VITAMIN
“B KOMPLEKS”
OLEH :
I KETUT TOMY CAESAR RAMANDA
1709511041
2017 B
TOKSIKOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas petunjuk dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan paper yang berjudul
Vitamin “B Kompleks” ini dengan tepat pada waktunya dan tanpa ada halangan
apapun. Paper ini dibuat untuk memenuhi tugas dan materi mata kuliah
Farmakologi Veteriner.
Tugas ini menjadi sasaran memperoleh informasi dalam proses pendidikan
yang akan diselenggarakan. Manfaat lain dari pembuatan paper ini adalah untuk
memberikan informasi dan wawasan yang lebih luas tentang Vitamin “B
Kompleks” kepada mahasiswa dan masyarakat sekitar.
Penulis ucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah
Farmakologi Veteriner, serta pihak lain yang telah membantu dalam pembuatan
paper ini. Penulis berharap paper ini dapat bermanfaat dengan baik bagi
mahasiswa dan masyarakat.
Penulis menyadari bahwa paper ini masih banyak memiliki kekurangan,
oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Akhir
kata penulis ucapkan terima kasih.
Penulis
ii
DARTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
bentuk provitamin yang tidak aktif. Oleh karena itu, tubuh memerlukan
asupan vitamin yang berasal dari luar tubuh.
Vitamin memiliki peranan spesifik di dalam tubuh dan dapat pula
memberikan manfaat kesehatan. Bila kadar senyawa ini tidak mencukupi,
tubuh dapat mengalami suatu penyakit. Tubuh hanya memerlukan vitamin
dalam jumlah sedikit, tetapi jika kebutuhan ini diabaikan maka metabolisme di
dalam tubuh kita akan terganggu karena fungsinya tidak dapat digantikan oleh
senyawa lain.
. Hal ini menjadi perhatian khusus penulis sehingga penulis mengangkat
topik “Vitamin “B Kompleks”“ dalam paper ini untuk menambah wawasan
mengenai pentingnya peranan vitamin dalam tubuh khususnya vitamin B
kompleks.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
dengan vitamin yang larut dalam lemak, jenis vitamin larut dalam air hanya
dapat disimpan dalam jumlah sedikit dan biasanya akan segera hilang
bersama aliran makanan. Saat suatu bahan pangan dicerna oleh tubuh,
vitamin yang terlepas akan masuk ke dalam aliran darah dan beredar ke
seluruh bagian tubuh. Apabila tidak dibutuhkan, vitamin ini akan segera
dibuang tubuh bersama urin. Oleh karena hal inilah, tubuh membutuhkan
asupan vitamin larut air secara terus-menerus (Syarif, 2007).
4
BAB III
PEMBAHASAN
5
3.2 Klasifikasi vitamin B kompleks
3.2.1 Vitamin B1 (Tiamin)
Vitamin B1, yang dikenal juga dengan nama tiamin, merupakan salah
satu jenis vitamin yang memiliki peranan penting dalam menjaga
kesehatan kulit dan membantu mengkonversi karbohidrat menjadi energi
yang diperlukan tubuh untuk rutinitas sehari-hari. Tiamin telah lama
dikenal sebagai antineuritik karena digunakan untuk membuat normal
kembali susunan syaraf. Adapun struktur /rumus kimia dari Tiamin adalah
sebagi berikut:
Farmakodinamik
Pada dosis kecil (dosis terapi) tiamin tidak memperlihatkan efek
farmakodinamik yang nyata. Pada pemberian secara intra vena dengan
cepat dapat terjadi efek langsung pada pembuluh absorpsi darah perifer
berupa vasodilatasi ringan, disertai penurunan tekanan darah yang bersifat
sementara. Meskipun tiamin berperan dalam metabolisme karbohidrat,
pemberian dosis besar tidak mempengaruhi kadar gula darah. Dosis toksik
pada hewan coba adalah 125-350 mg/kg BB secara IV dan kira – kira 40
kalinya untuk pemberian oral. Pada manusia reaksi toksik setelah
pemberian parenteral biasanya terjadi karena reaksi alergi.
Farmakokinetik
Setelah pemberian parenteral abrsopsi berlangsung cepat dan
sempurna. Peroral berlangsung didalam usus halus dan duodenum,
maksimal 8-15 mg/hari yang dicapai dengan pemberian oral sebanyak 40
mg. Dalam 1 hari sebanyak 1 mg tiamin mengalami degradasi di jaringan
6
tubuh. Jika asupan jauh melebihi jumlah tersebut, maka zat ini akan
dikeluarkan melalui urin sebagai tiamin atau pirimidin.
Defisiensi Tiamin
Defisiensi vitamin ini menyebabkan terjadinya penyakit beri-beri,
terutama pada negara yang menggunakan nasi sebagai bahan makanan
pokoknya. Defisiensi vitamin ini juga mengakibatkan rusaknya alat
pencernaan makanan, yang disertai dengan muntah-muntah dan diare.
Kekurangan Vitamin B1 dapat menyebabkan penyakit beri-beri, yakni
gangguan pada syaraf jantung, menyebabkan edema, yakni pembekakan
organ-organ tubuh,seperti jantung dan mata. Kekurangan tiamin dapat juga
menyebabkan kelelahan berat mata dan berbagai masalah termasuk
neurodegeneration , wasting, dan kematian . Kurangnya tiamin dapat
disebabkan oleh kekurangan gizi , diet tinggi thiaminase makanan kaya
(air tawar ikan mentah, mentah kerang , pakis ) dan makanan yang tinggi
dalam anti-tiamin faktor ( teh , kopi , buah pinang ) dan menurut status
gizi yang terlalu terganggu terkait dengan penyakit kronis, seperti
alkoholisme, penyakit pencernaan, HIV-AIDS, dan muntah terus-menerus.
Hal ini berpikir bahwa banyak orang dengan diabetes memiliki
kekurangan tiamin dan ini mungkin berhubungan dengan beberapa
komplikasi yang dapat terjadi. Vitamin B1 terdapat pada polong polongan,
hati,dan susu.
Indikasi
Tiamin dindikasikan pada pencegahan pada dosis 2-5 mg/hari dan
pengobatan defisiensi pada dosis 5-10 mg tiga kali sehari. Tiamin berguna
untuk pengobatan berbagai neuritis yang disebabkan oleh defisiensi
tiamin, misalnya pada neuritis alkoholik karena sumber kalori hanya
alkohol saja, wanita hamil yang kurang gizi, dan pasien emesis
gravidarum.Tiamin juga digunakan untuk pengobatan penyakit jantung
dan gangguan saluran cerna yang dasarnya defisiensi tiamin.
7
3.2.2 Vitamin B2 (Riboplavin)
Riboflavin (Vitamin B2) adalah vitamin yang memiliki ribosa dalam
rumus kimianya.Sumber yang mengandung vitamin B2 yaitu daging, hati,
ragi, telur, bebagai sayuran dan sebagain
8
Hampir semua sayuran hijau dan biji-bijian mengandung riboflavin,
seperti brokoli, jamur dan bayam. Kekurangan riboflavin dapat
menyebabkan gejala seperti iritasi, kulit merah dan keretakan kulit dekat
dengan sudut mata dan bibir seperti halnya sensitivitas yang berlebihan
terhadap sinar (photophobia) . Hal ini dapat juga menyebabkan keretakan
pada sudut mulut (cheilosis).
Farmakodinamik
Pemberian riboflavin baik secara oral maupun parenteral tidak
memberikan efek farmakodinamik yang jelas.
Farmakokinetik
Pemberian secara oral ataupun parenteral akan diabsorpsi dengan baik
dan didistribusi merata keseluruh jaringan. Asupan yang berlebihan akan
dikeluarkan melalui urin dalam bentuk utuh. Dalam feses ditemukan
riboflavin yang disintetis oleh kuman di saluran cerna, tetapi tidak ada
bukti nyata yang menjelaskan bahwa zat tersebut dapat di absorpsi melalui
mukosa usus.
Defisiensi Riboplavin
Tanda-tanda defisiensi pada vitamin ini adalah keilosis (terjadi kerak
pada sudut mulut yang berwarna merah). Kekurangan vitamin B2 akan
menyebabkan peradangan pada kulit (dermatitis), peradangan mulut dan
gusi serta peradangan pada sudut mulut (keliosis).
Indikasi
Untuk pencegahan dan terapi defisiensi vitamin B2 yang sering
menyertai pellagra aatau defisiensi vitamin B kompleks lainnya, sehingga
riboflavin sering diberikan bersama vitamin lainnya.Dosis untuk
pengobatan adalah 5-10 mg/hari.
9
makanan. Asam nikotinat merupakan derivat asam monokarboksilat dari
piridin. Bentuk aktif sari niasin adalah Nikotinamida Adenin Dinukleotida
(NAD+) dan Nikotinamida Adenin Dinukleotida Fosfat ( NADP+).
Nikotinat merupakan bentuk niasin yang diperlukan untuk sintesis
NAD+ dan NADP+ oleh enzim-enzim yangterdapat pada sitosol sebagian
besar sel. Karena itu, setiap nikotinamida dalam makanan, mula-mula
mengalami deamidasi menjadi nikotinat. Dalam sitosol nikotinat diubah
menjadidesamido NAD+ melalui reaksi yang mula-mula dengan 5-
fosforibosil –1-pirofosfat ( PRPP ) dan kemudian melalui adenilasi dengan
ATP.Gugus amido pada glutamin akan turut membentuk koenzim NAD+.
Koenzim ini bisa mengalami fosforilasi lebih lanjut sehingga terbentuk
NADP+.
Farmakodinamik
Bentuk amida dari asam nikotinat yaitu niasinamid juga berefek
antipelagra. Dalam badan asam nikotinat dan niasinamid diubah menjadi
bentuk aktif NAD (Nikotinamid Adenin Dinukleotida) dan NADF
(Nikotinamid Adenin Dinukleotida Fosfat).Keduanya berperan dalam
metabolisme sebagai koenzim untuk berbagai protein yang penting dalam
respirasi jaringan.
Asam nikotinat merupakan suatu vasodilator yang terutama bekerja
pada blushing area yaitu dimuka dan leher. Kemerahan di tempat tersebut
10
dapat berlangsung selama 2 jam disertai panas dan gatal. Pada dosis besar
asam nikotinat dapat menurunkan kadar kolesterol dan asam lemak bebas
dalam darah.kedua efek ini tidak diperlihatkan oleh niasinamid.
Pada dosis yang besar umumnya terjadi efek samping berupa
penurunan toleransi terhadap glukosa sampai terjadi hiperglekemia. Selain
itu terjadi kenaikan kadar asam urat dalam darah., gangguan fungsi hati,
gangguan lambung berupa mual sampai muntah serta peningkatan
motilitas usus. Reaksi anafilatik dilaporkan terjadi pada pemberian secara
intra vena.
Farmakokinetik
Niasin dan niasinamid mudah diabsorpsi melalui semua bagian
saluran cerna dan didistribusi keseluruh tubuh. Ekskresinya melalui urin
sebagian kecil dalam bentuk utuh dan sebagian lainnya dalam bentuk
berbagai metabolitnya antara lain asam nikotinurat dan bentuk glisin
peptide dari asam nikotinat.
Defisiensi Niasin
Pellagra adalah penyakit defisiensi niasin dengan kelainan pada kulit,
saluran cerna, & SSP. Kulit mengalami erupsi eritematosa, bengkak, dan
merah, pada saluran cerna terjadi lidah bengkak dan merah, somatitis,
mual, muntah, dan enteritis. Gejala gangguan SSP berupa sakit kepala,
insomnia, bingung, dan kelainan psikis seperti halusinasi, delusi, dan
demensia pada keadaan lanjut.
11
dan ACP . Ko A mengandung nukleotida adenin . Dengan demikian 4' –
fosfopantein akan mengalami adenilasi oleh ATP hingga terbentuk defosfo
koA . Fosforilasi akhir terjadi pada ATP dengan menambahkan gugus
fosfat pada gugus 3 – hidroksil dalam moitas ribose untuk menghasilkan
ko A.
Farmakodinamik
Pada hewan coba asam pantotenat tidak menyebabkan efek
farmakodinamik yang penting dan bersifat nontoksik. Defisensinya pada
manusia belum dikenal, tetapi dapat timnul dengan memberikan diet yang
mengandung antagonis asam pantotenat yaitu mega-metil asam pantotenat.
Sindroma yang terjadi berupa: kelelahan, rasa lemah, gangguan saluran
cerna, gangguan otot berupa kejang pada ekstremitas dan parestesia.
Farmakokinetik
Pada pemberian oral pantotenat akan diabsorpsi dengan baik dan di
distribusi keseluruh tubuh dengan kadar 2-45 µm/g. Dalam tubuh tidak
dimetabolisme, dan diekskresikan dalam bentuk utuh 70% melalui urin
dan 30% melalui tinja.
12
3.2.5 Vitamin B6 (Piridoksin, Piridoksal dan Piridoksamin)
Vitamin B6 terdiri atas derivat piridin yang berhubungan erat yaitu
piridoksin, piridoksal serta piridoksamin dan derivat fosfatnya yang
bersesuaian. Bentuk aktif dari vitamin B6 adalah piridoksal fosfat, di mana
semua bentuk vitamin B6 diabsorbsi dari dalam intestinum, tetapi
hidrolisis tertentu senyawa-senyawa ester fosfat terjadi selama proses
pencernaan. .Piridksal fosfat merupakan bentuk utama yang diangkut
dalam plasma. Sebagian besar jaringan mengandung piridoksal kinase
yang dapat mengkatalisis reaksi fosforilasi oleh ATP terhadap bentuk
vitamin yang belum terfosforilasi menjadi masing-masing derivat ester
fosfatnya. Piridoksal fosfat merupakan koenzim pada beberapa enzim
dalam metabolisme asam aimno pada proses transaminasi, dekarboksilasi
atau aktivitas aldolase. Piridoksal fosfat juga terlibat dalam proses
glikogenolisis yaitu pada enzim yang memperantarai proses pemecahan
glikogen.
a) Transimisi
b) Dekarboksilasi
13
c) Raseminase
Farmakodinamik
Pemberian piridoksin secara oral dan parenteral tidak menunjukkan
efek farmakodinamik yang nyata. Dosis sangat besar yaitu 3-4 g/kg BB
menyebabkan kejang dan kematian pada hewan coba, tetapi dosis kurang
dari ini umumnya tidak menimbulkan efek yang jelas.Piridosal fosfat
dalam tubuh merupakan koenzim yang berperan penting dalam
metabolism berbagai asam amino.
Farmakokinetik
Piridoksin, piridoksal dan piridoksamin mudah diabsorpsi melalui
saluran cerna. Metabolit terpenting dari ketiga bentuk tersebut adalah 4-
asam piridoksat. Ekskresi melalui urin terutama dalm bentuk 4-asam
piridoksat dan piridoksal.
Defisiensi Vitamin B6
Kurangnya piridoksin dapat menyebabkan kerusakan anemia, saraf,
kejang, masalah kulit, dan luka di mulut. Gejala defisiensi yang
ditunjukkan oleh vitamin ini adalah hambatan pertumbuhan, badan lemah
dan gangguan mental, ernenia, dermatitis (gatal-gatal pada kulit dengan
bercak merah).
14
Indikasi
Untuk mencegah dan mengobati defisiensi vitamin B6, vitamin ini
juga diberikan bersama vitamin B lain atau sebagai multivitamin untuk
pencegahan dan pengobatan defisiensi vitamin B kompleks. Indikasi
aliinya yaitu untuk mencegah atau mengobati neuritis perifer karena obat
(isoniazid, siklosrin, dan lainnya).
15
monoglutamil folat agar bisa diabsorbsi. kemudian oleh adanya enzim
folat reduktase sebagian besar derivat folat akan direduksi menjadi
tetrahidrofolat dala sel intestinal yang menggunakan NADPH sebagai
donor ekuivalen pereduksi.
Tetrahidrofolat ini merupakan pembawa unit-unit satu karbon yang
aktif dalam berbagai reaksi oksidasi yaitu metil, metilen, metenil, formil
dan formimino. Semuanya bisa dikonversikan. Serin merupakan sumber
utama unit satu karbon dalam bentuk gugus metilen yang secara reversible
beralih kepada tetrahidrofolat hingga terbentuk glisin dan N5, N10 –
metilen – H4 folat yang mempunyai peranan sentral dalam metabolisme
unit satu karbon. Senyawa di atas dapat direduksi menjadi N5 – metil –
H4folat yang memiliki peranan penting dalam metilasi homosistein
menjadi metionin dengan melibatkan metilkobalamin sebagai kofaktor.
Folat (Vitamin B9) adalah vitamin yang diperlukan untuk replikasi sel
dan pertumbuhan. Vitamin ini membantu blok bangunan berupa DNA,
yang menyimpan informasi genetik tubuh, dan membangun blok RNA,
yang diperlukan untuk sintesis protein. Vitamin B9 sangat penting untuk
perkembangan janin dan regenerasi sel, seperti sel darah merah dan sel
kekebalan. Sumber terbaik untuk folat adalah sayur-sayuran, khususnya
sayuran berdaun hijau. Hati juga mengandung banyak folat. Daging, susu
dan produk-produk susu mengandung sedikit folat. Kekurangan folat dapat
menyebabkan kekurangan darah. Gejala keracunan adalah diare, susah
tidur dan sifat mudah marah. Folat dengan dosis tinggi dapat menutupi
kekurangan vitamn B12, karena kedua vitamin ini berhubungan.
Defisiensi asam folat menunjukkan anemia megaloblastik, glositis
(inflamasi pada lidah), dan diare. Kekurangan ini dapat mengakibatkan
banyak masalah kesehatan, yang paling menonjol menjadi cacat tabung
saraf pada embrio berkembang. Gejala umum dari kekurangan folat
termasuk diare, anemia makrositik dengan kelemahan atau sesak napas,
kerusakan saraf dengan mati rasa dan kelemahan ekstremitas (neuropati
perifer) komplikasi kehamilan, kebingungan mental, pelupa atau
penurunan kognitif lainnya, depresi mental, sakit atau lidah bengkak, ulkus
16
peptikum atau mulut, sakit kepala, jantung berdebar-debar, lekas marah,
dan gangguan perilaku.
17
BAB IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Vitamin B kompleks merupakan kelompok vitamin yang larut di dalam air
berperan penting dalam metabolisme. Pembagian dari vitamin B adalah
sebagai berikut tiamin (B1), riboflavin (B2), niasin (B3), asam pantotenat
(B5), piridoksin (B6), biotin (7), folat (B9), dan kobalamin (B12).
Kebutuhan akan vitamin B harus dipenuhi setiap harinya. Setiap jenis
vitamin B memiliki fungsi spesifik yang berbeda satu sama lain, meski begitu
umumnya kelompok vitamin B dibutuhkan oleh tubuh terutama dalam hal
membantu tubuh dalam memperoleh energi dari metabolisme karbohidrat,
lemak dan protein.
.
3.2 Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, diharapkan
kedepannya untuk mengembangkan paper di atas dengan sumber – sumber
yang lebih banyak dan tentunya dapat di pertanggungjawabkan.
18
DAFTAR PUSTAKA
Syarif, et al. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Hal
769 – 793.
nd
Lehninger A, Nelson D , Cox M M .Principles of Biochemistry 2 1993.
19
DOI: http://dx.doi.org/10.14334/Pros.Semnas.TPV-2017-p.152-157
ABSTRACT
The current study intended to investigate the efectivity of vitamin B-complex administration
on pregnant and post partus Bali Cattle. The B-complex is an essential vitamin that required for
metabolic process for pregnant and post partus cattle. In this study, 10 pregnant Bali Cattle which
has average of 5.5±1.65 months of gestation and 11 post partus Bali Cattle with average of 1.3±0.7
months of calves age have selected for treatment. Before giving the vitamin B-complex treatment,
the blood samples was taken from the first group of treated Bali Cattle (T0), while the blood
sample from the second group (T2) was taken 30 days after treatment. The 10 ml/cattle dosage of
vitamin B-complex was intra muscularly (IM) injected. The result showed that the red blood cell
(RBC), haemoglobin (HGB) and hematocrit values of the pregnant Bali cattle has decreased on T1
to the level of 13.12, 19.66 and 18.76% respectively (P>0.05). In contrary, the WBC value
increased to 14.5% on both T0 and T1. On post partus samples the values of the RBC, HGB and
hematocrit of T1 group has experienced an increasing to the level of 15.54%; 27.10% and 23.03%
respectively (P>0.05) with WBC value decrease to 28.57% (P>0.05) on T0 treatment. It can be
concluded that vitamin B-complex can improve physiological status of post partus Bali Cattle,
however a good feed management must be included on pregnant Bali cattle.
Key Words: Bali Cattle, Hematology, Vitamin B-complex
ABSTRAK
Pengkajian bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian vitamin B-kompleks pada sapi
bunting dan post partus. Vitamin B-kompleks salah satu vitamin yang sangat diperlukan dalam
proses metabolisme terutama ternak dalam kondisi bunting dan post partus. Pengkajian ini
menggunakan induk sapi Bali bunting sebanyak 10 ekor dengan rata-rata kebuntingan berumur
5,5±1,65 bulan dan sapi Bali post partus sebanyak 11 ekor dengan rata-rata umur anak 1,3±0,7
bulan. Sapi-sapi perlakuan pertama (T0) adalah induk sapi Bali diambil darah sebelum disuntik
dengan B-kompleks dan perlakuan kedua (T1) induk sapi Bali diambil darah 30 hari setelah
disuntik vitamin B-kompleks. Penyuntikan vitamin B-kompleks pada sapi-sapi perlakuan
dilakukan secara intra muscular (IM) dengan dosis 10 ml/ekor. Nilai seldarah merah (RBC),
hemoglobin (HGB) dan hematokrit sapi Bali bunting mengalami penurunan pada (T1) sebesar
13,12; 19,66 dan 18,76% (P>0,05) sedangkan nilai WBC meningkat 14,5% pada (T0) dan (T1).
Pada kondisi sapi post partus nilai RBC, HGB dan Hematokrit pada perlakuan (T1) mengalami
kenaikan sebesar 15,54; 27,10 dan 23,03% (P>0,05) dengan nilai WBC perlakuan (T0) menurun
28,57% (P>0,05). Penyuntikan vitamin B-kompleks dapat memperbaiki status fisiologis pada sapi
Bali post partus sedangkan pada sapi Bali bunting harus disertai dengan manajemen pakan yang
baik.
Kata Kunci: Sapi Bali, Hematologi, Vitamin B-kompleks
152
Astiti & Hijriah: Efektivitas Vitamin B-Kompleks terhadap Gambaran Hematologi Sapi Bali Bunting dan Post-Partus
PENDAHULUAN
Secara umum usaha peternakan merupakan usaha yang sebagian besar dilakukan oleh
petani dan tidak terpisahkan dari kehidupan petani demikian halnya di wilayah Nusa
Tenggara Barat (NTB). Usaha peternakan di wilayah NTB seperti di pulau Lombok
dikelola secara tradisional dengan jumlah kepemilikan ternak berkisar antara 2-3 ekor.
Dengan sistem pemeliharaan ini maka produktivitas ternak terutama ternak pembiakan
belum optimal misalnya saja ditunjukkan dengan tingginya angka kematian pedet.
Disamping karena manajemen pemeliharaan yang dijalankan menggunakan kebiasaan
turun temurun juga karena keterbatasan pengetahuan dan keterampilan peternak tentang
teknologi-teknologi baru di bidang peternakan.
Optimalisasi dan peningkatan produktivitas usaha peternakan secara tradisional telah
banyak dilakukan oleh Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat. Di antaranya adalah
dengan pemberian subsidi untuk pelayanan standar di pusat-pusat kesehatan hewan.
Adapun pelayanan standar yang diberikan adalah kegiatan promotif berupa pemberian
suplemen dan vitamin (Menteri Pertanian RI 2007). Vitamin merupakan senyawa organik
yang penting dan sangat diperlukan dalam proses metabolisme tubuh ternak terutama
dalam kondisi bunting dan post partus. Salah satu jenis vitamin yang dibutuhkan oleh
ternak adalah vitamin B-kompleks. Vitamin B-kompleks merupakan grup vitamin yang
larut dalam air terdiri dari vitamin B1 (thiamine), B2 (riboflavin), B3 (niacin atau niacin
amide), B5 (pantothenic acid), B6 (piridoksin), B7 (biotin), B9 (folic acid), dan B12
(cobalamins) (Hellmann & Mooney 2010; Fattal-Valevski 2011). Vitamin ini berperan
sebagai kofaktor enzim metabolisme sehingga mampu mempertahankan kesehatan tubuh
(Hellmann & Mooney 2010) dan merupakan vitamin esensial pada fungsi otak (Haskell et
al. 2010). Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian vitamin B-
kompleks pada sapi Bali dalam kondisi bunting dan setelah partus.
153
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2017
Hasil analisis rata-rata nilai indeks hematologi terhadap darah sapi induk bunting dan
sapi induk post partus perlakuan terlihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.
35,00
30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
Gambar 1. Grafik efektivitas vitamin B-kompleks pada induk sapi Bali bunting
Berdasarkan hasil analisis hematologi pada Gambar 1. Terlihat bahwa nilai RBC,
HGB dan Hematokrit induk bunting sebelum perlakuan (T0) masih dalam nilai normal dan
pemberian vitamin B tidak memberikan pengaruh (P>0,05). Jika terjadi penurunan nilai
RBC dan HGB pada induk bunting perlakuan disebabkan karena pada saat bunting, induk
sapi sangat memerlukan nutrisi untuk pertumbuhan fetus. Pemberian vitamin B-kompleks
saat ternak bunting sangat dibutuhkan untuk perkembangan fetus, karena vitamin ini
merupakan vitamin yang dapat meningkatkan perkembangan fetus terutama vitamin B6,
vitamin B9 dan vitamin B-12 (Me´thot et al. 2008; Mitchell et al. 2014) sementara itu pada
kajian ini digunakan vitamin B-kompleks yang hanya mengandung vitamin B1, B2 dan
B6. Di sisi lain pakan yang diberikan peternak pada induk sapi perlakuan adalah pakan
standar yang didominasi rumput alam, sekali waktu diberi rumput gajah atau biomas
jagung tanpa pemberian mineral dan suplemen lainnya. Nutrisi yang tidak memadai
menyebabkan nilai RBC dan HGB induk tidak mengalami perbaikan. Sehingga pada
pengkajian ini pemberian vitamin B-kompleks tidak nyata memberikan perbaikan nilai
RBC dan HGB terhadap induk sapi Bunting (P>0,05). Sedangkan, turunnya nilai
Hematokrit pada kajian ini disebabkan karena saat bunting akan terjadi perubahan
fisiologis yang mengakibatkan peningkatan volume cairan tanpa diikuti dengan
penambahan sel darah merah. Menurut Parra et al. (2005) pada induk bunting akan terjadi
peningkatan volume cairan dan penambahan sel darah merah.
Nilai WBC sapi Bunting perlakuan meningkat 14,5% dari keadaan normal dalam
acuan Mitruka et al. (1977) dan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Hartaningsih et al.
(1983). Pemberian vitamin B-kompleks tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
nilai WBC pada sapi bunting perlakuan (P>0,05). Hal ini disebabkan karena pada kondisi
bunting, terjadi perubahan induk meliputi perubahan fisik, hormonal dan gambaran
154
Astiti & Hijriah: Efektivitas Vitamin B-Kompleks terhadap Gambaran Hematologi Sapi Bali Bunting dan Post-Partus
hematologi sebagai akibat adaptasi sistem kekebalan induk terhadap fetus. Keadaan ini
menyebabkan penurunan sistem kekebalan tubuh induk sehingga induk bunting lebih peka
terhadap infeksi oleh mikroorganisme (Kourtis 2014).
35,00
30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
Gambar 2. Grafik efektivitas vitamin B-kompleks pada induk sapi Bali post partus
Pada kondisi induk post partus nilai RBC, HGB dan hematokrit pada perlakuan (T1)
tidak mengalami perubahan (P>0,05) dari kondisi sebelumnya (T0). Nilai WBC sapi post
partus perlakuan (T0) menurun sebesar 28,57% (P<0,05) akan tetapi masih diatas nilai
normal pada acuan Mitruka et al. (1977) dan hasil penelitian yang dilaporkan oleh
Hartaningsih et al. (1983). Pada kondisi post partus induk sapi mengalami stres. Kondisi
ini merangsang pembentukan CRH (corticotropin releasing hormone) yang kemudian
memberi sinyal ke hipofise anterior menghasilkan ACTH (adrenocorticotropic hormone)
untuk mengeluarkan glukokortikoid (Sahin et al. 2003; Boonstra 2005). Glukokortikoid
dapat menurunkan sistem imunitas tubuh yang terlihat pada gambaran deferensial leukosit
(Zulkifli et al. 2000). Dengan pemberian vitamin B-kompleks dapat mengurangi stress
karena vitamin B-kompleks terutama vitamin B1 dapat memperbaiki fungsi sinyal
neurotransmitter dan mitokondria sel (Du et al. 2014) serta mampu memproduksi substansi
yang dapat mengurangi stress (Fattal-Valevski 2011).
KESIMPULAN
Vitamin B-kompleks belum dapat memperbaiki status fisiologis pada induk post
partus begitu pula pemberian vitamin B-kompleks pada induk bunting tidak memberikan
pengaruh yang nyata. Disarankan kepada peternak untuk lebih memperhatikan manajemen
pakan misalnya dengan pemberian pakan legume dan memberikan vitamin B-kompleks
dengan kombinasi vitamin B1, B2, B6, B9 dan B12 secara berkala.
Terima kasih disampaikan kepada Kepala Badan Litbang Pertanian, Kepala BBP2TP,
Kepala BPTP Balitbangtan NTB dalam program kajian APBN, seluruh peternak di Dusun
Ijo Balit Makmur Kabupaten Lombok Timur, Kepala dan staf Dinas Pertanian dan
Peternakan Kabupaten Lombok Timur, lurah dan jajarannya, laboran dan tim pengkajian
serta seluruh pihak yang telah membantu kegiatan ini.
155
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2017
DAFTAR PUSTAKA
Ashoori M, Saedisomeolia A. 2014. Riboflavin (vitamin B2) and oxidative stress: a review. Brit J
Nutr. 111:1985-1991.
Beutler E, Waalen J. 2005. The definition of anemia: what is the lower limit of normal of the blood
hemoglobin concentration?. Blood J. 107:1747-1750.
Boonstra R. 2005. Coping with changing northern environment the role of stress axis in bird and
mammals. J Integr Comp Biol. 44:95-140.
Buehler BA. 2010. Vitamin B2: Riboflavin. J Evidence-Based Complement Altern Med. 16:88-90.
Du J, Ming Z, Hongkun B, Bai L, Yilong D, Chunjie X, Grace YZ, Ioline H, Matthew R,
Benedetto V. 2014. The role of nutrients in protecting mitochondrial function and
neurotransmitter signalling: Implications for the treatment of depression, PTSD, and suicidal
behaviors, critical reviews in food science and nutrition. Food Sci Nutr. 1-73.
Fattal-Valevski A. 2011. Thiamine (Vitamin B1). J Evidence-Based Complement Altern Med.
16:12-20.
Hartaningsih, Sudana IG, Malole M. 1983. Gambaran darah sapi Bali di Bali. Hemera Zoa. 71:155-
160.
Haskell CF, Robertson B, Jones E, Forster J, Jones R, Wilde A, Maggini S, Kennedy DO. 2010.
Effects of a multi-vitamin/mineral supplement on cognitive function and fatigue during
extended multi-tasking. Hum Psychopharmacol Clin Exp. 25:448-461.
Hellmann H, Mooney S. 2010. Vitamin B6: A Molecule for Human Health? Molecules. 15:442-
459.
Kourtis AP, Read JS, Jamieson DJ. 2014. Pregnancy and Infection. The New England J Med.
370:2211-2218.
Menteri Pertanian RI. 2007. Peraturan Menteri Pertanian No.4/Permentan/OT.140/9/2007. Tentang
Pedoman Pelayanan Pusat Kesehatan Hewan.
Me´thot H, Girard CL, Matte JJ, Castonguay FW. 2008. Effects of dietary supplements of folic
acid on reproductive performance in ewes. Can J Anim Sci. 88:489-497.
Mitchell ES, Conus N, Kaput J. 2014. B vitamin polymorphisms and behavior: Evidence of
associations with neurodevelopment, depression, schizophrenia, bipolar disorder and
cognitive decline. Neurosci Biobehav Rev. 47:307-320.
Mitruka BJ, Rawnsley HM, Vadehra BV. 1977. Clinical biochemical and hematological reference
value in normal experimental animals. New York (USA): Masson Publishing, Inc.
Parra BE, Manjarrés LM, Gómez AL, Alzate DM, Jaramillo MC. 2005. Evaluation of nutritional
education and a supplement to prevent anemia during gestation. Biomédica. 25:211-99.
Sahin K, Sahin N, Onderci M, Gursu MF, Issi M. 2003. Vitamin C and E canalliviate negative
effect of heat stress in japanese quail. J Vet Sci. 73:307-312.
Sivakumar T, Tagawa M, Yoshinari T, Ybañez AP, Igarashi I, Ikehara Y, Hata H, Kondo S,
Matsumoto K, Inokuma H, Yokoyama N. 2012. PCR detection of babesia ovata from cattle
reared in Japan and clinical significance of co-infection with Theileria orientalis. J Clin
Microbiol. 50:2111-2113.
Sivaprasad M, Shalini T, Shayari D, Vijayalakshmi V, Bhanuprakash GR. 2016. Vitamins B6,
Folic Acid, and B12: Molecular functions and prevalence of deficiency in India. Proc Indian
Natn Sci Acad 82 No. 5 December 2016. pp. 1395-1412.
Syatriani S. Aryani A. 2010. Konsumsi makanan dan kejadian anemia pada siswi salah satu SMP
di kota Makassar. J Kesehat Masy Nas. 4:251-254.
156
Astiti & Hijriah: Efektivitas Vitamin B-Kompleks terhadap Gambaran Hematologi Sapi Bali Bunting dan Post-Partus
Zulkifli I, Norma MTC, Chong CH, Loh TH. 2000. Heterophil to lymphocyte ratio and tonic
immobility reactions to preslaughter handle in broiler chickens treated with ascorbic acid. J
Poult Sci. 79:401-406.
DISKUSI
Pertanyaan
Berapa kali pemberian vitamin B-komplek untuk induk bunting dan induk post-partus
untuk mendapatkan performa terbaik?
Jawaban
157
Ramadhan, Apri Fendy., dkk. Pengaruh Pemberian Vitamin ....
ABSTRACT
The research aimed to assess the effect of vitamin B complex to the
physiological, feed intake, and body weight recovery in Kacang goat after being
transported. The materials used were 16 male Kacang goats which were divided
into two age groups namely young and mature. The experimental design used in
this research was a nested design two phases with two age groups, and Vitamin B
complex nested at each age group which was given the feed without (T0) and with
vitamin B complex (T1). Parameters observed were physiologic (heart rate,
frequency of breathing and body temperature), feed intake and body weight gain.
The results during transportation showed that the heart rate of T0 sheep was
higher than of T1 (109 vs 96.5 beat/min; P<0.05), but the frequency of breathing
and body temperature was not different (P>0.05) as well as physiologically
between young and adult goats (P<0.05). The day required for recovery of heart
rate, frequency of breathing, body temperature and feed consumption between the
treatments were not different (P>0.05) as well as at between young and adult
goats (P>0.05). Similar results were found in the day required for recovery of
body weight in the T0 and T1, as well as in young and adult goats (P>0.05). The
conclusion could be drawn from this study were vitamin B complex could reduce
stress levels, but did not affect the day required for physiological recovery, feed
intake and body weight in Kacang goats after 7 hours transportation.
PENDAHULUAN
Transportasi merupakan salah satu faktor penunjang dalam manajemen
perusahaan untuk distribusi ternak dari sentra produksi ke konsumen. Lingkup
transportasi dapat mencakup dalam satu daerah, antar kota, maupun antar pulau.
Ternak yang berada di dalam alat angkut dimuat dalam posisi berdiri dan dalam
jarak yang rapat antar individu. Keadaan tersebut dapat menyebabkan luka
memar, stres maupun penyusutan bobot badan (Lasmi, 1988). Stres akibat
transportasi dapat berlangsung lama dan menimbulkan peningkatan peningkatan
tekanan darah, denyut jantung, intake oksigen, dan gangguan pencernaan
(Karnadi, 1999). Pengaruh stres akan berakhir sejalan dengan daya aklimatisasi
ternak terhadap lingkungan yang baru. Umumnya stres disebabkan kegagalan
dalam mempertahankan homeostatis (Fazio dan Ferlazzo, 2003). Pasca
pengangkutan juga akan berpengaruh terhadap produktivitas ternak, sehingga
ternak harus melalui tahap adaptasi dan pemulihan baik pemulihan fisiologi,
konsumsi pakan, dan bobot badan. Hogan et al. (2007) menyatakan bahwa
pemulihan konsumsi pada kambing setelah mengalami pemindahan tempat
pemeliharaan adalah sekitar 7 hari. Lama pemulihan ternak tergantung pada jenis
ternak dan kemampuan adaptasi.
Tindakan pencegahan atau preventif merupakan tindakan yang tepat untuk
meminimalkan resiko akibat stress selama transportasi. Salah satu upaya untuk
mengurangi tingkat stres adalah dengan pemberian vitamin B komplek
(McDowell, 2000). Vitamin adalah suatu senyawa organik yang terdapat di
makanan dalam jumlah yang sedikit, dan berpengaruh besar terhadap fungsi
metabolisme yang normal (Dorland, 2006). Penambahan vitamin B komplek pada
ternak dapat mengurangi stres dan meningkatkan pertumbuhan. Parakkasi (1999)
menyatakan bahwa pemberian thiamin dapat mengurangi problema stres akibat
pengangkutan hewan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian
vitamin B komplek terhadap pemulihan konsumsi pakan, bobot badan, dan
fisiologis ternak (frekuensi nafas, denyut nadi, suhu rektal) pasca transportasi.
Manfaat dari penelitian adalah sebagai alternatif penanganan transportasi dan
pasca transportasi, serta mengetahui pemulihan konsumsi dan bobot badan akibat
pengangkutan sehingga dapat menekan kerugian pasca transportasi.
dengan stetoskop pada paha sebelah kiri bagian dalam, kemudian dihitung selama
satu menit. Pengambilan data suhu rektal diukur dengan menggunakan
termometer rektal dengan cara memasukan ujung termometer ke dalam rektum
hingga menempel pada mucosanya selama satu menit. Pengambilan data kondisi
lingkungan dilakukan dengan mengukur suhu dan kelembaban lingkungan
menggunakan thermo-hygrometer. Pengambilan data konsumsi pakan dan air
minum yang diberikan secara ad libitum. Pengukuran konsumsi pakan dilakukan
dengan penimbangan pemberian pakan dan pakan yang sisa. Pengambilan data
selama 7 hari sebelum transportasi bertujuan untuk mengetahui kisaran normal
fisiologis kambing, fisiologis lingkungan, konsumsi pakan di Purwodadi.
Pemberian vitamin B kompleks diberikan ke ternak 1 jam sebelum pengangkutan
secara intra muscular dengan dosis 1 ml per 10 kg bobot badan. Pemberian ini
dilakukan untuk menjaga kondisi ternak saat pengangkutan. Perjalanan dari
Purwodadi ke Semarang ditempuh selama 7 jam dengan rute Purwodadi – Kudus
– Ungaran - Semarang. Pengangkutan menempuh jarak ±300 km yang berjalan
dari pukul 09.00 sampai 16.00 WIB. Setelah sampai, kambing langsung ditimbang
tanpa pemberian pakan dan air minum terlebih dahulu untuk mengetahui bobot
pasca pengangkutan.
Pemulihan Fisiologi Ternak, Konsumsi Pakan, dan Bobot Badan yang diberi
Vitamin B Komplek setelah Transportasi
Tabel 2 menunjukkan lama pemulihan denyut jantung kambing Kacang
pada perlakuan T0 dan T1, maupun pada kambing muda dan dewasa tidak
berbeda nyata (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian vitamin B
komplek pada kambing Kacang muda dan dewasa tidak berpengaruh terhadap
lama pemulihan denyut jantung. Persamaan lama pemulihan denyut jantung
diduga karena ternak sudah mampu beradaptasi dengan lingkungan baru. Hal ini
didukung oleh pendapat Broom (2003) dan Ndlovu et al. (2008) bahwa ternak
pada pasca transportasi akan beradaptasi dengan lingkungan baru ketika datang ke
lokasi pemeliharaan. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kambing
Kacang memiliki keunggulan dapat bertahan pada kondisi lingkungan yang
beragam dan mudah beradaptasi dengan lingkungan setempat. Lama pemulihan
frekuensi nafas pada kambing Kacang perlakuan T0 dan T1, maupun pada
kambing muda dan dewasa tidak berbeda nyata (P>0,05), yang menunjukkan
kambing mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya dan proses
termoregulasi pada kambing berlangsung secara optimal. Reksodihardiprodjo,
Lama pemulihan suhu tubuh kambing Kacang pada perlakuan T0 dan T1,
maupun pada kambing muda dan dewasa tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini
dapat dikarenakan suhu lingkungan yang lebih rendah daripada suhu tubuh,
sehingga panas di dalam tubuh cepat hilang. Tillman (1983) menyatakan bahwa,
kecepatan hilangnya panas dari tubuh ternak tergantung dari perbedaan antara
suhu tubuh dengan temperatur lingkungan dan dapat dipengaruhi pula oleh sifat-
sifat khusus pada hewan maupun lingkungannya. Hasil penelitian menunjukkan
lama pemulihan konsumsi pakan perlakuan T0 dan T1 tidak berbeda nyata
(P>0,05), yang mengindikasikan bahwa pemberian vitamin B komplek tidak
berpengaruh pada waktu pemulihan. Kondisi tersebut dapat disebabkan pengaruh
fisiologi lingkungan selama transportasi sehingga berpengaruh terhadap tingkat
stres yang dialami oleh ternak, seperti yang terlihat dari kondisi suhu rektal setiap
perlakuan relatif sama.
Lama pemulihan untuk ternak muda dan dewasa tidak berbeda nyata
(P>0,05). Persamaan waktu pemulihan konsumsi pakan pada kambing muda dan
dewasa diduga karena jenis pakan yang diberikan sama pada setiap perlakuan.
Perbedaan kondisi pakan ditempat yang baru dengan pakan ditempat asal
mengakibatkan ternak membutuhkan waktu adaptasi, sehingga akan memerlukan
waktu pemulihan yang panjang. Sebelum transportasi ternak diberi hijauan berupa
rumput gajah segar, sedangkan sesudah transportasi ternak diberi pakan hijauan
berupa rumput gajah dalam kondisi kering. Kemampuan ternak untuk
mengkonsumsi pakan tergantung dari bobot badan, jenis pakan hijauan, dan suhu
lingkungan (Rudiah, 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama pemulihan
bobot badan kambing Kacang T0 dan T1 tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian vitamin B komplek tidak mempengaruhi lama
pemulihan bobot badan. Cole et al (1982) menyatakan bahwa pemberian vitamin
B hanya sedikit mengurangi respon ketidaknormalan performa ternak. Lama
pemulihan bobot badan pada kambing muda dan dewasa tidak berbeda nyata
(P<0,05), yang tersebut menunjukkan bahwa umur tidak mempengaruhi waktu
pemulihan konsumsi. Rata-rata lama pemulihan untuk ternak muda 10 hari,
sedangkan ternak dewasa selama 11 hari. Kondisi tersebut dikarenakan suhu dan
kelembaban relatif sama, sehingga mengakibatkan tingkat stres yang dialami
ternak sama. Tingkat stres yang dialami ternak selama transportasi akan
berpengaruh terhadap konsumsi pakan ditempat yang baru. Santosa et al (2012)
menyatakan bahwa stres yang terjadi selama transportasi akan berpengaruh
terhadap fungsi rumen yang mempengaruhi fungsi rumen yang mempengaruhi
konsumsi pakan setelah transportasi.
Grafik Pemulihan Fisiologi Ternak, Konsumsi Pakan, dan Bobot Badan yang
diberi Vitamin B Komplek setelah Transportasi
DAFTAR PUSTAKA
Baihaqi, M., S. Rahayu dan B. Romadhona. 2011. Lama Rekondisi Bobot Badan
Domba Ekor Gemuk Yang Diberi Ransum Komplit Pasca Transportasi.
Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil.
Bogor. 98-102.
Broom, D.M. 2003. Causes Of Poor Welfare In Large Animal During Transport.
Vet. Res. Comm. 27: 515-518.
Fazio, E. dan A. Ferlazzo. 2003. Evaluation Of Stres During Transport. Vet. Res.
Commun. 27: 519-524.
Fisher, A., I. Colditz, C. Lee, dan D. Ferguson. 2008. The Impact of Land
Transport on Animal Welfare. RSPCA Australian Scientific Seminar.
Optus Lecture Theatre, CRISO Discovery Centre, Canberra, Australia.
Scharf, B., J.A. Carroll, D.G. Riley, C.C. Chase, Jr., S.W. Coleman, D.H. Keisler,
R.L. Weaber dan D.E. Spiers. 2010. Evaluation Of Physiological And
Blood Serum Differences In Heat-Tolerant (Romosinuano) And Heat-
Suspectible (Angus) Bos Taurus Cattle During Controlled Heat Challenge.
J. Anim. Sci. 88: 2321-2336.
Tillman. A.D. 1983. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press.
Jogjakarta.