Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Cutaneous Larva Migrans (CLM) atau creeping eruptions merupakan

penyakit yang spesifik untuk daerah tropis dan merupakan masalah dermatologis

yang sering terjadi pada pelancong di daerah tropis dan subtropis. CLM pada

umumnya disebabkan oleh larva cacing tambang hewan, seperti Ancylostoma

braziliense dan A. caninum. Banyak larva nematoda lainnya yang dapat

menyebabkan CLM, seperti genus Gnathostoma (gnathostomiasis), hookworm,

Paragonimus westermani (paragonimiasis), Spirometra (sparganosis) dan

Strongyloides stercoralis (strongyloidiasis).1 Cutaneous larva migrans (CLM)

terdistribusi luas, umumnya di daerah tropis dan subtropis, terutama di Asia

Tenggara, Karibia, Afrika, Amerika Selatan, dan India.2

Cacing tambang hewan dewasa berada di usus kucing atau anjing dan

telurnya dilepaskan ke lingkungan melalui feses. Telur ini matang di tanah. Tanah

dan pasir mempunyai kondisi yang hangat, lembab, dan teduh merupakan kondisi

yang bagus untuk telur tersebut menetas menjadi larva yang dapat menembus

kulit manusia. Berjalan tanpa alas kaki berisiko tinggi karena larva dapat

menembus lapisan kulit epidermis.1 Umumnya mampu menginvasi kaki, tangan,

bokong atau abdome.3

Diagnosis ditegakkan secara klinis. Hal ini didukung oleh riwayat

perjalanan dalam waktu dekat, dan kemungkinan paparan. Gejala klinis yang

1
didapatkan berupa papul kecil yang kemerahan diikuti dengan jalur kemerahan,

membentuk garis, sedikit menpnjol menjalar ke kulit. Rasa gatal yang timbul

semakin lama semakin sering. Infeksi sekunder dapat terjadi sebagai akibat dari

menggaruk.4 golongan benzimidazole, yaitu albendazole (dosis tunggal 400 mg,

untuk anak usia 12–24 bulan 200 mg) atau mebendazole(dosis tunggal 500 mg),

dapat juga diberikan levamisole atau pyrantel pamoate sebagai salah satu

pengobatan yang tepat pada cutaneus larva migrans.5

2
BAB II

PEMBAHASAN

CUTANEUS LARVA MIGRANS


(Fitrianti C, Faisyah Febyola, Nurul Annisa, Amal Alamsyah)

A. DEFINISI

Creeping eruption adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

larva non human hookworm Ancylostomacaninum (anjing) atau

Ancylostomabrazliensis (kucing) pada manusia.6 Istilah ini digubakan pada

kelainan kulit yang merupakan peradangan berbentuk linier atau berkelok-

kelok, menimbul dan progresif.3

B. SINONIM

Cutaneus larva Migran ,dermatosis linearis migrans, sandworm disease.3

C. EPIDEMIOLOGI

Insidens yang sebenarnya sulit diketahui, di Amerika Serikat

(pantai Florida, Texas, dan New Jersey) tercatat 6.7% dari 13,300

wisatawan mengalami CLM setelah berkunjung ke daerah tropis. Hampir

di semua negara beriklim tropis dan subtropis, misalnya Amerika Tengah

dan Amerika Selatan, Karibia, Afrika, Australia dan Asia Tenggara,

termasuk Indonesia, banyak ditemukan CLM.

Pada invasi ini tidak terdapat perbedaan ras, usia, maupun jenis

kelamin. Belum pernah dilaporkan kematian akibat CLM. Invasi CLM

3
yang bertahan lama dan tidak diobati dapat menyebabkan infeksi sekunder

akibat garukan. Walaupun jarang, namun dapat menyebabkan selulitis.3

D. ETIOPATOGENESIS

Penyebab utama adalah larva yang berasal dari cacing tambang

yang hidup di usus anjing dan kucing, yaitu Ancylostomabraziliense dan

Ancylostomacaninum. Di Asia Timur, umumnya disebabkan oleh

gnatostoma babi dan kucing. Pada beberapa kasus ditemukan

Echinococcus, Strongyloidessterconalis, Dermatobiamaxiales, dan

Luciliacaesar. Selain itu, dapat pula di- sebabkan oleh larva dari beberapa

jenis lalat, misalnya Castrophilus (thehorsebootfly) dan cattlefly.

Biasanya larva ini merupakan stadium ketiga siklus hidupnya.

Nematoda hidup pada hospes, ovum (telur cacing) terdapat pada kotoran

binatang dan karena kelembaban (misalnya di tanah berpasir yang basah

dan lembab) berubah menjadi larva yang mampu mengadakan penetrasi ke

kulit. Larva ini tinggal di kulit berjalan-jalan tanpa tujuan sepanjang taut

dermo-epidermal dan setelah beberapa jam atau hari akan timbul gejala di

kulit.3

E. GEJALA KLINIS

Creeping eruption adalah dermatitis dengan gambaran khas berupa

kelainan intrakutan serpinginosa.15 Masa inkubasinya adalah beberapa

menit sampai beberapa minggu setelah kontak dengan parasit. 7Masuknya

larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula-mula akan

timbul papul kemudian dikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk

4
linier atau berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan

berwarna kemerahan, Adanya lesi papul yang ertematosa ini menunjukkan

bahwa larva tersebut telah berada di kulit, selama beberapa jam atau

hari.Perkembangan selanjutnya papul merah ini menjalar, menyerupai

benang berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul, dan membentuk

terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa cm. Rasa gatal biasanya

lebih hebat pada malam hari.3

Tempat predileksinya adalah dorsum dan telapak kaki (uni dan

bilateral), bokong, panggul, kaki dan bahu.8 Tempat yang jarang terkena

adalah penis, dinding abdomen anterior dan mukosa oral.7

Gejala muncul setelah beberapa hari dengan reaksi inflamasi dari

host dan bisa mengganggu tidur. Nyeri dapat terjadi pada lesi

papulovesikular. Tanda-tanda sistemik seperti eosinofilia perifer

(sindromLoeffler), migrasi infiltrate paru, dan peningkatan kadar

immunoglobulin E, tetapi jarang terlihat.8

5
(Gambar 1. Gambaran khas pada CLM tampak lesi berupa papul serpiginosa berbentuk

terowongan.)
F. DIAGNOSIS

Diagnosis creeping eruption (cutaneous larva migrans) dapat ditegakkan

berdasarkan gambaran klinis yang khas dari lesi kulit dan dari anamnesis.

Berdasarkan anamnesis, biasanya pasien memiliki riwayat berjalan tanpa alas

kaki di pantai, bekerja tanpa pelinung pada tanah yang terkontaminasi, dan

berkebun.

Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan ditemukannya larva pada

gambaran histopatologi biopsy kulit dari bagian tepi lesi yang masih baru.

Berdasarkan bentuk khas yakni terdapatnya kelainan seperti benang yang

lurus atau berkelok-kelok, menimbul, dan terdapat papul atau vesikel di

atasnya.3,6,9

Namun, Pemeriksaan histopatologi tidak harus selalu dilakukan

dikarenakan diagnosis sudah dapat ditegakkan melalui anamnesis dan

pemeriksaan fisik.

6
(gambar 2. Cutaneus Larva Migrans)

G. DIAGNOSIS BANDING

1. SKABIES

Skabies merupakan suatu penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh

tungau ektoparasit Sarcoptes scabiei var hominis, filum Arthropoda, orde

akarina yang merupakan parasit obligat pada manusia yang berukuran

300-400 mikron.12

Penyakit skabies dapat ditularkan secara langsung (kontak kulit dengan

kulit) misalnya berjabat tangan, tidur bersama, dan melalui hubungan

seksual. Penularan secara tidak langsung (melalui benda), misalnya

pakaian, handuk, sprei, bantal, dan selimut yang dipakai secara

bersamaan.13

Seseorang mengalami gejala skabies ketika tungau masuk ke dalam

lapisan kulitnya. Lesi primer yang terbentuk akibat infeksi skabies pada

umumnya berupa terowongan yang berisi tungau, telur, dan hasil

7
metabolisme. Terowongan berwarna putih abu-abu, tipis dan kecil seperti

benang dengan struktur linear atau berkelok-kelok kurang lebih 1-10 mm

yang merupakan hasil dari pergerakan tungau di dalam stratum korneum.

Di ujung terowongan dapat ditemukan vesikel atau papul kecil.

Terowongan dapat ditemukan bila belum terdapat infeksi sekunder.1,9,14

Ketika menggali terowongan, tungau mengeluarkan sekret yang dapat

melisiskan stratum korneum. Sekret dan eksret tersebut akan menyebabkan

sensitisasi sehingga menimbulkan lesi sekunder. Lesi sekunder berupa

papul, vesikel, pustul, dan terkadang bula. Selain itu dapat pula terbentuk

lesi tersier berupa ekskoriasi, eksematisasi, dan pioderma. Meskipun dapat

terbentuk lesi sekunder dan tersier, namun tungau hanya dapat ditemukan

pada lesi primer. Lesi primer pada skabies sangat menular melalui

jatuhnya krusta yang berisi tungau. Krusta tersebut menyediakan makanan

dan perlindungan bagi tungau yang memungkinkan mereka untuk bertahan

hidup.14

(gambar 3. Scabies)

8
2. INSECT BITE
Insect hypersensitif mencakup reaksi alegi akibat gigitan serangga

dankontak langsung dengan serangga.Diagnosis klinis didasarkan pada

tempat predileksi dan gambaran klinis. Tempat predileksi bergantung pada

gigitan penyebab, misalnya di ekstremitas bila penyebabnya nyamuk, di

bagian kepala bila serangga penyebab adalah tuma anjing, di bahu dan

leher bila penyebab berasal dari tuma burung, di badan bila berasal dari

tuma baju (P. humanus humanus) dan kutu binatang peliharaan. Kutu

busuk biasanya menghisap darah dari kulit yang terbuka (kepala, lengan,

tungkai) dan meninggalkan bercak kehitaman. Nyamuk dapat juga

menusukkan sungutnya menembus baju yang tipis untuk menggigit dan

menyedot darah manusia.3

Gambaran klinis spesifik urtikaria papular akibat gigitan atau

sengatan serangga biasanya khas, di bagian tengah papul terlihat ada

punktum hemoragik (haemorrhagic puncta) bekas alat tusuknya. Mula-

mula timbul urtika yang segera diikuti terbentuknya papul atau vesikel

dibagian tengahnya, bahkan dapat menjadi bula. Keadaan ini dapat

bertahan beberapa jam atau hari. Pada keadaan berat, 4-8 jam setelah

gigitan dapat terbentuk pustule berumbilikasi dengan dasar edema dan

eritematosa. Pustule kemudian pecah dan meninggalkan krusta dan

menyembuh setelah beberapa hari. Kadang-kadang penyembuhan

meninggalkan hiperpigmentasi dan sikatriks ringan. Pada umumnya

urtikaria papular berkelompok, namun dapat pula tersebar. Karena itu bila

ada dugaan gigitan serangga perlu dicari sumber atau sarang serangga

9
tersebut, mungkin di karpet, kasur, kursi duduk, yang bertilam kain, atau

pohon-pohon di kebun. Perlu ditanyakan dimana anak-anak bermain atau

menghabiskan waktu sehari-hari, apakah di kebun, atau bermain dengan

binatang peliharaan, selain itu mungkin ada pula anak atau orang sering

bepergian atau wisata ke daerah tertentu. Apakah ada orang lain juga

terkena atau berpenyakit serupa, dan apakah bila dihindarkan dari

lingkungan tersebut mereka bebas urtikaria popular.3

(gambar 4. Insect bite)

H. TATA LAKSANA
Sebelum tahun 1960, terapi CLM adalah dengan ethyl chloride

spray (disemprotkan sepanjang lesi), liquid nitrogen, phenol, carbon

dioxide snow (CO2 snow dengan penekanan selama 45 detik sampai 1

menit, dua hari berturut-turut), piperazine citrate, eletro-kauterisasi dan

radiasi. Pengobatan tersebut sering tidak berhasil karena kita tidak

mengetahui secara pasti dimana larva berada, dan bila terlalu lama dapat

10
merusak jaringan di sekitarnya. Kemoterapi dengan chloroquine,antimony

dan diethylcarbamazine juga tidak memuaskan.3

Tatalaksana gold-standard cutanous larva migrans adalah

antiparasitik, ivermectin. Pada beberapa penelitian, efektifitas ivermectin

dibandingkan albendazole menunjukkan bahwa ivermectin memiliki

tingkat keberhasilan terapi lebih tinggi (100%) dibandingkan albendazole

(46%).10

Sejak tahun 1993 telah diketahui bahwa berspektrum luas,

misalnya tiabendazol (mintezol), ternyata efektif. Dosisnya 25-50 mg/kb

BB/hari, sehari 2 kali, diberikan berturut- turut selama 2-5 hari. Dosis

maksimum 3 gram sehari, jika belum sembuh dapat diulangi setelah

beberapa hari. Obat ini sukar didapat. Efek sampingnya mual, pusing dan

muntah. Eyster mencobakan pengobatan topikal solusio tiabendazol dalam

DMSO dan ternyata efektif. Demikian pula Davis dan Israel me suspensi

obat tersebut (500mg/5 ml) secara oklusi selama 24-48 jam. Sekarang

albendazole dan ivermectin di luar negeri merupakan obat lini pertama. Di

luar negeri terapi dengan ivermectin per oral (200 ug/kg) dosis tunggal dan

diulang setelah 1-2 minggu, memberi kesembuhan 94-100%.3

Pengalaman kami di Divisi Kulit Anak, Poliklinik Kulit dan

Kelamin RSCM, pengobatan dengan albendazol 400 mg sebagai dosis

tunggal, diberikan 3 hari berturut-turut, sangat efektif. Bila tidak berhasil

dapat diulangi pada minggu berikutnya.3

11
I. PROGNOSIS

Prognosis baik. Penyakit ini dapat sembuh sendiri. Larva akan mati

dengan sendirinya dan kelainan kulit akan membaik secara bertahap.

Waktu yang diperlukan untuk resolusi adalah 4-8 minggu, paling lama

adalah 1 tahun tetapi sangat jarang terjadi.11

CLM tidak mengancam kehidupan, umumnya sembuh dengan

terapi antihelmintes albendazole atau tiabendazole.3

J. PENCEGAHAN

Pencegahannya adalah ketika bepergian ke Negara tropis, terutama

daerah pantai, daerah lembab, sebaiknya gunakan sepatu yang tertutup.

Juga sebaiknya dihindari untuk duduka tau berbaring di atas pasir

walaupun menggunakan alas.11

12
BAB III

KESIMPULAN

Creeping eruption atau cutaneus larva migrans adalah penyakit

yang disebabkan oleh infeksi larva non human hookworm

Ancylostomacaninum (anjing) atau Ancylostomabrazliensis (kucing) pada

manusia. Istilah ini digubakan pada kelainan kulit yang merupakan

peradangan berbentuk linier atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif.

Masa inkubasinya adalah beberapa menit sampai beberapa minggu

setelah kontak dengan parasit. Masuknya larva ke kulit biasanya disertai

rasa gatal dan panas. Mula-mula akan timbul papul kemudian dikuti

bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linier atau berkelok-kelok,

menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan berwarna kemerahan, Adanya

lesi papul yang ertematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah

berada di kulit, selama beberapa jam atau hari.

Perkembangan selanjutnya papul merah ini menjalar, menyerupai

benang berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul, dan membentuk

terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa cm. Rasa gatal biasanya

lebih hebat pada malam hari.Tempat predileksinya adalah dorsum dan

telapak kaki (uni dan bilateral), bokong, panggul, kaki dan bahu.

Diagnosis creeping eruption (cutaneous larva migrans) dapat

ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas dari lesi kulit dan dari

anamnesis.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Siti Ananda Hardita Syahputri, and Yudha Nurdian. Cutaneous Larva


Migrans Merupakan Masalah Dermatologis yang Sering Terjadi di Daerah

14
Tropis dan Subtropis. Faculty of Medicine, University of Jember. 13
December 2017.
2. Stevani Novita, Bangbang Buhari. Cutaneous Larva Migrans. Murni
Teguh Memorial Hospital, Medan, Sumatera Utara, Indonesia. CDK-262/
vol. 45 no. 3 th. 2018
3. Dr. dr. Sri Linuwih Bramono, PhD, Sp.KK(K), Prof. dr. Kulsumarinah
Bramono, PhD, Sp.KK (K), Dr. dr. Wresti Indriatmi, M.Epid, Sp.KK (K).
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia Anggota IKAPI,Jakarta.
4. Shinta Nareswari. Cutaneus Larva Migrans Yang di sebabkan Oleh Cacing
Tambang. Bagian Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung.Vol 5 No.9, 2015.
5. Jovita Silvia Wijaya. Perbandingan Efektivitas dan Efek Samping
Albendazole dengan Kombinasi Mebendazole-Pyrantel Pamoat untuk
Terapi Soil-transmitted Helminthiasis Anak Sekolah Dasar di Kecamatan
Medan Tembung. Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis,
Fakultas Kedokteran Sumatera Utara, Medan, Sumatera Utara, Indonesia.
CDK-253/ vol. 44 no. 6 th. 2017.
6. Luis J. Borda, et al. 2017. Hookworm-related Cutaneus Larva Migrans

with Exceptional Multiple Cutaneous Entries. United States: Avens

Publishing Group.

7. Vidyadhar R Sardesai, et al. Cutaneous Larva Migrans. Journal of

Pediatric Sciences 2014;6;e207.

8. R. Jayanthi, T. Deenadayalan. 2015. Cutaneous Larva Migrans “Creeping

Eruptions”. Chennai: Stanley Medical Journal.

9. Ibrahim NM, Teravaj P. Rash in a foreign worker. Malays Fam Physician.

2016;11(2&3):39-41.

15
10. Kudrewicz K, Crittenden KN, Himes A. A Case of Cutaneous Larva Migrans

Presenting in a Pregnant Patient. Dermatology Online Journal. 2015; 21.

11. Sergio Vano-Galvan,et al. 2009. Cutaneous Larva Migrans: A Case

Report. Madrid: Cases Journal BioMed Central.

12. Mayang KD, Wathoni N. Diagnosa dan Regimen Pengobatan Skabies.


2016.Jurnal Farmaka. Volume 15 No 1.
13. Parman, dkk. Faktor Resiko Hygine Perorangan santri Terhadap Kejadian
Penyakit Kulit Skabies di Pesantren Al-Baqiya Tushshaliat Tanjung
Jabung Barat. 2017. Jurnal ilmiah Universitas Batanghari Jambi. Volume
17 No 3 Hal;234-252
14. Mutiara Hanna, Syailindra Firza. Scabies. 2016. Jurnal Majority. Vol 5 No
2 Hal; 37-42
15. Susnto I, dkk.2013 Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat.Jakarta:FKUI

16

Anda mungkin juga menyukai