Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai
semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva. Sebagian
besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang terinfeksi, tapi kadang
aerosol virus atau proses pencernaan atau transplantasi jaringan yang terinfeksi dapat
memulai proses penyakit.1

Virus yang menjadi penyebabnya adalah virus neurotropik, yang hanya dapat
berkembang biak di dalam jaringan saraf. Ukuran virus antara 100-150 milimikron.
Virus ini tahan terhadap kekeringan, akan tetapi mudah dimatikan dengan
menggunakan antiseptic, sinar matahari langsung, pemanasan, dan radiasi dengan
menggunakan sinar ultraviolet. Masa inkubasi pada hewan sekitar 3-6 minggu setelah
gigitan hewan rabies, sedangkan pada manusia tergantung dari parah tidaknya luka
gigitan, jauh tidaknya luka dengan susunan saraf pusat, banyaknya saraf pada luka,
jumlah virus yang masuk, serta jumlah luka gigitan.1

Secara umum, penularan rabies terjadi diakibatkan infeksi karena gigitan


binatang. Namun rabies juga dapat menular melalui beberapa cara antara lain melalui
cakaran hewan, sekresi yang mengkontaminasi membrane mukosa, virus yang masuk
melalui rongga pernapasan, dan transplantasi kornea. Virus rabies menyerang
jaringan saraf, dan menyebar hingga sistem saraf pusat, dan dapat menyebabkan
encephalomyelitis (radang yang mengenai otak dan medulla spinalis).2

Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies;
penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan
gagal nafas. Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan. Perawatan

1
intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan
hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering
terjadi. Oleh karena itu diperlukan tindakan penanganan yang efektif dan efisien baik
penanganan profilaksis pra pajanan maupun penanganan pasca pajanan, sehingga
akibat buruk akibat virus ini dapat diminimalkan.4

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai
semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva. Sebagian
besar  pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang terinfeksi, tapi
kadang aerosol virus atau proses pencernaan atau transplantasi jaringan yang

2
terinfeksi dapat memulai proses penyakit. Nama lain untuk rabies hydrophobia, la
rage (Perancis), la rabbia (Italia), la rabia (Spanyol), die tollwut (Jerman) atau di
Indonesia terkenal dengan nama penyakit Anjing Gila.2,4

Penularan rabies biasanya terjadi melalui gigitan hewan yang telah terinfeksi,
pencemaran luka segar atau selaput lendir dengan saliva atau otak hewan yang telah
terinfeksi. Pada kasus tertentu penularan melalaui udara dapat juga terjadi. Virus ini
berkembang biak dalam kelenjar ludah. Sangat peka terhadap pelarut yang bersifat
alkalis seperti sabun, desinfektan, alkohol, dan lain-lain. Sistem yang diserang adalah
sistem saraf (clinical encephalitis) yang dapat bersifat paralitik/furious dan glandula
salivarius (mengandung sejumlah besar partikel virus yang berada di saliva).1

2.2 Etiologi

Virus rabies merupakan virus RNA, termasuk dalam familia Rhabdoviridae ,


genus Lyssa. Virus berbentuk peluru dengan salah satu ujungnya berbentuk kerucut
dan pada potongan melintang berbentuk bulat atau elip (lonjong). Virus tersusun dari
ribonukleokapsid dibagian tengah,memiliki membran selubung (amplop) di bagian
luarnya yang pada permukaannya terdapat tonjoloan (spikes) yang jumlahnya lebih
dari 500 buah. Pada membran selubung (amplop) terdapat kandungan lemak yang
tinggi (glikoprotein). Virus berukuran panjang 180 nm, diameter 75 nm,tonjolan
berukuran 9 nm, dan jarak antara spikes 4-5 nm.2

Amplop glikoprotein tersusun dalam struktur seperti tombol yang meliputi


permukaan virion. Glikoprotein virus terikat pada reseptor asetilkolin, menambah
neurovirulensi virus rabies, membangkitkan antibody neutralisasi dan antibody
penghambat hemaglutinasi, dan merangsang imunitas sel T. Antigen nukleokapsid
merangsang antibody yang mengikat komplemen. Antibody netralisasi pada
permukaan glikoprotein tampaknya bersifat protektif. Antibodi antirabies digunakan
pada analisis imunofluororescent diagnostic yang umumnya ditujukan pada antigen
nukleokapsid. Isolasi virus rabies dari spesies binatang yang berbeda dan memiliki

3
perbedaan sifat antigenik dan biologik. Variasi-variasi ini bertanggung jawab
terhadap perbedaan dalam virulensi antara isolasi.Interferon diinduksi oleh virus
rabies, khususnya dalam jaringan dengan konsentrasi virus yang tinggi, dan berperan
dalam memperlambat infeksi yang progresif.1

Virus peka terhadap sinar ultraviolet, zat pelarut lemak, alkohol 70%,yodium,
fenol dan klorofrom. Virus dapat bertahan hidup selama 1 tahun dalam larutan
gliserin 50%. Pada suhu 600ºC virus mati dalam waktu 1 jam dan dalam
penyimpanan kering beku (freezedried) atau pada suhu 40ºC dapat tahan selama
bebarapa tahun.2

Virus juga akan mati dengan deterjen, sabun,etanol 45%, solusi jodium. Virus
rabies dan virus lain yang sekeluarga dengan rabies diklasifikan menjadi 6 genotipe.
Rabies merupakan genotipe 1,2, mokola genotipe 3, Duvenhage genotipe 4,
dan European bat lyssa-virus genotipe 5 dan 6.4

Gambar 1. Gambar Struktur Virus Rabies.

Keterangan : Virus rabies dengan bentuk seperti peluru yang dikelilingi


oleh paku-paku glikoprotein. Glikonukleoproteinnya tersusun dari
nukleoprotein, phosphorylated atau phosphoprotein dan polimerase.
Diagram melintang ini menunjukkan lapisan konsentrik yaitu amplop
dengan membran ganda, protein m dan digulung dalam RNA.

2.3 Epidemiologi

4
Rabies terdapat dalam dua bentuk epidemiologik yaitu urban, yang
disebarluaskan terutama oleh anjing, dan/atau kucing rumah yang tidak diimunisasi,
dan sylvatic, yang disebarluaskan oleh sigung (skunk), rubah, raccoon, luwak
(mongoos), serigala, dan kelelawar. Infeksi pada binatang yang jinak biasanya
menunjukkan kelebihan reservoar infeksi sylvatic, dan manusia dapat terinfeksi oleh
salah satunya. Oleh karena itu infeksi pada manusia cenderung terjadi pada tempat
rabies bersifat enzootik atau epizootik, yaitu jika terdapat banyak populasi binatang
jinak yang tidak diimunisasi, dan manusia kontak dengan udara terbuka.2,4

Rabies telah menyebabkan kematian pada orang dalam jumlah yang cukup
banyak. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun di
dunia ini terdapat sekurang-kurangnya 50.000 orang meninggal karena rabies. Rabies
bisa terjadi disetiap musim atau iklim, dan kepekaan terhadap rabies kelihatannya
tidak berkaitan dengan usia, seks atau ras.2,7

Di Amerika Serikat rabies terutama terjadi pada musang, raccoon, serigala


dan kelelawar. Rabies serigala terdapat di Kanada, Alaska dan NewYork. Kelelawar
penghisap darah (vampir), yang menggigit ternak merupakan bagian penting siklus
rabies di Amerika latin. Eropa mempunyairabies serigala, di Asia dan Afrika masalah
utamanya adalah anjing gila.7

Beberapa daerah di Indonesia yang saat ini masih tertular rabies sebanyak 16
propinsi, meliputi Pulau Sumatera (Sumatera Utara, SumateraBarat, Jambi,
Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung), Pulau Sulawesi (Gorontalo, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan SulawesiTenggara), Pulau Kalimantan
(Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, danKalimantan Timur) dan Pulau Flores.
Kasus terakhir yang terjadi adalah Propinsi Maluku (Kota Ambon dan Pulau Seram).8

Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat telah dinyatakan bebas dari
rabies melalui SK Menteri Pertanian No. 566 Tahun 2004, Banten sejak tahun 1996,
dan provinsi Jawa Barat sejak tahun 2001. Dengan diterbitkannyaSK Mentan bebas

5
rabies ini, maka seluruh pulau Jawa telah bebas rabies karena Jawa Timur, Jawa
Tengah, dan DI Yogyakarta telah lebih dahulu dibebaskan berdasarkan SK Mentan
No. 897 Tahun 1997.25 Daerah yang secara historis bebas rabies (belum pernah ada
kasus) adalah provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (kecuali
Pulau Flores), Kalimantan Barat, Papua, Irian Jaya Barat, Maluku Utara, Kepulauan
Riau dan Kepulauan Bangka Belitung dan sampai saat ini tetap dapat dipertahankan
bebas rabies.8

Manusia yang menderita rabies selalu berakhir dengan kematian (100% Case
Fatality Rate), gigitan oleh anjing menempati persentase tertinggi(99,4%) diikuti
kucing (0,29%) dan hewan lain, kera dan hewan piaraan atau liar lainnya (0,31%).
Bagian tubuh manusia yang digigit meliputi kepala(5%), tangan (28%), kaki (57%),
dan lain-lain (10%).7,8

2.4 Patogenesis

6
Gambar 2. Perjalanan Penyakit Rabies

Virus rabies masuk ke dalam tubuh melalui luka atau kontak langsung dengan
selaput mukosa dengan rasio gigitan dan cakaran sebesar 50:1. Virus rabies tidak bisa
menembus kulit yang utuh. Virus rabies membelah diri dalam otot atau jaringan ikat
pada tempat inokulasi dan kemudian memasuki saraf tepi pada sambungan
neuromuskuler. Setelah virus menempel pada reseptor nikotinik asetilkolin lalu virus
menyebar secara sentripetal melalui serabut saraf motorik dan juga serabut saraf

7
sensorik tipe cepat dengan kecepatan 50 sampai 100 mm per hari. Setelah melewati
medulla spinalis, virus bereplikasi pada motor neuron dan ganglion sensoris, akhirnya
mencapai otak. Kolkisin dapat menghambat secara efektif transport akson tipe cepat
tersebut. Virus melekat atau menempel pada dinding sel inang. Virus rabies melekat
pada sel melalui duri glikoproteinnya, reseptor asetilkolin nikotinat dapat bertindak
sebagai reseptor seluler untuk virus rabies. Kemudian secara endositosis virus
dimasukkan ke dalam sel inang. Pada tahap penetrasi, virus telah masuk kedalam sel
inang dan melakukan penyatuan diri dengan sel inang yang ditempati, terjadilah
transkripsi dan translasi.5

Protein matriks virus membentuk lapisan pada sisi dalam selubung, sementara
glikoprotein virus berada pada selaput luar dan membentuk duri. Setelah bagian-
bagian sel lengkap, sel virus tadi menyatukan diri kembali dan membentuk virus baru
yang menginfeksi inang yang lainnya, kemudian melanjutkan diri bergerak secara
sentripetal sebagai sub viral, tanpa nukleoplasmid menuju jaringan otak. Setelah
melewati medula spinalis virus akan menginfeksi tegmentum batang otak dan nukleus
selebelaris batang otak selanjutnya virus akan menyebar ke sel purkinye serebelum,
diencephalon, basal ganglia dan akhirnya menuju hipokampus terjadi lebih lambat
dengan girus dentatus yang relatif tidak terinfeksi. Virus rabies tidak bisa
menginfeksi sel granuler pada girus dentatus yang sebagian besar mengandung
reseptor AMPA dan Kainate.8

8
Gambar 3. Replikasi dan Siklus Infeksi Virus.

Jika virus telah mencapai otak, maka ia akan memper banyak diri dan
menyebar kedalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus
terhadap sel-sel sistim limbik, hipotalamus, dan batang otak. Khusus mengenai
system limbik dimana berfungsi erat dengan pengontrolan dan kepekaan emosi.
Akibat dari pengaruh infeksi sel-sel dalam sistim limbic ini, pasien akan menggigit
mangsanya tanpa ada provokasi dari luar. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-
neuron sentral virus kemudian bergerak ke perifer dalam serabut aferen dan pada
serabut saraf volunter maupun otonom. Dengan demikian, virus dapat menyerang
hampir seluruh jaringan dan organ tubuh dan berkembang biak dalam jaringan seperti
kelenjar ludah. Virus rabies menyebar menuju multi organ melalui neuron otonom

9
dan sensorik terutama melibatkan jalur parasimpatis yang bertanggung jawab atas
infeksi pada kelenjar ludah, kulit, jantung, dan organ lain. Replikasi di luar sel saraf
terjadi pada kelenjar ludah, lemak coklat, dan kornea. Kepekaan terhadap infeksi dan
masa inkubasinya bergantung pada latar belakang genetik inang, strain virus yang
terlibat, konsentrasi reseptor virus pada sel inang, jumlah inokulum, beratnya laserasi,
dan jarak yang harus ditempuh virus untuk bergerak dari titik masuk ke susunan saraf
pusat. Gambaran yang paling menonjol dalam infeksi rabies adalah terdapatnya badan
negri yang khas yang terdapat dalam sitoplasma sel ganglion besar.7

Gambar 4. Negri body di neuron.

10
Gambar 5. Skema patogenesis infeksi virus rabies.

Keterangan : Nomor pada gambar menunjukkan urutan


kejadian.
2.5 Masa Inkubasi

Masa inkubasi rabies pada anjing 10-15 hari, dan pada hewan lain 3-6 minggu
kadang-kadang berlangsung sangat panjang 1-2 tahun. Masa inkubasi pada manusia
yang khas adalah 1-2 bulan tetapi bisa 1 minggu atau selama beberapa tahun
(mungkin 6 tahun atau lebih). Biasanya lebih cepat pada anak-anak dari pada dewasa.
Kasus rabies manusia dengan periode inkubasi yang panjang (2-7 tahun) telah
dilaporkan, tetapi jarang terjadi.4,5,11

Masa inkubasi bisa tergantung pada umur pasien, latar belakang genetik,
status imun,  strain virus yang terlibat, dan jarak yang harus ditempuh virus dari titik

11
pintu masuknya ke susunan saraf pusat.5 Masa inkubasi tergantung dari lamanya
pergerakan virus dari luka sampai ke otak, pada gigitan di kaki masa inkubasi kira
kira 60 hari, pada gigitan di tangan masa inkubasi 40 hari, pada gigitan di kepala
masa inkubasi kira-kira 30 hari.2,4,5,11

2.6 Gejala Klinis

1. Pada Hewan

Gejala klinis pada hewan dibagi menjadi tiga stadium:2,8,9,11

a. Stadium Prodromal

Keadaan ini merupakan tahapan awal gejala klinis yang dapat berlangsung


antara 2-3 hari. Pada tahap ini akan terlihat adanya perubahan temperamen yang
masih ringan. Hewan mulai mencari tempat-tempat yang dingin/gelap, menyendiri,
reflek kornea berkurang, pupil melebar dan hewan terlihat acuh terhadap
tuannya.Hewan menjadi sangat perasa, mudah terkejut dan cepat berontak  bila ada
provokasi. Dalam keadaan ini perubahan perilaku mulai diikuti oleh kenaikan suhu
badan. 

b.Stadium Eksitasi

Tahap eksitasi berlangsung lebih lama daripada tahap prodromal, bahkan


dapat berlangsung selama 3-7 hari. Hewan mulai garang, menyerang hewan lain
ataupun manusia yang dijumpai dan hipersalivasi. Dalam keadaan tidak ada
provokasi hewan menjadi murung terkesan lelah dan selalu tampak seperti ketakutan.
Hewan mengalami fotophobi atau takut melihat sinar sehingga bila ada cahaya akan
bereaksi secara berlebihan dan tampak ketakutan.

c. Stadium Paralisis

12
Tahap paralisis ini dapat berlangsung secara singkat, sehingga sulit untuk
dikenali atau bahkan tidak terjadi dan langsung berlanjut pada kematian. Hewan
mengalami kesulitan menelan, suara parau,sempoyongan, akhirnya lumpuh dan mati.

2. Pada Manusia

Gejala klinis pada manusia dibagi menjadi empat stadium: 8,9

a. Stadium Prodromal

Gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan saraf pusat adalah
perasaan gelisah, demam, malaise, mual, sakit kepala, gatal, merasa seperti terbakar,
kedinginan, kondisi tubuh lemah dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari.

b. Stadium Sensoris

Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka
kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap
ransangan sensoris.

c. Stadium Eksitasi

Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala


berupa eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus,ketakutan terhadap rangsangan
cahaya, tiupan angin atau suara keras. Umumnya selalu merintih sebelum kesadaran
hilang.Penderita menjadi bingung, gelisah, rasa tidak nyaman dan ketidak  beraturan.
Kebingungan menjadi semakin hebat dan berkembang menjadi argresif, halusinasi,
dan selalu ketakutan. Tubuh gemetar atau kaku kejang.

d.Stadium Paralis

Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadang-


kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot

13
yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang yang
memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.

2.7 Tipe Rabies Pada Anjing

Anjing muda lebih relatif lebih peka dibandingkan hewan dewasa. Masa
inkubasi rata-rata 3-6 minggu dengan variasi yang tinggi, dapat 10 hari atau 6 bulan,
jarang kurang dari 2 minggu atau lebih dari 4 bulan. Virus rabies dijumpai pada air
liur anjing segera setelah gejala klinis tampak.8,9

Ada tiga tipe rabies pada hewan yaitu:

1. Rabies Ganas

-Tidak menuruti lagi perintah pemilik.

-Air liur keluar berlebihan.

-Hewan menjadi ganas, menyerang, atau menggit apa saja yang ditemui dan
ekor dilekungkan kebawah perut diantara dua paha.

-Kejang-kejang kemudian lumpuh, biasanya mati setelah 4-7 hari sejak timbul
atau paling lama 12 hari setelah penggigitan.

2. Rabies Tenang

-Bersembunyi di tempat gelap dan sejuk.

-Kejang-kejang berlangsung singkat bahkan sering tidak terlihat.

-Kelumpuhan tidak mampu menelan, mulut terbuka dan air liur keluar berlebihan.

-Kematian terjadi dalam waktu singkat.

3. Bentuk Asimtomatis:

14
Hewan tidak menunjukkan gejala sakit dan atau hewan tiba-tiba mati. Pada
anjing dan kucing biasanya bersifat ganas. Masa inkubasi 10-60 hari namun bisa juga
lebih lama. Air liur binatang sakit yang mengandung virus menularkan virus melalui
gigitan atau cakaran. Rabies pada kucing mempunyai gejala atau tanda-tanda yang
hampir sama dengan gejala pada anjing, seperti menyembunyikan diri, banyak
mengeong, mencakar-cakar lantai dan menjadi agresif. Pada 2-4 hari setelah gejala
pertama biasa terjadi kelumpuhan, terutama di bagian belakang.8,9

2.8 Diagnosis

Diagnosis rabies hanya berdasarkan gejala klinis sangat sulit dan kurang bisa
dipercaya, kecuali terdapat gejala klinis yang khas yaitu hidrofobia dan aerofobia.
Diagnosis pasti rabies hanya bisa didapat dengan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dikerjakan: 5,9

1. Darah rutin

Dapat ditemukan peningkatan leukosit (8000-13000/mm)dan penurunan


hemoglobin serta hematokrit.

2.Urinalisis

Dapat ditemukan albuminuria dan sedikit leukosit.

3.Mikrobiologi

Kultur virus rabies dari air liur penderita dalam waktu 2 minggu setelah onset.

4.Histologi

Dapat ditemukan tanda patognomonik berupa badan Negri (badan inklusi


dalam sitoplasma eosinofil) pada sel neuron, terutama pada kasus yang divaksinasi
dan pasien yang dapat bertahan hidup setelah lebih dari 2 minggu. Antigen, badan
negri dan virus banyak ditemukan pada selsaraf (neuron) sedangkan kelenjar ludah

15
dapat mengandung antigen dan virus tetapi badan negri tidak selalu dapat ditemukan
pada kelenjar ludah anjing. Adanya kontaminasi pada specimen dapat
mengganggu pemeriksaan dan khususnya untuk ”isolasi virus” pengiriman harus
dilakukan sedemikian rupa sehingga kelestarian hidup virus dalam specimen tetap
terjamin sampai ke laboratorium. Bahan pemeriksaan dapat berupa seluruh kepala,
otak, hippocampus, cortex cerbri dan cerebellum, preparat pada gelas objek dan
kelenjar ludah. Bila negri body tidak ditemukan, supensi otak (hippocampus) atau
kelenjar ludah sub maksiler diinokulasikan intrakranial pada hewan coba
(suckling animals), misalnya hamster, tikus (mice) atau kelinci (rabbits).

5.Serologi

DFA Testing and RT-PCR melalui biopsi kulit, Reverse-Transcription


Polymerase Chain Reaction (RTPCR) dalam saliva.

6.Cairan serebrospinal

Rabies Virus–Specific Antibodies dalam serum dan LCS (Rapid  fluorescent


focus inhibition test/RFFIT), dapat ditemukan monositosis sedangkan protein dan
glukosa dalam batas normal. Namun, pada pemeriksaan laboratorium, yang
merupakan gold standar untuk diagnosis rabies adalah pemeriksaan dengan
teknik fluorescent antibody (FA). Deteksi nukleokapsid dengan ELISA merupakan tes
yang cepat dan juga dapat digunakan maupun dilakukan pada survei epidemiologi.

2.9 Diagnosis Banding

Rabies harus dipertimbangkan sebagai penyebab pada semua penderita


dengan gejalan neurologik, psikiatrik atau laringofaringeal yang tak bisa dijelaskan,
khususnya bila terjadi didaerah endemis atau orang yang mengalami gigitan binatang
pada daerah endemis rabies.4

16
Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatu reaksi
psikologik orang-orang yang terpapar dengan hewan yang diduga mengidap rabies.
Penderita dengan rabies histerik akan menolak jika diberikan minum
(pseudohidropobia) sedangkan pada penderita rabies sering merasa haus.4

Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya


yang pendek, adanya trismus, kekakuan otot yang persisten diantara spasme, status
mental normal, cairan serebrospinal biasanya normal dan tidak terdapat hidropobia.
Ensefalitis dapat dibedakan dengan metode pemeriksaan virus dan tidak dijumpai
hidropobia.4

Rabies paralitik dapat dikelirukan dengan Syndroma Guillain Barre transverse


myelitis, Japanese ensefalitis, herpes simpleks ensefalitis, poliomielitis atau
ensefalitis post vaksinasi. Pada poliomielitis saat timbul gejala neurologik sudah tidak
ada demam, dan tidak ada gangguan sensorik ensefalitis post vaksinasi rabies terjadi
1:200-1:1600 pada vaksinasi nerve tissue rabies vaccine, dibedakan dengan mulai
timbulnya gejala cepat, dalam 2 minggu setelah dosis pertama. Pemeriksaan
neurologik yang teliti dan pemeriksaan laboratorium berupa isolasi virusakan
membantu diagnosis.4

Diagnosa banding dalam kasus pasien suspek rabies meliputi


banyak  penyebab dari ensephalitis, yang pada umumnya karena infeksi dari virus
seperti herpes virus, enterovirus, dan arbovirus. Virus yang sangat penting untuk
dijadikan diagnosa banding adalah herpes simpleks tipe 1, varicella zooster. Faktor
epidemilogik seperti cuaca, lokasi geografi, umur pasien, riwayat perjalanan, dan
pajanan yang mungkin untuk tergigit binatang dapat membantu menolong penegakan
diagnosa.1

2.10 Penatalaksanaan

17
Penanganan luka gigitan hewan penular rabies setiap ada kasus gigitan hewan
penular rabies (anjing, kucing, kera) harus ditangani dengan tepat dan sesegera
mungkin. Berikut ini beberapa tips dan langkah-langkah penanganan luka gigitan :

1. Segera luka dibersihkan, bisa menggunakan sabun/deterjen, dibilasdengan air


bersih mengalir 5-10 menit. Lalu dikeringkan dgn kain/tissue bersih dan dapat
ditambahkan antiseptik betadin ataupun alkohol 70%.

2. Segera ke Puskesmas/Rabies Center/Rumah Sakit untuk mencari pertolongan


selanjutnya. Di Puskesmas/Rabies Center/ Rumah Sakit dilakukan:

-Ulangi cuci luka gigitan dengan sabun, detergent lain di air mengalir selama 10-15
menit dan beri anti septik (betadine, alkohol 70 %, obatmerah, dan lain-lain).

-Lakukan eksplorasi pada luka. Lakukan pembersihan dengan NaCl 0,9%,atau


dengan H2O2 3%.

-Luka yang ada jangan dijahit, kalau luka terlalu lebar bisa dilakukan penjahitan
secara longgar dengan menggunakan benang non absorbable,dan dipasang drain.

-Pemberian vaksin rabies, 0,5 ml im pada hari 0, 7, 21 dan hari ke-90 .Tidak ada
pembedaan dosis untuk anak-anak dan dewasa.

-Dapat dikombinasikan dengan antibiotik, untuk mencegah adanya infeksi kuman


atau bakteri yang lain.

VAR (Vaksin Anti Rabies)

Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV)

-Produksi Institute Merieux Perancis (Verorab)

18
-Kemasan : Vaksin terdiri dari vaksin kering dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5 ml
dalam syringe.

-Dosis : Dewasa/anak sama yaitu hari ke 0 (pertama berkunjungke Puskesmas/Rabies


Center /Rumah Sakit). Diberikan 2 dosis masing-masing 0,5 ml diberikan
intramuskuler di deltoideus kanan/kiri. Hari ke 7 dan 21 diberikan 0,5 ml lagi secara
intramuskuler di deltoideus kanan/kiri. Apabila VAR Verorab + SAR perlu diberikan
booster pada hari ke 90.

-Dosis dan cara pemberian sesudah digigit (Post ExposureTreatment)

Vaksinasi Dosis Waktu pemberian


Dasar 0,5 ml 4x pemberian :
Hari ke 0 : 2x sekaligus
(deltoid kiri dan kanan)
Hari ke 7 dan ke 21.

Ulangan 0,5 ml Hari ke 90.

2.11 Pencegahan

Pencegahan Primer 7,9,11

a. Tidak memberikan izin untuk memasukkan atau menurunkan anjing, kucing, kera
dan hewan sebangsanya di daerah bebas rabies. 

b. Memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang masuk tanpa izin
ke daerah bebas rabies.

c. Dilarang melakukan vaksinasi atau memasukkan vaksin rabies kedaerah-daerah


bebas rabies.

19
d. Melaksanakan vaksinasi terhadap setiap anjing, kucing dan kera, 70% populasi
yang ada dalam jarak minimum 10 km disekitar lokasi kasus.

e. Pemberian tanda bukti terhadap setiap kera, anjing,kucing yang telah divaksinasi.

f. Mengurangi jumlah populasi anjing liar atan anjing tidak bertuan.

g. Anjing peliharaan, tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran, harus didaftarkan ke


Kantor Kepala Desa/Kelurahan atau Petugas Dinas Peternakan setempat.

 h. Anjing harus diikat dengan rantai yang panjangnya tidak boleh lebih dari 2 meter.
Anjing yang hendak dibawa keluar halaman harusdiikat dengan rantai tidak lebih dari
2 meter dan moncongnya harus menggunakan berangus (beronsong).

i. Menangkap dan melaksanakan observasi hewan tersangka menderitarabies, selama


10 sampai 14 hari, terhadap hewan yang mati selama observasi atau yang dibunuh,
maka harus diambil spesimen untuk dikirimkan ke laboratorium terdekat untuk
diagnosa. 

j. Mengawasi dengan ketat lalu lintas anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya
yang bertempat sehalaman dengan hewan tersangka rabies.

k. Membakar dan menanam bangkai hewan yang mati karena rabies sekurang-
kurangnya 1 meter.

2. Pencegahan Sekunder 

Pertolongan pertama yang dapat dilakukan untuk meminimalkan resiko


tertularnya rabies adalah mencuci luka gigitan dengan sabun atau dengan deterjen
selama 5-10 menit dibawah air mengalir/diguyur. Kemudian luka diberi alkohol 70%
atau Yodium tincture. Setelah itu pergi secepatnya ke Puskesmas atau dokter yang
terdekat untuk mendapatkan pengobatan sementara sambil menunggu hasil dari
rumah observasi hewan. Resiko yang dihadapi oleh orang yang mengidap rabies

20
sangat besar. Oleh karena itu, setiap orang digigit oleh hewan tersangka rabies atau
digigit oleh anjing di daerah endemik rabies harus sedini mungkin mendapat
pertolongan setelah terjadinya gigitan sampai dapat dibuktikan bahwa tidak benar
adanya infeksi rabies.7,9,11

3. Pencegahan Tersier 

Tujuan dari tiga tahapan pencegahan adalah membatasi atau menghalangi


perkembangan ketidakmampuan, kondisi, atau gangguan sehingga tidak berkembang
ke tahap lanjut yang membutuhkan perawatan intensif yang mencakup pembatasan
terhadap ketidakmampuan dengan menyediakan rehabilitasi. Apabila hewan yang
dimaksud ternyata menderita rabies berdasarkan pemeriksaan klinis atau laboratorium
dari Dinas Perternakan, maka orang yang digigit atau dijilat tersebut harus segera
mendapatkan pengobatan khusus (Pasteur Treatment) di Unit Kesehatan yang
mempunyai fasilitas pengobatan Anti Rabies dengan lengkap. 7,9,11

2.12 Komplikasi

Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul
pada fase koma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan
intrakranial; kelainan pada hipotalamus berupa diabetes insipidus, sindrom
abnormalitas hormon antidimetik (SAHAD), disfungsi otonomik yang menyebabkan
hipertensi, hipotensi, hipertemia/hipotermia, aritmia dan henti jantung. Kejang dapat
lokal maupun generalisata dan sering bersamaan dengan aritmia dan gangguan
respirasi. Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan
alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi pernafasan terjadi pada
fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi dan
gangguan otonomik.4

2.13 Prognosis

21
Penyakit rabies tidak dapat disembuhkan sehingga prognosisnya jelek. Tanpa
pencegahan, penderita hanya bertahan sekitar 8 hari, sedangkan dengan penangan
suportif, penderita dapat bertahan hingga beberapa bulan. Sebelum ditemukan
pengobatan, kematian biasanya terjadi dalam 3-10 hari. Kebanyakan penderita
meninggal karena sumbatan jalan nafas (asfiksia), kejang, kelelahan atau kelumpuhan
total. Hingga saat ini belum ada laporan kasus yang dapat bertahan hidup setelah
manifestasi dari penyakit rabies timbul. Pada manusia yang tidak mendapatkan vaksin
rabies hampir selalu fatal terutama setelah muncul gejala neurologi, tetapi bila setelah
terpapar virus diberikan vaksin akan mencegah perkembangan virus.8

22
BAB III

KESIMPULAN

1. Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai
semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva.

2. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang terinfeksi,
tapi kadang aerosol virus atau proses pencernaan atau transplantasi jaringan yang
terinfeksi dapat memulai proses penyakit.

3. Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing,kucing,


kera, serigala, kelelawar dan ditularkan ke manusia melalui gigitan binatang atau
kontak virus (saliva binatang) dengan luka pada host ataupun melalui membran
mukosa.

4. Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal


nonspesifik, (2) ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3) disfungsi
pusat batang otak yang mendalam yang menimbulkan gambaran klasik ensefalitis
rabies, dan (4) jarang, sembuh.

5. Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala


rabies; penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung
dan gagal nafas. Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan,hasilnya
tidak menggembirakan. Perawatan intensif hanyalah metode untuk memperpanjang
dan bila mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi
respirasi dan kardiovaskuler yang sering terjadi.

6. Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah
mencapai sistem saraf pusat.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Smith JS ,2011 Rabies enchepalitis in human : “etiopathology, pathogenesis “pdf.


Di unduh tanggal 12 desember 2015 di http://cdc.gov.rabies/pdf

2. WHO 2015, pada www.who.int/mediacenter/factsheets/fs099/en di unduh tanggal


13 desember 2015

3. Bleck, T. P. & Rupprecht, C. E.Rabies Virus. In: Mandell GL, Bennet JE,Dollin R
(Eds). Mandell, Douglas amd Bennet’s Principles and Practice of Infectious Diseases.
5th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone. 2007, p1811-1820.

4. Chin, James. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Edisi 17.


Jakarta:American Public Health Association. 2009, p 427- 436.

5. Mardjono, M. & Sidharta, P. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan Ke-


13.Jakarta: PT. Dian Rakyat. p 169-170.

6. Haryono, Yudha, dkk (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia). Kumpulan


Makalah Pertemuan Ilmiah Nasional II  Cetakan Pertama.Airlangga University Press:
Surabaya. 2007

7. Depkes. Petunjuk Perencanaan dan Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan


Tersangka Rabies di Indonesia. Diunduh dari : http://www.depkes.
go.id/downloads/Petunjuk%20Rabies.pdf  Pada tanggal 12 Desember 2015.

8. Sudomo, A., Kusuma, M., & Maryuni, V. 2009. Program Kreativitas Mahasiswa.


Pemanfaatan Habbatus Sauda Untuk Terapi Penunjang  Pencegah Rabies Pada
Anjing. Bogor: IPB.

9. Deptan. Patofisiologi Rabies. Diunduh dari : http://www.deptan.go.id/rabies.pdf .


Pada tanggal 12 Desember 2015.

10. Smith, Jean S. New Aspects of Rabies with Emphasis on


Epidemiology , Diagnosis and Prevention of the Disease in the United States. Clinical
Microbiology Reviews, Vol. 9, No. 2.27. 2009

11. Hiswani. Pencegahan dan Pemberantasan Rabies. 2008. Diunduh dari :


http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani10.pdf . Pada tanggal 12 Desember
2015.

24
DAFTAR ISI

25
SAMPUL ......................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………. 1
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………….. 3
2.1 Definisi ……………………………………………………………... 3
2.2 Etiologi ……………………………………………………………... 3
2.3 Epidemiologi ……………………………………………………….. 5
2.4 Patogenesis …………………………………………………………. 7
2.5 Masa Inkubasi ………………………………………………………. 11
2.6 Gejala Klinis ………………………………………………………... 12
2.7 Tipe Rabies Pada Anjing …………………………………………… 14
2.8 Diagnosis …………………………………………………………… 15
2.9 Diagnosis Banding ………………………………………………….. 16
2.10 Penatalaksanaan …………………………………………………… 17
2.11 Pencegahan ………………………………………………………... 19
2.12 Komplikasi ………………………………………………………… 21
2.13 Prognosis …………………………………………………………... 21
BAB III KESIMPULAN ……………………………………………………... 23
AFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….... 19

ii

26

Anda mungkin juga menyukai