Anda di halaman 1dari 3

1.

Sistiserkosis
a. Etiologi
Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh larva Taenia solium yaitu
cacing pita pada babi. Nama lain dari larva adalah metasestoda, cacing gelembung, kista
atau Cysticercus cellulosae. Sampai saat ini, sistiserkosis masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat di negara-negara sedang berkembang seperti di Amerika Latin,
Afrika dan Asia termasuk Indonesia. Di Indonesia, sampai saat ini, diketahui sistiserkosis
terutama ditemukan di tiga propinsi yaitu Bali, Papua (Irian Jaya) dan Sumatera Utara.
Prevalensi taeniasis/ sistiserkosis di beberapa propinsi di Indonesia berada pada rentang
1,0%-4 2,7% dan prevalensi tertinggi ditemukan di Propinsi Papua pada tahun 1997 yaitu
42,7%. Sistiserkosis dapat menimbulkan gejala-gejala yang berat, khususnya bila
ditemukan di dalam otak, sedangkan taeniasis menyebabkan gejala-gejala saluran
pencernaan yang lebih ringan.
Sistiserkosis adalah penyakit parasiter yang disebabkan oleh sistiserkus yang
terdapat pada otot maupun organ lainnya. Sedangkan keberadaan sistiserkus khusus pada
otak, disebut sebagai neurosistiserkosis. Sistiserkosis selalu berkaitan dengan taeniasis
karena sistiserkosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh stadium larva atau fase
metacestoda dari cacing pita, sedangkan taeniasis disebabkan oleh cacing dewasa yang
hidup di dalam usus halus manusia.

b. Transmisi
Sistiserkosis merupakan salah satu penyakit zoonosis yang cara penularannya
termasuk dalam kelompok siklozoonosis. Cara penularan atau transmisi penyakit dalam
kelompok siklozoonosis membutuhkan lebih dari satu jenis vertebrata, tetapi tidak
melibatkan invertebrata untuk menyempurnakan siklus hidup agen penyebab penyakit.
Transmisi penularan melalui telur cacing yang ditemukan di tanah karena
kebiasaan buang air besar yang tidak pada tempatnya akibat kurangnya fasilitas sanitasi.
Kebiasaan makan dan perilaku tidak higienis merupakan faktor yang dapat meningkatkan
tingkat endemisitas di suatu daerah.

c. Epidemiologi

Di Indonesia, sistiserkosis merupakan penyakit pada penduduk yang tinggal


dibagian timur, meskipun diketahui penyakit ini juga ada di beberapa propinsi lain
dengan laporan yang terbatas, terutama pada aspek epidemiologinya (Margono et al.
2001). Menurut Rajshekhar et al. (2003) prevalensi sistiserkosis yang tinggi ada di
Vietnam, Cina, Korea dan Indonesia (Bali), dengan rentang nilai 0,02-12,6%. Sedangkan
prevalensi taeniasis berdasarkan pemeriksaan feses untuk telur cacing dilaporkan
berkisar antara 0,1 dan 6 % di India, Vietnam, Cina dan Indonesia (Bali). Prevalensi
sebesar 50% dilaporkan terjadi di Nepal, yang dihuni oleh petani yang beternak babi
dengan sanitasi yang buruk dan standar higiene yang rendah, serta kebiasaan
mengkonsumsi daging babi mentah merupakan faktor tambahan yang berkontribusi
terhadap penyebaran penyakit dibeberapa wilayah Asia.

d. Gejala Klinis
Manifestasi utama dari infestasi parasit ini adalah neurosistiserkosis (NCC) yang
menyerang susunan syaraf pusat dan menjadi penyebab tunggal yang paling umum dari
kejadian epilepsi dinegara berkembang. Tiga perempat dari 50 juta orang dengan epilepsi
ini hidup dinegara-negara miskin dan 94% tidak tersentuh oleh pengobatan (Prasad et al.
2008).
Hewan yang terinfeksi pada umumnya tidak menunjukkan gejala yang nyata.
Apabila manifestasinya cukup berat dapat mengakibatkan gangguan terutama pada organ
yang ditempati parasit ini. Gejala lain yang pernah dilaporkan adalah adanya
hipersensitifitas dari moncong dan kelumpuhan lidah atau kekejangan (Kraft 2007).
Gejala klinis pada manusia tergantung dari letak dan jumlah sistiserkus serta
reaksi dari induk semang. Gejala klinis yang utama adalah rasa nyeri pada otot yang
ditempati sistiserkus. Selain itu nyeri otot gejala lainnya adalah seizure epilepsi (66-
90%), sakit kepala, gejala saraf, gangguan penglihatan, hydrocephalus, meningitis kronis,
dan encephalitis serta nodul pada otot. Epilepsi akan muncul apabila sistiserkus terdapat
dalam jumlah yang cukup banyak dapat mencapai sistem saraf pusat dan setelah
mengalami pengapuran, sehingga kadang-kadang gejala baru muncul 20 tahun setelah
infeksi. Apabila larva ini di jumpai di otak, larva akan menimbulkan gangguan
fungsional yang hebat, sedangkan di miokardium akan menyebabkan kegagalan jantung
miokardial. Dampak pada masyarakat dari penyakit ini berupa kecacatan, inkapasitasi
dan penurunan produktivitas (Kraft 2007; Carabin et al. 2006).

e. Kejadian Pada Manusia


Kasus pertama sistiserkosis pada manusia di Indonesia dilaporkan oleh Bonne, tahun
1940, kasus yang dialami oleh perempuan keturunan Cina dari Kalimantan Timur. Kasus
lain dilaporkan oleh Hausman tahun 1950. Di Jakarta, kasus sistiserkosis serebral
digambarkan oleh Lie pada tahun 1955 (Margono et al. 2001). Saat ini diketahui
sistiserkosis terutama ditemukan di tiga propinsi yaitu Bali, Irian Jaya, dan Sumatera
Utara. penyakit ini disebut juga dengan penyakit pork measles, beberasan di Bali, manis-
manisan di Tapanuli, dan banasom di Toraja (Margono et al. 2001).

f. Kejadian Pada Hewan


g. Diagnosa
h. Pencegahan dan Penanggulangan

2. Hidatidosis
a. Etiologi
b. Transmisi
c. Epidemiologi
d. Gejala Klinis
e. Kejadian Pada Manusia
f. Kejadian Pada Hewan
g. Diagnosa
h. Pencegahan dan Penanggulangan

3. Scabies
a. Etiologi
b. Transmisi
c. Epidemiologi
d. Gejala Klinis
e. Kejadian Pada Manusia
f. Kejadian Pada Hewan
g. Diagnosa
h. Pencegahan dan Penanggulangan

Anda mungkin juga menyukai