PENDAHULUAN
Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf
pusat yang disebabkan oleh virus rabies, dan ditularkan melalui gigitan hewan
menular rabies terutama anjing, kucing dan kera (Depkes, 2007). Di Indonesia,
sekitar 98% kasus rabies ditularkan akibat gigitan anjing dan 2% akibat gigitan
kucing dan kera. Sampai pada tahun 2010, penyakit ini endemis di 24 Propinsi di
Indonesia, dengan kasus Lyssa (rabies pada manusia) tertinggi adalah Propinsi Bali,
Sumatera Utara, Maluku, dan NTT. Sementara sembilan propinsi lainnya masih
dinyatakan sebagai daerah bebas rabies yaitu Propinsi Belitung, Kalimantan Barat,
DKI Jakarta, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur,
Kesehatan sebanyak 87.084 kasus gigitan hewan penular rabies (HPR), dengan
63.974 kasus atau sekitar 73,46% diantaranya mendapat vaksin anti rabies (VAR)
dengan 421 orang positif rabies dengan angka kematian 100%. Propinsi Bali yang
semula bebas rabies dilaporkan terjadi kematian karena rabies di Kabupaten Badung
dilaporkan 41.453 kasus gigitan hewan penular rabies, 37.824 kasus (86,6%) yang
mendapat VAR, dan 61 orang meninggal dengan gejala klinis yang berasal dari tujuh
kabupaten/ Kota (Anonym, 2011). Sementara itu, berdasarkan data yang diperoleh
dari RSUP Sanglah Denpasar, ditemukan 20.369 kasus gigitan hewan penular rabies,
dengan total 19.414 kasus gigitan baru, dan 955 pasien kontrol atau rujukan yang
sektor Peternakan serta sektor Kesehatan untuk penanganan kasus gigitan pada
wadah Tim Koordinasi (TIKOR) Rabies dimana pada tahun 2010, telah dilakukan
penyediaan VAR, pelatihan petugas kesehatan, pembuatan buku pedoman dan media
penyuluhan rabies, workshop serta advokasi. Sementara itu, upaya pencegahan dan
penanggulangan rabies di Bali adalah dengan membentuk Rabies Center (43 buah),
manusia sebanyak 6.861 kiur (27.484 vials) dari Pusat dan WHO, Provinsi sebanyak
19.469 kiur (77.876 vials), Kab./Kota sebanyak 11.627,5 kiur (46.510 vials).
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah merupakan salah satu rumah
sakit penyedia layanan penanganan rabies dimana sejak tahun 2008 telah melakukan
penanganan pasien rabies, memberi VAR serta melakukan perawatan luka pada
kasus gigitan anjing. Penanganan pasien dengan kasus gigitan anjing di RSUP
Sanglah ditangani dengan segera di Instalasi Rawat Darurat dimana pasien datang
dalam kurun waktu kurang dari 24 jam setelah gigitan. Penanganan awal yang
dilakukan adalah membersihkan atau mencuci luka dengan sabun atau detergen
dibawah air mengalir selama 10-15 menit meskipun telah dilakukan pembersihan
penatalaksanaan kasus gigitan HPR di IRD RSUP Sanglah Denpasar sesuai dengan
teori yang relevan, serta berdasarkan buku Pedoman Penatalaksanaan Kasus Gigitan
1.2 Tujuan
karakteristik luka gigitan (lokasi, kedalaman, dan luas luka gigitan) di IRD
3. Mengidentifikasi kriteria dan waktu pemberian VAR dan SAR di IRD RSUP
1.3 Manfaat
kasus gigitan HPR sehingga dapat menekan angka kesakitan dan kematian yang
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Rabies adalah suatu penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang
dapat menyerang semua jenis binatang berdarah panas (anjing, kucing, kera,
kelelawar) dan manusia. Penyakit ini ditandai dengan disfungsi hebat susunan saraf
2.1.2 Penyebab
Indonesia. Virus rabies termasuk dalam genus Lyssavirus dan famili Rhabdoviridae.
Genus Lyssavirus sendiri terdiri dari 80 jenis virus dan virus rabies merupakan
adalah oleh hewan liar, khususnya musang, kelelawar, rubah, dan serigala. Anjing,
kucing, hewan ternak, atau hewan berdarah panas dapat menularkan rabies kepada
manusia. Manusia tertular rabies melalui gigitan hewan yang terinfeksi (Depkes,
2007).
2.1.3 Patogenesis
Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus
tetap tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai
fungsinya. Masa inkubasi bervariasi yaitu berkisar antara 2 minggu sampai 2 tahun,
tetapi pada umumnya 3-8 minggu, berhubungan dengan jarak yang harus ditempuh
memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian neuron, terutama
mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang
kearah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf
otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam
penyakitnya, yaitu:
1. Stadium Prodromal
2. Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas
luka. Kemudian disusul dengan gejala cemas, dan reaksi yang berlebihan terhadap
rangsang sensorik.
3. Stadium Eksitasi
stadium eksitasi ini penyakit mencapai puncaknya, yang sangat khas pada stadium ini
ialah adanya macam-macam fobi, yang sangat terkenal diantaranya ialah hidrofobi.
Kontraksi otot-otot faring dan otot-otot pernapasan dapat pula ditimbulkan oleh
menjatuhkan sinar kemata atau dengan menepuk tangan didekat telinga penderita.
Pada stadium ini dapat terjadi apnoe, sianosis, konvulsa dan takikardi. Tindak-tanduk
Gejala-gejala eksitasi ini dapat terus berlangsung sampai penderita meninggal, tetapi
pada saat dekat kematian justru lebih sering terjadi otot-otot melemah, hingga terjadi
4. Stadium Paralis
kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot
yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang, yang
Penyakit ini sering berjalan dengan cepat dan dalam 10 hari dapat
kadang-kadang belum sempat dilakukan, walaupun secara klinis cukup jelas. Pada
kasus dengan perjalanan yang agak lama, misalnya gejala paralis yang dominan dan
menegakkan diagnosis. Virus rabies dapat diisolasi dari air liur, cairan serebrospinal
dan urin penderita. Walaupun begitu, isolasi virus kadang-kadang tidak berhasil
didapatkan dari jaringan otak dan bahan tersebut setelah 1-4 hari sakit. Hal ini
Antibodies Test (FAT) dapat menunjukkan antigen virus di jaringan otak, sedimen
cairan serebrospinal, urin, kulit dan hapusan kornea, bahkan setelah teknik isolasi
tidak berhasil. FAT ini juga bisa negatif, bila antibodi telah terbentuk. Serum
neutralizing antibody pada kasus yang tidak divaksinasi tidak akan terbentuk sampai
hari ke 10 pengobatan, tetapi setelah itu titer akan meningkat dengan cepat.
Peningkatan titer yang cepat juga nampak pada hari ke 6-10 setelah onset klinis pada
penderita yang diobati dengan anti rabies. Karakteristik respon imun ini, pada kasus
negatif pada 10% - 20% kasus, terutama pada kasus-kasus yang sempat divaksinasi
dan penderita yang dapat bertahan hidup setelah lebih dari 2 minggu.
Pemberian vaksin anti rabies (VAR) disertai serum anti rabies (SAR) arus
- Hewan yang menggigit hilang, lari dan tidak dan tidak dapat di tangkap/ di
bunuh
Bila ada indikasi pengobatan Pasteur, maka terhadap luka resiko rendah
diberi VAR saja. Yang termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit
luka, garukan atau lecet (erosi, ekskoriasi), luka kecil di sekitar tangan, badan dan
kaki. Pada luka risiko tinggi, selain VAR juga diberi SAR. Yang termasuk luka
berbahaya adalah jilatan/ luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu (muka, kepala,
leher), luka pada jaringan tangan/ kaki, genetalia, luka yang lebar/ dalam dan luka
Untuk kontak (dengan air liur/ saliva hewan tersangka/ hewan rabies atau
penderita rabies) tetapi tak ada luka, maka tidak perlu diberikan pengobatan VAR
maupun SAR. Apabila kontak dengan air liur pada kulit luka yang tidak berbahaya,
maka diberikan VAR atau diberikan kombinasi VAR dan SAR apabila kontak
dengan air liur pada luka berbahaya. Dosis dan cara pemberian vaksin dan serum anti
sebagai berikut :
Kemasan:
Vaksin terdiri dari vaksin kering dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5 ml dalam
syringe.
- Cara pemberian :
di daerah paha)
- Dosis
b. Dosis dan cara pemberian VAR bersama dengan SAR sesudah digigit ( post
exposure treatment)
Sekarang sudah tidak dipakai lagi, oleh karena pemakaian tidak praktis sehingga
1. Serum Homolog
Cara pemberian :
intra muscular
- Dosis
Sekarang sudah tidak dipakai lagi, oleh karena banyak terjadi efek samping.
2.1.8 Dosis dan cara pemberian VAR untuk pengebalan sebelum digigit (pre
eksposure immunization)
Kemasan: Vaksin terdiri dan vaksin kering dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5
ml dalam syringe.
Indikasi Pemberian Vaksin dan Serum Anti Rabies, yang berhubungan dengan
Indikasi Pemberian VAR dan SAR Bila Tersentuh Air Liur Penderita Rabies
Untuk mengurangi atau mematikan virus rabies yang masuk pada luka
gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan air (sebaiknya
air mengalir) dan sabun atau detergent selama 10-15 menit, kemudian diberi
antiseptik (alkohol 70%, betadine, obat merah dan lain-lain). Meskipun pencucian
gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. Bila memang perlu
sekali untuk dijahit (jahitannya jahitan situasi), maka diberi Serum Anti Rabies
(SAR) sesuai dengan dosis, yang disuntikan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak
mungkin dan sisanya disuntikan secara intra muskular. Disamping itu harus
2. Sebelum dirujuk, penderita diinfus dengan cairan ringer laktat/ Nacl 0,9 % atau
cairan lainnya, kalau perlu diberi anti konvulsan dan sebaiknya penderita
sewaktu menangani kasus rabies pada manusia, hendaknya dokter dan paramedis
memakai sarung tangan, kacamata dan masker, serta sebaiknya dilakukan fiksasi
a. Semua pasien yang dicurigai harus diisolasi dan di monitor dari perkembangan
b. Anjing atau kucing yang kelihatannya sehat yang menggigit atau mencakar
orang harus dimonitor selama periode 10 hari, jika tidak ada gejala kesakitan
terjadi pada hewan selama 10 hari, orang tersebut tidak terkena virus;
anjing/kucing tidak mengeluarkan virus lebih dari 3 hari sebelum gejala klinik
penyakit berkembang.
c. Anjing dan kucing yang tidak divaksin yang digigit hewan buas (gila) harus
(Anonim, 2008).
2.1.9.2 Pencegahan
a. Vaksin (anjing dan kucing) menurut rekomendasi standar dari peraturan dan
pemerintahan lokal semua anjing dan kucing yang potensial terkena divaksin
tahun dengan vaksin untuk 3 tahun, untuk kucing harus vaksin inaktif.
b. Negara bebas rabies : memasukkan anjing dan kucing harus dikarantina untuk
gunakan 1:32 larutan (4 ounces per gallon) dari pemutih pakaian untuk
2.2 LUKA
Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka adalah
kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain
luka yang harus diperhatikan menurut Taylor (1997) dalam Hartawinata (2010) yaitu:
2. Respon tubuh pada luka lebih efektif jika nutrisi yang tepat tetap dijaga.
5. Keutuhan kulit dan mukosa membran disiapkan sebagai garis pertama untuk
6. Penyembuhan normal ditingkatkan ketika luka bebas dari benda asing tubuh
termasuk bakteri.
Penyembuhan dalam luka akut terjadi sebagai proses berurutan dan tumpang
komponen matriks lainnya. Kegiatan ini tidak terjadi secara sembarangan melainkan
dalam skema yang diatur dengan hati-hati dan sistematis karena berkorelasi dengan
munculnya jenis sel yang berbeda dalam luka selama berbagai tahap proses
penyembuhan.
Proses-proses yang dipicu oleh cedera jaringan, melibatkan empat fase yang
ekstravasasi darah pada luka. Pembuluh darah yang cedera mengalami konstriksi dan
Trombosit yang terjebak dalam bekuan penting untuk hemostasis serta respon
1), epidermal growth factor (EGF), dan transforming growth factor-beta (TGF-β).
mengaktifkan fibroblast, sel endotel dan makrofag. Para trombosit juga mengandung
sebagai manifestasinya, yang lebih menonjol selama fase inflamasi. Scab (keropeng)
juga dibentuk dipermukaan luka. Bekuan dan jaringan mati, scab membantu
b Fase Inflamasi
Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3 – 4 hari. Tahap berikutnya
inisiasi proses molekular klasik yang mengarah ke infiltrasi luka dengan granulosit
atau leukosit polymorphonuclear (PMNLs). Sel-sel ini tertarik ke sisi luka dalam
waktu 24 hingga 48 jam dari cedera oleh sejumlah agen, termasuk melengkapi
komponen seperti C5a, trombosit, produk peptida formil-methionyl dari bakteri dan
mengangkat benda-benda asing dan jaringan yang mati. Suplai darah yang meningkat
penyembuhan. Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak.
Tempat ini ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama lebih kurang 24
jam setelah cidera/ luka. Makrofag ini menelan mikroorganisme dan sel debris
Respon inflamatori ini sangat penting bagi proses penyembuhan (Morison, 2004).
c. Fase Proliferatif
Fase kedua ini berlangsung dari hari ke-3 atau 4 sampai hari ke-21 setelah
luka mulai 24 jam pertama setelah pembedahan. Diawali dengan mensintesis kolagen
dan substansi dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi luka.
Kolagen adalah substansi protein yang menambah tegangan permukaan dari luka.
Jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan permukaan luka sehingga kecil
kemungkinan luka terbuka. Selama waktu itu sebuah lapisan penyembuhan nampak
kapilarisasi jaringan perlahan berwarna merah. Jaringan ini disebut granulasi jaringan
d. Fase Maturasi
Fase maturasi dimulai hari ke-21 dan berakhir 1-2 tahun setelah pembedahan.
struktur yang lebih kuat. Bekas luka menjadi kecil, kehilangan elastisitas dan
devitalisasi, krusta yang tebal, dan pus, memberi suhu, kelembaban, dan pH yang
ideal secara optimal untuk pertumbuhan sel yang berperan dalam proses
melindungi luka dari trauma lanjut dan mikroorganisme pathogen (Morison, 2004).
jenis ini kebanyakan didiami oleh mikroorganisme. Mikroorganisme itu sendiri akan
menampakkan tanda dan gejala infeksi seperti, pireksia, nyeri setempat, dan eritema,
edema local, eksudat berlebihan, pus, dan bau busuk. Untuk itu, perlu dilakukan
tindakan pencegahan infeksi sejak awal segera setelah terjadinya luka. Salah satu
cara paling sederhana adalah dengan membersihkan dan melakukan desinfeksi luka
(Morison, 2004).
Untuk mengurangi atau mematikan virus rabies yang masuk pada luka
gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan air (sebaiknya
air mengalir) dan sabun atau ditergent selama 10-15 menit, kemudian diberi
antiseptik (alkohol 70%, betadine, obat merah dan lain-lain). Meskipun pencucian
gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. Bila memang perlu
sekali untuk dijahit (jahitannya jahitan situasi), maka diberi Serum Anti Rabies
(SAR) sesuai dengan dosis, yang disuntikan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak
mungkin dan sisanya disuntikan secara intra muskuler. Disamping itu harus
dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian serum/ vaksin anti tetanus, anti biotik
1. Hidrogen peroksida.
kuat namun tidak mengiritasi jaringan hidup. Senyawa ini dapat diaplikasikan
sebagai antiseptik pada membrane mukosa. Kelemahan dari zat ini adalah harus
selalu dijaga kondisinya karena zat ini mudah mengalami kerusakan ketika
kehilangan oksigen. Perhidrol atau H2O2 secara kimia merupakan larutan yang
mempunyai kemampuan menjadi H2O dan melepas O2. Sediaan yang cukup aman
berupa sediaan H2O2 3% meskipun demikian masih ada rasa nyeri pada jaringan
dan menghilangkan bau pada luka terinfeksi, tetapi efeknya hanya berlangsung
dalam waktu singkat yaitu selama oksigen dibebaskan. Perhidrol (H2O2) 3%
merupakan oksidator yang kuat. Karena perhidrol merupakan oksidator yang kuat
pembunuh yang ampuh untuk bakteri anaerob, bakteri yang tidak suka oksigen,
karena dengan proses oksigenassi bakteri ini bisa mati (Darmadi, 2008).
2 H2O2 2 H2O + O2
2. Povodine Iodine
Iodine adalah element non metalik yang tersedia dalam bentuk garam yang
dikombinasi dengan bahan lain Walaupun iodine bahan non metalik iodine
berwarna hitam kebiru-biruan, kilau metalik dan bau yang khas. Iodine hanya
larut sedikit di air, tetapi dapat larut secara keseluruhan dalam alkohol dan larutan
sodium iodide encer. Iodide tinture dan solution keduanya aktif melawan spora
tergantung konsentrasi dan waktu pelaksanaan (Lilley & Aucker, 1999). Larutan
ini akan melepaskan iodium anorganik bila kontak dengan kulit atau selaput lendir
sehingga cocok untuk luka kotor dan terinfeksi bakteri gram positif dan negatif,
spora, jamur, dan protozoa. Bahan ini agak iritan dan alergen serta meninggalkan
iodine toksik terhadap sel (Thompson. J, 2000). Iodine dengan konsentrasi > 3 %
dapat memberi rasa panas pada kulit. Rasa terbakar akan nampak dengan iodine
ketika daerah yang dirawat ditutup dengan balutan oklusif kulit dapat ternoda dan
menyebabkan iritasi dan nyeri pada sisi luka (Lilley & Aucker, 1999).
3. Natrium Klorida
Sodium klorida adalah larutan fisiologis yang ada di seluruh tubuh karena
alasan ini tidak ada reaksi hipersensitivitas dari sodium klorida. Normal saline
aman digunakan untuk kondisi apapun (Lilley & Aucker, 1999). Sodium klorida
atau natrium klorida mempunyai Na dan Cl yang sama seperti plasma. Larutan ini
tidak mempengaruhi sel darah merah (Handerson, 1992). Sodium klorida tersedia
dalam beberapa konsentrasi, yang paling sering adalah sodium klorida 0,9 %. Ini
adalah konsentrasi normal dari sodium klorida dan untuk alasan ini sodium
klorida disebut juga normal saline (Lilley & Aucker, 1999). Merupakan larutan
isotonis aman untuk tubuh, tidak iritan, melindungi granulasi jaringan dari kondisi
kering, menjaga kelembaban sekitar luka dan membantu luka menjalani proses
Teknik pembalutan luka pada kasus gigitan HPR ini terdiri dari dua cara yaitu
1. Teknik Basah-Kering
Teknik: Basahi beberapa bagian dari kasa steril dengan cairan pembersih luka
dan peras sampai tidak keluar air. Kasa sebaiknya lembab dan tidak terlalu
basah. Kasa yang lembab ditempelkan pada luka. Selanjutnya ditambahkan kasa
arah kasa kering dan dapat mengangkat sisa cairan dan luka. Tipe balutan ini
juga bermanfaat menjaga kelembaban luka dan mengangkat kotoran yang sangat
melekat.
Cara penggunaan: Luka dibuka idealnya 3-4 hari. Luka yang masih kotor
diperlukan debridement ulang dan luka yang kotornya masih sedikit hanya
diperlukan pembersihan biasa dengan cairan NaCl. Ketika luka sudah bersih,
2. Teknik Basah-Basah
Indikasi: Untuk menjaga luka yang sudah bersih tetap bersih dan menjaga luka
sampai kasa terlalu basah, kondisi kasa hanya lembab saja. Letakkan kasa yang
lembab pada luka dan tutupi dengan kasa steril kering diatasnya. Kasa
Cara penggunaan: Idealnya luka dirawat setiap 2-3 hari. Jika balutan terlalu
kering atau kurang lembab, dapat diganti dengan kasa baru yang sudah
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Penatalaksanaan Kasus Rabies di IRD Triage RSUP Sanglah Denpasar
dilakukan dalam beberapa tahap yaitu pertolongan pertama, perawatan luka gigitan
Hewan Penular Rabies (HPR) serta pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) dan Serum
3.1.1 Pertolongan Pertama Kasus Gigitan HPR di IRD Triage RSUP Sanglah
Denpasar
terhadap kasus gigitan HPR pada pasien baru dilakukan pembersihan luka dengan air
mengalir dan sabun (detergen) selama 10-15 menit. Sedangkan pada pasien dengan
rujukan dari pusat pelayanan yang sudah dilakukan pembersihan luka tidak dilakukan
pembersihan ulang. Hal tersebut sudah sesuai dengan cara penatalaksanaan kasus
gigitan hewan penular rabies (HPR) yang dinyatakan oleh Depkes (2007) dan standar
penanganan rabies menurut WHO bahwa pertolongan pertama pada kasus gigitan
hewan penular rabies (HPR) adalah dicuci dengan air mengalir dan sabun selama 10-
15 menit.
3.1.2 Perawatan Luka Gigitan HPR di IRD RSUP Triage Sanglah Denpasar
Perawatan luka gigitan hewan penular rabies di IRD Triage RSUP Sanglah
1) Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya tusukan dari gigi/ taring
gigi hewan penular rabies yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang
kecil. Pada luka tusuk dilakukan explorasi dan membersihkan luka dengan
menit. Selanjutnya dibilas dengan Nacl sampai bersih tanpa ada sisa buih
dibasahi betadin 1% sampai menutupi lubang dari luka tusuk trus ditutup dengan
rabies yang merusak jaringan epidermis dari kulit. Luka gores cukup dibersihkan
lalu dibilas dengan Nacl selanjutnya dioles dengan betadin dan luka dirawat
terbuka.
3) Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ tubuh
biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian
ujung biasanya lukanya akan melebar. Pada luka tembus dilakukan explorasi dan
bersih tanpa ada sisa buih perhidrol. Luka yang luas dilakukan hecting situasi
dengan jarak renggang yang memungkinkan ada sirkulasi udara dengan udara
dibasahi betadin 1% sampai menutupi lubang dari luka tusuk lalu ditutup dengan
menggunakan larutan perhydrol karena untuk membersihkan luka gigitan HPR yang
pembunuh yang ampuh untuk bakteri anaerob, bakteri yang tidak suka oksigen,
adalah dengan melakukan pembilasan dan pencucian luka selama 15 menit dengan
menggunakan sabun dan air yang mengalir, deterjen, povidone iodine atau zat
lainnya yang dapat mematikan virus rabies. Jika sabun atau agen antivirus tidak
tersedia, luka harus dicuci dengan air secara seksama. Dan jika diperlukan hecting,
maka sebelumnya luka harus diberikan SAR dan hecting ditunda 15 menit pasca
pemberian SAR. Heacting pada kasus gigitan HPR dilakukan tidak terlalu rapat.
Dalam situasi tertentu, modifikasi terhadap prosedur dapat dilakukan dan dibenarkan.
Situasi tersebut termasuk paparan pada bayi atau penyandang cacat mental, serta
keadaan lain dimana terdapat riwayat paparan rabies dan bahan yang diperlukan tidak
dapat diperoleh, terutama di daerah di mana rabies adalah enzootic, meskipun hewan
tersebut dianggap sehat pada saat paparan. Hal tersebut juga dikemukakan oleh
Depkes RI (2007) penanganan luka gigitan HPR ialah dengan mencuci luka gigitan
dengan air mengalir dan sabun atau detergent selama 10-15 menit, kemudian diberi
antiseptik. Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijarit, kecuali jahitan situasi.
3.1.3 Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) dan Serum Anti Rabies (SAR) di
Vaksin Anti Rabies (VAR) pada kasus gigitan HPR diberikan bila terdapat
luka dan terkena kontaminasi saliva HPR. Sedangkan Serum Anti Rabies (SAR)
diberikan sebagai tambahan bila terjadi gigitan HPR pada luka yang terletak pada
dada, tangan, kepala, dan genetalia. Di IRD Triage Sanglah Denpasar tidak semua
ketidakmampuan pasien untuk membeli SAR. Hal tersebut tidak sesuai dengan
gigitan HPR di daerah berbahaya seperti : di atas bahu, ujung jari, selaput lender dan
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Pertolongan pertama terhadap kasus gigitan HPR di IRD Triage RSUP Sanglah
Denpasar adalah mencuci luka penderita dengan air mengalir dan sabun atau
detergen selama 10-15 menit. Hal tersebut sudah sesuai dengan pedoman dan
standar penanganan Rabies dari WHO dan pedoman dari Depkes (2007) yaitu
tentang pertolongan pertama pada kasus gigitan HPR dengan mencuci luka
penderita dengan air mengalir dan sabun atau detergen selama 10-15 menit. IRD
Triage RSUP Sanglah Denpasar telah memiliki protap penanganan kasus gigitan
HPR. Namun, protap tersebut tidak ditempatkan pada tempat yang mudah
2. Perawatan luka pada kasus gigitan HPR di IRD Triage RSUP Sanglah Denpasar
disesuaikan dengan karakteristik luka (luka gores, luka tusuk, dan luka tembus).
Hal tersebut sudah sesuai dengan standar penanganan luka gigitan HPR menurut
WHO dan Depkes RI (2007) yaitu mencuci luka gigitan dengan air mengalir dan
sabun atau detergent selama 10-15 menit, kemudian diberi antiseptik dengan
membunuh virus rabies di lokasi infeksi dengan bahan kimia. Luka gigitan tidak
menurut WHO dan Depkes (2007) tidak ada disebutkan penggunaan perhidrol
3. Pemberian VAR dan SAR pada kasus gigitan HPR di IRD Triage RSUP Sanglah
Denpasar berdasarkan lokasi gigitan pada tubuh. SAR diberikan jika luka gigitan
berada di daerah dada, tangan, kepala, dan genetalia, sedangkan VAR diberikan
bila gigitan HPR menimbulkan luka pada tubuh dan terkontaminasi saliva HPR.
Namun, pemberian SAR tidak dapat dilakukan sepenuhnya kepada pasien yang
4.2 Saran
1. Kepada Kepala Ruangan dan perawat IRD Triage RSUP Sanglah Denpasar
penanganan kasus gigitan HPR pada tempat yang mudah dilihat oleh petugas dan
mahasiswa yang praktik di IRD Triage RSUP Sanglah Denpasar. Serta petugas
dan mahasiswa diharapkan tetap melakukan perawatan kasus gigitan HPR sesuai
DAFTAR PUSTAKA
Anonym. 2011. Hari Rabies Sedunia Putus Rantai Penularan Dari Hewan Ke
Manusia. (online), (http://bataviase.co.id/node/397564, diakses tanggal 12
Januari 2011).
Prasetyo, Redy Joko. 2009. Faktor Kimia yang Mempengaruhi Adaptasi, (online),
(http://www.inforedia.com/2009/12/faktor-kimia-yang-mempengaruhi-
adaptasi.html, diakses tanggal 20 Januari 2011).
Semer, Nadine B. 2003. The Help Guide to Basic Wound Care, (online),
(www.global-HELP.org, diakses tanggal 20 Januari 2011).