Anda di halaman 1dari 10

BORANG PORTOFOLIO

No. ID dan Nama Peserta: dr. Diaga


No. ID dan Nama Wahana: Puskesmas Purwakarta
Topik: Non-probable rabies Vulnus morsum e.c. dog bite
Tanggal (kasus): 10 Januari 2013
Tanggal Presentasi: 2013
Pendamping: dr. Najmah
Tempat Presentasi: Puskesmas Purwakarta
Objektif Presentasi:
Keilmuan
Keterampilan
Penyegaran
TinjauanPustaka
Diagnostik
Manajemen
Masalah
Istimewa
Ana
Bumi
Neonatus
Bayi k
Remaja Dewasa
Lansia l
Deskripsi: Pasien wanita berusia 40 tahun datang dengan luka di punggung kaki kanan
6 hari lalu.
Tujuan:mendiagnosis dan menatalaksana pasien
TinjauanPustak
Bahan Bahasan:
a
Riset
Kasus
Audit
Cara Membahas: Diskusi
Presentasidandiskusi Email Pos
Data pasien:
Nama: Ny. T
Nomor registrasi: 559.01.13
Nama
ruangan:
Ruangan
Balai
Pengobatan Puskesmas Purwakarta
Telp: Terdaftar sejak: Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis / Gambaran Klinis:
Sejak 6 hari yang lalu pasien terluka di punggung kaki kanan karena digigit anjing.
Keluhan yang dirasakan sekarang kaki terasa baal dan pegal. 1 hari yang lalu pasien
mengaku kaki bengkak dan badan demam. Keluhan sakit kepala, pegal-pegal, mudah
lelah, tidak nafsu makan, mual, muntah, sakit tenggorokan atau batuk kering disangkal.
Pasien mengaku anjing yang menggigit adalah anjing peliharaan kakak pasien. Riwayat
vaksin anjing yang menggigit, kakak pasien yang memelihara anjing tersebut mengaku
anjing yang dipelihara dirawat sejak masih kecil tetapi belum pernah diberikan vaksin.
Saat menggigit pasien, pemilik anjing mengaku anjing tersebut baru beberapa hari
melahirkan. Pemilik anjing mengaku 1 hari lalu anjing kabur tidak tahu kemana.
Sebelum kabur pemilik mengaku anjingnya sehat-sehat saja dan tidak menunjukkan
perilaku yang tidak normal.
2. Riwayat Pengobatan: pasien hanya membersihkan luka bekas gigitan dengan
betadine dan obat-obat herbal.
Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda vital:
o TD: 110/70 mmHg
o Nadi: 90x/menit
o Respirasi: 20x/menit
Kepala:
Konjungtiva anemis : -/sclera icterik : -/-

Thorax:
Bentuk dan gerak simetris
Cor: BJ murni, regular, murmur (-)
Pulmo: VBS ka=ki, rhonchi -/-, wheezing -/Abdomen: datar, soepel, BU (+), NT(-)
Ekstremitas:
vulnus morsum a/r dorsum pedis dextra, single, ukuran 0,5 x 0,5 x 0,5 cm

DaftarPustaka:
1. Corey, Lawrence. Rabies, Rhabdovirus, dan agen mirip-marburg. In: Harrison Prinsipprinsip ilmu penyakit dalam Edisi 13. Jakarta : EGC. 1999. p.938-941
2. Harijanto, Paul N. Gunawan, Carta A. Rabies. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1736-1740.
3. Bleck. TP. Rupprecht. CE. Rabies Virus. In: Mandell GL, Bennet JE, Dollin R (Eds).
Mandell, Douglas amd Bennets Principles and Practice of Infectious Diseases. 5 th ed.
Churchill Livingstone, Philadelphia 2000, p 1811 1820
4. Chin, James. Manual Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17. American Public
Health Association, Jakarta 2000, p 427 - 436
RANGKUMAN HASIL PEMBELAJARAN PORTOFOLIO
Subjektif:
Sejak 6 hari yang lalu pasien terluka di punggung kaki kanan karena digigit anjing.
Keluhan yang dirasakan sekarang kaki terasa baal dan pegal. 1 hari yang lalu pasien
mengaku kaki bengkak dan badan demam. Keluhan sakit kepala, pegal-pegal, mudah
lelah, tidak nafsu makan, mual, muntah, sakit tenggorokan atau batuk kering disangkal.
Pasien mengaku anjing yang menggigit adalah anjing peliharaan kakak pasien. Riwayat
vaksin anjing yang menggigit, kakak pasien yang memelihara anjing tersebut mengaku
anjing yang dipelihara dirawat sejak masih kecil tetapi belum pernah diberikan vaksin.
Saat menggigit pasien, pemilik anjing mengaku anjing tersebut baru beberapa hari
melahirkan. Pemilik anjing mengaku 1 hari lalu anjing kabur tidak tahu kemana.
Objektif:
Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda vital:
o TD: 110/70 mmHg
o Nadi: 90x/menit
o Respirasi: 20x/menit
Kepala:
Konjungtiva anemis : -/sclera icterik : -/ Thorax:
Bentuk dan gerak simetris
Cor: BJ murni, regular, murmur (-)
Pulmo: VBS ka=ki, rhonchi -/-, wheezing -/-

Abdomen: datar, soepel, BU (+), NT(-)


Ekstremitas:
vulnus morsum a/r dorsum pedis dextra, single, ukuran 0,5 x 0,5 x 0,5 cm
Assessment:
DEFINISI
Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai
semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva. Sebagian
besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang terinfeksi, tapi kadang
aerosol virus atau proses pencernaan atau transplantasi jaringan yang terinfeksi dapat
memulai proses penyakit.
Virus rabies merupakan virus asam ribonuklet beruntai tunggal, beramplop,
berbentuk peluru dengan diameter 75 sampai 80nm termasuk anggota kelompok
rhabdovirus.
EPIDEMIOLOGI
Rabies terdapat dalam dua bentuk epidemiologik : urban, disebarluaskan
terutama oleh anjing, dan/atau kucing rumah yang tidak diimunisasi, dan sylvatic,
disebarluaskan oleh sigung (skunk), rubah, raccoon, luwak (mongoos), serigala, dan
kelelawar. Infeksi pada binatang yang jinak biasanya menunjukkan kelebihan reservoar
infeksi sylvatic, dan manusia dapat terinfeksi oleh salah satunya. Oleh karena itu infeksi
pada manusia cenderung terjadi pada tempat rabies bersifat enzootik atau epizootik,
yaitu jika terdapat banyak populasi binatang jinak yang tidak diimunisasi, dan manusia
kontak dengan udara terbuka.
Kematian karena rabies hanya sekitar 1000 dilaporkan oleh World Health
Organization (WHO) setiap tahun, sedangkan insidensi rabies di seluruh dunia
diperkirakan lebih dari 30.000 kasus pertahun. Asia tenggara, Philipina, Afrika dan
Amerika Selatan tropik adalah area tempat penyakit biasanya terjadi. Pada beberapa area
endemik 1 sampai 2% dari pasien yang diotopsi menunjukkan tanda tanda rabies.
Peningkatan penyebaran rabies yang hidup di darat dan peningkatan perjalanan ke
negara negara yang didalamnya terdapat rabies perkotaan telah membuat perhatian
mengenai rabies klinis dan pencegahannya. Di Amerika, rabies manusia sangat jarang,
dan sebagian besar kasus sekarang berasal dari gigitan binatang yang terpajan di negara
negara yang didalamnya terdapat endemik rabies anjing.
PATOGENESIS
Kejadian pertama pengenalan hidup melalui epidermis atau ke dalam membran
mukosa. Replikasi viral awal tampak terjadi dalam sel otot lurik di daerah inokulasi.
Sistem saraf perifer terpajan pada berkas neurotendinal dan/atau neuromuskuler. Virus
kemudian menyebar secara sentripetal naik ke saraf sampai sistem saraf pusat, mungkin
melalui aksoplasma saraf perifer dengan kecepatan 3mm/jam. Secara eksperimen,
viremia terbukti terjadi, tetapi tidak dianggap mempunyai peranan pada penyakit yang
secara alami didapat. Sekali virus mencapai sistem saraf pusat, virus melakukan replikasi
secara eksklusif dalam substansia kelabu dan kemudian lewat secara sentrifugal
sepanjang saraf autonom untuk mencapai jaringan jaringan lain termasuk kelenjar
saliva, medula adrenalis, ginjal, paru-paru, hepar, otot rangka, kulit dan jantung.
Perjalanan menuju kelenjar saliva menyebabkan transmisi lanjutan penyakit melalui

saliva yang terinfeksi. Virus juga tersebar pada air susu dan urine.
Periode inkubasi rabies sangat bervariasi, antara 10 hari sampai lebih dari 1 tahun
(rata rata 1 sampai 2 bulan). Periode waktu tampak tergantung pada jumlah virus yang
masuk, jumlah jaringan yang terserang, mekanisme pertahanan penjamu dan jarak
sesungguhnya virus berjalan dari daerah inokulasi ke sistem saraf pusat. Kasus rabies
manusia dengan periode inkubasi yang panjang ( 2 sampai dengan 7 tahun) telah
dilaporkan tapi jarang terjadi. Respons imun penjamu dan strain viral juga dapat
mempengaruhi ekspresi penyakit. Respons imun yang diperantai sel dicatat pada pasien
dengan ensefalitis rabies, tetapi tidak ada pasien dengan rabies paralitik.
Neuropati rabies menyerupai penyakit viral lain pada sistem saraf pusat:
hiperemia, berbagai derajat kromatolisis, piknosis nuklear dan neurofagia sel saraf;
diinfiltrasi oleh limposit dan sel plasma ruang Virchow-Robin; infiltrasi mikroglia dan
area parenkim destruksi sel saraf. Pada model hewan eksperimental, sering terjadi
infeksi adenohipofisis karena virus rabies, dengan pengurangan pada hormon
pertumbuhan dan pelepasan vasopresin. Lesi rabies yang patognomik adalah badan
negri. Massa eosinofilik ini, berukuran sekitar 10nm tersusun atas matriks fibilar halus
dan partikel virus rabies. Badan negri tersebar di seluruh otak, terutama kornu Ammon,
korteks serebral, otak tengah, hipotalamus, sel purkinje serebelum dan ganglia dorsalis
medulla spinalis. Badan negri tidak ditemukan pada sedikitnya 20% kasus rabies dan
tidak adanya badan negri ini pada material otak tidak menyingkirkan diagnosis.
MANIFESTASI
Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bisa bervariasi antara
7 hari hingga 7 tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7 tahun. Karena lamanya
inkubasi kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya gigitan. Pada
anak-anak masa inkubasi biasanya lebih pendek daripada orang dewasa. Lamanya masa
inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan besarnya luka gigitan, lokasi luka gigitan (jauh
dekatnya ke sistem saraf pusat), derajat patogenitas virus dan persarafan daerah luka
gigitan. Luka pada kepala inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari.
Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal non
spesifik, (2) ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3) disfungsi pusat
batang otak yang mendalam yang menimbulkan gambaran klasik ensefalitis rabies, dan
(4) jarang, sembuh.
Periode prodromal biasanya menetap selama 1 sampai 4 hari dan ditandai dengan
demam, sakit kepala, malaise, mialgia, mudah terserang lelah (fatigue), anoreksia,
nausea, dan vomitus, nyeri tenggorokan dan batuk yang tidak produktif. Gejala
prodromal yang menunjukkan rabies adalah keluhan parestesia dan/atau fasikulasi pada
atau sekitar tempat inokulasi virus dan mungkin berhubungan dengan multiplikasi virus
dalam gaglion dorsalis saraf sensoris yang mempersarafi area gigitan. Gejala ini terdapat
pada 50 sampai 80% pasien.
Stadium prodromal dapat berlangsung hingga 10 hari, kemudian penyakit akan
berlanjut sebagai gejala neurologik akut yang dapat berupa furious atau paralitik.
Mioedema dijumpai pada stadium prodromal dan menetap selama perjalanan penyakit.4
Fase ensefalitis biasanya ditunjukkan oleh periode aktivitas motorik yang
berlebihan, rasa gembira, dan gelisah. Muncul rasa bingung, halusinasi, combativeness,
penyimpangan alur pikiran yang aneh, spasme otot, meningismus, posisi opistotonik,
kejang, dan paralisis fokal. Yang khas, periode penyimpangan mental yang diselingi

dengan periode lucid tapi bersama dengan berkembangnya penyakit, peride lucid
menjadi lebih pendek sampai pasien akhirnya menjadi koma. Hiperestesi, dengan
sensitivitas yang berlebihan terhadap cahaya terang, suara keras, sentuhan, bahkan
tiupan yang lembut sering terjadi. Pada pemeriksaan fisis, suhu tubuh naik hingga
40,6C. abnormalitas sistem saraf otonom meliputi dilatasi pupil yang ireguler,lakrimasi
meningkat, salivasi, berkeringat dan hipotensi postural. Juga terdapat tanda paralisis
motor neuron bagian atas dengan kelemahan, meningkatnya refleks tendo profunda, dan
respon ekstensor plantaris. Paralisis pita suara biasa terjadi.
Manifestasi disfungsi batang otak segera terjadi setelah mulainya fase ensefalitis.
Terkenanya saraf kranialis menyebabkan diplopia, kelumpuhan fsialm neuritis optik dan
kesulitan menelan yang khas. Gabungan salivasi yang berlebihan dan kesulitan menelan
menimbulkan gambaran tradisional foaming at the mouth. Hidrofobia, kontraksi
diafragma involunter, kuat dan nyeri, kontraksi otot respirasi tambahan, faringeal, dan
laringeal yang dimulai dengan menelan cairan, tampak pada sekitar 50% kasus.
Terkenanya nukleus amigdaloideus menyebabkan priapismus dan ejakulasi spontan.
Pasien menjadi koma, dan terkenanya pusat respirasi menimbulkan kematian apneik.
Menonjolnya disfungsi batang otak dini membedakan rabies dari ensefalitis virus
lainnya dan bertanggung jawab pada perjalanan penyakit yang menurun cepat. Daya
tahan hidup rata-rata setelah mulainya gejala adalah 4 hari, dengan maksimum 20hari,
kecuali diberikan tindakan bantuan artifisial.
Kadang - kadang, rabies dapat terjadi sebagai paralisis asenden yang menyerupai
sindroma Landry-Guillan-Barr (dumb rabies, rage tranquille). Pola klinis ini terjadi
paling sering pada mereka yang digigit kelelawar atau pada mereka yang mendapat
profilaksis rabies pasca pemajanan.
Kesulitan menduga rabies jika disertai dengan paralisis asendens yang
digambarkan dengan dokumentasi penularan virus dari orang ke orang pada transplantasi
jaringan. Jaringan transplan dari dua donor yang meninggal karena dicurigai sindroma
Landry-Guillan-Barr menimbulkan rabies klinis dan kematian pada resipien.
Pemeriksaan patologik retrospektif pada otak dari kedua resipien menunjukkan badan
negri, dan virus rabies selanjutnya diisolas dari setiap mata donor yang dibekukan.
Stadium
Inkubasi

Tabel Perjalanan Penyakit Penderita Rabies


Lamanya (% kasus)
Manifestasi klinis
Tidak ada
< 30 hari (25%)

Prodromal

30-90 hari (50%)


90 hari 1 tahun (20%)
>1 tahun (5%)
2-10 hari

Parestesi, nyeri pada luka


gigitan,
demam,
malaise,
anoreksia, mual & muntah,
nyeri kepala, lethargi, agitasi,
anxietas, depresi

Neurologik akut
Furious (80%)

2-7 hari

Halusinasi, bingung, delirium,


tingkah laku aneh, agitasi,
menggigit,
hidropobia,
hipersalivasi, disfagia, afasia,
inkoordinasi,
hiperaktif,
spasme
faring,
aerofobia,
hiperventilasi, disfungsi saraf
otonom,
sindroma
abnormalitas ADH
Paralisis flaksid

Koma

Paralitik

2-7 hari
0-14 hari

Autonomic
instability
hipoventilasi, apnea, henti
nafas, hipotermia/hipertermia,
hipotensi, disfungsi pituitari,
rhabdomiolisis, aritmia dan
henti jantung

TEMUAN LABORATORIUM
Pada awal penyakit hemoglobin dan kimia darah rutin normal, tapi abnormalitas
terjadi bersamaan dengan disfungsi hipotalamus, perdarahan gastrointestinal, dan
komplikasi lainnya. Jumlah leukosit perifer agak meningkat (12000 sampai 17000 sel
permikroliter) tapi mungkin normal atau setinggi 30000 sel per mikroliter.1
Seperti pada setiap infeksi virus, diagnosis spesifik rabies tergantung pada (1)
isolasi virus dari sekresi yang terinfeksi [saliva, jarang cairan serebrospinalis (CSF), atau
jaringan (otak)], (2) petunjuk serologik infeksi akut, atau (3) adanya antigen virus dalam
jaringan yang terinfeksi, misalnya, apusan impresi kornea, biopsi kulit, atau otak.
Sampel otak diperoleh dengan pemeriksaan postmortem atau pada biopsi otak yang
ditujukan untuk (1) pemeriksaan inokulasi tikus untuk isolasi virus (2) pewarnaan
antibodi fluoresen (FA, fluorescent antibody) untuk antigen virus, dan (3) pemeriksaan
histologik dan/atau mikroskopik elektron untuk melihat badan Negri.
Jika pasien tidak pernah menerima imunisasi antirabies, kenaikan antibodi
netralisasi terhadap virus rabies sebanyak 4 kali lipat dalam serangkaian sampel serum
merupakan diagnostik. Jika pasien menerima vaksin rabies, petunjuk untuk diagnosis
mungkin diperoleh dari titer absolut antibodi netralisasi serum dan adanya antibodi
netralisasi terhadap rabies dalam cairan serebrospinal. Profilaksis rabies pasca
pemajanan jarang menimbulkan antibodi netralisasi-cairan serebrospinal terhadap rabies.
Jika adanya, biasanya dengan titer yang rendah, misalnya kurang dari 1:64, sedangkan
titer cairan serebrospinal dalam rabies manusia dapat bervariasi dari 1:200 sampai
1:160000.
Isolasi virus sangat baik dilakukan pada minggu pertama dari bahan yang berasal
dari saliva, hapusan tenggorokan, trakea, kornea, sampel biopsi kulit.otak, cairan
serebrospinal dan kadang-kadang urin. Isolasi virus kadang-kadang tidak berhasil

didapatkan dari bahan-bahan tersebut setelah 10-14 hari sakit, hal ini berhubungan
dengan adanya neuralizing antibodi.
Deteksi neutralizing antibodi dalam serum penderita yang tidak divaksinasi dapat
dipakai sebagai alat diagnostik. Terdapatnya antibodi dalam cairan serebrospinal juga
menegaskan diagnosis tetapi muncul 2-3 hari lebih lambat dibandingkan dengan
antibodi serum dan kurang bermanfaat pada awal penyakit, namun dipakai untuk
mengevaluasi respons antibodi pada serum dan CSS sesudah vaksinasi yang
memberikan kadar tinggi (pada CSS kadarnya 2-25% dari serum).
Fluororescent antibodies test (FAT) dengan cepat mengidentifikasi antigen virus
rabies di jaringan otak, sedimen cairan serebrospinalis, urin, bahkan setelah teknik
isolasi virus tidak berhasil. Sensitivitas tes ini bahkan 60-100%. FAT pada hapusan
kornea sangat tidak sensitif untuk digunakan karena sering terjadi positif palsu. Pada
awal penyakit (minggu I) FAT dari kulit leher merupakan tes yang paling sensitif
walaupun dapat terjadi negatif palsu.
Di Amerika Serikat, tes standard adalah rapid fluororescent focus inhibition test
(RFFIT) untuk mendeteksi antibodi spesifik, dimana hasil diperoleh dalam waktu 48
jam.
Pada 71-90% penderita rabies ditemukan negri bodies yang khas untuk penyakit
tersebut, yang bersifat asidofilik, berbentuk bulat dan pada yang klasik terdapat butirbutir basofilik didalamnya. Negri bodies dapat dilihat melalui pemeriksaan histologis
biopsi jaringan otak penderita post mortem dan jaringan otak hewan terinfeksi atau
hewan yang diinokulasi dengan virus rabies. Deteksi RNA virus rabies seperti juga pada
infeksi virus lainnya dapat dilakukan melalui pemeriksaan Reverse-Transcriptase
Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)

Negri Bodies
PENANGANAN RABIES
Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies;
penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal
nafas. Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak
menggembirakan. perawatan intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila
mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan
kardiovaskuler yang sering terjadi. Isolasi penderita penting segera setelah diagnosa
ditegakkan untuk menghindari rangsangan-rangsangan yang dapat menimbulkan spasme
otot dan mencegah penularan. Staf rumah sakit perlu menghindarkan diri terhadap

penularan virus dari air liur, urin, air mata, cairan lain dan yang paling berbahaya adalah
kontak dengan mukosa atau kulit yang terluka khususnya akibat gigitan dengan universal
precaution (memakai sarung tangan dan sebagainya). Virus tidak menular melalui darah
dan tinja. Yang penting dalam pengawasan penderita rabies adalah terjadinya hipoksia,
aritmia, gangguan elektrolit, hipotensi dan edema serebri.
Penderita rabies dapat diberikan obat-obat sedatif dan analgesik secara adekuat
untuk memulihkan ketakutan dan nyeri yang terjadi. Penggunaan obat-obat anti serum,
anti virus, interferon, kortikosteroid dan imunosupresif lainnya tidak terbukti efektif.
Penanganan luka
Pengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan rabies.
Luka gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan debridemen dan diberikan
desinfektan seperti alkohol 40-70%, tinktura yodii, atau larutan ephiran 0.1%. luka
akibat gigitan binatang penular rabies tidak dibenarkan untuk dijahit kecuali bila
keadaan memaksa dapat dilakukan jahitan situasi. Profilaksis tetanus dapat diberikan dan
infeksi bakterial yang berhubungan dengan luka gigitan perlu diberikan antibiotik.
Profilaksis pasca paparan
Dasar vaksinasi post-exposure (pasca paparan) adalah neutralizing antibody
terhadap virus rabies dapat segera terbentuk dalam serum setelah masuknya virus
kedalam tubuh dan sebaiknya terdapat dalam titer yang cukup tinggi selama setahun
sehubungan dengan panjangnya inkubasi penyakit. neutralizing antibody tersebut dapat
berasal dari imunisasi pasif dengan serum antirabies atau secara aktif diproduksi oleh
tubuh oleh karena imunisasi aktif.
Secara garis besar ada 2 tipe vaksin anti rabies (VAR) yaitu a). Nerve Tissue
Vaccine (NTV) yang dapat berasal dari otak hewan dewasa seperti kelinci, kambing,
domba dan monyet atau berasal dari otak bayi hewan mencit seperti Suckling Mouse
Brain Vaccine (SMBC); b). Non Nerve Tissue Vaccine yang berasal dari telur itik
bertunas (Duck Embryo Vaccine = DEV) dan vaksin yang berasal dari biakan jaringan
seperti Human Diploid Cell Vaccine (HDCV) dan Purified Vero Cell Rabies Vaccine
(PVRV).
Pada luka gigitan yang ringan pemberian vaksin saja sudah cukup tetapi pada
semua kasus gigitan yang parah adn semua gigitan binatang liar yang biasanya menjadi
vektor rabies, kombinasi vaksin dan serum anti rabies (SAR) adalah yang paling ideal
dan memberikan proteksi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan vaksin saja. SAR
dapat digolongkan dalam golongan serum homolog yang berasal dari manusia (Human
Rabies Immune Globulin = HRIG) dan serum heterolog yang berasal dari hewan.
Cara vaksinasi pasca paparan yang dilakukan pada paparan yang ringan berupa
pemberian VAR secara intramuskuler pada otot deltoid atau anterolateral paha dengan
dosis 0.5 mL pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (regimen Essen/rekomendasi WHO), atau
pemberian VAR 0.5 mL pada hari 0, 7, 21 (regimen Zagreb/rekomendasi Depkes RI).
Karena mahalnya harga vaksin, di Thailand digunakan regimen yang dinamakan Thai
Red Cross Intradermal (TRC-ID), dengan pemberian dosis 0.1 mL intradermal 2 dosis
pada hari 0, 3, 7 kemudian 1 dosis pada hari 28 dan 90. Pada orang yang sudah
mendapat vaksin rabies dalam waktu 5 tahun terakhir, bila digigit binatang tersangka
rabies, vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan 3, namun bila gigitan

dikategorikan berat, vaksin diberikan lengkap. Pada luka gigitan yang parah, gigitan
leher ke atas, pada jari tangan dan genitalia diberikan SAR 20 IU per kilogram berat
badan dosis tunggal. Cara pemberian SAR adalah setengah dosis infiltrasi pada daerah
luka dan setengah dosis intramuskuler pada tempat yang berlainan dengan suntikan
SAR, diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama SAR.
Profilaksis pra-pemajanan
Individu dengan resiko kontak dengan virus rabies tinggi-dokter hewan,
penyelidik gua, pekerja laboratorium dan pelatih binatang-sebaiknya mendapat
profilaksis pra-pemajanan dengan vaksin rabies. Wisatawan yang akan berkunjung ke
daerah-daerah endemis seperti Meksiko, Thailand, Filipina, India, Sri Lanka dianjurkan
mendapatkan pencegahan pre-exposure. Vaksin anti rabies diberikan dengan dosis 1 mL
secara intramuskuler pada hari ke 0, 7, dan 28 lalu booster setelah 1 tahun dan tiap 5
tahun.
Efek samping/komplikasi vaksinasi
Vaksin anti rabies di samping memberikan perlindungan terhadap rabies juga
dapat memberikan macam-macam reaksi negatif pada tubuh manusia yaitu reaksi lokal,
berupa bengkak, gatal-gatal, eritema dan rasa sakit pada tempat suntikan serta reaksi
umum berupa panas, malaise, mual muntah, diare dan mialgia. Keadaan ini dapat diatasi
dengan pemberian kompres lokal pad tempat suntikan, anti histamin dan antipiretik.4
Komplikasi neurologi yang cukup berbahaya adalah ensephalomielitis dengan
gejala sakit kepala mendadak, panas, muntah, paresis, paralisis, parestesia, kaku kuduk,
ataksia dan kejang. Komplikasi ini biasanya terjadi pada vaksinasi dengan NTV yang
berkaitan dengan protein myelin yang bersifat ensefalitogenik dan terjadi
hipersensitivitas terhadap jaringan saraf. Pada pemakaian DEV dapat pula terjadi reaksi
alergi terhadap protein telur bagi orang yang hipersensitif. Pada keadaan ini vaksinasi
harus dihentikan dan penderita diberikan kortikosteroid dosis tinggi lalu diturunkan
dosisnya secara bertahap. Pada pemberian HDCV dapat terjadi gejala seperti sindroma
Guillain Barre, namun sangat jarang. Pada vaksin generasi baru (PRCV) tidak pernah
dialporkan lagi komplikasi ensefalomielitis.
SAR dapat memberikan efek samping berupa reaksi anafilaksis dan serum
sickness. Reaksi anafilaksis ditangani dengan pemberian adrenalin dan serum sickness
diatasi dengan pemberian kortikosteroid dan antihistamin.
Dosis booster HDCV disertai demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi pada
sekitar 20% resipien. Lebih dari 6% yang menerima booster HDCV IM mengalami
reaksi mirip-kompleks imun yang ditandai dengan urtikaria, arthritis, nausea, vomitus,
dan kadang-kadang angiodema. Reaksi-reaksi ini akan sembuh sendiri dan tampaknya
dihubungkan dengan adanya -propriolakton-albumin serum manusia yang berubah
dalam vaksin dan timbulnya antibodi IgE terhadap antigen ini. Individu yang bekerja
pada area resiko tinggi sebaiknya mendapat pengukuran antibodi secara periodik, dan
dosis booster dianjurkan untuk mereka dengan titer antibodi yang rendah. Mereka
dengan resiko yang sangat rendah dapat memilih untuk tidak menerima dosis booster
rutin tapi hanya menerima imunisasi aktif dengan substansi yang mana saja.
PENCEGAHAN

Jika anjing atau kucing yang sehat menggigit orang, maka binatang itu ditangkap,
diisolasi dan diobservasi selama 10 hari. Jika timbul penyakit atau tingkah laku yang
abnormal pada binatang itu selama periode observasi, binatang itu dibunuh untuk
pemeriksaan fluororescent antibody. Bukti percobaan dan epidemiologik menunjukkan
bahwa binatang yang tetap sehat selama 10 hari setelah gigitan tidak akan menularkan
virus rabies rabies pada waktu menggigit.
PROGNOSIS
Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah
mencapai sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan
dilaporkan 10 pasien yang sembuh dari rabies namun sejak tahun 1972 hingga sekarang
belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup. Prognosis seringkali fatal karena sekali
gejala rabies telah tampak hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai
akibat gagal nafas/henti jantung ataupun paralisis generalisata. Berbagai penelitian dari
tahun 1986 hingga 2000 yang melibatkan lebih dari 800 kasus gigitan anjing pengidap
rabies di negara endemis yang segera mendapat perawatan luka, pemberian VAR dan
SAR, mendapatkan angka survival 100%.
Plan:
Diagnostik kerja :
Vulnus morsum e.c. dogbite a/r dorsum pedis dextra
Pengobatan:
- Pembersihan luka
- Antibiotik Amoxycillin kaplet 3x500 mg
- Analgetik Paracetamol tablet 3x500mg
Pendidikan : jelaskan kepada pasien dan keluarganya mengenai kasus gigitan anjing
dan kemungkinan rabies.
Kontrol : Pasien diminta control kembali setelah 3 hari untuk menilai kesembuhan luka
dan gejala lebih lanjut dari kemungkinan rabies.

Anda mungkin juga menyukai