OLEH :
KELAS/SEMESTER : B/V
KUPANG
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan nikmat serta
hidayah-Nya terutama hikma kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan
Asuhan Keperawatan mata kuliah Manajemen Keperawatan Tropis II yang berjudul ” KONSEP
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PENYAKIT RABIES ”. Asuhan Keperawatan ini ini
salah satu tugas dari mata kuliah Manajemen Keperawatan Tropis II di program studi S1
keperawatan.Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan dalam penuliasan
makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran secara konstrukif dari para
pembaca demi kesempurnaan Asuhan Keperawatan ini.
penulis
i
DAFTAR ISI
A. Definisi/pengertian .......................................................................................................2
B. Etiologi .........................................................................................................................2
C. Patofisiologi ..................................................................................................................3
D. Pathway ........................................................................................................................4
E. Manifestasi Klinis .........................................................................................................6
F. Pemeriksaan Penunjang ..............................................................................................8
G. Penatalaksanaan ..........................................................................................................9
H. Komplikasi ..................................................................................................................11
I. Asuhan Keperawatan Teori......................................................................................14
A. Kesimpulan .................................................................................................................23
B. Saran ...........................................................................................................................23
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rabies adalah suatu penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang dapat menyerang
semua jenis binatang berdarah panas dan manusia. Penyakit ini ditandai dengan disfungsi hebat
susunan saraf pusat dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Rabies merupakan salah satu
penyakit menular tertua yang dikenal di Indonesia. Virus rabies termasuk dalam genus Lyssavirus
dan famili Rhabdoviridae. Genus Lyssavirus sendiri terdiri dari 80 jenis virus dan virus rabies
merupakan prototipe dari genus ini. Sejarah penemuan rabies bermula 2000 tahun SM ketika
Aristoteles menemukan bahwa anjing dapat menularkan infeksi kepada anjing yang lain melalui
gigitan. Ketika seorang anak laki-laki berumur 9 tahun digigit oleh seekor anjing rabies pada
tahun 1885, Louis Pasteur mengobatinya dengan vaksin dari medulla spinalis anjing tersebut,
menjadikannya orang pertama yang mendapatkan imunitas, karena anak tersebut tidak menderita
rabies.
B. Tujuan
Untuk mengetahui konsep dasar teori dan konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien
dengan penyakit rabies.
C. Manfaat
Sebagai bahan acuan dan pemahaman konsep mengenai konsep dasar teori dan konsep
dasar asuhan keperawatan pada pasien dengan rabies.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi/Pengertian
Rabies atau lebih sering dikenal dengan nama anjing gila merupakan suatu penyakit
infeksi akut yang menyerang susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies dan
ditularkan dari gigitan hewan penular rabies. Hewan yang rentan dengan virus rabies ini adalah
hewan berdarah panas. Penyakit rabies secara almi terdapat pada bangsa kucing, anjing,
kelelawar, kera dan karnivora liar lainnya.
Pada hewan yang menderita rabies, virus ditemukan dengan jumlah yang banyak pada air
liurnya. Virus ini ditularkan ke hewan lain atau ke manusia terutama melalui luka gigitan. Oleh
karena itu bangsa karnivora adalah hewan yang paling utama sebagai penyebar rabies.
Penyakit rabies merupakan penyakit Zoonosa yang sangat berbahaya dan ditakuti karena
bila telah menyerang manusia atau hewan akan selau berakhir dengan kematian.
2. Etiologi
a. Virus rabies.
b. Gigitan hewan atau manusia yang terkena rabies.
Penyakit rabies terutama ditularkan melalui gigitan binatang. Kuman yang terdapat dalam
air liur binatang ini akan masuk ke aliran darah dan menginfeksi tubuh manusia
2
Walaupun jarang ditemukan, virus rabies ini dapat ditularkan ketika air liur hewan yang
terinfeksi mengenai selaput lendir seseorang seperti kelopak mata atau mulut atau kontak
melalui kulit yang terbuka
3. Patofisiologi
Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies yang terdapat pada air liur hewan yang
terinfeksi. Hewan ini menularkan infeksi kepada hewan lainnya atau manusia melaui gigitan dan
kadang melalui jilatan. Secara patogenesis, setelah virus rabies masuk lewat gigitan, selama 2
minggu virus akan tetap tinggal pada tempat masuk dan disekitrnya. Setelah masuk ke dalam
tubuh, virus rabies akan menghindari penghancuran oleh sistem imunitas tubuh melalui
pengikatannya pada sistem saraf. Setelah inokulasi, virus ini memasuki saraf perifer. Masa
inkubasi yang panjang menunjukkan jarak virus pada saraf perifer tersebut dengan sistem saraf
pusat. Amplifikasi terjadi hingga nukleokapsid yang kosong masuk ke myoneural junction dan
memasuki akson motorik dan sensorik. Pada tahap ini, terapi pencegahan sudah tidak berguna
lagi dan perjalanan penyakit menjadi fatal dengan mortalitas 100 %. Jika virus telah mencapai
otak, maka ia akan memperbanyak diri dan menyebar ke dalam semua bagian neuron, terutama
mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus, dan batang otak.
Setelah memperbanyak diri dalam neuron – neuron sentral, virus kemudian bergerak ke perifer
dalam serabut saraf eferen dan pada serabut saraf volunter maupun otonom.
Dengan demikian, virus dapat menyerang hampir seluruh jaringan dan organ tubuh dan
berkembang biak dalam jaringan seperti kelenjar ludah. Khusus mengenai infeksi sistem limbik,
sebagaimana diketahui bahwa sistem limbik sangat berhubungan erat dengan fungsi pengontrolan
sikap emosional. Akibat pengaruh infeksi sel-sel dalam sistem limbik ini, pasien akan menggigit
mangsanya tanpa adanya provokasi dari luar.
Infeksi rabies pada manusia boleh dikatakan hampir semuanya akibat gigitan hewan yang
mengandung virus dalam salivanya. Kulit yang utuh tidak dapat terinfeksi oleh rabies akan tetapi
jilatan hewan yang terinfeksi dapat berbahaya jika kulit tidak utuh atau terluka. Virus juga dapat
masuk melalui selaput mukosa yang utuh, misalnya selaput konjungtiva mata, mulut, anus, alat
genitalia eksterna. Penularan melalui makanan belum pernah dikonfirmasi sedangkan infeksi
3
melalui inhalasi jarang ditemukan pada manusia. Hanya ditemukan 3 kasus yang infeksi terjadi
melalui inhalasi ini.
4
4. Pathway
Virus Berinkubasi
Kejang Cemas
5
parsial umum
5.
sederhana kompleks absens mioklonik Tonik kloni atonik
Resiko
Reflek hipoksia Metabolisme
injury
menelan
Permeabilitas Keb. O2 Suhu tubuh
kapiler
Gangguan makin
Pola Nutrisi meningkat
Sel neuron asfiksia
otak rusak
Hipertermi
Gangguan Pola Nafas
6
6. Manifestasi Klinis
Ketika seseorang pertama kali digigit oleh hewan yang terinfeksi rabies, gejalanya
dapat terlihat pada otot rangka. Masa inkubasi rata-rata pada manusia sekitar 3 – 8
minggu, lebih lama daripada masa inkubasi pada hewan. Sangat jarang tapi pernah
ditemukan masa inkubasi selama 19 tahun. Pada 90 % kasus, masa inkubasinya kurang
dari 1 tahun. Ada pula yang menyebutkan bahwa masa inkubasinya adalah 60 hari untuk
gigitan yang terdapat di kaki. Gigitan pada wajah hanya membutuhkan waktu sekitar 30
hari. Hal ini disebabkan karena lokasi inokulasi yang makin dekat dengan otak, makin
pendek masa latennya. Pada masa inkubasi ini, virus rabies menghindari sistem imun dan
tidak ditemukan adanya respon antibodi. Saat ini, pasien dapat tidak menunjukkan gejala
apa – apa (asimptomatik).
Pada stadium prodromal, virus mulai memasuki sistem saraf pusat. Stadium
prodromal berlangsung 2 – 10 hari dan gejala tak spesifik mulai muncul berupa sakit
kepala, lemah, anoreksia, demam, rasa takut, cemas, nyeri otot, insomnia, mual, muntah,
dan nyeri perut. Parestesia atau nyeri pada lokasi inokulasi merupakan tanda
patognomonik pada rabies dan terjadi pada 50 % kasus pada stadium ini, dan tanda ini
mungkin menjadi satu-satunya tanda awal.
a. Diawali dengan demam ringan atau sedang, sakit kepala, nafsu makan menurun, badan
terasa lemah, mual, muntah dan perasaan yang abnormal pada daerah sekitar gigitan (rasa
panas, nyeri berdenyut)
b. Rasa takut yang sangat pada air, dan peka terhadap cahaya, udara, dan suara
c. Air liur dan air mata keluar berlebihan
d. Pupil mata membesar
e. Bicara tidak karuan, selalu ingin bergerak dan nampak kesakitan
f. Selanjutnya ditandai dengan kejang-kejang lalu lumpuh dan akhirnya meninggal dunia.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektroensefalogram (EEG) : dipakai unutk membantu menetapkan jenis dan fokus dari
kejang.
b. Pemindaian CT: menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri biasanya untuk
mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
c. Magneti resonance imaging ( MRI ) : menghasilkan bayangan dengan menggunakan
lapangan magnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah – daerah
otak yang itdak jelas terlihat bila menggunakan pemindaian CT
9
d. Pemindaian positron emission tomography ( PET ) : untuk mengevaluasi kejang yang
membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau aliran darah
dalam otak
e. Uji laboratorium
1) Pungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
2) Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
3) Panel elektrolit
4) Skrining toksik dari serum dan urin
5) GDA
a) Glukosa Darah: Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200 mq/dl)
b) BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan
indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
c) Elektrolit : K, Na
d) Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
e) Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
f) Natrium ( N 135 – 144 meq/dl
8. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan rabies adalah dengan menghilangkan virus bebas dari tubuh
dengan pembersihan dan netralisasi, yang diikuti dengan penginduksian sistem imun
spesifik terhadap virus rabies pada orang yang terpajan sebelum virusnya bereplikasi di
susunan saraf pusat. Hal ini membutuhkan vaksinasi aktif maupun pasif. Pada vaksinasi
pasif, imunoglobulin rabies dari orang yang telah divaksinasi sebelumnya (Human Rabies
Immune Globulin), diberikan kepada pasien yang belum memiliki imunitas sama sekali.
Sehingga dalam hal ini vaksinasi pasif disebut pula serum anti rabies. Sedangkan
vaksinasi aktif rabies atau vaksin anti rabies terbagi atas:
a. Nerve Tissue derived Vaccines (NTV) yang diproduksi dari jaringan otak hewan yang
terinfeksi. NTV dapat menyebabkan reaksi neurologi berat karena adanya jaringan
bermyelin pada vaksin. Akan tetapi, NTV , masih tetap banyak digunakan sebagai
pencegahan rabies.
10
b. Human Diploid Cell Vaccine (HDCV) yang dikultur dalam fibroblast manusia.
Merupakan jenis vaksin rabies yang paling optimal saat ini.
a. Luka gigitan
1. Dicuci dengan air sabun (detergen) 5–10 menit kemudian dibilas dengan air bersih.
a) Alkohol 40-70 %
b) Berikan yodium atau senyawa amonium kuartener 0,1 %
c) Penyuntikan SAR secara infiltrasi di sekitar luka. Menunda penjahitan luka, jika
penjahitan diperlukan gunakan anti serum lokal.
d) Dapat diberikan Toxoid Tetanus, antibiotik, anti inflamasi, dan analgesik.
b. Kontak, tetapi tanpa lesi, kontak tak langsung, tak ada kontak - - - -
c. Menjilat kulit, garukan atau abrasi kulit, gigitan kecil (daerah tertutup), lengan, badan, &
tungkai. Beri VAR
1) Hari 0 : 2 x suntikan IM
2) Hari 7 : 1 x suntikan IM
3) Hari 21 : 1 x suntikan IM Imovax / Verorab 0,5 ml deltoid kiri dan 0,5 ml di kanan
d. Menjilat mukosa, luka gigitan besar/dalam, luka di kepala, leher, jari tangan, dan kaki.
Serum Anti Rabies (SAR)
1) ½ dosis disuntikkan infiltrasi di sekitar luka
2) ½ dosis sisa disuntikkan IM regio glutea.
11
3) Vaksin Anti Rabies (VAR)
4) sesuai poin 3 Imovag rabies
5) 20 IU/kgBB
6) Imovax atau Verorab
7) Hari 90 : 0,5 ml IM di deltoid kanan/kiri –
f. Bila ada reaksi penyuntikan : lokal, kemerahan, gatal, & bengkak Beri antihistamin
sistemik atau lokal. Jangan beri kortikosteroid.
g. Bila timbul efek samping pemberian VAR berupa meningoensefalitis, berikan
kortikosteroid dosis tinggi.
9. Komplikasi
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada
fase koma. Komplikasi Neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intra cranial:
kelainan pada hypothalamus berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas hormone
anti diuretic (SAHAD); disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi,
hipertermia, hipotermia, aritmia dan henti jantung. Kejang dapat local maupun
generalisata, dan sering bersamaan dengan aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium
pradromal sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan depresi pernapasan terjadi pada
fase neurolgik. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi dan gangguan
saraf otonomik.
12
Table Komplikasi Pada Rabies dan Cara Penanganan
Neurologi
Pituitary
Pulmonal
Kardiovaskular
13
- Hipotensi Cairan, dopamine
- Anemia
Pneumomediastinum Hemodialisa
14
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Status Pernafasan
Peningkatan tingkat pernapasan
Takikardi
Suhu umumnya meningkat (37,9º C)
Menggigil
b. Status Nutrisi
kesulitan dalam menelan makanan
berapa berat badan pasien
mual dan muntah
porsi makanan dihabiskan
status gizi
c. Status Neurosensori
Adanya tanda-tanda inflamasi
d. Keamanan
Kejang
Kelemahan
e. Integritas Ego
Klien merasa cemas
Klien kurang paham tentang penyakitnya
Suhu
Pernapasan
Denyut jantung
15
Tekanan darah
Tekanan nadi
3. Reaksi pupil
Ukuran
Kesamaan respon
4. Tingkat kesadaran
Iritabilitas
5. Afek
Alam perasaan
Labilitas
6. Aktivitas kejang
Jenis
Lamanya
7. Fungsi sensoris
16
8. Refleks
Reflek patologi
2. Diagnosa Keperawatan
17
3. Rencana Keperawatan
Edukasi
1. Jelaskan Prosedur, termaksud sensasi yang mungkin dialami
2. Anjurkan Keluarga untuk tetap bersama pasien, Jika Perlu
3. Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan
4. Latih teknik Relaksasi
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat Ansietas, Jika Perlu
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI
20
NO Dx HARI/TANGGAL JAM IMPLEMENTASI EVALUASI
1. 1 Senin, 11 Oktober 10 : 00 1. Memonitor Pola S:
2021 Napas( frekuensi,kedalaman, - Dispnea
usaha napas )
10 : 15 2. Memonitor Bunyi Napas O:
Tambahan - Pola Napas Abnormal
10 : 45 3. Memonitor Sputum ( jumlah,
warna, aroma ) A:
11 : 00 4. Mempertahankan kepatenan jalan Masalah Teratasi
napas
11 : 15 5. Memberikan minum hangat P:
Intervensi Dihentikan
23
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Penyakit rabies disebabkan oleh virus rabies dan menular pada manusia lewat gigitanatau
cakaran hewan penderita rabies atau dapat pula lewat luka yang terkena air liur hewan penderita
rabies.Secara patogenesis, setelah virus rabies masuk lewat luka gigitan, selama dua mingguvirus
tetap tinggal pada tempat masuk dan dekatnya. Kemudian, virus akan bergerak mencapaiujung-
ujung serabut saraf posterios tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya.
Masa inkubasi virus ini bervariasi, berkisar antara dua minggu sampai dua tahun. Tapi
umumnya 3-8minggu, tergantung jarak tempuh virus sebelum mencapai otak. Sesampainya di
otak, virus akanmemperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian neuron-neuron,
terutamamempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang
otak.Akhirnya virus ini akan mencapai otak dan menyerang banyak bagian penting otak yang
menyebabkan kematian.
Setiap ada kasus gigitan hewan penular rabies harus ditanganidengan cepat dan sesegera
mungkin, untuk mengurangi atau mematikan virus rabies yang masuk pada luka gigitan. Usaha
yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan air (sebaiknya air mengalir) dan sabun atau
ditergent selama 10-15 menit, kemudian diberi antiseptik (alkohol 70 persen, betadine, obat
merah atau lainnya)
24
DAFTAR PUSTAKA
Arjatmo T. 2001. Keadaan Gawat Yang Mengancam Jiwa. Jakarta: Gaya Baru.
Brunner & Suddarth. 1997. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC.
Suharso Darto. 1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Surabaya: F.K. Airlangga.
25