Anda di halaman 1dari 22

African Swine Fever (ASF)

MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah anatomi dan Fisiologi Manusia
yang Diampu oleh Dr. Hj. Nur Khasanah, M.Kes.

Nama : Ariyanti Nur Safitri


NIM : 2108086005
Kelas : PB 3A
Kelompok :4

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
SEPTEMBER 2021
DAFTAR IS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG ............................... 1


DAFTAR IS ............................................................................................................ 1
DAFTAR TABEL ................................................................................................... 2
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. 2
BAB I ...................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN .................................................................................................. 3
Latar Belakang ........................................................................................................ 3
Rumusan Masalah ............................................................................................... 3
Tujuan ................................................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 4
Penyebaran virus ................................................................................................. 4
Penularan virus .................................................................................................... 4
Gejala Klinis dan Pengamatan Pantologi ............................................................ 6
Diagnosis virus .................................................................................................. 11
Dampak di sektor ekonomi .............................................................................. 15
Perspektif Islam terhadap virus pada babi ........................................................ 16
Pencegahan dan Pengendalian .......................................................................... 17
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 20
Simpulan ........................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 21

1
DAFTAR TABEL

Table 1..................................................................................................................... 5
Table 2..................................................................................................................... 6
Table 3..................................................................................................................... 6
Table 4................................................................................................................... 13
Table 5................................................................................................................... 14
Table 6................................................................................................................... 15

DAFTAR GAMBAR

Figure 1 ................................................................................................................... 8
Figure 2 ................................................................................................................... 9
Figure 3 ................................................................................................................. 10
Figure 4 ................................................................................................................. 11

2
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
ASFV akhir-akhir ini menjadi permasalahan penting bagi peternak
babi dan negara-negara yang mayoritas warganya mengkonsumsi babi.
Banyak masyarakat yang tidak tahu bagaimana cara gejala babi yang
terserang menyebabkan banyak babi yang mati tanpa penanganan. Selain itu
virus ini menyebar ke berbagai benua bertepatan dengan adanya virus covid
19 menyebabkan semakin terpuruknya perekonomian para peternak.
Terlebih sampai saat ini belum ditemukan adanya vaksin untuk jenis kasus
ini. (Inui, 2020) Dalam makalah ini akan dibahas mengenai Virus ASF,
bagaimana cara penularannya, gejala babi yang terinveksi, cara mendiagnosis
babi yang terinveksi, perspektif islam terhadap daging babi, dampak serta
cara pencegahan prnyrbaran virus ini.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana penyebaran dan penularan virus ASF?
2. Apa gejala babi yang terserang virus ASF?
3. Bagaimana langkah menentukan babi yang terinveksi virus ASF?
4. Apa dampak virus ASF terhadap sektor ekonomi?
5. Bagaimana persektif islam terhadap adanya virus ASF?
6. Bagaimana cara pencegahan dan pengobatan virus ASF?

Tujuan
1. Mengetahui struktur virus ASF.
2. Memahami penyebaran dan penularan virus ASF.
3. Menjelaskan gejala babi yang terinveksi virus ASF.
4. Memahami tahapan diagnosis hewan yang terinveksi.
5. Mengetahui dampak adanya virus ASF terhadap sektor ekonomi.
6. Menjelaskan perspektif islam terhadap adanya virus pada babi.
7. Mengetahui cara pencagahan dan pengobatan inveksi virus ASF.

3
BAB II
PEMBAHASAN

African Swine Fever (ASF) merupakan penyakit pada babi yang sangat
menular, yang menyebabkan perdarahan pada organ internal yang
menyebabkan angka kematian sangat tinggi.
Virus African Swine Fever (ASFV) adalah virus besar yang berisi untai
DNA ganda yang membentuk genom dengan panjang sekitar 190 kbp. Virus
ASF termasuk dalam genus Asfivirus dari famili Asfarviridae. Struktur virus
ASF berbentuk ikosahedral kompleks dikelilingi oleh lapisan membran dan
berdiameter sekitar 200 nm. Inti virus terdiri dari nukleoprotein yang
dikelilingi oleh protein matriks yang dikelilingi oleh lapisan kapsid membran
bagian dalam. Lapisan kapsid yang tersusun atas protein kapsid (p72)
memiliki simetri ikosahedral dan dilapisi oleh membran luar (Retnaningsih,
2019)
Virus ASF sangat tahan terhadap pengaruh lingkungan, dan stabil
pada pH 4-13, serta dapat tahan hidup dalam darah (4 oC) selama 18 bulan,
dalam daging dingin selama 15 minggu, dalam daging beku selama beberapa
tahun, dalam ham selama 6 bulan dan di dalam kandang babi selama 1 bulan.
(Retnaningsih, 2019)

Penyebaran virus
ASF pertama kali diidentifikasi tahun 1921 di Kenya, Afrika Timur,
kemudian menyebara ke Portugal dan negara Eropa pada tahu 1957. Pada
tahun 2010, virus ASF ditemukan pada babi liar di Iran, kemudian
Tiongkok melaporkan wabah demam babi afrika di provinsi Liaoning tahun
2018. Pada Februari 2019, Vietnam menjadi negara Asia Tenggara pertama
yang malaporkan adanya kasus demam babi afrika, dan disusul oleh negara
Kamboja, Laos, Filipina, Myanmar dan Timor Leste. Hingga bulan Desember
2019, ada tujuh negara di Asia Tenggara telah melaporkan kasus ASF
termasuk Indonesia. Indonesia mengumumkan secara resmi kasus ASF
melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 820/KPTS/PK.320/M/12/2019
tentang Pernyataan Wabah Penyakit Demam Babi Afrika (African Swine
Fever) di beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.

Penularan virus
Penularan virus ASF dapat memalui kontak langsung dan tidak
langsung. Secara langsung penularan virus ASF dapat melalui darah, cairan
tubuh dan jaringan tubuh babi yang terinfeksi. Penularan juga dapat terjadi
melalui peralatan, pakan dan minuman yang tercemar virus. Selain itu
penularan juga dapat terjadi melalui gigitan caplak lunak dari

4
genus Ornithodoros, seperti O. erraticus dan O. moubata yang bertindak
sebagai vektor biologis virus ASF. (Retnaningsih, 2019)
Berdassarkan peelitian yang dilakukan oleh (Adiwinata, 2022), alas
kaki menjadi salah satu media penularan penyakit yang diakibat petugas atau
pengunjung yang dalam satu hari berkunjung ke sebuah peternakan
terinfeksi pergi ke peternakan lain tanpa mensterilkan alas kaki yang
digunakan.Virus dalam jumlah kecil yang mengkontaminasi berupa kotoran
di sepatu boot seorang pengemudi bisa jadi cukup banyak menginfeksi
sebuah peternakan. Agar celup kaki disinfektan menjadi efektif untuk
mencegah penyakit, sepatu boot perlu dibersihkan dari bahan organik
sebelum didesinfeksi dan diamkan dalam rendaman desinfeksi antara 2
sampai 5 menit. Peternakan babi yang tidak menggunakan celup kaki
disinfektan sebelum dan sesudah memasuki kandang diidentifikasikan
sebagai faktor risiko tinggi dan 17,64 kali lebih berisiko terhadap kematian
babi dibandingkan dengan peternakan babi yang menggunakan celup kaki
disinfektan sebelum memasuki kandang.
Babi yang pernah terinfeksi dan sembuh, sebenarnya masih tetap
terinfeksi walaupun tidak menunjukkan gejala klinis atau berstatus terinfeksi
secara persisten dan berperan sebagai pembawa virus. Infeksi yang
berkelanjutan ini dapat berlangsung lama bahkan virus masih dapat
terisolasi dari beberapa jaringan sampai lebih satu tahun setelah infeksi
awal. (Retnaningsih, 2019)

Table 1

5
Table 2

https://jurnal.ugm.ac.id/jsv

Table 3

https://jurnal.ugm.ac.id/jsv

Gejala Klinis dan Pengamatan Pantologi

Gejala klinis babi yang menderita ASF dibagi 4 tahap, yaitu per akut,
akut, sub akut, dan kronis. Gejala klinis per akut ditandai demam tinggi (41-
42°C), kehilangan nafsu makan dan pergerakan tidak aktif, Beberapa babi
mengalami kematian mendadak 1-3 hari sebelum timbulnya gejala klinis.
Gejala klinis akut terjadi setelah masa inkubasi 4-7 hari (kadang-
kadang 14 hari), dengan gejala demam 40-42°C, kurang nafsu makan; hewan-
hewan terlihat mengantuk dan lemah, berbaring dan meringkuk serta laju
pernapasan meningkat. Kematian sering terjadi dalam 6-9 hari untuk strain
yang sangat virulen, atau 11-15 hari untuk isolat yang cukup virulen.

6
Berdasarkan (Muhidin, 2021) tahap akut memiliki masa inkubasi
berlangsung lebih singkat (3-7 hari), ditandai dengan demam tinggi hingga
42 °C, depresi, nafsu makan menurun, malas bergerak, cenderung
berkumpul, hemoragi pada kulit dan organ dalam, abortus pada babi
bunting, sianosis (warna kulit kebiruan), muntah, dan diare. Kematian
biasanya terjadi dalam 5-10 hari setelah muncul gejala klinis. Angka kematian
dapat mencapai 100% dan terkadang, kematian terjadi bahkan sebelum
tanda klinis dapat diamati.
Gejala subakut disebabkan oleh isolat yang cukup virulen dan dapat
terjadi pada daerah endemik. Babi biasanya mati dalam 7-20 hari, dengan
tingkat kematian antara 30 hingga 70 persen. Gejala hewan yang mengalami
tahap sub akut antara lain fluktuasi demam, depresi dan kehilangan nafsu
makan, kesakitan pada waktu berjalan, sendi bengkak dengan akumulasi
cairan dan fibrin, tanda-tanda respirasi dan pneumonia, serta keguguran
pada babi betina.
Gejala kronis menyebabkan tingkat kematian kurang dari 30 persen.
Gejala klinis mulai 14 - 21 hari setelah infeksi dengan sedikit demam,
gangguan pernapasan ringan dan pembengkakan sendi sedang sampai berat,
serta disertai area kulit memerah. Apabila dilakukan nekropsi tambahan,
akan ditemukan pneumonia dengan nekrosis caseous di paru-paru,
perikarditis fibrinosa, dan kelenjar getah bening edematosa, yang sebagian
dapat berupa perdarahan (terutama kelenjar getah bening mediastinum)
(Beltran Alcrudo et al., 2017).
Berdasarkan sumber lain, tahap subakut dan kronis yang disebabkan
oleh virus dengan virulensi yang rendah, tanda klinis yang muncul lebih
ringan dan berlangsung dalam periode waktu yang lebih lama. Tingkat
kematian lebih rendah berkisar 30-70%. Gejala penyakit tahap kronis di
antaranya penurunan berat badan, demam intermiten atau berkala,
gangguan pernapasan, ulser pada kulit, dan radang sendi. (Muhidin, 2021)

7
Figure 1
http://repository.pertanian.go.id

(A) Babi mati ditemukan di semak-semak di Distrik Prafi, Kan=bupaten Manokwari, Provinsi
Papua Barat; (B) Sianosis pada kulit daerah toraks; (C) ecchymosis kulit pada
ekstremitas; (D) Babi lemas, demam, dan tidak nafsu makan; (E) Bagian ventral terdapat
bercak kemerahan; (F) Bercak merah tersebar di bagian abdomen dan ekstremitas

Setelah dilakukan pengamatan gejala yang dialami, perlu dilakukan


pemeriksaan secara patologi anatomi untuk mengetahui kondisi organ
hewan yang terinfeksi. Ciri hewan yang terinfeksi berdasarkan bentuk
perakut dan perdarahan pada organ internal. Pada ASF bentuk akut kondisi
karkas tampak baik. Perubahan yang signifikan yaitu perdarahan pada semua
organ internal. Bintik-bintik perdarahan terutama pada cortex ginjal,
kandung kemih, paru dan jantung dan meluas pada serosa lambung dan usus,
limfoglandula membengkak 2-3 kali ukuran normal. Pada bentuk subakut
gambaran patologis yang terjadi sangat mirip dengan classical swine fever
(Hog Cholera), antara lain perdarahan pada limfoglandula, ginjal, pembesaran
limpa dan paru mengalami konsolidasi.
Pada kondisi kronis perubahan yang terlihat antara lain pembesaran
limfoglandula, pericarditis fibrinosa, pleuritis, adanya nodul kecil dan keras
pada paru, ulcerasi kulit dan arthritis pada persendian. (Retnaningsih, 2019)

8
Pada penelitian yang dilakukan oleh (Muhidin, 2021), sebelum
melakukan pemeriksaan patologi, dilakukan nekropsi terlebih dahulu dan
diperoleh hasil berikut: hasil pengamatan menunjukkan mukosa tubuh yang
kemerahan dan adanya cairan merah di peritoneum (Gambar 2A dan 2B).
Kondisi ini tidak dapat disimpulkan sebagai perubahan anatomis
dikarenakan kematian babi yang diperkirakan telah berlangsung lama
sehingga perubahan tersebut dapat disebabkan oleh autolisis. Proses
autolisis terjadi akibat dari pengaruh enzim yang dilepaskan oleh sel-sel yang
sudah mati yang diawali dengan nukleoprotein yang terdapat pada kromatin
kemudian pada sitoplasma. Dinding sel akan mengalami kehancuran
mengakibatkan jaringan menjadi lunak atau mencair.

Figure 2
http://repository.pertanian.go.id

Setelah melakukan pemeriksaan nekropsi, belum diketaui hasil yang


passti penyebab kematian babi, sehingga dilakukan pemeriksaan patologi
yang diperoleh hasil berikut : (Muhidin, 2021)

9
Figure 3
http://repository.pertanian.go.id

Perubahan patologis pada sistem digesti menunjukkan hemoragi terjadi di


seluruh bagian usus disertai adanya nekrosis pada fili usus (Gambar 2D dan
3F) serta adanya ptechiae pada dinding dan kardia lambung. Pada kasus ASF,
perubahan yang signifikan adalah adanya perdarahan pada semua organ
internal. Perubahan patologis ginjal menunjukkan adanya perdarahan
ptechiae pada kapsula ginjal (Gambar 2E). Selain itu, saat dilakukan insisi
terlihat adanya multifocal hemoragi pada bagian medulla (Gambar 2F).
Perubahan organ ginjal tersebut sangat khas pada infeksi ASF yang
dipengaruhi oleh penipisan sel limfoid kemungkinan besar disebabkan oleh
aktivasi sekretori dari makrofag yang terinfeksi ASF .
Selain melakukan pengamatan secara patologi, untuk lebih
menyakinkan dilakukan pula pengamatan secara histologi. Pada mengamatan

10
histologi yang dilakukan oleh (Gelolodo, 2021) yang menunjukkan adanya
hemoragi pada limpa dan limfonodus dapa organ limpa

Figure 4
(Gelolodo, 2021)
Selain uji histopatologi, dapat dilakukan juga uji laboratorium. Pada
bentuk pra akut dan akut, pemeriksaan ditujukan untuk isolasi virus atau
deteksi antigen. Sedangkan pada bentuk subakut dan kronis pemeriksaan
ditujukan untuk deteksi antibodi. Isolasi dan identifikasi virus dilakukan
dengan kultur sel/jaringan menggunakan biakan sel leukosit babi atau
sumsum tulang. Spesimen darah atau suspensi organ diinokulasikan pada
biakan sel kemudian diamati kemampuan hemadsorpsi terhadap sel eritrosit
babi dan diamati adanya CPE (isolasi virus atau uji hemadsorpsi). Metode
pengujian lain yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi virus ASF yaitu
uji antibodi fluoresens/ Fluorescent Antibody Test (FAT), ELISA antigen, dan
PCR. Deteksi antibodi dapat dilakukan dengan beberapa uji serologis seperti
Agar Gel Double Diffusion Precipitin (AGDP), Immunoelectroosmophoresis
(IEOP) dan ELISA. (Retnaningsih, 2019)

Diagnosis virus
Beberapa penyakit menunjukkan gejala yang sama dengan ASF antara
lain: Hog Cholera, akut Salmonellosis, Porcine Reproductive and Respiratory
Syndrome (PRRS), pasteurellosis, Porcine Dermatitis and Nephropathy
Syndrome (PDNS) dan keracunan, sehingga harus dilakukan bberapa tahap
diagnosis untuk mendapatkan hasil yang pasti. Diagnosis dilakukan beberapa
tahap, antara lain berdasarkan gejala klinis yang tampak, perubahan
patologis dan histopatologis serta pemeriksaan laboratorium. (Retnaningsih,
2019)
Rapid test antigen biasanya kurang sensitif dibandingkan dengan
teknik molekuler untuk deteksi virus, tetapi beberapa kit dapat memiliki
tingkat spesifisitas yang sebanding. Tes antigen direkomendasikan untuk
babi bergejala dan sakit parah dengan tingkat viremia yang tinggi, buan
untuk babi pada tahap awal infeksi klinis yang tidak memiliki jumlah viremia

11
yang cukup untuk deteksi. Dalam menggunakan rapid tes sebaiknya
menggunakan uji sampel dari lebih dari satu untuk hasil yang maksimal.
Selain rapid test, terdapat test molekuler yang lebih sensitif dan
kompleks untuk mendeteksi adanya virus ASF. Tes ini dapat digunakan untuk
mendeteksi bangkai yang terkontaminasi, dan sampel daging babi serta
sampel lingkungan di lokasi yang memerlukan (misalnya di rumah
pemotongan hewan, bandara atau habitat babi hutan/babi liar). Namun,
dalam penggunaannya membutuhkan pelatihan dan keterampilan eih tinggi
agar mendapat hasil akurat. Selain itu, tes molekuler juga membutuhkan
peralatan mahal untuk amplifikasi dan mengekstraksi DNA virus.
Diantara beberapa test yang tersedia, peternak dapat menggunakan
test berdasarkan kebutuhan dan dapat juga melakukan kombinasi beberapa
test yang disediakan. Berikut ini merupakan tabel pembanding beberapa test
virus ASF oleh (Inui, dkk, 2020):

12
Table 4
(Inui, 2020)

13
Table 5
(Inui, 2020)

14
Table 6
(Inui, 2020) Perbandingan tiga metode pengujian PoC utama untuk deteksi virus ASF dengan cepat

Dampak di sektor ekonomi


Wabah penyakit ASF pada babi dirasakan cukup meresahkan para
peternak babi di Kelurahan Tuatuka, terkhususnya pada Kelompok Tani
Sehati dan Kelompok Tani Syalom. Dalam waktu singkat semua ternak babi
yang menjadi tumpuan harapan dan tabungan keluarga harus mati siasia
karena penyakit ini. Kondisi ini diawali dengan kurangnya pemahaman
petani ternak akan apa itu penyakit ASF, bagaimana cara penularan dan
pencegahan penyakit ini, sehingga ketika terjadi kasus penyakit ASF masuk
ke lingkungan Kelurahan Tuatuka maka dengan mudanya menularkan ke
seluruh peternak yang ada. Penanganan ternak mati yang tidak tepat
maupun pemotongan hewan sakit diduga menjadi sumber penyebaran

15
penyakit di lingkungan peternak yang berdekatan dengan para peternak
merugi secara ekonomi karena modal pemeliharaan termasuk biaya pakan
harus hilang begitu saja, sementara tuntutan pemenuhan kebutuhan pokok
sehari-hari sudah ada didepan mata.

Wabah Covid-19 yang terjadi di Indonesia memberikan dampak besar bagi


semua sektor kesehatan dan ekonomi, termasuk di dalamnya usaha
pertanian dan peternakan. Keadaan peternak babi yang sebelumnya sudah
merugi akibat wabah penyakit ASF semakin diperparah dengan adanya
pandemic Covid-19 yang mengharuskan para peternak untuk lebih banyak
berdiam di rumah. Selain itu adanya penjualan yang rendah namun harga
pakan dan kebutuhan ternak yang terus naik menjadikan peternak
mengalami kerugian. (Gerson, 2021)

Perspektif Islam terhadap virus pada babi


Dalam islam baik dalam Al-Quran maupun Hadis sudah dijelaskan
bahwa babi hukumnya adalah haram. Namun melihat dari sudut pandang
berbeda, babi merupakan hewan ternak yang menjadi sumber penghasilan
dan pangan bagi beberapa orang. Sehingga dalam bab ini akan dibahas
perspektif islam dalam memandang hewan ternak yang terjangkit virus
berdasarkan (Ranuwijaya, 2014)

Dalam literatur ulama klasik belum ditemukan pembahasan soal


kedudukan hukum hewan ternak yang mengandung virus atau yang
terkena suatu penyakit. Dalam nash, baik dalam al-Qur'an maupun hadis
tidak ada dalil yang menjelaskan secara eksplisit soal ini.

Dalam beberapa ayat al-Qur'an yang memerintahkan manusia untuk


memakan makanan yang halal selalu dirangkaikan dengan kata
thoyyiban, sebagaimana pada surat al-Baqarah ayat 168, al-Maidah ayat
88, dan al-Nahal ayat 114. Allah SWT pada ketiga ayat itu
memerintahkan memakan sesuatu yang halal lagi thoyyib. Terhadap kata
"halal" cukup banyak uraian para ulama dan banyak pula literatur yang
mengupas soal ini, tetapi terhadap kata "thoyyib" para ulama tidak banyak
mengupasnya, dan hanya mengartikannya dengan al-hasan (yang baik-
baik) atau al-ladzjdz (yang lezat-lezat) atau yang tidak menjijikan.

Dalam kamus ditemukan arti generik lainnya, bahwa kata al-thoyyib


juga berarti al-mu'aja (yang sehat) di samping berarti al-hasan dan al-
ladzjdz. Jika kata al-thqyyib diartikan dengan dengan yang sehat, berarti
perintah ketiga ayat itu adalah memakan makanan yang halal dan yang

16
sehat. K.onsekwensi logisnya, adalah manusia dilarang memakan
makanan yang tidak sehat, termasuk hewan ternak yang sakit.

Namun tidak semua hewan ternak sakit dipandang membahayakan


manusia. Tetapi khusus untuk ternak yang terkena virus anthrax dan flu
burung berarti dilarang atas dasar membahayakan bagi manusia. Dalam
konteks larangan memakan hewan ternak yang terkena virus ini, ada
beberapa kaidah fiqh yang dapat digunakan untuk menjadi bahan acuan
tambahan, antara lain: "al-dlarar yudfa 'u biqadri al-imkan (segala yang
bahaya harus dihindarkan), dan al-dlarar yuzal (segala yang bahaya harus
dihilangkan). Ini artinya, bahwa hewan ternak yang terkena virus
seharusnya dihindari, karena menimbulkan dlarar (membahayakan) bagi
manusia. Maka tindakan pemusnahan terhadap hewan ini merupakan
tindakan yang tepat. Namun pemusnahan harus dilakukan secara
profesional, serius dan tidak salah sasaran, sehingga yang tidak terkena
virus tidak harus serta merta terbawa dimusnahkan.

Bagi masyarakat kecil seekor hewan ternak adalah harta dan sumber
penghidupan. Seclangkan agama memandang bahwa harta adalah
termasuk ke dalam 5 (lima) kategori atau asas yang harus dijaga (hifdh
al-din, hifdh al-nafs, hifdh al-nasl, hifdh al- 'aql, dan hifdh al-ma)
Membunuh hewan ternak yang sehat tanpa ada konpensasi yang
memadai bagi pemiliknya berarti bertindak mubadzir dan menyia-nyiakan
harta yang merugikan masyarakat.

Pencegahan dan Pengendalian


Sampai saat ini belum ada vaksin untuk mencegah penyakit ASF pada babi.
Cara pencegahan dan pengendalian yang dapat dilakukan antara lain:
(Retnaningsih, 2019)
1. Mencegah lalu lintas media pembawa virus ASF
- Tidak menjual babi/karkas yang terkena penyakit ASF serta tidak
mengkonsumsinya.
- Isolasi babi yang terkena penyakit ASF dan peralatannya serta
dilakukan pengosongan kandang selama 2 bulan.
- Babi yang mati karena penyakit ASF dimasukkan ke dalam kantong
dan harus segera dikubur oleh petugas untuk mencegah penularan
yang lebih luas.
2. Penerapan biosekuriti dan manajemen peternakan babi yang baik, antara
lain dapat dilakukan dengan:
- Menjaga kesehatan babi dengan memberikan pakan yang baik. Jangan
berikan pakan babi dengan sisa makanan restoran atau hotel. Jika
menggunakan makanan dari sisa-sisa makanan restoran atau hotel,

17
maka makanan tersebut harus dimasak mendidih terlebih dahulu
sekurang-kurangnya satu jam agar bebas dari virus ASF.
- Menjaga kebersihan kendang.
- Memisahkan babi yang sakit dari babi-babi yang sehat.
- Tidak mengizinkan orang lain bebas keluar masuk ke dalam
peternakan babi.
- Mencelupkan alas kaki atau sepatu kandang dalam desinfektan
sebelum memasuki kandang babi.
- Senantiasa mencuci tangan dengan sabun sebelum masuk ke dalam
kandang babi dan setelah keluar dari kandang babi.
- Jika menemukan babi yang sakit, segera hubungi petugas dari dinas
yang membidangi kesehatan hewan atau dokter hewan atau
paramedis di wilayah terdekat
Komponen utama biosekuriti adalah isolasi, kontrol lalu lintas dan
sanitasi.
1. Isolasi merupakan suatu tindakan untuk mencegah kontak diantara
hewan pada suatu area atau lingkungan. Tindakan yang paling penting
dalam pengendalian penyakit adalah meminimalkan pergerakan hewan
dan kontak dengan hewan yang baru datang. Tindakan lain yaitu
memisahkan ternak berdasarkan kelompok umur atau kelompok
produksi. Fasilitas yang digunakan untuk tindakan isolasi harus dalam
keadaan bersih dan didisinfeksi.
2. Kontrol lalu lintas merupakan tindakan pencegahan penularan penyakit
yang dibawa oleh alat angkut, hewan selain ternak (anjing, kucing, hewan
liar, rodensia, dan burung), dan pengunjung. Hewan yang baru datang
sebaiknya diketahui status vaksinasinya, hal ini merupakan tindakan
untuk memaksimalkan biosekuriti. Oleh sebab itu, mengetahui status
kesehatan hewan yang baru datang sangat penting. Kontrol lalu lintas di
peternakan harus dibuat dengan baik untuk menghentikan atau
meminimalkan kontaminasi pada hewan, pakan, dan peralatan yang
digunakan. Alat angkut dan petugas tidak boleh keluar dari area
penanganan hewan yang mati tanpa melakukan pembersihan (cleaning)
dan desinfeksi terlebih dahulu.
3. Sanitasi merupakan tindakan pencegahan terhadap kontaminasi yang
disebabkan oleh feses. Kontaminasi feses dapat masuk melalui oral pada
hewan (fecal-oral cross contamination). Kontaminasi ini dapat terjadi
pada peralatan yang digunakan seperti tempat pakan dan minum.
Langkah pertama tindakan sanitasi adalah untuk menghilangkan bahan
organik terutama feses. Bahan organik lain yaitu darah, saliva, sekresi
dari saluran pernafasan, dan urin dari hewan yang sakit atau hewan yang
mati. Semua peralatan yang digunakan khususnya tempat pakan dan

18
minum harus di- bersihkan dan didesinfeksi untuk mencegah
kontaminasi.
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan penerapan
biosekuriti, antara lain:
1. Biosekuriti merupakan benteng pertama dalam usaha pencegahan
2. penyakit.
3. Biosekuriti menjaga kesehatan ternak dengan memperkecil resiko
terkena penyakit.
4. Mendeteksi secara dini adanya wabah penyakit.
5. Menjaga pertumbuhan ternak agar tetap baik dengan rasio konversi
pakan yang baik pula (efisiensi pakan, waktu dan tenaga).
6. Menekan biaya kesehatan ternak menjadi lebih murah. Karena jika ternak
sudah terserang penyakit, maka biaya untuk pengobatan akan lebih
besar, belum lagi kerugian yang harus ditanggung peternak misalnya
karena peternak harus memperpanjang masa istirahatnya untuk
memutus rantai penyakit.
7. Memperoleh hasil/produk yang bagus, karena biosekuriti menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi ternak untuk berproduksi.
8. Jika ternak dapat berproduksi dengan baik,maka keuntungan sudah pasti
didapatkan.
Beberapa tanda lemahnya biosecuriti di sebuah peternakan antara
lain:
1. Masuknya penyakit yang belum pernah ada di peternakan tersebut,
2. Penyakit yang ada di peternakan tersebut tidak juga hilang dan
cenderung berulang, atau
3. Dua-duanya ada di peternakan tersebut.
Biosekuriti merupakan konsep integral yang mempengaruhi
suksesnya sistem produksi ternak, khususnya dalam mengurangi resiko dan
konsekuensi masuknya penyakit. Jika kegiatan biosekuriti dilaksanakan
secara baik dan benar maka produktivitas ternak, efisiensi ekonomi dan
produksi akan tercapai. Sebagai bagian dari sistem manajemen, maka
biosekuriti memainkan peranan sangat penting dalam rangka menjaga status
kesehatan ternak karena tiap-tiap prosedur biosekuriti baik pada kandang
maupun peralatan kandang berupaya menjauhkan ternak dari infeksi
maupun kontaminasi bakteri penyebab penyakit sehingga dapat mencegah
kejadian penyakit. Prinsip biosekuriti adalah mencegah masuknya, replikasi
dan penyebaran penyakit di dalam populasi dan keluar populasi. Penerapan
biosekuriti tidak harus dengan sarana dan prasarana yang mahal tetapi dapat
dilakukan secara sederhana namun konsisten. Biosekuriti adalah prosedur
pengamanan awal sebelum vaksinasi.

19
Untuk itu, perlu diperhatikan dengan seksama terkait penerapan
biosecurity di sebuah peternakan agar ternak terhindar dari berbagai
masalah penyakit, ternak tetap sehat dan nyaman tinggal di peternakan
sehingga produktivitas ternak akan maksimal. Penerapan biosekuriti di suatu
peternakan menjadi sebuah keharusan guna mencapai keuntungan yang
lebih di dalam sebuah usaha peternakan, disamping itu juga untuk mencegah
terjadinya outbreak penyakit dalam sebuah wilayah.

BAB III
PENUTUP

Simpulan
ASF merupakan virus yang hanya menyerang babi, baik babi liar
maupun ternak. Penularan virus ini dapat melalui kontak langsung maupun
tidak langsung. Tahapan inkubasi virus yaitu pra akut, akut, sub akut, dan
kronis. Gejala yang ditimbulkan biasanya babi akan lemas, adanya ruam pada
bagian ventral, demam, nafsu makan berkurang. Jika dilakukan pengamatan
secara patologis akan ditemukan adanya pendarahan pada organ dalam
khususnya limpa. Virus ini sangat merugikan peternak dan pengekspor
daging. Salah satu cara pencegahan penularan ASFV adalah dengan
penerapan biosekuriti pada kandang.

20
DAFTAR PUSTAKA

Adiwinata, P.D, Kadek Karang A, I Made Sukada. (2022, Januari). Celup Kaki
Tanpa Disinfektan Adalah Faktor Risiko Paling Tinggi Menyebabkan
Babi Mati Mendadak pada Peternakan di Gianyar, Bali.

Gelolodo, M. A, Maxs U. E. S, larry R.W.T, Antin Y.N.W, Yohanes T.R. M. R S,


Teresia F.I M. D. (2021). Histopatologi Limpa dan Limfonodus pada
Kasus Lapangan dengan Dugaan Kematian Akibat Virus African Swine
Fever pada Babi di Kabupaten Kupang. Jurnal Kajian Veteriner , 9.

Gerson, Yense Yane, Ewaldus. (2021). PKM-Peduli Peternak Babi Terdampak


Wabah African Swine Fever dan Pandemi Covid-19. Jurnal Pengabdian
Masyarakat , 6 (1).

Inui, Ken, Carmina G, Raquel P, Linda D, Carrie B, David W. (2020). General


situation of ASF in Asia and the Pasific. World Organisation for Animal
Health (oie).

Muhidin, N. M, Fitri Amaliah, Supri, Wahyuni. (2021). Gambaran Pantologi


Anatomi Babi Suspek American Swine Fever (ASF) di Kabupaten
Manokwari Provinsi Papua Barat.

Primatika R.A, Etih Sudarnika, Bambang Sumiarto, Chaerul Basri. (2021).


Tantangan dan Kendala Pengendalian African Swinw Fever (ASF).
Jurnal Sains Veteriner , 39 (1).

Ranuwijaya, Utang. (2014). Keharaman Hewan dalam Perspektif Al- Quran


dan Hadis.

Retnaningsih, T. W. (2019). Mengenal Demam Babi Afrika. Dinas Peternakan


dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah.

21

Anda mungkin juga menyukai