Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit rabies merupakan salah satu jenis penyakit zoonosis yang menyerang
susunan saraf pusat. Rabies masih dianggap penyakit penting di Indonesia karena
bersifat fatal dan dapat menimbulkan kematian serta berdampak psikologis bagi orang
yang terpapar. Virus rabies dapat menyerang semua hewan berdaah panas dan
manusia.
Menurut data World Health Organization (WHO) rabies terjadi di 92 negara
dan bahkan bersifat endemic di 72 negara. Pada hewan penderta penyaki ini biasanya
ditemukan virus dengan konsentrasi tinggi pada air liurnya, oleh sebab itu penularan
penyakit pada umumnya melalui suatu gigitan. Kejadian penyakit rabies pada hewan
manusia hampir selalu diakhiri dengan kematian sehingga akibatnya penyakit ini
menimbulkan rasa takut dan kekhawatiran serta keresahan bagi masyarakat.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Rabies


Rabies (penyakit anjing gila) adalah infeksi akut susunan saraf pusat oleh
virus rabies (famili Rhabdoviridae, genus Lyssavirus).6 Rabies disebabkan oleh virus
neurotop yang ditularkan kepada manusia melalui gigitan anjing atau biantang apapun
yang mengandung virus rabies. Setelah virus rabies melakukan penerasi ke dalam sel
tuan rumah, ia dapat menjalar melalui serabut saraf perifer ke susunan saraf pusat.
Sel-sel saraf (neuron) sangat peka terhadap virus tersebut. Dan sekali neuron terkena
infeksi dan memperburuk keadaan. Neuron-neuron di seluruh susuanan saraf pusat
dari medulla spinalis sampai di korteks tidak bakal luput dari daya destruksi virus
rabies. Masa inkubasi rabies ialah bebrapa minggu sampai beberapa bulan. Jika dalam
masa itu dapat diselenggarakan pencegahan supaya virus rabies tidak tiba di neuron-
neuron maka kematian dapat dihindarkan. Jika gejala-gejala prodromal sudah bangkit,
tidak ada cara pengobatan yang dapat mengelakkan progresivitas perjalanan penyakit
yang ini.
Gejala-gejala prodromalnya terdiri dari lesu dan letih badan, anoreksia,
demam, cepat marah-marah dan nyeri pada tempat yang telah digigit anjing. Suara
birisik dan sinar terang sangat mengganggu penderita. Dalam 48 jam dapat bangkit
gejala-gejala hipereksitasi. Penderita menjadi gelisah, mengacau, berhalusinasi,
meronta-ronta, kejang opsistotonus dan hidrofobia. Tiap kali ia melihat air, otot-otot
pernapasan dan laring berkejang, sehingga ia menjadi sianotik dan apnea. Air liur
tertimbun di dalam mulut oleh karena penderita tidak dapat menelan. Juga angina
mempunyai efek yang sama dengan air. Pada umumnya penderita meninggal karena
status epiletikus. Masa penyakit dari mula timbulnya prodrom sampai mati adalah 3
sampai 4 hari saja.

2.2 Etiologi
Rabies (penyakit anjing gila) adalah infeksi akut susunan saraf pusat oleh
virus rabies (famili Rhabdoviridae, genus Lyssavirus).6 Hewan penular virus rabies
antara lain anjing, kucing, kera, kelelawar, musang, dan serigala.3,7,8 Di Indonesia,
umumnya hewan penular virus rabies adalah anjing (98%), kucing, dan kera.4,7
Penularan rabies pada manusia sebagian besar berasal dari air liur hewan yang masuk

2
melalui gigitan, atau jilatan pada kulit lecet ataupun mukosa/ selaput lendir (mata,
mulut, hidung, anus, genital).4 Walaupun jarang, dapat pula melalui transplan organ
dari orang terinfeksi, dan udara yang tercemar virus rabies.6,8
Virus rabies merupakan virus RNA, termasuk dalam familia Rhabdoviridae,
genus Lyssa. Virus berbentuk peluru atau silindris dengan salah satu ujungnya
berbentuk kerucut dan pada potongan melintang berbentuk bulat atau elip (lonjong).
Virus tersusun dari ribonukleokapsid dibagian tengah, memiliki membran selubung
(amplop) dibagian luarnya yang pada permukaannya terdapat tonjoloan (spikes) yang
jumlahnya lebih dari 500 buah. Pada membran selubung (amplop) terdapat kandungan
lemak yang tinggi. Virus berukuran panjang 180 nm, diameter 75 nm, tonjolan
berukuran 9 nm, dan jarak antara spikes 4-5 nm.

2.3 Patogenesis
Patogenesis dimulai dari inokulasi virus dan bereplikasi di jaringan perifer,
lalu menyebar di sepanjang saraf perifer, selanjutnya ke medula spinalis dan otak
dapat menimbulkan ensefalomielitis (Gambar 1). Setelah tersebar sentrifugal di SSP,
virus melalui jalur saraf menuju ke berbagai organ (kelenjar ludah, kulit, hati, otot,
lidah, dll), tanpa viremia.8 Masa inkubasi bervariasi mulai dari 5 hari sampai beberapa
tahun, umumnya 20-90 hari. Variasi inkubasi dipengaruhi oleh lokasi gigitan,
kedalaman luka, dan jumlah virus.4,6,8
Virus rabies adalah virus neurotropik yang menyebar di sepanjang jalur saraf
dan menyerang SSP, menyebabkan infeksi akut. Mekanisme penularan paling umum
adalah melalui inokulasi perifer virus setelah gigitan hewan yang terinfeksi rabies.
Selanjutnya, terjadi replikasi di jaringan perifer, sehingga virus tersebar di sepanjang
saraf perifer dan medula spinalis menuju ke otak, kemudian terjadi diseminasi dalam
SSP dan virus menyebar secara sentrifugal dari SSP menuju ke berbagai organ,
termasuk kelenjar ludah.7

Perantara Masuknya Reseptor ke Saraf Perifer


Reseptor nikotinik asetilkolin (nAChR) adalah reseptor pertama yang
mengidentifikasi adanya virus rabies. Antigen virus rabies telah terdeteksi di lokasi
inokulasi bertepatan dengan reseptor nAChR di myotube embrio ayam yang
terinfeksi, juga tak lama setelah studi perendaman diafragma tikus dalam suspense
virus rabies. Dari studi tersebut terbukti bahwa distribusi antigen virus terdeteksi oleh

3
pewarnaan antibody di lokasi NMJ yang berhubungan dengan penyebaan reseptor
nAChR.

Perjalanan Virus Rabies di SSP


Apabila virus rabies mencapai SSP, penyebaran virus akan sangat cepat sesuai
jalur neuroanatomi. Sama halnya dengan di saraf tepi, virus menyebar dengan jalan
fast axonal transport, kemudian memperbanyak diri secara masif pada membrane sel
saraf. Studi dengan kultur ganglia basalis tikus menunjukkan terjadinya anterograde
fast axonal transport dengan kecepatan 100-400 mm/hari. Penyebaran dari neuron ke
neuron lain terjadi secara transinaptik. Tampaknya komponen glikoprotein virus
memegang peran penting dalam penyebaran antar neuron.
Virus rabies memiliki daerah predileksi, terutama pada sel-sel sitem limbic,
hipotalamus, dan batang otak. Proses infeksi juga terjadi di serebelum, medulla
spinalis dan korteks serebri. Tanda patognomonik adanya virus rabies berupa negri
body, terutama di sel purkinje serebelum, juga ditemukan di sel pyramidal,
hipokampus (Ammon’s horn), basal ganglia, dan nuclei nervi kranialis. Meskipun
perubahan patologis akibat infeksi virus rabies sangat minimal, namun infeksi virus
ini telah menimbulkan disfungsi system saraf yang berat. Disfungsi system saraf
terjadi akibat abnormalitas fungsi neurotransmitter serotonin, opioat, gamma amino
butyric acid (GABA), dan asetilkolin.

Perjalanan Virus Rabies Secara Sentripetal Menuju ke SSP


Replikasi virus secara lokal terjadi pada selsel otot di sekitar lokasi gigitan, sehingga
terjadi peningkatan jumlah virus. Virus memasuki saraf tepi melalui NMJ dengan
berikatan pada reseptor asetilkolin nikotinik. Ikatan ini menyebabkan konsentrasi
virus tinggi di daerah post-sinaptik, sehingga memudahkan virus masuk ke saraf tepi.
Kemudian virus menyebar ke SSP secara sentripetal melalui akson-akson saraf
dengan cara retrograde fast axonal transport dengan kecepatan 50 – 100 mm/hari.7,8

Penyebaran Virus Rabies Secara Sentrifugal dari SSP


Penyebaran virus rabies dari SSP ke perifer terjadi secara sentrifugal melalui serabut
saraf aferen volunter ataupun saraf otonom. Infeksi kelenjar ludah sangat penting
dalam penyebaran infeksi melalui air liur oleh Horseradish Peroxidase (HRP).
Kelenjar ludah mendapatkan persarafan parasimpatis nervus fasialis melalui ganglion

4
submandibular dan nervus glosofaringeal melalui ganglion optikum, sedangkan
persarafan simpatisnya melalui ganglion servikal superior. Antigen virus rabies
ditemukan pada bagian apeks sel muskulus asinar dengan konsentrasi titer virus di
kelenjar ludah lebih tinggi dari di SSP.7
Di samping penyebaran ke kelenjar ludah, infeksi terjadi pada lapisan ganglion retina
dan epitel kornea yang dipersarafi oleh saraf sensoris nervus trigeminalis. Deteksi
antigen virus rabies dengan apusan kornea telah digunakan sebagai tes diagnostik
penderita rabies, dan transmisi virus rabies dari manusia ke manusia dapat terjadi
melalui transplantasi kornea. Pada biopsi kulit juga ditemukan adanya infeksi pada
ujung akhir saraf sensoris rambut, dan ini merupakan salah satu metode diagnostik
yang baik untuk tes konfi rmasi rabies antemortem pada manusia.7 Penyebaran virus
secara sentripetal menyerang saraf yang melibatkan organ ekstraneural, seperti
kelenjar adrenal, ganglia kardiak, dan pleksus pada saluran cerna, kelenjar saliva, hati,
dan pankreas. Infeksi virus juga melibatkan sel yang bukan saraf, seperti sel asini
kelenjar ludah, epitel lidah, otot jantung, otot skeletal, dan folikel rambut. Beberapa
laporan kasus menemukan adanya miokarditis pada penderita rabies.7,8

5
2.3.1 Penularan & Masa Inkubasi
Penularan rabies pada manusia ataupun hewan lainnya terjadi melalui
GHPR yang terinfeksi rabies, jilatan pada kulit yang lecet, cakaran atau
selaput lender mulut, hidung, mata, anus, dan genitalia terutama oleh anjing,
kera atau monyet dan kucing. Penularan dari orang ke orang dapat terjadi
melalui saliva atau cairan ludah penderita rabies, lalu masuk ke mukosa
selaput lender orang lain.
Masa inkubasi rabies pada anjing 10 – 15 hari, dan pada hewan lain 3-
6 minggu kadang-kadang berlangsung sangat panjang 1-2 tahun. Masa
inkubasi pada manusia yang khas adalah 1-2 bulan tetapi bisa 1 minggu atau
selama beberapa tahun (mungkin 6 tahun atau lebih). Biasanya lebih cepat
pada anak-anak dari pada dewasa. Kasus rabies manusia dengan periode
inkubasi yang panjang (2 sampai 7 tahun) telah dilaporkan, tetapi jarang
terjadi.16
Masa inkubasi bisa tergantung pada umur pasien, latar belakang
genetik, status immun, strain virus yang terlibat, dan jarak yang harus

6
ditempuh virus dari titik pintu masuknya ke susunan saraf pusat.5 Masa
inkubasi tergantung dari lamanya pergerakan virus dari luka sampai ke otak,
pada gigitan dikaki masa inkubasi kirakira 60 hari, pada gigitan di tangan
masa inkubasi 40 hari, pada gigitan di kepala masa inkubasi kira-kira 30
hari.17
Masa inkubasi pada anjing dan kucing rata-rata sekitar 2 minggu tetapi
dilaporkan dapat terjadi antara 10 hari 8 minggu dan pada manusia 2-3
minggu, dengan masa yang paling lama 1 (satu) tahun, tergantung pada:
1. Jumlah virus yang masuk melalui luka
2. Dalam atau tidaknya luka
3. Luka tunggal atau banyak
4. Dekat atau tidaknya luka dengan susunan saraf pusat
5. Perlakuan luka pasca gigitan

Rabies adalah penyakit zoonosis dimana manusia terinfeksi melalui


jilatan atau gigitan hewan yang terjangkit rabies seperti anjing, kucing, kera,
musang, serigala, raccoon, kelelawar. Virus masuk melalui kulit yang terluka
atau melalui mukosa utuh seperti konjungtiva mata, mulut, anus, genitalia
eksterna, atau transplantasi kornea. Infeksi melalui inhalasi virus sangat jarang
ditemukan. Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2
minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian
bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan
perubahanperubahan fungsinya. Masa inkubasi virus rabies sangat bervariasi,
mulai dari 7 hari sampai lebih dari 1 tahun, rata-rata 1-2 bulan, tergantung
jumlah virus yang masuk, berat dan luasnya kerusakan jaringan tempat
gigitan, jauh dekatnya lokasi gigitan ke sistem saraf pusat, persarafan daerah
luka gigitan dan sistem kekebalan tubuh. Pada gigitan di kepala, muka dan
leher 30 hari,gigitan di lengan, tangan, jari tangan 40 hari, gigitan di tungkai,
kaki, jari kaki 60 hari, gigitan di badan rata-rata 45 hari. Asumsi lain
menyatakan bahwa masa inkubasi tidak ditentukan dari jarak saraf yang
ditempuh , melainkan tergantung dari luasnya persarafan pada tiap bagian
tubuh, contohnya gigitan pada jari dan alat kelamin akan mempunyai masa
inkubasi yang lebih cepat. Tingkat infeksi dari kematian paling tinggi pada
gigitan daerah wajah, menengah pada gigitan daerah lengan dan tangan,paling

7
rendah bila gigitan ditungkai dan kaki. Sesampainya di otak virus kemudian
memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian neuron, terutama
predileksi terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak. Setelah
memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian ke arah
perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf
otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir tiap organ dan jaringan
didalam tubuh, dan berkembang biak dalam jaringan, seperti kelenjar ludah,
ginjal, dan sebagainya.

Cara penularan melalui gigitan dan non gigitan (aerogen, transplantasi,


kontak dengan bahan mengandung virus rabies pada kulit lecet atau mukosa).2
Cakaran oleh kuku hewan penular rabies adalah berbahaya karena binatang

8
menjilati kuku-kukunya. Saliva yang ditempatkan pada permukaan mukosa
seperti konjungtiva mungkin infeksius. Ekskreta kelelawar yang mengandung
virus rabies cukup untuk menimbulkan bahaya rabies pada mereka yang
masuk gua yang terinfeksi dan menghirup aerosol yang diciptakan oleh
kelelawar. Penularan rabies melalui transplan kornea dari penderita dengan
ensefalitis rabies yang tidak didiagnosis pada resipen/penerima sehat telah
direkam dengan cukup sering. Penularan dari orang ke orang secara teoritis
mungkin tetapi kurang terdokumentasi dan jarang terjadi.1,9
Luka gigitan biasanya merupakan tempat masuk virus melalui saliva,
virus tidak bisa masuk melalui kulit utuh. Setelah virus rabies masuk melalui
luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk
dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf
posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya.21 Bagian otak
yang terserang adalah medulla oblongata dan annon’s hoorn. 1,4
Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar
luas dalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus
terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak. Setelah
memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian ke arah
perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf
otonom. Dengan demikian virus ini menyerang hampir tiap organ dan jaringan
didalam tubuh dan berkembang biak dalam jaringan-jaringan seperti kelenjar
ludah, ginjal dan sebagainya. Gambaran yang paling menonjol dalam infeksi
rabies adalah terdapatnya badan negri yang khas yang terdapat dalam
sitoplasma sel ganglion besar.7, 12

2.4 Gejala dan Tanda


Gejala dan tanda penderita rabies yaitu:
1. Demam
2. Mual
3. Rasa nyeri di tenggorokkan, sehingga takut utuk minum
4. Gelisah
5. Takut air (hidrofobia)
6. Takut cahaya (fotofobia)
7. Liur yang berlebihan (hipersalivasi)

9
2.4.1 Fase Prodormal
Gejala tidak spesifik, demam dan di lokasi gigitan terasa gatal, nyeri,
dan kesemutan. Berlangsung beberapa hari, tidak lebih dari seminggu.
Gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan saraf pusat
adalah perasaan gelisah, demam, malaise, mual, sakit kepala, gatal, merasa
seperti terbakar, kedinginan, kondisi tubuh lemah dan rasa nyeri di
tenggorokan selama beberapa hari.1

2.4.2 Fase Neurologis


1. Stadium Ensefalitik
hiperaktif, bingung, halusinasi, gangguan saraf kranial (III, VII, VIII),
stimulasi otonom (hipersalivasi, hiperlakrimasi, hiperhidrosis, dilatasi
pupil, tekanan darah labil, hilang kontrol suhu), spasme/ kejang akibat
rangsang taktil, visual, suara, penciuman (fotofobia: cahaya, aerofobia:
udara, hidrofobia: air).
2. Stadium sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat
bekas luka kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang
berlebihan terhadap ransangan sensoris
3. Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan
gejala berupa eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus, ketakutan
terhadap rangsangan cahaya, tiupan angin atau suara keras. Umumnya
selalu merintih sebelum kesadaran hilang. Penderita menjadi bingung,
gelisah, rasa tidak nyaman dan ketidak beraturan. Kebingungan
menjadi semakin hebat dan berkembang menjadi argresif, halusinasi,
dan selalu ketakutan. Tubuh gemetar atau kaku kejang.
4. Stadium Paralitik
Bersifat ascending, umumnya lumpuh dari ekstremitas yang digigit lalu
ke seluruh tubuh dan otot pernapasan. Gejala klinis mirip dengan
sindrom Guillain-Barre (GBS). Sebagian besar penderita rabies
meninggal dalam stadium eksitasi. Kadang kadang ditemukan juga
kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang

10
bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang
yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.

2.4.3 Fase Koma


Terjadi 1-2 minggu setelah fase neurologis akut. Umumnya kematian
terjadi akibat aritmia atau miokarditis.8-10

2.5 Penatalaksanaan
2.5.3 Pengendalian
Tujuan pengendalian rabies di Indonesia sesuai deklarasi ASEAN
tahun 2012 meliputi: Indonesia tereliminasi rabies pada tahun 2020,
mencegah kematian dan menurunkan pajanan rabies, serta mempertahankan
daerah bebas rabies berkelanjutan.4
Upaya pengendalian rabies di Indonesia hingga saat ini meliputi:
vaksinasi, respons cepat dan observasi hewan tersangka rabies, KIE
(komunikasi, informasi, dan edukasi), surveilans, eliminasi anjing selektif,
manajemen populasi anjing, pembangunan fasilitas untuk kontrol rabies
kontrol, dan manajemen pascapajanan pada manusia.2 Beberapa indikator
pemantau upaya pengendalian rabies, antara lain: jumlah kasus GHPR,
penatalaksanaan kasus gigitan (post-exposure treatment), dan kasus yang
positif rabies dan mati berdasarkan uji Lyssa.3
Vaksinasi anjing massal (cakupan minimal 70%) dinilai sebagai
strategi paling hemat biaya dan efektif untuk mencegah rabies pada
manusia.2,11 Sejak 2010, dilakukan vaksinasi massal anjing di Bali, hasilnya
jumlah kasus rabies pada manusia menurun sebesar 90% pada tahun 2010-
2012 dan pada anjing menurun sebesar 86% pada tahun 2011.6,11 Pemerintah
Indonesia juga telah menyediakan vaksin pasca-pajanan untuk manusia di
berbagai fasilitas kesehatan area endemik, salah satunya di provinsi Bali.5

2.5.4 Pencegahan
1. Pemeliharaan hewan piaraan/hobi dilaksanakan penuh rasa
tanggung jawab dan memperhatikan kesejahteraan hewan, jangan
diliarkan atau diumbar keluar pekarangan rumah tanpa
pengawasan dan kendali ikatan.

11
2. Berikan vaksinasi anti rabies pada hewan peliharaan secara berkala
ke pusat kesehatan hewan (Puskeswan), dinas kesehatan hewan
atau dinas perternakan, atau ke dokter hewan.
3. Segera melapor ke puskesmas/ rumah sakit terdekat apabila digigit
oleh hewan tersangka untuk mendapatkan Vaksin Anti Rabies
(VAR) sesuai indikasi.
4. Apabila melihat binatang dengan gejala rabies, segera laporkan
kepada Pusat kesehatan Hewan (Puskeswan), dinas perternakan/
yang membawahi bidang perternakan atau dinas kesehatan hewan.

2.5.4.1 Vaksinasi Pra-Paparan


Vaksin rabies terbuat dari virus rabies inaktif dan tidak
menyebabkan rabies.7 Jenis vaksin meliputi human diploid cell vaccine
(IM dosis 1 mL), purified chick embryo cell vaccine (IM dosis 1 mL), dan
purified vero cell vaccine (IM dosis 0,5 mL).8 CDC dan WHO
merekomendasikan pemberian vaksin pra-pajanan pada orang yang secara
kontinu bagi yang sering atau berisiko tinggi terpajan virus rabies, seperti:
pekerja laboratorium, dokter hewan, pekerja kontak hewan penular,
wisatawan, penjelajah gua, penduduk area endemik, dll.7-9
Jadwal vaksinasi pra-pajanan adalah 3 dosis
intramuskuler/intradermal. Injeksi dilakukan secara IM pada orang
dewasa dan anak > 2 tahun di otot deltoid, sedangkan anak > 2 tahun
dilakukan di paha anterolateral. Injeksi ID bertujuan menghemat biaya
dan ketersediaan vaksin, diberikan di deltoid, paha lateral atau
6,8,10
supraskapula. Vaksin harus diberikan secara IM pada individu
imununosupresi.6,8
Kombinasi vaksinasi pra-pajanan diikuti booster pasca-pajanan
terbukti efektif.8 Pekerja yang terpajan virus rabies secara kontinu dan
sering, direkomendasikan untuk memeriksa antibodi berkala tiap 6 bulan
dan bila titer <0,5 IU/mL perlu booster dosis tunggal secara IM/ID.

12
Rute Pemberian Hari Injeksi Jumlah Kunjungan
IM (1 vial) 3 dosis (1-1-1 pada hari 0, 3
7, 21 atau 28)
ID (0,1 mL) 3 dosis (1-1-1 pada hari 3
0,7,21 atau 28)
Tabel 1. Vaksinasi pra-paparan menurut rekomendasi WHO

No. Tipe Luka Gigitan Keadaan Hewan yang Mengigit Pengobatan yang
Pada waktu Observasi Dianjurkan
Mengigit 14 hari
1. Kontak tanpa ada Sehat Sehat
luka Gila Rabies Tidak Perlu
2. Luka garukan atau Sehat Sehat Tidak Perlu
lecet Tersangka Gila Sehat Segera VAR
Luka kecil disekitar Stop vaksinasi
tangan, badan, kaki bila hewan
tersangka masih
sehat selama 14
hari observasi
Gila VAR lengkap
Hewan liar atau - VAR lengkap
hewan yang gila
dan hewan yang
tidak dapat
diobservasi
3. Luka parah Mencurigakan/gila/ - VAR dan SAR
(multiple, luka di bila hewan tidak Stop bila hewan
muka, kepal, leher, dapat diobservasi sehat selama 14
jari kaki, jari tangan) hari
Tabel 2. Indikasi pemberian VAR dan SAR

13
Indvidu Rute Hari Injeksi Kunjungan
Belum pernah IM (1 vial)  dosis (2-1-1 pada hari 3
divaksin 0,7,21)
 5 dosis (1-1-1-1 pada
hari 0,3,7,14, 28) 5

ID (0,1 0 (2 tempat), 3 (2 tempat), 4


mL) 7 (2 tempat), 28 (2 tempat)
Pernah divaksin IM 2 dosis (1-1 pada hari 0
dan 3)
Tabel 3. Vaksinasi pasca-pajanan menurut rekomendasi WHO

2.5.4.2 Manajemen
Belum ada obat untuk menyembuhkan rabies. Angka kematian
sebesar 100% pada orang yang tidak divaksin. Pasien dengan klinis rabies
perlu dirawat di rumah sakit dengan terapi simptomatik dan paliatif
berupa analgesik dan sedatif, serta ditempatkan di ruangan khusus yang
gelap dan tenang.8,9,12
Penyakit rabies dapat dicegah melalui manajemen pasca-pajanan
hewan tersangka rabies, meliputi: penanganan luka yang tepat, pemberian
imunisasi pasif (serum/immunoglobulin), dan imunisasi pasif
aktif/vaksinasi pasca-pajanan. Tidak ada kontraindikasi untuk terapi
pasca-pajanan, termasuk ibu hamil/menyusui, bayi dan
immunocompromised. Pemberian vaksin anti-rabies (VAR) atau serum
anti-rabies (SAR) ditentukan menurut tipe luka gigitan.

Penanganan Luka
Luka gigitan/jilatan segera dicuci dengan air mengalir dan
sabun/deterjen minimal 15 menit, dilanjutkan pemberian antiseptik
(povidon iodine, alkohol 70%, dll).4,8,9
Penjahitan luka dihindari sebisa mungkin. Bila tidak mungkin
(misalnya luka lebar, dalam, perdarahan aktif), dilakukan jahitan

14
situasi.12 Bila akan diberi SAR, penjahitan harus ditunda beberapa jam
(>2 jam), sehingga antibodi dapat terinfiltrasi ke jaringan dengan baik.9
Virus rabies umumnya menetap di sekitar luka selama 2 minggu
sebelum mencapai ujung serabut saraf posterior dan virus mudah mati
dengan sabun/deterjen.12 Penanganan luka saja terbukti dapat
mengurangi risiko rabies pada penelitian hewan.9

Imunisasi Pasif
RIG (rabies immunoglobulin) atau SAR menetralkan langsung
virus pada luka, memberi perlindungan selama 7-10 hari sebelum antibodi
yang diinduksi vaksinasi muncul. Pemberian tidak diperlukan jika
vaksinasi telah diberikan >7 hari sebelumnya.8 Indikasi SAR adalah pada
luka risiko tinggi, meliputi: luka multipel, luka di area banyak persarafan
(muka, kepala, leher, ujung jari tangan, ujung jari kaki), dan kontak air
liur di mukosa/selaput lendir.12
Ada dua jenis SAR yaitu dari serum manusia dan kuda, keduanya
direkomendasikan oleh WHO (Tabel 3). Dosis dihitung sesuai berat
badan. SAR diinfiltrasi ke dalam dan di sekitar luka, lalu sisanya diinjeksi
secara IM pada ekstremitas yang terluka (deltoid atau anterolateral paha).9
Sebelum pemberian sebaiknya dilakukan skin test karena terkadang
menimbulkan reaksi anafilaktik.12 Injeksi harus dilakukan pada area yang
jauh dari area injeksi vaksin, karena dapat menekan produksi antibodi.
Pada luka berat dan multipel (biasa pada anak-anak), dilakukan
pengenceran dengan normal salin (2-3 kali), sehingga dapat menginfiltrasi
seluruh luka. SAR dapat diberikan sekali atau hingga hari ketujuh setelah
vaksinasi. Setelah hari ketujuh vaksinasi, SAR tidak diindikasikan lagi
karena antibodi yang diinduksi vaksin dianggap telah ada.9 Sayangnya,
SAR tidak selalu tersedia di beberapa negara.8

Imunisasi Aktif
Vaksinasi pasca-pajanan (post-exposure prophylaxis) diberikan dengan
tujuan menginduksi munculnya antibodi penetral rabies9 . Indikasi
pemberian VAR adalah adanya kontak air liur hewan tersangka/ rabies
pada luka risiko tinggi, dan bila hewan penggigit tidak dapat diobservasi.

15
Pemberian dihentikan bila hewan penggigit tetap sehat selama observasi
14 hari atau dari hasil pemeriksaan laboratorium negatif.12 VAR
diberikan secara IM di deltoid atau paha anterolateral, tidak diberikan di
otot gluteal karena produksi antibodi rendah.6,8 Efek samping vaksin
meliputi reaksi lokal penyuntikan (35-45%), reaksi sistemik ringan seperti
nyeri kepala, pusing, demam, mual, nyeri perut (5-15%), gangguan sistem
saraf seperti sindrom Guillain-Barre (GBS) ataupun reaksi sistemik serius
sangat jarang terjadi.
Pada gigitan berulang (re-exposure) dalam 3 bulan sampai 1 tahun,
VAR diberikan 1 kali dan bila >1 tahun, harus diberi VAR lengkap.6

16
BAB III
KESIMPULAN

Rabies (penyakit anjing gila) adalah infeksi akut susunan saraf pusat oleh
virus rabies (famili Rhabdoviridae, genus Lyssavirus). Rabies disebabkan oleh virus
neurotop yang ditularkan kepada manusia melalui gigitan anjing atau biantang apapun
yang mengandung virus rabies. Rabies masih dianggap penyakit penting di Indonesia
karena bersifat fatal dan dapat menimbulkan kematian serta berdampak psikologis
bagi orang yang terpapar. Gejala rabies dibagi menjadi fase prodromal, fase
neurologis dan fase koma. Belum ada obat untuk menyembuhkan rabies, namun dapat
dicegah melalui manajemen pasca-pajanan hewan tersangka rabies, meliputi:
penanganan luka yang tepat, pemberian imunisasi pasif (serum/immunoglobulin), dan
imunisasi pasif aktif/vaksinasi pasca-pajanan.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Hampson K, Coudeville L, Lembo T, Sambo M, Kieffer A, Attlan M, et al.


Estimating the global burden of endemic canine rabies. PLoS Negl Trop Dis.
2015;9(4):0003709.
2. Association of Southeast Asian Nations. Rabies elimination strategy [Internet].
2013 [cited 2018 Februari 2]. Available from: http://vncdc.gov.vn/files/article_
attachment/2015/3/endorsed-ares-final.pdf
3. Kementerian Kesehatan RI. Profil kesehatan indonesia tahun 2014 [Internet].
2014 [cited 2018 Junuari 31]. Available from: http://www.depkes.go.id/resources/
download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-
2014.pdf
4. Kementerian Kesehatan RI. Situasi dan analisis rabies [Internet]. 2014 [cited 2018
Februari1]. Available from:
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/ infodatin/infodatin-
rabies.pdf
5. Putra AA, Hampson K,Girardi J, Hiby E, Knobel D, Mardiana IW, et al. Response
to a rabies epidemic, bali, indonesia, 2008-2011. Emerg Infect Dis.
2013;19(4):648-51.
6. World Health Organization. WHO expert consultation on rabies: Second report
[Internet]. 2013 [cited 2018 Februari 3]. Available from: http://apps.who.int/iris/
bitstream/10665/85346/1/9789240690943_eng.pdf
7. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Vaksin rabies [Internet]. 2014 [cited 2018 Februari
1]. Available from: http://www.idai.or.id/wp-content/uploads/2014/08/IVO-
Rabies.pdf
8. Warrell MJ, WarrellDA. Rabies: The clinical features, management and
prevention of the classic zoonosis. Clin Med (Lond.) 2015;15(1):78-81.
9. Wu1 HH, You KH, Lo HY. Diagnosis, management, and prevention of rabies.
Taiwan EB. 2013;29:23-32.
10. Tanzil K. Penyakit rabies dan penatalaksanaannya. E-journal Widya Kesehatan
dan Lingkungan 2014;1(1):61-7.

18
11. Bali Animal Welfare Association. Controlling and eradicating rabies in bali
[Internet]. 2015 [cited 2018 Februari 2]. Available from: http://bawabali.com/our-
programs/ rabies-response-control/
12. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman pelaksanaan program penanggulangan
rabies di Indonesia [Internet]. 2011 [cited 2018 Februari 2]. Available from: http://
perpustakaan.depkes.go.id:8180/handle/123456789/1638

19

Anda mungkin juga menyukai