PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Etiologi
Rabies (penyakit anjing gila) adalah infeksi akut susunan saraf pusat oleh
virus rabies (famili Rhabdoviridae, genus Lyssavirus).6 Hewan penular virus rabies
antara lain anjing, kucing, kera, kelelawar, musang, dan serigala.3,7,8 Di Indonesia,
umumnya hewan penular virus rabies adalah anjing (98%), kucing, dan kera.4,7
Penularan rabies pada manusia sebagian besar berasal dari air liur hewan yang masuk
2
melalui gigitan, atau jilatan pada kulit lecet ataupun mukosa/ selaput lendir (mata,
mulut, hidung, anus, genital).4 Walaupun jarang, dapat pula melalui transplan organ
dari orang terinfeksi, dan udara yang tercemar virus rabies.6,8
Virus rabies merupakan virus RNA, termasuk dalam familia Rhabdoviridae,
genus Lyssa. Virus berbentuk peluru atau silindris dengan salah satu ujungnya
berbentuk kerucut dan pada potongan melintang berbentuk bulat atau elip (lonjong).
Virus tersusun dari ribonukleokapsid dibagian tengah, memiliki membran selubung
(amplop) dibagian luarnya yang pada permukaannya terdapat tonjoloan (spikes) yang
jumlahnya lebih dari 500 buah. Pada membran selubung (amplop) terdapat kandungan
lemak yang tinggi. Virus berukuran panjang 180 nm, diameter 75 nm, tonjolan
berukuran 9 nm, dan jarak antara spikes 4-5 nm.
2.3 Patogenesis
Patogenesis dimulai dari inokulasi virus dan bereplikasi di jaringan perifer,
lalu menyebar di sepanjang saraf perifer, selanjutnya ke medula spinalis dan otak
dapat menimbulkan ensefalomielitis (Gambar 1). Setelah tersebar sentrifugal di SSP,
virus melalui jalur saraf menuju ke berbagai organ (kelenjar ludah, kulit, hati, otot,
lidah, dll), tanpa viremia.8 Masa inkubasi bervariasi mulai dari 5 hari sampai beberapa
tahun, umumnya 20-90 hari. Variasi inkubasi dipengaruhi oleh lokasi gigitan,
kedalaman luka, dan jumlah virus.4,6,8
Virus rabies adalah virus neurotropik yang menyebar di sepanjang jalur saraf
dan menyerang SSP, menyebabkan infeksi akut. Mekanisme penularan paling umum
adalah melalui inokulasi perifer virus setelah gigitan hewan yang terinfeksi rabies.
Selanjutnya, terjadi replikasi di jaringan perifer, sehingga virus tersebar di sepanjang
saraf perifer dan medula spinalis menuju ke otak, kemudian terjadi diseminasi dalam
SSP dan virus menyebar secara sentrifugal dari SSP menuju ke berbagai organ,
termasuk kelenjar ludah.7
3
pewarnaan antibody di lokasi NMJ yang berhubungan dengan penyebaan reseptor
nAChR.
4
submandibular dan nervus glosofaringeal melalui ganglion optikum, sedangkan
persarafan simpatisnya melalui ganglion servikal superior. Antigen virus rabies
ditemukan pada bagian apeks sel muskulus asinar dengan konsentrasi titer virus di
kelenjar ludah lebih tinggi dari di SSP.7
Di samping penyebaran ke kelenjar ludah, infeksi terjadi pada lapisan ganglion retina
dan epitel kornea yang dipersarafi oleh saraf sensoris nervus trigeminalis. Deteksi
antigen virus rabies dengan apusan kornea telah digunakan sebagai tes diagnostik
penderita rabies, dan transmisi virus rabies dari manusia ke manusia dapat terjadi
melalui transplantasi kornea. Pada biopsi kulit juga ditemukan adanya infeksi pada
ujung akhir saraf sensoris rambut, dan ini merupakan salah satu metode diagnostik
yang baik untuk tes konfi rmasi rabies antemortem pada manusia.7 Penyebaran virus
secara sentripetal menyerang saraf yang melibatkan organ ekstraneural, seperti
kelenjar adrenal, ganglia kardiak, dan pleksus pada saluran cerna, kelenjar saliva, hati,
dan pankreas. Infeksi virus juga melibatkan sel yang bukan saraf, seperti sel asini
kelenjar ludah, epitel lidah, otot jantung, otot skeletal, dan folikel rambut. Beberapa
laporan kasus menemukan adanya miokarditis pada penderita rabies.7,8
5
2.3.1 Penularan & Masa Inkubasi
Penularan rabies pada manusia ataupun hewan lainnya terjadi melalui
GHPR yang terinfeksi rabies, jilatan pada kulit yang lecet, cakaran atau
selaput lender mulut, hidung, mata, anus, dan genitalia terutama oleh anjing,
kera atau monyet dan kucing. Penularan dari orang ke orang dapat terjadi
melalui saliva atau cairan ludah penderita rabies, lalu masuk ke mukosa
selaput lender orang lain.
Masa inkubasi rabies pada anjing 10 – 15 hari, dan pada hewan lain 3-
6 minggu kadang-kadang berlangsung sangat panjang 1-2 tahun. Masa
inkubasi pada manusia yang khas adalah 1-2 bulan tetapi bisa 1 minggu atau
selama beberapa tahun (mungkin 6 tahun atau lebih). Biasanya lebih cepat
pada anak-anak dari pada dewasa. Kasus rabies manusia dengan periode
inkubasi yang panjang (2 sampai 7 tahun) telah dilaporkan, tetapi jarang
terjadi.16
Masa inkubasi bisa tergantung pada umur pasien, latar belakang
genetik, status immun, strain virus yang terlibat, dan jarak yang harus
6
ditempuh virus dari titik pintu masuknya ke susunan saraf pusat.5 Masa
inkubasi tergantung dari lamanya pergerakan virus dari luka sampai ke otak,
pada gigitan dikaki masa inkubasi kirakira 60 hari, pada gigitan di tangan
masa inkubasi 40 hari, pada gigitan di kepala masa inkubasi kira-kira 30
hari.17
Masa inkubasi pada anjing dan kucing rata-rata sekitar 2 minggu tetapi
dilaporkan dapat terjadi antara 10 hari 8 minggu dan pada manusia 2-3
minggu, dengan masa yang paling lama 1 (satu) tahun, tergantung pada:
1. Jumlah virus yang masuk melalui luka
2. Dalam atau tidaknya luka
3. Luka tunggal atau banyak
4. Dekat atau tidaknya luka dengan susunan saraf pusat
5. Perlakuan luka pasca gigitan
7
rendah bila gigitan ditungkai dan kaki. Sesampainya di otak virus kemudian
memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian neuron, terutama
predileksi terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak. Setelah
memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian ke arah
perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf
otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir tiap organ dan jaringan
didalam tubuh, dan berkembang biak dalam jaringan, seperti kelenjar ludah,
ginjal, dan sebagainya.
8
menjilati kuku-kukunya. Saliva yang ditempatkan pada permukaan mukosa
seperti konjungtiva mungkin infeksius. Ekskreta kelelawar yang mengandung
virus rabies cukup untuk menimbulkan bahaya rabies pada mereka yang
masuk gua yang terinfeksi dan menghirup aerosol yang diciptakan oleh
kelelawar. Penularan rabies melalui transplan kornea dari penderita dengan
ensefalitis rabies yang tidak didiagnosis pada resipen/penerima sehat telah
direkam dengan cukup sering. Penularan dari orang ke orang secara teoritis
mungkin tetapi kurang terdokumentasi dan jarang terjadi.1,9
Luka gigitan biasanya merupakan tempat masuk virus melalui saliva,
virus tidak bisa masuk melalui kulit utuh. Setelah virus rabies masuk melalui
luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk
dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf
posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya.21 Bagian otak
yang terserang adalah medulla oblongata dan annon’s hoorn. 1,4
Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar
luas dalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus
terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak. Setelah
memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian ke arah
perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf
otonom. Dengan demikian virus ini menyerang hampir tiap organ dan jaringan
didalam tubuh dan berkembang biak dalam jaringan-jaringan seperti kelenjar
ludah, ginjal dan sebagainya. Gambaran yang paling menonjol dalam infeksi
rabies adalah terdapatnya badan negri yang khas yang terdapat dalam
sitoplasma sel ganglion besar.7, 12
9
2.4.1 Fase Prodormal
Gejala tidak spesifik, demam dan di lokasi gigitan terasa gatal, nyeri,
dan kesemutan. Berlangsung beberapa hari, tidak lebih dari seminggu.
Gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan saraf pusat
adalah perasaan gelisah, demam, malaise, mual, sakit kepala, gatal, merasa
seperti terbakar, kedinginan, kondisi tubuh lemah dan rasa nyeri di
tenggorokan selama beberapa hari.1
10
bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang
yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.
2.5 Penatalaksanaan
2.5.3 Pengendalian
Tujuan pengendalian rabies di Indonesia sesuai deklarasi ASEAN
tahun 2012 meliputi: Indonesia tereliminasi rabies pada tahun 2020,
mencegah kematian dan menurunkan pajanan rabies, serta mempertahankan
daerah bebas rabies berkelanjutan.4
Upaya pengendalian rabies di Indonesia hingga saat ini meliputi:
vaksinasi, respons cepat dan observasi hewan tersangka rabies, KIE
(komunikasi, informasi, dan edukasi), surveilans, eliminasi anjing selektif,
manajemen populasi anjing, pembangunan fasilitas untuk kontrol rabies
kontrol, dan manajemen pascapajanan pada manusia.2 Beberapa indikator
pemantau upaya pengendalian rabies, antara lain: jumlah kasus GHPR,
penatalaksanaan kasus gigitan (post-exposure treatment), dan kasus yang
positif rabies dan mati berdasarkan uji Lyssa.3
Vaksinasi anjing massal (cakupan minimal 70%) dinilai sebagai
strategi paling hemat biaya dan efektif untuk mencegah rabies pada
manusia.2,11 Sejak 2010, dilakukan vaksinasi massal anjing di Bali, hasilnya
jumlah kasus rabies pada manusia menurun sebesar 90% pada tahun 2010-
2012 dan pada anjing menurun sebesar 86% pada tahun 2011.6,11 Pemerintah
Indonesia juga telah menyediakan vaksin pasca-pajanan untuk manusia di
berbagai fasilitas kesehatan area endemik, salah satunya di provinsi Bali.5
2.5.4 Pencegahan
1. Pemeliharaan hewan piaraan/hobi dilaksanakan penuh rasa
tanggung jawab dan memperhatikan kesejahteraan hewan, jangan
diliarkan atau diumbar keluar pekarangan rumah tanpa
pengawasan dan kendali ikatan.
11
2. Berikan vaksinasi anti rabies pada hewan peliharaan secara berkala
ke pusat kesehatan hewan (Puskeswan), dinas kesehatan hewan
atau dinas perternakan, atau ke dokter hewan.
3. Segera melapor ke puskesmas/ rumah sakit terdekat apabila digigit
oleh hewan tersangka untuk mendapatkan Vaksin Anti Rabies
(VAR) sesuai indikasi.
4. Apabila melihat binatang dengan gejala rabies, segera laporkan
kepada Pusat kesehatan Hewan (Puskeswan), dinas perternakan/
yang membawahi bidang perternakan atau dinas kesehatan hewan.
12
Rute Pemberian Hari Injeksi Jumlah Kunjungan
IM (1 vial) 3 dosis (1-1-1 pada hari 0, 3
7, 21 atau 28)
ID (0,1 mL) 3 dosis (1-1-1 pada hari 3
0,7,21 atau 28)
Tabel 1. Vaksinasi pra-paparan menurut rekomendasi WHO
No. Tipe Luka Gigitan Keadaan Hewan yang Mengigit Pengobatan yang
Pada waktu Observasi Dianjurkan
Mengigit 14 hari
1. Kontak tanpa ada Sehat Sehat
luka Gila Rabies Tidak Perlu
2. Luka garukan atau Sehat Sehat Tidak Perlu
lecet Tersangka Gila Sehat Segera VAR
Luka kecil disekitar Stop vaksinasi
tangan, badan, kaki bila hewan
tersangka masih
sehat selama 14
hari observasi
Gila VAR lengkap
Hewan liar atau - VAR lengkap
hewan yang gila
dan hewan yang
tidak dapat
diobservasi
3. Luka parah Mencurigakan/gila/ - VAR dan SAR
(multiple, luka di bila hewan tidak Stop bila hewan
muka, kepal, leher, dapat diobservasi sehat selama 14
jari kaki, jari tangan) hari
Tabel 2. Indikasi pemberian VAR dan SAR
13
Indvidu Rute Hari Injeksi Kunjungan
Belum pernah IM (1 vial) dosis (2-1-1 pada hari 3
divaksin 0,7,21)
5 dosis (1-1-1-1 pada
hari 0,3,7,14, 28) 5
2.5.4.2 Manajemen
Belum ada obat untuk menyembuhkan rabies. Angka kematian
sebesar 100% pada orang yang tidak divaksin. Pasien dengan klinis rabies
perlu dirawat di rumah sakit dengan terapi simptomatik dan paliatif
berupa analgesik dan sedatif, serta ditempatkan di ruangan khusus yang
gelap dan tenang.8,9,12
Penyakit rabies dapat dicegah melalui manajemen pasca-pajanan
hewan tersangka rabies, meliputi: penanganan luka yang tepat, pemberian
imunisasi pasif (serum/immunoglobulin), dan imunisasi pasif
aktif/vaksinasi pasca-pajanan. Tidak ada kontraindikasi untuk terapi
pasca-pajanan, termasuk ibu hamil/menyusui, bayi dan
immunocompromised. Pemberian vaksin anti-rabies (VAR) atau serum
anti-rabies (SAR) ditentukan menurut tipe luka gigitan.
Penanganan Luka
Luka gigitan/jilatan segera dicuci dengan air mengalir dan
sabun/deterjen minimal 15 menit, dilanjutkan pemberian antiseptik
(povidon iodine, alkohol 70%, dll).4,8,9
Penjahitan luka dihindari sebisa mungkin. Bila tidak mungkin
(misalnya luka lebar, dalam, perdarahan aktif), dilakukan jahitan
14
situasi.12 Bila akan diberi SAR, penjahitan harus ditunda beberapa jam
(>2 jam), sehingga antibodi dapat terinfiltrasi ke jaringan dengan baik.9
Virus rabies umumnya menetap di sekitar luka selama 2 minggu
sebelum mencapai ujung serabut saraf posterior dan virus mudah mati
dengan sabun/deterjen.12 Penanganan luka saja terbukti dapat
mengurangi risiko rabies pada penelitian hewan.9
Imunisasi Pasif
RIG (rabies immunoglobulin) atau SAR menetralkan langsung
virus pada luka, memberi perlindungan selama 7-10 hari sebelum antibodi
yang diinduksi vaksinasi muncul. Pemberian tidak diperlukan jika
vaksinasi telah diberikan >7 hari sebelumnya.8 Indikasi SAR adalah pada
luka risiko tinggi, meliputi: luka multipel, luka di area banyak persarafan
(muka, kepala, leher, ujung jari tangan, ujung jari kaki), dan kontak air
liur di mukosa/selaput lendir.12
Ada dua jenis SAR yaitu dari serum manusia dan kuda, keduanya
direkomendasikan oleh WHO (Tabel 3). Dosis dihitung sesuai berat
badan. SAR diinfiltrasi ke dalam dan di sekitar luka, lalu sisanya diinjeksi
secara IM pada ekstremitas yang terluka (deltoid atau anterolateral paha).9
Sebelum pemberian sebaiknya dilakukan skin test karena terkadang
menimbulkan reaksi anafilaktik.12 Injeksi harus dilakukan pada area yang
jauh dari area injeksi vaksin, karena dapat menekan produksi antibodi.
Pada luka berat dan multipel (biasa pada anak-anak), dilakukan
pengenceran dengan normal salin (2-3 kali), sehingga dapat menginfiltrasi
seluruh luka. SAR dapat diberikan sekali atau hingga hari ketujuh setelah
vaksinasi. Setelah hari ketujuh vaksinasi, SAR tidak diindikasikan lagi
karena antibodi yang diinduksi vaksin dianggap telah ada.9 Sayangnya,
SAR tidak selalu tersedia di beberapa negara.8
Imunisasi Aktif
Vaksinasi pasca-pajanan (post-exposure prophylaxis) diberikan dengan
tujuan menginduksi munculnya antibodi penetral rabies9 . Indikasi
pemberian VAR adalah adanya kontak air liur hewan tersangka/ rabies
pada luka risiko tinggi, dan bila hewan penggigit tidak dapat diobservasi.
15
Pemberian dihentikan bila hewan penggigit tetap sehat selama observasi
14 hari atau dari hasil pemeriksaan laboratorium negatif.12 VAR
diberikan secara IM di deltoid atau paha anterolateral, tidak diberikan di
otot gluteal karena produksi antibodi rendah.6,8 Efek samping vaksin
meliputi reaksi lokal penyuntikan (35-45%), reaksi sistemik ringan seperti
nyeri kepala, pusing, demam, mual, nyeri perut (5-15%), gangguan sistem
saraf seperti sindrom Guillain-Barre (GBS) ataupun reaksi sistemik serius
sangat jarang terjadi.
Pada gigitan berulang (re-exposure) dalam 3 bulan sampai 1 tahun,
VAR diberikan 1 kali dan bila >1 tahun, harus diberi VAR lengkap.6
16
BAB III
KESIMPULAN
Rabies (penyakit anjing gila) adalah infeksi akut susunan saraf pusat oleh
virus rabies (famili Rhabdoviridae, genus Lyssavirus). Rabies disebabkan oleh virus
neurotop yang ditularkan kepada manusia melalui gigitan anjing atau biantang apapun
yang mengandung virus rabies. Rabies masih dianggap penyakit penting di Indonesia
karena bersifat fatal dan dapat menimbulkan kematian serta berdampak psikologis
bagi orang yang terpapar. Gejala rabies dibagi menjadi fase prodromal, fase
neurologis dan fase koma. Belum ada obat untuk menyembuhkan rabies, namun dapat
dicegah melalui manajemen pasca-pajanan hewan tersangka rabies, meliputi:
penanganan luka yang tepat, pemberian imunisasi pasif (serum/immunoglobulin), dan
imunisasi pasif aktif/vaksinasi pasca-pajanan.
17
DAFTAR PUSTAKA
18
11. Bali Animal Welfare Association. Controlling and eradicating rabies in bali
[Internet]. 2015 [cited 2018 Februari 2]. Available from: http://bawabali.com/our-
programs/ rabies-response-control/
12. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman pelaksanaan program penanggulangan
rabies di Indonesia [Internet]. 2011 [cited 2018 Februari 2]. Available from: http://
perpustakaan.depkes.go.id:8180/handle/123456789/1638
19