Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PATOLOGI SISTEMIK VETERINER

“INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS PADA


SISTEM RESPIRASI SAPI”

Nama : Ageng Prasetyo

Nim : 195130100111060

Kelas : 2019 C

No. Absen : 15

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Infectious
Bovine Rhinotracheitis Pada Sistem Respirasi Sapi”ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen
pada mata kuliah Patologi Sistemik. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Infectious bovine rhinotracheitis pada sistem respirasi
sapi bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah
Patologi Sistemik yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun akan kami terima demi
kesempurnaan makalah ini.
Malang, 8 Maretr 2021

Ageng Prasetyo

ii
DAFTAR ISI

MAKALAH.................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................iii
BAB I............................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................ 2
1.3. Tujuan..................................................................................................................2
1.4 Manfaat................................................................................................................2
BABII.............................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................3
2.1 Infectious Bovine Rhinotracheitis........................................................................3
2.2 Sistem Respirasi Sapi.......................................................................................3-4
2.3 Virologi Infectious Bovine Rhinotracheitis..........................................................4
BAB III...........................................................................................................................5
PEMBAHASAN............................................................................................................ 5
2.1 Etiologi Infectious Bovine Rhinotracheitis.......................................................5-6
2.2 Epidemiologi Infectious Bovine Rhinotracheitis.6-Kesalahan! Bookmark tidak
didefinisikan.
2.3 Deskripsi Makroskopis Infectious Bovine Rhinotracheitis7-Kesalahan! Bookmark
tidak didefinisikan.
2.4 Deskripsi Mikroskopis Infectious Bovine Rhinotracheitis...............................8-9
2.5 Patomekanisme Infectious Bovine Rhinotracheitis..............................................9
BAB III.....................................................................................................................10
PENUTUP................................................................................................................ 10
3.1 Kesimpulan.........................................................................................................10
3.2 Saran................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sapi merupakan salah satu hewan ternak ruminan yang banyak dipelihara oleh
peternak di Indonesia. Jumlah sapi yang begitu tinggi di Indonesia termasuk potensi
yang besar di bidang perekonomian bangsa Indonesia. Pemanfaat produk hasil
peternakan sapi begitu melimpah mulai dari dagin, susu, hingga kotoran sapi pun
diolah menjadi produk yang bermanfaat. Dengan jumlah kebutuhan dari tahun ke
tahun yang semakin banyak maka peningkatan jumlah sapi di indonesia pun terus
meningkat. Sehingga banyak masyarakat maupun peternakan yang menambah jumlah
sapinya.
Populasi sapi di indonesia yang begitu tinggi tentu di ibartakan sebagai pisau
bermata dua. Jumlah populasi yang begitu banyak dapat mencukupi kebutuhan daging
dan susu untuk masyarakat di indonesia. Namun manajemen pengelolaan sapi yang
tidak tepat menimbulkan beberapa masalah. Masalah lingkungan dan kesehatan
merupakan salah satu hal penting yang harus diperhatikan. Pembuangan limbah yang
tidak tepat tentunya akan meninmbulkan permasalah di bidang lingkungan yang
cukup besar. Bidang kesehatan sering kali di abaikan, entah kesehatan hewan ternak
maupun kesehatan terkait dengan zoonosis.
Kesehatan hewan ternak merupakan salah satu hal yang sangat penting bagi dunia
peternakana. Karena kesehatan hewan ternak merupakan indikator penting bagi hasil
produk hewan ternak. Masalah kesehatan hewan ternak khusus nya sapi banyak
ditemui, mulai dari masalah kesehatan jantung, respirasi, bakteri, maupun virus.
Infeksi penyakit akibat virus sering ditemui pada sapi. Penyebaran virus pada sapi
tidak hanya membahayakan bagi sapi itu saja namun berkaitan juga dengan kesehatan
manusia. Infeksi pada virus yang menyerang sistem respirasi merupakan salah satu
penyakit yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi bagi dunia peternakan. Salah
satunya yaitu virue herpes tipe I penyebab Infectious Bovine Rhinotracheitis.
Infectious bovine rhinotrcheitis (IBR) merupakan penyakit viral yang menyerang
sistem respirasi pada sapi. Lalu bagaimana dengan penyakit tersebut?. Oleh karena itu
makalah ini dibuat untuk mengetahui mengenai patologis dari penyakit tersebut.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana etiologi penyakit IBR pada sapi?
2. Bagaimana epidemilogi dari penyakit IBR itu sendiri?
3. Bagaimana gejala klinis dari IBR?
4. Bagaimana deskripsi makroskopis organ yang terkena IBR?
5. Bagaimana deskripsi mikroskopis penyakit IBR?
6. Bagaimana Patomekanisme penyakit IBR pada sapi?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui Etiologi penyakit IBR pada sapi
2. Untuk mengetahui epidemilogi dari penyakit IBR
3. Untuk mengetahui gejala klinis dari IBR
4. Untuk mengetahui deskripsi makroskopis organ yang terkena IBR
5. Untuk mengetahui deskripsi mikroskopis penyakit IBR
6. Untuk mengetahui Patomekanisme penyakit IBR pada sap

1.4. Manfaat
1. Memahami mengenai etiologi IBR pada sapi
2. Memahami mengenai epidemologi penyakit IBR
3. Memahami mengenai gejala klinis dari IBR
4. Memahami deskripsi makroskopis penyakit IBR
5. Memahami deskripsi mikroskopis penyakit IBR
6. Memahami mengenai patomekanisme penyakit IBR pada sapi

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infectious Bovine Rhinotracheitis


Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit multi-organ dengan
kepentingan ekonomi yang signifikan di seluruh dunia yang disebabkan oleh Bovine
Herpes Virus-1 (BHV-1), dan ini mempengaruhi ruminansia domestik dan liar.
Bovine Herpes Virus-1 adalah virus dari genus Varicellovirus, subfamili
Alphaherpesvirinae dan family Herpesviridae, dan merupakan virus yang sangat
mudah menular dan menular. Rinotrakheitis sapi menular pada hewan sapi
disebabkan oleh BHV-1.1, subtipe pernafasan, sedangkan strain BHV-1.2a dan BHV-
1.2b adalah subtipe genital, dan BHV 1.3 adalah subtipe ensefalitik (Kipyego, 2019) .

Penyakit ini juga disebut sebagai “Red Nose ”, bentuk IBR pernapasan ditandai
dengan hiperemia berat dan nekrosis multifokal pada mukosa hidung, faring, laring,
trakea, dan kadang-kadang bronkial. Seperti pada infeksi virus pernapasan lainnya,
lesi IBR secara mikroskopis ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan sel bersilia
diikuti dengan perbaikan. Infeksi bakteri sekunder pada area nekrosis ini
menghasilkan pembentukan lapisan tebal bahan fibrinonekrotik (difteri) di mukosa
hidung, trakea, dan bronkial. Badan inklusi intranuklear, biasanya terlihat pada infeksi
virus herpes, jarang terlihat pada kasus lapangan karena badan inklusi hanya terjadi
pada tahap awal penyakit (Lopez & Martinson, 2017).

2.2 Sistem Respirasi Sapi


Sistem pernafasan mempunyai fungsi utama menyediakan oksigen (O2) untuk
darah dan mengambil karbondioksida dari dalam darah. Oksigen merupakan
kebutuhan vital bagi kehidupan ternak. Fungsi dari sistem respirasi ini adalah
Melebabkan udara bila kering, menyaring udara bila berdebu, dan menampung debu
di dalam saluran pernafasan. Sistem pernafasan ini terdiri dari cavum nasale, pharinx,
larinx, trachea, bronchus dan pulmo (Mukhtar, 2006).

Pada sapi memilki bentuk dan fungsi yang sedikit berbeda. Seperti organ
Cavum nasale merupakan rongga hidung yang menyatu dengan moncong berupa kulit
3
yang mengelilingi nostril dan bersambungan. Moncong pada sapi memiliki bagian
yang tidak berambut, dan mempunyai banyak kelenjar keringat. Selain itu organ
trakea pada sapi memiliki kurang lebih 75 cm dan diameter rata-ratanya 6-7 cm.
Selain itu, paru-paru yang kiri terbagi menjadi tiga yaitu: lobus apicalis, lobus
cardiacus, lobus diapragmatica (Soeharsono, 2010).

2.3 Virologi Infectious Bovine Rhinotracheitis


Agen penyebab IBR pertama kali diisolasi dan kemudian diklasifikasikan sebagai
virus herpes dan BoHV1. Itu milik keluarga- Herpesviridae, sub keluarga-
Alphaherpesvirinae dan genus- Varicellovirus. Bovine herpesvirus 1 (BoHV1) adalah
nama spesies resmi virus. Istilah BoHV1 mengacu pada semua isolat virus yang
secara serologis terkait dengan IBRV dan IPVV. Dengan analisis enzim restriksi
DNA, dapat dibagi menjadi BoHV1.1 dan BoHV1.2. Tes serologis konvensional tidak
dapat membedakan antara respon imun yang diinduksi oleh BoHV1.1 dari yang
diinduksi oleh BoHV1.2. BoHV1.1 dan BoHV1.2 masing-masing menyebabkan IBR
dan IPV. BoHV1.2 mungkin kurang virulen dibandingkan BoHV1.1. BoHV1.2
selanjutnya dapat dibagi lagi menjadi BoHV1.2a dan BoHV1.2b. BoHV1.2a
menyebabkan IPV pada sapi dan IPB pada sapi jantan sedangkan BoHV1.2b kurang
virulen dibandingkan dengan yang sebelumnya. Homologi urutan antara BoHV1.1
dan 1.2 lebih dari 95% (Majumder et all, 2015).

4
BAB III
PEMBAHASAN

2.1 Etiologi Infetious Bovine Rhinotracheitis


Penyebab penyakit ini adalah bovine herpesvirus-1 yang termasuk famili
Herpesviridae, subfamili Alphaherpesviridae. Genom virus berupa double stranded
deoxyribonucleic acid (ds-DNA), dengan berat molekul 29.000-250.000. Virus herpes
berbentuk kuboid simetri dengan kapsid icosahedral, diameter 100- 15 (Ditjenak,
2014). Biasanya, penyakit ini dimanifestasikan sebagai penyakit demam akut,
sementara, yang menyebabkan dispnea inspirasi yang disebabkan oleh obstruksi
saluran udara oleh eksudat hanya pada kasus yang sangat parah. Bentuk lain dari
infeksi BoHV-1 termasuk rumenitis ulserativa; enteritis, hepatitis multifokal pada
anak sapi neonatal; meningoensefalitis nonsupuratif; infertilitas; dan pada infeksi
eksperimental, mastitis, mamilitis, dan nekrosis ovarium. Kecuali untuk bentuk
ensefalitik, jenis penyakit yang disebabkan oleh BoHV-1 lebih bergantung pada
tempat masuknya daripada jenis virus. Seperti virus herpes lainnya, BoHV-1 juga
dapat tetap laten di ganglia saraf, dengan kekambuhan setelah stres atau penekanan
kekebalan. Virus ini juga menyebabkan aborsi sapi, infeksi sistemik pada anak sapi,
dan infeksi genital seperti infeksi pustular vulvovaginitis (IPV) dan infeksi
balanoposthitis (IBP) (Lopez & Martinson, 2017).

2.2 Epidemiologi Infetious Bovine Rhinotracheitis


Sifat virus IBR ini stabil pada pH 7,0 dan pada temperatur 4°C selama 30 hari
titer virus tidak mengalami penurunan, pada temperatur 22°C selama 5 hari titernya
turun 1 log. Virus dapat di inaktif segera setelah dicampur dengan alkohol, aceton
atau chloroform dengan perbandingan suspensi virus yang sama. Virus IBR ini
mempunyai macam-macam strain dengan sedikit perbedaan antigenesitas.Spesies
yang rentan selain pada sapi dan kerbau, penyakit ini dijumpai pula pada babi,
kambing, bagal dan rusa juga peka terhadap infeksi ini. Antibodi IBR pernah
dideteksi pula pada antelope di Kanada bagian barat. Di Afrika virus IBR juga pernah
diisolasi dari hewan liar. Hal ini menunjukkan bahwa hewan liar mungkin dapat
menjadi reservoir penyakit ini (Ditjenak, 2014).

5
Wabah penyakit mencapai puncak pada minggu kedua sampai ketiga dan
berakhir pada minggu keempat sampai keenam. Virus dapat hidup dalam tubuh hewan
selama 17 bulan dan pada saat tertentu dapat menimbulkan wabah.Manifestasi klinis
dari penyakit ini sangat bervariasi, tergantung derajat keparahan organ terinfeksi.
Penyakit dapat berupa bentuk pernafasan, konjungtival, genital dan keguguran, serta
ensefalitik dan neonatal. Penyakit ini dapat menimbulkan infeksi sekunder berupa
broncho pneumonia, keguguran dan kematian pada anak sapi. Morbiditas berkisar
antara 30-90% dan mortalitas kurang dari 3%. Sapi yang sembuh dan infeksi alami
menjadi kebal dalam waktu yang lama. Kekebalan secara pasif yang diperoleh pedet
dari kolostrum dapat menimbulkan kekebalan kurang Iebih empat bulan (Ditjenak,
2014).

Agen penyebab, bovine herpesvirus 1 (BoHV-1), mungkin telah ada sebagai


penyakit kelamin ringan pada sapi di Eropa setidaknya sejak pertengahan 1800-an,
tetapi bentuk pernapasan tidak dilaporkan sampai sistem pengelolaan feedlot yang
intensif pertama kali diperkenalkan di Utara. Amerika sekitar tahun 1950-an.
Biasanya, penyakit ini dimanifestasikan sebagai penyakit demam akut, sementara,
yang menyebabkan dispnea inspirasi yang disebabkan oleh obstruksi saluran udara
oleh eksudat hanya pada kasus yang sangat parah (Lopez & Martinson, 2017).

Kejadian penyakit di Indonesia telah banyak ditemukan, dan virus pernah


diisolasi dan seekor kerbau yang berasal dari daerah/kecamatan Blangkejeren,
Kabupaten Aceh Tenggara. Reaktor pada sapi dan kerbau pernah dilaporkandi
Sumatera Utara, Jawa, Lombok, Sumbawa dan Timor. Zat kebal terhadap virus IBR
telah ditemukan hampir di semua daerah di Indonesia (Ditjenak, 2014).

2.3 Gejala Klinis Infetious Bovine Rhinotracheitis

Masa inkubasi penyakit bervariasi antara 10-12 hari dalam kondisi alami. Virus
ini terutama menyerang saluran pernapasan dan alat kelamin. Infeksi saluran
pernafasan dikenal sebagai IBR. Ini adalah bentuk infeksi BoHV1 yang paling umum.
Ini terjadi sebagai penyakit subklinis, ringan atau klinis. Hal ini ditandai dengan
gejala seperti demam, batuk, anoreksia, depresi, penurunan produksi ASI, penurunan
berat badan, peningkatan laju pernafasan nasal dan ocular discharge yang serous pada
awalnya dan kemudian menjadi mukopurulen dan peningkatan air liur juga dapat
6
menyertai masalah saluran pernafasan ini. Mukosa hidung menjadi hiperemis dan
lesi berkembang dari nekrosis pustular ke daerah hemoragik besar dan ulserasi yang
ditutupi oleh membran difteri berwarna krem. Kotoran hidung bersama dengan
hidung tersumbat dapat terjadi dan disebut sebagai hidung merah. Nafas busuk,
pernapasan mulut, air liur, dan batuk bronkial yang dalam sering terjadi. Hewan
mungkin menunjukkan tanda-tanda bronkitis dan pneumonia (Majumder et all, 2015).

2.4 Deskripsi Makroskopis Infetious Bovine Rhinotracheitis

Bagian septum hidung telah diangkat untuk mengekspos konka hidung. Mukosa
hidung ditutupi oleh selaput kuning difteri yang terdiri dari eksudat fibrinonekrotik
(panah). Pengangkatan membran fibrinosa ini menunjukkan adanya ulkus fokal pada
mukosa yang mendasarinya (Zachary, 2017).

Terlihat adanya lesi berupa inflamasi akut pada organ trakea dan laring
(Ditjennak, 2014)
7
Kondisi patologis dari IBR pada sistem pernapasan ditandai dengan hiperemia
berat dan nekrosis multifokal pada mukosa hidung, faring, laring, trakea, dan kadang-
kadang bronkial. Seperti pada infeksi virus pernapasan lainnya, lesi IBR secara
mikroskopis ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan sel bersilia diikuti dengan
perbaikan. Infeksi bakteri sekunder pada area nekrosis ini menghasilkan pembentukan
lapisan tebal bahan fibrinonekrotik (difteri) di mukosa hidung, trakea, dan bronkial.
Badan inklusi intranuklear, biasanya terlihat pada infeksi virus herpes, jarang terlihat
pada kasus lapangan karena badan inklusi hanya terjadi pada tahap awal penyakit
(Zachary, 2017).

2.5 Deskripsi Mikroskopis Infetious Bovine Rhinotracheitis

Perubahan histologis yang terjadi pada kasus pernapasan tanpa komplikasi adalah
peradangan katarak akut. Ada kerusakan epitel dengan fokus nekrotik di mukosa
laring dan epiglottal. Lesi broncho-pneumonic dapat terjadi akibat komplikasi bakteri.
Inklusi intranuklear dapat ditemukan di sel epitel saluran pernapasan selama tahap
awal infeksi (Gu & Kirkland, 2008). Lesi di rongga hidung terdiri dari area fokus
nekrosis, ulserasi dan infiltrasi neutrofil. Puing nekrotik dan neutrofil umumnya tetap
menempel pada jaringan di bawahnya. Jaringan ikat subepitelial edema dan
diinfiltrasi dengan neutrofil. Lesi serupa diamati di nasofaring (Narita et all, 1982).

Pada gambar tersebut terjadi nekrosis fokal pada mukosa pharygeal. Di duktus
nasofaring, dan beberapa bagian selaput lendir benar-benar nekrotik. Selaput lendir
telanjang ditutupi oleh eksudat fibrinosa yang mengandung beberapa neutrofil. Di
8
mukosa faring, deskuamasi fokal dan peradangan nekrotik ditemukan di epitel.
Pembesaran sel diamati di daerah yang berdekatan dengan situs nekrosis(Narita et all,
1982).

2.6 Patomekanisme Infetious Bovine Rhinotracheitis

Patomekanisme terjadinya Infectious Bovine Rhinotracheitis pada sistem


pernafasan adalah lisis pada sel epitel non bersilia dan bersilia (mucociliary apparatus)
mukosa mulut, hidung, faring, dan pernafasan. Lesi kasar termasuk hiperemia aktif,
perdarahan, edema, dan nekrosis yang menyebabkan erosi mukosa yang luas dan
ulkus yang sering ditutupi dengan membran fibrinous (Zachary, 2017). Virus masuk
melalui rute aerosol atau melalui kontak langsung dengan sekresi hidung jika terjadi
infeksi saluran pernapasan dan melalui kontak langsung atau dengan air mani yang
mengandung virus (senggama atau AI) jika terjadi infeksi genital (Majumder et all,
2015).

Di dalam hewan, BoHV1 diangkut oleh monosit dan sel darah putih ke organ
target. BoHV1 bereplikasi di epitel nasal dan okular selama infeksi primer saluran
pernafasan dan kemudian, 2-3 hari setelah pajanan, hewan mengalami demam dengan
peningkatan laju pernapasan dan konsumsi susu, dan pada sapi perah terjadi
penurunan produksi susu. Area nekrosis fokal terlihat jelas, sering menyebabkan
sekret hidung / mata serosa dan konjungtivitis. Dalam bentuk penyakit genital dan
pernapasan, terdapat area fokus nekrosis sel epitel di mana terjadi penggelembungan
sel epitel. Inklusi virus herpes khas mungkin ada di nukleus pinggiran fokus nekrotik.
Ada respon inflamasi yang intens di dalam mukosa yang meradang yang sering terjadi
dengan pembentukan akumulasi fibrin atau puing-puing seluler (pseudomembran)
(Majumder et all, 2015).

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Infectious Bovine Rhinotracheitis merupakan salah satu penyakit yang
menyerang sistem pernapasan pada sapi dan disebabkan oleh virus herpes tipe 1.
Selain menyerang organ pernapasan, penyakit ini juga menyerang organ lainnya
seperti mata, genital, bahkan fetus. Penyebaran penyakit ini ada diseluruh dunia. Lesi
pada penyakit ini sering ditemukan pada nasal dan trakea yakni berupa nekrosis dan
inflamasi. Gambaran histopatologi dari kondisi penyakit IBR juga menjelaskan
mengenai kerusakan sel-sel epitel yang berakibat pada mekanisme organ trakea.
Patomekanisme penyakit ini pun secara aerososl melalui respirasi yang
mengakibatkan kondisi patologis seperti hiperemi, edema, inflamasi dan nekrosis
sehingga mengakibatkan kerusakan pada organ. Selain itu juga penyakit ini dapat
menyerang organ lain sehingga dapat menyebabkan komplikasi penyakit.

3.2 Saran
Untuk pembaca diharapkan makalah ini dapat memberikan wawasan dan
pandangan mengenai penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis. Sehingga pembaca
dapat memahami mengenai materi dan maksud dari makalah yang kami tulis.

10
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Manual Penyakit Hewan
Mamalia. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Subdit Pengamatan
Penyakit Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan. Jakarta.
Gu, Xingnian., & Kirkland, PD. 2008. Infectious Bovine Rhinotracheitis. Elizabeth
Macarthur Agricultural Institute : Australia.
Kipyego, E. S. (2019). Sero-prevalence and risk factors of infectious bovine rhinotracheitis
virus (type 1) in Meru County, Kenya. Preventive Veterinary Medicine, 104863.
Lopez, A., & Martinson, S. A. (2017). Respiratory system, mediastinum and pleurae. in J. F.
Zachary (Ed.), Pathologic basis of veterinary disease (pp. 471-560).
Majumder, S., Ramakrishnan, MA., Nandi, S. 2015. Infectious Bovine Rhinotracheitis: An
Indian Perspective. International Journal of Current Microbiology And Applied
Sciences Vol. 2 No. 10 :884-858
Mukthar, Ashry. 2006. Ilmu Produksi Ternak Perah. UNS Press. Surakarta.
Narita, M., Inui, S., Murakami, Y., Nanba, K., & Shimizu, Y. 1982. PATHOLOGICAL
CHANGES IN YOUNG AND ADULT CATTLE AFTER INTRANASAL
INOCULATION WITH INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS VIRUS. J.
COMP. PATH. 1962. VOL. 92.
Soeharsono. 2010. Fisiologi Ternak. Widya Padjajaran. Bandung.
Zachary, James F. 2017. Pathologic basis of veterinary disease 6ed.. St. Louis, Missouri :
Elsevier,

11

Anda mungkin juga menyukai