Anda di halaman 1dari 29

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)


Jl. Terusan Arjuna No. 6, Kebon Jeruk. Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS PRA-ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU ANESTESI
RSAU DR. ESNAWAN ANTARIKSA

Nama : Nurul Siti Khodijah Tandatangan

NIM : 112018146

Dr. Pembimbing : dr. Crispinus Adhi Suryo, Sp. An ....................

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Umur : 48 Tahun
Jenis kelamin : Laki- Laki
Pekerjaan : Dokter gigi
Alamat : Jalan Rukun Tetangga no.29
Tanggal masuk RS : 9 Juni 2021

II. Anamnesis
Dilakukan autoanamnesis dengan pada tanggal 10 Juni 2021 pukul 08.20 di kamar
penerimaan operasi RSAU dr. Esnawan Antariksa.
Keluhan Utama
Benjolan di anus yang menetap sejak ± 1 minggu SMRS
Keluhan Tambahan
Tidak ada.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSAU poli bedah dengan keluhan benjolan di anus yang menetap
sejak ± 1 minggu SMRS. Benjolan yang selalu keluar saat pasien buang air besar di
rasakan pasien sejak 3 tahun lalu , namun biasanya benjolan tersebut dapat masuk
kembali secara spontan setelai pasien selesai buang air besar , kemudian 1 tahun
terakhir setiap kali kali benjolan keluar saat buang air besar tidak bisa langsung
1
masuk kembali dengan spontan , tapi harus di bantu dengan cara di dorong dengan
menggunakan ibu jari pasien. Benjolan awalnya keluar saat pasien buang air besar
saja, namun sejak ± 1 minggu SMRS benjolan tersebut menetap di anus dan tidak
dapat masuk kembali walaupun dengan bantuan ibu jari pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat operasi ataupun penyakit kronik.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita keluhan yang sama seperti pasien.
Riwayat Kebiasaan
Pasien mengatakan sering makan – makanan pedas dan jarang mengkonsumsi sayur –
sayuran, banyak minum air putih namun jarang berolahraga karena aktivitas pasien
kebanyakan hanya duduk di dalam ruangan.
Riwayat Alergi
Tidak ada

III. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Berat Badan : 85 kg
Tinggi Badan : 168 cm

Tanda – Tanda Vital


Tekanan Darah : 120/90 mmHg
Suhu : 36 °C
Nadi : 78 x/menit
Frekuensi Nafas : 20 x/menit
Pemeriksaan Sistematis
Hasil Pemeriksaan

Kepala Normocephali

Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),

Hidung Tidak di lakukan

2
Telinga Simetris, liang telinga lapang, sekret (-/-)

Mulut Tidak di lakukan

Gigi geligi Tidak di lakukan

Leher KGB tidak teraba membesar

Thorax Bentuk simetris, gerak dinding dada simetris

Cor Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo Vokal fremitus simetris, suara nafas vesikuler pada kedua lapang
paru, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen Membuncit, simetris, teraba supel, bising usus (+) normal, nyeri
tekan (-)

Ekstremitas Akral hangat (+), Edema (–)

IV. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium (2/6/2021), Rapid Antigen SARS CoV 2 (9/6/2021
Laboratorium:
NAMA PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
HEMATOLOGI
Darah Rutin
LED 22 mm/jam P: <10, W <20 mm/jam
Hemoglobin 14.2 gr/dl 13.2 -17.3
Lekosit 7500 mm3 3.800-10.600
Hematokrit 43 % 40-52
Trombosit 278000 mm3 150.000-440.000
Diff
Basofil 0,8 % 0-1
Eosinofil 6,3 % 2-4
Neutrofil Segment 52.7 % 50-70

3
Limfosit 33 % 25-40
Monosit 7.2 % 2-8
%

KIMIA KLINIK
SGOT 35 u/l 10-50
SGPT 53 u/l 10-50
Ureum 18 mg/dl 10-50
Kreatinin 0.9 mg/dl 0.6-1.2
Glukosa Sewaktu 97 mg/dl <120
Elektrolit
Na 137 mmEq/L 136-149
K 4.2 mmEq/L 3,-5,2
Cl 105 mmEq/L 95-105

URINALISA
Kuning
Warna Kuning
Keton Negatif negatif

Nitrit Negatif negatif


Darah Negatif
negatif
Leukosit Negatif
4.6-8.5
Ph 6.0
Berat jenis 1.020 1.000-1.030

Protein Negatif Negatif


Bilirubin Negatif
Negatif

4
Sedimen
Leukosit 4-5 /LPB 0-8/LPB
Ephitel 4-5 /LPB
0-15

IMUNOSEROLOGI
Hbs Ag Non-Reaktif Non-Reaktif
Anti HIV Non-Reaktif Non-Reaktif
Anti HCV Non-Reaktif Non-Reaktif

HASIL PEMERIKSAAN
SWAB Antigen SARS-
Negatif
COV-2

V. Status Fisik ASA


ASA 1

VI. Diagnosis Kerja


Hemoroid grade III

VII. Rencana Tindakan Bedah


Hemoroidectomy

VIII. Rencana Tindakan Anestesi


Anestesi Regional (Spinal)

5
IX. Preoperasi
1. Identitas, informed consent, anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium
anjuran
2. Pasien menggunakan baju operasi, masker dan haircap
3. Pasien puasa 6-8 jam
4. Menanyakan apakah ada alergi obata atau makanan
5. Menyanyakan adakah riwayat asma
6. Menanyakan apakah pasien memakai gigi palsu, kacamata, lensa kontak, alat bantu
dengar
7. Peralatan monitor: Tekanan Darah, Nadi, Pulse Oximetri, EKG
8. Pastikan Infus IV Line bekerja.
9. Siapkan peralatan anestesi spinal (handscoon steril, spuit 3cc, spuit 5cc, spinocaine
no.27G, regivell, fentanyl).
10. Posisi pasien duduk sedikit membungkuk dengan kepala menunduk dan pastikan
lampu menyala untuk menerangi bagian yang akan disuntik
11. Lakukan tindakan sepsis-antisepsis menggunakan betadine dan alcohol pada bagian
yang ingin ditusuk.
12. Tusuk jarum Spinocan No. 27G pada daerah L3-L4 sedalam ± 2 cm kearah sefal
sampai ke ruang subarachnoid.
13. Pastikan cairan LCS keluar jernih dan biarkan mengalir hingga diujung dari pangkal
jarum.
14. Lakukan aspirasi lalu masukkan Fentanyl 50mcg, Bupivacain HCl 20 mg perlahan.
15. Setelah selesai tidurkan kembali posisi pasien agar obat bekerja sesuai pada
tempatnya.
16. Tanyakan kembali kepada pasien apakah bagian ekstremitas sudah hilang rasa, terasa
berat, kesemutan, ataupun lemas.
17. Apabila sudah menandakan obat ane stesi bekerja, operasi dapat dimulai.

X. Intra Operasi
Lama pembiusan : 40 menit
Lama operasi : 30 menit
Monitoring
o Pernafasan: Spontan
o Pemantauan tanda vital di monitor

6
o Medikasi secara intravena:
 Ondancentron 4 mg (IV)
 Ketorolac 30 mg (IV)
o Cairan masuk :
Ringer Laktat 100 cc
o Cairan keluar : perdarahan 40 cc

XI. Post Operasi


Post Anesthesia Care Unit (PACU)
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesaradan : Compos Mentis
Tekanan Darah : 124/73 mmHg
Suhu : 36oC
Pernafasan : Spontan
Saturasi : 99%
Nadi : 75 x/menit
Frekuensi nafas : 20 x/menit

Aldrete Score
Kesadaran :2
Respirasi :2
Sirkulasi :2
Warna kulit :2
Aktivitas :2
Total : 10
VAS :0–1
 Bromage score : Pasien mampu memfleksikan lutut dengan gerakan bebas di kaki (2)
 Obat-obatan pasca-operasi: ondansetron i.v. 4 mg, ketorolac i.v. 30 mg.

7
XII. Penatalaksanaan
 Monitor tanda-tanda vital dan perdarahan
 Dapat pindah ruangan bila aldrette score >8 dan VAS <3 dan Bromage score ≤ 2
 Instruksi post operasi di ruang rawat inap
 Awasi keadaan umum, kesadaran dan tanda vital post operasi
 Diet biasa jika hemodinamik stabil
 Lanjutkan manajemen nyeri hingga 24 jam pertama

8
Tinjauan pustaka

Pendahuluan

Anastesi adalah suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit selama


melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa
sakit pada tubuh. Tipe anestesi ada 3 macam, yaitu general anestesi (anestesi
umum), regional anestesi dan lokal anestesi. Tindakan anestesi dapat disesuaikan
dengan tindakan operasi yang akan dilakukan. Anestesi spinal (subaraknoid)
adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke
dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai blok
spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita
menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah
antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.1,2
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang baik untuk
tindakan-tindakan bedah, obstetrik, operasi-operasi bagian bawah abdomen, dan
ekstremitas bawah. Teknik ini baik bagi penderita-penderita yang mempunyai
kelainan paru-paru, diabetes mellitus, penyakit hati yang difus dan kegagalan
fungsi ginjal, sehubungan dengan gangguan metabolisme dan ekskresi dari obat-
obatan. Anestesi spinal ini lebih mudah dilakukan, onset lebih cepat, blokade
syarafnya menyakinkan, kemungkinan toksisitasnya tidak ada karena dosis yang
rendah, dan karena adanya blokade saraf sakral yang sempurna, perasaan tidak
enak seperti pada anestesi epidural tidak ada.2 Sebelum dilakukan spinal anestesi
perlu dilakukan informed consent (izin dari pasien) tentang tindakan yang akan
dilakukan terhadap diri pasien dan evaluasi preoperasi. Teknik apapun itu
usahakan untuk mempertahankan kestabilan sistem kardiovaskuler dan oksigenasi
yang cukup.

Anestesi spinal adalah tindakan untuk memblok saraf sensorik, motorik


dan otonom dengan cara memasukkan obat anestesik lokal kedalam ruang
subarakhnoid. Teknik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan.1
Anestesi spinal yang pertama kali dikerjakan pada manusia pada tahun 1899 oleh
Bier, tetapi karena angka kematian yang tinggi, teknik tersebut tidak popular.

9
Tetapi setelah diketahui efek fisiologis dari anstetik lokal di dalam ruang
subarakhnoid, kini bahaya tersebut dapat dicegah. Sesudah penyuntikan intratekal
yang terpengaruh lebih dahulu yaitu saraf simpatis dan saraf parasimpatis, diikuti
dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan tekan dalam. Yang mengalami
blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar dan propioseptif. Blokade
simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu tungkai bawah. Setelah anestesia
selesai, pemulihan terjadi dengan urutan yang sebaliknya, yaitu fungsi motoris
yang pertama kali pulih kembali.2 Sifat anestetik lokal yang ideal sebaiknya tidak
mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara permanen. Kebanyakan
anestetik lokal memenuhi syarat ini. Batas keamanan harus lebar, sebab anestetik
lokal akan diserap dari tempat suntikan. Mula kerja harus sesingkat mungkin,
sedangkan masa kerja harus cukup lama sehingga cukup waktu untuk melakukan
tindakan operasi, tetapi tidak demikian lama sampai memperpanjang waktu
pemulihan. Zat anestetik lokal juga harus dapat larut dalam air, stabil dalam
larutan, dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan.2,3

Anatomi

Gambar 1. Anatomi Vertebrae Lumbal 1

10
Kolumna vertebralis terdiri dari :
 7 vertebra servikalis
 12 Vertebrae thorakalis
 5 Vertebrae lumbal
 5 Vertebrae sacral
 4 Vertebrae coccygeus
Garis lurus yang menghubungkan kedua krista iliaca tertinggi akan
memotong prosesus spinosus vertebra L4 atau antara L4-L5. Medulla spinalis
diperdarahi oleh arteri spinalis anterior dan arteri spinalis posterior. Untuk
mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus: kulit 
subkutis  lig.supraspinosusm  lig.supraspinosum  lig.flavum  ruang
epudiral  duramater  ruang subarakhnoid.
Medulla spinalis dibungkus oleh tiga jaringan ikat yaitu durameter,
arakhnoid, dan piameter yang membentuk tiga ruangan yaitu:
 Ruang subarakhnoid adalah ruang yang terletak antara arakhnoid dan
piameter. Ruang subarakhnoid terdiri dari trabekel, saraf spinalis, dan cairan
serebrospinal.
 Ruang subdural merupakan suatu ruangan yang batasnya tidak jelas, yaitu
ruangan potensial yang terletak antara dura dan membrane arachnoid.
 Ruang epidural didefinisikan sebagai ruangan potensial yang dibatasi oleh
durameter dan ligamentum flavum.
Medulla spinalis secara normal hanya sampai level vertebra L1 atau L2
pada orang dewasa. Pada anak-anak medulla spinalis berakhir pada L3. Di bawah
level ini elemen saraf berupa akar-akar saraf yang keluar dari conus medularis
yang sering disebut dengan cauda equine, terendam dalam cairan serebrospinal.
Spinal anestesi biasanya diinjeksikan pada level yang lebih rendah dari L2 untuk
menghindari trauma pada medulla spinalis. Dibawah L2 serabut saraf lebih
mobile, melayang-layang sehingga terhindar dari trauma jarum spinal. Sacus dura,
ruang subarakhnoid dan subdural biasanya mencapai S2 pada dewasa dan sering
sampai S3 pada anak-anak.1

11
Patofisiologi
Lokal anestetik yang dimasukkan ke dalam ruang subarakhnoid akan
memblok impuls sensorik, autonom dan motorik pada serabut saraf anterior dan
posterior yang melewati cairan serebrospinal. Serabut akar saraf merupakan
tempat aksi kerja utama pada anestesi spinal dan epidural, selain itu bisa bekerja
pada serabut akar saraf spinal dan akar ganglion dorsal. Dalam anestesi spinal
konsentrasi obat lokal anestetik di cairan serebrospinal memiliki efek yang
minimal pada medula spinalis.1,2,3

Ada empat faktor yang mempengaruhi absorbsi anestetik lokal pada ruang
subarakhnoid, yaitu (1) konsentrasi anestetik lokal, konsentrasi terbesar ada pada
daerah penyuntikkan. (2) daerah permukaan saraf yang terpajan akan
memudahkan absorpsi dari anestetik lokal. Oleh karena itu semakin jauh
penyebaran anestetik lokal dari tempat penyuntikkan, maka akan semakin
menurun konsentrasi anestetik lokal dan absorpsi ke sel saraf juga menurun, (3)
lapisan lipid pada serabut saraf, (4) aliran darah ke sel saraf. Absorbsi dan
distribusi anestetik lokal setelah penyuntikkan spinal ditentukan oleh banyak
faktor antara lain dosis, volume dan barisitas dari anestetik lokal serta posisi
pasien. Selanjutnya obat memiliki akses bebas ke jaringan medula spinalis dan
bekerja langsung pada target lokal di membran sel saraf serta sebagian kecil dosis
dapat memberikan efek yang cepat. Anestetik lokal di cairan serebrospinal ini
tidak berikatan dengan protein terlebih dahulu.

Daerah utama dari aksi blokade neuraksial adalah akar saraf. Anestesi
lokal disuntikkan ke CSF (anestesi spinal) atau ruang epidural (anestesi epidural
dan kaudal) dan menggenangi akar saraf dalam ruang subarachnoid atau ruang
epidural. Injeksi langsung anestesi lokal ke CSF untuk anestesi spinal
memungkinkan dosis yang relatif kecil dan volume anestesi lokal untuk mencapai
blokade sensorik dan motorik. Sebaliknya, anestesi lokal pada epidural anestesi
pada akar saraf memerlukan volume dan dosis yang jauh lebih tinggi. Selain itu,
tempat suntikan untuk anestesi epidural harus dekat dengan akar saraf yang harus
diblok. Blokade transmisi saraf (konduksi) dalam pada serabut saraf posterior

12
akan menghambat somatik dan viseral, sedangkan blokade serabut akar saraf
anterior mencegah eferen motorik dan outflow otonom1,3.

Blokade somatic

Dengan mengganggu transmisi rangsangan nyeri dan menghilangkan


tonus otot rangka, blok neuraksial dapat memberikan kondisi operasi yang sangat
baik. Blok sensori menghambat stimulus nyeri baik pada somatik dan viseral,
sedangkan blokade motorik menghasilkan relaksasi otot rangka. Pengaruh anestesi
lokal pada serabut saraf bervariasi sesuai dengan ukuran serabut saraf, apakah itu
bermielin, konsentrasi yang dicapai dan lama kontak. Akar saraf tulang belakang
terdiri dari berbagai tipe serat saraf. Serat lebih kecil dan bermielin umumnya
lebih mudah diblokir daripada yang lebih besar dan tidak bermielin. Fakta bahwa
konsentrasi anestesi lokal menurun dengan meningkatnya jarak dari level injeksi,
menjelaskan fenomena blokade diferensial. Diferensial blokade biasanya
menghasilkan blokade simpatik (dinilai oleh sensitivitas suhu) yang mungkin dua
segmen lebih tinggi dari blok sensorik (nyeri, sentuhan ringan), dan dua segmen
lebih tinggi dari blokade motorik1.

Blokade otonom

Interupsi dari transmisi eferen pada nervus spinal dan menyebabkan


blokade dari simpatik dan parasimpatik. Simpatik outflow spinal cord bisa
dideskripsikan sebagai torakolumbal dan parasimpatis disebut kraniosakral.
Serabut saraf praganglion simpatis (kecil, serabut termielinisasi tipe B) keluar dari
spinal cord dari T1 sampai L2 dan bisa menyebabkan rantai simpatis ke atas
maupun ke bawah sebelum bersinap dengan posganglion sel pada ganglia
simpatik. Anestesi neuroaksial tidak memblok nervus vagus. Respon fisiologi dari
anestesi ini adalah menurunkan kerja simpatis1.

Blok neuroaksial tipikal menyebabkan penurunan tekanan darah yang


disertai dengan penurunan detak jantung dan kontraktilitas jantung. Tonus
vasomotor secara primer ditentukan oleh serabut simpatik yang muncul dari T5

13
dan L1, yang menginervasi otot polos arteri dan vena. Blokade dari nervus ini
menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh vena, penurunan pengisian darah dan
menurunkan venous return ke jantung. Untuk beberapa kasus vasodilatasi ateria
dapat menyebabkan penurunan resistensi sistemik pembuluh darah. Efek dari
vasodilatasi atrial dapat diminimalisir dengan cara mengkompensasi
vasokonstriksi diatas blok. Blok simpatis yang tinggi tidak hanya
mengkompensasi vasokonstriksi tapi juga memblok serabut akselarator jantung
yang berasal dari T1-T4. Hipotensi bisa disebabkan oleh bradikardi dan
penurunan kontraktili jantung. Hal ini dapat diperbaiki dengan cara meningkatkan
4,5
venous return dengan head down position.

Efek kardiovaskular harus diantisipasi untuk meminimalkan hipotensi. Hal


ini diantisipasi dengan cara pemberian cairan intravena 10-20 mL/Kg pada pasien
sehat akan secara parsial berkompensasi untuk pengisian vena. Walaupun dengan
usaha ini hipotensi masih tetap terjadi dan harus ditangani dengan tepat.
Penanganan cairan dapat ditingkatkan dan autotransfusi dapat dilakukan dengan
cara menurunkan kepala pasien. Bradikardi berlebih dan simptomatik harus
ditangani dengan pemberian atropin dan hipotensi diterapi menggunakan
vasopresor. Direct α-adrenergic agonis (seperti fenilefrin) meningkatkan tonus
vena dan menyebabkan konstriksi arteriolar, yang menyebabkan peningkatan
aliran balik vena dan resistensi sistemik vaskular. Efek langsung penggunaan
efedrin adalah meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas, sedangkan efek
tidak langsung menghasilkan beberapa vasokonstriksi. Jika hipotensi dan atau
bradikardia bertahan meskipun intervensi ini, epinefrin (5-10 g intravena) harus
diberikan segera1.

Perubahan klinis yang signifikan dari fisiologi paru biasanya minimal


dengan blok neuraksial karena diafragma dipersarafi oleh saraf frenikus yang
berasal dari C3-C5. Bahkan dengan segmen thorakal tinggi, volume tidal tidak
berubah, hanya ada sedikit penurunan kapasitas vital, yang disebabkan oleh
hilangnya kontribusi otot perut untuk ekspirasi paksa1.

14
Pada prosedur pembedahan yang menyebabkan trauma menyebabkan
neuroendokrin trauma melalui respon inflamasi lokal dan aktivasi serat saraf
aferen somatik dan viceral. Respon ini termasuk peningkatan hormon
adrenokortikotropik, kortisol, epinefrin, norepinefrin, dan level vasopresin melalui
sistem aktivasi renin-angiotensin-aldosteron. Neuroaksial blokade dapat
menurunkan sebagian atau secara total respon stres ini1.

Efek Samping2

Sistem kardiovaskular

 Depresi automatisasi, kontraktilitas, dan kecepatan konduksi miokard.

 Dilatasi arteriolar karena relaksasi otot polos.

 Dosis besar dapat menyebabkan disritmia atau kolaps sirkulasi.

 Injeksi bupivakain intravena mengakibatkan reaksi kardiotoksik yang 
berat


termasuk hipotensi, blok atrioventrikular, irama idioentrikular, dan aritmia
yang dapat mengancam jiwa seperti takikardia ventrikular dan fibrilasi.

Sistem pernafasan

 Relaksasi otot polos bronkus

 Henti nafas akibat paralisis saraf frenikus di C3-5, paralisis interkostal 
atau
depresi langsung pusat pengaturan nafas.

 Blokade saraf torakal akan menurunkan aktivitas otot interkostal. Ini 
hanya
berpengaruh kecil pada volume tidal, tapi hal ini akan menimbulkan
penurunan kapasitas vital akibat penurunan kontribusi otot abdomen dalam
ekspirasi paksa. Pasien ini akan mengalami dispnea dan kesulitan untuk
inspirasi maksimal serta batuk. Blokade torakal juga memicu penurunan

15
cardiac output dan tekanan arteri pulmonal serta peningkatan ventilasi atau
ketidakseimbangan perfusi yang akan menyebabkan penurunan tekanan
oksigen arteri. Pasien dengan blokade torakal saat bangun harus diberikan
oksigen yang tinggi untuk membantu pernafasan1.

Sistem pencernaan

Inervasi simpatis pada organ-organ abdomen mulai dari T5-L1. Akibat


blokade simpatis, maka kerja parasimpatis meningkat seperti peningkatan
sekresi, relaksasi sfingter dan konstriksi usus. Sekitar 20% pasien mual dan
muntah setelah anestesi spinal dan faktor risiko terjadinya karena blokade
saraf diatas T5, hipotensi, penggunaan opioid dan riwayat mual muntah
sebelumnya. Peningkatan aktivitas vagal setelah blokade simpatis
menyebabkan peningkatan peristaltik usus yang memicu mual. Dengan
demikian, atropine berguna untuk mengatasi mual setelah blokade spinal
yang tinggi

Sistem saraf pusat

Sistem saraf pusat rentan terhadap toksisitas obat anestetik lokal dengan
tanda-tanda awal rasa kebas, parestesi lidah, pusing. Keluhan sensorik
berupa tinitus dan pandangan kabur. Tanda eksitasi seperti kurang istirahat,
agitasi, gelisah, paranoid. Tanda adanya depresi sistem saraf pusat misal
bicara tidak jelas/pelo, mudah mengantuk, kejang, depresi pernafasan, tidak
sadar, koma.

Imunologi

Golongan ester lebih sering menyebabkan alergi, karena merupakan


derivat para-amino-benzoic acid (PABA) yang dikenal sebagai alergen.

16
Ginjal dan hepar

Aliran darah ginjal dipengaruhi oleh tekanan arterial. Bila tidak terjadi
vasokonstriksi di ginjal maka aliran darah ginjal tidak akan menurun sampai
tekanan arteri rata-rata menurun dibawah 50 mmHg. Dengan begitu, bila
tidak terjadi hipotensi berat maka aliran darah ginjal serta urin output masih
dalam batas normal selama anestesi spinal. Sedangkan aliran darah hepar
akan menurun mengikuti derajat dari hipotensi

Obat-Obat Anestesi Spinal

1. . Bupivakain

Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai


berikut : 1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride.
Bupivakain adalah derivat butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih
kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat long acting. Secara komersial bupivakain
tersedia dalam 5 mg/ml. Dengan kecenderungan yang lebih menghambat sensoris
daripada motoris menyebabkan obat ini sering digunakan untuk analgesia selama
persalinan dan pasca bedah. Pada tahun- tahun terakhir, larutan bupivakain baik
isobarik maupun hiperbarik telah banyak digunakan pada blok subrakhnoid untuk
operasi abdominal bawah. Pemberian bupivakain isobarik, biasanya menggunakan
konsentrasi 0,5%, volume 3-4 ml dan dosis total 15-20 mg, sedangkan bupivakain
hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume 2-4 ml dan total dosis 15-
22,5 mg. 5

Bupivakain dapat melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah
kecil. Bila diberikan dalam dosis ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan
bila dibandingkan dengan lidokain. Salah satu sifat yang paling disukai dari
bupivakain selain dari kerjanya yang panjang adalah sifat blokade motorisnya
yang lemah. Toksisitasnya lebih kurang sama dengan tetrakain. Bupivakain juga
mempunyai lama kerja yang lebih panjang dari lignokain karena mempunyai
kemampuan yang lebih besar untuk mengikat protein. Untuk menghilangkan nyeri

17
pada persalinan, dosis sebesar 30 mg akan memberikan rasa bebas nyeri selama 2
jam disertai blokade motoris yang ringan. Analgesik pasca bedah dapat
berlangsung selama 4 jam atau lebih, sedangkan pemberian dengan tehnik anestesi
kaudal akan memberikan efek analgesik selama 8 jam atau lebih. Pada dosis 0,25
– 0,375 % merupakan obat terpilih untuk obstetrik dan analgesik paska bedah.
Konsentrasi yang lebih tinggi (0,5 – 0,75 %) digunakan untuk pembedahan.
Konsentrasi infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok saraf tepi 0,25 – 0,5 %, epidural 0,5 –
0,75 %, spinal 0,5 %. Dosis maksimal pada pemberian tunggal adalah 175 mg.
Dosis rata-ratanya 3 – 4 mg / kgBB.

2. FENTANYL

Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika


digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan injeksi IM
(intramuskular) Fentanyl digunakan untuk menghilangkan sakit yang disebabkan
kanker. Menghilangkan periode sakit pada kanker adalah dengan menghilangkan
rasa sakit secara menyeluruh dengan obat untuk mengontrol rasa sakit yang
persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk pasien yang siap
menggunakan analgesik narkotika.5

Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat untuk menghilangkan rasa


sakit. Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem syaraf
pusat. Pada pemakaian yang lama dapat menyebabkan ketergantungan tetapi tidak
sering terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan aturan. Ketergantungan biasa
terjadi jika pengobatan dihentikan secara mendadak. Sehingga untuk mencegah
efek samping tersebut perlu dilakukan penurunan dosis secara bertahap dengan
periode tertentu sebelum pengobatan dihentikan. 5

Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat
(CNB) meningkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang
analgesia pascaoperasi. Durasi biasa pada efek analgesik adalah 30 sampai 60
menit setelah dosis tunggal intravena sampai 100 mcg (0,1 mg). Dosis injeksi
Fentanyl 12,5 μg menghasilkan efek puncak, dengan dosis yang lebih rendah tidak

18
memiliki efek apapun dan dosis tinggimeningkatkan kejadian efek samping.5

Indikasi Anastesi Spinal


Anestesi neuraksial digunakan sebagai anestesi tunggal atau dalam
kombinasi dengan anestesi umum untuk sebagian besar prosedur di bawah leher.
Seperti yang disebutkan dalam pendahuluan, anestesi spinal umum digunakan
untuk prosedur pembedahan yang melibatkan perut bagian bawah, panggul,
perineum, dan ekstremitas bawah; ini bermanfaat untuk prosedur di bawah
pusar.Error! Reference source not found.
Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk
pembedahan ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan sekitar rektum-
perineum, bedah obstetri-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah.Error!
Reference source not found.

Kontraindikasi Anastesi Spinal


Kontraindikasi absolut; pasien menolak, infeksi pada tempat suntikan,
hipovolemia berat, syok, koagulopati/mendapat terapi antikoagulan, tekanan
intrakranial meninggi, fasilitas resusitasi minim, kurang pengalaman/tanpa
didampingi konsultan anestesi, peningkatan tekanan intrakranial terutama karena
massa intrakranial dan infeksi di lokasi prosedur (resiko meningitis).Error! Reference
source not found.,Error! Reference source not found.

Kontraindikasi relatif; infeksi sistemik (sepsis, bakteremi), infeksi sekitar


tempat suntikan, kelainan neurologis yang sudah ada sebelumnya (terutama yang
bertambah dan berkurang, misalnya, multiple sclerosis), kelainan psikis, bedah
lama, penyakit jantung (stenosis mitral dan aorta yang parah dan obstruksi aliran
keluar ventrikel kiri seperti yang terlihat pada kardiomiopati obstruktif
hipertrofik), hipovolemia ringan, hipovolemia berat (akibat risiko hipotensi -
faktor risiko hipotensi meliputi hipovolemia, usia di atas 40 hingga 50 tahun,
operasi darurat, obesitas, konsumsi alkohol kronis, dan hipertensi kronis), nyeri
punggung kronis, trombositopenia atau koagulopati (terutama dengan anestesi

19
epidural, karena risiko hematoma epidural).Error! Reference source not found.,Error! Reference
source not found.

Dalam pengaturan koagulopati, penempatan blok neuraksial membutuhkan


evaluasi ulang. American Society of Regional Anesthesia (ASRA) menerbitkan
pedoman terbaru yang merinci waktu anestesi neuraksial untuk pasien yang
menggunakan antikoagulan oral, antiplatelet, terapi trombolitik, dan heparin
dengan berat molekul rendah. Tinjau pedoman terbaru sebelum melanjutkan
dengan prosedur.Error! Reference source not found.

Komplikasi
Komplikasi dini, yaitu: Hipotensi; Blok spinal tinggi /total; Mual dan
muntah; Penurunan panas tubuh.Error! Reference source not found. Komplikasi lanjut,
yaitu: Post dural Puncture Headache (PDPH); Nyeri punggung (Backache); Cauda
Equine Syndrome; Meningitis; Retensi urine; Spinal hematom; Kehilangan
penglihatan pasca operasi. 6

Hipotensi
Paling sering terjadi dengan derajat bervariasi dan bersifat individual.
Mungkin akan lebih bertahan pada pasien dengan hipovolemia. Biasanya terjadi
pada menit ke 20 setelah injeksi obat local anestesi. Derajat hipotensi
berhubungan dengan kecepatan masuknya obat local anestesi ke dalam ruang sub
arakhnoid dan meluasnya blok simpatis.Error! Reference source not found.

Hipovolemia
Dapat menyebabkan depresi serius sistem kardiovaskuler selama spinal
anestesi karena pada hipovolemia tekanan darah dipelihara dengan peningkatan
simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi perifer. Merupakan kontraindikasi
relative anestesi spinal, tetapi jika normovolemi dapat dicapai dengan penggantian
volume cairan maka spinal anestesi bias dikerjakan pada pasien hamil. Sensitif
terhadap blockade simpatis dan hipotensi karena obstruksi mekanis venous return
sehingga pasien hamil harus ditempatkan pada posisi miring lateral segere setelah

20
spinal anestesi untuk mencegah kompresi vena cava. Pada pasien tua
dengan hipovolemi dan iskemi jantung lebih sering terjadi hipotensi dibanding
pasienmuda.Error! Reference source not found.

Pencegahan, Pemberian cairan RL 500-1000 ml secara intravena sebelum


anestesi spinal dapat menurunkan insidensi hipotensi atau preloading dengan 1-5
L cairan elektrolit atau koloid digunakan secara luas untuk mencegah
hipotensi.Error! Reference source not found.

Terapi
 Autotransfusi dengan posisi head down dapat menambah kecepatan
pemberian preload
 Bradikardi yang berat dapat diberikan antikolinergik
 Jika hipotensi tetap terjadi setelah pemberian cairan, maka vasopresor
langsung atau tidak langsung dapat diberikan seperti efedrin dengan dosis 5-
10 mg bolus iv
 Efedrin merupakan vasopresor tidak langsung, meningkatkan kontraksi otot
jantung (efek sentral) dan vasokonstriktor (efek perifer)

Blokade Total Spinal


Total spinal: blockade medulla spinalis smapai ke servikal oleh suatu obat
local anestesi. Factor pencetus: pasien menghejan, dosis obat local anestesi yang
digunakan, posisi pasien terutama bila menggunakan obat hiperbarik. Sesak napas
dan sukar bernapas merupakan gejala utama dari blok spinal tinggi disertai mual,
muntah, precordial discomfort dan gelisah. Apabila blok semakin tinggi penderita
menjadi apnea, kesadaran menurun disertai hipotensi yang berat dan jika tidak
ditolong akan terjadi henti jantung.Error! Reference source not found.
Penanganan pada totoal blokade spinal: Usahakan jalan napas tetap bebas,
kadang diperlukan bantuan napas lewat face mask; Jika depresi pernapasan makin
beratperlu segera dilakukan intubasi endotrakeal dan control ventilasi untuk
menjamin oksigenasi yang adekuat; Bantuan sirkulasi dengan dekompresi jantung
luar diperlukan bila terjadi henti jantung; Pemberian cairan kristaloid 10-20

21
ml/kgBB diperlukan untuk mencegah hipotensi; Jika hipotensi tetap terjadi atau
jika pemberian cairan yang agresif harus dihindari maka pemberian vasopresor
merupakan pilihan seperti adrenalin dan sulfas atropine.Error! Reference source not found.

Mual Muntah
Terjadi karena Hipotensi; Adanya aktifitas parasimpatis yang
menyebabkan peningkatan peristalyik usus; Tarikan nervus dan pleksus
khususnya N vagus; Adanya empedu dalam lambungoleh karena relaksasi pylorus
dan spincter ductus biliaris; Faktor psikologis; Hipoksia.Error! Reference source not found.
Penanganan, untuk menangani hipotensi : loading cairan 10-20 ml/kgBB
kristaloid atau pemberian bolus efedrin 5-10 mg iv, oksigenasi yang adekuat
untuk mengatasi hipoksia dan dapat juga diberikan anti emetic.Error! Reference source
not found.

Shivering (penurunan panas tubuh)Error! Reference source not found.


 Sekresi katekolamin ditekan sehingga produksi panas oleh metabolisme
berkurang.
 Vasodilatasi pada anggota tubuh bawah merupakan predisposisi terjadinya
hipotermi.

Post Dural Puncture Headache (PDPH)2,Error! Reference source not found.


Disebabkan adanya kebocoran LCS akibat tindakan penusukan jaringan
spinal yang menyebabkan penurunan tekanan LCS. Akibatnya terjadi
ketidakseimbangan pada volume LCS dimana penurunan volume LCS melebihi
kecepatan produksi. LCS diproduksi oleh pleksus choroideus yang terdapat dalam
system ventrikel sebanyak 20 ml per jam. Kondisi ini akan menyebabkan tarikan
pada struktur intracranial yang sangat peka terhadap nyeri yaitu pembuiluh darah,
saraf, falk serebri dan meningen dimana nyeri akan timbul setelah kehilangan
LCS sekitar 20 ml. Nyeri akan meningkat pada posisi tegak dan akan berkurang
bila berbaring, hal ini disebabkan pada saat berdiri LCS dari otak mengalir ke

22
bawah dan saat berbaring LCS mengalir kembali ke rongga tengkorak dan akan
melindungi otak sehingga nyeri berkurang.
PDPH ditandai dengan: Nyeri kepala yang hebat; Pandangan kabur dan diplopia;
Mual dan muntah; Penurunan tekanan darah; Onset terjadinya adalah 12-48 jam
setelah prosedur spinal anestesi.
Pencegahan dan penanganan, Hidrasi dengan cairan yang kuat; Gunakan
jarum sekecil mungkin (dianjurkan < 24) dan menggunakan jarum non cutting
pencil point; Hindari penusukan jarum yang berulang-ulang; Tusukan jarum
dengan bevel sejajar serabut longitudinal durameter; Mobilisasi seawal mungkin;
Jika nyeri kepala tidak berat dan tidak mengganggu aktivitas maka hanya
diperlukan terapi konservatif yaitu bedrest dengan posisi supine, pemberian cairan
intravena maupun oral, oksigenasi adekuat; Pemberian sedasi atau analgesi yang
meliputi pemberian kafein 300 mg peroral atau kafein benzoate 500 mg iv atau
im, asetaminofen atau NSAID; Hidrasi dan pemberian kafein membantu
menstimulasi pembentukan LCS; Jika nyeri kepala menghebat dilakukan prosedur
khusus Epidural Blood Patch: a. Baringkan pasien seperti prosedur epidural, b.
Ambil darah vena antecubiti 10-15 ml, c. Dilakukan pungsi epidural kemudian
masukan darah secara pelan-pelan, d. Pasien diposisikan supine selama 1 jam
kemudian boleh melakukan gerakan dan mobilisasi, e. Selama prosedur pasien
tidak boleh batuk dan mengejan.7,8

Nyeri punggung
Tusukan jarum yang mengenai kulit, otot dan ligamentum dapat
menyebabkan nyeri punggung. Nyeri ini tidak berbeda dengan nyeri yang
menyertai anestesi umum, biasnya bersifat ringan sehingga analgetik post operatif
biasanya bias menutup nyeri ini. Relaksasi otot yang berlebih pada posisi litotomi
dapat menyebabkan ketegangan ligamentum lumbal selama spinal anestesi. Rasa
sakit punggung setelah spinal anestesi sering terjadi tiba-tiba dan sembuh dengan
sendirinya setelah 48 jam atau dengan terapi konservatif. Adakalanya spasme otot
paraspinosus menjadi penyebab.Error! Reference source not found.

23
Dapat diberikan penanganan dengan istirahat, psikologis, kompres panas
pada daerah nyeri dan analgetik antiinflamasi yang diberikan dengan
benzodiazepine akan sangat berguna.
Cauda Equina Sindrom
Terjadi ketika cauda equine terluka atau tertekan. Tanda-tanda meliputi.
Penyebab adalah traum adan toksisitas. Ketika terjadi injeksi yang traumatic
intraneural, diasumsikan bahwa obat yang diinjeksikan telah memasuki LCS,
bahan-bahan ini bias menjadi kontaminan sepeti deterjen atau antiseptic atau
bahan pengawet yang berlebihan.2,Error! Reference source not found.
Penggunaan obat anestesi local yang tidak neurotoksik terhadap cauda equine
merupakan salah satu pencegahan terhadap sindroma tersebut selain menghindari
trauma pada cauda equine waktu melakukan penusukan jarum spinal. 7,8

Retensi urin
Blockade sentral menyebabkan atonia vesika urinaria sehinggga volume
urine di vesika urinaria jadi banyak. Blockade simpatis eferen (T5-L1)
menyebabkan kenaikan tonus sfingter yang menghasilkan retensi urin. Spinal
anestesi menurunkan 5 -10% filtrasi glomerulus, perubahan ini sangat tampak
pada pasien hipovolemia. Retensi post spinal anestesi mungkin secara moderat
diperpanjang karena S2 dan S3 berisi serabut-serabut ototnomik kecil dan
paralisisnya lebih lama daripada serabut-serabut yang lebih besar,2,Error! Reference

source not found.

Meningitis
Munculnya bakteri pada ruang subarakhnoid tidak mungkin terjadi jika
penanganan klinis dilakukan dengan baik. Meningitis aseptic mungkin
berhubungan dengan injeksi iritan kimiawi dan telah dideskripsikan tetapi jarang
terjadi dengan peralatan sekali pakai dan jumlah larutan anestesi murni local yang
memadai.2,5

Spinal hematom

24
Meski angka kejadiannnya kecil, spinal hematom merupakan bahaya besar
bagi klinis karena sering tidak mengetahui sampai terjadi kelainan neurologist
yang membahayakan. Terjadi akibat trauma jarum spinal pada pembuluh darah di
medulla spinali. Dapat secara spontan atau ada hubungannnya dengan kelainan
neoplastic. Hematom yang berkembang di kanalis spinalis dapat menyebabkan
penekanan medulla spinalis yang menyebabkan iskemik neurologist dan
paraplegi. Tanda dan gejala tergantung pada level yang terkena, umumnya
meliputi: mati rasa, kelemahan otot, kelainan BAB, kelainan sfingter kandung
kemih, sakit pinggang yang berat.2,3
Faktor resiko: abnormalitas medulla spinalis, kerusakan hemostasis,
kateter spinal yang tidak tepat posisinya, kelainan vesikuler, penusukan berulang-
ulang. Apabila ada kecurigaan maka pemeriksaan MRI, myelografi harus segera
dilakukan dan dikonsultasikan ke ahli saraf. Banyak perbaikan neurologist pada
pasien spinal hematomyang segera mendapatkan dekompresi pembedahan
(laminektomi) dalam waktu 8-12 jam.2,3

Teknik Anestesi Spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat. Adapun langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal
adalah sebagai berikut:Error! Reference source not found.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.
Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah
teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan
pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.

25
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-
3ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa 10cc.
Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor
yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi
menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit
berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda
yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar
arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat
dimasukan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum
dewasa ± 6cm.

26
KESIMPULAN

Anestesi spinal adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat


anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut
juga sebagai blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan
bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang subarachnoid di
daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5. Anestesi spinal
membutuhkan pemilihan kasus yang selektif. Dengan memperhatikan indikasi dan
kontraindikasinya. Oleh karena itu perlu dilakukan monitoring berkala dan
penatalaksanaan yang tepat untuk mengatasi komplikasi yang terjadi.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Spinal, Epidural, and Caudal Blocks.
Clinical Anesthesiology. 5th ed. USA; Lange Medical Books / Mc Graw Hill
Medical Publishing Division; 2013; 937-974.

2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Analgesia Regional. Petunjuk Praktis
Anestesiologi Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007; 5: 105-120.

3. Kristanto S. Analgesia Regional. Anestesiologi. Jakarta; Bagian Anestesiologi


dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009; 22: 109-
114.

4. Bernards CM. Epidural and Spinal Anesthesia. Clinical Anesthesia.


Philadelpia, Lippincot Williams and Wilkins; 2006; 691-717.

5. http://ejournal.ukrida.ac.id/ojs/index.php/Meditek/article/view/896 (Cited 12
June 2021)

6. http://journal.fk.unpad.ac.id/index.php/jap/article/download/1171/pdf (Cited
12 June 2021)

28
7. Sulistio K. Analgesia Regional. Kumpulan Kuliah Anestesiologi. Jakarta;
Bursa Kedokteran Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2007; 15: 107-118.

8. Birnbach DJ, Ferous F. Complication of Obstetric Regional Anesthesia. San


Fransisco: Churcill Livingstone; 2000; 235-241.

29

Anda mungkin juga menyukai