MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah anatomi dan Fisiologi Manusia
yang Diampu oleh Dr. Hj. Nur Khasanah, M.Kes.
1
DAFTAR TABEL
Table 1..................................................................................................................... 5
Table 2..................................................................................................................... 6
Table 3..................................................................................................................... 6
Table 4................................................................................................................... 13
Table 5................................................................................................................... 14
Table 6................................................................................................................... 15
DAFTAR GAMBAR
Figure 1 ................................................................................................................... 8
Figure 2 ................................................................................................................... 9
Figure 3 ................................................................................................................. 10
Figure 4 ................................................................................................................. 11
2
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
ASFV akhir-akhir ini menjadi permasalahan penting bagi peternak
babi dan negara-negara yang mayoritas warganya mengkonsumsi babi.
Banyak masyarakat yang tidak tahu bagaimana cara gejala babi yang
terserang menyebabkan banyak babi yang mati tanpa penanganan. Selain itu
virus ini menyebar ke berbagai benua bertepatan dengan adanya virus covid
19 menyebabkan semakin terpuruknya perekonomian para peternak.
Terlebih sampai saat ini belum ditemukan adanya vaksin untuk jenis kasus
ini. (Inui, 2020) Dalam makalah ini akan dibahas mengenai Virus ASF,
bagaimana cara penularannya, gejala babi yang terinveksi, cara mendiagnosis
babi yang terinveksi, perspektif islam terhadap daging babi, dampak serta
cara pencegahan prnyrbaran virus ini.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana penyebaran dan penularan virus ASF?
2. Apa gejala babi yang terserang virus ASF?
3. Bagaimana langkah menentukan babi yang terinveksi virus ASF?
4. Apa dampak virus ASF terhadap sektor ekonomi?
5. Bagaimana persektif islam terhadap adanya virus ASF?
6. Bagaimana cara pencegahan dan pengobatan virus ASF?
Tujuan
1. Mengetahui struktur virus ASF.
2. Memahami penyebaran dan penularan virus ASF.
3. Menjelaskan gejala babi yang terinveksi virus ASF.
4. Memahami tahapan diagnosis hewan yang terinveksi.
5. Mengetahui dampak adanya virus ASF terhadap sektor ekonomi.
6. Menjelaskan perspektif islam terhadap adanya virus pada babi.
7. Mengetahui cara pencagahan dan pengobatan inveksi virus ASF.
3
BAB II
PEMBAHASAN
African Swine Fever (ASF) merupakan penyakit pada babi yang sangat
menular, yang menyebabkan perdarahan pada organ internal yang
menyebabkan angka kematian sangat tinggi.
Virus African Swine Fever (ASFV) adalah virus besar yang berisi untai
DNA ganda yang membentuk genom dengan panjang sekitar 190 kbp. Virus
ASF termasuk dalam genus Asfivirus dari famili Asfarviridae. Struktur virus
ASF berbentuk ikosahedral kompleks dikelilingi oleh lapisan membran dan
berdiameter sekitar 200 nm. Inti virus terdiri dari nukleoprotein yang
dikelilingi oleh protein matriks yang dikelilingi oleh lapisan kapsid membran
bagian dalam. Lapisan kapsid yang tersusun atas protein kapsid (p72)
memiliki simetri ikosahedral dan dilapisi oleh membran luar (Retnaningsih,
2019)
Virus ASF sangat tahan terhadap pengaruh lingkungan, dan stabil
pada pH 4-13, serta dapat tahan hidup dalam darah (4 oC) selama 18 bulan,
dalam daging dingin selama 15 minggu, dalam daging beku selama beberapa
tahun, dalam ham selama 6 bulan dan di dalam kandang babi selama 1 bulan.
(Retnaningsih, 2019)
Penyebaran virus
ASF pertama kali diidentifikasi tahun 1921 di Kenya, Afrika Timur,
kemudian menyebara ke Portugal dan negara Eropa pada tahu 1957. Pada
tahun 2010, virus ASF ditemukan pada babi liar di Iran, kemudian
Tiongkok melaporkan wabah demam babi afrika di provinsi Liaoning tahun
2018. Pada Februari 2019, Vietnam menjadi negara Asia Tenggara pertama
yang malaporkan adanya kasus demam babi afrika, dan disusul oleh negara
Kamboja, Laos, Filipina, Myanmar dan Timor Leste. Hingga bulan Desember
2019, ada tujuh negara di Asia Tenggara telah melaporkan kasus ASF
termasuk Indonesia. Indonesia mengumumkan secara resmi kasus ASF
melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 820/KPTS/PK.320/M/12/2019
tentang Pernyataan Wabah Penyakit Demam Babi Afrika (African Swine
Fever) di beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.
Penularan virus
Penularan virus ASF dapat memalui kontak langsung dan tidak
langsung. Secara langsung penularan virus ASF dapat melalui darah, cairan
tubuh dan jaringan tubuh babi yang terinfeksi. Penularan juga dapat terjadi
melalui peralatan, pakan dan minuman yang tercemar virus. Selain itu
penularan juga dapat terjadi melalui gigitan caplak lunak dari
4
genus Ornithodoros, seperti O. erraticus dan O. moubata yang bertindak
sebagai vektor biologis virus ASF. (Retnaningsih, 2019)
Berdassarkan peelitian yang dilakukan oleh (Adiwinata, 2022), alas
kaki menjadi salah satu media penularan penyakit yang diakibat petugas atau
pengunjung yang dalam satu hari berkunjung ke sebuah peternakan
terinfeksi pergi ke peternakan lain tanpa mensterilkan alas kaki yang
digunakan.Virus dalam jumlah kecil yang mengkontaminasi berupa kotoran
di sepatu boot seorang pengemudi bisa jadi cukup banyak menginfeksi
sebuah peternakan. Agar celup kaki disinfektan menjadi efektif untuk
mencegah penyakit, sepatu boot perlu dibersihkan dari bahan organik
sebelum didesinfeksi dan diamkan dalam rendaman desinfeksi antara 2
sampai 5 menit. Peternakan babi yang tidak menggunakan celup kaki
disinfektan sebelum dan sesudah memasuki kandang diidentifikasikan
sebagai faktor risiko tinggi dan 17,64 kali lebih berisiko terhadap kematian
babi dibandingkan dengan peternakan babi yang menggunakan celup kaki
disinfektan sebelum memasuki kandang.
Babi yang pernah terinfeksi dan sembuh, sebenarnya masih tetap
terinfeksi walaupun tidak menunjukkan gejala klinis atau berstatus terinfeksi
secara persisten dan berperan sebagai pembawa virus. Infeksi yang
berkelanjutan ini dapat berlangsung lama bahkan virus masih dapat
terisolasi dari beberapa jaringan sampai lebih satu tahun setelah infeksi
awal. (Retnaningsih, 2019)
Table 1
5
Table 2
https://jurnal.ugm.ac.id/jsv
Table 3
https://jurnal.ugm.ac.id/jsv
Gejala klinis babi yang menderita ASF dibagi 4 tahap, yaitu per akut,
akut, sub akut, dan kronis. Gejala klinis per akut ditandai demam tinggi (41-
42°C), kehilangan nafsu makan dan pergerakan tidak aktif, Beberapa babi
mengalami kematian mendadak 1-3 hari sebelum timbulnya gejala klinis.
Gejala klinis akut terjadi setelah masa inkubasi 4-7 hari (kadang-
kadang 14 hari), dengan gejala demam 40-42°C, kurang nafsu makan; hewan-
hewan terlihat mengantuk dan lemah, berbaring dan meringkuk serta laju
pernapasan meningkat. Kematian sering terjadi dalam 6-9 hari untuk strain
yang sangat virulen, atau 11-15 hari untuk isolat yang cukup virulen.
6
Berdasarkan (Muhidin, 2021) tahap akut memiliki masa inkubasi
berlangsung lebih singkat (3-7 hari), ditandai dengan demam tinggi hingga
42 °C, depresi, nafsu makan menurun, malas bergerak, cenderung
berkumpul, hemoragi pada kulit dan organ dalam, abortus pada babi
bunting, sianosis (warna kulit kebiruan), muntah, dan diare. Kematian
biasanya terjadi dalam 5-10 hari setelah muncul gejala klinis. Angka kematian
dapat mencapai 100% dan terkadang, kematian terjadi bahkan sebelum
tanda klinis dapat diamati.
Gejala subakut disebabkan oleh isolat yang cukup virulen dan dapat
terjadi pada daerah endemik. Babi biasanya mati dalam 7-20 hari, dengan
tingkat kematian antara 30 hingga 70 persen. Gejala hewan yang mengalami
tahap sub akut antara lain fluktuasi demam, depresi dan kehilangan nafsu
makan, kesakitan pada waktu berjalan, sendi bengkak dengan akumulasi
cairan dan fibrin, tanda-tanda respirasi dan pneumonia, serta keguguran
pada babi betina.
Gejala kronis menyebabkan tingkat kematian kurang dari 30 persen.
Gejala klinis mulai 14 - 21 hari setelah infeksi dengan sedikit demam,
gangguan pernapasan ringan dan pembengkakan sendi sedang sampai berat,
serta disertai area kulit memerah. Apabila dilakukan nekropsi tambahan,
akan ditemukan pneumonia dengan nekrosis caseous di paru-paru,
perikarditis fibrinosa, dan kelenjar getah bening edematosa, yang sebagian
dapat berupa perdarahan (terutama kelenjar getah bening mediastinum)
(Beltran Alcrudo et al., 2017).
Berdasarkan sumber lain, tahap subakut dan kronis yang disebabkan
oleh virus dengan virulensi yang rendah, tanda klinis yang muncul lebih
ringan dan berlangsung dalam periode waktu yang lebih lama. Tingkat
kematian lebih rendah berkisar 30-70%. Gejala penyakit tahap kronis di
antaranya penurunan berat badan, demam intermiten atau berkala,
gangguan pernapasan, ulser pada kulit, dan radang sendi. (Muhidin, 2021)
7
Figure 1
http://repository.pertanian.go.id
(A) Babi mati ditemukan di semak-semak di Distrik Prafi, Kan=bupaten Manokwari, Provinsi
Papua Barat; (B) Sianosis pada kulit daerah toraks; (C) ecchymosis kulit pada
ekstremitas; (D) Babi lemas, demam, dan tidak nafsu makan; (E) Bagian ventral terdapat
bercak kemerahan; (F) Bercak merah tersebar di bagian abdomen dan ekstremitas
8
Pada penelitian yang dilakukan oleh (Muhidin, 2021), sebelum
melakukan pemeriksaan patologi, dilakukan nekropsi terlebih dahulu dan
diperoleh hasil berikut: hasil pengamatan menunjukkan mukosa tubuh yang
kemerahan dan adanya cairan merah di peritoneum (Gambar 2A dan 2B).
Kondisi ini tidak dapat disimpulkan sebagai perubahan anatomis
dikarenakan kematian babi yang diperkirakan telah berlangsung lama
sehingga perubahan tersebut dapat disebabkan oleh autolisis. Proses
autolisis terjadi akibat dari pengaruh enzim yang dilepaskan oleh sel-sel yang
sudah mati yang diawali dengan nukleoprotein yang terdapat pada kromatin
kemudian pada sitoplasma. Dinding sel akan mengalami kehancuran
mengakibatkan jaringan menjadi lunak atau mencair.
Figure 2
http://repository.pertanian.go.id
9
Figure 3
http://repository.pertanian.go.id
10
histologi yang dilakukan oleh (Gelolodo, 2021) yang menunjukkan adanya
hemoragi pada limpa dan limfonodus dapa organ limpa
Figure 4
(Gelolodo, 2021)
Selain uji histopatologi, dapat dilakukan juga uji laboratorium. Pada
bentuk pra akut dan akut, pemeriksaan ditujukan untuk isolasi virus atau
deteksi antigen. Sedangkan pada bentuk subakut dan kronis pemeriksaan
ditujukan untuk deteksi antibodi. Isolasi dan identifikasi virus dilakukan
dengan kultur sel/jaringan menggunakan biakan sel leukosit babi atau
sumsum tulang. Spesimen darah atau suspensi organ diinokulasikan pada
biakan sel kemudian diamati kemampuan hemadsorpsi terhadap sel eritrosit
babi dan diamati adanya CPE (isolasi virus atau uji hemadsorpsi). Metode
pengujian lain yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi virus ASF yaitu
uji antibodi fluoresens/ Fluorescent Antibody Test (FAT), ELISA antigen, dan
PCR. Deteksi antibodi dapat dilakukan dengan beberapa uji serologis seperti
Agar Gel Double Diffusion Precipitin (AGDP), Immunoelectroosmophoresis
(IEOP) dan ELISA. (Retnaningsih, 2019)
Diagnosis virus
Beberapa penyakit menunjukkan gejala yang sama dengan ASF antara
lain: Hog Cholera, akut Salmonellosis, Porcine Reproductive and Respiratory
Syndrome (PRRS), pasteurellosis, Porcine Dermatitis and Nephropathy
Syndrome (PDNS) dan keracunan, sehingga harus dilakukan bberapa tahap
diagnosis untuk mendapatkan hasil yang pasti. Diagnosis dilakukan beberapa
tahap, antara lain berdasarkan gejala klinis yang tampak, perubahan
patologis dan histopatologis serta pemeriksaan laboratorium. (Retnaningsih,
2019)
Rapid test antigen biasanya kurang sensitif dibandingkan dengan
teknik molekuler untuk deteksi virus, tetapi beberapa kit dapat memiliki
tingkat spesifisitas yang sebanding. Tes antigen direkomendasikan untuk
babi bergejala dan sakit parah dengan tingkat viremia yang tinggi, buan
untuk babi pada tahap awal infeksi klinis yang tidak memiliki jumlah viremia
11
yang cukup untuk deteksi. Dalam menggunakan rapid tes sebaiknya
menggunakan uji sampel dari lebih dari satu untuk hasil yang maksimal.
Selain rapid test, terdapat test molekuler yang lebih sensitif dan
kompleks untuk mendeteksi adanya virus ASF. Tes ini dapat digunakan untuk
mendeteksi bangkai yang terkontaminasi, dan sampel daging babi serta
sampel lingkungan di lokasi yang memerlukan (misalnya di rumah
pemotongan hewan, bandara atau habitat babi hutan/babi liar). Namun,
dalam penggunaannya membutuhkan pelatihan dan keterampilan eih tinggi
agar mendapat hasil akurat. Selain itu, tes molekuler juga membutuhkan
peralatan mahal untuk amplifikasi dan mengekstraksi DNA virus.
Diantara beberapa test yang tersedia, peternak dapat menggunakan
test berdasarkan kebutuhan dan dapat juga melakukan kombinasi beberapa
test yang disediakan. Berikut ini merupakan tabel pembanding beberapa test
virus ASF oleh (Inui, dkk, 2020):
12
Table 4
(Inui, 2020)
13
Table 5
(Inui, 2020)
14
Table 6
(Inui, 2020) Perbandingan tiga metode pengujian PoC utama untuk deteksi virus ASF dengan cepat
15
penyakit di lingkungan peternak yang berdekatan dengan para peternak
merugi secara ekonomi karena modal pemeliharaan termasuk biaya pakan
harus hilang begitu saja, sementara tuntutan pemenuhan kebutuhan pokok
sehari-hari sudah ada didepan mata.
16
sehat. K.onsekwensi logisnya, adalah manusia dilarang memakan
makanan yang tidak sehat, termasuk hewan ternak yang sakit.
Bagi masyarakat kecil seekor hewan ternak adalah harta dan sumber
penghidupan. Seclangkan agama memandang bahwa harta adalah
termasuk ke dalam 5 (lima) kategori atau asas yang harus dijaga (hifdh
al-din, hifdh al-nafs, hifdh al-nasl, hifdh al- 'aql, dan hifdh al-ma)
Membunuh hewan ternak yang sehat tanpa ada konpensasi yang
memadai bagi pemiliknya berarti bertindak mubadzir dan menyia-nyiakan
harta yang merugikan masyarakat.
17
maka makanan tersebut harus dimasak mendidih terlebih dahulu
sekurang-kurangnya satu jam agar bebas dari virus ASF.
- Menjaga kebersihan kendang.
- Memisahkan babi yang sakit dari babi-babi yang sehat.
- Tidak mengizinkan orang lain bebas keluar masuk ke dalam
peternakan babi.
- Mencelupkan alas kaki atau sepatu kandang dalam desinfektan
sebelum memasuki kandang babi.
- Senantiasa mencuci tangan dengan sabun sebelum masuk ke dalam
kandang babi dan setelah keluar dari kandang babi.
- Jika menemukan babi yang sakit, segera hubungi petugas dari dinas
yang membidangi kesehatan hewan atau dokter hewan atau
paramedis di wilayah terdekat
Komponen utama biosekuriti adalah isolasi, kontrol lalu lintas dan
sanitasi.
1. Isolasi merupakan suatu tindakan untuk mencegah kontak diantara
hewan pada suatu area atau lingkungan. Tindakan yang paling penting
dalam pengendalian penyakit adalah meminimalkan pergerakan hewan
dan kontak dengan hewan yang baru datang. Tindakan lain yaitu
memisahkan ternak berdasarkan kelompok umur atau kelompok
produksi. Fasilitas yang digunakan untuk tindakan isolasi harus dalam
keadaan bersih dan didisinfeksi.
2. Kontrol lalu lintas merupakan tindakan pencegahan penularan penyakit
yang dibawa oleh alat angkut, hewan selain ternak (anjing, kucing, hewan
liar, rodensia, dan burung), dan pengunjung. Hewan yang baru datang
sebaiknya diketahui status vaksinasinya, hal ini merupakan tindakan
untuk memaksimalkan biosekuriti. Oleh sebab itu, mengetahui status
kesehatan hewan yang baru datang sangat penting. Kontrol lalu lintas di
peternakan harus dibuat dengan baik untuk menghentikan atau
meminimalkan kontaminasi pada hewan, pakan, dan peralatan yang
digunakan. Alat angkut dan petugas tidak boleh keluar dari area
penanganan hewan yang mati tanpa melakukan pembersihan (cleaning)
dan desinfeksi terlebih dahulu.
3. Sanitasi merupakan tindakan pencegahan terhadap kontaminasi yang
disebabkan oleh feses. Kontaminasi feses dapat masuk melalui oral pada
hewan (fecal-oral cross contamination). Kontaminasi ini dapat terjadi
pada peralatan yang digunakan seperti tempat pakan dan minum.
Langkah pertama tindakan sanitasi adalah untuk menghilangkan bahan
organik terutama feses. Bahan organik lain yaitu darah, saliva, sekresi
dari saluran pernafasan, dan urin dari hewan yang sakit atau hewan yang
mati. Semua peralatan yang digunakan khususnya tempat pakan dan
18
minum harus di- bersihkan dan didesinfeksi untuk mencegah
kontaminasi.
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan penerapan
biosekuriti, antara lain:
1. Biosekuriti merupakan benteng pertama dalam usaha pencegahan
2. penyakit.
3. Biosekuriti menjaga kesehatan ternak dengan memperkecil resiko
terkena penyakit.
4. Mendeteksi secara dini adanya wabah penyakit.
5. Menjaga pertumbuhan ternak agar tetap baik dengan rasio konversi
pakan yang baik pula (efisiensi pakan, waktu dan tenaga).
6. Menekan biaya kesehatan ternak menjadi lebih murah. Karena jika ternak
sudah terserang penyakit, maka biaya untuk pengobatan akan lebih
besar, belum lagi kerugian yang harus ditanggung peternak misalnya
karena peternak harus memperpanjang masa istirahatnya untuk
memutus rantai penyakit.
7. Memperoleh hasil/produk yang bagus, karena biosekuriti menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi ternak untuk berproduksi.
8. Jika ternak dapat berproduksi dengan baik,maka keuntungan sudah pasti
didapatkan.
Beberapa tanda lemahnya biosecuriti di sebuah peternakan antara
lain:
1. Masuknya penyakit yang belum pernah ada di peternakan tersebut,
2. Penyakit yang ada di peternakan tersebut tidak juga hilang dan
cenderung berulang, atau
3. Dua-duanya ada di peternakan tersebut.
Biosekuriti merupakan konsep integral yang mempengaruhi
suksesnya sistem produksi ternak, khususnya dalam mengurangi resiko dan
konsekuensi masuknya penyakit. Jika kegiatan biosekuriti dilaksanakan
secara baik dan benar maka produktivitas ternak, efisiensi ekonomi dan
produksi akan tercapai. Sebagai bagian dari sistem manajemen, maka
biosekuriti memainkan peranan sangat penting dalam rangka menjaga status
kesehatan ternak karena tiap-tiap prosedur biosekuriti baik pada kandang
maupun peralatan kandang berupaya menjauhkan ternak dari infeksi
maupun kontaminasi bakteri penyebab penyakit sehingga dapat mencegah
kejadian penyakit. Prinsip biosekuriti adalah mencegah masuknya, replikasi
dan penyebaran penyakit di dalam populasi dan keluar populasi. Penerapan
biosekuriti tidak harus dengan sarana dan prasarana yang mahal tetapi dapat
dilakukan secara sederhana namun konsisten. Biosekuriti adalah prosedur
pengamanan awal sebelum vaksinasi.
19
Untuk itu, perlu diperhatikan dengan seksama terkait penerapan
biosecurity di sebuah peternakan agar ternak terhindar dari berbagai
masalah penyakit, ternak tetap sehat dan nyaman tinggal di peternakan
sehingga produktivitas ternak akan maksimal. Penerapan biosekuriti di suatu
peternakan menjadi sebuah keharusan guna mencapai keuntungan yang
lebih di dalam sebuah usaha peternakan, disamping itu juga untuk mencegah
terjadinya outbreak penyakit dalam sebuah wilayah.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
ASF merupakan virus yang hanya menyerang babi, baik babi liar
maupun ternak. Penularan virus ini dapat melalui kontak langsung maupun
tidak langsung. Tahapan inkubasi virus yaitu pra akut, akut, sub akut, dan
kronis. Gejala yang ditimbulkan biasanya babi akan lemas, adanya ruam pada
bagian ventral, demam, nafsu makan berkurang. Jika dilakukan pengamatan
secara patologis akan ditemukan adanya pendarahan pada organ dalam
khususnya limpa. Virus ini sangat merugikan peternak dan pengekspor
daging. Salah satu cara pencegahan penularan ASFV adalah dengan
penerapan biosekuriti pada kandang.
20
DAFTAR PUSTAKA
Adiwinata, P.D, Kadek Karang A, I Made Sukada. (2022, Januari). Celup Kaki
Tanpa Disinfektan Adalah Faktor Risiko Paling Tinggi Menyebabkan
Babi Mati Mendadak pada Peternakan di Gianyar, Bali.
21