Anda di halaman 1dari 10

TUGAS PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN RESERVOIR

MAKALAH PENYAKIT KOLERA


Dosen Pengampu : Dr. Drh. Dwi Sutiningsih, M.Kes

Disusun Oleh :
Diana Wulandari
25010116120116

ENTOMOLOGI KESEHATAN
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
A. Penyakit Kolera
Kolera adalah penyakit diare yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang
signifikan di seluruh dunia. Penyakit tersebut merupakan penyakit infeksi usus yang
disebabkan oleh bakteri Vibrio cholerae. Penularan kolera melalui makanan, minuman
yang terkontaminasi oleh bakteri Vibrio cholerae. Atau kontak dengan carrier kolera.
Dalam usus halus bakteri Vibrio cholerae ini akan beraksi dengan cara mengeluarkan
toksinnya pada saluran usus, sehingga terjadilah Diare disertai Muntah yang akut dan
hebat.
Bakteri Vibrio cholerae masuk ke dalam tubuh seseorang melalui makanan dan
minuman yang telah terkontaminasi oleh Bakteri akan mengeluarkan Enterotoksin di
dalam tubuh seseorang pada bagian saluran usus, sehingga menimbulkan diare disertai
muntah yang akut dan sangat hebat, dan berakibat seseorang dalam waktu hanya
beberapa hari akan kehilangan banyak cairan dalam tubuhnya sehngga mengalami
dehidrasi.
Vibrio cholerae adalah bakteri gram negatif, berbentuk koma, bersifat anaerobik
fakultatif. Bakteri ini pathogen fakultatif intraseluler yang ditemukan pada manusia dan
hewan jenis primata. Vibrio cholerae pertama kali di isolasi karena dari kasus diare.
Pada biakkan, dapat dilihat bahwa Vibrio membentuk koloni yang cembung (convex),
bulat, halus/smooth, opak, dan tampak bergranula bila diamati di bawah sinar cahaya.
Bersifat halofilik dan dapat tumbuh optimal pada air laut bersalinitas 20-40 ‰ tetapi tidak
tahan asam sehingga bakteri Vibrio dapat tumbuh pada pH 4 – 9 dan tumbuh optimal
pada pH 6,5 – 8,5 atau kondisi alkali dengan pH 9,0.Vibrio cholerae mempunyai
susunan antigen kompleks. Sebagian besar bakteri Vibrio cholerae mempunyai antigen
O juga dimiliki oleh bakteri enterik lainnya. Antigen somatik O dari Vibrio adalah
lipopolisakarida. Kehuhusan serologiknya tergantung pada polisakarida.
Terdapat sekitar 200 atau lebih serotype. Lipopolisakarida ( LPS ) - endotoksin
dari Vibrio cholerae - memainkan peran penting dalam memunculkan respon imun
antibakteri dari hospes dan dalam mengklasifikasikan vibrio menjadi sekitar 200 atau
lebih serogrup yang mempunyai karakteristik fisik dan kimia dari tiga unsur, lipid A ,
polisakarida inti (core - PS ) dan O - antigen polisakarida - charide ( O - PS ) ,dari LPS
dari V. cholerae serogrup berbeda , termasuk yang penyebab penyakit , O1 dan O139.
Vibrio cholerae ditularkan secara oral melalui air, makanan, dan lalat yang
tercemar oleh feses pasien. Sebagian galur Vibrio menyebabkan kolera (Mrityunjoy,
Kaniz, Fahmida et al, 2013). Dosis efektif yang diperlukan untuk menyebabkan penyakit
diperkirakan sekitar 102 -103 sel untuk menyebabkan diare berat dan dehidrasi

B. Kasus
Pada tahun 2015, 42 negara melaporkan total 172.454 kasus kolera termasuk
1.304 kematian akbiat penyakit kolera, menghasilkan case fatality ratio keseluruhan
(CFR) sebesar 0,8%. Angka ini menunjukan penurunan 9% dalam jumlah kasus yang
dilaporkan dibandingkan dengan tahun 2014 (190.549 kasus). Kasus dilaporkan dari
semua wilayah, termasuk 16 negara di Afrika, 13 negara di Asia, 6 negara di Eropa, 6
negara di Amerika, dan 1 negara di Oceania. Afghanistan, Republik Demokratik Kongo
(DRC), Haiti, Kenya, dan Republik Bersatu Tanzania menyumbang 80% dari semua
kasus. Dari kasus yang dilaporkan secara global, 41% berasal dari Afrika, 37% dari Asia
dan 21% dari Hispaniola (World Health Organization, 2016)

(Gambar Data Kasus Kolera, WHO)

Sedangkan menurut data Riskesdas pada tahun 2013 angka prevalensi


mengalami penurunan sebesar (3,5%) untuk semua kelompok umur. Insiden diare balita
di Indonesia adalah 6,7 persen. Lima provinsi dengan insiden diare tertinggi adalah
Aceh (10,2%), Papua (9,6%), DKI Jakarta (8,9%), Sulawesi Selatan (8,1%), dan Banten
(8,0%) (tabel 3.4.5). Karakteristik diare balita tertinggi terjadi pada kelompok umur 12-23
bulan (7,6%), laki-laki (5,5%), tinggal di daerah pedesaan (5,3%), dan kelompok kuintil
indeks kepemilikan terbawah (6,2%) (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
2013).

C. Patogenitas
Dalam melakukan pathogenesis,Vibrio cholerae mengeluarkan cholera toxin (
CT) dan toxin coregulated philus (TCP). Cholera toxin (CT) dan toxin coregulated philus
(TCP) diproduksi oleh pili dan outer membrane protein (OMP). Dalam melaksakan
fungsi pada patogenenitas, toksin tersebut di sandi oleh gen. Gen-gen yang berperan
yaitu gen toxR. Gen toxRadalah gen regulator global pada genus Vibrio sp.sebagai gen
pengontrol regulator ekspresi gen. Produk gen toxR (Vp-ToxR) mempromotori ekspresi
gen tdh dan gen trh untuk menghasilkan toksin terhadap pertumbuhan bakteri S.
mutans.
Salah satu peristiwa penting pada patogenitas bakteri enteroinvasi adalah
penetrasi ke dalam epitel usus. Vibrio Cholerae dapat memasuki sel epitelmelalui sel M.
Sel M merupakan struktur folikel limfoid yang tersebar di seluruh permukaan sel usus
kecil, usus besar dan rectum. Sel M relatif jarang, ditemukan kurang dari 0,1 % eptel
pada lapisan usus. Sel M memiliki aktifitas endositik yang tinggi berfungsi untuk
mengangkut larutan dan partikulat antigen di sitoplasma, sehingga sel M menjadi target
pintu masuk bagi banyak bakteri pathogen. Sel M juga mengekspresikan molekul pada
permukaannya yang berfungsi reseptor untuk bakteri patogen.
Bakteri pathogen harus menempel pada sel inang untuk memulai terjadinya
infeksi. Proses ini diperlukan untuk kolonisasi pada jaringan inang dan dimediasi oleh
permukaan bakteri yang mempunyai sifat adhesian, seperti lectins, mengenali
oligosaccharide residu glikoprotein atau reseptor glycolipid pada sel inang. Kemampuan
adhesi ini diperantarai oleh keberadaan hemagglutinin pada permukaan bakteri.
Adhesi.merupakan tahap inisiasi dari proses kolonisasi bakteri. Bakteri pathogen harus
menempel pada sel inang untuk memulai terjadinya infeksi. Proses ini diperlukan untuk
kolonisasi pada jaringan inang dan dimediasi oleh permukaan bakteri yang mempunyai
sifat adhesian, seperti lectins, mengenali oligosaccharide residu glikoprotein atau
reseptor glycolipid pada sel inang. Kemampuan adhesi ini diperantarai oleh keberadaan
hemaglutinin pada permukaan bakteri.
Patogenitas dan manifestasi klinis Vibrio cholerae merupakan akibat dari
sejumlah faktor vrulensi yang di inveksikan oleh bakteri tersebut. Virulensi adalah
ukuran patogenitas organisme. Tingkat virulensi berbanding lurus dengan kemampuan
organisme menyebabkan penyakit. Tingkat virulensi dipengaruhi oleh jumlah bakteri,
jalur masuk ke tubuh inang, mekanisme pertahanan inang, dan faktor virulensi bakteri.
Faktor virulensi utama dihasilkan oleh Vibrio cholerae merupakan enterotoksin
ekstraseluler yang kuat yang berperan pada sel usus kecil. Dalam struktur dan
fungsinya. Toksin Cholera (CT), atau “choleragen”, merupakan suatu molekul protein
kompleks dengan berat molekul sekitar 84.000 di susun oleh dua subunit utama. CT
memiliki subunit toksin A dan B. Subunit A yang melakukan respon untuk aktivitas
biologi sedangkan subunit B yang melakukan respon pengikatan seluler toksin. Subunit
A terdiri dari dua polipeptida yang diikat bersama oleh suatu ikatan disulfida tunggal.
Aktifitas toksik terdapat pada A1, sedangkan A2 tersedia sebagai pengikat subunit B.

D. Patofisiologi dan Gejala Klinis


Pada manusia, infeksi V.cholerae O1 terjadi karena masuknya kuman melalui air
atau makanan yang terkontaminasi ke saluran cerna. Tergantung pada jumlah inokulum
dan kerentanan individu, masa inkubasi infeksi V.cholerae O1 berkisar antara 12 sampai
72 jam. Dibandingkan dengan jumlah kuman yang diperlukan untuk terjadinya infeksi
pada jenis enterik lain, jumlah inokulum untuk terjadinya infeksi V.cholerae O1 relatif
lebih besar. Hal ini mungkin disebabkan karena V.cholerae O1sangat tidak stabil dalam
suasana asam sehingga sebagian besar V.cholerae O1 yang masuk ke saluran cerna
(ingested) terbunuh pada lingkungan asam di lambung. Makanan mempunyai efek
penyangga (buffering) seperti yang terlihat pada pemberian sodium bikarbonat.
Masuknya 106 organisme bersamaan dengan makanan seperti ikan dan nasi dapat
meningkatkan attack rate (100%) seperti bila inokula diberikan bersamaan dengan
larutan penyangga (buffer).
Usus halus adalah tempat primer infeksi V.cholerae O1 dan merupakan asal
terjadinya diare sekretorik. Derajat kehilangan cairan paling tinggi pada
jejunum.Kehilangan cairan di bagian usus ini mencapai 11 ml/cm/jam.
Vibrio cholerae O1 berkolonisasi di epitel intestinal tetapi tidak bersifat invasif
atau menyebabkan perubahan struktural dari epitel. Efek utama dari infeksi V.cholerae
O1 adalah meningkatnya secara aktif sekresi klorida dan bikarbonat, dan menurunnya
absorpsi sodium klorida. Kedua peristiwa ini terjadi melalui pekerjaan toksin kolera, yaitu
(i) subunit B, yang mengikatkan diri pada reseptor di permukaan mukosa epitel intestinal
yang mengandung glikolipid GM1 gangliosida, dan (ii) subunit A yang secara enzimatis
mengaktifkan adenilat siklase dan meningkatkan konsentrasi intraseluler AMP siklik
(cAMP). Selanjutnya cAMP bekerja sebagai pembawa perintah intraseluler kedua
(intracellular second messenger) untuk menghambat absorpsi sodium klorida yang
terjadi secara aktif, dan sebaliknya meningkatkan sekresi klorida dan bikarbonat.
Mekanisme lain selain peningkatan konsentrasi intraseluler dari cAMP yang juga
dianggap berperan di dalam sekresi cairan intestinal pada kolera adalah meningkatnya
kadar prostaglandin. Prostaglandin meningkatkan sekresi cairan intestinal secara in vitro
dan meningkatnya prostaglandin dapat dijumpai di dalam tinja penderita kolera.
Gambaran klinis kolera yang paling menyolok adalah produksi tinja cair yang
jumlahnya besar dan terjadinya dehidrasi sebagai akibat dari kehilangan cairan melalui
tinja yang tidak diganti. Masa inkubasi kolera dapat berkisar antara beberapa jam
sampai beberapa hari tergantung kepada jumlah inokulum. Awal terjadinya gejala
penyakit dapat mendadak, dengan diare air yang hebat; atau mungkin didahului oleh
perasaan tidak enak perut, mual, dan diare ringan. Mula-mula tinja masih mengandung
masa dan berwarna kuning cokelat, tetapi dengan berkembangnya penyakit, tinja akan
menjadi lebih encer dan berwarna abu-abu pucat, dan selanjutnya akan menyerupai air
cucian beras. Tinja kolera ini tidak mengandung sel-sel radang atau eritrosit dan hampir
tidak ada protein. Tidak adanya sel-sel leukosit, eritrosit, dan protein ini mencerminkan
penyakit yang sifatnya noninflamatorik dan noninvasif.
Diare sering diikuti muntah, terutama pada awal penyakit. Pada beberapa
penderita, muntah dapat sangat hebat. Penyebab dari muntah belum diketahui dengan
pasti, tetapi karena muntah biasanya berkurang dengan pemberian cairan dan elektrolit
yang adekuat, beberapa peneliti menduga bahwa muntah ini disebabkan karena adanya
gangguan elektrolit, khususnya gangguan keseimbangan asam-basa. Dehidrasi berat
memberikan gambaran yang khas dan menonjol sehingga kolera merupakan sedikit dari
penyakitpenyakit pada orang dewasa yang dapat didiagnosis secara tepat secara klinis.
Nadi perifer tidak teraba, dan tekanan darah tidak dapat diukur. Turgor kulit menurun
sehingga memberi kesan kulit seperti adonan kue; mata cekung dan kaki tangan keriput
seperti terendam lama di air (washerwoman’s hands). Suara penderita serak, penderita
menjadi gelisah dan merasa sangat haus.
Oleh karena V.cholerae O1 tidak bersifat invasif terhadap mukosa intestinal, dan
tidak menyebabkan terjadinya repons inflamatorik pada penderita-penderita maka suhu
badan biasanya normal atau subnormal; demam derajat rendah mungkin terdapat pada
sekitar 20% penderita, terutama pada anak-anak, yang mungkin disebabkan karena
adanya vasokonstriksi perifer.

E. Pendekatan Diagnosis
Dalam menegakan suatu diagnosis kolera meliputi gejala klinis, pemeriksaan
fisik ,reaksi aglutinasi dengan anti serum spesifik dan kultur bakteriologis. Menegakkan
diagnosis penyakit kolera yang berat terutama di derah endemik tidaklah
sukar.Kesukaran menegakkan diagnosis biasanya terjadi pada kasus-kasus yang ringan
dan sedang, terutama di luar endemic atau epidemi.
1) Gejala klinik
Kolera yang tipik dan berat dapat dikenal dengan adanyaberak-berak
yang sering tanpa mulas diikuti dengan muntah-muntah tanpa mual, cairan
tinja berupa air cucian beras,suhu tubuh yang tetap normal atau menurun
dan cepatbertambah buruknya keadaan pasien dengan gejala-gejalaakibat
dehidrasi, renjatan sirkulasi dan asidosis yang jelas.
2) Pemeriksaan Fisik.
Adanya tanda-tanda dehidrasi yaitu keadaan turgor kulit,mata cekung,
Ubun ubun besar yang cekung, mulutkering,denyut nadi lemah atau tiada,
takikardi, kulit dingin,sianosis, selaput lendir keringdan kehilangan berat
badan
3) Kultur Bakteriologis
Diagnosis pasti kolera tergantung dari keberhasilanmengisolasi V.
Kolera 01 dari tinja penderita penanaman padamedia seletif agar gelatin
tiosulfat-sitrat-empedu-sukrosa (TCBS) dan TTGA.Tampak pada TCBS
organisme V. Koleramenonjol sebagai koloni besar, kuning halus
berlatarbelakang medium hijau kebiruan. Pada TTGA koloni kecil,opak
dengan zone pengkabutan sekelilingnya.
4) Reaksi aglutinasi dengan antiserum spesifik
Yaitu melalui penentuan antibodi-antibodi vibriosidal,aglutinasi dan
penetralisasi toksin, titer memuncrat dan ke 3antibodi tersebut akan terjadi 7-
14 hari setelah awitanpenyakit-titer antibodi vibriosidal dan aglutinasi akan
kembalipada kadar awal dalam waktu 8-12 minggu setelah awitanpenyakit,
sedangkan titer antitoksin akan tetap tinggi hingga12-18 bulan. Kenaikan
sebesar 4x atau lebih selama masapenyakit akut atau penurunan titer selama
masa penyembuhan.
5) Pemeriksaan darah
Pada darah lengkap ditemukan angka leukosit yang meninggiyang
menunjukkan adanya suatu proses infeksi, pemeriksaanterhadap pH,
bikarbonat didalam plasma yang menurun, danpemeriksaan elektrolit untuk
menentukan gangguan keseimbangan asam basa.

F. Pencegahan dan Pengendalian


Industri : upaya pengendalian yang meliputi pembuangan ekskreta dan
limbah/air limbah secara aman; proses pengolahan air minum, misalnya dengan
klorinasi, iradiasi, perlakuan panas pada makanan misalnya pengalengan.
Tempat penjualan makanan/rumah tangga : hygiene perorangan (kebiasaan
mencuci tangan dengan sabun dan air); memasak makanan sampai matang dan
mencuci buah serta sayuran sampai benar – benar bersih; merebus air minum kalau
pasokan air yang aman tidak tersedia. Konsumen harus menghindari konsumsi
makanan laut mentah. Di beberapa negara, para pelancong harus mendapatkan
vaksinasi.
Vaksinasi juga bisa dilakukan agar tidak tertular bakteri kolera, namun distribusi
vaksin ini masih terbatas. Saat ini, ada tiga merk vaksin kolera yang lolos uji pre-
kualifikasi WHO, yakni Dukoral®, Shanchol™, and Euvichol®. Vaksin ini diberikan
secara oral dan diperuntukkan bagi orang-orang yang akan bepergian ke daerah wabah
kolera dan bagi mereka yang memiliki akses pelayanan medis terbatas (misalnya
petugas bantuan kemanusiaan).
Berdasarkan data WHO tahun 2015, beberapa negara di Afrika seperti Kongo,
Kenya, Malawi, Mozambik, Nigeria, Somalia, Sudan, dan Tanzania merupakan daerah
yang terkena endemis kolera. Idealnya, vaksin kolera diberikan kurang lebih satu
minggu sebelum seseorang bepergian ke daerah rawan kolera. Bagi orang-orang yang
berusia diatas enam tahun, 2 dosis vaksin kolera dapat melindungi mereka dari infeksi
bakteri kolera selama dua tahun. Sedangkan bagi anak-anak yang berusia dua sampai
enam tahun, dibutuhkan 3 dosis vaksin kolera untuk melindungi mereka dari serangan
bakteri kolera selama enam bulan.
G. Pengobatan
Dampak paling fatal akibat kolera adalah kematian yang dapat terjadi dalam
hitungan jam saja. Itu sebabnya pasien membutuhkan penanganan yang cepat dan
tepat. Langkah-langkah penanganan darurat dapat berupa:

 Pemberian oralit, untuk menggantikan cairan dan elektrolit yang hilang. Oralit
tersedia dalam bentuk bubuk yang bisa dicampur dengan air mineral botol atau
air yang dimasak hingga mendidih.
 Pemberian infus, untuk orang yang mengalami dehidrasi parah.
 Pemberian suplemen seng, untuk meredakan diare pada anak-anak penderita
kolera.
 Pemberian antibiotik, untuk mengurangi jumlah bakteri, sekaligus mempersingkat
diare akibat kolera.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wang J, Rajanna C , Zhang D, Xu Z, Ali A, Hou Y M & Karaolis, 2009.Endotoxin of


Vibrio cholerae: Physical and Chemical Characterization,Cholera toxins, p: 33-54.
2. Lesmana, M, 2004. Perkembangan Mutakhir Infeksi Kolera, Jurnal Kedokteran Trisakti.
Dalsgaard A, Serichantalergs O, Forslund A, Lin
3. W, Mekalanos J, Mintz E, et al. Phenotypic and molecular characterization of Vibrio
cholerae O1 isolated in Samutsakorn, Thailand before, during and after the emergence
of V.cholerae O139. Epidemiol Infect 1998; 121: 259-68.
4. Hlady WG, Klontz KC. The epidemiology of Vibrio infections in Florida, 1981-1993. J
Infect Dis 1996; 173: 1176-83.
5. World Health Organization. 2016. Weekly epidemiological record Releve
epidemiologique hebdomadaire.Wkly. Epidemiol. Rec., 91(38), pp.433-440.
6. Sariadji, K., Sunarno & Puranto, H. R. 2015. Diagnostik Cepat Sebagai Metode Alternatif
Diagnosis Kholera yang Disebabkan oleh Agen Vibrio Cholerae. Jurnal Biotek
Medisiana,4(1), pp. 1-7.
7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2007. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS). Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
8. Kharirie. 2013. Diagnosa Vibrio Cholerae dengan Metode Kultur dan Polimerase Chain
Reaction (PCR) pada Sampel Sumber Air Minum. Jurnal Biotek Medisiana Indonesia,
2(2), pp. 51-58.

Anda mungkin juga menyukai