Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH KEPERAWATAN PENYAKIT TROPIS

RABIES

Dosen Pembimbing : Ns.Arif Tirtana.,S.Kep,M.Kep

Disusun oleh:

Dian Justikarini (M14.01.0012) Fika Rahmania (M14.01.0014)

Haderiani(M14.01.0016) Kurnia Ayu S.P(M14.01.0018)

Nurasia Oktiani (M14.01.0020) Okta Risya Safitri (M14.01.0022)

Siska Anisarani (M14.01.0024) Susi Susanti (M14.01.0027)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MADANI

YOGYAKARTA 2016/2017
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanhu wa Ta’ala atas
rahmat dan karunia-Nya lah sehingga penulisan makalah ini yang berjudul
“RABIES” dapat terselesaikan dengan baik tepat pada waktunya. Apapun yang saya
sajikan semoga selalu bermanfaat bagi para pembacanya .

Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan baik
isi maupun tehnik penulisan, untuk itu kritik dan saran sangat diperlukan untuk
perbaikan.

Yogyakarta, 1 November 2016

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .......................................................................................................... 2

Daftar Isi ................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang .............................................................................................. 4


B. Tujuan ........................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi ......................................................................................................... 6
B. Sejarah .......................................................................................................... 6
C. Etiologi .......................................................................................................... 7
D. Masa inkubasi ............................................................................................... 8
E. Gejala klinis ................................................................................................. 9
F. Type rabies pada anjing ............................................................................... 11
G. Patologis ....................................................................................................... 11
H. Diagnosis ....................................................................................................... 12
I. Epidemiologi ................................................................................................. 14
J. Pencegahan dan Pengendalian Rabies .......................................................... 22

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................... 26
B. Saran .............................................................................................................. 26

Daftar pustaka ........................................................................................................... 27

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit rabies biasanya dikenal dengan istilah awam penyakit anjing
gila. Penyakit ini dapat menyerang beberapa mamalia seperti anjing, kucing,
termasuk manusia. Virus rabies berbentuk peluru dengan komposisi RNA,
lipid, karbohidrat dan protein. Virus rabies tergolong unik karena dapat
berkembang pada berbagai macam spesies mamalia dan bersifat neurofilik
(saraf).
Rabies dapat menular dari hewan ke hewan, dari manusia ke manusia
dan dari hewan ke manusia. Penularan dapat melalui gigitan dan non-gigitan
(transplantasi, kontak dengan bahan mengandung virus rabies pada kulit lecet
atau mukosa). Binatang dan manusia yang terinfeksi rabies akan memberikan
gejala yang cukup khas walaupun tetap harus dikonfirmasi dengan
pemeriksaan penunjang dan dengan teliti menggali riwayat gigitan atau
kontak binatang.
Di Indonesia rabies pada hewan sudah ditemukan sejak tahun 1884, dan
kasus rabies pada manusia pertama kali ditemukan pada tahun 1894 di Jawa
Barat. Angka kematian yang tinggi ini disebabkan karena tidak adanya obat
untuk rabies, terlambatnya intervensi medis menyebabkan angka kematian
yang tinggi, dan jarang dilaksanakannya penanganan pertama luka gigitan
anjing dengan mencuci luka dengan sabun dan air mengalir. Selain itu rabies
pada dua sampai dua belas minggu pertama, bahkan bisa sampai bertahun-
tahun, hanya menunjukkan gejala tidak khas seperti influenza biasa sehingga
pasien yang dibawa ke rumah sakit sudah jatuh ke tahap penyakit yang lebih
parah.. Pasien biasanya meninggal dua sampai sepuluh hari setelah
menunjukkan gejala pertama.
Sampai saat ini tidak ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit
rabies. WHO merekomendasikan prosedur profilaksis pasca-terpapar (P.E.P.,

4
post-exposure prophylaxis) (setelah kontak melalui gigitan maupun non-
gigitan). Prosedur ini terdiri dari pembersihan dan perawatan luka dan
imunisasi aktif dengan vaksin (VAR). Rabies adalah penyakit yang dapat
sepenuhnya dicegah. Gejala pada hewan reservoir cukup khas sehingga hewan
yang terinfeksi dapat dimusnahkan dan hewan yang beresikopun dapat
dicegah menjadi sakit melalui vaksinasi secara rutin.

B. Tujuan
1. Menambah pengetahuan dan wawasan mahasiswa tentang penyakit rabies
2. Mengetahui gejala dan dampak yang ditimbulkan oleh virus rabies
3. Mengetahui cara pencegahan dan penanganan pasien yang terinfeksi
rabies

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit hewan yang
disebabkan oleh virus, bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat.
Hewan berdarah panas dan manusia. Rabies bersifat zoonosis artinya penyakit
tersebut dapat menular dari hewan ke manusia dan menyebabkan kematian
pada manusia dengan CFR (Case Fatality Rate) 100%. Virus rabies
dikeluarkan bersama air liur hewan yang terinfeksi dan disebarkan
melalui luka gigitan atau jilatan.

B. Sejarah Rabies
Rabies merupakan penyakit hewan yang sangat terkenal, bahkan
sudah dikenal sejak ribuan tahun sebelum masehi. Prasasti rabies yang
berisikan aturan denda bagi pemilik anjing, yang positif rabies menggigit
manusia hingga mati telah dibuat pada zaman kekuasaan Raja Hammurabi
(2300 SM). Rabies pada anjing dan kucing telah digambarkan oleh
Democritus (500 SM) dan Aristoteles (322 SM), Celcus (100 tahun
sesudah masehi) untuk pertama kalinya memperkenalkan hubungan antara
gejala takut air (hidrofobia) pada manusia dengan rabies pada hewan.
Di Indonesia rabies pertama kali dilaporkan pada kerbau oleh Esser
(1884), kemudian oleh Penning pada anjing (1889) dan oleh E.V. De
Haan pada manusia (1894), selanjutnya selama pendudukan Jepang situasi
daerah tertular rabies tidak diketahui dengan pasti, namun setelah Perang
Dunia II peta rabies di Indonesia berubah. Secara kronologis tahun
kejadian penyakit rabies mulai di Jawa Barat (1948), Sumatera Barat,
Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sumatera Utara (1956), Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Utara (1958), Sumatera Selatan (1959), D.I. Aceh

6
(1970), Jambi dan Yogyakarta (1971), Bengkulu, DKI Jakarta dan
Sulawesi Tenggara (1972), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975),
Kalimantan Tengah (1978), Kalimantan Selatan (1983) dan P. Flores (1997).
Pada akhir tahun 1997, KLB (Kejadian Luar Biasa) rabies muncul
di Kabupaten Flores Timur-NTT sebagai akibat pemasukan secara ilegal
anjing dari pulau Buton-Sulawesi Tenggara yang merupakan daerah endemik
rabies. Sampai dengan saat ini selain beberapa provinsi di kawasan Timur
Indonesia yang tersebut diatas pulau-pulau kecil di sekeliling Pulau
Sumatera masih dinyatakan bebas rabies.

C. Etiologi
Virus rabies merupakan virus RNA, termasuk dalam familia
Rhabdoviridae, genus Lyssa. Virus berbentuk peluru atau silindris dengan
salah satu ujungnya berbentuk kerucut dan pada potongan melintang
berbentuk bulat atau elip (lonjong). Virus tersusun dari ribonukleokapsid
dibagian tengah, memiliki membran selubung (amplop) dibagian luarnya
yang pada permukaannya terdapat tonjoloan (spikes) yang jumlahnya
lebih dari 500 buah. Pada membrane selubung (amplop) terdapat
kandungan lemak yang tinggi.
Virus berukuran panjang 180 nm, diameter 75 nm, tonjolan berukuran
9 nm, dan jarak antara spikes 4-5 nm. Virus peka terhadap sinar ultraviolet,
zat pelarut lemak, alkohol 70 %, yodium, fenol dan klorofrom. Virus
dapat bertahan hidup selama 1 tahun dalam larutan gliserin 50 %. Pada
suhu 6000C virus mati dalam waktu 1 jam dan dalam penyimpanan
kering beku (freezedried) atau pada suhu 40 C dapat tahan selama
bebarapa tahun.

7
Gambar 2.1. Gambar Struktur Virus Rabies

D. Masa Inkubasi
Masa inkubasi rabies pada anjing 10 – 15 hari, dan pada hewan
lain 3-6 minggu kadang-kadang berlangsung sangat panjang 1-2 tahun.
Masa inkubasi pada manusia yang khas adalah 1-2 bulan tetapi bisa 1 minggu
atau selama beberapa tahun (mungkin 6 tahun atau lebih). Biasanya lebih
cepat pada anak-anak dari pada dewasa. Kasus rabies manusia dengan periode
inkubasi yang panjang (2 sampai 7 tahun) telah dilaporkan, tetapi jarang
terjadi.Masa inkubasi bisa tergantung pada umur pasien, latar belakang
genetik, status immun, strain virus yang terlibat, dan jarak yang harus
ditempuh virus dari titik pintu masuknya ke susunan saraf pusat. Masa
inkubasi tergantung dari lamanya pergerakan virus dari luka sampai ke otak,
pada gigitan dikaki masa inkubasi kira-kira 60 hari, pada gigitan di
tangan masa inkubasi 40 hari, pada gigitan di kepala masa inkubasi kira-
kira 30 hari.

8
E. Gejala Klinis
a) Pada Hewan
Gejala klinis pada hewan dibagi menjadi tiga stadium :
1. Stadium Prodromal
Keadaan ini merupakan tahapan awal gejala klinis yang
dapat berlangsung antara 2-3 hari. Pada tahap ini akan terlihat
adanya perubahan temperamen yang masih ringan. Hewan mulai
mencari tempat-tempat yang dingin/gelap, menyendiri, reflek kornea
berkurang, pupil melebar dan hewan terlihat acuh terhadap tuannya.
Hewan menjadi sangat perasa, mudah terkejut dan cepat berontak bila
ada provokasi. Dalam keadaan ini perubahan perilaku mulai diikuti oleh
kenaikan suhu badan.
2. Stadium Eksitasi
Tahap eksitasi berlangsung lebih lama daripada tahap
prodromal, bahkan dapat berlangsung selama 3-7 hari. Hewan
mulai garang, menyerang hewan lain ataupun manusia yang dijumpai
dan hipersalivasi. Dalam keadaan tidak ada provokasi hewan menjadi
murung terkesan lelah dan selalu tampak seperti ketakutan. Hewan
mengalami fotopobi atau takut melihat sinar sehingga bila ada
cahaya akan bereaksi secara berlebihan dan tampak ketakutan.
3. Stadium Paralisis.
Tahap paralisis ini dapat berlangsung secara singkat,
sehingga sulit untuk dikenali atau bahkan tidak terjadi dan
langsung berlanjut pada kematian. Hewan mengalami kesulitan
menelan, suara parau, sempoyongan, akhirnya lumpuh dan mati.
b) Pada Manusia
Gejala klinis pada manusia dibagi menjadi empat stadium.
1. Stadium Prodromal

9
Gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan saraf
pusat adalah perasaan gelisah, demam, malaise, mual, sakit kepala,
gatal, merasa seperti terbakar, kedinginan, kondisi tubuh lemah dan rasa
nyeri di tenggorokan selama beberapa hari.
2. Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat
bekas luka kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang
berlebihan terhadap ransangan sensoris.
3. Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggi
dengan gejala berupa eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus,
ketakutan terhadap rangsangan cahaya, tiupan angin atau suara keras.
Umumnya selalu merintih sebelum kesadaran hilang. Penderita menjadi
bingung, gelisah, rasa tidak nyaman dan ketidak beraturan.
Kebingungan menjadi semakin hebat dan berkembang menjadi
argresif, halusinasi, dan selalu ketakutan. Tubuh gemetar atau kaku
kejang.
4. Stadium Paralis
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium
eksitasi. Kadang-kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala
eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini
karena gangguan sumsum tulang belakang yang memperlihatkan
gejala paresis otot-otot pernafasan.

10
F. Type Rabies Pada Anjing

a. Rabies Ganas

1) Tidak menuruti lagi perintah pemilik.


2) Air liur keluar berlebihan
3) Hewan menjadi ganas, menyerang, atau menggit apa saja yang ditemui
dan ekor dilekungkan kebawah perut diantara dua paha.
4) Kejang-kejang kemudian lumpuh, biasanya mati setelah 4-7 hari sejak
timbul atau paling lama 12 hari setelah penggigitan.

b. Rabies Tenang

1. Bersembunyi di tempat gelap dan sejuk.


2. Kejang-kejang berlangsung singkat bahkan sering tidak terlihat.
3. Kelumpuhan tidak mampu menelan, mulut terbuka dan air liur keluar
berlebihan.
4. Kematian terjadi dalam waktu singkat.

G. Patogenesis
Cara penularan melalui gigitan dan non gigitan (aerogen,
transplantasi, kontak dengan bahan mengandung virus rabies pada kulit
lecet atau mukosa). Cakaran oleh kuku hewan penular rabies adalah
berbahaya karena binatang menjilati kuku-kukunya. Saliva yang ditempatkan
pada permukaan mukosa seperti konjungtiva mungkin infeksius. Ekskreta
kelelawar yang mengandung virus rabies cukup untuk menimbulkan bahaya
rabies pada mereka yang masuk gua yang terinfeksi dan menghirup
aerosol yang diciptakan oleh kelelawar. Penularan rabies melalui
transplan kornea dari penderita dengan ensefalitis rabies yang tidak
didiagnosis pada resipen/penerima sehat telah direkam dengan cukup sering.

11
Penularan dari orang ke orang secara teoritis mungkin tetapi kurang
terdokumentasi dan jarang terjadi.
Luka gigitan biasanya merupakan tempat masuk virus melalui
saliva, virus tidak bisa masuk melalui kulit utuh. Setelah virus rabies masuk
melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada
tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung
serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan
fungsinya.Bagian otak yang terserang adalah medulla oblongata dan
annon’s hoorn.
Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan
menyebar luas dalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi
khusus terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak.
Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian ke
arah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf
otonom. Dengandemikian virus ini menyerang hampir tiap organ dan
jaringan didalam tubuh dan berkembang biak dalam jaringan-jaringan seperti
kelenjar ludah, ginjal dan sebagainya. Gambaran yang paling menonjol
dalaminfeksi rabies adalah terdapatnya badan negri yang khas yang
terdapat dalam sitoplasma sel ganglion besar.

H. Diagnosa
a) Diagnosa Lapangan
Untuk memperoleh tingkat akurasi yang tinggi, cara yang paling
tepat adalah dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut ;
1. Anjing yang menggigit harus ditangkap dan diobservasi.
2. Riwayat penggigitan, ada tidaknya provokasi.
3. Jumlah penderita gigitan.
Penahanan dan observasi klinis selama 10 - 15 hari dilakukan
terhadap anjing, kucing yang walaupun tampak sehat dan diketahui telah

12
menggigit orang (sedangkan anjing atau kucing yang tidak ada pemiliknya
dapat langsung dibunuh dan diperiksa otaknya)
Berdasarkan pengalaman di lapangan, anjing menggigit lebih dari
satu orang tanpa didahului oleh adanya provokasi dan anjing tersebut mati
dalam masa observasi yang kemudian specimen otaknya diperiksa
dilaboratorium hasilnya adalah positif rabies, selanjutnya indikasi
kecenderungan rabies di lapangan tanpa adanya tindakan provokasi dapat
ditentukan sebagai berikut :
1. Hewan menggigit 1 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies
25%.
2. Hewan menggigit 2 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies
50%.
3. Hewan menggigit 3 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies
75%.
4. Hewan menggigit 4 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies
100 %.
b) Diagnosa Laboratorium
Diagnosa rabies secara laboratorium didasarkan atas :
a. Penemuan badan negri (negri body)
b. Penemuan antigen
c. Penemuan virus (isolasi)

Antigen, badan negri dan virus banyak ditemukan pada sel saraf
(neuron) sedangkan kelenjar ludah dapat mengandung antigen dan virus
tetapi badan negri tidak selalu dapat ditemukan pada kelenjar ludah
anjing. Adanya kontaminasi pada specimen dapat mengganggu
pemeriksaan dan khususnya untuk ”isolasi virus” pengiriman harus
dilakukan sedemikian rupa sehingga kelestarian hidup virus dalam
specimen tetap terjamin sampai ke laboratorium.

13
Bahan pemeriksaan dapat berupa seluruh kepala, otak,
hippocampus, cortex cerbri dan cerebellum, preparat pada gelas objek dan
kelenjar ludah. Bila negri body tidak ditemukan, supensi otak
(hippocampus) atau kelenjar ludah sub maksiler diinokulasikan
intrakranial pada hewan coba (suckling animals), misalnya hamster,
tikus (mice) atau kelinci (rabbits).

Cara diagnosis rabies secara laboratoris dapat dilakukan dengan :

a. Mikroskopis untuk melihat dan menemukan badan negri, yakni


pewarnaan cepat Sellers, FAT (Fluorescence Antibody Technique) dan
histopatologik.

b. Antigen-antibody reaksi dengan uji virus nertralisasi, gel agar


presipitasi atau reaksi peningkatan komplemen dan FAT Isolasi virus
secara biologis pada mencit atau in vitro pada biakan jaringan
diikuti identifikasi isolat dengan cara pewarnaan FAT atau uji virus
netralisasi.

I. Epidemiologi
Rabies telah menyebabkan kematian pada orang dalam jumlah
yang cukup banyak. Tahun 2000, World Health Organization (WHO)
memperkirakan bahwa setiap tahun di dunia ini terdapat sekurang-kurangnya
50.000 orang meninggal karena rabies.
Rabies bisa terjadi disetiap musim atau iklim, dan kepekaan terhadap
rabies kelihatannya tidak berkaitan dengan usia, seks atau ras.
Di Amerika Serikat rabies terutama terjadi pada musang, raccoon,
serigala dan kelelawar. Rabies serigala terdapat di Kanada, Alaska dan New
York. Kelelawar penghisap darah (vampir), yang menggigit ternak
merupakan bagian penting siklus rabies di Amerika latin. Eropa

14
mempunyai rabies serigala, di Asia dan Afrika masalah utamanya adalah
anjing gila.
Beberapa daerah di Indonesia yang saat ini masih tertular rabies
sebanyak 16 propinsi, meliputi Pulau Sumatera (Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung),
Pulau Sulawesi (Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Tenggara), Pulau Kalimantan (Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur) dan Pulau Flores. Kasus
terakhir yang terjadi adalah Propinsi Maluku (Kota Ambon dan Pulau
Seram).
Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat telah dinyatakan
bebas dari rabies melalui SK Menteri Pertanian No. 566 Tahun 2004, Banten
sejak tahun 1996, dan provinsi Jawa Barat sejak tahun 2001. Dengan
diterbitkannya SK Mentan bebas rabies ini, maka seluruh pulau Jawa telah
bebas rabies karena Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta telah
lebih dahulu dibebaskan berdasarkan SK Mentan No. 897 Tahun 1997.
Daerah yang secara historis bebas rabies (belum pernah ada
kasus) adalah provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur
(kecuali Pulau Flores), Kalimantan Barat, Papua, Irian Jaya Barat,
Maluku Utara, Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung dan
sampai saat ini tetap dapat dipertahankan bebas rabies.
Manusia yang menderita rabies selalu berakhir dengan kematian
(100% Case Fatality Rate), gigitan oleh anjing menempati persentase
tertinggi (99,4%) diikuti kucing (0,29%) dan hewan lain, kera dan hewan
piaraan atau liar lainnya (0,31%). Bagian tubuh manusia yang digigit
meliputi kepala (5%), tangan (28%), kaki(57%), lain-lain (10%).

15
1. Kejadian Rabies Dilapangan

Kejadian (kasus) positif rabies di lapangan dipengaruhi oleh :

a. Pola Penggigitan
Ada 2 pola penggigitan oleh anjing terhadap manusia yaitu :
1. Penggigitan karena provokasi
Penggigitan yang terjadi disini didahului oleh adanya gangguan
langsung atau tidak langsung. Pada anjing yang sedang beranak
biasanya naluri untuk melindungi anaknya sangat kuat sehingga
sangat mudah sekali anjing menyerang dan menggigit apalagi kalau
diganggu. Bentuk-bentuk provokasi terhadap anjing sangat beragam
dari mulai memukul, menyeret ekor sampai dengan menggoda
anjing yang sedang tidur. Hal tersebut akan menstimulasi anjing
untuk menggigit. Bahkan pada kejadian lain orang membawa
makanan yang lewat didepan anjing yang sedang lapar dapat
memicu terjadinya penggigitan.
2. Penggigitan tanpa provokasi
Dalam hal ini anjing menyerang dan menggigit secara tiba-tiba
tanpa adanya gangguan dalam bentuk apapun. Dilapangan anjing
yang menggigit secara tiba-tiba tadi biasanya sudah menjadi
”wandering-dog” atau anjing lontang-lantung yang berjalan tanpa
tujuan dan menyerang serta menggigit siapa saja yang
ditemuinya. Anjing tersebut biasanya adalah anjing liar atau
anjing peliharaan yang ditelantarkan sehingga menjadi liar.

b. Pola Penyebaran

Penularan rabies di lapangan (rural rabies) berawal dari suatu


kondisi anjing yang tidak dipelihara dengan baik atau anjing liar yang
merupakan ciri khas yang ada di perdesaan yang berkembang dan

16
sulit dikendalikan. Suatu kondisi yang sangat kondusif untuk
menjadikan suatu daerah dapat bertahan menjadi daerah endemis.
Secara alami yang sering terjadi pola penyebaran rabies. Pada
umumnya manusia merupakan ”dead end” atau terminal akhir dari
korban gigitan. Karena sampai saat ini belum ada kasus manusia
menggigit anjing. Baik anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar
maupun anjing peliharaan, setiap saat dapat menggigit manusia.
Sementara itu anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar dapat
menggigit satu sama lain. Kalau salah satu diantara anjing yang
menggigit tersebut positif rabies, maka akan terjadi kasus-kasus positif
(+) rabies yang semakin tinggi.

2. Pembagian Status Daerah Rabies

1. Daerah Bebas

Kriterianya :

a. Daerah yang secara historis tidak pernah ditemukan penyakit


rabies.
b. Daerah yang tertular rabies tapi dalam 2 tahun terakhir tidak ada
kasus secara klinis dan epidemiologis serta sudah dikonfirmasi
secara laboratoris.

2. Daerah Tertular

Kriterianya :

Daerah yang dalam 2 tahun terakhir pernah ada kasus pada hewan
dan manusia (baik secara berurutan atau tunggal) secara klinis
epidemiologis dan dikonfirmasi secara laboratoris. Khusus untuk
manusia kasusnya berasal dari daerah tersebut (bukan kasus import)

17
3. Daerah Tersangka

Kriterianya :

Daerah yang dalam 2 tahun terakhir ada kasus rabies secara klinis
dan epidemiologis tapi belum dibuktikan secara laboratoris.

Daerah yang berbatasan langsung dalam satu daratan dengan daerah


tertular.

3. Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Tersangka Rabies


Penderita gigitan Anjing, Kucing, Kera segera :
a. Cuci luka gigitan dengan sabun, detergent lain di air mengalir selama
10 –15 menit dan beri anti septik (betadine, alkohol 70 %, obat merah
dll)
b. Segera ke Puskesmas/ Rabies Center/ Rumah Sakit untuk mencari
pertolongan selanjutnya. Di Puskesmas/ Rabies Center/ Rumah Sakit
di lakukan :

Penanganan luka gigitan :

a. Ulangi cuci luka gigitan dengan sabun, detergent lain di air mengalir
selama 10– 15 menit dan beri anti septik (betadine, alkohol 70 %, obat
merah dll)

b. Amamnesis apakah didahului tindakan provokatif, hewan yang


menggigit menunjukkan gejala rabies, penderita gigitan hewan pernah
divaksinasi dan kapan, hewan penggigit pernah divaksinasi dan kapan.

18
Identifikasi luka gigitan:

1. Luka resiko tinggi : Jilatan/luka pada mukosa,luka diatas daerah bahu


(mukosa, leher, kepala), luka pada jari tangan, kaki, genetalia, luka
lebar/dalam dan luka yang banyak multiple wound)

2. VAR (Vaksin Anti Rabies)

1. Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV)

Produksi Institute Merieux Perancis (Verorab) Dosis Dewasa/anak


sama yaitu : hari ke 0 (pertama berkunjung ke Puskesmas/ Rabies
Center/ Rumah Sakit). Diberikan 2 dosis @ 0,5 ml diberikan
deltoideus kanan/kiri. Hari ke 7 dan 21 diberikan 0,5 ml lagi secara
intra muskuler di deltoideus kanan/kiri. Apabila VAR Verorab +
SAR perlu diberikan booster pada hari ke 90.

2. Suckling Mice Brain Veccine (SMBV)

Produksi Bio Farma Bandung. Dosis : Dewasa, dasar 2 ml,


diberikan 7x setiap hari sub cutan didaerah sekitar pusar/umbillus.
Ulangan 0,25 ml diberikan ke 11,15,30 dan 90 secara intra cutan
dibagian fleksor lengan bawah. Anak-anak 3 tahun ke bawah, dasar 1
ml diberikan 7x setiap hari sub cutan disekitar daerah sekitar
pusar/umbillus. Ulangan 0,1 ml diberikan hari ke 11,15,30,dan 90
secara intra cutan dibagian fleksor lengan bawah. Pemberian SMBV
+ SAR (Serum Anti Rabies) Jadwal pemberian VAR dasar sama
ulangan boostar jadwalnya 11, 15, 25, 35, dan 90.

3. SAR (Serum Anti Rabies)

SAR Heterolog (serum kuda) produksi Bio Farma Bandung,


dosis 40 IU/Kg BB, harus dilakukan skin test positif tidak boleh

19
diberikan, kemasan vial = 20 ml(1 ml = 100 IU) Serum omolog, misal
IMDGAM produksi Pasteur Merieux Perancis, dosis 20 IU/Kg
kemasan Vial 2 ml (1ml = 150 IU) cara pedisuntikkan secara infiltrasi
disekitar luka sebanyak mungkin sisanya intra muskuler di
gluleus/pantat.

3. Tipe-tipe Vaksin

Semua vaksin rabies untuk manusia mengandung virus rabies


yang telah diinaktifkan.

1. Vaksin sel diploid manusia (HDCV)

Untuk mendapkatkan suatu suspensi virus rabies yang bebas dari


protein asing dan protein sistem saraf, virus rabies diadaptasi
untuk tumbuh dalam lini sel fibroblast normal manusia WI-38.
Preparasi virus rabies dipekatkan oleh ultrafiltrasi dan
diinaktivasi dengan β-propiolakton. Tidak ada reaksi ensefalitik
ataupun anafilaktik serius yang pernah dilaporkan.

2. Vaksin rabies, terabsorbsi (RVA)

Suatu vaksin yang dibuat dalam lini sel diploid yang berasal
dari sel-sel paru janin kera rhesus diijinkan di AS tahun 1988.
Virus vaksin ini diinaktivasi oleh β-propiolakton dan dipekatkan
oleh adsorbsi dengan aluminium fosfat.

3. Vaksin sel embrio ayam yang dimurnikan (PCEC)

Vaksin ini dipreparasi dari strain virus rabies fixed flury LEP
yang tumbuh dalam fibroblast ayam. Diinaktivasi oleh β-
propiolakton dan dimurnikan lebih lanjut oleh sentrifugasi zonal.

20
4. Vaksin jaringan saraf

Dibuat dari otak domba, kambing atau tikus yang terinfeksi dan
digunakan di banyak bagian dunia termasuk Asia, Afrika dan
Amerika Selatan. Menimbulkan sensitisasi pada jaringan saraf dan
menghasilkan ensefalitis pasca vaksinasi (suatu penyakit alergi)
dengan frekuensi subscansial (0,05%). Perkiraan efektivitasnya
pada orang yang digigit oleh hewan buas/gila bervariasi dari 5
sampai 50%.

5. Vaksin embrio bebek

Vaksin ini dikembangkan untuk meminimalkan masalah


ensefalitis pasca vaksinasi. Virus rabies ditanam dalam telur bebek
berembrio. Jarang terdapat reaksi anafilaktik, tetapi antigenisitas
vaksinnya rendah, sehingga beberapa dosis harus diuji untuk
mendapatkan respon antibodi yang memuaskan.

6. Virus hidup yang dilemahkan

Virus hidup yang dilemahkan yang diadaptasi untuk tumbuh


pada embrio ayam (misalnya, strai flury) digunakan untuk
hewan tetapi tidak untuk manusia. Kadang-kadang vaksin
demikian bisa menyebabkan kematian oleh rabies pada kucing
atau anjing yang disuntik. Virus rabies yang tumbuh pada biakan sel
hewan yang berlainan telah dipakai sebagai vaksin untuk hewan
piaraan.

21
J. Pencegahan dan Pengendalian Rabies

1. Pencegahan

a. Pencegahan Primer

1. Tidak memberikan izin untuk memasukkan atau menurunkan


anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya di daerah bebas rabies.

2. Memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang


masuk tanpa izin ke daerah bebas rabies.

3. Dilarang melakukan vaksinasi atau memasukkan vaksin rabies


kedaerah-daerah bebas rabies.

4. Melaksanakan vaksinasi terhadap setiap anjing, kucing dan kera,


70% populasi yang ada dalam jarak minimum 10 km disekitar
lokasi kasus.

5. Pemberian tanda bukti atau pening terhadap setiap kera, anjing,


kucing yang telah divaksinasi.

6. Mengurangi jumlah populasi anjing liar atan anjing tak bertuan


dengan jalan pembunuhan dan pencegahan perkembangbiakan.

7. Anjing peliharaan, tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran, harus


didaftarkan ke Kantor Kepala Desa/Kelurahan atau Petugas
Dinas Peternakan setempat.

8. Anjing harus diikat dengan rantai yang panjangnya tidak boleh lebih
dari 2 meter. Anjing yang hendak dibawa keluar halaman harus
diikat dengan rantai tidak lebih dari 2 meter dan moncongnya
harus menggunakan berangus (beronsong).

22
9. Menangkap dan melaksanakan observasi hewan tersangka
menderita rabies, selama 10 sampai 14 hari, terhadap hewan
yang mati selama observasi atau yang dibunuh, maka harus
diambil spesimen untuk dikirimkan ke laboratorium terdekat untuk
diagnosa.

10. Mengawasi dengan ketat lalu lintas anjing, kucing, kera dan
hewan

sebangsanya yang bertempat sehalaman dengan hewan tersangka rabies.

11. Membakar dan menanam bangkai hewan yang mati karena


rabies sekurang-kurangnya 1 meter.

b. Pencegahan Sekunder

Pertolongan pertama yang dapat dilakukan untuk


meminimalkan resiko tertularnya rabies adalah mencuci luka gigitan
dengan sabun atau dengan deterjen selama 5-10 menit dibawah air
mengalir/diguyur. Kemudian luka diberi alkohol 70% atau Yodium
tincture. Setelah itu pergi secepatnya ke Puskesmas atau Dokter yang
terdekat untuk mendapatkan pengobatan sementara sambil menunggu
hasil dari rumah observasi hewan.

Resiko yang dihadapi oleh orang yang mengidap rabies sangat


besar. Oleh karena itu, setiap orang digigit oleh hewan tersangka rabies
atau digigit oleh anjing di daerah endemic rabies harus sedini
mungkin mendapat pertolongan setelah terjadinya gigitan sampai
dapat dibuktikan bahwa tidak benar adanya infeksi rabies.

23
c. Pencegahan Tersier

Tujuan dari tiga tahapan pencegahan adalah membatasi


atau menghalangi perkembangan ketidakmampuan, kondisi, atau
gangguan sehingga tidak berkembang ke tahap lanjut yang
membutuhkan perawatan intensif yang mencakup pembatasan
terhadap ketidakmampuan dengan menyediakan rehabilitasi. Apabila
hewan yang dimaksud ternyata menderita rabies berdasarkan
pemeriksaan klinis atau laboratorium dari Dinas Perternakan, maka
orang yang digigit atau dijilat tersebut harus segera mendapatkan
pengobatan khusus (Pasteur Treatment) di Unit Kesehatan yang
mempunyai fasilitas pengobatan Anti Rabies dengan lengkap.

2. Pengendalian

a. Aturan Perundangan

Upaya pencegaan dan pengendalian rabies telah dilakukan


sejak lama, di Indonesia dilaksanakan melalui kegiatan terpadu secara
lintas sektoral antara lain dengan adanya Surat Keputusan Bersama 3
Menteri yaitu Menteri Kesehatan, Menteri Pertanian, dan Menteri
Dalam Negeri No: 279A/MenKes/SK/VIII/1978; No:
522/Kpts/Um/8/78; dan No: 143/tahun1978.

Penerapan aturan perundangan ini perlu ditegakkan, agar


pelaksanaan di lapangan lebih efektif dan secara tegas memberikan
otoritas kepada pelaksana untuk melakukan kewajibannya sesuai
dengan aturan perundangan yang ada, baik tingkat nasional, tingkat
kawasaan, maupun tingkat lokal.

24
b. Surveilans

Pelaksanaan surveilans untuk rabies merupakan dasar dari


semua program dalam rangka pengendalian penyakit ini. Data
epidemiologi harus dikumpulkan sebaik mungkin, dianalisis,
dipetakan, dan bila mungkin segera didistribusikan secepat mungkin.
Informasi ini juga penting untuk dasar perencanaan,
pengorganisasian, dan pelaksanaan program pengendalian.

c. Vaksinasi Rabies

Untuk mencegah terjadinya penularan rabies, maka anjing, kucing,


atau kera dapat diberi vaksin inaktif atau yang dilemahkan (attenuated).
Untuk memperoleh kualitas vaksin yang efektif dan efisien, ada
beberapa persyaratan yang harus dipenui, baik vaksin yang digunakan
bagi hewan maupun bagi manusia, yakni :

1. Vaksin harus dijamin aman dalam pemakaian.

2. Vaksin harus memiliki potensi daya lindung yang tinggi.

3. Vaksin harus mampu memberikan perlindungan kekebalan yang


lama.

4. Vaksin arus mudah dalam cara aplikasinya.

5. Vaksin harus stabil dan menghasilkan waktu kadaluwarsa yang lama.

6. Vaksin harus selalu tersedia dan mudah didapat sewaktu-waktu


dibutuhkan

25
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Penyakit rabies disebabkan oleh virus rabies dan menular pada manusia
lewat gigitan atau cakaran hewan penderita rabies atau dapat pula lewat luka
yang terkena air liur hewan penderita rabies. Secara patogenesis, setelah virus
rabies masuk lewat luka gigitan, selama dua minggu virus tetap tinggal pada
tempat masuk dan dekatnya. Kemudian, virus akan bergerak mencapai ujung-
ujung serabut saraf posterios tanpa menunjukkan perubahan-perubahan
fungsinya. Masa inkubasi virus ini bervariasi, berkisar antara dua minggu sampai
dua tahun. Tapi umumnya 3-8 minggu, tergantung jarak tempuh virus sebelum
mencapai otak. Sesampainya di otak, virus akan memperbanyak diri dan
menyebar luas dalam semua bagian neuron-neuron, terutama mempunyai
predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak.

Akhirnya virus ini akan mencapai otak dan menyerang banyak bagian
penting otak yang menyebabkan kematian. Setiap ada kasus gigitan hewan
penular rabies harus ditangani dengan cepat dan sesegera mungkin, untuk
mengurangi atau mematikan virus rabies yang masuk pada luka gigitan. Usaha
yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan air (sebaiknya air
mengalir) dan sabun atau ditergent selama 10-15 menit, kemudian diberi
antiseptik (alkohol 70 persen, betadine, obat merah atau lainnya).

B. Saran

Dengan adanya penulisan ini diharapkan agar setiap individu dapat


berupaya mencegah terinfeksi virus rabies karena mengetahui akan bahaya yang
ditimbulkan oleh penyakit ini serta dapat mensosialisasikan tentang penularan
virus kepada pihak lain

26
DAFTAR PUSTAKA

Aditama TY. 2011. Situasi dan Kebijakan Pengendalian Zoonosis di Indonesia


Dalam Rangka Memperkuat Ketahanan Nasional. Direktorat Jenderal PP dan
PL. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Anonimus. 2002. Kiat Vetindo Rabies. Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia
Penyakit Rabies. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Bina
Produksi Peternakan. Departemen Pertanian.
Anonimus. 2007. Laporan Rekapitulasi Frekwensi Penyakit Menular Sub Dinas
Peternakan Dinas Perikanan, Kelautan dan Ketahanan Pangan Kota Makassar.
http://karyatulisilmiah.com/makalah-rabies-di-indonesia/

http://dokumen.tips/documents/makalah-rabies.html

27

Anda mungkin juga menyukai