Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf

pusat yang disebabkan oleh virus rabies, dan ditularkan melalui gigitan hewan

menular rabies terutama anjing, kucing dan kera (Depkes, 2007). Di Indonesia,

sekitar 98% kasus rabies ditularkan akibat gigitan anjing dan 2% akibat gigitan

kucing dan kera. Sampai pada tahun 2010, penyakit ini endemis di 24 Propinsi di

Indonesia, dengan kasus Lyssa (rabies pada manusia) tertinggi adalah Propinsi Bali,

Sumatera Utara, Maluku, dan NTT. Sementara sembilan propinsi lainnya masih

dinyatakan sebagai daerah bebas rabies yaitu Propinsi Belitung, Kalimantan Barat,

DKI Jakarta, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur,

Papua, dan Papua Barat (Anonym, 2011).

Menurut Prof. Tjandra selama tahun 2007-2009 tercatat di Kementerian

Kesehatan sebanyak 87.084 kasus gigitan hewan penular rabies (HPR), dengan

63.974 kasus atau sekitar 73,46% diantaranya mendapat vaksin anti rabies (VAR)

dengan 421 orang positif rabies dengan angka kematian 100%. Propinsi Bali yang

semula bebas rabies dilaporkan terjadi kematian karena rabies di Kabupaten Badung

kemudian menyebar ke kabupaten lainnya. Pada bulan September 2010 telah

dilaporkan 41.453 kasus gigitan hewan penular rabies, 37.824 kasus (86,6%) yang

mendapat VAR, dan 61 orang meninggal dengan gejala klinis yang berasal dari tujuh

kabupaten/ Kota (Anonym, 2011). Sementara itu, berdasarkan data yang diperoleh

dari RSUP Sanglah Denpasar, ditemukan 20.369 kasus gigitan hewan penular rabies,

dengan total 19.414 kasus gigitan baru, dan 955 pasien kontrol atau rujukan yang

datang ke IRD Triage RSUP Sanglah Denpasar.


Mengingat akan adanya bahaya rabies dengan angka kematian 100%, maka

sektor Peternakan serta sektor Kesehatan untuk penanganan kasus gigitan pada

manusia (Lyssa) bekerjasama di bawah koordinasi Departemen Dalam Negeri dalam

wadah Tim Koordinasi (TIKOR) Rabies dimana pada tahun 2010, telah dilakukan

penyediaan VAR, pelatihan petugas kesehatan, pembuatan buku pedoman dan media

penyuluhan rabies, workshop serta advokasi. Sementara itu, upaya pencegahan dan

penanggulangan rabies di Bali adalah dengan membentuk Rabies Center (43 buah),

pelatihan bagi petugas kesehatan di seluruh Kab./Kota di Bali, penyediaan VAR

manusia sebanyak 6.861 kiur (27.484 vials) dari Pusat dan WHO, Provinsi sebanyak

19.469 kiur (77.876 vials), Kab./Kota sebanyak 11.627,5 kiur (46.510 vials).

Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah merupakan salah satu rumah

sakit penyedia layanan penanganan rabies dimana sejak tahun 2008 telah melakukan

penanganan pasien rabies, memberi VAR serta melakukan perawatan luka pada

kasus gigitan anjing. Penanganan pasien dengan kasus gigitan anjing di RSUP

Sanglah ditangani dengan segera di Instalasi Rawat Darurat dimana pasien datang

dalam kurun waktu kurang dari 24 jam setelah gigitan. Penanganan awal yang

dilakukan adalah membersihkan atau mencuci luka dengan sabun atau detergen

dibawah air mengalir selama 10-15 menit meskipun telah dilakukan pembersihan

luka sebelumnya di rumah, dan kemudian luka diberi antiseptik (betadin).

Berdasarkan hal di atas, kami tertarik untuk melakukan analisis mengenai

penatalaksanaan kasus gigitan HPR di IRD RSUP Sanglah Denpasar sesuai dengan

teori yang relevan, serta berdasarkan buku Pedoman Penatalaksanaan Kasus Gigitan

Hewan Tersangka/Rabies di Indonesia.

1.2 Tujuan

1. Mengidenfikasi penatalaksanaan awal pada kasus gigitan HPR di IRD Triage

RSUP Sanglah Denpasar


2. Mengidentifikasi teknik perawatan luka pada kasus gigitan HPR sesuai dengan

karakteristik luka gigitan (lokasi, kedalaman, dan luas luka gigitan) di IRD

Triage RSUP Sanglah Denpasar

3. Mengidentifikasi kriteria dan waktu pemberian VAR dan SAR di IRD RSUP

Sanglah Denpasar di IRD Triage RSUP Sanglah Denpasar

1.3 Manfaat

1.3.1 Manfaat Praktis

Dapat digunakan oleh tenaga kesehatan dalam memberikan penanganan pada

kasus gigitan HPR sehingga dapat menekan angka kesakitan dan kematian yang

disebabkan oleh luka gigitan HPR.

1.3.2 Manfaat Teoritis

Dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu keperawatan khususnya dalam

penatalaksanaan kasus gigitan HPR.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP DASAR RABIES

2.1.1 Definisi

Rabies adalah suatu penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang

dapat menyerang semua jenis binatang berdarah panas (anjing, kucing, kera,

kelelawar) dan manusia. Penyakit ini ditandai dengan disfungsi hebat susunan saraf

pusat dan hampir selalu berakhir dengan kematian (Depkes, 2007).

2.1.2 Penyebab

Rabies merupakan salah satu penyakit menular tertua yang dikenal di

Indonesia. Virus rabies termasuk dalam genus Lyssavirus dan famili Rhabdoviridae.

Genus Lyssavirus sendiri terdiri dari 80 jenis virus dan virus rabies merupakan

prototipe dari genus ini (Sudoyo, 2004).

Gambar 2.1 Struktur Virus Rabies


Sumber: Dunder (2008)

Berbagai jenis hewan dapat menularkan rabies ke manusia. Yang terbanyak

adalah oleh hewan liar, khususnya musang, kelelawar, rubah, dan serigala. Anjing,

kucing, hewan ternak, atau hewan berdarah panas dapat menularkan rabies kepada

manusia. Manusia tertular rabies melalui gigitan hewan yang terinfeksi (Depkes,

2007).
2.1.3 Patogenesis

Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus

tetap tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai

ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan

fungsinya. Masa inkubasi bervariasi yaitu berkisar antara 2 minggu sampai 2 tahun,

tetapi pada umumnya 3-8 minggu, berhubungan dengan jarak yang harus ditempuh

oleh virus sebelum mencapai otak. Sesampainya di otak virus kemudian

memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian neuron, terutama

mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang

otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian

kearah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf

otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam

tubuh, dan berkembang biak dalam jaringan-jaringannya, seperti kelenjar ludah,

ginjal, dan sebagainya (Depkes, 2007).

Gambar 2.2 Patogenesis dan Gejala Rabies


Sumber: The World Book Medical Encyclopedia dalam Matanews (2009).
2.1.4 Gejala Klinis

Menurut Depkes (2007), gejala klinis rabies dibagi berdasarkan stadium

penyakitnya, yaitu:

1. Stadium Prodromal

Gejala-gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri

ditenggorokan selama beberapa hari.

2. Stadium Sensoris

Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas

luka. Kemudian disusul dengan gejala cemas, dan reaksi yang berlebihan terhadap

rangsang sensorik.

3. Stadium Eksitasi

Tonus otot-otot dan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala

hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi dan pupil dilatasi. Bersamaan dengan

stadium eksitasi ini penyakit mencapai puncaknya, yang sangat khas pada stadium ini

ialah adanya macam-macam fobi, yang sangat terkenal diantaranya ialah hidrofobi.

Kontraksi otot-otot faring dan otot-otot pernapasan dapat pula ditimbulkan oleh

rangsang sensorik seperti meniupkan udara kemuka penderita atau dengan

menjatuhkan sinar kemata atau dengan menepuk tangan didekat telinga penderita.

Pada stadium ini dapat terjadi apnoe, sianosis, konvulsa dan takikardi. Tindak-tanduk

penderita tidak rasional kadang-kadang maniakal disertai dengan saat-saat responsif.

Gejala-gejala eksitasi ini dapat terus berlangsung sampai penderita meninggal, tetapi

pada saat dekat kematian justru lebih sering terjadi otot-otot melemah, hingga terjadi

paresis flaksid otot-otot.

4. Stadium Paralis

Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi Kadang-

kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot
yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang, yang

memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.

Penyakit ini sering berjalan dengan cepat dan dalam 10 hari dapat

menyebabkan kematian sejak timbulnya gejala, sehingga pemeriksaan serologis

kadang-kadang belum sempat dilakukan, walaupun secara klinis cukup jelas. Pada

kasus dengan perjalanan yang agak lama, misalnya gejala paralis yang dominan dan

mengaburkan diagnosis maka pemeriksaan laboratorium sangat membantu dalam

menegakkan diagnosis. Virus rabies dapat diisolasi dari air liur, cairan serebrospinal

dan urin penderita. Walaupun begitu, isolasi virus kadang-kadang tidak berhasil

didapatkan dari jaringan otak dan bahan tersebut setelah 1-4 hari sakit. Hal ini

berhubungan dengan adanya neutralizing antibodies. Pemeriksaan Flourescent

Antibodies Test (FAT) dapat menunjukkan antigen virus di jaringan otak, sedimen

cairan serebrospinal, urin, kulit dan hapusan kornea, bahkan setelah teknik isolasi

tidak berhasil. FAT ini juga bisa negatif, bila antibodi telah terbentuk. Serum

neutralizing antibody pada kasus yang tidak divaksinasi tidak akan terbentuk sampai

hari ke 10 pengobatan, tetapi setelah itu titer akan meningkat dengan cepat.

Peningkatan titer yang cepat juga nampak pada hari ke 6-10 setelah onset klinis pada

penderita yang diobati dengan anti rabies. Karakteristik respon imun ini, pada kasus

yang divaksinasi dapat membantu diagnosis. Walaupun secara klinis gejalanya

patognomonik namun Negri bodies dengan pemeriksaan mikroskopis (Seller) dapat

negatif pada 10% - 20% kasus, terutama pada kasus-kasus yang sempat divaksinasi

dan penderita yang dapat bertahan hidup setelah lebih dari 2 minggu.

2.1.5 Pemberian Vaksin dan Serum Anti Rabies

Pemberian vaksin anti rabies (VAR) disertai serum anti rabies (SAR) arus

didasarkan atas tindakan tajam dengan mempertimbangkan hasil-hasil penemuan

dibawah ini (Depkes, 2007):


2.1.5.1 Anamnesis

- Kontak/ jilatan/ gigitan

- Kejadian di daerah tertular/ terancam/ bebas

- Didahului tindakan provokatif/ tidak

- Hewan yang menggigit menunjukkan gejala rabies

- Hewan yang menggigit hilang, lari dan tidak dan tidak dapat di tangkap/ di

bunuh

- Hewan yang menggigit mati, tapi masih diragukan menderita rabies.

- Penderita luka gigitan pernah di VAR dan kapan?

- Hewan yang menggigit pernah di VAR dan kapan?

2.1.5.2 Pemeriksaan Fisik

- Identitas luka gigitan (status lokalis)

2.1.5.3 Lain- lain

- Temuan pada waktu observasi hewan

- Hasil pemeriksaan specimen dari hewan

Bila ada indikasi pengobatan Pasteur, maka terhadap luka resiko rendah

diberi VAR saja. Yang termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit

luka, garukan atau lecet (erosi, ekskoriasi), luka kecil di sekitar tangan, badan dan

kaki. Pada luka risiko tinggi, selain VAR juga diberi SAR. Yang termasuk luka

berbahaya adalah jilatan/ luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu (muka, kepala,

leher), luka pada jaringan tangan/ kaki, genetalia, luka yang lebar/ dalam dan luka

yang banyak (multipel).

Untuk kontak (dengan air liur/ saliva hewan tersangka/ hewan rabies atau

penderita rabies) tetapi tak ada luka, maka tidak perlu diberikan pengobatan VAR
maupun SAR. Apabila kontak dengan air liur pada kulit luka yang tidak berbahaya,

maka diberikan VAR atau diberikan kombinasi VAR dan SAR apabila kontak

dengan air liur pada luka berbahaya. Dosis dan cara pemberian vaksin dan serum anti

rabies adalah sebagai berikut:

2.1.6 Dosis dan cara pemberian vaksin anti rabies (VAR 1)

Menurut Depkes RI (2007) pemberian VAR dan SAR dapat dijabarkan

sebagai berikut :

1. PURIFIED VERO RABIES VACCINE (PVRV)

Kemasan:

Vaksin terdiri dari vaksin kering dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5 ml dalam

syringe.

a. Dosis dan cara pemberian sesudah digigit (post exposure treatment)

- Cara pemberian :

Disuntikkan secara intra muskuler (IM) di daerah deltoideus (anak-anak

di daerah paha)

- Dosis

Vaksin Dosis Waktu Pemberian


Anak Dewasa
Dewasa 0,5 ml 0,5 ml 4 x pemberian :
 Hari ke- 0, 2x pemberian sekaligus
(deltoideus kiri dan kanan)
 Hari ke 7 dan 21
Ulang - - -

b. Dosis dan cara pemberian VAR bersama dengan SAR sesudah digigit ( post

exposure treatment)

Vaksin Dosis Waktu Pemberian


Anak Dewasa
Dewasa 0,5 ml 0,5 ml 4 x pemberian :
 Hari ke- 0, 2x pemberian sekaligus
(deltoideus kiri dan kanan)
 Hari ke 7 dan 21
Ulang 0,5 ml 0,5 ml  Hari ke 90

2. SUCKING MINCE BRAIN VACCINE (SMBV)

Sekarang sudah tidak dipakai lagi, oleh karena pemakaian tidak praktis sehingga

dikhawatirkan terjadi drop out/ vaksinasi tidak lengkap (d.o).

2.1.7 Dosis dan cara pemberian serum anti rabies (SAR)

1. Serum Homolog

Kemasan : vial 2 ml (1 ml = 150 IU )

Cara pemberian :

- Disuntikkan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin, sisanya secara

intra muscular

- Dosis

Jenis Dosis Waktu pemberian Keterangan


serum
Serum 20 IU/ kg Bersamaan dengan Sebelumnya tidak
Homolog BB pemberian VAR hari ke-0 dilakukan skin tes

2. Serum Heterolog (Kuda)

Sekarang sudah tidak dipakai lagi, oleh karena banyak terjadi efek samping.

2.1.8 Dosis dan cara pemberian VAR untuk pengebalan sebelum digigit (pre

eksposure immunization)

1. PURIFIED VERO RABIES VACCINE (PVRV)

Kemasan: Vaksin terdiri dan vaksin kering dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5

ml dalam syringe.

Cara pemberian (cara I):

- Disuntikkan secara intra muskuler (IM) di daerah deltoideus


- Dosis :
Vaksinasi Dosis Waktu Pemberian
Dasar I. 0,5 ml Pemberian 1 (Hari ke-0)
II. 0,5 ml Hari ke-28
Ulangan 0,5 ml 1 Tahun setelah pemberian 1
Ulangan selanjutnya 0,5 ml Tiap 3 tahun
No. Type gigitan luka Keadaan Hewan yang Pengobatan yang
mengigit dianjurkan
Pada waktu Observasi
mengigit selama 10
menit
1 Kontak tetapi tidak Sehat Sehat Tidak perlu diberikan
ada luka. Kontak tak Gila Rabies pengobatan
langsung, tidak ada
kontak.
2 Jilatan pada kulit Sehat Sehat Tak perlu vaksinasi
luka garukan atau Tersangka gila Sehat Segera diberikan
lecet, luka kecil vaksinasi. Hentikan
disekitar tangan, vaksinasi tersebut
badan, kaki apabila ternyata hewan
yang tersangka masih
sehat setelah 5 hari
observasi
Hewan lari atau Rabies Segera diberikan
hewan yang gila vaksinasi anti rabies
dan hewan tidak secara lengkap
dapat diobservasi
3 Jilatan pada mukosa; Mencurigakan atau Serum + vaksiinasi.
luka parah (multiple; gila atau jika Hentikan pengobatan
atau luka dimuka, hewannya tidak jika sehat.
kepala, jari kaki, jari bisa diobservasi.
tangan atau leher)

Indikasi Pemberian Vaksin dan Serum Anti Rabies, yang berhubungan dengan

Hewan tersangka Rabies.

Indikasi Pemberian VAR dan SAR Bila Tersentuh Air Liur Penderita Rabies

No. Kejadian Penderita Pada Pengobatan Yang Dianjurkan


Waktu Kejadian
1 Kontak air liur (saliva) Positif Rabies Tak perlu diberikan vaksin anti
tetapi tak ada luka atau rabies
kontak tak langsung
2 Kontak air liur (saliva) Positif Rabies Segera diberi vaksin dan
pada kulit yang luka, diberikan serum kalau ada luka
selaput lender/ mukosa. didaerah berbahaya: diatas bahu,
ujung jari, selaput lender dan
daerah yang banyak
persyarafannya.
2.1.9 Perawatan Rabies Pada Manusia

Untuk mengurangi atau mematikan virus rabies yang masuk pada luka

gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan air (sebaiknya

air mengalir) dan sabun atau detergent selama 10-15 menit, kemudian diberi

antiseptik (alkohol 70%, betadine, obat merah dan lain-lain). Meskipun pencucian

luka menurut keterangan penderita sudah dilakukan namun di Puskesmas

Pembantu/Puskesmas/Rumah Sakit harus dilakukan kembali seperti di atas. Luka

gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. Bila memang perlu

sekali untuk dijahit (jahitannya jahitan situasi), maka diberi Serum Anti Rabies

(SAR) sesuai dengan dosis, yang disuntikan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak

mungkin dan sisanya disuntikan secara intra muskular. Disamping itu harus

dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian serum/ vaksin anti tetanus, antibiotik

untuk mencegah infeksi dan pemberian analgetik.

1. Penderita di rujuk ke rumah sakit

2. Sebelum dirujuk, penderita diinfus dengan cairan ringer laktat/ Nacl 0,9 % atau

cairan lainnya, kalau perlu diberi anti konvulsan dan sebaiknya penderita

difiksasi selama di perjalanan dan waspada terhadap tindak-tanduk penderita

yang tidak rasional, kadang-kadang maniacal disertai saat-saat responsive.

3. Di Rumah Sakit penderita dirawat di ruang perawatan dan diisolasi

4. Tindakan medik dan pemberian obat-obatan simtomatis dan supportif termasuk

antibiotik bila diperlukan

5. Untuk menghindari adanya kemungkinan penularan dari penderita, maka

sewaktu menangani kasus rabies pada manusia, hendaknya dokter dan paramedis
memakai sarung tangan, kacamata dan masker, serta sebaiknya dilakukan fiksasi

penderita di tempat tidur

2.1.9.1 Monitoring Pasien

a. Semua pasien yang dicurigai harus diisolasi dan di monitor dari perkembangan

perubahan mood, perilaku, atau gejala klinis yang menuju ke diagnosis.

b. Anjing atau kucing yang kelihatannya sehat yang menggigit atau mencakar

orang harus dimonitor selama periode 10 hari, jika tidak ada gejala kesakitan

terjadi pada hewan selama 10 hari, orang tersebut tidak terkena virus;

anjing/kucing tidak mengeluarkan virus lebih dari 3 hari sebelum gejala klinik

penyakit berkembang.

c. Anjing dan kucing yang tidak divaksin yang digigit hewan buas (gila) harus

dikarantina lebih dari 6 bulan/tergantung dari peraturan daerah setempat

(Anonim, 2008).

2.1.9.2 Pencegahan

a. Vaksin (anjing dan kucing) menurut rekomendasi standar dari peraturan dan

pemerintahan lokal semua anjing dan kucing yang potensial terkena divaksin

setelah umur 12 minggu, lalu 12 bulan setelahnya, dilanjutkan dengan tiap 3

tahun dengan vaksin untuk 3 tahun, untuk kucing harus vaksin inaktif.

b. Negara bebas rabies : memasukkan anjing dan kucing harus dikarantina untuk

waktu yang lama, 6 bulan, tergantung peraturan setempat.

c. Desinfeksi – pada area terkontaminasi, kandang, piring makanan, atau peralatan;

gunakan 1:32 larutan (4 ounces per gallon) dari pemutih pakaian untuk

menginaktifkan virus dengan cepat (Anonim, 2008).

2.2 LUKA
Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka adalah

kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain

(Kozier, 1995). Dalam penatalaksanaan luka, ada beberapa prinsip penyembuhan

luka yang harus diperhatikan menurut Taylor (1997) dalam Hartawinata (2010) yaitu:

1. Kemampuan tubuh untuk menangani trauma jaringan dipengaruhi oleh luasnya

kerusakan dan keadaan umum kesehatan tiap orang.

2. Respon tubuh pada luka lebih efektif jika nutrisi yang tepat tetap dijaga.

3. Respon tubuh secara sistemik pada trauma

4. Aliran darah ke dan dari jaringan yang luka

5. Keutuhan kulit dan mukosa membran disiapkan sebagai garis pertama untuk

mempertahankan diri dari mikroorganisme

6. Penyembuhan normal ditingkatkan ketika luka bebas dari benda asing tubuh

termasuk bakteri.

2.2.1 Fase Penyembuhan Luka

Penyembuhan dalam luka akut terjadi sebagai proses berurutan dan tumpang

tindih yang memerlukan penyelesaian terkoordinasi dari berbagai kegiatan selular

termasuk fagositosis, kemotaksis, mitogenesis, sintesis kolagen dan sintesis

komponen matriks lainnya. Kegiatan ini tidak terjadi secara sembarangan melainkan

dalam skema yang diatur dengan hati-hati dan sistematis karena berkorelasi dengan

munculnya jenis sel yang berbeda dalam luka selama berbagai tahap proses

penyembuhan.

Proses-proses yang dipicu oleh cedera jaringan, melibatkan empat fase yang

tumpang tindih, yang didefinisikan sebagai hemostasis, peradangan atau inflamasi,

proliferasi dan remodeling. Peraturan peristiwa ini multifaktorial dan dibahas di

bawah ini (Enorch, 2004).

a Fase Homeostasis (penghentian perdarahan)


Jaringan cedera ditandai dengan cedera mikrovaskuler yang menyebabkan

ekstravasasi darah pada luka. Pembuluh darah yang cedera mengalami konstriksi dan

proses koagulasi diaktifkan untuk mencegah hilangnya banyak darah, yang

menyebabkan pembentukan bekuan darah dan agregasi trombosit. Bekuan tersebut

terdiri dari fibrin, fibronektin, vitronektin, faktor von Willebrand dan

thrombospondin, yang menyediakan matriks sementara untuk migrasi seluler.

Trombosit yang terjebak dalam bekuan penting untuk hemostasis serta respon

inflamasi normal. Butiran Alfa dari trombosit mengandung faktor pertumbuhan,

termasuk platelet-derived growth factor (PDGF), insulin-like growth factor-1 (IGF-

1), epidermal growth factor (EGF), dan transforming growth factor-beta (TGF-β).

Protein tersebut memulai proses penyembuhan luka dengan menarik dan

mengaktifkan fibroblast, sel endotel dan makrofag. Para trombosit juga mengandung

zat vasoaktif seperti serotonin yang meningkatkan permeabilitas mikrovaskuler. Hal

ini akan menyebabkan eksudasi cairan ke ekstravaskular dengan edema jaringan

sebagai manifestasinya, yang lebih menonjol selama fase inflamasi. Scab (keropeng)

juga dibentuk dipermukaan luka. Bekuan dan jaringan mati, scab membantu

hemostasis dan mencegah kontaminasi luka oleh mikroorganisme.

b Fase Inflamasi

Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3 – 4 hari. Tahap berikutnya

adalah peradangan penyembuhan, yang dimulai dengan aktivasi komplemen dan

inisiasi proses molekular klasik yang mengarah ke infiltrasi luka dengan granulosit

atau leukosit polymorphonuclear (PMNLs). Sel-sel ini tertarik ke sisi luka dalam

waktu 24 hingga 48 jam dari cedera oleh sejumlah agen, termasuk melengkapi

komponen seperti C5a, trombosit, produk peptida formil-methionyl dari bakteri dan

TGF-β (Enorch, 2004).


Gambar 2.3 Proses inflamatori
Sumber : Ismail (2009)
Fase inflamatori memerlukan pembuluh darah dan respon seluler untuk

mengangkat benda-benda asing dan jaringan yang mati. Suplai darah yang meningkat

ke jaringan membawa bahan-bahan dan nutrisi yang diperlukan pada proses

penyembuhan. Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak.

Selama sel berpindah lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah interstitial.

Tempat ini ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama lebih kurang 24

jam setelah cidera/ luka. Makrofag ini menelan mikroorganisme dan sel debris

melalui proses yang disebut pagositosis. Makrofag juga mengeluarkan faktor

angiogenesis (AGF) yang merangsang pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh

darah. Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat proses penyembuhan.

Respon inflamatori ini sangat penting bagi proses penyembuhan (Morison, 2004).

c. Fase Proliferatif

Fase kedua ini berlangsung dari hari ke-3 atau 4 sampai hari ke-21 setelah

pembedahan. Fibroblast (menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah

luka mulai 24 jam pertama setelah pembedahan. Diawali dengan mensintesis kolagen

dan substansi dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi luka.

Kolagen adalah substansi protein yang menambah tegangan permukaan dari luka.

Jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan permukaan luka sehingga kecil

kemungkinan luka terbuka. Selama waktu itu sebuah lapisan penyembuhan nampak

dibawah garis irisan luka (Morison, 2004).


Gambar 2.4 Proses Proliferasi Gambar 2.5 Proses Maturasi
Sumber: Ismail (2009) Sumber: Ismail (2009)

Kapilarisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang

memberikan oksigen dan nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan. Fibroblast

berpindah dari pembuluh darah ke luka membawa fibrin. Seiring perkembangan

kapilarisasi jaringan perlahan berwarna merah. Jaringan ini disebut granulasi jaringan

yang lunak dan mudah pecah (Morison, 2004).

d. Fase Maturasi

Fase maturasi dimulai hari ke-21 dan berakhir 1-2 tahun setelah pembedahan.

Fibroblast terus mensintesis kolagen. Kolagen menjalin dirinya ,menyatukan dalam

struktur yang lebih kuat. Bekas luka menjadi kecil, kehilangan elastisitas dan

meninggalkan garis putih (Morison, 2004).

2.2.2 Penatalaksanaan Luka

Prioritas penatalaksanaan luka secara umum adalah mengatasi perdarahan

(hemostasis), mengeluarkan benda asing, melepaskan jaringan yang mengalami

devitalisasi, krusta yang tebal, dan pus, memberi suhu, kelembaban, dan pH yang

ideal secara optimal untuk pertumbuhan sel yang berperan dalam proses

penyembuhan, meningkatkan pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi,

melindungi luka dari trauma lanjut dan mikroorganisme pathogen (Morison, 2004).

Berbeda halnya dengan penatalaksanaan luka yang terinfeksi, dimana luka

jenis ini kebanyakan didiami oleh mikroorganisme. Mikroorganisme itu sendiri akan

berpengaruh terhadap proses penyembuhan, khususnya apabila kondisi luka

menampakkan tanda dan gejala infeksi seperti, pireksia, nyeri setempat, dan eritema,

edema local, eksudat berlebihan, pus, dan bau busuk. Untuk itu, perlu dilakukan
tindakan pencegahan infeksi sejak awal segera setelah terjadinya luka. Salah satu

cara paling sederhana adalah dengan membersihkan dan melakukan desinfeksi luka

(Morison, 2004).

Untuk mengurangi atau mematikan virus rabies yang masuk pada luka

gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan air (sebaiknya

air mengalir) dan sabun atau ditergent selama 10-15 menit, kemudian diberi

antiseptik (alkohol 70%, betadine, obat merah dan lain-lain). Meskipun pencucian

luka menurut keterangan penderita sudah dilakukan namun di Puskesmas

Pembantu/Puskesmas/Rumah Sakit harus dilakukan kembali seperti di atas. Luka

gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. Bila memang perlu

sekali untuk dijahit (jahitannya jahitan situasi), maka diberi Serum Anti Rabies

(SAR) sesuai dengan dosis, yang disuntikan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak

mungkin dan sisanya disuntikan secara intra muskuler. Disamping itu harus

dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian serum/ vaksin anti tetanus, anti biotik

untuk mencegah infeksi dan pemberian analgetik (Dinkes, 2007).

2.2.3 Cairan Pembersih Luka Gigitan HPR

1. Hidrogen peroksida.

Hidrogen peroksida (H2O2) adalah agen oksidasi, merupakan antiseptik

kuat namun tidak mengiritasi jaringan hidup. Senyawa ini dapat diaplikasikan

sebagai antiseptik pada membrane mukosa. Kelemahan dari zat ini adalah harus

selalu dijaga kondisinya karena zat ini mudah mengalami kerusakan ketika

kehilangan oksigen. Perhidrol atau H2O2 secara kimia merupakan larutan yang

mempunyai kemampuan menjadi H2O dan melepas O2. Sediaan yang cukup aman

berupa sediaan H2O2 3% meskipun demikian masih ada rasa nyeri pada jaringan

tubuh manusia. Hydrogen peroksida (3%) masih digunakan untuk membersihkan

dan menghilangkan bau pada luka terinfeksi, tetapi efeknya hanya berlangsung
dalam waktu singkat yaitu selama oksigen dibebaskan. Perhidrol (H2O2) 3%

merupakan oksidator yang kuat. Karena perhidrol merupakan oksidator yang kuat

dengan arti perhidrol mampu untuk memberikan oksigen ke daerah luka,

pembunuh yang ampuh untuk bakteri anaerob, bakteri yang tidak suka oksigen,

karena dengan proses oksigenassi bakteri ini bisa mati (Darmadi, 2008).

2 H2O2 2 H2O + O2

2. Povodine Iodine

Iodine adalah element non metalik yang tersedia dalam bentuk garam yang

dikombinasi dengan bahan lain Walaupun iodine bahan non metalik iodine

berwarna hitam kebiru-biruan, kilau metalik dan bau yang khas. Iodine hanya

larut sedikit di air, tetapi dapat larut secara keseluruhan dalam alkohol dan larutan

sodium iodide encer. Iodide tinture dan solution keduanya aktif melawan spora

tergantung konsentrasi dan waktu pelaksanaan (Lilley & Aucker, 1999). Larutan

ini akan melepaskan iodium anorganik bila kontak dengan kulit atau selaput lendir

sehingga cocok untuk luka kotor dan terinfeksi bakteri gram positif dan negatif,

spora, jamur, dan protozoa. Bahan ini agak iritan dan alergen serta meninggalkan

residu (Sodikin, 2002). Studi menunjukan bahwa antiseptik seperti povodine

iodine toksik terhadap sel (Thompson. J, 2000). Iodine dengan konsentrasi > 3 %

dapat memberi rasa panas pada kulit. Rasa terbakar akan nampak dengan iodine

ketika daerah yang dirawat ditutup dengan balutan oklusif kulit dapat ternoda dan

menyebabkan iritasi dan nyeri pada sisi luka (Lilley & Aucker, 1999).

3. Natrium Klorida

Sodium klorida adalah larutan fisiologis yang ada di seluruh tubuh karena

alasan ini tidak ada reaksi hipersensitivitas dari sodium klorida. Normal saline

aman digunakan untuk kondisi apapun (Lilley & Aucker, 1999). Sodium klorida

atau natrium klorida mempunyai Na dan Cl yang sama seperti plasma. Larutan ini

tidak mempengaruhi sel darah merah (Handerson, 1992). Sodium klorida tersedia
dalam beberapa konsentrasi, yang paling sering adalah sodium klorida 0,9 %. Ini

adalah konsentrasi normal dari sodium klorida dan untuk alasan ini sodium

klorida disebut juga normal saline (Lilley & Aucker, 1999). Merupakan larutan

isotonis aman untuk tubuh, tidak iritan, melindungi granulasi jaringan dari kondisi

kering, menjaga kelembaban sekitar luka dan membantu luka menjalani proses

penyembuhan serta mudah didapat dan harga relatif lebih murah.

2.2.4 Teknik Pembalutan Luka

Teknik pembalutan luka pada kasus gigitan HPR ini terdiri dari dua cara yaitu

teknik balutan Basah-Kering dan Basah-basah (Semer, 2003).

1. Teknik Basah-Kering

Indikasi: Untuk membersihnkan luka kotor atau luka terinfeksi.

Teknik: Basahi beberapa bagian dari kasa steril dengan cairan pembersih luka

dan peras sampai tidak keluar air. Kasa sebaiknya lembab dan tidak terlalu

basah. Kasa yang lembab ditempelkan pada luka. Selanjutnya ditambahkan kasa

steril kering untuk menutupi diatasnya. Pembalutan akan menyerap cairan ke

arah kasa kering dan dapat mengangkat sisa cairan dan luka. Tipe balutan ini

juga bermanfaat menjaga kelembaban luka dan mengangkat kotoran yang sangat

melekat.

Cara penggunaan: Luka dibuka idealnya 3-4 hari. Luka yang masih kotor

diperlukan debridement ulang dan luka yang kotornya masih sedikit hanya

diperlukan pembersihan biasa dengan cairan NaCl. Ketika luka sudah bersih,

ganti balutan dengan tipe kering-kering atau penggunaan salep antibiotik.

2. Teknik Basah-Basah

Indikasi: Untuk menjaga luka yang sudah bersih tetap bersih dan menjaga luka

dari peningkatan cairan eksudat.


Teknik: Basahi beberapa lembar kasa dengan cairan pembersih luka dan jangan

sampai kasa terlalu basah, kondisi kasa hanya lembab saja. Letakkan kasa yang

lembab pada luka dan tutupi dengan kasa steril kering diatasnya. Kasa

dipertahankan agar tetap lembab sehingga tidak menempel pada luka.

Cara penggunaan: Idealnya luka dirawat setiap 2-3 hari. Jika balutan terlalu

kering atau kurang lembab, dapat diganti dengan kasa baru yang sudah

dilembabkan dengan cairan NaCl.

BAB III

PEMBAHASAN
3.1 Penatalaksanaan Kasus Rabies di IRD Triage RSUP Sanglah Denpasar

Penatalaksanaan kasus rabies di IRD Triage RSUP Sanglah Denpasar

dilakukan dalam beberapa tahap yaitu pertolongan pertama, perawatan luka gigitan

Hewan Penular Rabies (HPR) serta pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) dan Serum

Anti Rabies (SAR).

3.1.1 Pertolongan Pertama Kasus Gigitan HPR di IRD Triage RSUP Sanglah

Denpasar

Pertolongan pertama yang dilakukan di IRD Triage RSUP Sanglah Denpasar

terhadap kasus gigitan HPR pada pasien baru dilakukan pembersihan luka dengan air

mengalir dan sabun (detergen) selama 10-15 menit. Sedangkan pada pasien dengan

rujukan dari pusat pelayanan yang sudah dilakukan pembersihan luka tidak dilakukan

pembersihan ulang. Hal tersebut sudah sesuai dengan cara penatalaksanaan kasus

gigitan hewan penular rabies (HPR) yang dinyatakan oleh Depkes (2007) dan standar

penanganan rabies menurut WHO bahwa pertolongan pertama pada kasus gigitan

hewan penular rabies (HPR) adalah dicuci dengan air mengalir dan sabun selama 10-

15 menit.

3.1.2 Perawatan Luka Gigitan HPR di IRD RSUP Triage Sanglah Denpasar

Perawatan luka gigitan hewan penular rabies di IRD Triage RSUP Sanglah

Denpasar dilakukan beberapa cara berdasarkan karakteristik luka, yaitu :

1) Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya tusukan dari gigi/ taring

gigi hewan penular rabies yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang

kecil. Pada luka tusuk dilakukan explorasi dan membersihkan luka dengan

menggunkan perhidrol + betadin + Nacl (dengan perbandingan 1:1:5) selama 1

menit. Selanjutnya dibilas dengan Nacl sampai bersih tanpa ada sisa buih

perhidrol. Luka ditutup dengan sistem basah-kering menggunakan kasa yg

dibasahi betadin 1% sampai menutupi lubang dari luka tusuk trus ditutup dengan

kasa steril kering.


2) Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat gigi atau taring hewan penular

rabies yang merusak jaringan epidermis dari kulit. Luka gores cukup dibersihkan

dengan betadin + perhidrol + Nacl (dengan perbandingan 1:1:5) sampai bersih

lalu dibilas dengan Nacl selanjutnya dioles dengan betadin dan luka dirawat

terbuka.

3) Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ tubuh

biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian

ujung biasanya lukanya akan melebar. Pada luka tembus dilakukan explorasi dan

membersihkan luka dengan menggunkan perhidrol + betadin + Nacl (dengan

perbandingan 1:1:5) selama 5 menit. Selanjutnya dibilas dengan Nacl sampai

bersih tanpa ada sisa buih perhidrol. Luka yang luas dilakukan hecting situasi

dengan jarak renggang yang memungkinkan ada sirkulasi udara dengan udara

luar. Kemudian luka ditutup dengan sistem basah-kering menggunakan kasa yg

dibasahi betadin 1% sampai menutupi lubang dari luka tusuk lalu ditutup dengan

kasa steril kering.

Di IRD Triage RSUP Sanglah Denpasar perawatan luka gigitan HPR

menggunakan larutan perhydrol karena untuk membersihkan luka gigitan HPR yang

kotor. Larutan perhydrol berguna untuk memberikan oksigen ke daerah luka,

pembunuh yang ampuh untuk bakteri anaerob, bakteri yang tidak suka oksigen,

karena dengan proses oksigenassi bakteri ini bisa mati.

Berdasarkan standar WHO perawatan luka rabies dapat dilakukan dengan

pembunuhan virus rabies di lokasi infeksi dengan bahan kimia merupakan

mekanisme perlindungan yang efektif. Pertolongan pertama yang dapat dilakukan

adalah dengan melakukan pembilasan dan pencucian luka selama 15 menit dengan

menggunakan sabun dan air yang mengalir, deterjen, povidone iodine atau zat

lainnya yang dapat mematikan virus rabies. Jika sabun atau agen antivirus tidak

tersedia, luka harus dicuci dengan air secara seksama. Dan jika diperlukan hecting,
maka sebelumnya luka harus diberikan SAR dan hecting ditunda 15 menit pasca

pemberian SAR. Heacting pada kasus gigitan HPR dilakukan tidak terlalu rapat.

Dalam situasi tertentu, modifikasi terhadap prosedur dapat dilakukan dan dibenarkan.

Situasi tersebut termasuk paparan pada bayi atau penyandang cacat mental, serta

keadaan lain dimana terdapat riwayat paparan rabies dan bahan yang diperlukan tidak

dapat diperoleh, terutama di daerah di mana rabies adalah enzootic, meskipun hewan

tersebut dianggap sehat pada saat paparan. Hal tersebut juga dikemukakan oleh

Depkes RI (2007) penanganan luka gigitan HPR ialah dengan mencuci luka gigitan

dengan air mengalir dan sabun atau detergent selama 10-15 menit, kemudian diberi

antiseptik. Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijarit, kecuali jahitan situasi.

3.1.3 Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) dan Serum Anti Rabies (SAR) di

IRD Triage RSUP Sanglah Denpasar.

Vaksin Anti Rabies (VAR) pada kasus gigitan HPR diberikan bila terdapat

luka dan terkena kontaminasi saliva HPR. Sedangkan Serum Anti Rabies (SAR)

diberikan sebagai tambahan bila terjadi gigitan HPR pada luka yang terletak pada

dada, tangan, kepala, dan genetalia. Di IRD Triage Sanglah Denpasar tidak semua

pasien bisa mendapatkan SAR karena keterbatasan persediaan SAR dan

ketidakmampuan pasien untuk membeli SAR. Hal tersebut tidak sesuai dengan

pedoman penatalaksanaan Rabies menurut Depkes RI (2007) SAR diberikan jika

gigitan HPR di daerah berbahaya seperti : di atas bahu, ujung jari, selaput lender dan

daerah yang paling banyak persarafan.

BAB IV

PENUTUP
4.1 Kesimpulan

1. Pertolongan pertama terhadap kasus gigitan HPR di IRD Triage RSUP Sanglah

Denpasar adalah mencuci luka penderita dengan air mengalir dan sabun atau

detergen selama 10-15 menit. Hal tersebut sudah sesuai dengan pedoman dan

standar penanganan Rabies dari WHO dan pedoman dari Depkes (2007) yaitu

tentang pertolongan pertama pada kasus gigitan HPR dengan mencuci luka

penderita dengan air mengalir dan sabun atau detergen selama 10-15 menit. IRD

Triage RSUP Sanglah Denpasar telah memiliki protap penanganan kasus gigitan

HPR. Namun, protap tersebut tidak ditempatkan pada tempat yang mudah

dilihat, sehingga mahasiswa yang praktik di IRD Triage RSUP Sanglah

Denpasar dalam melakukan perawatan luka hanya mengikuti kebiasaan petugas

tanpa mempelajari dan melakukan perawatan luka sesuai dengan protap

penanganan kasus gigitan HPR.

2. Perawatan luka pada kasus gigitan HPR di IRD Triage RSUP Sanglah Denpasar

disesuaikan dengan karakteristik luka (luka gores, luka tusuk, dan luka tembus).

Hal tersebut sudah sesuai dengan standar penanganan luka gigitan HPR menurut

WHO dan Depkes RI (2007) yaitu mencuci luka gigitan dengan air mengalir dan

sabun atau detergent selama 10-15 menit, kemudian diberi antiseptik dengan

membunuh virus rabies di lokasi infeksi dengan bahan kimia. Luka gigitan tidak

dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. Di IRD Triage Sanglah

Denpasar dalam melakukan pembersihan luka masih menggunakan larutan

perhidrol untuk pembersihan luka pada bagian ekstremitas bawah. Namun,

menurut WHO dan Depkes (2007) tidak ada disebutkan penggunaan perhidrol

dalam pembersihan luka gigitan HPR.

3. Pemberian VAR dan SAR pada kasus gigitan HPR di IRD Triage RSUP Sanglah

Denpasar berdasarkan lokasi gigitan pada tubuh. SAR diberikan jika luka gigitan

berada di daerah dada, tangan, kepala, dan genetalia, sedangkan VAR diberikan
bila gigitan HPR menimbulkan luka pada tubuh dan terkontaminasi saliva HPR.

Namun, pemberian SAR tidak dapat dilakukan sepenuhnya kepada pasien yang

memerlukan karena terhambat faktor eksternal yaitu keterbatasan penyediaan

SAR serta keterbatasan biaya dari pasien.

4.2 Saran

1. Kepada Kepala Ruangan dan perawat IRD Triage RSUP Sanglah Denpasar

Kepala ruangan IRD Triage RSUP Sanglah hendaknya menyediakan protap

penanganan kasus gigitan HPR pada tempat yang mudah dilihat oleh petugas dan

mahasiswa yang praktik di IRD Triage RSUP Sanglah Denpasar. Serta petugas

dan mahasiswa diharapkan tetap melakukan perawatan kasus gigitan HPR sesuai

dengan protap yang ada

2. Pihak Manajemen RSUP Sanglah Denpasar

Pihak Manajemen RSUP Sanglah hendaknya mengusulkan pada Pemda untuk

meningkatkan penyediaan SAR, serta memberikan subsidi atau keringanan biaya

pada pasien yang harus mendapatkan SAR.

DAFTAR PUSTAKA
Anonym. 2011. Hari Rabies Sedunia Putus Rantai Penularan Dari Hewan Ke
Manusia. (online), (http://bataviase.co.id/node/397564, diakses tanggal 12
Januari 2011).

Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial: Problematika dan Pengendaliannya. Jakarta:


Penerbit Salemba Medika.

Depkes RI. 2007. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Tersangka


Rabies di Indonesia. Jakarta: Bakti Husada.

Depkes. 2007. Petunjuk Rabies, (online),


(http://www.depkes.go.id/downloads/Petunjuk%20Rabies.pdf, diakses
tanggal 3 Januari 2011).

Dunder, Jonathan. 2008. Images, (online),


(http://www.freeinfosociety.com/media/images/1306.jpg, diakses tanggal 28
Januari 2011).

Dunder, Jonathan. 2008. Wound Care, (online),


(http://www.freeinfosociety.com/media.php?id=4419, diakses tanggal 22
Januari 2011).

Enorch, Stuart. 2004. Pathophysiology of healing, (online),


(http://www.worldwidewounds.com/2004/august/Enoch/Pathophysiology-Of-
Healing.html, diakses tanggal 24 Januari 2011).

Hartawinata, Donny. 2010. Luka dan Perawatannya, (online),


(http://www.scribd.com/doc/24698347/Luka-Dan-Perawatannya, diakses
tanggal 21 Januari 2011).

Islamuddin, Syam. 2010. Bahan-Bahan Kimia Dalam Kehidupan Sehari-hari,


(online), (http://www.scribd.com/Bahan-bahan-Kimia-Dalam-Kehidupan-
Sehari-hari/d/30435207, diakses tanggal 25 Januari 2011).
Ismail. 2009. Luka dan Perawatannya, (online), (http://www.google.co.id/url?
sa=t&source=web&cd=2&ved=0CB8QFjAB&url=http%3A%2F
%2Fimages.mailmkes.multiply.multiplycontent.com%2Fattachment
%2F0%2FR-Dd%40AoKCEMAADk5LMI1%2FMerawat%2520luka.pdf
%3Fnmid%3D88915450&rct=j&q=merawat
%20luka&ei=_IhOTdKLCIbJcazDkMEL&usg=AFQjCNGS-d-
Lt1QwduPfutvg5RcOpV5oLg&sig2=uEMTK_iMzQgzkD7HTdcMWw&cad
=rja, diakses tanggal 20 Januari 2011).

Khumaedullah, dkk. 2009. Makalah Antiseptic dan Desinfektan, (online),


(http://www.scribd.com/Makalah-Antiseptic-Dan-Desinfektan/d/28307507,
diakses tanggal 22 Januari 2011).

Matanews. 2009. Rabies Menyebar Di 24 Provinsi, (online),


(http://matanews.com/2009/10/26/rabies-menyebar-di-24-provinsi/, diakses
tanggal 12 Januari 2011).

Prasetyo, Redy Joko. 2009. Faktor Kimia yang Mempengaruhi Adaptasi, (online),
(http://www.inforedia.com/2009/12/faktor-kimia-yang-mempengaruhi-
adaptasi.html, diakses tanggal 20 Januari 2011).
Semer, Nadine B. 2003. The Help Guide to Basic Wound Care, (online),
(www.global-HELP.org, diakses tanggal 20 Januari 2011).

UJS. 2008. Petunjuk Umum Mikrobiologi Dasar. Purwokerto: Laboratorium Biologi


Fakultas Biologi Universitas Jendral Sudirman.

Anda mungkin juga menyukai