Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH EPIDEMIOLOGI PENYAKIT RABIES

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rabies adalah infeksi virus akut yang menyerang sistem saraf pusat

(SSP)manusia dan mamalia dengan mortalitas 100%. Penyebabnya adalah

virus rabies yang termasuk genus Lyssa virus, famili Rhabdoviridae,

V i r u s r a b i e s t e r d a p a t dalam air liur hewan yang terinfeksi. Hewan ini menularkan

infeksi kepada hewanlainnya atu manusia melalui gigitan dan kadang melalui

jilatan. Banyak hewan yang bisa menularkan rabies kepada manusia. Yang paling

sering menjadi sumber dari rabies adalah anjing, hewan lainnya yang juga bisa menjadi

sumber penularan rabies adalah kucing, kelelawar, rakun, sigung, rubah. Penyakit

rabies mempunyai gejala patognomik takut air (hydrophobia) , takut sinar

m a t a h a r i ( photophobia), takut suara, dan takut udara (aerophobia). Gejala tersebut

disertai dengan air mata berlebihan (hiperlakrimasi), air liur berlebihan

(hipersalivasi), timbul kejang bilaada rangsangan, kemudian lumpuh dan terdapat

tanda bekas gigitan hewan penular rabies.

Menurut laporan Departemen Kesehatan Republik Indonesia di Indonesia, kasus

gigitan rabies ke Indonesia mencapai jumlah 20.926 kasus gigitan per tahun pada tahun

2010 yang terlaporkankepada Dinas-Dinas Kesehatan di seluruh Kabupaten di

Indonesia.
B. Rumusan masalah

a. Bagaimanakah yang dimaksud dengan penyakit rabies ?

b. Apa penyebab dari penyakit rabies ?

c. Bagamaina gejala klinis dan perjalanan penyakit rabies ?

d. Bagaimana epidemiologi dari penyakit rabies ?

C. Tujuan penulisan

a. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan penyakit rabies.

b. Untuk mengetahui penyebab dari penyakit rabies.

c. Untuk mengetahui gejala klinis dan perjalanan penyakit rabies.

d. Untuk mengetahui epidemiologi dari penyakit rabies.

e. Untuk mengetahui penanganan penyakit rabies.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi

Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh virus,

bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat. Hewan berdarah panas dan

manusia. Rabies bersifat zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular dari hewan

ke manusia dan menyebabkan kematian pada manusia dengan CFR (Case Fatality

Rate) 100%. Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang terinfeksi da

disebarkan melalui luka gigitan atau jilatan.


B. Etiologi

Virus rabies merupakan virus RNA, termasuk dalam familia Rhabdoviridae,

genus Lyssa. Virus berbentuk peluru atau silindris dengan salah satu ujungnya

berbentuk kerucut dan pada potongan melintang berbentuk bulat atau elip (lonjong).

Virus tersusun dari ribonukleokapsid dibagian tengah, memiliki membrane selubung

(amplop) dibagian luarnya yang pada permukaannya terdapat tonjoloan (spikes) yang

jumlahnya lebih dari 500 buah. Pada membran selubung (amplop) terdapat kandungan

lemak yang tinggi.

Virus tersusun dari ribonukleokapsid dibagian tengah, memiliki membrane

selubung (amplop) dibagian luarnya yang pada permukaannya terdapat tonjoloan

(spikes) yang jumlahnya lebih dari 500 buah. Pada membran selubung (amplop)

terdapat kandungan lemak yang tinggi. Virus berukuran panjang 180 nm, diameter 75

nm, tonjolan berukuran 9 nm, dan jarak antara spikes 4-5 nm. Virus peka terhadap sinar

ultraviolet, zat pelarut lemak, alkohol 70 %,yodium, fenol dan klorofrom. Virus dapat

bertahan hidup selama 1 tahun dalam larutan gliserin 50 %. Pada suhu 600 C virus mati

dalam waktu 1 jam dan dalam penyimpanan kering beku (freezedried) atau pada suhu

40 C dapat tahan selama bebarapa tahun.


Gambar 2.1. Gambar Struktur Virus Rabies

Ket: Virus rabies dengan bentuk seperti peluru yang dikelilingi oleh paku-

paku glikoprotein. Glikonukleoproteinnya tersusun dari nukleoprotein,

phosphorylatedatau phosphoprotein dan polimerase. Diagram melintang ini

menunjukkan lapisankonsentrik yaitu amplop dengan membrane ganda, protein m dan

digulung dalamRNA.

C. Gejala Klinis

1. Pada Hewan

Gejala klinis pada hewan dibagi menjadi tiga stadium :

a) Stadium Prodromal

Keadaan ini merupakan tahapan awal gejala klinis yang dapat berlangsung antara

2-3 hari. Pada tahap ini akan terlihat adanya perubahan temperamen yang masih

ringan. Hewan mulai mencari tempat-tempat yang dingin/gelap, menyendiri, reflek

kornea berkurang, pupil melebar dan hewan terlihat acuh terhadap tuannya. Hewan
menjadi sangat perasa, mudah terkejut dan cepat berontak bila ada provokasi. Dalam

keadaan ini perubahan perilaku mulai diikuti oleh kenaikan suhu badan.

b) Stadium Eksitasi

Tahap eksitasi berlangsung lebih lama daripada tahap prodromal, bahkan dapat

berlangsung selama 3-7 hari. Hewan mulai garang, menyerang hewan lain ataupun

manusia yang dijumpai dan hipersalivasi. Dalam keadaan tidak ada provokasi hewan

menjadi murung terkesan lelah dan selalu tampak seperti ketakutan. Hewan mengalami

fotopobi atau takut melihat sinar sehingga bila ada cahaya akan bereaksi secara

berlebihan dan tampak ketakutan.

c) Stadium Paralisis.

Tahap paralisis ini dapat berlangsung secara singkat, sehingga sulit untuk dikenali

atau bahkan tidak terjadi dan langsung berlanjut pada kematian. Hewan mengalami

kesulitan menelan, suara parau, sempoyongan, akhirnya lumpuh dan mati.

2. Pada Manusia

Gejala klinis pada manusia dibagi menjadi empat stadium.

a) Stadium Prodromal

Gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan saraf pusat adalah

perasaan gelisah, demam, malaise, mual, sakit kepala, gatal, merasa seperti terbakar,

kedinginan, kondisi tubuh lemah dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari.

b) Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka

kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap

ransangan sensoris.

c) Stadium Eksitasi

Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala berupa

eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus, ketakutan terhadap rangsangan cahaya,

tiupan angin atau suara keras. Umumnya selalu merintih sebelum kesadaran hilang.

Penderita menjadi bingung, gelisah, rasa tidak nyaman dan ketidak beraturan.

Kebingungan menjadi semakin hebat dan berkembang menjadi argresif, halusinasi, dan

selalu ketakutan. Tubuh gemetar atau kaku kejang.

d) Stadium Paralis

Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadangkadang

ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang

bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang yang

memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.

D. Patofisiologi

virus rabies masuk kedalam tubuh melalui luka atau kontak langsung dengan

selaput mukosa dengan rasio gigitan dan cakaran sebasar 50:1. Virus rabies tidak bisa

menemus kulit yang utuh. Virus rabies membelah diri dalam otot atau jaringan ikat pada

tempat inokolasi dan kemudian memasuki saraf tepi pada sambungan neuromuskuler.

Setelah virus menempel pada reseptor nikotinik asetilkolin lalu virus menyebar secara

sentripetal melalui serabut saraf motorik dan juga serabut saraf sensorik tipe cepat

dengan kecepatan 50 sampai 100mm per hari. Setelah melewati medulla spinalis, virus
bereplikasi pada motor neuron dan ganglion sensoris, akhirnya mencapai otak. Kolkisin

dapat menghambat secara efektif transport akson tipe cepat tersebut. Virus melekat

atau menempel pada dinding sel inang. Virus rabies melekat pada sel melalui duri

glikoproteinnya, reseptor asetilkolin nikotinat dapat bertindak sebagai reseptor seluler

untuk virus rabies. Kemudian secara endositosis virus dimasukkan ke dalam sel inang.

Pada tahap penetrasi virus telah masuk kedalam sel inang dan melakukan penyatuan

diri dengan sel inang yang ditempati, terjadilah transkripsi dan translasi.

Gambar 2 perjalanan penyakit rabies

Genom RNA untai direkam oleh polymerase RNA terkait, varion menjadi lima

sepsis mRNA. Genom ini merupakan cetakan untuk perantara replikatif yang

menimbulkan pembentukan RNA keturunan RNA genomic berhubungan dengan

transkriptase virus, fosfoprotein dan nukleuprotein. Setelah enkapsidasi, partikel

berbentuk peluru mendapat selubung melalui pertusan yang melalui slaput plasma.

Protein matriks virus membentuk lapisa pada sisi dalam seubung. Sementara

glikoprotein virus berada pada selaput luar dan membentuk duri. Setelah bagian-bagian

sel lengkap, sel virus tadi menyatuh diri kembali dan membentuk virus baru yang
menginfeksi inang yang lainnya, kemudian melanjutkan diri bergerak secara

sentripetal sebagai sub viral, tanpa nukleoplasmid menuju jaringan otak.

Setelah melewati medulla spinalis virus akan menginfeksi tegmentum

batang otak dan nukleus selebralis batang otak selanjutanya virus akan

menyebar ke sel purkinya selebrum, diencephalon, basal ganglia dan

akhirnya menunju hipokampus terjadi lebih lambat dengan girus dentatus

yang relatif tidak terinfeksi. Virus rabies tidak bias menginfeksi sel granuler

pada girusdentatus yang sebagian besar mengandung reseptor AMPA dan

Kinate.

Gambar 3 Replikasi dan siklus infeksi virus

Jika virus telah mencapai otak, maka ia akan memperbanyak diri dan menyebar

kedalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khususterhadap sel-

sel sistim limbik, hipotalamus, dan batang otak. Khusus mengenaisystem


limbik dimana berfungsi erat dengan pengontrolan dan kepekaan emosi.

Akibat dari pengaruh infeksi sel-sel dalam sistem limbic ini, pasien akan

mengigit mangsanya tanpa ada provokasi dari luar. Setelah memperbanyak

diri dalam neuron-neuron sentral virus kemudian bergerak ke perifer dalam

serabut aferen dan pada serabut saraf volunteer maupun otonom. Dengan

demikian, virus dapat menyerang hampir seluruh jaringan dan organ tubuh

dan berkembang biak dalam jaringan seperti kelenjar ludah. Virus rabies

menyebar menuju multiorgan melalui neuron otonom dan sensorik terutama

melibatkan jalur parasimpatis yang bertanggung jawab atas infeksi pada

kelenjar ludah, kulit, jantung, dan organ lain. Replikasi di luar saraf terjadi

pada kelenjar ludah, lemak coklat, dan kornea. Kepekaan terhadap infeksi

dan masa inkubasi bergantung pada latar belakang genetic inang, strain

virus yang terlibat, konsentrasi reseptor virus pada sel inag, jumlah nokulen,

beratnya laserasi, dan jarak yang harus ditempuh virus untuk bergerak dari

titik masuk ke susunan sarf pusat. Gambaran yang paling menonjol dalam

infeksi rabies adalah terdapatnya badan negri yang khas terdapat dalam

sitoplasma sel ganglion besa.


Gambar 4 Negri body di neuron

Gambar 5 Skema patofisiologi infeksi virus rabies. Nomor pada gambar menunjukkan urutan

kejadian

E. Masa Inkubasi

Masa inkubasi pada manusia yang khas adalah 1-2 bulan tetapi bisa 1 minggu

atau selama beberapa tahun (mungkin 6 tahun atau lebih). Biasanya lebih

cepat pada anak-anak dari pada dewasa. Kasus rabies manusia dengan periode

inkubasi yang panjang (2 sampai 7 tahun) telah dilaporkan, tetapi jarang terjadi. Masa

inkubasi tergantung pada umur pasien, latar belakang genetic, status immune, strain

virus yang terlibat, dan jarak yang harus ditempuh virus dari titik pintu. Masuknya ke

susunan saraf pusat. Masa inkubasi tergantung dari lamanya pergerakan virus dari

lamanya pergerakan virus dari luka sampai ke otak, pada gigitan dikaki masa inkubasi
kira-kira 60 hari, pada gigitan ditangan masa inkubasi 40 hari, pada gigitan di kepala

masa inkubasi kira-kira 30 hari.

F. Epidemiologi

1. Berdasarkan Orang

Rabies telah menyebabkan kematian pada orang dalam jumlah yang cukup banyak.

Tahun 2000, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun di

dunia ini terdapat sekurang-kurangnya 50.000 orang meninggal karena rabies,

kepekaan terhadap rabies kelihatannya tidak berkaitan dengan usia, seks atau ras.

2. Berdasarkan Tempat

Di Amerika Serikat rabies terutama terjadi pada musang, raccoon, serigala dan

kelelawar. Rabies serigala terdapat di Kanada, Alaska dan New York. Kelelawar

penghisap darah (vampir), yang menggigit ternak merupakan bagian penting siklus

rabies di Amerika latin. Eropa mempunyai rabies serigala, di Asia dan Afrika masalah

utamanya adalah anjing gila.

Beberapa daerah di Indonesia yang saat ini masih tertular rabies sebanyak 16

propinsi, meliputi Pulau Sumatera (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu,

Sumatera Selatan, dan Lampung), Pulau Sulawesi (Gorontalo, Sulawesi Utara,

Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara), Pulau Kalimantan

(Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur) dan Pulau Flores.

Kasus terakhir yang terjadi adalah Propinsi Maluku (Kota Ambon dan Pulau Seram).

3. Berdasarkan Waktu

Rabies bisa terjadi disetiap musim atau iklim.


G. Penanganan

1. Pencegahan

Strategi biaya yang paling efektif untuk mencegah rabies pada orang adalah dengan

menghilangkan rabies pada anjing melalui vaksinasi. Vaksinasi hewan (kebanyakan

anjing) telah mengurangi jumlah manusia (dan hewan) kasus rabies di beberapa

negara, khususnya di Amerika Latin. Namun, kenaikan terbaru dalam kematian rabies

pada manusia di beberapa bagian Afrika, Asia dan Amerika Latin menunjukkan bahwa

rabies adalah ulang muncul sebagai masalah kesehatan masyarakat yang serius.

Mencegah rabies pada manusia melalui kontrol rabies anjing piaraan adalah tujuan

yang realistis bagi sebagian besar Afrika dan Asia, dan dibenarkan finansial dengan

tabungan masa depan penghentian profilaksis pasca pajanan bagi orang-orang. Kasus

zoonosis yaitu penyakit menular dari hewan ke manusia, cara penanganannya dan

pencegahannya ditujukan pada hewan penularnya. Pada manusia, vaksin rutin

diberikan kepada orang-orang yang pekerja dengan resiko tinggi, seperti dokter hewan,

pawang binatang, peneliti khusus hewan dan lainnya.

2. Pengobatan

Pada hewan tidak ada pengobatan yang efektif, sehingga apabila hasil diagnosa

positif rabies, diindikasikan mati/euthanasia. Sedangkan pada manusia dapat dilakukan

pengobatan Pasteur, pemberian VAR dan SAR sesuai dengan prosedur standar

operasi (SOP)

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dapat kita simpulkan bahwa penyakit Rabies disebabkan oleh virus rabi. Biasanya

yang lebih rentan terkena remaja dan anak-anak yang tinggal di daerah dimana anjing

lebih banyak dari pada penghuni desa tersebut. Rabies adalah penyakit zoonosis

(penyakit yang ditularkan ke manusia dari hewan) yang disebabkan oleh virus. Penyakit

ini menginfeksi hewan domestik dan liar, yang menyebar ke orang melalui kontak dekat

dengan air liur yang terinfeksi melalui gigitan atau cakaran.

Gejala rabies pada manusia biasanya diawali dengan demam, nyeri kepala, sulit

menelan, hipersalivasi, takut air, peka terhadap rangsangan angin dan suara, kemudian

diakhiri dengan kematian. Biasanya mulai timbul dalam waktu 30-50 hari setelah

terinfeksi.

B. Saran

Untuk mencegah penyakit ini dapat kita lakukan vaksinasi terhadap hewan-hewan

seperti Anjing, Monyet, Kucing, Musang dll. Dan apabila tergigit oleh hewan tersebut

maka kita harus cepat tanggap untuk menetralisir virus tersebut.

GHPR dan Rabies


Kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) dan Rabies masih menjadi momok yang
menakutkan bagi masyarakat. Betapa tidak, penanganan GHPR memerlukan biaya yang tidak
sedikit, CFR rabies pun mencapai 100%.

Penyakit rabies merupakan penyakit menular akut dari susunan syaraf pusat yang disebabkan
oleh virus rabies. Ditularkan oleh hewan penular rabies terutama anjing, kucing dan kera melalui
gigitan, aerogen, transplantasi atau kontak dengan bahan yang mengandung virus rabies pada
kulit yang lecet atau mukosa. Penyakit ini apabila sudah menunjukkan gejala klinis pada
hewan dan manusia selalu diakhiri dengan kematian, angka kematian Case Fatality Rate
(CFR) mencapai 100% dengan menyerang pada semua umur dan jenis kelamin. Kekebalan
alamiah pada manusia sampai saat ini belum diketahui.

Adapun landasan hukum yang dipergunakan di Indonesia diantaranya UU No.4 Th.1984 tentang
wabah penyakit menular. Keputusan bersama Dirjen P2 dan PL, Dirjen Peternakan dan Dirjen
PUOD No. KS.00-1.1554, No.99/TN.560/KPTS/DJP/Deptan/1999,N0.443.2-270 tentang
Pelaksanaan Pembebasan dan Mempertahankan Daerah Bebas Rabies di wilayah Republik
Indonesia.

1. Gambaran Klinis

Gejala Klinis Rabies terbagi menjadi 3 stadium berdasarkan diagnosa klinik:


a. Stadium prodromal, dengan gejala awal demam, malaise, nyeri tenggorokan selama beberapa
hari.
b. Stadium Sensoris, penderita merasa nyeri, panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka.
Kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsangan
sensorik.
c. Stadium eksitasi, tonus otot-otot dan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala
hiperhidrosis, hipersalivasi, pupil dilatasi. Stadium ini mencapai puncaknya dengan muncul
macam – macam fobi seperti hidrofobi, fotofobi, aerofobi. Tindak tanduk penderita tidak
rasional dan kadang-kadang maniakal. Pada stadium ini dapat terjadi apneu, sianosis, konvulsa
dan takikardi.
d. Stadium Paralyse, terjadi inkontinentia urine, paralysis flaksid di tempat gigitan, paralyse
ascendens, koma dan meninggal karena kelumpuhan otot termasuk otot pernafasan.

2. Etiologi

Virus Rabies termasuk golongan Rhabdovirus, berbentuk peluru dengan kompoisisi RNA, lipid,
karbohidrat dan protein. Sifat virus rabies cepat mati dengan pemanasan pada suhu 60°C, sinar
ultraviolet dan gliserin 10%, dengan zat- zat pelarut lemak (misalnya air sabun, detergent,
chloroform, ethe, dan sebagainya), diluar jaringan hidup, dapat diinaktifkan dengan B-
propiolakton, phenol, halidol azirin. Bisa bertahan hidup dalam beberapa minggu di dalam
larutan gliserin pekat pada suhu kamar, sedangkan pada suhu di bawah 4°C dapat bertahan hidup
sampai berbulan-bulan.

3. Masa Inkubasi

Masa inkubasi dari penyakit rabies 2 minggu s.d 2 tahun. Sedangkan di Indonesia masa inkubasi
berkisar antara 2 – 8 minggu.

4. Sumber dan Cara Penularan

Sumber penyakit rabies adalah anjing (98%), kucing dan kera (2%). serta hewan liar lainnya
(serigala, raccoon/rakun, harimau, tikus, kelelawar). Cara penularan melalui gigitan dan non
gigitan (aerogen, transplantasi, kontak dengan bahan mengandung virus rabies pada kulit lecet
atau mukosa).

5. Pengobatan

Setiap kasus gigitan hewan penular rabies ditangani dengan cepat melalui pencucian luka gigitan
dengan sabun / detergen dengan air mengalir selama 15 menit, kemudian diberikan antiseptic
(alkohol 70%, betadine, obat merah, dan lain-lain). Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) dan
Serum Anti Rabies (SAR) dihentikan bila hewan penggigit tetap sehat selama 14 hari observasi
dan hasil pemeriksaan laboratorium negatif. Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) dilakukan
berdasarkan :
a. Luka Risiko Rendah :
Yang termasuk luka risiko rendah adalah jilatan pada kulit luka, garukan, atau lecet, luka kecil di
sekitar tangan, badan dan kaki.
Pemberian VAR diberikan pada hari ke 0 sebanyak 2 dosis secara intramuskuler (i.m) di lengan
kiri dan kanan. Suntikan kedua dilanjutkan pada hari ke 7 sebanyak 1 dosis dan hari ke 21
sebanyak 1 dosis. Bila kasus GHPR 3 bulan sebelumnya mendapat VAR lengkap tidak perlu
diberikan VAR, bila lebih dari 3 bulan sampai 1 tahun diberikan VAR 1 kali dan bila lebih dari 1
tahun dianggap penderita baru yang harus diberikan VAR lengkap.
b. Luka Resiko Tinggi
Yang termasuk luka resiko tinggi jilatan/luka di mukosa, luka diatas daerah bahu, (mukosa,leher,
kepala), luka pada jari tangan dan kaki,genetalia, luka lebar/dalam dan luka yang banyak
(multiple wound).
Pengobatan melalui kombinasi VAR dan SAR, Serum Anti Rabies (SAR) diberikan saat
bersamaan dengan VAR pada hari ke 0, sebagian besar disuntikan pada luka bekas gigitan dan
sisanya disuntikan secara i.m pada bagian tubuh lain yang letaknya berbeda dengan penyuntikan
VAR. Pemberian VAR sebanyak 4 kali pemberian secara i.m pada hari ke 0 dengan 2 x
pemberian, hari 7 (1X) dan hari 21 (1X). Pemberian booster VAR pada hari ke 90 sebanyak 1
dosis.

6. Epidemiologi

Rabies tersebar luas diseluruh dunia, antara lain : Rusia, Argentina, Brasilia, Australia, Israel,
Spanyol, Afghanistan, Amerika Serikat, Indonesia, dan sebagainya. Tahun 2010 penyakit Rabies
menyebar di 24 provinsi sebagai daerah tertular dari 33 provinsi di Indonesia, hanya 9 Provinsi
yang masih bebas yaitu Kep.Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah,
Jawa Timur, NTB, Papua dan Irian Jaya Barat yang masih dinyatakan sebagai daerah bebas
rabies. Provinsi Bali sebelumnya adalah daerah bebas Rabies secara historis, tetapi pada bulan
November tahun 2008 terjadi KLB Rabies di Provinsi Bali, kemudian berdasarkan SK Mentan
Nomor 1696 Tahun 2008 Provinsi Bali ditetapkan sebagai Kawasan Karantina Penyakit Anjing
Gila (Rabies).
Situasi Rabies di Indonesia tahun 2010 dilaporkan 78.288 kasus Gigitan Hewan Penular Rabies
(GHPR), dengan Lyssa (kematian rabies) sebanyak 206 orang dan telah dilakukan pemberian
VAR (Vaksin Anti Rabies) 62.980 orang (81%).
Kasus Rabies pada manusia pada tahun 2010 terbanyak dilaporkan dari provinsi Bali dengan
kematian 82 orang. Ada pun Provinsi yang berhasil menekan jumlah lyssa menjadi 0 kasus pada
tahun 2010 ada 8 provinsi yaitu provinsi NAD, Bengkulu, Banten, Kalimantan Timur,
Kalimantan Selatan dan Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.
Situasi Rabies di Indonesia sampai 19 September tahun 2011 dilaporkan 52.503 kasus Gigitan
Hewan Penular Rabies (GHPR), dengan Lyssa (kematian rabies) sebanyak 104 orang dan telah
dilakukan pemberian VAR (Vaksin Anti Rabies) 46.051 (87,71%).

7. Kejadian Luar Biasa

Dalam rangka menuju Indonesia bebas Rabies 2015, batasan kriteria KLB rabies adalah apabila
terjadi 1 (satu) kasus kematian Rabies (Lyssa) pada manusia dengan riwayat digigit Hewan
Penular Rabies.

1) Penyelidikan epidemiologi

Penyelidikan epidemiologi dilakukan terhadap setiap laporan adanya peningkatan kasus gigitan
hewan tersangka Rabies. Penyelidikan diarahkan pada penemuan kasus tambahan gigitan hewan
tersangka rabies lainnya.
Kasus Rabies adalah penderita gigitan hewan penular Rabies dengan gejala klinis rabies yang
ditandai dengan Hydrophobia. Penegakan diagnosa dilakukan secara konfirmasi Laboratorium
pada Hewan Penular Rabies dengan cara memotong hewan yang menggigit dan mengirimkan
kepalanya ke Balai Besar Penelitian Veteriner (BBvet) untuk diperiksa otaknya. Otak diperiksa
apakah di otak ditemukan Negri Bodies, bila ditemukan kasus tersebut adalah kasus konfirm
diagnose Rabies.

2) Penanggulangan

Penanggulangan yang dilakukan bertujuan untuk mencegah dan membatasi penularan penyakit
Rabies.
a. Melengkapi unit pelayanan kesehatan dengan logistik untuk pengobatan dan pengambilan
spesimen (bila diperlukan).
b. Berkoordinasi dengan Dinas Peternakan setempat untuk tatalaksana hewan penular rabies
(vaksinasi, eliminasi dan pembatasan lalu-lintas hewan penular rabies).
c. Melibatkan para pengambil keputusan dan tokoh masyarakat untuk menyampaikan informasi
tentang apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan masyarakat bila terjadi kasus gigitan/
kasus rabies.
d. Pencucian luka gigitan hewan penular rabies dengan sabun atau detergen dengan air mengalir
selama 10-15 menit.
e. Pemberian VAR dan SAR sesuai prosedur (Pengobatan).
f. Penyuluhan tentang bahaya rabies serta pencegahannya kepada masyarakat.

3) Surveilans Ketat pada KLB

a. Perkembangan jumlah kasus gigitan dan kasus rabies dengan melalui surveillans aktif di
lapangan berupa data kunjungan berobat, baik register rawat jalan dan rawat inap dari unit
pelayanan termasuk rabies center dan masyarakat yang kemudian disajikan dalam bentuk grafik
untuk melihat kecenderungan KLB.
b. Berkoordinasi dengan Dinas Peternakan mengenai data perkembangan populasi hewan
tersangka rabies

8. Sistem Kewaspadaan Dini KLB

a) Kajian Epidemiologi Ancaman KLB


Melaksanakan pengumpulan data dan pengolahan data serta informasi gigitan HPR, kesakitan
dan kematian rabies pada manusia dan hewan, kondisi rentan KLB seperti populasi HPR,
cakupan imunisasi anjing atau HPR serta ketersediaan logistik penanggulangan di Puskesmas
dan Dinas Kesehatan.
b) Peringatan Kewaspadaan Dini KLB
Bila dari kajian epidemiologi adanya kecenderungan ancaman KLB (adanya cakupan imunisasi
HPR rendah, peningkatan gigitan dan dan adanya kasus HPR positif rabies) maka diberikan
peringatan kewaspadaan dini kemungkinan adanya ancaman KLB kepada pemangku
kepentingan (Puskesmas, Rumah Sakit, Peternakan, Camat, Kepala Desa/Lurah, Bupati,
Walikota dan lain-lain)
c) Peningkatan Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan terhadap KLB
Peningkatan dan penyelidikan lebih dalam mengenai kondisi rentan KLB dengan melaksanakan
PWS kondisi rentan KLB. Melakukan PWS penyakit potensial KLB (Rabies) secara intensif di
Puskesmas dan Puskesmas pembantu.
Penyelidikan awal tentang adanya KLB. Melakukan penyuluhan kesehatan untuk mendorong
kewaspadaan KLB di Puskesmas, Pustu, klinik lainnya dan masyarakat.
Kesiapsiagaan menghadapi KLB antara lain Tim Gerak Cepat Puskesmas, Kabupaten/Kota,
Logistik dan lain-lain. Menjalin koordinasi dan kerjasama dengan program dan lintas sektor
terkait untuk memperbaiki kondisi rentan KLB rabies seperti : imunisasi HPR, eliminasi HPR tak
berpemilik, pengawasan gigitan HPR dan lain-lain.

sumber :
BUKU PEDOMAN Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular
dan Keracunan Pangan (Pedoman Epidemiologi Penyakit)

Anda mungkin juga menyukai