Anda di halaman 1dari 11

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Anatomi Tonsil


Dalam bidang THT dikenal tiga buah tonsil, yaitu tonsila palatina, tonsila
faringeal dan tonsila lingualis. Dalam pengertian sehari-hari, yang dikenal sebagai
tonsil adalah tonsila palatina, sedangkan tonsila faringeal dikenal sebagai adenoid
(Soepardi A dkk, 2007).
Tonsil terletak dalam fossa tonsilaris, berbentuk oval dengan ukuran
dewasa panjang 20-25 mm, lebar 15-20 mm, tebal 15 mm dan berat sekitar 1,5
gram. Fossa tonsilaris, di bagian depan dibatasi oleh pilar anterior (arkus palatina
anterior), sedangkan di bagian belakang dibatasi oleh pilar posterior (arkus
palatina posterior), yang kemudian bersatu di pole atas dan selanjutnya bersama-
sama dengan m. Palatina membentuk palatum molle (Soepardi A dkk, 2007).
Permukaan lateral tonsil dilapisi oleh kapsula fibrosa yang kuat dan
berhubungan dengan fascia faringobasilaris yang melapisi m.Konstriktor
Faringeus. Kapsul tonsil tersebut masuk ke dalam jaringan tonsil , membentuk
septa yang mengandung pembuluh darah dan saraf tonsil (Soepardi A dkk, 2007).

Gambar 2.1. Tonsila Palatina


Permukaan tonsil merupakan permukaan bebas dan mempunyai lekukan
yang merupakan muara kripta tonsil. Kripta tonsil berjumlah sekitar 10-20 buah,
berbentuk celah kecil yang dilapisi oleh epitel berlapis gepeng. Kripta yang paling
besar terletak di pole atas, sering menjadi tempat pertumbuhan kuman karena
kelembaban dan suhunya sesuai untuk pertumbuhan kuman, dan juga karena
tersedianya substansi makanan di daerah tersebut (Soepardi A dkk, 2007).
Kutub bawah tonsil melekat pada lipatan mukosa yang disebut plika
triangularis dimana pada bagian bawahnya terdapat folikel yang kadang
membesar. Plika ini penting karena sikatriks yang terbentuk setelah proses
tonsilektomi dapat menarik folikel tersebut ke dalam fossa tonsilaris, sehingga
dapat dikelirukan sebagai sisa tonsil (Soepardi A dkk, 2007).
Pole atas tonsil terletak pad cekungan yang berbentuk bulan sabit, disebut
sebagai plika semilunaris. Pada plika ini terdapat massa kecil lunak, letaknya
dekat denganruang supratonsil dan disebut ‘glandula salivaris mukosa dari Weber,
yang penting peranannya dalam pembentukan abses peritonsil. Pada saat
tonsilektomi, jaringan areolar yang lunak, antara tonsil dangan fossa tonsilaris
mudah dipisahkan (Soepardi A dkk, 2007).
Di sekitar tonsil terdapat tiga ruang potensial yang secara klinik sering menjadi
tempat penyebaran infeksi dari tonsil, yaitu :
1. Ruang peritonsil (ruang supratonsil)
Berbentuk hampir segitiga dengan batas-batas :
o Anterior : M. Palatoglossus
o Lateral dan Posterior : M. Palatofaringeus
o Dasar segitiga : Pole atas tonsil
Dalam ruang ini terdapat kelenjar salivari Weber, yang bila terinfeksi dapat
menyebar ke ruang peritonsil, menjadi abses peritonial.
2. Ruang retromolar
Terdapat tepat di belakang gigi molar tiga berbentuk oval, merupakan
sudut yang dibentuk oleh ramus dan korpus mandibula. Di sebelah medial
terdapat m. Buccinator, sementara pada bagian posteromedialnya terdapat m.
Pterigoideus Internus dan bagian atas terdapat fasikulus longus m.temporalis.
bila terjadi abses hebat pada daerah ini akan menimbulkan gejala utama
trismus disertai sakit yang amat sangat, sehingga sulit dibedakan dengan abses
peritonsilar.
3. Ruang parafaring (ruang faringomaksilar ; ruang pterigomandibula)
Merupakan ruang yang lebih besar dan luas serta banyak terdapat
pembuluh darah besar, sehingga bila terjadi abses berbahaya sekali. Adapun
batas-batas ruang ini adalah :
a. Superior : basis cranii dekat foramen jugulare
b. Inferior : os hyoid
c. Medial : m. Konstriktor faringeus superior
d. Lateral : ramus asendens mandibula, tempat m.Pterigoideus Interna
dan bagian posterior kelenjar parotis
e. Posterior : otot-otot prevertebra.
Ruang parafaring ini terbagi 2 (tidak sama besar) oleh prosessus styloideus
dan otot-otot yang melekat pada prosessus styloideus tersebut.
a. Ruang pre-styloid, lebih besar, abses dapat timbul oleh karena : radang
tonsil, mastoiditis, parotitis, karies gigi atau tindakan operatif.
b. Ruang post-styloid, lebih kecil, di dalamnya terdapat : A. Karotis Interna,
V. Jugularis, N. Vagus dan saraf-saraf simpatis (Soepardi A dkk, 2007).

Gambar 2.2. Tonsila Palatina dan struktur sekitarnya

2.1.1. Vaskularisasi Tonsil


Tonsil diperdarahi oleh beberapa cabang pembuluh darah, yaitu :
 A.Palatina Asendens, cabang A. Fasialis memperdarahi bagian
postero inferior
 A.Tonsilaris, cabang A.Fasialis memperdarahi daerah antero inferior
 A.Lingualis Dorsalis, cabang A.Maksilaris Interna memperdarahi
daerah antero media
 A.Faringeal Asendens, cabang A.Karotis Eksterna memperdarahi
daerah postero superior
 A.Palatina Desendens dan cabangnya, A.Palatina Mayor dan Minor
memperdarahi daerah antero superior.
Darah vena dialirkan melalui pleksus venosus perikapsular ke V.
Lingualis dan pleksus venosus faringeal, yang kemudian bermuara
ke V. Jugularis Interna. Pembuluh vena tonsil berjalan dari palatum,
menyilang bagian lateral kapsula dan selanjutnya menembus dinding
faring (Snell, 2006).

Gambar 2.3. Vaskularisasi Tonsil

2.1.2. Aliran Limfe Tonsil


Tonsil tidak mempunyai sistem limfatik aferen. Aliran limfe dari
parenkim tonsil ditampung pada ujung pembuluh limfe eferen yang
terletak pada trabekula, yang kemudian membentuk pleksus pada
permukaan luar tonsil dan berjalan menembus m. Konstriktor Faringeus
Superior, selanjutnya menembus fascia bucofaringeus dan akhirnya
menuju kelenjar servikalis profunda yang terletak sepanjang pembuluh
darah besar leher, di belakang dan di bawah arkus mandibula. Kemudian
aliran limfe dilanjutkan ke nodulus limfatikus daerah dada untuk
selanjutnya bermuara ke dalam duktus torasikus (Snell, 2006).
Gambar 2.4. Aliran Limfe Tonsil

2.1.3. Inervasi Tonsil


Terutama melalui N. Palatina Mayor dan Minor (cabang N V) dan
N. Lingualis (cabang N IX). Nyeri pada tonsilitis sering menjalar ke
telinga, hal ini terjadi karena N IX juga mempersarafi membran timpani
dan mukosa telinga tengah melalui “Jacobson’s Nerve” (Snell, 2006).

Gambar 2.5 Inervasi Tonsil


2.2. Tonsilitis
Tonsillitis adalah peradangan tonsila palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Cincin waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatine, tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius ( lateral
band dinding faring / Gerlanch’s tonsil ). Penyebaran infeksi melalui udara
(air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur,
terutama pada anak (Soepardi A dkk, 2007).
2.2.1. Tonsilitis Akut
a. Etiologi
Tonsilitis bakterial supurativa akut paling sering disebabkan oleh
Grup A Streptococcus beta hemolitikus. Meskipun pneumokokus,
stafilokokus dan Haemophilus influenzae juga virus patogen dapat
dilibatkan. Kadang-kadang streptokokus non hemolitikus atau
streptokokus viridans, ditemukan pada biakan, biasanya pada kasus-
kasus berat (Boies, 1997).
b. Patofisiologi
Infeksi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan
menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya lekosit polimorfonuklear
sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan lekosit,
bakteri yang mati, dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini
mengisi kripta tonsil dan tampak sebagai bercak kuning. Perbedaan
strain atau virulensi dari penyebab tonsilitis dapat menimbulkan variasi
dalam fase patologi sebagai berikut (Boies, 1997):
1. Peradangan biasa pada area tonsil saja
2. Pembentukan eksudat
3. Selulitis pada tonsil dan daerah sekitarnya
4. Pembentukan abses peritonsilar
5. Nekrosis jaringan
Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis
folikularis, bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur
alur maka akan terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak detritus ini dapat
melebar sehingga terbentuk membrane semu (pseudomembran) yang
menutupi tonsil (Boies, 1997).

Gambar 2.6. Tonsilitis Akut

c. Gejala dan Tanda


Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorokan,
nyeri waktu menelan dan pada kasus berat penderita menolak makan dan
minum melalui mulut. Biasanya disertai demam dengan suhu tubuh yang
tinggi, rasa nyeri pada sendi-sendi, tidak nafsu makan dan nyeri pada
telinga. Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih melalui n
Glosofaringeus. Seringkali disertai adenopati servikalis disertai nyeri
tekan. Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis dan
terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna, atau tertutup oleh membrane
semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan (Boies,
1997).
d. Penatalaksanaan
Pada umumnya penderita dengan tonsillitis akut serta demam
sebaiknya tirah baring, pemberian cairan adekuat serta diet ringan.
Analgetik oral efektif untuk mengurangi nyeri. Terapi antibiotik
dikaitkan dengan biakan dan sensitivitas yang tepat. Penisilin masih
merupakan obat pilihan, kecuali jika terdapat resistensi atau penderita
sensitive terhadap penisilin. Pada kasus tersebut eritromisin atau
antibiotik spesifik yang efektif melawan organisme sebaiknya digunakan.
Pengobatan sebaiknya diberikan selama lima sampai sepuluh hari. Jika
hasil biakan didapatkan streptokokus beta hemolitikus terapi yang
adekuat dipertahankan selama sepuluh hari untuk menurunkan
kemungkinan komplikasi non supurativa seperti nefritis dan jantung
rematik (Boies, 1997).
Efektivitas obat kumur masih dipertanyakan, terutama apakah
cairan dapat berkontak dengan dinding faring, karena dalam beberapa hal
cairan ini tidak mengenai lebih dari tonsila palatina. Akan tetapi
pengalaman klinis menunjukkan bahwa dengan berkumur yang
dilakukan secara rutin menambah rasa nyaman pada penderita dan
mungkin mempengaruhi beberapa tingkat perjalanan penyakit (Boies,
1997).

2.2.2. Tonsilitis Kronis


a. Definisi
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi
dari semua penyakit tenggorokan yang berulang. Faktor predisposisi
timbulnya tonsilitis kronik adalah rangsangan yang menahun dari
rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh
cuaca, kelelahan fisk dan pengobatan tonslitis akut yang tidak
adekuat. Radang pada tonsil dapat disebabkan kuman Grup A
Streptococcus beta hemolitikus, Pneumococcus, Streptococcus
viridans dan Streptococcus piogenes. Gambaran klinis bervariasi dan
diagnosa sebagian besar tergantung pada infeksi (Soepardi A dkk,
2007).
b. Etiologi
Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari
tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil
atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna.
Bakteri penyebab tonsilitis kronis pada umumnya sama dengan
tonsilitis akut, yang paling sering adalah kuman gram postif (Patel N,
2009).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para ahli, bakteri yang
paling banyak ditemukan dijaringan tonsil adalah streptococcus β
hemolyticus. Beberapa bakteri lain yang dapat ditemukan adalah
staphylococcus, Pneumococcus, Haemophylus influenza, virus, jamur,
dan bakteri anaerob (Patel N, 2009).
c. Patologi
Karena proses peradangan yang berulang dapat menyebabkan
epitel mukosa jaringan lomfoid terkikis, sehingga pada proses
penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut yang
akan mengalami pengerutan sehingga kripte melebar. Secara klinis
kripte ini tampak di isi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga
menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan
dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai
dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula (Soepardi A dkk,
2007)
d. Gejala dan Tanda
Gejala tonsilits kronis dapat berupa :
 Gejala lokal, yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok,
sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan.
 Gejala sistemis, seperti rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri
kepala, demam subfebris, nyeri otot dan persendian.
 Gejala klinis, seperti tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis
folikularis kronis), udem atau hipertrofi tonsil (tonsilitis
parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik dan kecil (tonsilitis fibrotik
kronis), plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan
kelenjar limfe regional.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan
yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kriptus terisi oleh
detritus. Rasa ada yang mengganjal di tenggorokan, dirasakan kering
di tenggorokan dan napas berbau.
Besar tonsil ditentukan sebagai berikut:
T0: tonsil di dalm fosa tonsil atau telah diangkat

T1: bila besarnya ¼ jarak arkus anterior dan uvula

T2: bila besarnya 2/4 jarak arkus anterior dan uvula

T3: bila besarnya ¾ jarak arkus anterior dan uvula

T4: bila besarnya mencapai arkus anterior atau lebih

Gambar 2.6. Pembesaran Tonsil

e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga
higiene mulut yang baik, obat kumur, obat hisap dan tonsilektomi jika
terapi konservatif tidak memberikan hasil. Pengobatan tonsilitis kronis
dengan menggunakan antibiotik oral perlu diberikan selama
sekurangnya 10 hari. Antibiotik yang dapat diberikan adalah golongan
penisilin atau sulfonamida, namun bila terdapat alergi penisilin dapat
diberikan eritromisis atau klindamisin (Soepardi A dkk, 2007).

f. Komplikasi
Radang kronis tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah
sekitarnya berupa Rhinitis kronis, Sinusitis atau Otitis media secara
perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau
limfogen dan dapat timbul endokarditis, arthritis, miositis, nefritis,
uveitis, irdosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan furunkulosis.

Anda mungkin juga menyukai