Dibimbing oleh :
Disusun oleh :
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Asuhan
Keperawatan Asfiksia Rabies”.
Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas mata kuliah
Keperawatan Anak Program Studi S1- Keperawatan. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada pembimbing , yang telah meluangkan waktunya dan
memberikan banyak masukan dalam penyusunan makalah ini sehingga penulis dapat
menyelesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik
isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca
sebagai koreksi dalam penulisan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat, akhir
kata penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan memahami definisi dari Rabies
2. Untuk mengetahui dan memahami etiologi dari Rabies
3. Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi dari Rabies
4. Untuk mengetahui dan memahami apa saja manifestasi klinis dari Rabies
5. Untuk mengetahui dan memahami penatalaksanaan yang tepat pada penderita Rabies
6. Untuk mengetahui dan memahami apa saja komplikasi dari Rabies
7. Untuk mengetahui dan memahami proses keperawatan yang sesuai pada Rabies
1.3 Manfaat
1.4.1 Bagi mahasiswa
Mahasiswa di Jurusan Keperawatan mendapat informasi tentang konsep dasar Rabies dan
Asuhan Keperawatannya.
4
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Konsep Dasar
2.1.1 Definisi Rabies
Rabies adalah suatu penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang dapat menyerang
semua jenis binatang berdarah panas dan manusia. Penyakit ini ditandai dengan disfungsi
hebat susunan saraf pusat dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Rabies merupakan
salah satu penyakit menular tertua yang dikenal di Indonesia. Virus rabies termasuk dalam
genus Lyssavirus dan famili Rhabdoviridae. Genus Lyssavirus sendiri terdiri dari 80 jenis
virus dan virus rabies merupakan prototipe dari genus ini.
Sejarah penemuan rabies bermula 2000 tahun SM ketika Aristoteles menemukan bahwa
anjing dapat menularkan infeksi kepada anjing yang lain melalui gigitan. Ketika seorang anak
laki-laki berumur 9 tahun digigit oleh seekor anjing rabies pada tahun 1885, Louis Pasteur
mengobatinya dengan vaksin dari medulla spinalis anjing tersebut, menjadikannya orang
pertama yang mendapatkan imunitas, karena anak tersebut tidak menderita rabies.
2.1.2 Etiologi
Penyebab rabies adalah virus yaitu genus Rhabdovirus. Berbagai jenis hewan dapat
menularkan rabies ke manusia. Yang terbanyak adalah oleh hewan liar, khususnya musang,
kelelawar, rubah, dan serigala. anjing, kucing, hewan ternak, atau hewan berdarah panas dapat
menularkan rabies kepada manusia. Manusia tertular rabies melalui gigitan hewan yang
terinfeksi.
Rabies menyebar melalui kontak langsung terutama gigitan, air liur yang mengandung
virus masuk melalui luka gigitan. Selanjutnya virus tersebut masuk ke dalam tubuh menuju
otak, dan kemudian dari otak ke kelenjar ludah melalui syaraf sentrifugal serta ke pankreas.
2.1.3 Manifestasi Klinis
Masa inkubasi rabies berlangsung sangat panjang sehingga digolongkan kedalam penyakit
slow virus. Masa inkubasi 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi 1% bisa bervariasi 1-7 tahun.
Pada anak-anak biasanya masa inkubasi lebih pendek dari orang dewasa. Masa inkubasi
dipengaruhi oleh dalam dan besarnya luka gigitan, lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke
dalam system syaraf pusat), derajat pathogenesis virus dan persarafan luka gigitan. Luka pada
kepala inkubasi 25-28 hari, ekstremitas 46-78 hari.
5
Pada manusia secara teoritis gejala klinis terdiri dari 4 stadium yang dalam keadaannya
sebenarnya sulit dipisahkan satu dari yang lainnya, yaitu : gejala prodormal non spesifik,
ensefalitis akut, disfungsi batang otak, dan koma (kematian).
Pada masa inkubasi ini, virus rabies menghindari sistem imun dan tidak ditemukan adanya
respon antibodi. Saat ini, pasien dapat tidak menunjukkan gejala apa – apa (asimptomatik).
Pada stadium prodromal, virus mulai memasuki sistem saraf pusat. Stadium prodromal
berlangsung 2 – 10 hari dan gejala tak spesifik mulai muncul berupa sakit kepala, lemah,
anoreksia, demam, rasa takut, cemas, nyeri otot, insomnia, mual, muntah, dan nyeri perut.
Parestesia atau nyeri pada lokasi inokulasi merupakan tanda patognomonik pada rabies dan
terjadi pada 50 % kasus pada stadium ini, dan tanda ini mungkin menjadi satu-satunya tanda
awal. (2,3,5,13) Setelah melewati stadium prodromal, maka dimulailah stadium kelainan
neurologi yang berlangsung sekitar 2 – 7 hari. Pada stadium ini, sudah terjadi perkembangan
penyakit pada otak dan gejalanya dapat berupa :
1. Bentuk spastik (furious rabies): peka terhadap rangsangan ringan, kontraksi otot farings
dan esofagus, kejang, aerofobia, kaku kuduk, delirium, semikoma, dan hidrofobia. Yang
sangat terkenal adalah hidrofobia di mana bila pasien diberikan segelas air minum, pasien
akan menerimanya karena ia sangat haus, dan mencoba meminumnya. Akan tetapi kehendak
ini dihalangi oleh spasme hebat otot-otot faring. Dengan demikian, ia menjadi takut dengan
air sehingga mendengar suara percikan air kran atau bahkan mendengar perkataan air saja,
sudah menyebabkan kontraksi hebat otot-otot tenggorok. Spasme otot-otot faring maupun
pernapasan dapat pula ditimbulkan oleh rangsangan sensorik seperti meniupkan udara ke
wajah pasien atau menyinari matanya. Pasien akan meninggal dalam 3 – 5 hari setelah
mengalami gejala-gejala ini.
2. Bentuk demensia.
3. Kepekaan terhadap rangsangan bertambah, gila mendadak, dapat melakukan tindakan
kekerasan, koma, mati.
4. Bentuk paralitik (dumb rabies) : Pada bentuk ini pasien tampak lebih diam daripada tipe
furious. Gejala yang dapat muncul pada bentuk ini adalah demam dan rigiditas. Paralisis yang
terjadi bersifat simetrik dan mungkin menyeluruh atau bersifat ascending sehingga dapat
dikelirukan dengan Guillain-Barre Syndrome. Sistem sensoris biasanya masih normal.
6
2.1.4 Patofisiologi
Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies yang terdapat pada air liur hewan yang
terinfeksi. Hewan ini menularkan infeksi kepada hewan lainnya atau manusia melaui gigitan
dan kadang melalui jilatan. Secara patogenesis, setelah virus rabies masuk lewat gigitan,
selama 2 minggu virus akan tetap tinggal pada tempat masuk dan disekitrnya. Setelah masuk
ke dalam tubuh, virus rabies akan menghindari penghancuran oleh sistem imunitas tubuh
melalui pengikatannya pada sistem saraf. Setelah inokulasi, virus ini memasuki saraf perifer.
Masa inkubasi yang panjang menunjukkan jarak virus pada saraf perifer tersebut dengan
sistem saraf pusat. Amplifikasi terjadi hingga nukleokapsid yang kosong masuk ke myoneural
junction dan memasuki akson motorik dan sensorik. Pada tahap ini, terapi pencegahan sudah
tidak berguna lagi dan perjalanan penyakit menjadi fatal dengan mortalitas 100 %. Jika virus
telah mencapai otak, maka ia akan memperbanyak diri dan menyebar ke dalam semua bagian
neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus,
dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron – neuron sentral, virus kemudian
bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen dan pada serabut saraf volunter maupun
otonom.
Dengan demikian, virus dapat menyerang hampir seluruh jaringan dan organ tubuh
dan berkembang biak dalam jaringan seperti kelenjar ludah. Khusus mengenai infeksi sistem
limbik, sebagaimana diketahui bahwa sistem limbik sangat berhubungan erat dengan fungsi
pengontrolan sikap emosional. Akibat pengaruh infeksi sel-sel dalam sistem limbik ini, pasien
akan menggigit mangsanya tanpa adanya provokasi dari luar.
Infeksi rabies pada manusia boleh dikatakan hampir semuanya akibat gigitan hewan
yang mengandung virus dalam salivanya. Kulit yang utuh tidak dapat terinfeksi oleh rabies
akan tetapi jilatan hewan yang terinfeksi dapat berbahaya jika kulit tidak utuh atau terluka.
Virus juga dapat masuk melalui selaput mukosa yang utuh, misalnya selaput konjungtiva
mata, mulut, anus, alat genitalia eksterna. Penularan melalui makanan belum pernah
dikonfirmasi sedangkan infeksi melalui inhalasi jarang ditemukan pada manusia. Hanya
ditemukan 3 kasus yang infeksi terjadi melalui inhalasi ini.
7
Pathway
Virus Berinkubasi
Kejang Cemas
parsial umum
8
1.
sederhana kompleks
absens mioklonik Tonik kloni atonik
Resiko
Reflek hipoksia Metabolisme
injury
menelan
Permeabilitas Keb. O2 Suhu tubuh
kapiler
Gangguan makin
Pola Nutrisi meningkat
Sel neuron asfiksia
otak rusak
Hipertermi
Gangguan Pola Nafas
9
2.1.5 Manifestasi Klinis
10
Pada Manusia
Ketika seseorang pertama kali digigit oleh hewan yang terinfeksi rabies, gejalanya dapat
terlihat pada otot rangka. Masa inkubasi rata-rata pada manusia sekitar 3 – 8 minggu, lebih lama
daripada masa inkubasi pada hewan. Sangat jarang tapi pernah ditemukan masa inkubasi selama
19 tahun. Pada 90 % kasus, masa inkubasinya kurang dari 1 tahun. Ada pula yang menyebutkan
bahwa masa inkubasinya adalah 60 hari untuk gigitan yang terdapat di kaki. Gigitan pada wajah
hanya membutuhkan waktu sekitar 30 hari. Hal ini disebabkan karena lokasi inokulasi yang
makin dekat dengan otak, makin pendek masa latennya. Pada masa inkubasi ini, virus rabies
menghindari sistem imun dan tidak ditemukan adanya respon antibodi. Saat ini, pasien dapat
tidak menunjukkan gejala apa – apa (asimptomatik).
Pada stadium prodromal, virus mulai memasuki sistem saraf pusat. Stadium prodromal
berlangsung 2 – 10 hari dan gejala tak spesifik mulai muncul berupa sakit kepala, lemah,
anoreksia, demam, rasa takut, cemas, nyeri otot, insomnia, mual, muntah, dan nyeri perut.
Parestesia atau nyeri pada lokasi inokulasi merupakan tanda patognomonik pada rabies dan
terjadi pada 50 % kasus pada stadium ini, dan tanda ini mungkin menjadi satu-satunya tanda
awal.
Setelah melewati stadium prodromal, maka dimulailah stadium kelainan neurologi yang
berlangsung sekitar 2 – 7 hari. Pada stadium ini, sudah terjadi perkembangan penyakit pada otak
dan gejalanya dapat berupa :
a. Bentuk spastik (furious rabies): peka terhadap rangsangan ringan, kontraksi otot farings
dan esofagus, kejang, aerofobia, kaku kuduk, delirium, semikoma, dan hidrofobia. Yang
sangat terkenal adalah hidrofobia di mana bila pasien diberikan segelas air minum, pasien
akan menerimanya karena ia sangat haus, dan mencoba meminumnya. Akan tetapi
kehendak ini dihalangi oleh spasme hebat otot-otot faring. Dengan demikian, ia menjadi
takut dengan air sehingga mendengar suara percikan air kran atau bahkan mendengar
perkataan air saja, sudah menyebabkan kontraksi hebat otot-otot tenggorok. Spasme otot-
otot faring maupun pernapasan dapat pula ditimbulkan oleh rangsangan sensorik seperti
meniupkan udara ke wajah pasien atau menyinari matanya. Pasien akan meninggal dalam
3 – 5 hari setelah mengalami gejala-gejala ini.
11
b. Bentuk demensia.
Kepekaan terhadap rangsangan bertambah, gila mendadak, dapat melakukan tindakan
kekerasan, koma, mati.
c. Bentuk paralitik (dumb rabies): Pada bentuk ini pasien tampak lebih diam daripada tipe
furious. Gejala yang dapat muncul pada bentuk ini adalah demam dan rigiditas. Paralisis
yang terjadi bersifat simetrik dan mungkin menyeluruh atau bersifat ascending sehingga
dapat dikelirukan dengan Guillain-Barre Syndrome. Sistem sensoris biasanya masih
normal.
Gejala Rabies Pada Manusia:
a. Diawali dengan demam ringan atau sedang, sakit kepala, nafsu makan menurun, badan
terasa lemah, mual, muntah dan perasaan yang abnormal pada daerah sekitar gigitan (rasa
panas, nyeri berdenyut)
b. Rasa takut yang sangat pada air, dan peka terhadap cahaya, udara, dan suara
c. Air liur dan air mata keluar berlebihan
d. Pupil mata membesar
e. Bicara tidak karuan, selalu ingin bergerak dan nampak kesakitan
f. Selanjutnya ditandai dengan kejang-kejang lalu lumpuh dan akhirnya meninggal dunia.
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
a. Elektroensefalogram (EEG) : dipakai unutk membantu menetapkan jenis dan fokus dari
kejang.
b. Pemindaian CT: menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri biasanya untuk
mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
c. Magneti resonance imaging ( MRI ) : menghasilkan bayangan dengan menggunakan
lapangan magnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah – daerah
otak yang itdak jelas terlihat bila menggunakan pemindaian CT
d. Pemindaian positron emission tomography ( PET ) : untuk mengevaluasi kejang yang
membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau aliran darah
dalam otak
e. Uji laboratorium
1) Pungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
12
2) Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
3) Panel elektrolit
4) Skrining toksik dari serum dan urin
5) GDA
a) Glukosa Darah: Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200 mq/dl)
b) BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan
indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
c) Elektrolit : K, Na
d) Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
e) Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
f) Natrium ( N 135 – 144 meq/dl
2.1.7 Komplikasi
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada fase
koma. Komplikasi Neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intra cranial: kelainan pada
hypothalamus berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas hormone anti diuretic (SAHAD);
disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertermia, hipotermia, aritmia dan
henti jantung. Kejang dapat local maupun generalisata, dan sering bersamaan dengan aritmia dan
gangguan respirasi. Pada stadium pradromal sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan depresi
pernapasan terjadi pada fase neurolgik. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif,
dehidrasi dan gangguan saraf otonomik.
13
Neurologi
Pituitary
Pulmonal
Kardiovaskular
14
Thrombosis arteri/vena Oksigen, obat anti aritmia
Anemia
Pneumomediastinum Hemodialisa
15
BAB III
1. Pengkajian
a. Status Pernafasan
Peningkatan tingkat pernapasan
Takikardi
Suhu umumnya meningkat (37,9º C)
Menggigil
b. Status Nutrisi
kesulitan dalam menelan makanan
berapa berat badan pasien
mual dan muntah
porsi makanan dihabiskan
status gizi
c. Status Neurosensori
Adanya tanda-tanda inflamasi
d. Keamanan
Kejang
Kelemahan
e. Integritas Ego
Klien merasa cemas
Klien kurang paham tentang penyakitnya
Suhu
Pernapasan
16
Denyut jantung
Tekanan darah
Tekanan nadi
3. Reaksi pupil
Ukuran
Kesamaan respon
4. Tingkat kesadaran
Iritabilitas
5. Afek
Alam perasaan
Labilitas
6. Aktivitas kejang
Jenis
Lamanya
7. Fungsi sensoris
17
Reaksi terhadap suhu
8. Refleks
Reflek patologi
2. Diagnosa Keperawatan
18
3. Rencana Keperawatan
1. Gangguan pola Setelah diberikan tindakan a. Obsevasi tanda- tanda vital a. Tanda vital merupakan acuan untuk
nafas keperawatan, diharapkan pasien terutama respirasi. melihat kondisi pasien.
berhubungan pasien bernafas tanpa ada
dengan afiksia gangguan, dengan kriteria
hasil : b.Beri pasien alat bantu pernafasan b. O2 membantu pasien dalam bernafas.
seperti O2.
a. Pasien bernafas, tanpa
ada gangguan.
c. posisi yang nyaman akan membantu
b. Pasien tidak
c. Beri posisi yang nyaman. pasien dalam bernafas.
menggunakan alat
bantu dalam bernafas
c. Respirasi normal (16-
20 x/menit)
2. Gangguan pola Setelah dilakukan tindakan a.Kaji keluhan mual, sakit a.menentukan intervensi selanjutnya.
nutrisi keperawatan diharapkan menelan, dan muntah yang dialami
berhubungn kebutuhan nutrisi pasien pasien.
dengan terpenuhi, dengan kriteria
b.Kaji cara / bagaimana makanan
penurunan hasil : b.Cara menghidangkan makanan dapat
dihidangkan.
refleks - pasien mampu mempengaruhi nafsu makan pasien.
19
menelan menghabiskan makanan c.Membantu mengurangi kelelahan pasien
sesuai dengan porsi yang dan meningkatkan asupan makanan
c.Berikan makanan yang mudah
diberikan /dibutuhkan.
ditelan seperti bubur. d.Untuk menghindari mual
3. Hipertermi Setelah dilakukan tindakan a.Kaji saat timbulnya demam a.untuk mengidentifikasi pola demam
berhubungan keperawatan diharapkan pasien.
dengan demam pasien teratasi, b.Observasi tanda vital (suhu,
b. Tanda vital merupakan acuan untuk
peningkatan dengan criteria hasil : nadi, tensi, pernafasan) setiap 3
mengetahui keadaan umum pasien.
- Suhu tubuh normal (36 – jam
20
metabolisme 370C). c. Berikan kompres hangat
- Pasien bebas dari demam.
c.Dengan vasodilatasi dapat meningkatkan
penguapan dan mempercepat penurunan
suhu tubuh.
d.Berikan terapi cairan intravena
d.Pemberian cairan sangat penting bagi
dan obat-obatan sesuai program
pasien dengan suhu tinggi.
dokter.
4. Cemas Setelah diberikan tindakan a.Kaji tingkat kecemasan keluarga. a.Untuk mengetahui tingkat cemas,dan
(keluarga) keperawatan diharapkan mengambil cara apa yang akan digunakan
berhubungan tingkat kecemasan
b. informasi yang benar tentang kondisi
kurang keluarga pasien b. Jelaskan kepada keluarga
pasien akan mengurangi tingkat
terpajan menurun/hilang,dengan tentang penyakit dan kondisi
kecemasan keluarga.
informasi kriteria hasil : pasien.
tentang - Melaporkan cemas c.Dengan dukungan dan support,akan
c. Berikan dukungan dan support
penyakit. berkurang sampai hilang mengurangi rasa cemas keluarga pasien.
kepada keluarga pasien.
- Melaporkan pengetahuan
yang cukup terhadap
penyakit pasien
- Keluarga menerima
keadaan panyakit yang
dialami pasien.
5. Resiko cedera Setelah diberikan tindakan a.Identifikasi dan hindari faktor a.Penemuan faktor pencetus untuk
21
berhubungan keperawatan, diharapkan pencetus memutuskan rantai penyebaran virus
dengan kejang pasien tidak mengalami rabies.
dan kelemahan cedera,dengan kriteria hasil
b. Tempat yang nyaman dan tenang dapat
: b.tempatkan klien pada tempat
mengurangi stimuli atau rangsangan yang
tidur yang memakai pengaman di
a.Klien tidak ada cedera dapat menimbulkan kejang
ruang yang tenang dan nyaman.
akibat serangan kejang
c.efektivitas energi yang dibutuhkan untuk
c.anjurkan klien istirahat
b.klien tidur dengan tempat metabolisme.
tidur pengaman
d. lidah jatung dapat menimbulkan
c.Tidak terjadi serangan d.sediakan disamping tempat tidur obstruksi jalan nafas.
kejang ulang. tongue spatel dan gudel untuk
mencegah lidah jatuh ke belakng
d.Suhu 36 – 37,5 º C , Nadi
apabila klien kejang.
60-80x/menit, Respirasi
16-20 x/menit e.lindungi klien pada saat kejang e. tindakan untuk mengurangi atau
dengan : mencegah terjadinya cedera fisik.
d.Kesadaran composmentis
- longgarakn pakaian
- posisi miring ke satu sisi
- jauhkan klien dari alat yang
dapat melukainya
- kencangkan pengaman tempat
tidur
22
- lakukan suction bila banyak
sekret
f.catat penyebab mulainya kejang,
proses berapa lama, adanya
sianosis dan inkontinesia, deviasi
dari mata dan gejala-hgejala
lainnya yang timbul. f. dokumentasi untuk pedoman dalam
penaganan berikutnya.
g. sesudah kejang observasi TTV
setiap 15-30 menit dan obseervasi
keadaan klien sampai benar-benar
pulih dari kejang.
23
diperlukan motitoring untuk tindakan
lanjut.
k. kerja sama dengan tim :
i.kompliksi kejang dapat terjadi depresi
- pemberian obat antikonvulsan
pernafasan dan kelainan irama jantung.
dosis tinggi
- pemeberian antikonvulsan j. Kompliksi kejang dapat terjadi depresi
(valium, dilantin, pernafasan dan kelainan irama jantung.
phenobarbital)
k. Untuk mengantisipasi kejang, kejang
- pemberian oksigen tambahan
berulang dengan menggunakan obat
- pemberian cairan parenteral
antikonvulsan baik berupa bolus, syringe
- pembuatan CT scan
pump.
6. Resiko infeksi Setelah diberikan tindakan a.Kaji tanda – tanda infeksi a.Untuk mengetahui apakah pasian
berhubungan keperawatan 3X24 jam mengalami infeksi. Dan untuk
dengan luka diharapkan tidak terjadi menentukan tindakan keperawatan
24
terbuka tanda-tanda infeksi. berikutnya.
25
4. Implementasi
Implementasi disesuaikan dengan intervensi
5. Evaluasi
Dx 1 :
Dx 2 :
Dx 3 :
Dx 4 :
Dx 5 :
Dx 6 :
a. Tidak ada tanda – tanda infeksi seperti : kalor, dolor, tumor, dubor, dan
fungsionalasia.
26
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Penyakit rabies disebabkan oleh virus rabies dan menular pada manusia lewat
gigitanatau cakaran hewan penderita rabies atau dapat pula lewat luka yang terkena air liur
hewan penderita rabies.Secara patogenesis, setelah virus rabies masuk lewat luka gigitan,
selama dua mingguvirus tetap tinggal pada tempat masuk dan dekatnya. Kemudian, virus
akan bergerak mencapaiujung-ujung serabut saraf posterios tanpa menunjukkan perubahan-
perubahan fungsinya.
Masa inkubasi virus ini bervariasi, berkisar antara dua minggu sampai dua tahun. Tapi
umumnya 3-8minggu, tergantung jarak tempuh virus sebelum mencapai otak. Sesampainya di
otak, virus akanmemperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian neuron-neuron,
terutamamempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang
otak.Akhirnya virus ini akan mencapai otak dan menyerang banyak bagian penting otak yang
menyebabkan kematian.
Setiap ada kasus gigitan hewan penular rabies harus ditanganidengan cepat dan
sesegera mungkin, untuk mengurangi atau mematikan virus rabies yang masuk pada luka
gigitan. Usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan air (sebaiknya air
mengalir) dan sabun atau ditergent selama 10-15 menit, kemudian diberi antiseptik (alkohol
70 persen, betadine, obat merah atau lainnya)
27
DAFTAR PUSTAKA
Arjatmo T. 2001. Keadaan Gawat Yang Mengancam Jiwa. Jakarta: Gaya Baru.
Brunner & Suddarth. 1997. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC.
28