Anda di halaman 1dari 23

JOURNAL READING

CUTANEOUS LARVA MIGRANS


Alexander K.C. Leung, Benjamin Barankin, dan Kam L.E. Hon

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Pendidikan Profesi Dokter


Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Diterjemahkan Oleh :
Yovanda Putri P A, S.Ked J510185016
Rifda El Mahroos, S.Ked J510185041
Novit Nurul Fitriana, S.Ked J510185013

Pembimbing
dr. Sri Hastuti, Sp. KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSUD IR. SOEKARNO SUKOHARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

JOURNAL READING

CUTANEOUS LARVA MIGRANS


Alexander K.C. Leung, Benjamin Barankin, dan Kam L.E. Hon

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Pendidikan Profesi Dokter


Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Disusun Oleh:
Yovanda Putri P A, S.Ked J510185016
Rifda El Mahroos, S.Ked J510185041
Novit Nurul Fitriana, S.Ked J510185013

Telah dipresentasikan, disetujui dan di sahkan oleh bagian Program Pendidikan


Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Pada hari .............., ........................2019

Dipresentasikan kepada :
dr. Sri Hastuti, Sp. KK (........................................)

Pembimbing:
dr. Sri Hastuti, Sp. KK (........................................)

2
CUTANEOUS LARVA MIGRANS
Alexander K.C. Leung, Benjamin Barankin, dan Kam L.E. Hon

Abstrak
Latar belakang : Kutaneus larva migran adalah salah satu dari penyakit kulit yang
umum terjadi pada wisatawan yang kembali dari negara tropis. Dokter di barat sering
tidak mengenal kondisi ini.
Objektif : untuk mereview lebih dalam mengenai epidemiologi, patofisiologi,
manifestasi klinik, komplikasi dan tatalaksana Kutaneus larva migran.
Metode : Pencarian PubMed diselesaikan dalam Pertanyaan Klinis menggunakan
istilah kunci "Kutaneus larva migrans". Pencarian termasuk meta-analisis, uji coba
terkontrol secara acak, uji klinis, dan ulasan. Paten dicari menggunakan istilah kunci
“Kutaneus larva migrans” dari www.google.com/patents, www.uspto.gov, dan
www.freepatentsonline.com.
Hasil : Kutaneus larva migran adalah infestasi zoonis yang disebabkan penetrasi dan
migrasi larva filariform dari berbagai jenis cacing tambang melalui kontak kotoran
hewan yang terinfeksi. Kutaneus larva migran endemic pada daerah tropis dan
subtropis. Secara klinis, Kutaneus larva migran ditandai dengan eritema, pruritus
yang intens secara berliku atau serpiginosa. Diagnosis ini bersifat klinis, berdasarkan
riwayat perjalanan ke daerah endemik dan paparan tanah / pasir yang terkontaminasi
dan karakteristik jalur serpiginous. Pilihan pengobatan serta paten terbaru yang terkait
dengan pengelolaan larva migrans kulit juga dibahas. Dibandingkan dengan anti
helmintik oral, pengobatan tropis di daerah yang terkena kurang efektif. Ivermectin
oral adalah pengobatan pilihan.
Kesimpulan : jalur pruritus serpigonosa merupakan patognomonik. Ivermitin oral
merupakan terapi pilihan.

3
1. Pendahuluan
Kutaneus larva migran adalah infestasi zoonis yang disebabkan penetrasi
dan migrasi larva filariform dari berbagai jenis cacing tambang melalui kontak
kotoran hewan yang terinfeksi, terutama anjing dan kucing. Secara klinis,
Kutaneus larva migran ditandai dengan eritema, pruritus yang intens secara berliku
atau serpiginosa. Kondisi ini pertama kali dijelaskan oleh Lee, dokter British pada
1874. Istilah Kutaneus larva migran diciptakan oleh Crocker pada 1893. Sinonim
termasuk creeping erupsi, penyakit cacing tanah, penyakit cacing pantai, infeksi
cacing tambang, dermatitis linear serpiginosa, dermatitis serpiginosa, helmintiasis
migran, epidermatitis linier migran, creeping verminous dermatitis, duck’s hunter
itch, dan plumber itch.
Meskipun beberapa penulis menggunakan istilah "Kutaneus larva migran"
dan "creeping eruption” secara bergantian, Caumes et al. dengan tepat
menunjukkan bahwa larva migrans adalah suatu sindrom sedangkan creeping
eruption adalah tanda klinis yang dapat disebabkan oleh berbagai parasit. Dapat
pula dikatakan bahwa larva migrans yang berhubungan dengan cacing tambang
adalah penyebab paling umum dari creeping eruption.
Kutaneus larva migran adalah salah satu penyakit kulit yang paling umum
dilaporkan pada wisatawan yang kembali dari daerah tropis. Akan tetapi, dokter di
daerah Barat sering tidak mengetahui kondisi ini. Faktanya, diagnosis awal hanya
benar pada kurang dari 55% kasus. Kesalahan diagnosis tentu saja mengarah pada
perawatan yang tidak tepat atau tertunda. Karena itu tinjauan topik dilakukan
secara berurutan dan merupakan tujuan dari komunikasi ini.

2. Epidemiologi
Kutaneus larva migran mempengaruhi jutaan penduduk di seluruh dunia.
Kondisi yang umum pada individu yang bertempat tinggal di daerah tropis dan
subtropis, terutama di negara berkembang. Di sebuah komunitas pedesaan di
Brasil, sekitar 4,4% dari populasi umum dan 15% anak-anak ditemukan terinfeksi.

4
Kutaneus larva migran adalah ektoparasitosis paling umum yang diperoleh
oleh wisatawan yang kembali dari daerah tropis dan subtropis. Dalam satu
penelitian, Kutaneus larva migran menyumbang sekitar 10% dari diagnosis
dermatologis pada wisatawan yang kembali dari daerah tropis. Dalam studi lain,
1463 dari 13.300 pasien yang menghadiri klinik dengan riwayat perjalanan selama
4 tahun memiliki gejala kulit. Dari 1.463 pasien, 98 (6,7%) pasien memiliki larva
migrans kulit. Prevalensi tinggi di wilayah geografis dengan iklim yang hangat dan
lembab di mana individu cenderung berjalan tanpa alas kaki dan bersentuhan
dengan kotoran anjing dan kucing. Hal ini khususnya terjadi di musim hujan
ketika risiko serangan mungkin 15 kali lebih tinggi. Kutaneus larva migrans
bersifat endemik di Amerika Tengah dan Selatan, Meksiko, Karibia, Afrika, Asia
Tenggara, wilayah Mediterania, bagian tenggara Amerika Serikat, dan daerah
tropis lainnya. Prevalensi pasti di antara wisatawan yang kembali tidak diketahui,
tetapi pasti akan meningkat seiring dengan popularitas perjalanan ke daerah
subtropis dan tropis. Penyakit ini sangat jarang didapat di daerah beriklim sedang.
Sekalipun demikian, kasus autochthonous pada orang tanpa riwayat perjalanan
jarang dilaporkan di negara-negara Eropa seperti Inggris, Jerman, Prancis, dan
Italia, dikarenakan kemungkinan pemanasan global.
Tidak ada kecenderungan ras atau jenis kelamin karena penyakit ini
tergantung pada paparan. Kondisi ini lebih sering terjadi pada anak-anak daripada
pada orang dewasa. Orang-orang yang hobi dan pekerjaannya berhubungan
dengan tanah atau pasir yang terkontaminasi berisiko terhadap larva migrans kulit;
orang-orang ini termasuk wisatawan, perenang, berjemur, pemburu, tukang
ledeng, penambang, tukang kayu, petani, tukang kebun, nelayan, dan pembasmi
hama. Higiene yang buruk dan sanitasi yang buruk adalah faktor predisposisi
penting.

5
3. Organisme Penyebab
Kutaneus larva migran disebabkan oleh larva filariform (terutama pada
anjing dan kucing). Larva penyebab paling umum adalah Ancylostoma braziliense
(cacing tambang dari anjing dan kucing liar dan domestik) diikuti oleh
Ancylostoma caninum (cacing tambang anjing). Larva penyebab lainnya adalah
Uncinaria stenocephala (cacing tambang anjing), Bunostomum phlebotomum
(cacing tambang sapi), dan Ancylostoma ceylonicum (cacing tambang anjing dan
kucing). Ancylostoma caninum dan Uncinaria stenocephala, kadang-kadang, telah
diisolasi dari rubah.
Cacing tambang dewasa menginfestasi usus hewan inang yang pasti.
Telurnya diekskresikan dalam kotorannya dan mencemari tanah atau pasir di
sekitarnya. Di bawah kondisi lingkungan yang optimal (kelembaban, naungan, dan
kehangatan), telur yang berembrio menetas di lapisan permukaan tanah dalam
waktu dua hari. Larva rhabditiform yang dilepaskan memakan bakteri di dalam
tanah dan / atau tinja. Larva ini matang dan berganti kulit dua kali dalam 5 hingga
10 hari untuk menjadi larva filariform yang infektif. Larva filariform dapat
bertahan hidup beberapa minggu hingga beberapa bulan kondisi optimal. Larva
Ancylostoma braziliense, larva penyebab paling umum, rata-rata, berukuran sekitar
6,5 mm dan memiliki diameter 0,5 mm.

4. Transmisi Penyakit
Manusia adalah inang yang tidak disengaja dan menjadi terinfeksi ketika
larva filariform bersentuhan langsung dan menembus stratum corneum. Larva
biasanya hidup di lapisan dangkal pasir / tanah, dalam beberapa inci dari tempat
telur disimpan. Pantai adalah reservoir umum untuk larva filariform. Infeksi pada
manusia biasanya terjadi setelah berjalan tanpa alas kaki atau dengan sepatu tipe
terbuka atau berbaring tanpa pakaian di pasir / tanah, terutama pantai berpasir,
terkontaminasi oleh kotoran anjing dan kucing yang terinfeksi. Larva juga dapat
ditemukan di pasir, dan tanah gembur di lokasi konstruksi, kebun, ladang, atau di

6
bawah rumah. Infestasi simultan dengan larva spesies cacing tambang lainnya juga
dapat terjadi

5. Patofisiologi
Karena protease dan hyaluronidase yang mereka keluarkan, larva filariform
dapat menembus celah, folikel rambut, kelenjar keringat dan bahkan kulit utuh
dengan mencerna keratin di epidermis. Setelah menembus kulit, larva filariform
melepaskan kutikula mereka. Sampai saat itu, larva tidak memiliki bagian mulut
yang berfungsi. Setelah kutikula telah dilepaskan, larva memulai migrasi dalam
waktu sekitar 7 hari. Larva kekurangan enzim kolagenase dan oleh karena itu tidak
dapat menembus membran dasar untuk menginvasi dermis dan mencapai darah
atau pembuluh limfatik untuk akhirnya mencapai usus dan menyelesaikan siklus
hidup mereka, karena mereka akan melakukannya pada inang hewan yang tepat.
Dengan demikian, larva tetap terbatas pada epidermis. Larva merayap atau
berkeliaran tanpa tujuan di dalam epidermis dalam rute serpiginous dengan
kecepatan 2mm hingga 2cm per hari. Kecepatan migrasi bervariasi tergantung
pada spesies larva, tetapi umumnya tidak melebihi 1 cm sehari. Larva biasanya
mati di jaringan subkutan dalam 2 hingga 8 minggu tanpa bisa menyelesaikan
siklus hidupnya di tubuh manusia. Dengan kata lain, manusia adalah inang buntu
untuk larva. Meskipun demikian, migrasi ke organ dalam sangat jarang dilaporkan.

6. Manifestas Klinis
Sensasi menyengat atau kesemutan dapat dialami dalam waktu 30 menit
setelah larva menembus kulit. Beberapa jam kemudian, papula coklat kemerahan
gatal atau erupsi nonspesifik dapat dicatat di lokasi penetrasi. Masa inkubasi
adalah sekitar 5 hingga 15 hari, dengan kisaran beberapa menit hingga 165 hari;
selama waktu itu larva tidak aktif. Setelah masa inkubasi, larva mulai bermigrasi
dan berkeliaran dengan bebas di epidermis, menghasilkan pembentukan
eritematosa, sedikit terangkat, berliku, berliku, serpiginous atau, lebih jarang,
lintasan linier memanjang dari papula coklat kemerahan - lokasi penetrasi larva.

7
Track serpiginous pruritus bersifat patognomonik. Lesi papular dan vesikular
dapat terjadi bersamaan dengan track. Lebar trek berkisar dari 1 hingga 4mm.
Panjangnya sangat bervariasi dan panjangnya bisa mencapai 20cm. Lesi ini sangat
pruritik. Lintasan yang dibuat oleh larva yang bermigrasi mengering dengan waktu
setelah kematian parasit dan ditutupi dengan keropeng
Situs predileksi meliputi pergelangan kaki, kaki, kaki, bokong, dan paha.
Pada dasarnya, setiap bagian tubuh yang bersentuhan langsung dengan tanah /
pasir yang terkontaminasi dapat terpengaruh. Situs yang tidak biasa termasuk
wajah, kulit kepala, ekstremitas atas, badan, perut, payudara, rongga mulut,
genitalia, dan daerah perineum. Lesi biasanya unilateral dan soliter, tetapi bisa
bilateral dan multipel. Kebanyakan individu yang terkena memiliki satu hingga
tiga lesi. Jarang, individu yang terkena memiliki ratusan lesi.
Larva kutaneus folikel, juga dikenal sebagai folikulitis cacing tambang,
merupakan varian klinis dan menyumbang kurang dari 5% kasus. Berbeda dengan
bentuk klasik, varian ini lebih sering terjadi pada orang dewasa daripada pada
anak-anak. Kondisi ini ditandai dengan banyak (20 hingga 100), papula folikel
pruritik, eritematosa yang intens, yang kadang-kadang diatasi atau ditutup dengan
vesikel atau pustula dengan atau tanpa jalur serpiginous atau linear. Lintasan, jika
ada, biasanya pendek. Secara khas, batang rambut umumnya tidak terlihat di
tengah papula. Lesi nodular juga telah dijelaskan. Situs predileksi termasuk
bokong, daerah inguinal, lengan bawah, perut, punggung, panggul, dan paha.
Dipercayai bahwa kondisi ini disebabkan oleh invasi larva melalui saluran folikel
rambut dan hasil folikulitis dari reaksi alergi terhadap larva. Larva kutaneus folikel
lebih resisten terhadap pengobatan karena larva terletak jauh di dalam folikel
rambut.
Kutaneus larva migran bulosa adalah varian klinis lain yang cukup jarang.
Bulla muncul di sepanjang lintasan, berisi cairan serosa bening, dan bisa mencapai
beberapa sentimeter diameternya. Agaknya, bula dapat terjadi akibat

8
hipersensitivitas yang tertunda atau dermatitis kontak (baik iritan atau alergi)
menjadi antigen larva atau enzim litik yang dikeluarkan oleh larva.

7. Diagnosis
Diagnosis berdasarkan pada temuan klinis, berdasarkan pada riwayat
bepergian ke daerah endemik dan terpapar pada tanah/ pasir yang terkontaminasi
dan bentuk penyebaran serpiginosa yang khas. Sayangnya, diagnosis awal yang
tepat hanya kurang dari 50% kasus.

8. Studi Diagnostik
Diagnosis dapat dibantu oleh dermoskopi yang biasanya menunjukkan
daerah yang translusen, kecoklatan, dan bagian yang tidak berstruktur pada
pengaturan segmental sesuai dengan tubuh larva dan bintik – bintik pembuluh
darah sesuai dengan terowongan kosong. Namun, dermoskopi gagal
mengidentifikasi larva dalam sebagian besar kasus. Pemeriksaan pencitraan
fluoresensi infrared jarak dekat pada lesi memberikan hasil yang lebih baik.
Mikroskop laser pemindaian confocal juga dapat digunakan untuk mendeteksi
larva yang sangat refraktil dan gangguan gelap pada epidermis normal yang
berhubungan dengan dengan terowongan. Pemeriksaan laboratorium seperti
jumlah eosinofil dalam darah perifer dan kadar IgE serum biasanya tidak
membantu dalam membuat diagnosis. Biopsi biasanya tidak perlu atau tidak
membantu karena larva biasanya 1 sampai 2 cm terlihat lebih depan dari akhir
jalur serpigenosa yang terlihat. Haruskah biopsi diperoleh dari 1 hingga 2cm di
depan jalur serpiginosa yang terlihat dan larva (PAS-positif) dapat ditemukan,
larva biasanya terlihat berada di folikel rambut, atau lebih sering, di terowongan
suprabasalar dalam epidermis bersama dengan infiltrat eosinofilik, spongiosis, dan
vesikulasi intraepidermal dengan keratinosit nekrotik. Singkatnya, biopsi kulit
memiliki sensitivitas rendah dan memang sulit untuk mengidentifikasi larva dalam
spesimen biopsi. Di satu penelitian, larva ditemukan di 8 dari 300 spesimen biopsi.

9
Dengan demikian, spesies cacing tambang yang menyebabkan cutaneus larva
migrans pada kasus-kasus individual biasanya tidak diketahui.

9. Diagnosis Banding
Diagnosis banding meliputi larva currens (strongyloidiasis), migratory
myiasis (creeping), loiasis, dermatitis serkaria, gnathostomiasis, dirofilariasis,
dracunculiasis, tungiasis, skabies, herpes zoster; tinea korporis, dermatitis kontak,
dan folikulitis bakteri.
Larva currens (strongyloidiasis), disebabkan oleh Strongyloides stercoralis,
ditandai oleh urtikaria yang menyebar dengan cepat atau erupsi makulopapular,
pruritik, linier atau serpiginosa. Erupsi biasanya dimulai pada bagian perineum dan
kemudian menyebar ke pantat dan paha. Larva bermigrasi dengan kecepatan 5
hingga 15 sentimeter per jam, karenanya disebut "larva cepat". Sebaliknya, larva
cacing tambang pada anjing atau kucing yang terlihat pada cutaneus larva migrans
biasanya bermigrasi jauh lebih cepat dengan kecepatan 2mm hingga 2cm per hari,
tergantung pada spesies larva tersebut.
Migratory myiasis disebabkan oleh larva pada kuda (Gasterophilus
intestinalis) dan ternak (Hypoderma bot ovis dan Hypoderma lineatum) lalat.
Migratory myiasis yang disebabkan oleh G. intestinalis hadir dengan jalur
serpiginosa superfisial. Dibandingkan dengan cutaneus larva migrans, migratory
myiasis bergerak lebih lambat dan penyebaran jalur serpiginosa kurang luas.
Migratory myiasis disebabkan oleh H. ovis dan H. lineatum lebih dalam dan
didapatkan nodul nodul lunak subkutan dengan tidak adanya jalur serpiginosa.
Loiasis, yang disebabkan oleh nematoda filaria Loa Loa, ditransmisikan ke
manusia melalui gigitan lalat deerflies dari genus Chrysops. Secara klinis, loiasis
dapat muncul sebagai pergerakan cacing dewasa di bawah konjungtiva mata (maka
dinamakan "cacing mata") dan penyebaran angioedema dikenal sebagai
pembengkakan Calabar. Pembengkakan calabar, mungkin karena reaksi
hipersensitif terhadap migrasi larva, terjadi terutama pada kaki dan lengan dan

10
sering dikaitkan dengan pruritus lokal dan / atau umum. Pembengkakan dapat
berlangsung beberapa jam hingga beberapa hari.
Dermatitis serkaria (gatal pada perenang) mengikuti penetrasi pada kulit
manusia oleh serkaria dari cacing Schistosoma. Secara klinis, dermatitis serkaria
muncul sebagai ruam makulopapular dengan pruritus intens dalam beberapa jam
sampai satu hari setelah terpapar dengan air yang terkontaminasi oleh
schistosomes yang dilepaskan dari siput yang terinfeksi. Biasanya, ruam tidak
menyebar, hal ini yang membantu membedakannya dari cutaneus larva migrans.
Gnathostomiasis, juga dikenal sebagai larva migrans profunda, disebabkan
oleh larva infektif tahap ketiga dari spesies Gnathostoma, terutama G. spinigerum
dan G. Bispidum. Manusia mendapatkan infestasi setelah mengkonsumsi ikan
yang tidak matang sempurna, kerang atau amfibi yang mengandung larva infektif.
Varian kulit dengan migrasi subkutan intermiten atau pembengkakan subkutan
atau nodul. Berbeda dengan cutaneus larva migrans, lesi biasanya lebih dalam dan
mungkin melibatkan otot.
Dirofilariasis disebabkan oleh cacing filaria zoonosis dari spesies
Dirofilaria, khususnya D. repens dan D. tenuis; merupakan inang alami di
antaranya pada anjing dan gigi taring hewan liar. Ketika nyamuk memakan hewan
yang terinfeksi, mikrofilaria tertelan dengan darah yang dimakannya. Manusia
mendapatkan infeksi melalui gigitan nyamuk yang membawa mikrofilaria infektif.
Larva mengembara di jaringan subkutan dan menghasilkan nodul subkutan
asimtomatik, dan tidak menyebar. Tempat predileksinya termasuk ekstremitas,
kepala, dan leher.
Dracunculiasis, juga dikenal sebagai penyakit cacing guinea, adalah
disebabkan oleh air minum yang terkontaminasi parasit kutu air (spesies Cyclops)
yang telah tertelan larva cacing guinea (Dracunculus medinensis). Setelah dewasa
menjadi cacing dewasa dan melakukan kopulasi, cacing jantan mati dan cacing
betina bermigrasi di jaringan subkutan menuju permukaan kulit. Secara klinis,
dracunculiasis subkutan tampak sebagai papul yang disertai nyeri, paling umum

11
pada ekstremitas bawah tetapi dapat terjadi pada genitalia dan pantat. Cacing
mungkin muncul dari papulnya.
Tungiasis adalah infestasi ektoparasit yang disebabkan oleh penetrasi kutu
pasir betina Tunga penetrans yang telah dibuahi ke dalam kulit. Baik kutu betina
dan jantan merupakan hematofag. Kutu jantan mati setelah kopulasi sementara
kutu betina menggali terowongan kedalam epidermis manusia hingga terowongan
tersebut sebesar 10mm dengan diameter sama seperti telur matang yang telah
dibuahi. Secara klinis, kondisi ini tampak seperti papul non-migrasi atau nodul
dengan titik hitam tengah. Yang pada akhirnya menunjukkan pembukaan ano-
genital dari kutu betina melalui kotoran yang ia buang dan menghasilkan telur.
Lesi bisa menjadi tanpa gejala, menyakitkan, atau gatal. Mayoritas lesi terletak
pada kaki.
Skabies adalah infestasi kulit yang disebabkan oleh parasit Sarcoptes
scabiei var hominis. Secara klinis, skabies ditandai dengan adanya terowongan,
erupsi papular eritematosa, dan pruritus intens. Terowongan, yang merupakan
tanda patognomonik dari penyakit ini, tampak adanya penyebaran serpiginosa,
keabu-abuan, seperti berwarna putih, kemerahan, atau kecoklatan yang berderet
beberapa milimeter panjang pada lapisan epidermis atas. Tempat predileksi
termasuk pada ruang interdigital dan pada bagian fleksor pergelangan tangan.
Kadang-kadang, cutaneus larva migran, terutama pada bulosa, dapat
meniru herpes zoster. Secara klinis, herpes zoster ditandai oleh erupsi vesikuler
unilateral yang nyeri dalam distribusi dermatomal terbatas. Herpes Zoster
memiliki predileksi untuk area dermatom servikal dan sakral pada anak-anak dan
dermatom torakalis bawah dan lumbal atas pada orang dewasa. Di sisi lain, erupsi
yang terlihat pada cutaneus larva migrans lebih bersifat gatal daripada nyeri, lebih
sering terjadi pada ekstremitas bawah dan bokong, tidak mengikuti setiap
dermatom, dan berkembang dengan cara yang tidak terduga dan menghasilkan
bentuk serpiginosa.

12
Tinea corporis mengacu pada infeksi jamur superfisialis pada kulit yang
paling sering disebabkan oleh Trichphyton rubrum, T. tonsurans, dan
Microsporum canis. Biasanya, tinea korporis memiliki batas yang tegas, annular,
plak eritematosa dengan tepi meninggi. Tepinya dapat berupa papular, vesikular,
atau pustular. Lesi menyebar secara sentrifugal dan putih di bagian tengahnya
sehingga membentuk lesi khas yang dikenal sebagai "ring worm". Tinea corporis
cenderung terdistribusi secara asimetris. Ketika beberapa lesi tampak, lesi – lesi
tersebut bisa menjadi koalesen. Pruritus ringan sering terjadi.
Dermatitis kontak terjadi akibat paparan alergen (dermatitis kontak alergi)
atau iritan (dermatitis kontak iritan). Biasanya, lesi tersebut berupa eksema dan
terjadi hanya di area yang telah terkena iritasi atau agen alergen. Dermatitis kontak
tidak memiliki penampakan serpiginosa.
Folikular cutaneus larva migran harus dibedakan dari folikulitis bakteri.
Folikulitis bakteri biasanya tampak folikular, eritema, makulopapula, dan pustula
folikuler di area berambut. Batang rambut mungkin saja terlihat di tengah lesi.
Lesi lesi tersebut mungkin terasa sakit, lunak atau agak gatal. Sebaliknya, folikular
cutaneus larva migrans sangat gatal dan batang rambut tidak terlihat di tengah lesi.
Tidak seperti folikulitisbakteri, folikular cutaneus larva migrans tidak respon
terhadap terapi antibiotik.

10. Komplikasi
Pruritus dapat menyebabkan gangguan tidur. Garukan berulang dapat
menyebabkan eksoriasi dan infeksi bakteri sekunder dan eksema. Reaksi alergi
lokal/ umum adalah beberapa komplikasi lainnya. Pada individu yang tersensitisasi
sebelumnya, eritema multiforme dapat terjadi. Konsekuensi psikososial bisa secara
signifikan terjadi dan mungkin memiliki efek buruk pada kualitas hidup.
Sangat jarang terjadi cutaneus larva migrans dikomplikasikan oleh edema
penyakit optik dan sindrom Löffler. Sindrom Löffler ditandai dengan migrasi
infiltrat eosinofilik paru dan eosinofilia darah perifer. Pasien yang terkena

13
mungkin datang dengan demam, malaise, batuk, ketidaknyamanan substernal, dan
dahak dengan darah yang mengandung Kristal Charcot-Leyden. Sindrom Löffler
dianggap sebagai reaksi hipersensitivitas tipe 1 terhadap larva atau antigen
sejenisnya.

11. Prognosa
Prognosisnya sangat baik. Penyakit ini dapat sembuh sendiri dan biasanya
sembuh dalam beberapa minggu hingga bulan bahkan tanpa pengobatan. Jarang
terjadi jika larva dapat bertahan di folikel rambut hingga dua tahun atau lebih.
12. Manajemen
Perawatan sering diperlukan untuk mempersingkat perjalanan penyakit
karena pruritus yang intens dan potensi terjadinya komplikasi terkait dengan
penyakit. Tidak diobati, pruritus dapat berlangsung selama 3 bulan atau bahkan
lebih lama. Perawatan yang tepat mempercepat resolusi lesi dan gejala terkait dan
mengurangi kemungkinan komplikasi. Dibandingkan dengan antihelmintik oral,
pengobatan topikal di daerah yang terkena dampak dinilai kurang efektif karena
larva dapat bergerak dan lokasi pasti larva tidak diketahui secara pasti.

12.1 Agen antihelmintik oral


Ivermectin oral: Ivermectin (Stromectol, Mectizan, Revectina,
Ivermec), sebuah lakton makrosiklik, adalah avermectin semisintetik yang
berasal dari bakteri Streptomyces avermitilis. William Campbell dan Satoshi
Omura membuat pengembangan avermectin dan ivermectin, dan dianugerahi
Hadiah Nobel dalam Kedokteran pada tahun 2015. Obat ini bekerja dengan
merangsang pelepasan neurotransmitter yang berlebihan di sistem saraf
perifer dan meningkatkan permeabilitas membran sel cacing, mengakibatkan
kelumpuhan dan kematian cacing. Ivermectin oral dosis tunggal 12mg pada
orang dewasa (150 hingga 200mcg / kg pada anak-anak, maksimum 12mg)
adalah pengobatan pilihan untuk larva migrans kulit. Obat harus diberikan
pada perut kosong dengan air. Jika dosis tunggal tidak menghasilkan banyak

14
perbaikan, dosis kedua harus diberikan. Karena larva migrans folikel lebih
resisten terhadap pengobatan, pasien dewasa harus diobati dengan
ivermectin 12mg (150 hingga 200mcg / kg pada anak-anak; 12mg,
maksimum) dua kali sehari selama beberapa hari. Efek samping diantaranya
ialah anoreksia, mual, muntah, sakit perut, sembelit, pusing, xerosis, kulit
terbakar, kemerahan, sakit mata, mata merah, takikardia transien, dan
hipotensi. Ivermectin oral kontra indikasi selama kehamilan, pada anak di
bawah 5 tahun atau kurang dari 15kg, dan pada pasien dengan penyakit hati
atau ginjal. Obat harus dihindari pada ibu menyusui.
Albendazole oral: Secara kimia, albendazole (Eskazole; Albenza,
Andazol, Alworm, Noworm, Alben-G, ABZ, Cidazole, Zentel) adalah metil
5- (propylthio) -2-benzimidazole carbamate. Obat ini bekerja dengan
menyebabkan degenerasi dalam sel-sel usus cacing dengan mengikat ke sel
tubulin yang peka terhadap colchicine, sehingga mencegah polimerisasi
menjadi mikrotubulus. Keadaan ini akan menyebabkan pengambilan glukosa
terganggu oleh cacing, dan akhirnya, sampai mati.
Dalam keadaan ivermectin oral tidak tersedia, tidak bisa ditoleransi,
atau tidak efektif, albendazole oral adalah pilihan pengobatan. Obat ini
biasanya diberikan dengan dosis 10 hingga 15mg / kg (800 mg, maksimum)
dibagi menjadi 2 dosis selama 3 hingga 5 hari. Durasi pengobatan yang
optimal belum ditetapkan karena 1 hingga 7 hari perawatan juga telah
direkomendasikan. Beberapa penulis menyarankan 7 hari pengobatan untuk
pasien dengan lesi multipel dan luas dan bagi mereka yang menderita
sindrom Löffler. Obat harus diminum bersama makanan. Efek samping
termasuk mual, muntah, sakit perut, pusing, sakit kepala, penipisan rambut
atau kerontokan rambut, demam, ruam, peningkatan tekanan intrakranial,
penekanan sumsum tulang, dan disfungsi hati. Albendazole oral
dikontraindikasikan selama kehamilan dan pada pasien dengan penyakit
hematologis atau hati. Obat harus dihindari pada ibu menyusui.

15
Dalam penelitian terbuka, Caumes dkk membandingkan kemanjuran
dosis tunggal oral ivermectin (12mg) dan oral albendazol (400mg) untuk
pengobatan larva migrans kulit. Dua puluh satu pasien diacak untuk
menerima ivermectin (n = 10) dan albendazole (n = 11). Para penulis
menemukan bahwa semua 10 pasien yang menerima ivermectin oral
merespons dan tidak ada yang kambuh. Di sisi lain, 10 dari 11 pasien yang
menerima albendazole oral merespons, tetapi 5 dari 10 pasien yang
menanggapi albendazole oral kambuh setelah rata-rata 11 hari (kisaran, 3
hingga 35 hari). Caumes dkk menyimpulkan bahwa dosis oral tunggal 12mg
ivermectin lebih efektif daripada dosis oral tunggal 400mg albendazole
untuk pengobatan larva migrans kulit.
Thiabendazole oral: Thiabendazole (Mintezol) adalah turunan
benzimidazole antihelminthic. Thiabendazole bekerja dengan menghambat
enzim mitokondria fumarate reduktase spesifik cacing, sehingga
menghambat siklus asam sitrat, respirasi mitokondria dan produksi ATP
berikutnya, yang pada akhirnya menyebabkan kematian cacing.
Tiabendazole oral dengan dosis 25 hingga 50mg / kg / hari (2,5 g / hari,
maksimum) yang diberikan dua kali sehari selama 2 hingga 5 hari efektif
dalam pengobatan larva migrans kulit. Formulasi tablet harus dikunyah
sebelum ditelan dan diminum setelah makan. Efek samping yang umum
diantaranya anoreksia, mual, muntah, kram perut, diare, penglihatan kabur,
pusing, dan sakit kepala. Obat ini dikontraindikasikan selama kehamilan.
Karena tingginya insiden efek samping dan toleransi yang buruk, obat tidak
lagi direkomendasikan untuk pengobatan larva migrans kulit. Obat ini telah
diambil dari pasar di banyak negara termasuk Kanada dan Amerika Serikat.
12.2 Agen antihelmintes topikal
Albendazole topikal: Albendazole topikal 10% dalam basis lipofilik
yang diaplikasikan tiga sampai empat kali sehari selama 5 hingga 10 hari
dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan lesi lokal di mana antihelmik

16
oral dikontraindikasikan atau tidak ditoleransi. Obat ini adalah alternatif
yang rasional untuk anak-anak usia muda dan wanita hamil. Efek samping
diantaranya dermatitis kontak iritan dan ulserasi kulit.
Thiabendazole topikal: Thiabendazole topikal 10 hingga 15% dalam
basis lipofilik yang diaplikasikan tiga sampai empat kali sehari selama 5
hingga 10 hari dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan lesi lokal yang
kontraindikasi atau tidak ditoleransi oleh antihelmintika oral. Obat ini adalah
alternatif yang rasional untuk anak-anak usia muda dan wanita hamil. Efek
samping diantaranya dermatitis kontak iritan dan ulserasi kulit.
12.3 Cryotherapy
Sebelum ketersediaan antihelmintik, cryotherapy dengan nitrogen
cair pada satu waktu digunakan untuk pengobatan larva migrans kulit.
Cryotherapy tidak terlalu efektif karena lokasi larva tidak diketahui secara
pasti; larva biasanya ditemukan beberapa sentimeter di depan ujung lesi
yang terlihat. Selain itu, telah terbukti bahwa larva dapat bertahan hidup
pada suhu serendah -21ºC selama lebih dari 5 menit. Prosedur ini juga
menyakitkan. Dengan demikian, cryotherapy tidak lagi direkomendasikan
secara rutin untuk pengobatan larva migrans kulit kecuali untuk pasien yang
antihelmintik oral dikontraindikasikan (mis., Kehamilan) atau tidak
ditoleransi.
12.4 Laser karbon dioksida fraksional
Baru-baru ini, telah terbukti bahwa satu sesi 1 sampai 4 lintasan laser
karbon dioksida fraksional 1 hingga 2 cm perimeter di sekitar bagian
eritematosa dari jalur serpiginous efektif dalam pengobatan larva migrans
kulit. Dalam satu penelitian, sepuluh kasus (delapan pasien) dengan larva
migrans kulit diobati dengan satu sesi perawatan laser karbon dioksida dan
diamati setiap hari selama minggu pertama dengan dokumentasi foto,
kemudian pengamatan setiap minggu selama 3 minggu ke depan untuk
menyelesaikan 4 minggu pengamatan. Kasus pertama menerima satu atau

17
dua lintasan laser CO2 fraksional, mengalami migrasi larva lebih lanjut
selama 2 hingga 3 hari, setelah itu tidak ada lagi perkembangan yang dicatat.
Untuk tujuh kasus berikutnya, penulis meningkatkan jumlah laser CO2 yang
diteruskan menjadi 3 hingga 4, dan tidak mencatat migrasi larva lebih lanjut.
Pada akhir masa pengamatan selama 4 minggu, semua area yang dirawat
dengan laser CO2 telah sembuh sepenuhnya.
Confocal scanning laser microscopy dapat digunakan untuk
mendeteksi larva, sehingga meningkatkan tingkat keberhasilan laser karbon
dioksida fraksional. Laser karbon dioksida fraksional bekerja baik dengan
menghancurkan larva secara langsung atau dengan zona mikrotermal yang
dihasilkan oleh laser selama berhentinya migrasi larva. Jumlah ideal lintasan
laser karbon dioksida fraksional yang diperlukan untuk secara efektif
mengontrol larva migrans kulit harus ditentukan.
12.5 Lain-lain
Antihistamin sistemik dan kortikosteroid topikal dapat
dipertimbangkan untuk meredakan gejala gatal-gatal. Infeksi bakteri
sekunder mungkin memerlukan pengobatan dengan antibiotik yang sesuai.

13. Pencegahan
Di daerah endemik, langkah-langkah pencegahan termasuk diantaranya
adalah pemberantasan berkala anjing dan kucing serta melarang anjing dan kucing
berada di pantai dan taman bermain, membuang produk limbah anjing dan kucing
dengan benar, memakai alas kaki yang tepat saat berjalan di pantai, menggunakan
handuk, kasur dan kursi di pantai, dan menghindari berbaring atau duduk langsung
di pasir / tanah. Pasir yang dimainkan anak-anak harus terlindungi dari anjing dan
kucing. Sarung tangan harus dipakai saat memegang tanah / pasir.

14. Pengembangan Saat Ini dan Masa Depan


Metode saat ini untuk diagnosis infeksi cacing tambang terutama
melibatkan pemeriksaan mikroskopis sampel tinja, baik secara langsung pada tinja

18
atau mengkonsentrasikan sel telur dengan pengapungan di media massa jenis.
Meskipun prosedur ini populer dan umum digunakan, metode ini memiliki
kekurangan yang signifikan. Metode mikroskopis ini memakan waktu, tidak
menyenangkan, memerlukan peralatan khusus, dan dapat memiliki spesifisitas
rendah karena harus sangat bergantung pada keterampilan dan keahlian operator.
Geng dan Elsemore mengungkapkan metode, perangkat, peralatan, dan komposisi
untuk mendeteksi lebih akurat keberadaan cacing tambang seperti Ancylostoma
caninum dan Ancylostoma braziliense dalam sampel tinja dengan menggunakan
satu atau lebih antibodi yang secara spesifik mengikat polipeptida coproantigen
cacing tambang. Metode-metode ini akan memungkinkan diagnosis dini,
perawatan hewan yang terinfeksi, dan tindak lanjut yang efisien untuk menentukan
apakah hewan tersebut telah terbebas dari kutu setelah pengobatan dimulai,
sehingga meminimalkan risiko larva migrans kulit.
Obat-obatan yang saat ini digunakan terhadap cacing tambang memiliki
keterbatasan karena dikontraindikasikan selama kehamilan, pada anak-anak yang
sangat muda, dan pada mereka yang memiliki penyakit sistemik tertentu,
pembuatan obat baru sangat diinginkan. Eickhoff dkk mematenkan penemuan
yang terdiri dari turunan pirazolo-triazin dan / atau garamnya yang dapat diterima
secara farmasi untuk pengobatan penyakit menular termasuk larva migrans kulit.
Komposisi atau formulasi farmasi terdiri dari setidaknya satu senyawa sebagai
bahan aktif bersama dengan setidaknya satu pembawa, eksipien dan / atau
pengencer yang dapat diterima secara farmasi (tidak beracun). Preparat yang lebih
disukai diadaptasi untuk pemberian secara oral. Spangenberg mengungkapkan
penemuannya yang terdiri dari turunan azepanyl untuk pengobatan penyakit
parasit termasuk larva migrans kulit. Formulasi farmasi penemuan ini dapat
diadaptasi untuk pemberian oral maupun topikal. Levine dkk mengungkapkan
metode mengobati atau memperbaiki lesi kulit yang mungkin timbul dari larva
migrans kulit dengan secara berkala menerapkan pada kulit komposisi yang terdiri
dari: jumlah efektif komposisi bioaktif herbal yang tepat yang terdiri dari satu atau

19
lebih Sambucus nigra, Centella asiatica atau Echinacea purpurea, dan jumlah
efektif surfaktan amonium kuaterner. Saat ini, tidak yakin apakah obat-obatan baru
ini memiliki kontraindikasi yang sama dengan yang ada. Juga, kemanjuran dan
efek sampingnya tidak diketahui. Studi komparatif tentang efektivitas obat dalam
pengobatan larva migrans kulit sedikit dan mereka tidak acak, double-blind, dan
terkontrol plasebo. Diharapkan bahwa penelitian masa depan yang dirancang
dengan baik, skala besar, acak, double-blind, dan terkontrol plasebo akan memberi
kita informasi lebih lanjut tentang kemanjuran dan rejimen optimal dari berbagai
antihelmintik termasuk yang sekarang dan yang dalam pengembangan.
Biaya antihelmintik dapat, sampai batas tertentu, membatasi akses pasien
terutama di negara-negara berkembang. Dengan menurunkan biaya produksi, obat
akan tersedia untuk lebih banyak pasien. Secara tradisional, dalam pembuatan
albendazole, 2-nitroaniline adalah tiosianat untuk memperoleh 2-nitro-4-
tiocyanoaniline, kemudian dialkilasi dengan n-propylbromide dengan adanya n-
propanol dan metil tributil ammonium klorida atau tetrabutil amonium bromida
sebagai katalis fase transfer dan sianida logam alkali atau sianida logam alkali
untuk menghasilkan 4-propilti-2-nitroanilin. 4-Propylthio-2-nitroaniline direduksi
oleh natrium sulfida monohidrat dengan adanya air untuk memperoleh 4-
propylthio-O-phenylenediamine. Diamina ini selanjutnya direaksikan dengan
garam natrium metil-N-siano karbamat untuk mendapatkan albendazol. Dalam
proses ini, katalis fase transfer serta sianida logam alkali atau sianida logam alkali
digunakan untuk kondensasi 2-nitro-4-tiocyanoaniline dengan n-propylebromide,
yang menambah biaya produksi, meningkatkan kandungan bahan organik dalam
limbah dan dapat memfasilitasi pembentukan kotoran dan menggunakan senyawa
sianida beracun. Pengurangan 4-propylthio-2-nitroaniline dilakukan dengan air
sebagai pelarut yang membuat reaksi lamban. Oleh karena itu sangat diperlukan
pengembangan proses yang mengatasi sebagian besar kekurangan dari proses
sebelumnya. Rane dkk mengusulkan proses baru, hemat biaya dan ramah
lingkungan untuk persiapan albendazole yang mengatasi sebagian besar

20
kelemahan yang disebutkan di atas. Proses tersebut terdiri dari a) tiosianasi 2-
nitroanilin formula VI dengan amonium tiosianat dengan adanya halogen untuk
memperoleh 2-nitro-4-tii tianoanoanilin dari formula V; b) mempropilasi 2-nitro-
4-tiokyanoanilin formula V dengan propilbromida dengan adanya n-propanol dan
basa tanpa adanya katalis fase transfer untuk memperoleh 4-propilti-2-nitroanilin
dari formula III; c) mereduksi gugus nitro dari 4-propilti-2-nitroanilin yang dibuat
pada langkah b dengan mereaksikan sulfida logam alkali berair atau sulfida logam
alkali untuk memperoleh 4-propilti-O-fenilenadiamina dari formula II; dan d)
kondensasi 4-propilti-O-fenilendiadiamina formula II dengan garam logam alkali
atau alkali tanah dari metiltiano karbamat dengan adanya asam untuk membentuk
albendazol.
Pruritus akibat larva migrans kulit dapat menjadi parah sehingga
menyebabkan gangguan tidur. Saat ini, antihistamin sistemik dan kortikosteroid
topikal dapat digunakan untuk memberikan pengurangan gejala pruritus. Zhang
dkk mengungkapkan metode mengobati pruritus, yang terdiri dari pemberian
sejumlah efektif terapi 3 - [(3aR, 4R, 5S, 7aS) -5 [(1R) -1- [3,5-bis
(trifluoromethyl) fenil] etoksi] 4- (4fluorophenyl) -1,3,3a, 4,5,6,7,7a-
octahydroisoindol-2-yl] cyclopent-2-en-1-one (serlopitant) atau garam, pelarut
atau polimorf yang dapat diterima secara farmasi dari suatu pasien yang
membutuhkan perawatan. Penemuan ini menyediakan metode untuk mengobati
pruritus kronis menggunakan serlopitan atau garam atau hidrat yang dapat diterima
secara farmasi. Serlopitan sebelumnya telah diungkapkan sebagai antagonis
reseptor neurokinin-1 (NK-1), inhibitor tachykinin dan, khususnya, zat P.
Komposisi untuk pemberian oral dan topikal tersedia. Ji dkk mengungkapkan
metode mengobati pruritus yang dihasilkan dari, tetapi tidak terbatas pada, larva
migrans kulit dengan mimetik superoxide dismuate (SOD). Mimetik SOD dapat
berupa kompleks logam (mis., Mangan) dan ligan organik, ligan organik yang
sesuai termasuk porfirin, poliamina, salen, nitroksida, dan fullerene. Penemuan ini
dapat diberikan secara oral, parenteral, atau topikal. Kaspar dan Speaker

21
mengungkapkan metode mengobati rasa sakit dan / atau gatal di wilayah yang
menjadi sasaran subjek. Metode tersebut meliputi pemberian topikal inhibitor jalur
mTOR yang efektif secara terapi pada subjek. mTOR adalah serine / treonine
kinase yang mengatur penerjemahan dan pembelahan sel. Inhibitor mTOR dalam
penemuan ini adalah rapamycin (Sirolimus) atau analognya. Rapamycin adalah
lakton makrosiklik yang diproduksi oleh organisme Streptomyces hydroscopicus.
Para peneliti mengklaim bahwa penemuan ini efektif dalam pengobatan
simtomatik pruritus intens yang terkait dengan larva migrans kulit. Obat-obat anti-
pruritus baru ini akan menawarkan pembaca dan pasien pilihan terapi lain untuk
pengobatan pruritus.
Di seluruh dunia, larva migrans mempengaruhi jutaan orang. Vaksin yang
efektif terhadap cacing tambang akan menjadi cara terbaik untuk menurunkan
jumlah infeksi cacing tambang. Saat ini tidak ada vaksin seperti itu. Schwarz dkk
mengungkapkan suatu metode untuk mencegah atau mengobati infeksi cacing
tambang pada hewan, yang terdiri dari pemberian kepada hewan suatu komposisi
yang terdiri dari antigen atau asam nukleat yang mengkode antigen, di mana
antigen tersebut terdiri dari sekuens asam amino yang terdiri dari sedikitnya 10
asam amino berturut-turut yang dikodekan oleh bingkai bacaan terbuka di salah
satu SEQ ID NOS: 1-540. Penemuan ini mungkin untuk digunakan dalam
pembuatan vaksin. Diharapkan bahwa vaksin cacing tambang yang efektif dapat
tersedia di masa depan.

15. Kesimpulan
Larva migrans kulit adalah infestasi zoonosis yang disebabkan oleh
penetrasi dan migrasi dalam epidermis larva filariform dari berbagai jenis cacing
tambang hewan melalui kontak dengan kotoran hewan yang terinfeksi,
kebanyakan anjing dan kucing. Secara klinis, ini ditandai dengan eritematosa
bermigrasi eritematosa pruritic atau serpiginous, jalur yang sedikit menonjol.
Kondisi ini umum terjadi pada individu yang tinggal di daerah tropis dan

22
subtropis. Penyakit ini adalah ektoparasitosis yang paling umum didapat oleh para
pengunjung yang kembali dari daerah itu. Karena meningkatnya insiden perjalanan
ke luar negeri, larva migrans kulit tidak lagi terbatas pada daerah endemis. Dokter
Barat harus membiasakan diri dengan kondisi ini sehingga diagnosis yang tepat
dapat segera dilakukan dan pengobatan dimulai. Secara klinis, kondisi ini ditandai
dengan eritematosa bermigrasi eritematosa pruritic atau serpiginous, jalur yang
sedikit menonjol yang bersifat patognomonik.
Dibandingkan dengan antihelmintik oral, pengobatan topikal di daerah
yang terkena dampak kurang efektif karena larva bergerak dan lokasi pasti dari
larva tidak diketahui secara pasti. Sayangnya, dua antihelmintik oral yang tersedia
(ivermectin dan albendazole) dikontraindikasikan selama kehamilan dan harus
dihindari pada ibu menyusui. Diharapkan bahwa obat di masa depan dapat
menghindari masalah ini.

Persetujuan Untuk Publikasi


Tak dapat diterapkan.
Konflik Kepentingan
Prof. Leung, Dr. Barankin, dan Prof. Hon mengungkapkan tidak ada hubungan
keuangan yang relevan.
Ucapan Terima Kasih
Prof. Alexander K.C. Leung adalah penulis utama. Benjamin Barankin dan Profesor
Kam Lun Hon adalah rekan penulis yang berkontribusi dan membantu dalam
penyusunan naskah ini. Para penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. Kin
Fon Leong karena memberi mereka gambar foto pada pasiennya dengan larva
migrans kulit.s

23

Anda mungkin juga menyukai