Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KOASITENSI

KASUS MANDIRI VIROLOGI

BABI AFRICAN SWINE FEVER (ASF)

MOSCATIA TOBILOLON MUDA, S.K.H

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2022
BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang
Ternak babi sebagai salah satu sumber protein hewani mempunyai kelebihan
dibanding ternak lain, yakni persentasi karkasnya yang lebih tinggi (65 %), mampu
menghasilkan anak banyak hingga intensitas melahirkan yang lebih sering dibanding
ternak sapi maupun domba. Karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi betrnak babi
kemudian menjadi salah satu penunjang ekonomi masyarakt. Kehadiran penyakit
infeksius dapat menyebabkan kerugian yang besar bagi peternak (Budarasa K, 2014).
Penyakit African Swine Fever (ASF) atau yang dikenal masyarakat awam sebagai
demam babi afrika, disebabkan oleh virus dsDNA dari family Asfarviridae, dan genus
Asfivirus. Virus ini memiliki struktur icosahedral, dikelilingi dengan lapisan membran,
dengan diameter sekitar 20 nm (MacLachlan et al., 2017). Penyakit ini bersifat
hemoragik akut yang cepat menular dan memiliki tingkat mortalitas hingga 100%.
Manifestasi klinis ASF meliputi 4 tahapan yakni perakut, akut, subakut dan
kronis. Yang membedakan ke empat tahapan ini ialah tingkat keparahan penyakit yang
ditunjukan serta lamanya gejala klinis yang terjadi, dan faktor yang mempengaruhi ialah
tingkat virulensi virus, strain virus dan status kekebalan ternak babi (Cabezón et al.
2017). Gejala klinis yang muncul selain penurunan nafsu makan hingga lemas ialah
demam tinggi, pendarahan pada kulit sperti bintik-bintik merah pada kulit, hingga
kematian mendadak.
Penyakit yang dikenal masyarakat awam sebagai demam babi afrika ini
merupakan penyakit infeksius ternak babi dengan mortalitas dan mordibitas yang sangat
tinggi. Tingkat virulensi yang tinggi dan menimbulkan kematian segera setelah terinfeksi
menjadikan penyakit ini sebagai salah satu ancaman yang cukup serius dalam
menimbulkan kerugian ekonomi serta mengncam keamanan pangan dan perdagangan
global di sektor peternakan babi. Oleh karena itu, meski tidak bersifat zoonosis, penyakit
ini masuk ke dalam daftar OIE notifable disease dan dapat termasuk dalam bioterror
dalam perekonomian sebuah wilayah yang bertumpu pada sektor peternakan babi
(Sendow et al., 2020).
Penyebaran penyakit ini dapat melalui kontak langsung antara ternak terinfeksi
dan ternak sehat seperti sekresi hidung, urin, feses, saliva, kontak tidak langsung yang
diperantarai manusia, alat transportasi, hingga swill feeding, serta melalui gigitan kutu
caplak dari Ornithodorus sp yang telah menggigit hewan terinfeksi (Kipanyula &
Nong’ona 2017).
1. 2 Tujuan
Untuk menegakan diagnosa penyakit berdasarkan pemeriksaan klinis dan uji
laboratorium.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etiologi African Swine Fever


Penyakit ini disebabkan oleh virus dsDNA dalam family ASfarvirus dan genus
Asfivirus. Virus memiliki struktur iksohedral dengan inti terdiri dari nucleoprotein yang
dikelilingi protein matriks, dengan lapisan kapsid tersusun atas protein kapsid. Virus
memsuki sel inang dengan cara endositosis menggunakan protein p72 dan p54 saat
melakukan perlekatan dengan sel inang (MacLachlan et al., 2017).

Gambar 1. (A) struktur virus ASF. (B) bagian extraseluler virion yang
ditunjukan oleh mikroskop electron, panah hitam menunjukan amplp
luar virus, dan panah putih menunjukan embran virus

Virus ini memiliki satu serotype dan 8 serogrup berdasarkan hemadsorption


inhibition assay (HAI) pada biakan jaringan. Hemadsorption bersifat patognomonik pada
virus ASF yang dapat membedakan ASF dengan Cassical Swine Fever (CSF) pada biakan
jaringan (Malogolovkin et al. 2015)..
2.2 Patogenesis
Virus ASF dapat menyebabkan leukopenia, limfopenia, trombositopenia, dan
apoptosis pada limfosit dan sek fagosit mononuklear. Virus memasuki hewan terinfeksi
melalui gigitan caplak Ornithidorus sp, atau kontak langsung antar hewan, maupun
kontaminasi paan atau media perantara dan berepikasi pada daerah tonsil atau limfonodus.
Virus kemudian menyebar melalui sistem limfatik dan darah menuju organ target sekunder
dalam waktu 2-3 hari, dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh (Salguero, 2020).
Kemampuan virus dalam memberikan efek sitopatologi menentukan tingkat
virulensi virus. Target utama virus ialah pada sel monosit dan makrofag, dimana virus
menghambat ekspresi sel makrofag menyebabkan timbulnya lesi hemoragik dan apoptosis
limfosit, hingga kerusakan imun bawaan yang diperantarai oleh sytokin hasil produksi
makrofag terinfeksi. Kerusakan pada trombosit dan perubahan koagulasi menginisiasi
terbentuknya hemoragi, infeksi kemudian menyebar ke limfosit yang tidak terinfeksi, terjadi
pengulangan patogenesis hingga akhirnya menyebar ke seluruh sistem limfatik ternak
(Blome et al., 2013).
2.3 Gejala Klinis
Penyakit ASF merupakan penyakit viral hemoragik yang menyerang babi domestik
maupun babi liar dengan tingkat kematian dapat mencapai 100%. Babi liar lebih rentan
terhadap penyakit ini dan bertindak sebagai karir serta tidak menimbulkan gejala klnis yang
khas seperti pada babi domestik.
Gejala klinis patognomonik pada babi tereinfeksi ialah hemoragi kulit, seperti yang
dilaporkan oleh Bisimwa et al., (2021) berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan,
kemerahan pada kulit dan mulut merupakan satu-satunya yang berkorelasi positif terhadap
gejala klinis ASF. Artinya bahwa ternak babi dengan gejala ini memiliki kemungkinan
positif ASF lebih tinggi dibandingan dengan gejala lain seperti ketidakmampuan babi untuk
berdiri secara normal, serta gejala klinis umum seperti demam tinggi.
Gejala klinis penyakit ASF bervariasi tergantung bentuk penyakit serta kondisi
ternak, dan terbagi menjadi per-akut, akut, sub-akut, dan kronis. Bentuk perakut pada babi
menyebabkan kematian mendadak pada babi yang menjadi indikasi awal penyakit. Bentuk
akut menyebabkan demam, inkoordinasi gerakan, erithermia, diare, muntah sesak napas,
adanya gambaran leukopenia dan trombositopenia pada pemeriksaan darah, hingga abortus
(Montoya et al., 2017). Lebih lanjut dikatakan bahwa kematian babi pada tingkat perakut
ialah 4 hari setelah infeksi tanpa menunjukan gejala apapun, dan kematian babi 4-21 hari
setelah infeksi untuk tingkat akut.
Babi dengan gejala klinis subakut memiliki gejala seperti demam ringan, nafsu
makan hilang, juga abortus pad babi bunting. Untuk babi terinfeksi dengan gejala klinis
kronis seperti nafsu makan tidak ada, tidak demam, suhu normal, nekrosis kulit,
pembengkakan sendi, hingga borok pada kulit (Primatika et al., 2021). Karena gejala klinis
dengan virulensi yang rendah, kedua gejala klinis ini lebih sulit terdeteksi dibanding bentuk
perakut dan akut. Menurut Balyshev et al., (2018) masa inkubasi penyakit ini bervariasi
tergantung rute penualaran serta tingkat virulensi virus sekitar 3-21 hari.
Pada pemeriksaan nekropsi terhadap babi terinfeksi ditemukan pembesaran pada
limpa (splenomegaly), ditandai dengan menebalnya tepian lima dengan konsistensi yang
rapuh, perubahan warna limpa menjadi lebih gelap kongesti dan hemoragi serta atropi.
Perubahan juga ditemukan pada limfonodus inguinal superfisialis yang mengalami hemoragi
hingga nekrosis. Selain limpa dan limfonodus perubahan juga ditemukan pada jantung, paru-
paru, hati dan ginjal yang mengalami perdarahan (Gelolodo et al., 2021).
2.4 Epidemiologi
Penyakit ASF menjadi endemik pada daerah sub-Sahara Afrika pada tahun 1975,
dengan laporan kasus pertama terjadi di Kenya pada tahun 1921. Penyakit ini menyebar ke
Kepulauan Karibia dan Amerika Selatan, kemudian menyebar ke benua Eropa pada tahun
1980an (FAO, 2018). Karakteristik virus yang ganas maupun penularan yang cepat
menjadikan penyakit ini menjadi endemik dalam kurun waktu yang sangat singkat,
menyebabkan kerugian ekonomi peternak babi di wilayah wabah.
Kejadian ASF di Asia pertama kali terjadi di Cina pada Agustus 2018, diduga karena
kontaminasi makanan (swill feeding), transport ternak babi, babi liar, hingga dari produk
olahan daging babi. Dikemukanan oleh Ge et al., (2018) ditemukan karakteristik strain virus
dengan homolog yang sama pada sampel Cina dan Vietman terhadap sampel virus di
Georgia, Russia, dan Polandia, sehingga boleh disimpulkan bahwa kemunculan ASF di Asia
berasal dari Eropa.
Di Indonesia penyakit ASF mulai terjadi pada bulan September 2019, setelah adanya
laporan babi sakit di Provinsi Sumatra Utara, yang gejalanya mirip dengan ASF. Gejala
klinis yang muncul antara lain petechiae di daerah extremitas, abdomen, penurunan nafsu
makan, lemas, hingga berakhir dengan kematian. Identifikasi virus yang dilakukan oleh
Balai Veteriner setempat kemudian mengkonfirmasi keberadaan virus ASF sebagai
penyebab kematian babi (Dharmayanti, pres com dalam Sendow et all., 2020).
2.5 Diagnosa
Diagnosa ASF dapat dilakukan dengan deteksi virus seperti ikatan antigen-antibodi
dengan uji serologi, deteksi genom virus menggunakan uji molekuler seperti PCR, maupun
dengan deteksi virus pada sampel suspect seperti virus isolation (VI) dan haemadsorption
test (HAD). Sampel ASF yang dikoleksi dapat disiolasi pada kultur leukosit primer babi
yang telah dilemahkan, dan jika sampel yang dicurigai mengandung ASFV maka replikasi
pada kultur sel akan menghasilkan cytopathic effect (CPE) dan HAD (Arias et al., 2019).
Uji serologi menekankan kepada adanya reaksi silang antara antigen dan antibody
spesifik pada sampel yang diambil. Yang termasuk dalam uji serologi ialah Fluorescent
Antibody Test (FAT), yang dikombinasikan dengan fluorescein isothiocyanate (FITC), dan
dibaca hasil pewarnaan-ikatan dengan bantuan sinar UV. Selain FAT, uji Enzym Linked
Immunosorbeant Assay (ELISA) juga menjadi salah satu uji serologis yang sering
digunakan (Qiu et al., 2021).
Uji molekuler diyakini sebagai uji standar dalam mendeteksi sebuah penyakit,
dikarenakan sensitifitas, dan spesifitasnya dalam mendeteksi genom virus. Uji PCR baik
konvensional maupun real time telah banyak digunakan dalam mendeteksi virus ASF.
Pengujian RT-PCR, dapat menggunakan sampel tanah terkontaminasi cairan tubuh babi atau
tempat pemotongan babi secara tradisional, air minum babi, sisa makanan atau tempat
pembuangan feses/manure. Dengan sampel berupa darah, hasil swab, maupun potongan
organ hewan terinfeksi yang termanifestasi, seperti ginjal, paru-paru, limpa (Deutschmann et
al., 2021).
2.6 Pencegahan dan Pengendalian
Hingga saat ini belum ditemukan vaksin untuk penyakit ASF sehingga langkah tepat
yang dilakukan ialah dengan tindakan pencegahan dan pengendalian. Tindakan ini harus
dilakukan dengan terlebih dahulu mengetahui pola penyebaran atau transmisi virus.
Sanitasi kandang termasuk biosafety-biosecurity harus diperhatikan mulai dari
pembuangan limbah ternak yang menjadi salah satu sumber penularan, eradikasi caplak atau
dalam hal ini Ornithodoros spp sebagai perantara, juga memperhatikan lalu lintas transportasi
dan lalu lintas manusia yang keluar masuk kandang (Eblé et al., 2019).
Hendaknya dilakukan penyemprotan desinfektan maupun antiseptik terhadap semua
orang maupun alat transportasi yang keluar masuk daerah kandang. Menurut Neumann et al.,
(2021) media transport menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi penyebaran
penyakit ASF. Hal ini terjadi jika alat transport pernah memindahkan hewan terinfeksi yang
menyebabkan tertinggalnya sekresi pada alat transportasi tersebut, dan setelahnya melakukan
pemindahan hewan sehat. Tindakan ini tidak hanya menjaga daerah kandang terhadap infeksi
dari luar, tapi juga dapat menjadi tindakan isolasi diri jika sudah ditemukan adanya babi yang
terinfeksi di daerah kandang.
Penting juga untuk mengetahui daerah asal ternak yang hendak dipelihara, menjaga
kemungkinan jika ternak berasal dari tempat yang sudah mewabah. Pemilihan pakan
terhadap ternak juga mempengaruhi penyebaran penyakit terkait swill feeding. Pakan sisa
atau pemberian limbah pakan pada ternak babi hendaknya dimasak terlebih dahulu untuk
mematikan virus yang kemungkinan terkandung didalam pakan. Atau lebih disarankan
untuk menggunakan pakan pabrik yang terjamin bebas kontaminasi.
Selain beberapa hal diatas, penanganan terhadap hewan mati juga harus melalui
prosedur yang benar untuk mencegah tersebarnya virus ASF. Hewan mati tidak boleh
dipotong namun harus dikubur dengan maksimal kedalaman 2-3 meter untuk mencegah
kerusakan lubang galian oleh hewan lain.
Beberapa faktor penting lainya dalam mencegah penyebaran virus ASF menurut
Jurado et al., (2018) ialah pengetahuan yang harus dimiliki peternak maupun pekerja
kandang, kontak antara peternak dengan ternak yang terinfeksi, serta pengurangan aktifitas
berburu untuk mencegah adanya kontak dengan babi liar.

2.7 Polymerase Chain Reaction (PCR)

Polymerase Chain Reaction (PCR) merupaka salah satu teknik diagnoss molekuler
yang mendeteksi genom virus melalui sebuah rangkaian tahapan yang kompleks. Teknik
diagnosa ini menggunakan metode enzimatis secara in vitro untuk amplifikasi DNA. Dalam
prosesnya ada beberapa komponen utama yang mebantu pembacaan genom terdeteksi
seperti DNA cetakan, oligonukleotida primer, deoksiribonukelotida trifosfat (dNTP), enzim
DNA polimerase, dan komponen pendukung lain adalah senyawa buffer (Yusuf, 2010).
Pada proses PCR menggunakan menggunakan alat termosiklus.
Fungsi template DNA ialah sebagai cetakan untuk membentuk DNA baru.
Pembuatan template DNA dengan metode lisis yakni penghancuran dinding sel yang tidak
diikuti dengan DNA kromosom atau DNA plasmid. Penghancuran dinding sel menggunakan
buffer. Selain metode lisis, pembuatan template DNA juga dilakukan dengan metode isolasi
DNA plasmid yang selain menghancurkan dinding sel, juga diikuti dengan pemisahan DNA
plasmid. Oligonukleotida primer berperan dalam memulai sintesis DNA dengan menjadi
pembatas fragmen DNA target yang akan diamplifikasi. Adapun yang berperan dalam
mengkatalisis aktivitas polimerasasi ialah enzyme DNA polymerase yang diisolasi dari
bakteri termofilik maupun hipertermofilik karena bersifat termostabil (Handoyo &
Rudiretna, 2000).
Beberapa jenis primer yang digunakn untuk deteksi virus ASF diantaranya set
primer Fwd (5'- CTGCTCATGGTATCAATCTTATCGA-3') dan Rvs
(5'GATACCACAAGATCRGCCGT-3') (Muhiddin et al., 2019), set primer PPA1-PPA2
(PPA-1/2) (PPA1, 5’-AGTTATGGGAAACCCGACCC-3’; PPA2, 5’-
CCCTGAATCGGAGCATCCT-3’) (Agüero et al., 2003). Ada juga set primer yang
disarankan oleh Office International Epizooties (OIE) yaitu primer 1 (5’-ATGGATAC
CGAGGGAATAGC-3’) and primer 2 (5’-CTTACCGATGA AAATGATAC-3’).
Isolasi DNA yang dilakukan pada penelitian Muhiddin et al., (2019) menjelaskan
pengambilan sampel DNA dapat dilakukan melalui darah, swab nasal dan rektal, serta organ
ataupun produk olahan. Teknologi ini juga dikenal dengan tingkat sensitifitas yang cukup
tinggi karena hanya membutuhkan seangat sedikit sampel DNA untuk mendapatkan jutaan
kopi DNA baru.
Dalam proses PCR melibatkan beberapa tahap yaitu; pra-denaturasi DNA template,
denaturasi DNA template, penempelan primer pada templat (annealing), pemanjangan
primer (extension) dan pemantapan (post- extension). Tahapan denaturasi hingga extension
dilkukan berulng-ulang dalam 30-40 siklus dimana tiap siklusnya terjadi replikasi DNA.
Tahap denaturasi DNA menggunakan suhu tinggi untuk memisaahkan DNA untai ganda 94-
950C dengan bantuan enzim taq polymerase. Suhu kemudian diturunkan untuk memfasilitasi
penempelan DNA polymerase secara spesifik sehingga menghasilkan fragmen DNA
(anneling) yang kemudian diperpanjang dengan bantuan taq polymerase serta suhu yang
sesuai dan diperbanyak (extention) (Budiarto, 2015).
lsolasi DNA menggunakan prosedur dari kit Qiamp Viral DNA Mini Kit (Qiagent)
dengan setelumnya melakukan preparasi specimen. Setelah dipreparasi kemudian
dilanjutkan dengan mengambil sebanyak 200 pl sampel lalu ditambahkan 200 pl Bufier
AL. Campuran kemudian dihomogenkan menggunakan vortex dan spindown.
Selanjutanya dilakukan inkubasi pada suhu 560C selama 10 menit lalu dihomogenkan
kembali. Kemudian tembahkan sebanyak 200 pl ethanol absolut lalu dihomogenkan.
Semua larutan dipindahkan ke Qiamp Spin Colomn kurang lebih sebanyak 700 ηl.
Lakukan sentrifugasi 800 rpm dalam 1 menit, semua cairan tertampung di collection tube
lalu pindahkan sisa larutan ke RNeasy Spin Colomn kurang lebih 520 pl kemudian
sentrifuse 8000 rpm selama 1 menit. Buang kembali cairan yang tertampung pada
collection tube kemudian tambahkan 500 pl Buffer AW1 untuk memcuci membran spin
colomn. Sentrifus 8000 rpm selama 1 menit lalu buang cairan pada collection tube.
Sebanyak 500 ηl Buffer AW2 ditambahkan lalu disentrifus 14000 rpm selama 3 menit.
Semua cairan yang tertampung di collection tube kemudian isentifuse '14000 rpm selama
1 menit tanpa cairan. Qiamp Spin Colomn kemudian dipindahkan ke collection tube yang
baru dan ditambahkan 50 pl Buffer AE dan inkubasi pada suhu ruang selama 1 menit
kemudian selanjutnya di-sentrifus 8000 rpm selama 1 menit. Setelah selesai, RNeasey
spin colomn kemudian dibuang dan diberi label pada tube yang berisi produk DNA.
Penyimpanan produk DNA dilakukan pada freezer -30 0C atau -800C untuk penyimpanan
yang lebih lama. Selanjutnya akan dilakukan perbanyakan (amplifikasi) target materi
genetik menggunaan mesin Applied Biosystems 7500 Real Time PCR. Pengaturan
program ampilaksi yaitu menggunakan passive reference NONE, reporter dye FAM dan
quencher NONE. Adapun thermal cycling paramefer untuk amplifikasi DNA pada
pengaituran di mesin Applied Biosystems 7500 Real Time PCR adalah :
 Satu siklus : 250C selama 2 menit
 Satu siklus : 530C selama 10 menit
 Satu siklus : 950C selama 2 menit
lnterpretasi hasil amplifikasi dilihat dari nilai cycle threshold (ct) yaitu jika <40 maka
dinyatakan positif, berada di antara 40-45 dinilai intermediate dan >45 bernilai negatif dan
pada mesin PCR tercantum undet. (undetermined) (Muhiddin et al., 2019).
BAB III
METODE

3.1 Materi
3.1.1 Alat dan bahan
Thermometer, needle, needle holder, tabung EDTA, venoject, alcohol swabs, pulpen,
kamera dan darah babi segar.
3.2 Metode
3.2.1 Metode pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan sebelumnya merestrain babi agar dapat
dilakukan pengambilan darah, setelah itu daerah yang akan di ambil darah yakni daerah
telinga pada vena aurikularis di usap dengan alcohol swab, kemudian ditusukan dengan
needle yang telah dipasang needle holder beserta tabung EDTA. Tabung EDTA kemudian
diberi kode untuk dilakukan pemeriksaan pada UPT Veteriner Kota Kupang.

Gambar 2. Foto bersama peternak pemilik babi setelah pengambilan darag

3.2.1 Metode pemeriksaan sampel


Pemeriksaan sampel dilakukan dengan pengujian PCR oleh UPT Veteriner
Kupang.
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1 Sinyalement
Nama Pemilik : Bapak Melkianus Karojo
Alamat : Oeba
Jenis Hewan : Babi (Landrace)
Jenis Kelamin : Betina
Umur : 5 Bulan
Warna : Putih (corak hitam)
4.1.2 Gambaran kasus
Babi memiliki gejala penurunan nafsu makan selama beberapa hari terakhir,
dimana pakan yang diberikan dimasak terlebih dahulu untuk makanan sisa, dan untuk
pakan pabrik langsung dicampur dengan pakan yang telah dimasak. Babi
dikandangkan sendiri, berjejer dengan kanding-kandang lain yang semuanya terbuat
dari beton dan lantai semen dengan atap seng.

Gambar 3. Kondisi kandang babi, dengan lantai dan tembok terbuat dari
semen, serta atap dari seng
Pembersihan kandang dilakukan dengan air mengalir setiap hari satu kali.
Pemilik menuturkan wabah ASF yang terjadi di tahun 2019-2020 juga terjadi pada
ternaknya sehingga beliau baru beternak lagi beberapa bulan belakangan. Namun
pemilik meyakini telah melakukan semua upaya pembersihan kandang sebelum
kembali beternak babi.
4.1.3 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan, didapati sapi mengalami hemoragi di
bagian abdomen, bagian telinga hingga bagian hidung, serta lesu.

A B

Gambar 4. (A) Kemerahan pada bagian hidung, (B) kemerahan pada belakang
telinga, bengkak pada derah mandibular serta ekstremitas, (C)
kemerahan pada bagian abdomen.
4.1.4 Pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium sampel yang diabil dari babi milik bapak
Melkianus ialah positif ASF.

Gambar 5. Hasil pemeriksaan PCR di Laboratorium UPT Veteriner

4.2 Pembahasan
Pemeriksaan sampel positif berarti adanya temuan genom virus ASF dalam sampel
darah babi yang diperiksa. Babi tersebut didapatkan dari peternak lain di sekitar lingkungan
tempat tinggal bapak Melkianus sehingga kecil kemungkinan babi terinfeksi pada media
transportasi saat melakukan pemindahan babi.
Pakan dari limbah sisa makanan selalu dimasak untuk menghilangkan kemungkinan
kontaminasi virus didalam pakan. Penelitian yang dilakukan terhadap limbah makanan di
pelabuhan Tanjung Periok menunjukan adanya 2 sampel positif mengandung virus ASF. Ini
membuktikan peranan besar swill feeding dalam penyebaraan virus ASF (Putut et al., 2021).
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan diketahui bahwa babi tersebut
merupakan babi ke enam yang mati dengan gejala yang sama pasca wabah ASF di tahun
2019-2021. Selama masa wabah pun semua babi di kandang pemilik dan kandang sekitar
terjangkit ASF dan tingkat kematian mencapai 100%. Meskipun telah melakukan
pembersihan kandang dengan desinfektan, namun melihat dari riwayat kejadian penyakit bisa
dikatakan bahwa pembersihan yang dilakukan tidak berpengaruh terhadap eliminasi virus.
Sistem perkandangan sangat mendukung pola penyebaran virus, dimana tidak terdapat
lorong untuk berjalan, namun kandang dibangun berhimpitan satu sama lain. Penrith et al.,
(2013) mengatakan kurangnya biosecurity biosafety sistem perkandangan disebabkan kurang
terorganisirnya pola produksi dan pemasaran babi. Kedua hal ini terkait dengan kemiskinan
hingga kurangnya pengetahuan peternak akan pentingnya menjaga kebersihan dan keamanan
kandang. Peternakan bapak Melkianus memang bukan merupakan peternakan skala besar
yang berarti mempengaruhi biosecurity biosafety sistem perkandangan yang buruk.
Penyebaran Ornithidorus sp sebagai perantara juga perlu dicurigai meskipun dari penuturan
peternak, ternaknya bersih dari endoparasit.
Selanjutnya peternak menuturkan babi yang terinfeksi tersebut dijual tiga hari setelah
dilakukan pengambilan darah, meskipun sebelumnya sudah diingatkan untuk tidak melakukan
pemotongan atau menjual babi sakit hingga hasil pemeriksaan dikeluarkan. Saat dilakukan
pemotongan oleh pembeli, ditemukan organ limpa yang berwarna hitam, yang dapat menjadi
salah satu indikasi adanya infeksi virus ASF. Dalam penelitian yang dilakukan di kota
Kupang, sebanyak 95.6 % peternak melakukan pemotongan terhadap hewan yang
menunjukan gejala sakit mirip ASF (Potu et al., 2021). Tindakan penjualan dan pemotongan
babi membantu penyebaran penyakit. Seharusnya babi sakit dikarantina sambil menunggu
konfirmasi hasil pemeriksaan dan kemudian jika mati maka dikuburkan.
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Simpulan
Hasil pengujian PCR menunjukan sampel positif ASF. Hasil positif ini dapat
dikarenakan daerah kandang yang sebelumnya juga terkena wabah ASF. Usaha
desinfeksi serta sistem perkandangan yang tidak mumpuni dalam mengeliminasi maupun
mencegah penyebaran virus menyebaban kematian ternak babi yang berulang akibat virus
ASF. Langkah pencegahan dan pengendalian penting dilakukan agar menekan
penyebaran virus, namun dalam kasus ini karena kurangnya pemahaman peternak terkait
wabah ASF, peternak menjual ternaknya yang sakit, sehingga mendorong penyebaran
virus. Sehingga selain langkah pencegahan dan pengendalian perlu ditingkatkan
pengetahuan peternak terhadap ASF serta penyebarannya.
DAFTAR PUSTAKA

Agüero, M., Fernández, J., Romero, L., Sánchez, C., Arias, M., Agu, M., Ferna, J., & Arias, M. (2003).
Highly Sensitive PCR Assay for Routine Diagnosis of African Swine Fever Virus in Clinical
Samples Highly Sensitive PCR Assay for Routine Diagnosis of African Swine Fever Virus in
Clinical Samples. Journal of Clinical Microbiology. https://doi.org/10.1128/JCM.41.9.4431
Arias, M., C, G., & J, F.-P. (2019). African swine fever (ASF) diagnosis, an essential tool in the
epidemiological investigation. https://doi.org/10.1016/j.virusres.2019.197676

Balyshev VM, Vlasov ME, Imatdinov AR, Titov I, Morgunov S, Malogolovkin AS. 2018.
Biological properties and molecular-genetic characteristics of African Swine Fever
virus isolated in various regions of Russia in 2016–2017. Russ Agric Sci. 44:469-473.

Bisimwa, P. N., Ishara, L. K., Wasso, S., Bantuzeko, F., Tonui, R., & Bwihangane, A. B. (2021).
Heliyon Detection and genetic characterization of African swine fever virus ( ASFV ) in
clinically infected pigs in two districts in South Kivu province , Democratic Republic
Congo. 7(December 2020), 1–8. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2021.e06419

Blome, S., Gabriel, C., & Beer, M. (2013). Pathogenesis of African swine fever in domestic pigs
and European wild boar. Virus Research, 173(1), 122–130.
https://doi.org/10.1016/j.virusres.2012.10.026

Budarasa K. 2014. Potensi Ternak Babi dalam Menyumbangkan Daging di Bali. Fakultas
Peternakan Universitas Udayana

Budiarto, B. R. (2015). Polymerase Chain Reaction (PCR) : Perkembangan Dan Perannya Dalam
Diagnostik Kesehatan. BioTrends, 6(2), 29–38.
Cabezón O, Muñoz-González S, Colom-Cadena A, Pérez-Simó M, Rosell R, Lavín S, Marco I,
Fraile L, de la Riva PM, Rodríguez F, Domínguez J, Ganges L. 2017. African swine
fever virus infection in Classical swine fever subclinically infected wild boars. BMC
Vet Res. 13:227.

Deutschmann, P., Fischer, M., Roszyk, H., Beer, M., & Blome, S. (2021). African Swine Fever
Laboratory Diagnosis — Lessons Learned from Recent Animal Trials. Diseases, 24(11),
2131. https://doi.org/10.3201/eid24 11.181274
Eblé PL, Hagenaars TJ, Weesendorp E, Quak S, Moonen-Leusen HW, Loeffen WLA. 2019.
Transmission of African Swine Fever Virus via carrier (survivor) pigs does occur. Vet
Microbiol. 237(February):108345. doi:10.1016/j.vetmic.2019.06.018.

[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2018. African Swine Fever
threatens people’s Republic of China: A rapid risk assessment of ASF introduction
[Internet]: [accessed 2nd December 2019]. Available from: http://www.fao.org/3/
I8805EN/i8805en.pdf

Ge, S., Li, J., Fan, X., Liu, F., Li, L., Wang, Q., … Wang, Z. (2018). Molecular char-acterization
of African Swine Fever virus, China, 2018. Emerging Infectious

Gelolodo, M. A., Sanam, M. U. E., Toha, L. R. W., Widi, A. Y. N., Simarmata, Y. T. R. M. R.,
& Murni, T. F. I. M. D. (2021). Histopatologi Limpa dan Limfonodus pada Kasus
Lapangan dengan Dugaan Kematian Akibat Virus African Swine Fever Pada Babi di
Kabupaten Kupang. Jurnal Kajian Veteriner, 9(2), 62–75.
https://doi.org/10.35508/jkv.v9i2.4090

Handoyo, D., & Rudiretna, A. (2000). Prinsip umum dan pelaksanaan Polymerase Chain Reaction (PCR).
Unitas, Vol. 9, No. 1, 9(1), 17–29.
Jurado, C., Martínez-Avilés, M., Torre, A. D. La, Štukelj, M., Ferreira, H. C. de C., Cerioli, M.,
Sánchez-Vizcaíno, J. M., & Bellini, S. (2018). Relevant measures to prevent the spread of
African Swine Fever in the European Union Domestic Pig Sector. Frontiers in Veterinary
Science, 5(APR). https://doi.org/10.3389/fvets.2018.00077
Kipanyula MJ, Nong’ona SW. 2017. Variations in clinical presentation and anatomical
distribution of gross lesions of African swine fever in domestic pigs in the southern
highlands of Tanzania: a field experience. Trop Anim Health Prod. 49:303-310

MacLachlan, N. J., Dubovi, E. J., Barthold, S. W., Swayne, D. E., & Winton, J. R. (2017).
Fenner ’ S Veterinary Virology. In Veterinary Medicine.

Malogolovkin A, Burmakina G, Titov I, Sereda A, Gogin A, Baryshnikova E, Kolbasov D. 2015.


Comparative analysis of African swine fever virus genotypes and serogroups. Emerg
Infect Dis. 21:312-315.2
Montoya, M., Reis, A. L., & Dixon, L. K. (2017). The wild boar population in Eastern Europe
plays an important role in the maintenance and SC. The Veterinary Journal, 2010.
https://doi.org/10.1016/j.tvjl.2017.12.025

Muhiddin, S. N. M., Muflihanah, & Said, S. H. (2019). Deteksi African Swine Fever pada Kasus
Kematian Babi di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat dengan Teknik Rea/-Ir’m e
Polymerase Chain Reaction. Balai Besar Veteriner Maros.
Neumann, E. J., Hall, W. F., Dahl, J., Hamilton, D., & Kurian, A. (2021). Is transportation a risk
factor for African swine fever transmission in Australia: a review. Australian Veterinary
Journal, 99(11), 459–468. https://doi.org/10.1111/avj.13106
Penrith ML. 2013. History of “swine fever” in Southern Africa. J S Afr Vet Assoc. 84(1).
doi:10.4102/jsava.v84i1.1106.

Putut, P. I. A., Basri, C., & Lukman, D. W. (2021). Deteksi Virus African Swine Fever dari
Sampah Makanan Kapal Laut Internasional di Pelabuhan Tanjung Priok. Acta
VETERINARIA Indonesiana, 9(2), 112–119. https://doi.org/10.29244/avi.9.2.112-119
Potu RJN, Detha AIR, Tiha LRW. 2021. Identifikasi Gejala Dan Faktor Risiko Kejadian
Penyakit Mirip African Swine Fever Di Kota Kupang. Jurnal Veteriner Nusantara

Primatika, R. A., Sudarnika, E., Sumiarto, B., & Basri, C. (2021). Tantangan dan Kendala
Pengendalian African Swine Fever ( ASF ) Challenges and Barriers to African Swine
Fever ( ASF ) Control. 39(1).

Qiu, Z., Li, Z., Yan, Q., Li, Y., Xiong, W., Wu, K., Li, X., Fan, S., Zhao, M., Ding, H., & Chen,
J. (2021). Development of Diagnostic Tests Provides Technical Support for the Control
of African Swine Fever. 1–26

Salguero, F. J. (2020). Comparative Pathology and Pathogenesis of African Swine Fever


Infection in Swine. 7(May), 12–14. https://doi.org/10.3389/fvets.2020.00282

Sendow I, Sawpulloh M, Ratnawari A. 2020. African Swine Fever: Emerging yang Mengancam
Peternakan Babi di Dunia. Bulletin of Animal and Veterinary Sciences ·
Yusuf, Z. K. (2010). POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR). Saintek Vol 5, No 6, Tahun 2010,
5(6).

Anda mungkin juga menyukai