAC, walaupun tidak ada diagnosis yang tepat. Ini karena infeksi
MAC sangat umum terjadi tetapi sulit didiagnosis.
Pengobatan MAC
Bakteri MAC dapat bermutasi dan menjadi resisten terhadap beberapa obat yang dipakai
untuk mengobatinya. Dokter memakai kombinasi obat antibakteri (antibiotik) untuk
mengobati MAC. Sedikitnya dua obat dipakai: biasanya azitromisin atau klaritromisin
ditambah hingga tiga obat lain. Pengobatan MAC harus diteruskan seumur hidup, agar
penyakit tidak kembali (kambuh). Orang akan bereaksi secara berbeda terhadap obat antiMAC. anda dan dokter mungkin harus mencoba berbagai kombinasi sebelum anda
menemukan satu kombinasi yang berhasil untuk anda dan menyebabkan efek samping sedikit
mungkin.
Obat MAC yang paling umum dan efek sampingnya adalah:

Amikasin: masalah ginjal dan telinga; disuntikkan.

Azitromisin: Mual, sakit kepala, diare; bentuk kapsul atau diinfus.

Siprofloksasin: mual, muntah, diare; bentuk tablet atau diinfus;

Klaritromisin: mual, sakit kepala, muntah, diare; bentuk kapsul atau diinfus. Catatan: Dosis
maksimum 500mg per hari.

Etambutol: mual, muntah, masalah penglihatan; bentuk tablet.

Rifabutin: ruam, mual, anemia; bentuk tablet. Banyak interaksi obat.

Rifampisin: demam, panas dingin, sakit tulang atau otot; dapat menyebab air seni, keringat
dan air ludah menjadi berwarna merah-oranye (dapat mewarnai lensa kontak); dapat
mengganggu pil KB. Banyak interaksi obat.

PCP (Pneumonia Pneumocystis)


Pneumonia Pneumocystis (PCP) adalah infeksi oportunistik (IO) paling umum terjadi
pada orang HIV-positif. Tanpa pengobatan, lebih dari 85 persen orang dengan HIV pada
akhirnya akan mengembangkan penyakit PCP. PCP menjadi salah satu pembunuh utama
Odha. Namun, saat ini hampir semua penyakit PCP dapat dicegah dan diobati. PCP
disebabkan oleh jamur yang ada dalam tubuh hampir setiap orang. Dahulu jamur tersebut
disebut Pneumocystis carinii, tetapi para ilmuwan kini menggunakan nama Pneumocystis
jiroveci, namun penyakit masih disingkatkan sebagai PCP.

Sistim kekebalan yang sehat dapat mengendalikan jamur ini. Namun, PCP menyebabkan
penyakit pada anak dan pada orang dewasa dengan sistim kekebalan yang lemah. Jamur
Pneumocystis hampir selalu mempengaruhi paru, menyebabkan bentuk pneumonia (radang
paru). Orang dengan jumlah CD4 di bawah 200 mempunyai risiko paling tinggi mengalami
penyakit PCP. Orang dengan jumlah CD4 di bawah 300 yang telah mengalami IO lain juga
berisiko. Sebagian besar orang yang mengalami penyakit PCP menjadi jauh lebih lemah,
kehilangan berat badan, dan kemungkinan akan kembali mengalami penyakit PCP lagi.
Tanda pertama PCP adalah sesak napas, demam, dan batuk tanpa dahak. Siapa pun
dengan gejala ini sebaiknya segera periksa ke dokter. Namun, semua Odha dengan jumlah
CD4 di bawah 300 sebaiknya membahas pencegahan PCP dengan dokter, sebelum
mengalami gejala apa pun.
Pencegahan PCP : Cara terbaik untuk mencegah PCP adalah dengan memakai terapi
antiretroviral (ART). Orang dengan jumlah CD4 di bawah 200 dapat mencegah PCP dengan
memakai obat yang juga dipakai untuk mengobati PCP. ART dapat meningkatkan jumlah
CD4 anda. Jika jumlah ini melebihi 200 dan bertahan begitu selama tiga bulan, mungkin anda
dapat berhenti memakai obat pencegah PCP tanpa risiko. Namun, karena pengobatan PCP
murah dan mempunyai efek samping yang ringan, beberapa peneliti mengusulkan
pengobatan sebaiknya diteruskan hingga jumlah CD4 di atas 300. Anda harus berbicara
dengan dokter anda sebelum anda berhenti memakai obat apa pun yang diresepkan.
Pengobatan PCP : Selama bertahun-tahun, antibiotik dipakai untuk mencegah PCP pada
pasien kanker dengan sistim kekebalan yang lemah. Tetapi pada 1985 sebuah penelitian kecil
menunjukkan bahwa antibiotik juga dapat mencegah PCP pada Odha. Keberhasilan dalam
pencegahan dan pengobatan PCP sangat dramatis. Persentase Odha yang mengalami PCP
sebagai penyakit yang mendefinisikan AIDS dipotong kurang lebih separoh, seperti juga PCP
sebagai penyebab kematian Odha.
Sayang, PCP masih umum pada orang yang terlambat mencari pengobatan atau belum
mengetahui dirinya terinfeksi. Sebenarnya, 30-40 persen Odha akan mengembangkan PCP
bila mereka menunggu sampai jumlah CD4-nya kurang lebih 50.

Obat yang dipakai untuk mengobati PCP mencakup kotrimoksazol, dapson, pentamidin,
dan atovakuon.

Kotrimoksazol (TMP/SMX) adalah obat anti-PCP yang paling efektif. Ini adalah
kombinasi dua antibiotik: trimetoprim (TMP) dan sulfametoksazol (SMX).

Dapson serupa dengan kotrimoksazol. Dapson kelihatan hampir seefektif kotrimoksazol


melawan PCP.

Pentamidin adalah obat hirup yang berbentuk aerosol untuk mencegah PCP. Pentamidin
juga dipakai secara intravena (IV) untuk mengobati PCP aktif.

Atovakuon adalah obat yang dipakai orang pada kasus PCP ringan atau sedang yang tidak
dapat memakai kotrimoksazol atau pentamidin.
Kotrimoksazol adalah obat yang paling efektif melawan PCP. Obat ini juga murah, dan
dipakai dalam bentuk pil, tidak lebih dari satu pil sehari. Namun, bagian SMX dari
kotrimoksazol merupakan obat sulfa dan hampir separo orang yang memakainya mengalami
reaksi alergi, biasanya ruam kulit, kadang-kadang demam. Sering kali, bila penggunaan
kotrimoksazol dihentikan sampai gejala alergi hilang, lalu penggunaan dimulai kembali,
masalah alergi tidak muncul lagi. Reaksi alergi yang berat dapat diatasi dengan cara
desensitisasi. Pasien mulai dengan dosis obat yang sangat rendah dan kemudian
meningkatkan dosisnya hingga dosis penuh dapat ditahan. Mengurangi dosis dari satu pil
sehari menjadi tiga pil seminggu mengurangi masalah alergi kotrimoksazol, dan tampak sama
berhasilnya. Karena masalah alergi yang disebabkan oleh kotrimoksazol serupa dengan efek
samping dari beberapa obat antiretroviral, sebaiknya penggunaan kotrimoksazol dimulai
seminggu atau lebih sebelum mulai ART. Dengan cara ini, bila alergi muncul, penyebabnya
dapat lebih mudah diketahui.
Dapson menyebabkan lebih sedikit reaksi alergi dibanding kotrimoksazol, dan harganya
juga agak murah. Biasanya dapson dipakai dalam bentuk pil tidak lebih dari satu pil sehari.
Namun dapson kadang kala lebih sulit diperoleh di Indonesia.
Pentamidin memerlukan kunjungan bulanan ke klinik dengan nebulizer, mesin yang
membuat kabut obat yang sangat halus. Kabut ini dihirup secara langsung ke dalam paru.
Prosedur ini memakan waktu kurang lebih 30-45 menit. anda dibebani harga obat tersebut
ditambah biaya klinik. Pasien yang memakai pentamidin aerosol akan mengalami PCP lebih
sering dibanding orang yang memakai pil antibiotik.

5.

Toksoplasmosis
Toksoplasmosis (tokso) adalah infeksi yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii.
Parasit hidup dalam organisme hidup lain (induknya) dan mengambil semua nutrisi dari
induknya. Parasit tokso sangat umum ditemukan pada tinja kucing, sayuran mentah dan
tanah. Kuman ini juga umumnya ditemu dalam daging mentah, terutama daging babi,
kambing dan rusa. Parasit tersebut dapat masuk ke tubuh waktu anda menghirup debu.
Hingga 50 persen penduduk terinfeksi tokso. Sistim kekebalan tubuh yang sehat dapat
mencegah agar tokso tidak mengakibatkan penyakit ini. Tokso tampaknya tidak menular dari
manusia ke manusia.
Penyakit yang paling umum diakibatkan tokso adalah infeksi pada otak (ensefalitis).
Tokso juga dapat menginfeksikan bagian tubuh lain. Tokso dapat menyebabkan koma dan
kematian. Risiko tokso paling tinggi waktu jumlah CD4 di bawah 100. Gejala pertama tokso
termasuk demam, kekacauan, kepala nyeri, disorientasi, perubahan pada kepribadian,
gemetaran dan kejang-kejang. Tokso biasanya didiagnosis dengan tes antibodi terhadap T.
gondii. Perempuan hamil dengan infeksi tokso juga dapat menularkannya pada bayinya.
Tes antibodi tokso menunjukkan apakah anda terinfeksi tokso. Hasil positif bukan berarti
anda menderita penyakit ensefalitis tokso. Namun, hasil tes negatif berarti anda tidak
terinfeksi tokso. Pengamatan otak (brain scan) dengan computerized tomography (CT scan)
atau magnetic resonance imaging (MRI scan) juga dipakai untuk mendiagnosis tokso. CT
scan untuk tokso dapat mirip dengan pengamatan untuk infeksi oportunistik yang lain. MRI
scan lebih peka dan mempermudah diagnosis tokso.
Pengobatan Toksoplasmosis : Tokso diobati dengan kombinasi pirimetamin dan
sulfadiazin. Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak. Parasit tokso membutuhkan
vitamin B untuk hidup. Pirimetamin menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso.
Sulfadiazin menghambat pemakaiannya. Dosis normal obat ini adalah 50-75mg pirimetamin
dan 2-5g sulfadiazin per hari. Kedua obat ini mengganggu ketersediaan vitamin B dan dapat
mengakibatkan anemia. Orang dengan tokso biasanya memakai kalsium folinat (semacam
vitamin B) untuk mencegah anemia.

Kombinasi obat ini sangat efektif terhadap tokso. Lebih dari 80 persen orang
menunjukkan perbaikan dalam 2-3 minggu. Tokso biasanya kambuh setelah peristiwa
pertama. Orang yang pulih dari tokso seharusnya terus memakai obat antitokso dengan dosis
pemeliharaan yang lebih rendah. Jelas orang yang mengalami tokso sebaiknya mulai terapi
antiretroviral (ART) secepatnya, dan bila CD4 naik di atas 200 lebih dari enam minggu,
terapi tokso sudah diselesaikan dan bila tidak ada gejala tokso lagi, terapi pemeliharaan tokso
dapat dihentikan.
6. Tuberkulosis (TB)
Tuberkulosis adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri. TB biasanya mempengaruhi
paru-paru, tapi kadang-kadang dapat juga mempengaruhi organ tubuh lain, terutama pada
Odha dengan jumlah CD4 di bawah 200. TB adalah penyakit yang sangat parah di seluruh
dunia. Hampir sepertiga penduduk dunia terinfeksi TB, tetapi sistem kekebalan tubuh yang
sehat biasanya dapat mencegah penyakit aktif.
Nama tuberkulosis berasal dari tuberkel. Tuberkel adalah tonjolan kecil dan keras yang
terbentuk waktu sistem kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri TB dalam paru.
Ada dua jenis TB aktif. TB primer baru terjadi setelah anda terinfeksi TB untuk pertama kali.
Keaktifan kembali TB terjadi pada orang yang sebelumnya terinfeksi TB. Jika sistem
kekebalan tubuhnya melemah, TB dapat lolos dari tuberkel dan mengakibatkan penyakit
aktif. Kebanyakan kasus TB pada orang dengan HIV diakibatkan keaktifan kembali infeksi
TB sebelumnya.
TB aktif dapat menyebabkan gejala berikut: batuk lebih dari tiga minggu; hilang berat
badan; kelelahan terus menerus; keringat basah kuyup pada malam hari; dan demam,
terutama pada sore hari. Gejala ini mirip dengan gejala yang disebabkan PCP, tetapi TB dapat
terjadi pada jumlah CD4 yang tinggi. TB ditularkan melalui udara, waktu seseorang dengan
TB aktif batuk atau bersin. Anda dapat mengembangkan TB secara mudah jika anda pada
tahap infeksi HIV lanjut. Anda dapat terinfeksi TB pada jumlah CD4 berapa pun.
TB dan HIV: pasangan yang buruk . Banyak jenis virus dan bakteri hidup di tubuh anda.
Sistem kekebalan tubuh yang sehat dapat mengendalikan kuman ini agar mereka tidak
menyebabkan penyakit. Jika HIV melemahkan sistem kekebalan, kuman ini dapat
mengakibatkan infeksi oportunistik (IO). Angka TB pada Odha sering kali 40 kali lebih tinggi

dibanding angka untuk orang yang tidak terinfeksi HIV. Angka TB di seluruh dunia
meningkat karena HIV. TB dapat merangsang HIV agar lebih cepat menggandakan diri, dan
memperburuk infeksi HIV. Karena itu, penting bagi orang dengan HIV untuk mencegah dan
mengobati TB.
Mendiagnosis TB
Ada tes kulit yang sederhana untuk TB. Sebuah protein yang ditemukan pada bakteri TB
disuntik pada kulit lengan. Jika kulit anda bereaksi dengan bengkak, itu berarti anda
kemungkinan terinfeksi bakteri TB.
Jika HIV atau penyakit lain sudah merusak sistem kekebalan mungkin tidak menunjukkan
reaksi pada tes kulit, walaupun terinfeksi TB. Kondisi ini disebut 'anergi'. Oleh karena
masalah ini, dan karena kebanyakan orang di Indonesia sudah terinfeksi TB, jadi tes kulit
sekarang jarang dipakai di sini. Jika anda anergi, pembiakan bakteri dari dahak (lihat alinea
berikut) adalah cara terbaik untuk diagnosis TB aktif.
Bila anda mempunyai gejala yang mungkin disebabkan oleh TB, dokter akan minta anda
menyediakan tiga contoh dahak untuk diperiksa, termasuk satu yang anda diminta keluarkan
dari paru pada pagi hari. Dokter juga mungkin melakukan x-ray paru, dan mencoba
membiakkan bakteri TB dari contoh dahak anda. Tes ini mungkin memerlukan waktu empat
minggu. Sulit untuk mendiagnosis TB aktif, terutama pada Odha, karena gejalanya mirip
dengan pneumonia, masalah paru lain, atau infeksi lain.
Pengobatan TB : Jika terinfeksi TB, tetapi tidak mengalami penyakit aktif,
kemungkinananda diobati dengan isoniazid (INH) untuk sedikitnya enam bulan, atau dengan
INH plus satu atau dua obat lain untuk tiga bulan. Sebuah penelitian yang diterbitkan pada
2001 menunjukkan bahwa terapi kombinasi lebih efektif dibandingkan INH sendiri. INH
dapat menyebabkan masalah hati, terutama pada perempuan.
Jika anda mengalami TB aktif, anda diobati dengan antibiotik. Karena bakteri TB dapat
menjadi kebal (resisten) terhadap obat tunggal, anda akan diberi kombinasi antibiotik. Juga,
TB sulit disembuhkan, dan obat tersebut harus dipakai untuk sedikitnya enam bulan. Jika
anda tidak memakai semua obat, TB dalam tubuh anda mungkin jadi resistan dan obat
tersebut akan menjadi tidak efektif lagi. Ada jenis TB yang sudah resistan pada beberapa

antibiotik. Ini disebut TB yang resistan terhadap beberapa obat atau MDR-TB. Hingga saat
ini, Prevalensi MDR-TB di Indonesia belum jelas; surveillans akan segera dilakukan oleh
Depkes. Kendati masalah ini, lebih dari 90 persen kasus TB dapat disembuhkan dengan
antibiotik.
Masalah obat : Beberapa antibiotik yang dipakai untuk mengobati TB dapat merusak
hati atau ginjal. Begitu juga beberapa obat antiretroviral yang dipakai untuk memerangi HIV.
Bisa jadi sulit untuk memakai obat untuk TB dan HIV sekaligus. INH dapat menyebabkan
neuropati perifer, seperti juga beberapa ARV, jadi dapat terjadi masalah bila obat ini dipakai
bersamaan. Juga, banyak obat anti-HIV berinteraksi dengan obat yang dipakai untuk
memerangi TB. Rifampisin atau rifabutin umumnya dipakai untuk mengobati TB. Obat ini
dapat mengurangi kadar ARV dalam darah anda di bawah tingkat yang diperlukan untuk
mengendalikan HIV.
ARV dapat meningkatkan kadar obat TB ini pada tingkat yang mengakibatkan efek
samping yang berat. Rifampisin tidak boleh dipakai jika anda memakai protease inhibitor
(PI). Rifabutin dapat dipakai dalam beberapa kasus, tetapi mungkin dosisnya harus diubah.
Ada pedoman khusus untuk dokter jika anda memakai obat untuk memerangi TB dan HIV
sekaligus. Juga, jika jumlah CD4 anda di bawah 100, anda sebaiknya memakai rifabutin
sedikitnya tiga kali seminggu. Ini mengurangi risiko TB-nya menjadi resistan terhadap
rifabutin. Untuk alasan ini, TB biasanya disembuhkan sebelum ART dimulai. Namun
mungkin ini mustahil bila jumlah CD4 sangat rendah.
A.

Pencegahan Infeksi Opportunity


Sebagian besar kuman yang menyebabkan IO sangat umum, dan mungkin anda telah
membawa beberapa dari infeksi ini. Anda dapat mengurangi risiko infeksi baru dengan tetap
menjaga kebersihan dan menghindari sumber kuman yang diketahui yang menyebabkan IO.
Meskipun anda terinfeksi beberapa IO, anda dapat memakai obat yang akan mencegah
pengembangan penyakit aktif. Pencegahan ini disebut profilaksis. Cara terbaik untuk
mencegah IO adalah untuk memakai ART. Lihat lembaran informasi masing-masing IO
untuk informasi lebih lanjut tentang menghindari infeksi atau mencegah pengembangan
penyakit aktif.

B.

Pengobatan Infeksi Opportunity


Infeksi oportunistik kerap melibatkan banyak patogen dan menyerang secara
bersamaan. Berbagai gejala klinis pun terdiagnosa, menambah runyam pengobatan pasien
HIV/AIDS. Dengan demikian, diperlukan strategi dalam diagnosis dan pengobatan ,
termasuk dengan antimikroba yang seringkali harus diberi secara kombinasi. "Pemilihan obat
antimikroba idealnya disesuaikan dengan diagnosis dan patogen penyebab infeksi, namun
dalam praktik klinik seringkali terapi diberi secara empirik, oleh karenanya kesulitan dan
keterbatasan secara diagnosa," jelas Ketua Tim Standar Profesi Penyakit Dalam dan Standar
Peralatan Penyakit Dalam ini.
Lebih lanjut, Herdiman menjelaskan, pengobatan infeksi oportunistik pada Odha tidak
dapat dipisahkan dengan pemberian ARV. Kedua komponen terapi ini mesti diberikan secara
beriringan dan sinergis, sebab keduanya akan saling mendukung efektifitas masing-masing.
Terapi ARV ditujukan untuk pemulihan daya tahan tubuh melalui meningkatnya jumlah CD4.
dengan begitu, peningkatan imunitas pasien akan membantu keberhasilan terapi antimikroba,
yang pada akhirnya menurunkan risiko terjadinya infeksi oportunistik. Namun ada kalanya,
pengobatan infeksi oportunistik harus didahulukan, dan kemudian dilanjutkan pemberian
ARV.
Efek sinergis terapi oportunistik dan ARV , oleh beberapa ahli telah dibuktikan
efektifitasnya. Kovack, pada 1997, misalnya, telah menunjukan, terjadinya penurunan insiden
infeksi oportunistik sebesar 55 persen pada populasi Odha yang menerima ARV. Sementara
Astro, peneliti lain, pada 2003 melakukan penelitian untuk menilai efektivitas ARV terhadap
perbaikan

kualitas

hidup

penderita

AIDS.

Hasilnya,

disimpulkan

bahwa

untuk

mengoptimalkan kualitas hidup Odha perlu segera dilakukan penanggulangan infeksi


oportunistik yang dilanjutkan dengan ARV. "Keberhasilan ini dikaitkan dengan peningkatan
imunitas tubuh.Tapi, ARV sendiri tidak memberikan efek perlindungan yang sama bagi setiap
komplikasi oportunistik, oleh karenanya perlu upaya lain dengan penggunaan profilaksis,
serta pendekatan diagnostik dan terapetik yang lebih baik," tegas Herdiman.
Dengan begitu pengobatan infeksi bukan berarti pekara mudah.Tak sedikit para
praktisi medis mengalami kegagalan, termasuk akibat keterbatasan non medis seperti
terlambatnya diagnosa dini, kesulitan mendapatkan obat, dan biaya yang tinggi. Namun
demikian, Herdiman menegaskan, HIV/AIDS bukanlah tanggung-jawab dokter semata, dan

bukan sekadar masalah kesehatan. Penyakit "kutukan", pada sebagian masyarakat, ini
merupakan tanggung-jawab semua elemen: apapun profesi, status sosial, agama, orientasi
politik. AIDS adalah masalah kita semua yang tak bisa ditunda pemecahannya. Segera!! Atau
segalanya akan menjadi sangat terlambat.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang ambil kesempatan (opportunity) yang
disediakan oleh kerusakan pada sistem kekebalan tubuh untuk menimbulkan penyakit.
Kerusakan pada sistem kekebalan tubuh ini adalah salah satu akibat dari infeksi HIV, dan
menjadi cukup berat sehingga IO timbul rata-rata 7-10 tahun setelah kita terinfeksi HIV.

Kerusakan pada sistem kekebalan tubuh kita dapat dihindari dengan penggunaan
terapi antiretroviral (ART) sebelum kita mengalami IO. Namun, karena kebanyakan orang
yang terinfeksi HIV di Indonesia tidak tahu dirinya terinfeksi, timbulnya IO sering kali
adalah tanda pertama bahwa ada HIV di tubuh kita. Jadi, walaupun ART tersedia gratis di
Indonesia, masalah IO tetap ada, sehingga adalah penting kita mengerti apa itu IO dan
bagaimana IO dapat diobati dan dicegah.
Pencegahan beberapa IO, yang disebut sebagai profilaksis, dapat dilakukan dengan
cara yang cukup sederhana, yaitu dengan memakai dua pil obat kotrimoksazol setiap hari.
Pencegahan ini hanya dibutuhkan setelah sistem kekebalan tubuh kita cukup rusak.

DAFTAR PUSTAKA
1. Z. Djoerban, S. Djauri. Infeksi tropical. Hiv aids. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. Edisi IV. Jilid III. Hal. 1803-1807.
2. M. Leng see. Penanganan pajanan hiv bagi petugas kesehatan. Kesehatan kedokteran.
2 disember 2010. Available at:
http://mlengsee.wordpress.com/2010/12/02/penanganan-pajanan-hiv-bagi-petugaskesehatan/. Acessesed on 2 march 2013.
3. Prof. Dr. Sofyan Ismael, Sp. A (K). Antiretroviral. Pedoman nasional pelayanan
kedokteran. Tatalaksanan hiv/aids. 2011. Hal 47-67.
4. HIV Discussion. HIVwebstudy. Available at:
http://depts.washington.edu/hivaids/initial/case1/discussion.html. Accessed on 2
march.
5. Mitchell. H. Katz, MD, Andrew R. Zolopa, MD. HIV Infection and Aids. 2009
Current Medical Diagnosis dan Treatment. McGaw Hill, 48th ed. Hal. 1176-1205.
6. Quinn TC, Wawer MJ, Sewankambo N and others. Hiv. Scribd. Available at:
http://www.scribd.com/doc/40951928/Hiv. Accessed on 2 march.
7. Mansjoer, Arif M. Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). In Triyanti
Kuspuji, editor. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius
FKUI; 2000. Hal162-163
8. Lan, Virginia M. Human

Immunodeficiency

Virus

(HIV)

and Acquired

Immunodeficiency Syndrome (AIDS). In: Hartanto H, editor. Patofisiologi: Konsep


Klinis proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: ECG 2006. Hal . 224.
9. Merati, Tuti P.Respon Imun Infeksi HIV. In : Sudoyo Aru W: editor. Buku ajar ilmu
penyalit dalam. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI: 2006. Hal 545-6

Anda mungkin juga menyukai