PENDAHULUAN
1
Penyakit rabies merupakan salah satu jenis penyakit zoonosis yang
menyerang susunan syaraf pusat. Rabies masih dianggap penyakit penting di
Indonesia karena bersifat fatal dan dapat menimbulkan kematian serta
berdampak psikologis bagi orang yang terpapar. Virus rabies dapat menyerang
semua hewan berdarah panas dan manusia.
Menurut data World Health Organization (WHO) rabies terjadi di 92
negara dan bahkan bersifat endemik di 72 negara. Pada hewan penderita
penyakit ini biasanya ditemukan virus dengan konsentrasi tinggi pada air
Iiurnya, oleh sebab itu penularan penyakit pada umumnya melalui suatu
gigitan. Kejadian penyakit rabies pada hewan maupun manusia hampir selalu
diakhiri dengan kematian sehingga akibatnya penyakit ini menimbulkan rasa
takut dan kekhawatiran serta keresahan bagi masyarakat. Infeksi pada hewan
anjing dan kucing ditandai dengan mencari tempat yang dingin, hydrophobia
diikuti dengan sikap curiga dan menyerang apa saja yang ada di sekitarnya,
paralisa dan mati.
Oleh karena itu dengan review ini, dapat memberikan informasi
tentang karakteristik virus, dan teknik diagnosa penyakitini serta
perkembangan penyakit ini di Indonesia setelah dua dekade menjadi
endemik di area tertentu Indonesia dan tindak lebih lanjut yang harus
dilakukan dalam pemberantasan penyakit ini.
1.2 Tujuan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.1.2 Hewan Rentan dan Transmisi
Semua jenis atau ras babi peka terhadap HC. Hewan lain seperti kelinci
dan kambing dapat tertular hanya melalui infeksi percobaan. Hog Cholera
ditularkan melalui kontak langsung dengan babi terinfeksi, atau secara tidak
langsung melalui ekskresi dan sekresi babi yang terinfeksi. Masuknya
penyakit ke suatu daerah karena adanya babi pembawa virus (carrier), produk
asal babi atau bahan dan makanan tercemar , limbah dari tempat pemotongan
hewan atau sisa hotel yang mengandung daging babi yang tidak dimasak.
Penularan tidak langsung dapat terjadi melalui alat transportasi, sepatu dan
pakaian petugas, serta alat suntik yang dipakai berulang. Penularan vertikal
terjadi dari induk kepada anak babi. Penularan transplasental terjadi pada
kebuntingan 68 dan 88 hari ditandai dengan viremia pada anak yang
dilahirkan dan mati setelah 1-8 minggu.
2.1.3 Patogenesis
1. Infeksi oleh virus virulensi tinggi
Virus yang masuk kedalam tubuh babi yang secara alamiah melalui rute
oronasal, mengalamiproses absorbsi dan multiplikasi awal pada sel epitel
tonsil, kemudian menyebar ke bagian jaringan limforetikuler dari target organ
primer ini.Virus dapat diisolasi dari organ ini sekitar 7 jamsetelah inokulasi
peroral (Ressang, 1973). Setelahmengalami replikasi pada tonsil, virus
menyebarke limfoglandula regional (limfoglandula mandibula, retrofaringeal,
parotid dan cervical). Virus dalam limfoglandula tersebut dapat diisolasi
kembali sekitar 16 jam setelah inokulasi peroral. Setelah mengalami replikasi
di limfoglandula ini,virus masuk kedalam peredaran darah yang
mengakibatkan terjadinya viraemia awal. Virus tertahan dan mengalami
multiplikasi yang cepat padalimpa yang merupakan target organ
sekunder.Multiplikasi virus yang cepat ini berakibat viraemiabertambah hebat
. Selanjutnya virus tertahan danmenginvasi limfoglandula visceral dan
superficial,sumsum tulang dan jaringan-jaringan limfoid lain di mukosa usus.
4
Virus mencapai seluruh tubuh 5-6hari setelah inokulasi peroral. Pada akhir
stadiumviramia, virus menetap dan menginvasi seluruhorgan tubuh yang
sering berakibat kematian(Wood et ai., 1988). Selain menginvasi sel
limfold,virus ini juga menyebabkan degenerasi dan nekrosa pada sel endotel
pembuluh darah. Kerusakanpada pembuluh darah, thrombocytopenia
dangangguan sintesa fibrinogen mengakibatkan perdarahan berupa petechiae
dan ecchymosa yangmeluas, yang merupakan salah satu kelainan patologis
yang menonjol pada penyakit ini
Infeksi oleh virus dengan virulensi sedang mengikuti pola yang sama seperti
virus virulensi tinggi tetapi prosesnya berjalan lebih lambat dan konsentrasi
virus dalam darah dan organ-organ tubuh lebih rendah . Infeksi oleh virus
virulensi rendah terbatas hanya pada fase limfatik. Fase viraemia terjadi
sangat singkat sekali. Infeksi oleh virus dengan virulensi sedang atau rendah
sering berakibat HC kronis (Mangeling dan Packer,1969)
3. Infeksi in utero
Babi bunting yang terkena HC dapat menulari embrio atau fetus yang
dikandungnya. Virus HC dapat menembus barier plasenta pada semua umur
kehamilan. Virus menyebar secara hematogenous pada plasenta kemudian
menyebar kesemua fetus (Van Oirschot, 1979). Selanjutnya, perkembangan
virus pada fetus ini sama dengan perkembangan virus virulen pada infeksi
post natal seperti diuraikan diatas. Akibat infeksi in utero pada fetus
tergantung pada saat terjadinya infeksi dan virulensi dari virus. Fetus yang
terinfeksi pada saat 45 hari pertama kebuntingan lebih mudah mengalami
kematian prenatal dibandingkan dengan fetus yang terinfeksi saat umur
kebuntingan 65 hari atau lebih. Disamping itu, fetus yang terinfeksi oleh virus
virulensi sedang pada kehamilan 45 hari terakhir kebuntingan berpeluang
5
lebih besar untuk memperlihatkan gejala klinis HC pada saat atau beberapa
saat setelah kelahiran. Sedangkan, fetus yang terinfeksi oleh virus virulensi
rendah pada saat kebuntingan yang sama biasanya tidak berakibat buruk
karena fetus dapat mengeliminasi virus tersebut (Van Oirschot, 1979).
Penyakit dapat berjalan perakut, akut, subakut, kronis atau tidak tipikal.
Bentuk klasik HC merupakan infeksi akut yang disertai demam tinggi,
kelesuan, penurunan nafsu makan dan konjungtivitis. Gejala muncul setelah
masa inkubasi 2-4 hari, diikuti adanya muntah, diare dan atau konstipasi,
pneumonia, paresis, paralisis, letargi, tremor, berputar dan konvulsi. Pada
bentuk akut ditandai dengan anoreksia, depresi, suhu meningkat sampai 41-
42º C berlangsung selama 6 hari. Jumlah leukosit menurun (leukopenia) dari
9.000 menjadi 3.000/ml darah. Pada awal sakit hewan mengalami
konjungtivitis, dengan air mata berlebihan. Sekresi mata berlebihan bersifat
mucous atau mukopurulen. Demam tinggi diikuti konstipasi dan radang
saluran gastrointestinal menyebabkan diare encer, berlendir , warna abu
kekuningan dan babi terlihat kedinginan.
Pada kasus subakut yang kurang tipikal, masa inkubasi menjadi panjang
dan kelangsungan penyakit klinis yang lebih lama dengan kematian yang
terjadi setelah berminggu atau berbulan-bulan. Pada kasus kronis dilaporkan
ada 3 fase yakni fase permulaan yang ditandai dengan gejala anorexia,
depresi, suhu tubuh naik dan lekopenia. Setelah beberapa minggu nafsu
makan dan keadaan umum terlihat membaik dan suhu tubuh turun ke suhu
normal atau sedikit di atas normal. Fase kedua ditandai dengan leukopenia
yang persisten. Pada fase ketiga, terlihat gejala nafsu makan menurun,
depresi, suhu tubuh meningkat sampai terjadi kematian. Babi menunjukkan
pertumbuhan yang terhambat, mempunyai lesi pada kulit dan berdiri dengan
6
punggung terlihat melengkung (opistotonus) dan babi dapat bertahan hidup
lebih dari 100 hari.
Pada hewan bunting ditandai dengan kematian fetus, mumifi kasi, lahir
prematur, anomali, lahir dalam keadaan lemah dan tremor . Anak babi
terinfeksi in uteroyang mati setelah lahir sering menunjukkan perdarahan
berupa ptekie pada kulit dan organ dalam.
Gejala klinis pada HC., anak bai mengangkat satu kaki (goose stepping)
(Sumber : http://www.fao.org/docrep/003/t0756e/T0756E120.jpg.)
2. Perubahan Patologi
Pada kasus per akut mungkin tidak terjadi perubahan umum yang dapat
diamati pada bedah bangkai. Pada kasus akut terjadi perdarahan ptekie pada
submukosa dan subserosa pada kapsula ginjal, serosa usus dan korteks limpa.
Ditemukan adanya pembendungan dan infark pada limpa, hati, sumsum
tulang dan paru. Lesi ini disebabkan oleh infeksi virus pada endotel pembuluh
darah yang sangat kecil.
7
Pada kasus subakut atau kronis, terjadi ulserasi nekrotik pada mukosa usus
besar , adanya pneumonia dan entritis. Sindrom ini berkaitan dengan
tingginya kejadian abortus, kematian dan mumifi kasi fetus, serta kelainan
bawaan. Anak babi yang lahir hidup, baik sehat atau cacat, akan mengalami
infeksi secara menetap, toleran secara imunologis dan mengeluarkan virus
selama hidupnya.
(Sumber : http://www.fao.org/docrep/003/t0756e/T0756E.)
2.1.5 Diagnosis
8
2.1.6 Pencegahan dan Kontrol Penyakit
2.2 RABIES
2.2.1 Etiologi
9
ditemukan virus dengan konsentrasi tinggi pada air Iiurnya, oleh sebab itu
penularan penyakit pada umumnya melalui suatu gigitan.
Masa inkubasi virus pada anjing dan kucing rata rata sekitar 2 minggu tetapi
dilaporkan dapat terjadi antara 10 hari-8 minggu dan pada manusia 2-3
minggu, dengan masa yang paling lama 1 (satu) tahun, tergantung pada:
10
Pada hewan percobaan virus masih dapat ditemukan di tempat suntikan
selama 14 hari. Virus menuju ke susunan syaraf pusat melalui syaraf perifer
kemudian virus berkembang biak di sel syaraf terutama pada hypocampus
dan sel Purkinje dan kelenjar ludah. Pada anjing 3-5 hari sebelum gejala
klinis terlihat, kelenjar ludah telah mengandung virus dan akan terus infektif
selama hewan sakit. Virus ditularkan terutama melalui luka gigitan, oleh
karena itu bangsa karnivora adalah hewan utama penyebar rabies antar hewan
atau ke manusia.
2.2.3 Patogenesis
Infeksi rabies dapat terjadi akibat gigitan hewan seperti anjing, kucing,
kelelawar dan lain-lain yang salivanya mengandung virus rabies. Setelah
terinfeksi virus rabies, hewan akan meperlihatkan gejala klinisnya yang dapat
dibagi menjadi tiga stadium, yaitu prodromal, eksitasi, dan paralisis. Pada
stadium prodromal, hewan mulai mencari tempat yang dingin, gelap,
menyendiri, refleks kornea berkurang, pupil melebar, dan hewan terlihat acuh
dengan tuannya. Pada stadium eksitasi, hewan mulai agresif, menyerang
hewan lainnya atau manusia yang dijumpainya, dan hipersalivasi. Pada
stadium paralisis, hewan mengalami kesulitan menelan, sempoyongan,
lumpuh,dan akhirnya mati (Sidharta dan Serosa, 1995).
Melalui gigitan hewan yang terinfeksi rabies, virus memiliki akses untuk
masuk dari saliva ke dalam muskulus ditempat gigitan. Virus akan
mengalami replikasi di sel otot sampai dapat memenuhi konsentrasi yang
cukup untuk mencapai ujung saraf motoris terdekat (Lewis et al., 2000).
Protein G pada virus berikatan dengan reseptor nikotinik asetilkolin, neural
cell adhesion molecule (NCAM) reseptor, dan p75 neurotrophin reseptor pada
neuromuscular junction dan menginfeksi sistem nervus (Jackson, 2007).
Menurut Etessami et al. (2000) glycoprotein virus rabies berperan penting
dalam infeksi virus ke neuron. Saat menginfeksi sistem nervus, pergerakan
11
virus terjadi secara ascending dan descending. Infeksi neuronal secara
ascending terjadi saat virus bergerak ke sistem saraf pusat yaitu menuju
medula spinalis kemudian ke otak (Jackson, 2007). Penyebaran virus dari
sistem saraf perifer ke sistem saraf pusat melalui transport akson yang cepat
dengan kecepatan 12-100 mm per hari (Tsiang et al., 1991) melalui ikatan
protein P virus rabies dengan transport neuron yang bersifat retrograde yaitu
LC8 Dynein light chain (Raux et al., 2000). Saat virus mencapai sistem limbik di
otak, virus mengalami replikasi secara ekstensif dan menyebabkan timbulnya gejala
klinis berupa perilaku yang ganas. Virus menyebar dari sistem limbik secara
descending dari sistem saraf pusat ke nervus perifer menuju beberapa organ seperti
korteks adrenal, pankreas, dan pada sel mukosa glandula saliva. Saat virus telah
menyebar dan berreplikasi di neokorteks menyebabkan terjadi perubahan perilaku
menjadi depresi, koma, dan mati biasanya akibat gangguan respirasi. Dari
neokorteks kemudian virus akan mengalami pergerakan secara descending ke
glandula saliva dan bila hewan yang terkena rabies menggigit manusia atau hewan
lain maka manusia atau hewan tersebut terinfeksi rabies (Murphy et al., 1999).
1. Gejala Klinis
Gejala penyakit pada anjing dan kucing hampir sama. Gejala penyakit
dikenal dalam 3 bentuk :
12
b. Bentuk diam atau dungu (dumb rabies), paralisis cepat terjadi, masa
eksitasi pendek
a. Pada fase prodormal hewan mencari tempat yang dingin dan menyendiri,
tetapi dapat menjadi lebih agresif dan nervous. Reflex kornea
berkurang/hilang, pupil meluas dan kornea kering, tonus urat daging
bertambah (sikap siaga/kaku).
b. Pada fase eksitasi hewan akan menyerang siapa saja yang ada di sekitarnya
dan memakan benda asing. Dengan berlanjut nya penyakit, mata menjadi
keruh dan selalu terbuka diikuti inkoordinasi dan konvulsi.
c. Pada fase paralisis maka kornea mata kering dan mata terbuka dan kotor,
semua reflex hilang, konvulsi dan mati.
2. Perubahan Patologi
Biasanya tidak ada gambaran pasca mati yang jelas, jikapun ditemukan
biasanya berupa efek sekunder dari gejala syaraf yang ada. Karkas biasanya
mengalami dehidrasi dan dalam keadaan buru. Kadang kadang ditemukan
bekas trauma, misalnya gigi patah. Pada karnivora sering ditemukan
bendabenda asing (corpora aliena) dalam lambung berupa rambut. kayu dan
lain lain.
Secara mikroskopis perubahan yang paling signifi kan adalah lesi pada
susunan syaraf pusat dan spinal cord. Pada otak biasanya ditemukan
perivascular cuffi ng,gliosis focal atau difus, degenerasi neuron dan inclusion
bodies(Negri bodies) intrasitoplasmik pada neuron. Negri bodies ditemukan
dalam berbagai ukuran dan biasanya cukup besar pada anjing dan sapi dan
relatif lebih kecil pada kucing. Negri bodiespaling mudah ditemukan pada
13
barisan neuron pada hipocampus atau pada sel Purkinje pada cerebellum.
Negri bodiesdapat juga ditemukan pada sel glia, sel ganglion pada kelenjar
saliva dan kelenjar adrenal serta pada retina mata.
(Sumber : http://www.cdc.gov/rabies/diagnosis/histologic.html)
2.2.5 Diagnosis
14
b. Isolasi virus. Dilakukan dengan menyuntikan suspensi otak pada mencit
atau inokulasi pada biakan sel neuroblastoma. Identitas virus ditentukan
dengan FAT, Uji virus netralisasi atau dengan cara pewarnaan.
e. Benda asing pada oropharynx atau oesophagus, dan luka akibat trauma
2.3 ELISA
15
sebagai reporter label. Terdapat beberapa jenis teknik ELISA, yaituIndirect
ELISA, Direct ELISA, ELISA Sandwich, ELISA Multiplex dan ELISA
Biotin Streptavidin. Fungsi dari test ELISA yaitu bukan hanya untuk
mengetahui keberadaan suatu antigen dengan antibodi tetapi juga untuk
mengukur kadar antigen atau antibodi tersebut dengan menggunakan alat
spektrofotometer. Spektrofotometer adalah sebuah alat yang dapat
mengukur jumlah dari cahaya yang menembus sumuran dari microplate.
Kompleks antigen-antibodi yang terjadi pada well mcroplate dan setelah
pemberian substrat, enzim yang terikat pada antibody ke dua pada kompleks
antigen-antibodi yang terbentuk akan memberikan perubahan warna pada
cairan tersebut, sehingga akan memberikan optical density yang berbeda.
Optical density dapat dinyatakan meningkat atau menurun berdasarkan
pengenceran material standart, sehingga akan menghasilkan kurva dose-
response yang nantinya akan digunakan untuk mengestimasi kadar protein
tersebut.
16
BAB III
METODOLOGI
3.2 Materi
3.2.1. Rabies
Alat dan bahan yang digunakan yaitu: Biosafety cabinet class II, ELISA
reader panjang gelombang 405 nm, inkubator, vortex, stop wacth, mikroplat
dasar U, micropipette volume ≤ 10 µl, 50 µl, 300 µl dan 1000 µl, multichannel
micropipette 20-200 µl, spuit 23G, ELISA kit rabies Pusat Veteriner Farma
(PUSVETMA), inkubator 37 °C.
Sampel yang digunakan merupakan serum yang berasal dari kabupaten
Sikka sebanyak 40 sampel, Kabupaten Flores Timur sebanyak 30 sampel,
Kabupaten Lembata sebanyak 39 sampel.
17
3.3 Metode
3.3.1 Pengambilan Sampel Darah
Dalam pemeriksaan Hog Cholera, mahasiswa menyiapkan dua sampel darah.
Pengambilan sampel darah didahului dengan pengamatan, observasi dan
wawancara dengan pemilik. Observasi dan pengamatan dilakukan langsung
dikandang bersama dengan pemilik meliputi pengamatan aktivitas dan gejala
klinis yang muncul. Dan juga dilakukan wawancara mengenai status
kesehatan dan vaksinasi dari pasien.
Pengambilan sampel darah pada dilakukan pada Vena jugularis dan sampel
darah di simpan dalam tabung dengan tutupan merah, sehingga dapat diambil
serumnya. Transportasi sampel ke laboratorium, disimpan dalam cool box
sehingga mencega kontaminasi yang dapat merusak sampel.
3.3.2 Rabies
Pengujian dilakukan dengan tehnik indirect-ELISA. Kit terdiri atas dua
buah mikroplate 96 sumur tercoating dengan antigen rabies. Pereaksi yang
digunakan, 100 μl kontrol positif serum anjing mengandung antibodi rabies
dan thimerosal 0,01% dengan konsentrasi 4 EU, 100 μl kontrol negatif serum
anjing yang negatif antibodi rabies, 100 μl kontrol positif serum standar 1
EU/ml, 20 μl konjugat peroksidase-rec-protein A, larutan stabil 2 jam setelah
dilarutkan, 30 ml larutan ABTS (2,2-Azinobis (3-etilbenzotiazolin)-6-asam
sulfonat) mengandung H2O2, PBS-T digunakan sebagai pelarut kontrol
positif, kontrol negatif, konjugat, sampel dan proses pencucian (larutan stabil
selama 1 bulan setelah dilarutkan), 30 ml larutan stopper (H2SO4).
Persiapan pembuatan pereaksi, mengencerkan PBS-T 10 kali dengan
cara menambahkan aquades 450 ml pada konsentrat PBS-T 50 ml.
Selanjutnya larutan kontrol positif di homogenkan dengan vortex. Serum
kontrol positif konsentrasi 4 EU; 2 EU; 1 EU; 0,5 EU; 0,25 EU dan 0,125
EU; serum kontrol negatif dan serum sampel yang sudah diencerkan 1:100
dimasukkan kedalam sumur mikroplat sebanyak 100 µl (duplo) sesuai urutan
18
yang telah dibuat sebelumnya Metode pengenceran dapat dilihat pada
Gambar 13. Mikroplat ditutup dengan plastik adsorben dan diinkubasikan
pada suhu 37°C selama 60 menit. Selanjutnya isi mikroplat dibuang dan
dilakukan pencucian menggunakan 200 µl PBS T pada tiap sumur sebanyak
4 ̶ 5 kali dan ditiriskan hingga tidak ada gelembung udara di dalam sumur.
Tahap berikutnya ditambahkan konjugat protein A dengan pengenceran
1:16.000 sebanyak 100 µl ke semua sumur mikroplat.
Interpretasi hasil :
19
3.3.3 Hog Cholera
Pengujian menggunakan metode ELISA kompetitif. Kit terdiri atas dua
buah mikroplate 96 sumur tercoating dengan antigen CSFV, dengan 2 sumur
kontrol positif dan 2 sumur kontrol negatif. Disiapkan semua reagen, sampel
dan catatan posisi sampel yang dalam plate. Disi 50 µl dilution buffer 1x
kedalam masing-masing lubang mikroplate. Ditambahkan 50 µl sampel pada
semua lubang mikroplate kecuali G 11-12 untuk Kontrol Positif dan H 11-12
untuk Kontrol Negatif
20
lubang mikroplate, kemudian dibaca OD semua lubang mikroplate dengan
ELISA reade pada absorbance 450 nm.
Pembacaan Hasil
A. Validasi
a) Dihitung nilai mean OD positif (PCx) dan Kontrol Negatif (Ncx)
b) Nilai Kontrol Negatif harus lebih dari 0.5
c) Nilai Kontrol Positif harus kurang dari 0.2
B. Interpretasi
a) Dihitung % PC sampel dengan rumus:
b) Interpretasi
21
BAB IV
4.1 Hasil
Sampel 1.
Gejala Klinis : babi jantan usia 8 bulan. Babi biasa di beri pakan konsentrat,
keadaan babi sehat dan sudah pernah divaksinasi
Kode Sampel I
OD : 0.448
: 63.306 %
Sampel 2.
Gejala Klinis : babi jantan umur 2 bulan. Babi biasa diberi pakan sisa
makanan rumah tangga, keadaan babi menunjukan cirri-ciri lemas dan nafsu
makan menurun.
Kode sampel L1
OD : 1.165
: 17.893 %
22
4.1.2 Hasil Pemeriksaan Rabies
Sampel : sampel darah yang diambil pada hewan yang sudah divaksin
(sampel post vaksinasi) rabies.
Hasil :
4.2 Pembahasan
Hog Cholera (HC) merupakan penyakit viral sangat menular pada babi
disebabkan oleh Pestivirus dari keluarga Flaviviridae, menimbulkan kerugian
ekonomi yang sangat nyata bagi peternak babi. Keganasan penyakit
tergantung pada umur babi dan tingkat kekebalan kelompok babi. Kasus akut
disebabkan oleh virus HC yang ganas, menimbulkan mortalitas yang sangat
tinggi sehingga dengan mudah didiagnosa, sedangkan infeksi yang
disebabkan oleh virus HC yang kurang ganas gejala klinisnya tidak jelas.
Umumnya terjadi pada babi dewasa dengan penampilan reproduksinya yang
23
kurang baik. Kasus HC muncul pertama kali di Provinsi Nusa Tenggara
Timur pada tahun 1997 dan dikonfirmasi secara laboratoris pada tahun 1998.
Vaksinasi HC secara rutin dilakukan pada ternak babi, namum kasus HC
tetap muncul dan cendrung bersifat endemis. Babi yang sakit menunjukkan
gejala klinis: tidak mau makan, demam, diare, ada gejala saraf (berputar -
putar), perdarahan ptekie multifokal pada kulit di daerah punggung, dan
abdomen.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium terhadap sampel yang diambil
menunjukan hasil positif pada sampel babi yang post vaksinasi dan hasil
negative pada babi yang menunjukan gejala sakit. Hal ini menunjukan bahwa
babi yang menunjukan gejalah sakit namun bukan mengarah pada kejadian
hog cholera. Dan untuk babi yang post vaksinasi hasil positif menunjukan
antibody yang meningkat merupakan efek dari pemberian vaksinasi bukan
dari infeksi hog chokera.
4.2.2 Rabies
Penyakit rabies atau lebih dikenal sebagai penyakit anjing gila adalah
penyakit virus menular yang sangat ganas pada hewan mamalia khususnya
anjing, kucing dan kera dan bersifat zoonosis (dapat menular ke manusia).
Hewan ataupun manusia yang terserang umumnya mengalami kematian
dengan gejala-gejala yang sangat mengerikan. Oleh karena itu penyakit ini
merupakan salah satu penyakit strategi di Indonesia yang harus mendapatkan
prioritas dalam pengendalian dan pemberantasannya. Penyakit rabies
disebabkan oleh virus RNA yang bersifat neurotropis dari kelompok
Lyssavirus dalam keluarga Rhabdoviridae. Virus rabies ini sangat peka
terhadap pelarutpelarut yang bersifat alkalis seperti sabun, desinfektan,
alcohol, dll. Pelunaran dari hewan ke hewan umumnya melalui gigitan karena
virus rabies biasanya dapat diakselerasikan melalui saliva dalam jumlah yang
sangat banyak terutama pada saat hewan mengalami viremia (VAUGHN et.
al., 1985). Program pemberantasan rabies di Indoensia secara umum
24
dilakukan dengan dua cara pendekatan yaitu melalui program eliminasi
dengan membunuh hewan peka rabies khususnya anjing jalanan dan atau
melalui program vaksinasi rabies secara massal terhadap semua hewan peka
rabies (ANONIMOUS, 1988). Program ini cukup efektif di beberapa wilayah
seperti di pulau Jawa, namun belum di beberapa wilayah lainnya.
Keberhasilan kedua program ini tampaknya sangat dipengaruhi oleh peran
serta dan kesadaran masyarakat khususnya pemilik hewan tentang pentingnya
program pemberantasan rabies ini bagi masyarakat, dan komitmen
pemerintah daerah setempat hingga pemerintah pusat.
25
BAB V
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
26
DAFTAR PUSTAKA
27
Wood, L ., Brockman, S ., Harkness, J . W. And Edwards, S . 1988 . Classical
Swine Fever : Virulence Dan Tissue Distribution Of A 1986 English Isolate In
Pigs . Vet. Rec . 122 : 391-394
Balai Penelitian Penyakit Hewan Wilayah II. 2000. Program kerja surveilens,
monitoring, investigasi pelayanan aktif dan diagnosa penyakit hewan.
Bulletin Informasi Kesehatan Hewan. BPPH Wilayah II Bukit Tinggi 2(59):
1-5.
Carter, J.B., dan Saunders, V.A. 2007. Rhabdoviruses (and other minus-strand
RNA viruses) dalam Virology Principles and Applications. John Wiley and
Sons. England.
Central for Disease Control, 2008. Outbreak Notice, Rabies in Bali, Indonesia
This information is current as of today, December 27, 2010
http://wwwnc.cdc.gov/travel/content/outbreak-notice/rabies-bali-indonesia
Cai, Q., dan Sheng Z-H., 2009. Mitochondrial Transport And Docking In
Axons. Experimental Neurology 218 (2009) 257–267.
Etessami, R., Conzelmann, K.K., Fadai-Ghotbi, B., Natelson, B., Tsiang, H.,
Ceccalsi, P.E. 2000. Spread and pathogenic characteristics of a G-deficient
rabies virus recombinant: an in vitro and in vivo study. J Gen Viirol.
81:2147-2153
Faizal, M., K. Benyamin, dan S. Ratna. 2004. Survei dan monitoring rabies di
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Diag. Vet. Bulletin Informasi
28
Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner BPPH Regional VII
Maros 2 (1): 1 6.
Jackson, A., 2007. Pathogenesis, dalam Rabies, second edition. Edited by Alan
C. Jackson and William H. Wunner. Elsevier Inc.
Kristensson, K., Dastur, D.K., Manghani, D.K., Tsiang, H., dan Bentivoglio, M.
1996. Rabies: interactions between neurons and viruses. A review of the
history of negri inclusion bodies. Neuropathol. Appl. Neurobiol. 22:179-187
29
Lewis,P., Fu,Y., Lentz T.L.,2000. Rabies Virus Entry At The Neuromuscular
Junction In Nerve–Muscle Cocultures. Mucle and Nerve. John Wiley &
Sons, Inc.
Li, X-Q., Sarmento, L., dan Fu, Z.F., 2005. Degeneration of neuronal processes
after infection with pathogenic, but not attenuated, rabies viruses. Journal of
virology. 79(15): 10063-10068.
Murphy, F.A., Gibbs, E.P.J., Horzinek, M.C., Studdert, M.J. 1999. Veterinary
Virology 3rd eds. Academic Press. USA.
Prosniak, M., Hooper, D.C., Dietzschold, B., dan Hoprowski, H., 2000. Effect of
rabies virus infection on gene expresiion in mouse. PNAS. 98(5): 2758-
2763.
Raux, H., Flamand, A., Blondel, D., 2000. Interaction of the rabies virus P protein
with the LC8 dynein light chain. J. Virol. 74, 10212–10216.
Sidharta, T., dan Sarosa, A. 1995. Petunjuk Teknis Penyakit Hewan. Balai
Penelitian Bogor. hlm. 126-131.
Theerasurakarn, S., dan Ubol, S., 1998. Apoptosis induction in brain during the
fixed strain of rabies virus infection correlates with onset and secerity
illness. Journal of Neurovirology, 4:407-414.
30
Tsiang, H., Ceccaldi, P.E., dan Lycke, E. 1991. Rabies virus infection and
transport in human sensory dorsal root ganglia neuron. J Gen Virol.
61:1191-1194.
van den Pol, A.N., 2006. Viral infections in the developing and mature
brain. Trends in neurosciences. 29(7):398-406
Wunner, W.H., 2007. Rabies Virus, dalam Rabies, second edition. Edited by Alan
C. Jackson and William H. Wunner. Elsevier Inc.
31