Disusun oleh:
Preseptor:
A. Latar Belakang
Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai semua
mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva. Sebagian besar
pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang terinfeksi, tapi kadang aerosol
virus atau proses pencernaan atau transplantasi jaringan yang terinfeksi dapat memulai
proses penyakit.1
Virus yang menjadi penyebabnya adalah virus neurotropik, yang hanya dapat
berkembang biak di dalam jaringan saraf. Ukuran virus antara 100-150 milimikron. Virus
ini tahan terhadap kekeringan, akan tetapi mudah dimatikan dengan menggunakan
antiseptic, sinar matahari langsung, pemanasan, dan radiasi dengan menggunakan sinar
ultraviolet. Masa inkubasi pada hewan sekitar 3-6 minggu setelah gigitan hewan rabies,
sedangkan pada manusia tergantung dari parah tidaknya luka gigitan, jauh tidaknya luka
dengan susunan saraf pusat, banyaknya saraf pada luka, jumlah virus yang masuk, serta
jumlah luka gigitan.1
Secara umum, penularan rabies terjadi diakibatkan infeksi karena gigitan binatang.
Namun rabies juga dapat menular melalui beberapa cara antara lain melalui cakaran
hewan, sekresi yang mengkontaminasi membrane mukosa, virus yang masuk melalui
rongga pernapasan, dan transplantasi kornea. Virus rabies menyerang jaringan saraf, dan
menyebar hingga system saraf pusat, dan dapat menyebabkan encephalomyelitis (radang
yang mengenai otak dan medulla spinalis).2
Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah
mencapai sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan
dilaporkan 10 pasien yang sembuh dari rabies namun sejak tahun 1972 hingga sekarang
belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup. Prognosis seringkali fatal karena sekali
gejala rabies telah tampak hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai
akibat gagal nafas atau henti jantung ataupun paralisis generalisata. Berbagai penelitian
dari tahun 1986 hingga 2000 yang melibatkan lebih dari 800 kasus gigitan anjing pengidap
rabies di negara endemis yang segera mendapat perawatan luka, pemberian VAR dan
SAR, mendapatkan angka survival 100%.3
Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan
hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas.
Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak
menggembirakan. perawatan intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila
mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan
kardiovaskuler yang sering terjadi. Oleh karena itu diperlukan tindakan penanganan yang
efektif dan efisien baik penanganan profilaksis pra pajanan maupun penanganan pasca
pajanan, sehingga akibat buruk akibat virus ini dapat diminimalkan.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Rabies adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh virus, bersifat akut serta
menyerang susunan saraf pusat.5 Rabies adalah suatu infeksi virus pada otak yang
menyebabkan iritasi dan peradangan otak dan medulla spinalis. Nama lain untuk rabies
hydrophobia, la rage (Perancis), la rabbia (Italia), la rabia (Spanyol), die tollwut (Jerman)
atau di Indonesia terkenal dengan nama penyakit Anjing Gila.4
Menurut cara penularannya rabies termasuk golongan zoonosis langsung (direct
zoonosis) yaitu zoonosis yang hanya memerlukan satu jenis vertebrata saja untuk
kelangsungan hidupnya, dan agen penyebab penyakit hanya sedikit berubah atau tidak
mengalami perubahan sama sekali selama penularan. Sedangkan menurut reservoir
utamanya rabies digolongkan dalam antropozoonosis, yaitu penyakit yang secara bebas
berkembang di alam di antara hewan-hewan. Menurut agen penyebabnya rabies
merupakan zoonosis kausa viral. Rabies dapat ditularkan oleh satwa liar (wild life
zoonosis), hewan piaraan (domesticated animal zoonosis) maupun hewan yang hidup
dipemukiman manusia (domiciliated zoonosis).1
Penularan rabies biasanya terjadi melalui gigitan hewan yang telah terinfeksi,
pencemaran luka segar atau selaput lendir dengan saliva atau otak hewan yang telah
terinfeksi. Pada kasus tertentu penularan melalaui udara dapat juga terjadi. Virus ini
berkembang biak dalam kelenjar ludah. Sangat peka terhadap pelarut yang bersifat alkalis
seperti sabun, desinfektan, alkohol, dan lain-lain. Sistem yang diserang adalah sistem saraf
(clinical encephalitis) yang dapat bersifat paralitik/furious dan glandula salivarius
(mengandung sejumlah besar partikel virus yang berada di saliva).1
B. Etiologi
Virus rabies merupakan virus RNA, termasuk dalam familia Rhabdoviridae, genus
Lyssa. Virus berbentuk peluru dengan salah satu ujungnya berbentuk kerucut dan pada
potongan melintang berbentuk bulat atau elip (lonjong). Virus tersusun dari
ribonukleokapsid dibagian tengah, memiliki membran selubung (amplop) di bagian
luarnya yang pada permukaannya terdapat tonjoloan (spikes) yang jumlahnya lebih dari
500 buah. Pada membran selubung (amplop) terdapat kandungan lemak yang tinggi
(glikoprotein). Virus berukuran panjang 180 nm, diameter 75 nm, tonjolan berukuran 9
nm, dan jarak antara spikes 4-5 nm.2
Amplop glikoprotein tersusun dalam struktur seperti tombol yang meliputi
permukaan virion. Glikoprotein virus terikat pada reseptor asetilkolin, menambah
neurovirulensi virus rabies, membangkitkan antibody neutralisasi dan antibody
penghambat hemaglutinasi, dan merangsang imunitas sel T. antigen nukleokapsid
merangsang antibody yang mengikat komplemen. Antibody netralisasi pada permukaan
glikoprotein tampaknya bersifat protektif. Antibodi antirabies digunakan pada analisis
imunofluororescent diagnostic yang umumnya ditujukan pada antigen nukleokapsid.
Isolasi virus rabies dari spesies binatang yang berbeda dan memiliki perbedaan sifat
antigenik dan biologik. Variasi-variasi ini bertanggung jawab terhadap perbedaan dalam
virulensi antara isolasi. Interferon diinduksi oleh virus rabies, khususnya dalam jaringan
dengan konsentrasi virus yang tinggi, dan berperan dalam memperlambat infeksi yang
progresif.1
Virus peka terhadap sinar ultraviolet, zat pelarut lemak, alkohol 70%, yodium, fenol
dan klorofrom. Virus dapat bertahan hidup selama 1 tahun dalam larutan gliserin 50%.
Pada suhu 600C virus mati dalam waktu 1 jam dan dalam penyimpanan kering beku
(freezedried) atau pada suhu 40C dapat tahan selama bebarapa tahun.2 Virus juga akan
mati dengan deterjen, sabun, etanol 45%, solusi jodium. Virus rabies dan virus lain yang
sekeluarga dengan rabies diklasifikan menjadi 6 genotipe. Rabies merupakan genotipe 1,
mokola genotipe 3, Duvenhage genotipe 4, dan European bat lyssa-virus genotipe 5 dan
6. 4
D. Epidemiologi
Rabies terdapat dalam dua bentuk epidemiologik yaitu urban, yang disebarluaskan
terutama oleh anjing, dan/atau kucing rumah yang tidak diimunisasi, dan sylvatic, yang
disebarluaskan oleh sigung (skunk), rubah, raccoon, luwak (mongoos), serigala, dan
kelelawar. Infeksi pada binatang yang jinak biasanya menunjukkan kelebihan reservoar
infeksi sylvatic, dan manusia dapat terinfeksi oleh salah satunya. Oleh karena itu infeksi
pada manusia cenderung terjadi pada tempat rabies bersifat enzootik atau epizootik, yaitu
jika terdapat banyak populasi binatang jinak yang tidak diimunisasi, dan manusia kontak
dengan udara terbuka.4
Rabies telah menyebabkan kematian pada orang dalam jumlah yang cukup banyak.
Tahun 2000, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun di
dunia ini terdapat sekurang-kurangnya 50.000 orang meninggal karena rabies. Rabies bisa
terjadi disetiap musim atau iklim, dan kepekaan terhadap rabies kelihatannya tidak
berkaitan dengan usia, seks atau ras.7
Di Amerika Serikat rabies terutama terjadi pada musang, raccoon, serigala dan
kelelawar. Rabies serigala terdapat di Kanada, Alaska dan New York. Kelelawar
penghisap darah (vampir), yang menggigit ternak merupakan bagian penting siklus rabies
di Amerika latin. Eropa mempunyai rabies serigala, di Asia dan Afrika masalah utamanya
adalah anjing gila.7
Beberapa daerah di Indonesia yang saat ini masih tertular rabies sebanyak 16
propinsi, meliputi Pulau Sumatera (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu,
Sumatera Selatan, dan Lampung), Pulau Sulawesi (Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara), Pulau Kalimantan (Kalimantan
Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur) dan Pulau Flores. Kasus terakhir
yang terjadi adalah Propinsi Maluku (Kota Ambon dan Pulau Seram).8
Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat telah dinyatakan bebas dari rabies
melalui SK Menteri Pertanian No. 566 Tahun 2004, Banten sejak tahun 1996, dan provinsi
Jawa Barat sejak tahun 2001. Dengan diterbitkannya SK Mentan bebas rabies ini, maka
seluruh pulau Jawa telah bebas rabies karena Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI
Yogyakarta telah lebih dahulu dibebaskan berdasarkan SK Mentan No. 897 Tahun 1997.25
Daerah yang secara historis bebas rabies (belum pernah ada kasus) adalah provinsi Bali,
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (kecuali Pulau Flores), Kalimantan Barat,
Papua, Irian Jaya Barat, Maluku Utara, Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung
dan sampai saat ini tetap dapat dipertahankan bebas rabies.8
Manusia yang menderita rabies selalu berakhir dengan kematian (100% Case
Fatality Rate), gigitan oleh anjing menempati persentase tertinggi (99,4%) diikuti kucing
(0,29%) dan hewan lain, kera dan hewan piaraan atau liar lainnya (0,31%). Bagian tubuh
manusia yang digigit meliputi kepala (5%), tangan (28%), kaki (57%), dan lain-lain
(10%).7,8
E. Patogenesis
Virus rabies masuk ke dalam tubuh melalui luka atau kontak langsung dengan
selaput mukosa dengan rasio gigitan dan cakaran sebesar 50:1. Virus rabies tidak bisa
menembus kulit yang utuh. Virus rabies membelah diri dalam otot atau jaringan ikat pada
tempat inokulasi dan kemudian memasuki saraf tepi pada sambungan neuromuskuler.
Setelah virus menempel pada reseptor nikotinik asetilkolin lalu virus menyebar secara
sentripetal melalui serabut saraf motorik dan juga serabut saraf sensorik tipe cepat dengan
kecepatan 50 sampai 100 mm per hari. Setelah melewati medulla spinalis, virus bereplikasi
pada motor neuron dan ganglion sensoris, akhirnya mencapai otak. Kolkisin dapat
menghambat secara efektif transport akson tipe cepat tersebut. Virus melekat atau
menempel pada dinding sel inang. Virus rabies melekat pada sel melalui duri
glikoproteinnya, reseptor asetilkolin nikotinat dapat bertindak sebagai reseptor seluler
untuk virus rabies. Kemudian secara endositosis virus dimasukkan ke dalam sel inang.
Pada tahap penetrasi, virus telah masuk kedalam sel inang dan melakukan penyatuan
diri dengan sel inang yang ditempati, terjadilah transkripsi dan translasi.5
G. Gejala Klinis
1. Pada Hewan
Gejala klinis pada hewan dibagi menjadi tiga stadium:8,9,11
a. Stadium Prodromal
Keadaan ini merupakan tahapan awal gejala klinis yang dapat berlangsung
antara 2-3 hari. Pada tahap ini akan terlihat adanya perubahan temperamen yang
masih ringan. Hewan mulai mencari tempat-tempat yang dingin/gelap,
menyendiri, reflek kornea berkurang, pupil melebar dan hewan terlihat acuh
terhadap tuannya. Hewan menjadi sangat perasa, mudah terkejut dan cepat
berontak bila ada provokasi. Dalam keadaan ini perubahan perilaku mulai diikuti
oleh kenaikan suhu badan.
b. Stadium Eksitasi
Tahap eksitasi berlangsung lebih lama daripada tahap prodromal, bahkan
dapat berlangsung selama 3-7 hari. Hewan mulai garang, menyerang hewan lain
ataupun manusia yang dijumpai dan hipersalivasi. Dalam keadaan tidak ada
provokasi menjadi murung terkesan lelah dan selalu tampak seperti ketakutan.
Hewan mengalami fotopobi atau takut melihat sinar sehingga bila ada cahaya
akan bereaksi secara berlebihan dan tampak ketakutan.
c. Stadium Paralisis
Tahap paralisis ini dapat berlangsung secara singkat, sehingga sulit untuk
dikenali atau bahkan tidak terjadi dan langsung berlanjut pada kematian. Hewan
mengalami kesulitan menelan, suara parau, sempoyongan, akhirnya lumpuh dan
mati.
2. Pada Manusia
Gejala klinis pada manusia dibagi menjadi empat stadium 8,9
a. Stadium Prodromal
Gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan saraf pusat
adalah perasaan gelisah, demam, malaise, mual, sakit kepala, gatal, merasa seperti
terbakar, kedinginan, kondisi tubuh lemah dan rasa nyeri di tenggorokan selama
beberapa hari.
b. Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas
luka kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap
ransangan sensoris.
c. Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala
berupa eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus, ketakutan terhadap
rangsangan cahaya, tiupan angin atau suara keras. Umumnya selalu merintih
sebelum kesadaran hilang. Penderita menjadi bingung, gelisah, rasa tidak nyaman
dan ketidak beraturan. Kebingungan menjadi semakin hebat dan berkembang
menjadi argresif, halusinasi, dan selalu ketakutan. Tubuh gemetar atau kaku
kejang.
d. Stadium Paralis
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadang
kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-
otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang
yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.
H. Tipe Rabies
Masa inkubasi rata-rata 3-6 minggu dengan variasi yang tinggi, dapat 10 hari atau 6
bulan, jarang kurang dari 2 minggu atau lebih dari 4 bulan. Virus rabies dijumpai pada air
liur segera setelah gejala klinis tampak.8,9
Ada tiga tipe rabies pada hewan yaitu:
1. Rabies Ganas
- Tidak menuruti lagi perintah pemilik.
- Air liur keluar berlebihan.
- Hewan menjadi ganas, menyerang, atau menggit apa saja yang ditemui dan ekor
dilekungkan kebawah perut diantara dua paha.
- Kejang-kejang kemudian lumpuh, biasanya mati setelah 4-7 hari sejak timbul
atau paling lama 12 hari setelah penggigitan.
2. Rabies Tenang
- Bersembunyi di tempat gelap dan sejuk.
- Kejang-kejang berlangsung singkat bahkan sering tidak terlihat.
- Kelumpuhan tidak mampu menelan, mulut terbuka dan air liur keluar berlebihan.
- Kematian terjadi dalam waktu singkat.
3. Bentuk Asimtomatis:
Hewan tidak menunjukkan gejala sakit dan atau hewan tiba-tiba mati. Pada
anjing dan kucing biasanya bersifat ganas. Masa inkubasi 10-60 hari namun bisa juga
lebih lama. Air liur binatang sakit yang mengandung virus menularkan virus melalui
gigitan atau cakaran. Rabies pada kucing mempunyai gejala atau tanda-tanda yang
hampir sama dengan gejala pada anjing, seperti menyembunyikan diri, banyak
mengeong, mencakar-cakar lantai dan menjadi agresif. Pada 2-4 hari setelah gejala
pertama biasa terjadi kelumpuhan, terutama di bagian belakang.8,9
I. Diagnosis
Diagnosis rabies hanya berdasarkan gejala klinis sangat sulit dan kurang bisa
dipercaya, kecuali terdapat gejala klinis yang khas yaitu hidrofobia dan
aerofobia. Diagnosis pasti rabies hanya bisa didapat dengan pemeriksaan
laboratorium. Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dikerjakan:5,9
1. Darah rutin
Dapat ditemukan peningkatan leukosit (8000-13000/mm) dan penurunan
hemoglobin serta hematokrit.
2. Urinalisis
Dapat ditemukan albuminuria dan sedikit leukosit.
3. Mikrobiologi
Kultur virus rabies dari air liur penderita dalam waktu 2 minggu setelah onset.
4. Histologi
Dapat ditemukan tanda patognomonik berupa badan Negri (badan inklusi dalam
sitoplasma eosinofil) pada sel neuron, terutama pada kasus yang divaksinasi dan
pasien yang dapat bertahan hidup setelah lebih dari 2 minggu. Antigen, badan negri
dan virus banyak ditemukan pada sel saraf (neuron) sedangkan kelenjar ludah dapat
mengandung antigen dan virus tetapi badan negri tidak selalu dapat ditemukan pada
kelenjar ludah anjing. Adanya kontaminasi pada specimen dapat mengganggu
pemeriksaan dan khususnya untuk isolasi virus pengiriman harus dilakukan
sedemikian rupa sehingga kelestarian hidup virus dalam specimen tetap terjamin
sampai ke laboratorium. Bahan pemeriksaan dapat berupa seluruh kepala, otak,
hippocampus, cortex cerbri dan cerebellum, preparat pada gelas objek dan kelenjar
ludah. Bila negri body tidak ditemukan, supensi otak (hippocampus) atau kelenjar
ludah sub maksiler diinokulasikan intrakranial pada hewan coba (suckling animals),
misalnya hamster, tikus (mice) atau kelinci (rabbits).
5. Serologi
DFA Testing and RT-PCR melalui biopsi kulit, Reverse-Transcription
Polymerase Chain Reaction (RTPCR) dalam saliva.
6. Cairan serebrospinal
Rabies VirusSpecific Antibodies dalam serum dan LCS (Rapid fluorescent
focus inhibition test/RFFIT), dapat ditemukan monositosis sedangkan protein dan
glukosa dalam batas normal. Namun, pada pemeriksaan laboratorium,
yang merupakan gold standar untuk diagnosis rabies adalah pemeriksaan dengan
teknik fluorescent antibody (FA). Deteksi nukleokapsid dengan ELISA
merupakan tes yang cepat dan jugadapat digunakan maupun dilakukan pada survei
epidemiologi.
J. Diagnosis Banding
Rabies harus dipertimbangkan sebagai penyebab pada semua penderita dengan
gejalan eurologik, psikiatrik atau laringofaringeal yang tak bisa dijelaskan, khususnya bila
terjadi didaerah endemis atau orang yang mengalami gigitan binatang pada daerah endemis
rabies.4
Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatu reaksi
psikologik orang-orang yang terpapar dengan hewan yang diduga mengidap rabies.
Penderita dengan rabies histerik akan menolak jika diberikan minum (pseudohidropobia)
sedangkan pada penderita rabies sering merasa haus.4
Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang pendek,
adanyatrismus, kekakuan otot yang persisten diantara spasme, status mental normal, cairan
serebrospinal biasanya normal dan tidak terdapat hidropobia. Ensefalitis dapat dibedakan
dengan metode pemeriksaan virus dan tidak dijumpai hidropobia.4
Rabies paralitik dapat dikelirukan dengan Syndroma Guillain Barre transverse
myelitis, japanese ensefalitis, herpes simpleks ensefalitis, poliomielitis atau ensefalitis post
vaksinasi. Pada poliomielitis saat timbul gejala neurologik sudah tidak ada demam, dan
tidak ada gangguan sensorik ensefalitis post vaksinasi rabies terjadi 1:200-1:1600 pada
vaksinasi nerve tissue rabiesvaccine, dibedakan dengan mulai timbulnya gejala cepat,
dalam 2 minggu setelah dosis pertama. Pemeriksaan neurologik yang teliti dan
pemeriksaan laboratorium berupa isolasi virusakan membantu diagnosis.4
Diagnosa banding dalam kasus pasien suspek rabies meliputi banyak penyebab
dariensephalitis, yang pada umumnya karena infeksi dari virus seperti herpesvirus,
enterovirus, danarbovirus. Virus yang sangat penting untuk dijadikan diagnosa banding
adalah herpes simpleks tipe 1, varicella zooster. Faktor epidemilogik seperti cuaca, lokasi
geografi, umur pasien, riwayat perjalanan, dan pajanan yang mungkin untuk tergigit
binatang dapat membantu menolong penegakan diagnosa.1
K. Penatalaksanaan
Penanganan luka gigitan hewan penular rabies setiap ada kasus gigitan hewan
penular rabies (anjing, kucing, kera) harus ditangani dengan tepat dan sesegera mungkin.
1. Berikut ini beberapa tips dan langkah-langkah penanganan luka gigitan:
Segera luka dibersihkan, bisa menggunakan sabun/deterjen, dibilas dengan air bersih
mengalir 5-10 menit. Lalu dikeringkan dgn kain/tissue bersih dan dapat ditambahkan
antiseptik betadin ataupun alkohol 70%.
2. Segera ke Puskesmas/Rabies Center/Rumah Sakit untuk mencari pertolongan
selanjutnya.
Di Puskesmas/Rabies Center/ Rumah Sakit dilakukan:
1. Ulangi cuci luka gigitan dengan sabun, detergent lain di air mengalir selama 10-15
menit dan beri anti septik (betadine, alkohol 70 %, obat merah, dan lain-lain).
2. Lakukan eksplorasi pada luka. Lakukan pembersihan dengan NaCl 0,9%, atau dengan
H2O2 3%.
3. Luka yang ada jangan dijahit, kalau luka terlalu lebar bisa dilakukan penjahitan
secara longgar dengan menggunakan benang non absorbable, dan dipasang drain.
3. Pemberian vaksin rabies, 0,5 ml im pada hari 1, 3, 7, 14 dan hari ke-28 . Tidak ada
pembedaan dosis untuk anak-anak dan dewasa.
4. Dapat dikombinasikan dengan antibiotik, untuk mencegah adanya infeksi kuman atau
bakteri yang lain.
Beberapa contoh pengobtan rabies mealui vaksin, diantaranya :
1. VAR (Vaksin Anti Rabies)
a. Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV)
- Produksi Institute Merieux Perancis (Verorab).
- Kemasan : Vaksin terdiri dari vaksin kering dalam vial dan pelarut sebanyak
0,5 ml dalam syringe.
- Dosis : Dewasa/anak sama yaitu hari ke 0 (pertama berkunjung ke
Puskesmas/Rabies Center/Rumah Sakit). Diberikan 2 dosis masing-masing
0,5 ml diberikan intramuskuler di deltoideus kanan/kiri. Hari ke 7 dan 21
- diberikan 0,5 ml lagi secara intramuskuler di deltoideus kanan/kiri. Apabila
VAR Verorab + SAR perlu diberikan booster pada hari ke 90.
- Dosis dan cara pemberian sesudah digigit (Post Exposure Treatment).
Vaksinasi Dosis Waktu pemberian
Dasar 0,5 ml 0,5 ml 4x Pemberian :
Hari Ke-0 : 2x sekaligus
(Deltoid Kiri dan Kanan)
Hari Ke 7 dan Ke 21
Ulangan 0,5 ml 0,5 ml Hari Ke-90
b. Serum homolog
- Misal IMDGAM, produksi Pasteur Merieux Perancis.
- Kemasan : Vial 2 ml (1 ml = 150 IU).
- Cara pemberian : Disuntikkan secara infiltrasi disekitar luka sebanyak
mungkin sisanya intramuskuler di gluleus/pantat.
- Dosis : 20 IU/Kg, harus dilakukan skin test, apabila positif tidak boleh
diberikan.
Jenis Serum Dosis Waktu pemberian Keterangan
Serum 20 ml/Kgbb Bersamaan dengan Sebelumnya
Homolog pemberian VAR Dilakukan
hari ke-0 Skintest
O. Prognosis
Penyakit rabies tidak dapat disembuhkan sehingga prognosisnya jelek. Tanpa
pencegahan, penderita hanya bertahan sekitar 8 hari, sedangkan dengan penangan suportif,
penderita dapat bertahan hingga beberapa bulan. Sebelum ditemukan pengobatan,
kematian biasanya terjadi dalam 3-10 hari. Kebanyakan penderita meninggal karena
sumbatan jalan nafas (asfiksia), kejang, kelelahan atau kelumpuhan total. Hingga saat ini
belum ada laporan kasus yang dapat bertahan hidup setelah manifestasi dari penyakit
rabies timbul. Pada manusia yang tidak mendapatkan vaksin rabies hampir selalu fatal
terutama setelah muncul gejala neurologi, tetapi bila setelah terpapar virus diberikan
vaksin akan mencegah perkembangan virus.8
Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah
mencapai sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan
dilaporkan 10 pasienyang sembuh dari rabies namun sejak tahun 1972 hingga sekarang
belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup. Prognosis seringkali fatal karena sekali
gejala rabies telah tampak hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai
akibat gagal nafas/henti jantung ataupun paralisis generalisata. Berbagai penelitian dari
tahun 1986 hingga 2000 yang melibatkan lebih dari 800 kasus gigitan anjing pengidap
rabies di negara endemis yang segera mendapat perawatan luka, pemberian VAR dan
SAR, mendapatkan angka survival 100%.4
BAB III
LAPORAN KASUS
UNIVERSITAS ANDALAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
KEPANITERAAN KLINIK ROTASI TAHAP II
STATUS PASIEN
1. Identitas Pasien
a. Nama/ Kelamin/Umur : An WJ /Laki-laki /4 tahun
b. Alamat :
Perasaan gelisah, malaise, sakit kepala, gatal, merasa seperti terbakar, kedinginan,
kondisi tubuh lemah dan rasa nyeri di tenggorokan tidak ada
ketakutan berlebihan, rasa haus, ketakutan terhadap rangsangan cahaya, tiupan angin
atau suara keras, dan penurunan kesadaran tidak ada.
Kucing yang menggigit pasien merupakan kucing jalanan. Kucing tersebut kemudian
kabur.
Tidak ada riwayat strok, penyakit hipertensi, penyakit diabetes, maupun penyakit
jantung.
Status Generalis
Pemeriksaan khusus:
Kepala:
- Normochepal
- Rambut: hitam, tidak mudah dicabut
- Mata: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, diameter pupil 2mm/2mm, refleks
pupil +/+
- Hidung: sumbatan (-), deviasi septum (-), polip (-), sekret (-)
- Telinga: tofus (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)
- Gigi dan mulut: caries (-)
- Tenggorokan: tonsil T2 T1
Leher :
- JVP 5 + 2 cmH20
- KGB tidak teraba membesar
- Kelenjar tiroid tidak teraba membesar
- Deviasi trakea (-)
Dada:
- Paru-Paru
- Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V, tidak kuat angkat, luas
1-2 jari, thrill (-)
Perkusi : Batas jantung : atas : RIC II
Kanan : LSD
Kiri : 1 jari medial LMCS RIC V
Pinggang : LPSS RIC III
Auskultasi : BJ I, BJ II murni (+), irama reguler, bising (-), gallop (-)
Perut:
Palpasi : Supel, Hepar/ Lien tidak teraba, Ballotemen ginjal (-), undulasi (-), shifting
dullnes (-), nyeri tekan epigastrium (-), nyeri lepas (-)
Perkusi : Timpani
Punggung:
Ekstrimitas:
9. Diagnosa Kerja:
Vulnus Ekskoriasi et causa gigitan kucing (susp. Rabies)
b) Promotif
Berikan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit rabies yang
disebabkan akibat gigitan hewan rabies seperti anjing kucing, atau kera yang
terinfeksi virus rabies. Apabila tidak dilakukan tindakan pencegahan secepatnya
bias menimbulkan gejala yang serius hingga sampai ke penurunanan kesadaran
bahkan kematian.
Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai faktor risiko penyakit
rabies. Melakukan pencegahan seperti yang dijelaskan sebelumnya dibagian
preventif
Memberikan edukasi kepada pasien agar patuh melakukan vaksin sesuai jadwal
yang telah ditentukan karena anjing yang menggigit pasien telah mati dibunuh
warga dan tidak diketahui terinfeksi virus rabies atau tidak.
Memberikan edukasi untuk melakukan perawatan luka bebas gigitan dan minum
obat yang telah diberikan berupa antibiotic spectrum luas, dan NSAID (Ibuprofen)
sesuai anjuran dokter.
Edukasi agar pasien megamati jika terdapat gejala rabies seperti demam, sakit
kepala, mual muntah, penurunan kesadaran, halusinasi, perubahan tempramen dan
lain sebagainya
c) Kuratif
NSAID : Ibuprofen 400 mg @ 1/4tablet diminum dua kali sehari
Vitamin C 50 mg diminum dua kali satu tablet dalam sehari.
d) Rehabilitatif
Perawatan luka bekas gigitan dengan benar dan menjaga daya tahan tubuh dengan
gizi seimbang dan istirahat yang cukup
BAB III
DISKUSI
1. Corey, Lawrence. Rabies, Rhabdovirus, dan Agen Mirip-Marburg. In: Harrison Prinsip-
prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Jakarta: EGC. 1999, p 938-941.
2. Harijanto, Gunawan, P. N. & Carta, A. Rabies. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007, p 1736-1740.
3. Bleck, T. P. & Rupprecht, C. E. Rabies Virus. In: Mandell GL, Bennet JE, Dollin R (Eds).
Mandell, Douglas amd Bennets Principles and Practice of Infectious Diseases. 5th ed.
Philadelphia: Churchill Livingstone. 2000, p 1811-1820.
4. Chin, James. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Edisi 17. Jakarta: American
Public Health Association. 2000, p 427- 436.
5. Mardjono, M. & Sidharta, P. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan Ke-13. Jakarta: PT.
Dian Rakyat. p 169-170.
6. Haryono, Yudha, dkk (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia). 2006. Kumpulan
Makalah Pertemuan Ilmiah Nasional II. Cetakan Pertama. Airlangga University Press:
Surabaya.
7. Depkes. Petunjuk Perencanaan dan Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Tersangka
Rabies di Indonesia. Diunduh dari http://www.depkes.go.id/downloads/
Petunjuk%20Rabies.pdf. Pada tanggal 20 Agustus 2012.
8. Sudomo, A., Kusuma, M., & Maryuni, V. 2009. Program Kreativitas Mahasiswa.
Pemanfaatan Habbatus Sauda Untuk Terapi Penunjang Pencegah Rabies Pada Anjing.
Bogor: IPB.
9. Deptan. Patofisiologi Rabies. Diunduh dari http://www.deptan.go.id/rabies.pdf. Pada
tanggal 20 Agustus 2012.
10. Smith, Jean S. 1996. New Aspects of Rabies with Emphasis on Epidemiology, Diagnosis
and Prevention of the Disease in the United States. Clinical Microbiology Reviews, Vol.
9, No. 2.
11. Hiswani. 2003. Pencegahan dan Pemberantasan Rabies. Diunduh dari
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani10.pdf. Pada tanggal 21 Agustus 2012.