Anda di halaman 1dari 41

RESUME MATERI KELOMPOK

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT 2

DISUSUN OLEH :
SUSI JUNIATI RAJAGUKGUK
0302017021

DOSEN PEMBIMBING : JAGENTAR PANE S. Kep., N.s. M. Kep

PROGRAM STUDI NERS TAHAP AKADEMIK


STIKes SANTA ELISABETH MEDAN
2020
GIGITAN HEWAN

1. DEFENISI
Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit hewan menular yang disebabkan
oleh virus dari genus Lyssavirus (dari bahasa Yunani Lyssa yang berarti mengamuk atau
kemarahan), bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat, hewan berdarah panas
dan manusia. Rabies berasal dari bahasa Latin “rabere” yang artinya marah, menurut
bahasa Sansekerta “rabhas” yang berarti kekerasan.
Bervariasinya masa inkubasi cepat atau lambat tergantung pada:
a. Dalam atau tidaknya luka bekas gigitan.
b. Luka tunggal atau jamak.
c. Dekat atau tidaknya luka gigitan dengan susunan saraf pusat (seperti luka yang terjadi
di daerah bahu ke atas mempunyai masa inkubasi yang lebih pendek).
d. Jumlah virus yang masuk ke tubuh.

2. CARA PENYEBARAN RABIES


Rabies merupakan penyakit virus menular yang disebabkan oleh virus dari Family
Rhabdoviridae dan Genus Lyssavirus. Virus rabies mempunyai bentuk menyerupai
peluru dan tersusun atas RNA, protein, lemak, dan karbohidrat. Virus ini berukuran
panjang antara 150-260 nm, lebar 100-130 nm, diameter 75 nm. Pada permukaannya
terdapat bentuk-bentuk paku (spikes) dengan ukuran panjang 9 nm. Virus rabies dapat
menginfeksi hewan berdarah panas serta manusia dan menyebabkan kerusakan pada
sistem saraf pusat. Hewan berdarah panas yang dapat tertular rabies antara lain yaitu
anjing, kucing, kelelawar penghisap darah, rakun, dan sapi. Hewan pembawa rabies
(HPR) yang paling banyak menularkan rabies ke manusia dan hewan lainnya adalah
anjing (Menezes, 2018).

3. TANDA-TANDA PENYAKIT RABIES PADA HEWAN


Menurut Kemenkes RI (2019) tanda-tanda penyakit rabies pada hewan sangat
bervariasi, diantaranya:
a. Adanya perubahan tingkah laku seperti mencari tempat yang dingin dan menyendiri.
b. Bersifat agresif atau menggigit benda-benda yang bergerak termasuk terhadap
pemilik.
c. Pica (memakan benda-benda yang seharusnya tidak menjadi makanannya),
d. Hiperseksual.
e. Mengeluarkan air liur berlebihan.
f. Inkoordinasi.
g. Kejang-kejang.
h. Paralisis/lumpuh dan akan mati dalam waktu 14 hari namun umumnya mati saat 2-5
hari setelah tanda-tanda itu terlihat.

4. GAMBARAN KLINIS RABIES


Gejala Klinis Rabies Pada Manusia
a. Stadium Prodromal
Gejala-gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri ditenggorokkan
selama beberapa hari.
b. Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka,
kemudian disusul reaksi yang berlebihan terhadap rangsang sensorik.
c. Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot dan aktivitas simpatis menjadi meninggi dengan gejala hiperhidrosis
(keringat berlebihan), hipersalivasi, hiperlakrimasi dan dilatasi pupil. Pada stadium
ini penyakit mencapai puncaknya dengan timbulnya bermacam-macam fobia, apnoe,
sianosis, takikardia, penderita menjadi maniakal juga terjadi pada stadium ini.
d. Stadium Paralisis
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam staduim eksitasi. Kadang-kadang
ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis/ kelumpuhan
otot-otot yang bersifat progresif.

5. PENATALAKSANAAN RABIES
Menurut Infodatin (2016), tatalaksana gigitan hewan penular rabies (GHPR) diantaranya:
a. Pencucian Luka
Pencucian luka merupakan langkah pertama yang sangat penting dalam tata laksana
kasus GHPR. Luka gigitan dicuci dengan air mengalir dan sabun/ detergen selama
10-15 menit.
b. Pemberian Antiseptik
Pemberian antiseptik (alkohol 70%, betadine, dll) dapat diberikan setelah pencucian
luka.
c. Tindakan Penunjang
Luka GHPR tidak boleh dijahit untuk mengurangi invasi virus pada jaringan luka,
kecuali luka yang lebar dan dalam yang terus mengeluarkan darah, dapat dilakukan
jahitan situasi untuk menghentikan perdarahan. Sebelum dilakukan jahitan luka,
harus diberikan suntukan infiltrasi SAR sebanyak mungkin di sekitar luka dan
sisanya diberikan secara intra muscular (IM).

6. PEMBERIAN VAR DAN SAR


Pemberian VAR dan SAR ditentukan menurut kategori luka gigitan dan kondisi
hewan penggigitnya. Untuk kontak (dengan liur atau saliva hewan rabies atau penderita
rabies) tetapi tidak ada luka, maka tidak perlu diberikan VAR namun perlu melihat
kondisi hewan penggigitnya. Sedangkan pada kasus luka risiko tinggi harus diberikan
VAR dan SAR.
Menurut WHO dan CDC (Centers for Disease Control and Prevention), sekali
gejala rabies muncul, hampir pasti kecil peluang penyembuhannya secara statistik. Maka
dari itu, segera cuci luka setelah di gigit hewan penular rabies dan mendatangi fasilitas
kesehatan yang biasa menangani kasus gigitan HPR sebaiknya jangan tunggu hingga
muncul gejala.

7. KEBIJAKAN PENGENDALIAN RABIES DI INDONESIA


Adapun upaya yang telah dilakukan Kementerian Kesehatan dalam penanganan
rabies di Indonesia adalah menyediakan vaksin anti rabies dan refrigerator, menyediakan
media KIE, peningkatan kapasitas pengendalian rabies.
Prioritas kegiatan :
a. Penurunan kematian akibat rabies melalui penanganan kasus GHPR dengan
pembentukan/optimalkan rabies center.
b. Surveilans epidemiologi terpadu.
c. Meningkatkan akses masyarakat ke fasilitas pelayanan kesehatan.
d. Kerja sama lintas sektor.
e. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petugas.
f. Penyuluhan kepada masyarakat melalui berbagai media dan berbagai kesempatan.
g. Pemenuhan kebutuhan logistik.

8. MANIFESTASI KLINIS GIGITAN ULAR


Ular berbisa yang menggigit melakukan envenomasi (gigitan yang menginjeksikan
bisa atau racun), bisa ular melewati kelenjar bisa melalui sebuah duktus menuju taring
ular, dan akhirnya menuju mangsanya. Bisa ular mengandung berbagai enzim. Enzim
yang dikeluarkan ini antara lain hialuronidase, fosfolipase A dan berbagai proteinase
yang menyebabkan kerusakan jaringan. Bisa ular menyebar dalam tubuh melalui saluran
kapiler dan limfatik superfisial (Sartono,2015).
tanda dan gejala umum yang terjadi ketika seseorang mengalami gigitan ular adalah:
a. Syok.
b. Muntah dan sakit kepala.
c. Pembengkakan lokal yang perlahan meluas dari tempat gigitan.
d. Perdarahan eksternal: gusi, luka dan perdarahan internal: intrakranial.
e. Tanda neurotoksisitas : kesulitan bernapas atau paralisis otot pernapasan, ptosis,
palsibulbar (kesulitan menelan dan berbicara), kelemahan ekstremitas.
f. Tanda kerusakan otot : nyeri otot dan urin menghitam.

9. PENATALAKSANAAN GIGITAN ULAR


Pertolongan pertama ketika seseorang terkena gigitan ular adalah :
a. Lakukan pembebatan pada ekstremitas proksimal jejas gigitan untuk mengurangi
penjalaran dan penyebaran bisa. Jika gigitan berasal dari ular dengan bisa
neurotoksik, balut dengan ketat pada ekstremitas yang tergigit.
b. Lakukan pembersihan luka.
c. Jika terdapat salah satu tanda dan gejala gigitan ular, maka segera bawa ke tempat
pelayanan kesehatan terdekat untuk diatasi dan diberikan antibisa.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU SAKU PETUNUJUK TEKNIS PENATALAKSANAAN KASUS GIGITAN HEWAN


PENULAR RABIES DI INDONESIA hlm 1-25. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia 2016

BUKU SAKU PELAYANAN KESEHATAN ANAK DI RUMAH SAKIT. 2016

(http://www.ichrc.org/16-gigitan-ular)

Nia Niasari, Abdul Latief, 2003. Gigitan Ular Berbisa. Sari Pediatri. Vol. 5, No. 3, Desember
2003: 92-98

Kemenkes RI (2016) Infodatin : Jangan Ada Lagi Kematian Akibat Rabies. Jakarta:
Pusdatin.

Purwanda, Dedi dan Ahyana (2016) Pengetahuan Pelaksanaan Gigitan Hewan


Mahasiswa Keperawatan Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh: Jurnal Keperawatan.

Rifai, Akhmad dan Tri Andriani Cholifah (2018) Perbedaan Antara Penanganan Luka
Snake Bite Dengan Insisi Terhadap Kecepatan Penurunan Pembengkakan Luka. Surakarta:
Jurnal Keperawatan 2018.

Ningrum, dan Kartika Eva (2015) Hubungan Pengetahuan Perawtan Tentang Gigitan
Ular Di Ruang Unit Gawat Darurat. Banjarmasin: Jurnal Stikes Suaka Insan.
KEJANG DEMAM

1. DEFENISI KEJANG DEMAM

Menurut Sari Pediatri (2016), kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi
pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal lebih dari, 38oC) akibat suatu proses ekstra
kranial, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun. Setiap kejang kemungkinan
dapat menimbulkan epilepsi dan trauma pada otak, sehingga mencemaskan orang tua.
Pada saat mengalami kejang, anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat, kemudian
kaku, dan memutar matanya. Anak tidak responsif untuk beberapa waktu, nafas akan
terganggu, dan kulit akan tampak lebih gelap dari biasanya. Setelah kejang, anak akan
segera normal kembali.
Menurut Ria Indah (2019), kejang demam adalah kenaikan suhu tubuh yang
menyebabkan perubahan fungsi otak akibat perubahan potensial listrik serebral yang
berlebihan sehingga mengakibatkan renjatan berupa kejang.

2. ANGKA KEJADIAN KEJANG DEMAM


Menurut Ria Indah (2019), berdasarkan data WHO 2016 kejang demam 80% terjadi
di negara-negara miskin dan 3,5-10,7% terjadi di negara maju. Kejang demam terjadi
pada 2-4% anak berumur 6 bulan- 5 tahun. Kejadian kejang demam di Amerika serikat,
Amerika Selatan, dan Eropa barat diperkirakan 2-4% dari seluruh kelainan neurologis
pada anak. Angka kejadian demam di Asia dilaporkan lebih tinggi dansekitar 80 sampai
90% dari seluruh kejang demam sederhana tahun 2018.
Di Indonesia dilaporkan angka kejadian kejang demam 3-4% yakni pada tahun
2014-2016 dari anak yang berusia 6 bulan – 5 tahun (Wibisono, 2018). Di Jawa Timur
terdapat 2-3% dari 100 balita pada tahun 2013-2015 anak yang mengalami kejang demam
(Juanita, 2016).

3. KLASIFIKASI KEJANG DEMAM


Menurut Ngatiyah (1997), Klasifikasi kejang demam adalah :
a. Kejang demam sederhana : yaitu kejang berlangsung kurang dari 15 menit dan
umum. Adapun pedoman untuk mendiagnosa kejang demam sederhana dapat
diketahui melalui criteria Livingstone, yaitu :
 Berlangsung singkat (kurang dari 15 menit)
 Umur anak ketika kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun
 Kejang bersifat umum
 Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbul demam
 Kejang hanya terjadi sekali / tidak berulang dalam 24 jam.
 Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
b. Kejang kompleks :
Kejang kompleks adalah tidak memenuhi salah satu lebih dari ketujuh criteria
Livingstone. biasanya Kejang kompleks ditandai dengan kejang yang berlangsung
lebih dari 15 menit, fokal atau multiple ( lebih dari 1 kali dalam 24jam). Di sini anak
sebelumnya dapat mempunyai kelainan neurology atau riwayat kejang dalam atau
tanpa kejang dalam riwayat keluarga (Mansyur, 2000: 434).
Ciri-cirinya adalah :
 Berlangsung lama (lebih dari 15 menit)
 Usia kejang demam pertama lebih dari 6 tahun
 Kejang berulang/multipel atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
 Frekuensi serangan kejang lebih dari 4 kali dalam setahun

4. ETIOLOGI KEJANG DEMAM


Menurut Sari Pediatri (2016), Penyebab Febrile Convulsion hingga kini belum
diketahui dengan Pasti, demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas,
otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu
tinbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang demam yang tidak begitu tinggi dapat
menyebabkan kejang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadi kejang demam :
a. Umur.
b. Kenaikan suhu tubuh biasanya berhubungan dengan penyakit saluran nafas bagian
atas, radang telinga tengah, radang paru-paru, gastroenteritis, dan infeksi saluran
kemih. Kejang dapat pula terjadi pada bayi yang mengalami kenaikan suhu sesudah
vaksinasi terutama vaksin pertusis.
c. Faktor genetic.
d. Gangguan sistem saraf pusat sebelum dan sesudah lahir.

5. MANIFESTASI KLINIK
Menurut Sefrizal (2017), Tanda dan gejala klien dengan kejang demam antara lain :
a. Suhu tubuh > 38⁰C.
b. Serangan kejang biasanya berlangsung singkat (kurang dari 15 menit).
c. Sifat bangkitan dapat berbentuk :
1) Tonik : mata ke atas, kesadaran hilang dengan segera, bila berdiri jatuh ke lantai
atau tanah, kaku, lengan fleksi, kaki/kepala/leher ekstensi, tangisan melengking,
apneu, peningkatan saliva.
2) Klonik : gerakan menyentak kasar pada saat tubuh dan ekstremitas berada pada
kontraksi dan relaksasi yang berirama, hipersalivasi, dapat mengalami
inkontinensia urin dan feses.
3) Tonik Klonik : Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum
pada otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung kurang dari 1
menit.
4) Akinetik : tidak melakukan gerakan.
d. Umumnya kejang berhenti sendiri, anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa
adanya kelainan saraf.
e. Saat kejang berlangsung kadang-kadang nafas dapat berhenti beberapa saat.
f. Warna kulit berubah pucat, bahkan dapat membiru dan bola mata naik keatas.
g. Gigi terkatup dan kadang disertai muntah.

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Krisanty (2009), Pemeriksaan penunjang untuk penyakit kejang demam ialah
a. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi untuk penyebab demam atau
kejang, pemeriksaan dapat meiliputi darah perifer lengkap, gula darah, elektrolitm
urinalisi, dan biakan darah, urin atau feses.
b. Pemeriksaan cairan serebrosphinal dilakukan untuk menegakan atau kemungkinan
terjadinya meningitis.
c. Pemeriksaan elektroenselografi (EEG) tidak direkomendasikan. Pemeriksaan ini
dapat dilakukan pada kejang demam yang tidak khas, misalnya kejang demam
kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun dan kejang demam fokal.
d. Pemeriksaan CT Scan dilakukan jika ada indikasi :
1) Kelainan neurologis fokal yang menetap atau kemungkinan adanya lesi
struktural di otak.
2) Terdapat tanda tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah berulang,
ubun-ubun menonjol, edema pupil.

7. PENATALAKSANAAN KEJANG DEMAM


Menurut Wibisono (2018), Penatalaksanaan kejang demam pada kegawatdaruratan :
a. Primary Survey :
1) Airway : Kaji apakah ada muntah, perdarahan, benda asing dalam mulut seperti
lendir dan dengarkan bunyi nafas.
2) Breathing : kaji kemampuan bernafas klien
3) Circulation : nilai denyut nadi
4) Menilai koma (coma = C) atau kejang (convulsion = C) atau kelainan status
mental lainnya
Apakah anak koma? Periksa tingkat kesadaran dengan skala AVPU:
A : sadar (alert)
V : memberikan reaksi pada suara (voice)
P : memberikan reaksi pada rasa sakit (pain)
U : tidak sadar (unconscious).
Tindakan primer dalam kegawatdaruratan dengan kejang demam adalah :
1) Baringkan klien pada tempat yang rata dan jangan melawan gerakan klien saat
kejang.
2) Bila klien muntah miringkan klien untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan.
3) Bebaskan jalan nafas dengan segera :
 Buka seluruh pakaian klien.
 Pasang spatel atau gudel/mayo (sesuaikan ukuran pada anak).
 Bersihkan jalan nafas dari lendir dengan suction atau manual dengan cara
finger sweep dan posisikan kepala head tilt-chin lift (jangan menahan bila
sedang dalam keadaan kejang).
4) Oksigenasi segera secukupnya.
5) Observasi ketat tanda-tanda vital.

DAFTAR PUSTAKA

Krisanty, paula. 2009. Buku Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta: EGC

Arifin Sefrizal. 2017. Asuhan Keperawatan pada anak kejang demam. Jurnal Fakultas Ilmu

Kesehatan UMP

Silvana Mamuaya. 2016. Pertolongan pertama dengan kejadian kejang demam pada anak. Jurnal

Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar

Sari Pediatri. 2016. Tata Laksana kejang demam pada anak. Jurnal Keperawatan Vol.4 No.2

September 2016

Ria Indah. 2019. Penyuluhan Kesehatan Menggunakan Media Video Terhadap Pengetahuan Ibu

dalam Pencegahan Kejang Demam Balita. Universitas Ponorogo. Jurnal Fakultas Ilmu

Kesehatan.
PEMASANGAN RESTRAIN

1. DEFENISI RESTRAIN

Restrain adalah suatu metode atau cara pembatasan atau restriksi yang disengaja
terhadap gerakan atau perilaku seseorang. Restrain dalam psikiatrik secara umum
mengacu pada suatu bentuk tindakan menggunakan tali untuk mengekang atau
membatasi gerakan ekstremitas individu yang berperilaku di luar kendali yang bertujuan
memberikan keamanan fisik dan psikologis individu (Sriyanti, 2016).

Restrain adalah bagian dari implementasi patient safety, karena bertujuan untuk
memberikan keamanan fisik, psikologis dan kenyamanan pasien (Mustaqin, 2018).

2. TUJUAN PEMASANGAN RESTRAIN

Restrain adalah bagian dari implementasi keselamatan pasien, maka tujuannya


adalah untuk:

a. Untuk memberikan keamanan fisik dan psikologis bagi individu tersebut.


b. Untuk memberikan keamanan dan kenyamanan pasien.
c. Menghindari hal-hal yang membahayakan pasien selama pemberian asuhan
keperawatan.
d. Memberi perlindungan kepada pasien dari kecelakaan (jatuh dari tempat tidur)
e. Membantu pasien dalam proses istirahat-tidur.

3. JENIS - JENIS RESTRAIN

a. Jaket pengekang / camisole


b. Tali pergelangan tangan atau kaki / manset

4. INDIKASI PEMASANGAN RESTRAIN

Adapun sasaran atau indikasi dalam pemasangan restrain ini adalah :

a. Pasien dengan perilaku amuk yang membahayakan diri sendiri, orang lain dan
lingkungan.
b. Pasien yang memiliki gangguan istirahat-tidur.
c. Pasien dengan penurunan kesadaran disertai gelisah.
d. Pasien dengan indikasi gangguan kejiwaan (gaduh gelisah).

5. KONTRAINDIKASI PEMASANGAN RESTRAIN

Adapun kontraindikasi dalam pemasangan restrain ini adalah:

a. Tidak mendapat izin tertulis dari keluarga pasien


b. Pasien tidak kooperatif
c. Pasien memiliki komplikasi kondisi fisik atau mental

6. STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PEMASANGAN RESTRAIN


a. Persiapan Pasien
Mengatur posisi pasien senyaman mungkin.
b. Persiapan Lingkungan
Lingkungan yang tenang, pasang palang tempat tidur.
c. Langkah Prosedur
1) Siapkan restrain sesuai jenis pengikatan yang akan dilakukan.
2) Jelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai:
 Tujuan pemasangan restrain
 Perawatan yang akan diberikan
 Lama pemasangan
3) Ajukan informed consent tindakan kepada pasien/keluarga sebelum tindakan.
4) Tutup tirai dan naikkan palang tempat tidur.
5) Cuci tangan.
6) Atur ekstremitas pasien dalam posisi anatomis.
7) Lindungi bagian tulang yang menonjol menggunakan kapas atau bantalan lembut
lainnya.
8) Lakukan pengikatan pada pergelangan tangan atau kaki, dan pastikan bahwa
ikatan tidak terlalu kuat dan tidak terlalu longgar (sisipkan 2 jari disela-sela
restrain).
9) Buat ikatan/simpul yang nantinya mudah dilepas oleh perawat (bukan ikatan
mati).
10) Ikatkan ujung restrain pada bagian tempat tidur yang memudahkan pasien untuk
menggerakkan tangan dan kakinya, dan pastikan ikatan tidak dapat dijangkau
pasien.
11) Lepaskan restrain sekurang-kurangnya tiap 2 jam atau sesuai dengan aturan
rumah sakit dan kebutuhan pasien serta gerak-gerakkan pergelangan tangan.
12) Selama pengikatan, lakukan hal-hal berikut:
 Periksa tanda-tanda penurunan sirkulasi atau gangguan integritas kulit.
 Setelah ikatan dilepas, lakukan latihan pergerakan sendi.
 Observasi tanda-tanda gangguan sensori, yaitu: tidur yang berlebihan, cemas,
panik dan halusinasi.
13) Cuci tangan dengan prinsip bersih.
14) Catat/ dokumentasikan hal-hal berikut:
 Alasan pemasangan restrain
 Tindakan alternatif yang diberikan sebelum pemasangan, waktu pemasangan
dan waktu pelepasan.
 Hasil pengkajian untuk seiap shift

d. Evaluasi
a. Tanyakan keadaan dan kenyamanan pasien setelah tindakan.
b. Observasi tanda kegelisahan yang menyebabkan gangguan istirahat-tidur.

DAFTAR PUSTAKA

Kasiati, dwi W. 2016. Praktikum kebutuhan dasar manusia 1. Pusdik SDM kesehatan

Manohar, R. 2008. Manual Of Operations Restraints policy.

BILAS LAMBUNG
1. DEFENISI BILAS LAMBUNG
Bilas lambung (gastric lavage) adalah membersihkan lambung dengan cara
memasukan  dan mengeluarkan air ke/dari lambung dengan menggunakan NGT (Naso
Gastric Tube). Menurut Smelltzer dan Bare (2001:2487), lavase lambung adalah aspirasi
isi lambung dan pencucian lambung dengan menggunakan selang lambung.
Menurut Smelltzer dan Bare (2001:2487), tujuan lavase lambung yaitu sebagai
berikut:

a. untuk pembuangan urgen substansi dalam upaya menurunkan absorpsi sistemik;


b. untuk mengosongkan lambung sebelum prosedur endoskopik;
c. untuk mendiagnosis hemoragi lambung dan menghentikan hemoragi.

1) Indikasi membilas lambung :


a. Keracunan obat.
b. Keracunan zat kimia.
c. Keracunan makanan.
d. Hematemesis.
e. Untuk mengosongkan lambung sebelum prosedur endoskopik.
2) Kontrai ndikasi dilakukannya bilas lambung yaitu:
a. Keracunan oral lebih dari 4 jam;
b. Pasien keracunan bahan toksik yang tajam dan terasa membakar (resiko perforasi
esophageal) serta keracunan bahan korosif (misalnya: hidrokarbon, pestisida,
hidrokarbon aromatic, halogen);
c. Pasien yang menelan benda asing yang tajam;
d. Pasien tanpa gangguan reflex atau pasien dengan pingsan (tidak sadar)
membutuhkan intubasi sebelum bilas lambung untuk mencegah inspirasi.

2. SOP KUMBAH LAMBUNG

Deskripsi:
Lavage lambung adalah suatu tindakan mengirigasi atau membilas lambung.

Tujuan:

a. Membilas lambung pada keadaan kasus keracunan atau over dosis obat.
b. Mengontrol perdarahan saluran pencernaan bagian atas ketika intervensi lainnya tidak
dapat segera dilakukan.

Kontra indikasi :

a. Pada perdarahan system pencernaan ,irigasi dapat menyebabkan bekuan pada


pembuluh darah terlepas sehingga terjadi perdarahan lebih lanjut dan berakhirsyok.
b. Pada klien yang mengalami gangguan reflex menelan karena risiko aspirasi terjadi jika
klien muntah selama lavage (perlu intubasi ett terlebih dahulu).
c. Pada klien yang menelan zat korosif (asam kuat atau asam basa kuat) seperti ammania
atau asam mineral karena dapat menyebabkan perforasi yang membahayakan
esophagus.
d. Pada klien yang menelan benda tajam masih menjadi kontroversi mengenai
penggunaan esatau larutan saline yang dingin sebagai cairan lavage dengan alasan
bahwa larutan es / saline menyebabkan vasokontriksi local sehingga perdarahan
berkurang dan terbentuknya bekuan darah sedangkan di sisi lain suhu dingin dapat
merangsang produksi asaml ambung sehingga menyebabkan irigasi gaster.

Komplikasi :

a. Sinus bradikardi akibat refle vagal.


b. Aspirasi cairan gasterkeparu-paru.
c. Perforasi padavarises esophagus.
d. Hipotermia sistemik jika lavage diberikan untuk jangka waktu lama atau cairan.
irigasi dingin yang diberikan dalam jumlah banyak.
e. Gangguan keseimbangan elektrolit karena jumlah besar cairan yang diberikan
merupakan larutan non isotonic.
Komponen Rasional
A Pengkajian Memastikan prosedur yang akan dilakukan
 Periksa kembali program sebagai data dasar untuk evaluasi
medic,tujuan dan jenis irigasi yang
digunakan Mencegah aspirasi gigi kedalam saluran
 Kaji distensi atau keluhan nyeri pernafasan
abdomen
 Kaji bising usus dan kemampuan
untuk flatus
 Kaji tanda-tanda vital
 Kaji kondisi rongga mulut dan
keutuhan gigi geligi. Bila ada gigi
palsu,cabut gigi.
B Diagnosa keperawatan
 Resiko tinggi aspirasi berhubungan
dengan muntah
 Resiko tinggi kurang volume cairane
lektrolit berhubungan dengan
penggunaan cairan lavage non
isotonic
C Pelaksanaan
Persiapan alat :
 Lihat prosedur pemasangan ngt
 Spuit 50cc atau corong
 Normal saline solution untuk irigasi
Persiapan klien :
 Lihat prosedur pemasangan ngt
D Pelaksanaan  Miringkan ke kiri meyebabkan isi
 Lihat prosedur pemasangan ngt gaster terkumpul dan mencegah
 Setelah ngt terpasang dengan tepat, cairan lavage masuk ke dalam
miringkan klien kekiri dengan kepala duodenum
direndahkan ± 15 derajat (left  Jumlah cairan irigasi yang terlalu
trendelenburg) banyak dapat menyebabkan
 Masukkan larutan normal saline regurgitasi atau aspirasi atau
hangat kedalam irrigator/corong mendorong isi lambung ke
sebanyak 150-200 ml duodenum
 Atur ketinggian corongdiatas kepala  Cairan hangat mencegah hipotermi
klien.cairan irigasi jangan didorong dan membantu efektifitas
dan biarkan mengalir menurut gaya pengosongan lambung
gravitasi.  Gaya gravitasi menyebabkan cairan
 Rendahkan posisi ngt untuk masuk kedalam lambung.dorongan
mengalirkan isi gester keluar ke piala dapat menimbulkan iritasi lambung
ginjal/kom muntah dan distensi abdomen.
 Pastikan bahwa cairan yang masuk  Cairan akan keluar dengan bebas
sama dengan cairan yang keluar dan mengalir mengikuti gaya
 Ulangi prosedur tersebut beberapa gravitasi
kali  Cairan yang masuk sama dengan
sampaiperdarahanberhentidancairanje cairan yang keluar untuk
rnih menghindari distensi abdomen dan
 Tetap alirkan cairan dan terus amati muntah
sampai tidak ada cairan dari lambung  Tindakan ini biasanya memerlukan
yang keluar kembali.lalu ngt diklem cairan irigasi sebanyak 2
atau dilepaskan sesuai pesanan liter.beberapa dokter dapat
medic. memberikan 5-10 liter
 Mencegah terjadinya aspirasi
E Evaluasi
 Kaji kedudukan pipa lambung bila
NGT masih digunakan Waspada terjadinya reflek vagal yang dapat
 Kaji keluhan klien akan rasa tidak menurunkan denyut jantung klien
nyaman atau nausea
 Inspeksi warna,volume dan
karakteristik cairan NGT
 Kaji tanda-tanda vital klien setiap 15
menit dan tingkat kesadaran klien
F Dokumentasi
 Volume cairan yang masuk dan Aspek legal
keluar
 Karakteristik cairan yang keluar
 Respon pasien selama prosedur
 Tanggal,waktu,nama,dan paraf
perawat

DAFTAR PUSTAKA
STIKes Elisabeth Medan .2019. Panduan Praktikum Dasar Keperawatan dan Keperawatan
Dasar (DKKD). Medan.
Smeltzer, suzzane c. Dan bare, brenda g. 2001. Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta:
egc.
file:///D:/semester%206/Gadar%202%20-%20Bu%20murni/kumbah%20lambung/sop-kumbah-
lambung.pdf

https://alvivo23.wordpress.com/2012/06/04/standar-operasional-prosedur-bilas-lambung-gastric-
lavage//

PEREKAMAN JANTUNG DAN INTERPRESTASI EKG

1. PengertianElektrokardiogram
Elektrokardiogram merupakan alat diagnostik yang di gunakan untuk merekam aktifitas
listrik jantung.
2. Tujuan Pemasangan EKG
Pemsangan EKG di lakukan untuk mengetahui
a. Mengetahui kelainan irama jantung pasien.
b. Mengetahui kelainan Miokardium.
c. Mengetahui Efek penggunaan obat jantung.
d. Mengetahui terjadinya gangguan elektrolitpada pasien.
e. Mengetahui infeksi lapisan jantung.

1) Persiapan Alat Pemasangan Elektrokardiogram


a. Mesin Elektrokardiogram ( EKG ).
b. Kertas EKG.
c. Jelly.
d. Tissu.
e. Bengkok.
f. Kapas alcohol.
2) Prosedur Tindakan Pemasangan Elektrokardiogram
a. Pemberian penjelasan kepada pasien tentang tujuan dan prosedur pemeriksaan
yang akan dilakukan.
b. Sebaiknya istirahat 15 menit sebelum pemeriksaan.
c. Bila menggunakan perhiasan/logam/gawai supaya dilepas dan diletakkan tidak
dekat/menempel pada pasien
d. Pasien diminta membuka baju bagian dada.
e. Pasien dipersilakan tidur terlentang, posisi pemeriksa berada di sebelah kanan
pasien.
f. Pasien diusahakan untuk tenang dan bernafas normal. Selama proses perekaman
tidak boleh bicara.
g. Bersihkan daerah yang akan dipasang elektroda dengan kapas beralkohol.
h. Oleskan jelly EKG pada elektroda untuk memperbaiki hantaran listrik.
i. Pasang elektroda pada Ekstermitas atas dan bawah untuk merekam ektermitas
lead.
 Merah pada ektermitas kanan atas.
 Kuning pada ekstermitas kiri atas.
 Hitam pada ekstermitas kanan bawah.
 Hijau pada ekstermitas kiri bawah.

j. Pasang elektroda parakardial untuk merekam prekardial lead.


 Pasang lead V1 pada spatium intercostale IV linea arasternalis dekstra.
 Pasang lead V2 pada spatium intercostale IV linea parasternalis sinistra.
 Pasang lead V3 diantara V2 dan V4.
 Pasang lead V4 pada spatium intercostale V linea medio klavikularis sinistra.
 Pasang lead V5 pada spatium intercostale V linea aksilaris anterior sinistra.
 Pasang lead V6 pada spatium intercostaleV linea aksilaris media sinistra.
k. Hidupkan mesin Elektrokardiogram.
l. Rekam EKG dan hasil akan tampak pada kertas EKG. Lakukan interpretasi hasil
EKG tersebut.
 Lakukan kalibrasi dengan kecepatan standar 25 ml/detik
 Matian EKG dan lepaskan elektoda pada tubuh klien
 Lepas semua elektroda dan bersihkan sisa jelly EKG dengan kapas beralkohol
 Bantu klien memakai pakaian kembali.
 Tuliskan keterangan nama pasien, tanggal dan jam pemeriksaan.

3. INTERPRETASSI HASIL ELEKTROKARDIOGRAFI (EKG)


a. Irama
Irama jantung normal demikian dinamakan irama sinus ritmisyaitu iramanya teratur,
dan tiap gelombang P diikuti oleh kompleksQRS. Irama sinus merupakan irama yang
normal dari jantung dan nodus SA sebagai pacemaker.Jika irama jantung ditimbulkan
oleh impuls yang berasal dari pacemaker yang terletak di luar nodus SA disebut irama
ektopik.

1) Irama Sinus Ritmis


 Irama reguler dengan frekuensi 60-100 kali per menit dan R ke R regular.
 Morfologi gelombang P normal, tiap gelombang P diikuti satu kompleks
QRS.
 Gelombang P defleksi positif di sadapan II.
 Gelombang P dan kompleks QRS defleksi negatif di lead aVR.

Gambar 2.Contoh hasil pemeriksaan EKG irama sinus ritmis

2) Sinus Aritmia

b. Memenuhi kriteria irama sinus, tetapi sedikit ireguler

c. Merupakan gambaran fisiologis normal, yang sering didapatkan pada


individu sehat usia muda

d. Fenomena ini terjadi karena pengaruh respirasi

Gambar 3.Contoh hasil pemeriksaan EKG sinus aritmia

3) Atrial Fibrillation (AF)

 Ciri khas AF adalah tidak adanya gelombang P dan iramanya irregularly


irregular (betul-betul ireguler).
 Morfologi gelombang P berupa fibrilasi.

Gambar 4.Contoh hasil pemeriksaan EKG : atrial fibrilation

4) Ventricular Tachycardia (VT)

 Terdapat >3 irama ventrikuler dengan frekuensi 100-250 kali per menit
(kebanyakan di atas 120 kali per menit).

 Kompleks QRS lebar (durasi QRS >0,12 detik).

 Kadang gelombang P nampak (tanda panah), tetapi tidak ada asosiasi dengan
kompleks QRS.

Gambar 5.Contoh hasil pemeriksaan EKG : Ventricular Tachycardia

5) Ventricular Fibrillation (VF)

 Gelombang nampak ireguler dengan berbagai morfologi dan amplitude.

 Gelombang P, kompleks QRS, atau gelombang T tidak terlihat.

Gambar 6.Contoh hasil pemeriksaan EKG : Ventricular Fibrillation

6) Supraventricular Tachycardia (SVT)


 Takikardi reguler (frekuensi 140-280 kali per menit).
 Kompleks QRS sempit (durasi kompleks QRS <0,12 detik).
 Gelombang P tidak jelas terlihat.

Gambar 7.Contoh hasil pemeriksaan EKG : Supraventricular Tachycardia

b. Frekuensi :
Frekuensi jantung pada orang dewasa normal antara 60 sampai 100 kali/menit.
Sinus takikardia ialah irama sinus dengan frekuensi jantung pada orang dewasa
lebih dari 100 kali/menit, pada anak-anak lebih dari 120 kali/menit dan pada bayi
lebih dari 150 kali/menit. Sinus bradikardia ialah irama sinus dengan frekuensi
jantung kurang dari 60 kali/menit.

1) Cara menghitung frekuensi jantung bila teratur/reguler


Bisa dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
 1500 dibagi dengan jumlah kotak kecil antara R-R interval atau P-P
interval.
 300 dibagi jumlah kotak besar antara R-R interval atau P-P interval.

Gambar 8.Menghitung frekuensi jantung bila teratur

2) Cara menghitung frekuensi bila tidak teratur/ irreguler

Menghitung frekuensi jantung jika irama jantung tidak teratur yaitu dengan
cara mengitung jumlah kompleks QRS dalam 6 detik lalu dikalikan dengan
10.Contoh: dalam 6 detik (30 kotak kecil, pada gambar di bawah adalah antara 2
panah) didapatkan 13kompleks QRS lalu dikalikan 10 sehingga frekuensi jantung
adalah 130 kali/menit)

Gambar 9.Menghitung frekuensi jantung bila tidak teratur (ireguler)

4. DATA YANG HARUS DIPERHATIKAN KETIKA MELAKUKAN


INTERPRETASI EKG

Untuk membaca/interpretasi sebuah EKG, kita harus memperhatikan data-data di bawah


ini:
a. Umur dan jenis kelamin penderita: karena bentuk EKG normal pada bayi dan
anak-anak sangat berbeda dengan EKG normal orang dewasa.
b. Tinggi, berat dan bentuk badan: orang yang gemuk mempunyai dinding dada
yang tebal, sehingga amplitudo semua komplek EKG lebih kecil, sebab voltase
berbanding berbalik dengan kuadrat jarak elektroda dengan sel otot jantung.
c. Tekanan darah dan keadaan umum penderita: Hal ini penting apakah peningkatan
voltase pada komplek ventrikel kiri ada hubungannya dengan kemungkinan
hipertofi dan dilatasi ventrikel kiri.
d. Penyakit paru pada penderita: posisi jantung dan voltase dari komplek-komplek
EKG dapat dipengaruhi oleh adanya empisema pulmonum yang berat, pleural
effusion dan lain-lain.
e. Penggunaan obat digitalis dan derivatnya: akan sangat mempengaruhi bentuk
EKG. Maka misalnya diperlukan hasil EKG yang bebas dari efek, digitalis, perlu
dihentikan sekurang-kurangnya 3 minggu dari obat digitalis tersebut.
f. Kalibrasi kertas EKG.

g. Deskripsikan morfologi gelombang EKG lalu disimpulkan.


DAFTAR PUSTAKA

Adipranoto, W. 2006.Buku Ajar Kardiovaskuler.Jakarta : FKUI.


Baltazar, R.F. (2013). Basic and Beside Electrocardiography. Baltimore, MD: Lippincott
Williams & Willkins
Melly, F. 2007.Tingginya Angka Kematian Akibat Penyakit Jantung. Tersedia di
http://wwwberita bali.Com, Diakses tanggal 12 Januari 2013.
Netter, F.H. (2014). Athlas Of Human Anatomy. 6th ed: Elsevier
Perki, E. 2004.Penderita Kelainan Jantung Di Jabar Mencapai 7000 Orang Pertahun. Tersedia
di :http://www.compas.com. Diakses tanggal 12 Januari 2013.
Soeharto, I. 2004. Penyakit Jantung Koroner dan Serangan Jantung.Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
Yani, I., & Fatonah, S. (2019). EFEKTIFITAS HASIL PEREKAMAN EKG DENGAN
MENGGUNAKAN KONDUKTOR JELI DAN AIR PADA PASIEN PENYAKIT
JANTUNG KORONER (PJK) DI RUANG INTENSIVE CARDIO VASCULAR
CARE UNIT (ICVCU) RSUD DR. MOEWARDI. Jurnal ilmu keperawatan indonesia
(jiki), 7(2).

ELECTRO CONVULSIVE THERAPY (ECT)

1. DEFENISI
Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis pengobatan somatik dimana
arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus
tersebut cukup menimbulkan kejang grand mal, yang darinya diharapkan efek yang
terapeutik tercapai. Mekanisme kerja ECT sebenarnya tidak diketahui, tetapi diperkirakan
bahwa ECT menghasilkan perubahan-perubahan biokimia didalam otak (Peningkatan
kadar norepinefrin dan serotinin) mirip dengan obat anti depresan. Menurut Kaplan &
Saddock (2017), umumnya terapi dilakukan 6-12 kali yang diberikan 2-3 kali seminggu.

2. PEMERIKSAAN ECT
Pada penanganan klien gangguan jiwa di Rumah Sakit baik kronik maupun pasien
baru biasanya diberikan psikofarmaka, psikotherapi, terapi modalitas yang meliputi terapi
individu, terapi lingkungan, terapi kognitif, terapi kelompok terapi perilaku dan terapi
keluarga. Biasanya pasien menunjukan gejala yang berkurang dan menunjukan
penyembuhan, tetapi pada beberapa klien kurang atau bahkan tidak berespon terhadap
pengobatan sehingga diberikan terapi tambahan yaitu ECT (Electro Convulsive Therapy).

3. INDIKASI
a. Gangguan afek yang berat: pasien dengan depresi berat atau gangguan bipolar,     atau
depresi menunjukkan respons yang baik pada pemberian ECT (80-90% membaik
versus 70% atau lebih dengan antidepresan). Pasien dengan gejala vegetatif yang jelas
(seperti insomnia, konstipasi; riwayat bunuh diri, obsesi rasa bersalah, anoreksia,
penurunan berat badan, dan retardasi psikomotor) cukup bersespon.
b. Skizofrenia: skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe excited memberikan
respons   yang baik dengan ECT. Tetapi pada keadaan schizofrenia kronik hal ini tidak
teralalu berguna.
Sedangkan menurut Stregiopoulou (2016), ECT menjadi pilihan pengobatan
pertama ataupun kedua.Seperti yang disebutkan sebelumnya banyak percobaan telah
dilakukan untuk menunjukkan indikasi ECT dan peralatan dalam psikiatri. ECT
dianggap sebagai terapi pilihan pertama dalam:
1) Episode depresif berat dan retardasi psikomotor berat (masalah yang berkaitan
dengan asupan makanan dan air dan pemburukan fisik pasien secara umum).
2) Depresi yang resisten terhadap pengobatan pada pasien, dengan kata lain
kegagalan untuk merespon dua siklus antidepresan trisiklik akibat dosis standar
yang berlangsung selama 6 minggu atau lebih.
3) Depresi stupor dan katatonik di mana pasien tetap tidak bergerak, tidak dapat
berbicara dan dengan sikap negatif.
ECT sebagai pengobatan pilihan kedua dalam:
1) Depresi berat pada pasien usia, dengan mempertimbangkan penyakit psikis karena
risiko terkait anestesi.
2) Kasus-kasus maniak utama, yang berhubungan dengan kasus-kasus yang
mengancam kehidupan kelelahan fisik dan tidak menanggapi terapi.
3) Pasien dengan skizofrenia di mana terapi clozapine tampaknya tidak memadai atau
tidak mungkin untuk dipatuhi.
4) Penyakit Parkinson dengan penurunan gejala kinetik.
 Neuroleptic malignant syndrome (NMS) dengan morbiditas parah, mortalitas,
dan hasil yang kontradiktif.
 Pasien dengan dementia dan depresi.
 Down syndrome dan khususnya ketika artritis antlaaxonic stabil.
 Pasien dengan kecacatan intelektual dan depresi dengan respons yang lebih
baik ketika fitur biologis atau psikotik hadir.

4. Kontraindikasi
a. Tumor intra kranial, karena dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
b. Kehamilan, karena dapat mengakibatkan keguguran.
c. Osteoporosis, karena dapat berakibat terjadinya fraktur tulang.
d. Infark Miokardium, karena dapat terjadi henti jantung.
e. Asthma bronchiale, dapat memperberat keadaan penyakit yang diderita.

5. Komplikasi
a. Amnesia (retrograd dan anterograd) bervariasi dimulai setelah 3-4 terapi berakhir     2-
3 bulan (tetapi kadang-.kadang lebih lama dan lebih berat dengan metode bilateral,
jumlah terapi yang semakin banyak, kekuatan listrik yang meningkat dan adanya
organik sebelumnya.
b. Sakit kepala, mual, nyeri otot.
c. Kebingungan. 
d. Reserpin dan ECT diberikan secara bersamaan akan berakibat fatal
e. Fraktur jarang terjadi dengan relaksasi otot yang baik.
f. Suksinilkolin diperlama pada .keadaan defisiensi hati dan bisa menyebabkan
hipotonia.

6. Peran Perawat
Menurut ECT Handbook of Royal College (edisi ketiga) beberapa tugas perawat
selama sesi ECT pada dasarnya adalah untuk memberikan perawatan klinis lanjutan
sebelum, selama dan setelah prosedur ECT, mengurangi stres pasien melalui informasi
pasien yang memadai dan mendukung keluarga mereka selama proses keseluruhan.
Untuk mencapai tugas ini, seorang perawat harus memiliki pengetahuan penuh tentang
efek samping, indikasi dan kontraindikasi dari proses ECT. Namun pendidikan
keperawatan pada alat dan prosedur ECT adalah area yang tidak sepenuhnya ditangani
menurut Arkan, Byrne dan Wood. Jika perawat dilatih secara memadai agar secara
khusus mereka dapat memberikan umpan balik yang memadai kepada pasien, keluarga
dan tim ECT juga. Konsekuensinya, laporan menyeluruh dari terapi pilihan ECT,
stabilitas dan efek samping yang diberikan kepada perawat yang berspesialisasi dalam
ECT akan menjadi alat yang berguna untuk penilaian dan dokumentasi yang lebih baik
dari prosedur ECT (Stregiopoulou, 2016).

a. Persiapan Alat ECT


1) Konvulsator set (diatur intensitas dan timer).
2) Tongue spatel atau karet mentah dibungkus kain.
3) Kassa.
4) Cairan NaCl secukupnya.
5) Spuit disposable.
6) Obat SA injeksi 1 ampul.
7) Tensimeter.
8) Stetoskop.
9) Slim suiger

b. Prosedur Kerja Pelaksanaan ECT


Pengertian ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan
aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik
tonik maupun klonik. Tindakan ini adalah bentuk terapi
pada klien dengan mengalirkan arus listrik melalui
elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien untuk
membangkitkan kejang 
Indikasi a. Depresi Berat, khususnya dengan gejala psikotik
b. Gangguan Afektif Bipolar (depresi, manik dan
campuran)
c. Skizophrenia (eksaserbasi akut)
d. Katatonia
Persiapan Alat 1. Konvulsator set (diatur intensitas dan timer)
2. Tounge spatel atau karet mentah dibungkus kain
3. Kain kasa
4. Cairan Nacl secukupnya
5. Spuit disposibel
6. Obat SA injeksi 1 ampul
7. Tensimeter
8. Stetoskop
9. Slim suiger

Persiapan Pasien 1. Anjurkan klien dan keluarga untuk tenang dan


beritahu prosedur tindakan yang akan dilakukan.
2. Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk
mengidentifikasi adanya kelainan yang merupakan
kontraindikasi ECT
3. Siapkan surat persetujuan
4. Klien berpuasa 4-6 jam sebelum ECT
5. Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau penjepit
rambut yang mungkin dipakai klien
6. Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih
dan defekasi
7. Klien jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg diazepam
IM 1-2 jam sebelum ECT
8. Jika klien menggunakan obat antidepresan,
antipsikotik, sedatif-hipnotik, dan antikonvulsan harus
dihentikan sehari sebelumnya. Litium biasanya
dihentikan beberapa hari sebelumnya karena berisiko
organik.
9. Premedikasi dengan injeksi SA (sulfa atropin) 0,6-1,2
mg setengah jam sebelum ECT. Pemberian
antikolinergik ini mengembalikan aritmia vagal dan
menurunkan sekresi gastrointestinal.

Pelaksanaan 1. Setelah alat sudah disiapkan, pindahkan klien ke


tempat dengan permukaan rata dan cukup keras.
Posisikan hiperektensi punggung tanpa bantal. Pakaian
dikendorkan, seluruh badan di tutup dengan selimut,
kecuali bagian kepala
2. Berikan natrium metoheksital (40-100 mg IV).
Anestetik barbiturat ini dipakai untuk menghasilkan
koma ringan.
3. Berikan pelemas otot suksinikolin atau Anectine (30-
80 mg IV) untuk menghindari kemungkinan kejang
umum.
4. Kepala bagian temporal (pelipis) dibersihkan dengan
alkohol untuk tempat elektrode menempel.
5. Kedua pelipis tempat elektroda menempel dilapisi
dengan kasa yang dibasahi caira Nacl.
6. Penderita diminta untuk membuka mulut dan masang
spatel/karet yang dibungkus kain dimasukkan dan
klien diminta menggigit
7. Rahang bawah (dagu), ditahan supaya tidak membuka
lebar saat kejang dengan dilapisi kain
8. Persendian (bahu, siku, pinggang, lutu) di tahan
selama kejang dengan mengikuti gerak kejang
9. Pasang elektroda di pelipis kain kasa basah kemudia
tekan tombol sampai timer berhenti dan dilepas.
Menahan gerakan kejang sampai selesai kejang
dengan mengikuti gerakan kejang (menahan tidak
boleh dengan kuat).
10. Bila berhenti nafas berikan bantuan nafas dengan
rangsangan menekan diafragma
11. Bila banyak lendir, dibersihkan dengan slim siger
12. Kepala dimiringkan
13. Observasi sampai klien sadar

Evaluasi a. Lihat kembali keadaan umum pasien


b. Lakukan dokumentasi

c. Perawatan Pasien Pasca Terapi Elektrokonvulsif


a. Awasi pasien dengan hati-hati sampai dengan klien stabil kebingungan biasanya
timbul kebingungan pasca kejang 15-30 menit. 
b. Pasien berada pada resiko untuk terjadinya apneu memanjang dan delirium
pascakejang (5-10 mg Diazepam IV dapat membantu).

DAFTAR PUSTAKA

Agusman, F., Iswati, D. I., & Lestari, S. P. 2018. Pemahaman Keluarga tentang Tindakan ECT
Premedikasi di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah. Jurnal SMART
Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Karya Husada, Volume 5 Nomor
1, ISSN: 2502-5236, Halaman 20-29
Agustina, M. 2018. Pemberian Terapi Elektrokovulsif (ECT) terhadap Peningkatan Fungsi
Kognitif Klien Gangguan Jiwa. Jurnal Ilmiah Keperawatan Indonesia, Volume 8 Nomor
3, Halaman 443-449
http://www.neurotherapy.asia/eeg_brain_mapping.htm
Idrus, F. 2016. Electro Convulsive Therapy (ECT). Makassar: Universitas Hasanuddin
Nandinanti, I. K., Yaunin, Y., & Nurhajjah, S. 2015. Efek Electro Convulsive Therapy (ECT)
terhadap Daya Ingat Pasien Skizofrenia di RSJ Prof. HB. Sa’anin Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas, Volume 4 Nomor 3, Halaman 883-888
Stregiopoulou, A. 2016. Electroconvulsive Therapy Effect on Cognition and Memory and
Nurse’s Role. Perioperative Nursing, Volume 5 Issue 2 Page 103-112

AUTOMATED EXTERNAL DEFIBRILLATOR (AED)

1. DEFENISI AED
Automated External Defibrillator (AED) merupakan perangkat portabel yang
memberikan terapi listrik berfungsisebagai defibrillator eksternal otomatis yang
spontan(Hardisman, 2014). AED merupakan salah satu alat elektronik portabel
yangdigunakan secara otomatis dan dapat dibawa kemana saja,sehingga dapat
mempermudah mendiagnosa aritmia jantung yangmengancam jiwa pada seseorang yang
hilang kesadaran akibatberhentinya detak jantung beberapa saat sehingga jantung
tidakdapat memberikan pasokan oksigen ke otak.
Defibrilasi adalah stimulator detak jantung yangmenggunakan listrik secara
asinkron dengan tegangan tinggi,tindakan ini dilakukan karena tidak ada nya VF atau VT,
yangbermanfaat untuk mengembalikan irama listrik jantung yangterorganisasi dan
sirkulasi spontan (Hardisman, 2014).Pemberian defibrillasi selama lima menit bermanfaat
untukmengembalikan irama jantung menjadi normal (Capucci,2011).

2. INDIKASI AED
Gunakan AED ketika korban yang diduga menderita serangan jantung memiliki gejala
kekurangan sirkulasi darah, yang ditandai dengan:
a. Tidak sadarkan diri.
b. Tidak adanya pernapasan normal.
c. Tidak ada sirkulasi atau Tidak adanya denyut atau tanda-tanda peredaran darah.

3. KONTRAINDIKASI AED
Kontraindikasi Penggunaan Jangan gunakan AED Plus jika korban:
a. Dalam keadaan sadar.
b. Sedang bernapas.
c. Memiliki denyut yang terdeteksi atau tanda-tanda lain adanya sirkulasi darah.

4. STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) TINDAKAN DEFRIBILATOR


(AED)
Pengertian Defribilator adalah sebuah alat elektronik portable yang secara
otomatis dapat melakukan diagnosis aritmia jantung
Tujuan a. Penerapan terapi listrik memungkinkan jantung untuk
memicu kembali irama yang efektif
Indikasi a. Pasien tidak sadar
b. Pasien yang mengalami takikardia ventrikuler
c. Pasien yang mengalami fibrilasi ventrikel
d. Serta penyakit jantung lainnya
Persiapan 1. Satu unit AED
Alat
Persiapan 1. Ciptakan lingkungan kerja yang nyaman
Pasien 2. Menjelaskan maksud dan tujuan tindakan yang diberikan
3. Menjelaskan prosedur tindakan
4. Menyiapkan pasien dalam posisi yang nyaman sesuai
kebutuhan pasien yaitu posisi terlentang
Pelaksana 1. Petugas memecahkan kaca temapt penyimpanan AED
an menggunakan palu yang tersedia
2. Petugas menyiapkan dan menyalakan AED disamping
pasien
3. Petugas membuka pakaian pasien dan memastikan
seluruh permukaan dada terlihat dan dalam keadaan tidak
basah atau kering
4. Petugas membuka segel dan mengeluarkan elektroda,
kemudian menempelkan satu elektroda dikulit atas tulang
belikat kanan, dan satu elektroda lagi dikulit dada kiri
bawah. Secara otomatis, AED akan menganalisis irama
jantung pasien dan menetapkan apakah kejut diperlukan.
Jika kejut diperlukan, petugas menekan tombol kejut
(SHOCK)
5. Petugas dan orang sekitar pasien tidak boleh menyentuh
pasien sampai ada instruksi aman.
6. Jika perlu, petugas memulai resusitasi jantung paru
(RJP). Petugas menekan tombol biru berkedip untuk
instruksi langkah RJP. Petugas mengikuti instruksi AED
sampai tenaga medis/paramedic terlatih tiba untuk
melakukan pengkajian dan tatalaksana lebih lanjut.
Evaluasi a. Lihat kembali keadaan umum pasien
b. Tanda tanda vital pasien
c. Pola napas pasien
d. Lakukan dokumentasi
5. MAKNA SIMBOL PADA ALAT AED
6. PERAWATAN PASCA SERANGAN JANTUNG
Berikut adalah masalah utama dan perubahan besar dalam rekomendasi Pembaruan AHA
2015 untuk perawatan pasca-serangan jantung:
a. Angiografi koroner darurat
Di sarankan untuk semua pasien dengan elevasi ST dan untuk pasien yang tidak stabil
secarah emodinamik maupun fisik tanpa elevasi ST yang diduga meiliki lesi
kardivaskular.
b. Rekomendasi TTM telah diperbarui dengan bukti baru yang menunjukkan bahwa
kisaran suhu dapat diterima untuk ditargetkan dalam periode pasca-serangan jantung.
c. Setelah TTM selesai, demam dapat terjadi. Meskipun terdapat data observasi yang
bertentangan tentang bahaya demam setelah TTM, namun pencegahan demam
dianggap tidak berbahaya dan oleh karena itu wajar diterapkan.
d. Identifikasi dan perbaikan hipotensi direkomendasikan dalam periode pasca-serangan
jantung langsung.
e. Prognostikasi kini direkomendasikan tidak lebih cepat dari 72 jam setelah
penyelesaian TTM; bagi pasien yang tidak memiliki TTM, prognostikasi tidak
direkomendasikan lebih cepat dari 72 jam setelah ROSC.
f. Semua pasien yang mengarah kekondisi kematian otak atau kematian sirkulasi setelah
serangan jantung pertama akan dipertimbangkan sebagai calon donor organ.

DAFTAR PUSTAKA

Is, W., Aed, A. N., & Fibrillation, V. (n.d.). AED : Overview. 4–7.

Pembelajaran, T., Bahasa, P., Penyelamatan, S., & Kontak, I. (2013). AED Pelatih ini
menyimulasikan fungsi dari beberapa AED model Cardiac Science. 1–14.

Pengantar, K. (n.d.). B Uku P Edoman U Mum P Elaksanaan K Esehatan D an K Eselamatan K


Erja. 1–50.

Putri, I. A. O. C., & Sidemen, I. G. P. S. (2017). Bantuan Hidup Dasar. FK Udayana, 46(6), 20.

SAM 500P Manual untuk Pengguna Isi. (n.d.).

Anda mungkin juga menyukai