DISUSUN OLEH :
SUSI JUNIATI RAJAGUKGUK
0302017021
1. DEFENISI
Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit hewan menular yang disebabkan
oleh virus dari genus Lyssavirus (dari bahasa Yunani Lyssa yang berarti mengamuk atau
kemarahan), bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat, hewan berdarah panas
dan manusia. Rabies berasal dari bahasa Latin “rabere” yang artinya marah, menurut
bahasa Sansekerta “rabhas” yang berarti kekerasan.
Bervariasinya masa inkubasi cepat atau lambat tergantung pada:
a. Dalam atau tidaknya luka bekas gigitan.
b. Luka tunggal atau jamak.
c. Dekat atau tidaknya luka gigitan dengan susunan saraf pusat (seperti luka yang terjadi
di daerah bahu ke atas mempunyai masa inkubasi yang lebih pendek).
d. Jumlah virus yang masuk ke tubuh.
5. PENATALAKSANAAN RABIES
Menurut Infodatin (2016), tatalaksana gigitan hewan penular rabies (GHPR) diantaranya:
a. Pencucian Luka
Pencucian luka merupakan langkah pertama yang sangat penting dalam tata laksana
kasus GHPR. Luka gigitan dicuci dengan air mengalir dan sabun/ detergen selama
10-15 menit.
b. Pemberian Antiseptik
Pemberian antiseptik (alkohol 70%, betadine, dll) dapat diberikan setelah pencucian
luka.
c. Tindakan Penunjang
Luka GHPR tidak boleh dijahit untuk mengurangi invasi virus pada jaringan luka,
kecuali luka yang lebar dan dalam yang terus mengeluarkan darah, dapat dilakukan
jahitan situasi untuk menghentikan perdarahan. Sebelum dilakukan jahitan luka,
harus diberikan suntukan infiltrasi SAR sebanyak mungkin di sekitar luka dan
sisanya diberikan secara intra muscular (IM).
DAFTAR PUSTAKA
(http://www.ichrc.org/16-gigitan-ular)
Nia Niasari, Abdul Latief, 2003. Gigitan Ular Berbisa. Sari Pediatri. Vol. 5, No. 3, Desember
2003: 92-98
Kemenkes RI (2016) Infodatin : Jangan Ada Lagi Kematian Akibat Rabies. Jakarta:
Pusdatin.
Rifai, Akhmad dan Tri Andriani Cholifah (2018) Perbedaan Antara Penanganan Luka
Snake Bite Dengan Insisi Terhadap Kecepatan Penurunan Pembengkakan Luka. Surakarta:
Jurnal Keperawatan 2018.
Ningrum, dan Kartika Eva (2015) Hubungan Pengetahuan Perawtan Tentang Gigitan
Ular Di Ruang Unit Gawat Darurat. Banjarmasin: Jurnal Stikes Suaka Insan.
KEJANG DEMAM
Menurut Sari Pediatri (2016), kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi
pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal lebih dari, 38oC) akibat suatu proses ekstra
kranial, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun. Setiap kejang kemungkinan
dapat menimbulkan epilepsi dan trauma pada otak, sehingga mencemaskan orang tua.
Pada saat mengalami kejang, anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat, kemudian
kaku, dan memutar matanya. Anak tidak responsif untuk beberapa waktu, nafas akan
terganggu, dan kulit akan tampak lebih gelap dari biasanya. Setelah kejang, anak akan
segera normal kembali.
Menurut Ria Indah (2019), kejang demam adalah kenaikan suhu tubuh yang
menyebabkan perubahan fungsi otak akibat perubahan potensial listrik serebral yang
berlebihan sehingga mengakibatkan renjatan berupa kejang.
5. MANIFESTASI KLINIK
Menurut Sefrizal (2017), Tanda dan gejala klien dengan kejang demam antara lain :
a. Suhu tubuh > 38⁰C.
b. Serangan kejang biasanya berlangsung singkat (kurang dari 15 menit).
c. Sifat bangkitan dapat berbentuk :
1) Tonik : mata ke atas, kesadaran hilang dengan segera, bila berdiri jatuh ke lantai
atau tanah, kaku, lengan fleksi, kaki/kepala/leher ekstensi, tangisan melengking,
apneu, peningkatan saliva.
2) Klonik : gerakan menyentak kasar pada saat tubuh dan ekstremitas berada pada
kontraksi dan relaksasi yang berirama, hipersalivasi, dapat mengalami
inkontinensia urin dan feses.
3) Tonik Klonik : Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum
pada otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung kurang dari 1
menit.
4) Akinetik : tidak melakukan gerakan.
d. Umumnya kejang berhenti sendiri, anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa
adanya kelainan saraf.
e. Saat kejang berlangsung kadang-kadang nafas dapat berhenti beberapa saat.
f. Warna kulit berubah pucat, bahkan dapat membiru dan bola mata naik keatas.
g. Gigi terkatup dan kadang disertai muntah.
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Krisanty (2009), Pemeriksaan penunjang untuk penyakit kejang demam ialah
a. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi untuk penyebab demam atau
kejang, pemeriksaan dapat meiliputi darah perifer lengkap, gula darah, elektrolitm
urinalisi, dan biakan darah, urin atau feses.
b. Pemeriksaan cairan serebrosphinal dilakukan untuk menegakan atau kemungkinan
terjadinya meningitis.
c. Pemeriksaan elektroenselografi (EEG) tidak direkomendasikan. Pemeriksaan ini
dapat dilakukan pada kejang demam yang tidak khas, misalnya kejang demam
kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun dan kejang demam fokal.
d. Pemeriksaan CT Scan dilakukan jika ada indikasi :
1) Kelainan neurologis fokal yang menetap atau kemungkinan adanya lesi
struktural di otak.
2) Terdapat tanda tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah berulang,
ubun-ubun menonjol, edema pupil.
DAFTAR PUSTAKA
Krisanty, paula. 2009. Buku Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta: EGC
Arifin Sefrizal. 2017. Asuhan Keperawatan pada anak kejang demam. Jurnal Fakultas Ilmu
Kesehatan UMP
Silvana Mamuaya. 2016. Pertolongan pertama dengan kejadian kejang demam pada anak. Jurnal
Sari Pediatri. 2016. Tata Laksana kejang demam pada anak. Jurnal Keperawatan Vol.4 No.2
September 2016
Ria Indah. 2019. Penyuluhan Kesehatan Menggunakan Media Video Terhadap Pengetahuan Ibu
dalam Pencegahan Kejang Demam Balita. Universitas Ponorogo. Jurnal Fakultas Ilmu
Kesehatan.
PEMASANGAN RESTRAIN
1. DEFENISI RESTRAIN
Restrain adalah suatu metode atau cara pembatasan atau restriksi yang disengaja
terhadap gerakan atau perilaku seseorang. Restrain dalam psikiatrik secara umum
mengacu pada suatu bentuk tindakan menggunakan tali untuk mengekang atau
membatasi gerakan ekstremitas individu yang berperilaku di luar kendali yang bertujuan
memberikan keamanan fisik dan psikologis individu (Sriyanti, 2016).
Restrain adalah bagian dari implementasi patient safety, karena bertujuan untuk
memberikan keamanan fisik, psikologis dan kenyamanan pasien (Mustaqin, 2018).
a. Pasien dengan perilaku amuk yang membahayakan diri sendiri, orang lain dan
lingkungan.
b. Pasien yang memiliki gangguan istirahat-tidur.
c. Pasien dengan penurunan kesadaran disertai gelisah.
d. Pasien dengan indikasi gangguan kejiwaan (gaduh gelisah).
d. Evaluasi
a. Tanyakan keadaan dan kenyamanan pasien setelah tindakan.
b. Observasi tanda kegelisahan yang menyebabkan gangguan istirahat-tidur.
DAFTAR PUSTAKA
Kasiati, dwi W. 2016. Praktikum kebutuhan dasar manusia 1. Pusdik SDM kesehatan
BILAS LAMBUNG
1. DEFENISI BILAS LAMBUNG
Bilas lambung (gastric lavage) adalah membersihkan lambung dengan cara
memasukan dan mengeluarkan air ke/dari lambung dengan menggunakan NGT (Naso
Gastric Tube). Menurut Smelltzer dan Bare (2001:2487), lavase lambung adalah aspirasi
isi lambung dan pencucian lambung dengan menggunakan selang lambung.
Menurut Smelltzer dan Bare (2001:2487), tujuan lavase lambung yaitu sebagai
berikut:
Deskripsi:
Lavage lambung adalah suatu tindakan mengirigasi atau membilas lambung.
Tujuan:
a. Membilas lambung pada keadaan kasus keracunan atau over dosis obat.
b. Mengontrol perdarahan saluran pencernaan bagian atas ketika intervensi lainnya tidak
dapat segera dilakukan.
Kontra indikasi :
Komplikasi :
DAFTAR PUSTAKA
STIKes Elisabeth Medan .2019. Panduan Praktikum Dasar Keperawatan dan Keperawatan
Dasar (DKKD). Medan.
Smeltzer, suzzane c. Dan bare, brenda g. 2001. Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta:
egc.
file:///D:/semester%206/Gadar%202%20-%20Bu%20murni/kumbah%20lambung/sop-kumbah-
lambung.pdf
https://alvivo23.wordpress.com/2012/06/04/standar-operasional-prosedur-bilas-lambung-gastric-
lavage//
1. PengertianElektrokardiogram
Elektrokardiogram merupakan alat diagnostik yang di gunakan untuk merekam aktifitas
listrik jantung.
2. Tujuan Pemasangan EKG
Pemsangan EKG di lakukan untuk mengetahui
a. Mengetahui kelainan irama jantung pasien.
b. Mengetahui kelainan Miokardium.
c. Mengetahui Efek penggunaan obat jantung.
d. Mengetahui terjadinya gangguan elektrolitpada pasien.
e. Mengetahui infeksi lapisan jantung.
2) Sinus Aritmia
Terdapat >3 irama ventrikuler dengan frekuensi 100-250 kali per menit
(kebanyakan di atas 120 kali per menit).
Kadang gelombang P nampak (tanda panah), tetapi tidak ada asosiasi dengan
kompleks QRS.
b. Frekuensi :
Frekuensi jantung pada orang dewasa normal antara 60 sampai 100 kali/menit.
Sinus takikardia ialah irama sinus dengan frekuensi jantung pada orang dewasa
lebih dari 100 kali/menit, pada anak-anak lebih dari 120 kali/menit dan pada bayi
lebih dari 150 kali/menit. Sinus bradikardia ialah irama sinus dengan frekuensi
jantung kurang dari 60 kali/menit.
Menghitung frekuensi jantung jika irama jantung tidak teratur yaitu dengan
cara mengitung jumlah kompleks QRS dalam 6 detik lalu dikalikan dengan
10.Contoh: dalam 6 detik (30 kotak kecil, pada gambar di bawah adalah antara 2
panah) didapatkan 13kompleks QRS lalu dikalikan 10 sehingga frekuensi jantung
adalah 130 kali/menit)
1. DEFENISI
Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis pengobatan somatik dimana
arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus
tersebut cukup menimbulkan kejang grand mal, yang darinya diharapkan efek yang
terapeutik tercapai. Mekanisme kerja ECT sebenarnya tidak diketahui, tetapi diperkirakan
bahwa ECT menghasilkan perubahan-perubahan biokimia didalam otak (Peningkatan
kadar norepinefrin dan serotinin) mirip dengan obat anti depresan. Menurut Kaplan &
Saddock (2017), umumnya terapi dilakukan 6-12 kali yang diberikan 2-3 kali seminggu.
2. PEMERIKSAAN ECT
Pada penanganan klien gangguan jiwa di Rumah Sakit baik kronik maupun pasien
baru biasanya diberikan psikofarmaka, psikotherapi, terapi modalitas yang meliputi terapi
individu, terapi lingkungan, terapi kognitif, terapi kelompok terapi perilaku dan terapi
keluarga. Biasanya pasien menunjukan gejala yang berkurang dan menunjukan
penyembuhan, tetapi pada beberapa klien kurang atau bahkan tidak berespon terhadap
pengobatan sehingga diberikan terapi tambahan yaitu ECT (Electro Convulsive Therapy).
3. INDIKASI
a. Gangguan afek yang berat: pasien dengan depresi berat atau gangguan bipolar, atau
depresi menunjukkan respons yang baik pada pemberian ECT (80-90% membaik
versus 70% atau lebih dengan antidepresan). Pasien dengan gejala vegetatif yang jelas
(seperti insomnia, konstipasi; riwayat bunuh diri, obsesi rasa bersalah, anoreksia,
penurunan berat badan, dan retardasi psikomotor) cukup bersespon.
b. Skizofrenia: skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe excited memberikan
respons yang baik dengan ECT. Tetapi pada keadaan schizofrenia kronik hal ini tidak
teralalu berguna.
Sedangkan menurut Stregiopoulou (2016), ECT menjadi pilihan pengobatan
pertama ataupun kedua.Seperti yang disebutkan sebelumnya banyak percobaan telah
dilakukan untuk menunjukkan indikasi ECT dan peralatan dalam psikiatri. ECT
dianggap sebagai terapi pilihan pertama dalam:
1) Episode depresif berat dan retardasi psikomotor berat (masalah yang berkaitan
dengan asupan makanan dan air dan pemburukan fisik pasien secara umum).
2) Depresi yang resisten terhadap pengobatan pada pasien, dengan kata lain
kegagalan untuk merespon dua siklus antidepresan trisiklik akibat dosis standar
yang berlangsung selama 6 minggu atau lebih.
3) Depresi stupor dan katatonik di mana pasien tetap tidak bergerak, tidak dapat
berbicara dan dengan sikap negatif.
ECT sebagai pengobatan pilihan kedua dalam:
1) Depresi berat pada pasien usia, dengan mempertimbangkan penyakit psikis karena
risiko terkait anestesi.
2) Kasus-kasus maniak utama, yang berhubungan dengan kasus-kasus yang
mengancam kehidupan kelelahan fisik dan tidak menanggapi terapi.
3) Pasien dengan skizofrenia di mana terapi clozapine tampaknya tidak memadai atau
tidak mungkin untuk dipatuhi.
4) Penyakit Parkinson dengan penurunan gejala kinetik.
Neuroleptic malignant syndrome (NMS) dengan morbiditas parah, mortalitas,
dan hasil yang kontradiktif.
Pasien dengan dementia dan depresi.
Down syndrome dan khususnya ketika artritis antlaaxonic stabil.
Pasien dengan kecacatan intelektual dan depresi dengan respons yang lebih
baik ketika fitur biologis atau psikotik hadir.
4. Kontraindikasi
a. Tumor intra kranial, karena dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
b. Kehamilan, karena dapat mengakibatkan keguguran.
c. Osteoporosis, karena dapat berakibat terjadinya fraktur tulang.
d. Infark Miokardium, karena dapat terjadi henti jantung.
e. Asthma bronchiale, dapat memperberat keadaan penyakit yang diderita.
5. Komplikasi
a. Amnesia (retrograd dan anterograd) bervariasi dimulai setelah 3-4 terapi berakhir 2-
3 bulan (tetapi kadang-.kadang lebih lama dan lebih berat dengan metode bilateral,
jumlah terapi yang semakin banyak, kekuatan listrik yang meningkat dan adanya
organik sebelumnya.
b. Sakit kepala, mual, nyeri otot.
c. Kebingungan.
d. Reserpin dan ECT diberikan secara bersamaan akan berakibat fatal
e. Fraktur jarang terjadi dengan relaksasi otot yang baik.
f. Suksinilkolin diperlama pada .keadaan defisiensi hati dan bisa menyebabkan
hipotonia.
6. Peran Perawat
Menurut ECT Handbook of Royal College (edisi ketiga) beberapa tugas perawat
selama sesi ECT pada dasarnya adalah untuk memberikan perawatan klinis lanjutan
sebelum, selama dan setelah prosedur ECT, mengurangi stres pasien melalui informasi
pasien yang memadai dan mendukung keluarga mereka selama proses keseluruhan.
Untuk mencapai tugas ini, seorang perawat harus memiliki pengetahuan penuh tentang
efek samping, indikasi dan kontraindikasi dari proses ECT. Namun pendidikan
keperawatan pada alat dan prosedur ECT adalah area yang tidak sepenuhnya ditangani
menurut Arkan, Byrne dan Wood. Jika perawat dilatih secara memadai agar secara
khusus mereka dapat memberikan umpan balik yang memadai kepada pasien, keluarga
dan tim ECT juga. Konsekuensinya, laporan menyeluruh dari terapi pilihan ECT,
stabilitas dan efek samping yang diberikan kepada perawat yang berspesialisasi dalam
ECT akan menjadi alat yang berguna untuk penilaian dan dokumentasi yang lebih baik
dari prosedur ECT (Stregiopoulou, 2016).
DAFTAR PUSTAKA
Agusman, F., Iswati, D. I., & Lestari, S. P. 2018. Pemahaman Keluarga tentang Tindakan ECT
Premedikasi di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah. Jurnal SMART
Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Karya Husada, Volume 5 Nomor
1, ISSN: 2502-5236, Halaman 20-29
Agustina, M. 2018. Pemberian Terapi Elektrokovulsif (ECT) terhadap Peningkatan Fungsi
Kognitif Klien Gangguan Jiwa. Jurnal Ilmiah Keperawatan Indonesia, Volume 8 Nomor
3, Halaman 443-449
http://www.neurotherapy.asia/eeg_brain_mapping.htm
Idrus, F. 2016. Electro Convulsive Therapy (ECT). Makassar: Universitas Hasanuddin
Nandinanti, I. K., Yaunin, Y., & Nurhajjah, S. 2015. Efek Electro Convulsive Therapy (ECT)
terhadap Daya Ingat Pasien Skizofrenia di RSJ Prof. HB. Sa’anin Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas, Volume 4 Nomor 3, Halaman 883-888
Stregiopoulou, A. 2016. Electroconvulsive Therapy Effect on Cognition and Memory and
Nurse’s Role. Perioperative Nursing, Volume 5 Issue 2 Page 103-112
1. DEFENISI AED
Automated External Defibrillator (AED) merupakan perangkat portabel yang
memberikan terapi listrik berfungsisebagai defibrillator eksternal otomatis yang
spontan(Hardisman, 2014). AED merupakan salah satu alat elektronik portabel
yangdigunakan secara otomatis dan dapat dibawa kemana saja,sehingga dapat
mempermudah mendiagnosa aritmia jantung yangmengancam jiwa pada seseorang yang
hilang kesadaran akibatberhentinya detak jantung beberapa saat sehingga jantung
tidakdapat memberikan pasokan oksigen ke otak.
Defibrilasi adalah stimulator detak jantung yangmenggunakan listrik secara
asinkron dengan tegangan tinggi,tindakan ini dilakukan karena tidak ada nya VF atau VT,
yangbermanfaat untuk mengembalikan irama listrik jantung yangterorganisasi dan
sirkulasi spontan (Hardisman, 2014).Pemberian defibrillasi selama lima menit bermanfaat
untukmengembalikan irama jantung menjadi normal (Capucci,2011).
2. INDIKASI AED
Gunakan AED ketika korban yang diduga menderita serangan jantung memiliki gejala
kekurangan sirkulasi darah, yang ditandai dengan:
a. Tidak sadarkan diri.
b. Tidak adanya pernapasan normal.
c. Tidak ada sirkulasi atau Tidak adanya denyut atau tanda-tanda peredaran darah.
3. KONTRAINDIKASI AED
Kontraindikasi Penggunaan Jangan gunakan AED Plus jika korban:
a. Dalam keadaan sadar.
b. Sedang bernapas.
c. Memiliki denyut yang terdeteksi atau tanda-tanda lain adanya sirkulasi darah.
DAFTAR PUSTAKA
Is, W., Aed, A. N., & Fibrillation, V. (n.d.). AED : Overview. 4–7.
Pembelajaran, T., Bahasa, P., Penyelamatan, S., & Kontak, I. (2013). AED Pelatih ini
menyimulasikan fungsi dari beberapa AED model Cardiac Science. 1–14.
Putri, I. A. O. C., & Sidemen, I. G. P. S. (2017). Bantuan Hidup Dasar. FK Udayana, 46(6), 20.