Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH ILMU PENYAKIT DALAM HEWAN BESAR

LUMPY SKIN DISEASE (LSD)

Disusun oleh :
Nadia Salsabila Izzah 061911133056/B

FAKULTAS KEDOKTER HEWAN


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufiq dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Lumpy Skin Disease (LSD)” dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya.
Saya berterima kasih kepada Dr. Nusdianto Triakoso, Drh., MP selaku Dosen
Penanggung Jawab mata kuliah Ilmu Penyakit Dalam Hewan Besar Universitas
Airlangga yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Saya sangat berharap makalah ini dapat dipahami dan berguna dalam rangka
menambah wawasan bagi siapapun yang membacanya. Saya juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, saya berharap adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang telah
kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
saran yang membangun.

Surabaya, 4 Maret 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii


DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii
BAB I ................................................................................................................................ 5
PENDAHULUAN ............................................................................................................ 5
1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 5
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................. 6
1.3 Tujuan ................................................................................................................ 7
1.4 Manfaat .............................................................................................................. 7
BAB II .............................................................................................................................. 8
PEMBAHASAN ............................................................................................................... 8
2.1 Definisi Penyakit Lumpy Skin Disease (LSD) ................................................... 8
2.2 Etiologi dan Patogenesis Penyakit Lumpy Skin Disease (LSD) ........................ 8
2.3 Gejala Klinis dan Dampak yang Ditimbulkan dari Penyakit Lumpy Skin
Disease (LSD) ............................................................................................................... 9
2.4 Diagnosis Penyakit Lumpy Skin Disease (LSD) .............................................. 10
2.5 Faktor Resiko Terjadinya Infeksi Penyakit Lumpy Skin Disease (LSD) ......... 12
2.6 Perkembangan Penyebaran Penyakit Lumpy Skin Disease (LSD) Khususnya
Asia dan Asia Tenggara .............................................................................................. 15
2.7 Kaitan Penyakit Lumpy Skin Disease (LSD) di Indonesia............................... 20
2.8 Upaya Pengendalian Penyakit Lumpy Skin Disease (LSD) ............................. 22
BAB III ........................................................................................................................... 25
PENUTUP ...................................................................................................................... 25
3.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 25
3.2 Saran ..................................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 27

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lumpy Skin Disease (LSD) atau disebut juga “Pseudo-urticaria”, “Neethling virus
disease”, “exanthema nodularis bovis”, “knopvelsiekte” (Abutarbush 2017). Lumpy Skin
Disease (LSD) diklasifikasikan dalam genus Capripoxviru, famili Poxviridae, yang
termasuk kerabat dekat virus, pada tingkat genetik, cacar domba (SPPV) dan kambing
cacar (GTPV) (Buller et al., 2005; Bhanuprakash et al.,2006). LSD ialah penyakit pada
sapi yang disebabkan oleh virus pox dengan penularan utama diduga melalui vector
meskipun belum diketahui secara jelas mekanismenya. Vektor artropoda bertanggung
jawab atas penyebaran penyakit termasuk menggigit lalat, nyamuk dan kutu
(Tuppurainen et al. 2011; Lubinga et al. 2013a,B). Penyakit ini dapat menginfeksi sapi
dan kerbau serta memiliki dampak ekonomi bagi peternak. Penyakit ini pertama kali
ditemukan pada tahun 1929 di Afrika kemudian menjadi endemic (Moris et al. 1931).
Lumpy skin disease (LSD) adalah penyakit virus yang muncul dari sapi yang terkait
dengan morbiditas yang signifikan pada sapi. LSD merupakan penyakit non-zoonotic
karena tidak terkait dengan kematian yang tinggi, namun penyakit ini dapat menyebabkan
kerugian ekonomi yang besar karena penurunan pakan asupan, produksi susu, dan
konversi berat badan, aborsi dan kemandulan, dan kulit sapi yang rusak. LSD merupakan
penyakit penting yang harus dilaporkan dan mempengaruhi karena mempengaruhi
perdagangan internasional.

Di Indonesia, penyakit ini masih belum dilaporkan keberadaannya dan dinyatakan


bebas terhadap infeksi LSD. Mengingat penyakit ini merupakan penyakit eksotik bagi
Indonesia, maka pengenalan penyakit LSD sangat diperlukan terutama bagi dokter hewan
lapang, penyuluh dan pemilik ternak, sehingga antisipasi dapat dilakukan lebih awal bila
terdapat penyakit yang dicurigai LSD. Penyebaran LSD dapat disebabkan oleh lalu lintas
ternak terutama dari daerah tertular sehingga LSD termasuk dalam transboundary animal
disease (TAD). Oleh karena itu LSD termasuk notifiable disease dalam daftar Badan
Kesehatan Hewan Dunia (WAHO/OIE) (OIE 2017). Morbiditas dan mortalitas LSD
dapat sangat bervariasi tergantung pada jenis sapi, status imunologi populasi, vektor

5
serangga yang terlibat dalam penularan dan isolat virus. Di dalam morbiditas daerah
endemik biasanya sekitar 10% dan kisaran kematian antara 1% dan 3% (Mulatu E, Feyisa
A, 2018). Tingkat penularan penyakit antara 10-20 % dengan mortalitas sebesar 1-5 %
(EFSA 2017). Tingkat morbiditas dapat mencapai 27 % (Ince & Turk 2020), bahkan
tingkat morbiditas 35-40% dan mortalitas 12% pernah di laporkan di Oman pada tahun
2009 yaitu pada sapi perah (Sherlyn et al. 2013). Masa inkubasi berkisar 2 hingga 5
minggu, namun secara percobaan demam muncul 6-9 hari pasca inokulasi dan nodul
muncul antara 4 hingga 20 hari pasca inokulasi. Sehingga OIE menetapkan masa inkubasi
LSD adalah 28 hari (OIE 2017 ).

Infeksi LSD ditandai dengan adanya nodul-nodul di tubuh sapi, demam, nafsu makan
menurun sehingga menyebabkan tubuh ternak kurus, dan penularan penyakit ini sangat
cepat diantara kelompok sapi, gejala LSD pada sapi ringan sampai berat ditandai dengan
demam, beberapa nodul kulit yang menutupi leher, punggung, perineum, ekor, anggota
badan dan organ genital, selaput lender lesi mungkin juga melibatkan jaringan subkutan
dan kadang-kadang otot dan internal organ. Hewan yang terkena juga menunjukkan
kepincangan, kekurusan dan berhentinya produksi ASI. Edema tungkai dan Sandung
lamur, dan limfadenitis adalah hewan yang sangat menonjol dan terkadang menyebabkan
kematian. Selain itu, pneumonia adalah sekuel umum pada hewan dengan lesi di mulut
dan saluran pernapasan sehingga menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi
peternak sapi terutama di Afrika (Gibbs et al 2013; OIE 2017).

Makalah ini membahas berbagai hal terkait penyakit LSD terutama tentang
perkembangan penyebaran penyakit khususnya di Asia dan Asia Tenggara, dan
bagaimana kaitan penyakit tersebut di Indonesia dan cara penyebaran penyakit, diagonis,
factor risiko dan pengendalian, sehingga kemungkinan masuknya LSD ke Indonesia
dapat dideteksi, dilaporkan dan dilakukan tindakan preventif serta direspon sedini
mungkin oleh seluruh pemangku kepentingan (Wartazoa 2021).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah yang dapat ditarik ialah:
a. Apakah yang dimaksud penyakit Lumpy Skin Disease (LSD)?
b. Apakah etiologi dan patogenesis dari penyakit Lumpy Skin Disease (LSD)?

6
c. Bagaimanakah gejala klinis serta dampak yang ditimbulkan oleh penyakit Lumpy
Skin Disease (LSD)?
d. Bagaimanakah diagnosis penyakit Lumpy Skin Disease (LSD)?
e. Bagaimanakah factor risiko terjadinya infeksi penyakit Lumpy Skin Disease
(LSD)?
f. Bagaimanakah perkembangan penyebaran penyakit Lumpy Skin Disease (LSD)
khususnya di Asia dan Asia Tenggara?
g. Bagaimanakah kaitan penyakit Lumpy Skin Disease (LSD) di Indonesia?
h. Bagaimanakah upaya pengendalian penyakit Lumpy Skin Disease (LSD)?

1.3 Tujuan
a. Mengtahui apa itu penyakit Lumpy Skin Disease (LSD).
b. Mengetahui etiologi dan patogenesis dari penyebab dari penyakit Lumpy Skin
Disease (LSD).
c. Mengetahui gejala klinis serta dampak yang ditimbulkan oleh penyakit Lumpy
Skin Disease (LSD).
d. Mengetahui diagnosis penyakit Lumpy Skin Disease (LSD).
e. Mengetahui factor risiko terjadinya infeksi penyakit Lumpy Skin Disease (LSD).
f. Mengetahui perkembangan penyebaran penyakit Lumpy Skin Disease (LSD)
khususnya di Asia dan Asia Tenggara.
g. Mengatahui kaitan penyakit Lumpy Skin Disease (LSD) di Indonesia.
h. Mengetahui upaya pengendalian penyakit Lumpy Skin Disease (LSD).

1.4 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi hal terkait penyakit LSD
terutama tentang perkembangan penyebaran penyakit khususnya di Asia dan Asia
Tenggara, dan bagaimana kaitan penyakit tersebut di Indonesia dan cara penyebaran
penyakit, diagonis, factor risiko dan pengendalian, sehingga kemungkinan masuknya
LSD ke Indonesia dapat dideteksi, dilaporkan dan dilakukan tindakan preventif serta
direspon sedini mungkin oleh seluruh pemangku kepentingan.

7
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Penyakit Lumpy Skin Disease (LSD)


Lumpy Skin Disease (LSD) merupakan penyakit viral infeksius yang disebabkan oleh
virus dengan genus Capripoxvirus, subfamily Chordopoxvirniae, family Poxviridae.
Penyakit ini biasa disebut dengan “LSD”, “Pseudo-urticaria”, “Neethling virus disease”,
“Exanthema Nodularis Bovis”, dan “Knopvelsiekte” (Al-Salihi 2014, Tuppurainen et al.
2017). LSD ialah penyakit pada sapi yang disebabkan oleh virus pox dengan penularan
utama diduga melalui vector meskipun belum diketahui secara jelas mekanismenya. LSD
merupakan penyakit non-zoonotic karena tidak terkait dengan kematian yang tinggi,
namun penyakit ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang besar karena penurunan
pakan asupan, produksi susu, dan konversi berat badan, aborsi dan kemandulan, dan kulit
sapi yang rusak. LSD merupakan penyakit penting yang harus dilaporkan dan
mempengaruhi karena mempengaruhi perdagangan internasional.

2.2 Etiologi dan Patogenesis Penyakit Lumpy Skin Disease (LSD)


Lumpy Skin Disease disebabkan oleh virus LSD dari genus Capripox, famili
Poxviridae (Lojkic et al. 2018). Genus Capripox terdiri dari virus Goat pox (GP), virus
sheep pox (SP) dan virus LSD. Virus LSD merupakan double stranded deoxy-ribo nucleic
acid (DNA), mempunyai amplop lipid, bereplikasi pada sitoplasma dan mempunyai
kemiripan yang tinggi hingga 96% dengan genom virus SP dan virus GP. Namun, virus
ini tidak ditemukan pada kambing dan domba. Oleh karena itu, reaksi silang pada uji
serologis sering terjadi. Virus ini terdiri dari 150 kilobase pairs, dengan diameter berkisar
230–260 nm (Lojkic et al. 2018). Di lingkungan, virus LSD sangat stabil dalam waktu
lama pada suhu kamar, terutama pada keropeng kering. Pada kulit yang mengalami
nekrotik, virus pada nodul dapat bertahan hingga 33 hari atau lebih, pada kerak kering
hingga 35 hari, dan setidaknya 18 hari dalam kulit yang dikeringkan. Namun virus peka
terhadap sinar matahari dan deterjen (Kumar et al 2021; OIE 2017).
LSD dimanifestasikan oleh ledakan cepat dari beberapa nodul kulit terbatas dan
disertai dengan reaksi demam. Penyebaran partikel virus terjadi melalui darah dan
membentuk limfadenitis umum. Viremia terjadi setelah kondisi demam awal selama

8
hampir 4 hari. Lesi kulit berikut karena replikasi virus dalam sel-sel tertentu seperti
fibroblas, perisit, dan, sel-sel endotel limfatik dan pembuluh darah lesi diproduksi di situs
tersebut. Perubahan histopatologi pada cedera kulit akut meliputi limfangitis, vaskulitis,
trombosis, infark, edema, dan nekrosis. Nodul dapat ditemukan di jaringan subkutan dan
fasia otot. Jaringan tetangga epidermis, dermis, dan otot inti mengungkapkan perdarahan,
kemacetan, dan edema dengan kelenjar getah bening distensi. Sebuah struktur khusus
yang disebut 'duduk-puasa' (inti nekrotik terlepas dari kulit yang berdekatan) biasanya
terlihat di bagian tubuh yang berbeda, yang mungkin mengalami ulserasi. Status
imunologis host memperlihatkan tingkat yang lebih rendah dari difusi limfosit dan
gerakan fagositosis selama empat belas hari berikutnya pasca infeksi lebih 6 bulan karena
memperoleh antibodi ibu (Tuppurainen et al., 2005).
2.3 Gejala Klinis dan Dampak yang Ditimbulkan dari Penyakit Lumpy Skin
Disease (LSD)
Gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi virus LSD antara lain demam
mencapai 41,5°C, tidak nafsu makan dan penurunan produksi susu, ingusan,
konjungtivitis, hipersalivasi, depresi dan pembengkakan limfoglandula yaitu Lgl.
subscapularis dan Lgl. prefemoral, dan terdapat nodul pada kulit yang berbatas, jelas dan
menonjol di bawah kulit atau di bawah otot dengan diameter antara 2-5 cm. Umumnya
nodul terdapat di daerah kepala, leher, punggung, abdomen, ekor dan bagian daerah
genital. Nodul ini akan nekrosis dan menyebabkan sitfast yaitu meninggalkan lubang
yang dalam. Pada sapi jantan dapat menyebabkan infertilitas permanen atau sementara,
sedangkan pada sapi betina menyebabkan abortus dan infertilitas sementara. Umumnya
sapi yang terkena sulit untuk sembuh total. Infeksi sekunder sering terjadi terutama
pneumonia dan nodul yang tergigit lalat akan menyebabkan luka yang dalam. Sebagian
hewan tidak menunjukkan gejala klinis, meskipun antibodi dapat terdeteksi (Issimov et
al. 2020). Karena itu diagnosis yang cepat dan akurat sangat diperlukan agar penyebaran
nfeksi LSD dapat dicegah.

Masa inkubasi penyakit dalam kondisi alami adalah antara 2 dan 5 minggu
tetapi dalam kondisi eksperimental, durasinya berkisar antara 7 sampai 14 hari. LSD
mengambil tiga bentuk: bentuk akut, subakut dan kronis. Penyakit dimulai dengan

9
demam bifasik. Manifestasi klinis dalam bentuk ringan Infeksi muncul sebagai satu atau
dua benjolan nodul dalam jarak 2 sampai 3 hari onset demam, kekurusan, sekret mata,
agalaktia. Kemudian, lesi nodular, yang menyakitkan dan hiperemis dapat diamati pada
tubuh hewan terutama di kulit moncong, nares, punggung, kaki, skrotum, perineum,
kelopak mata, telinga bagian bawah, mukosa hidung dan mulut, dan ekor (Salib dan
Osman 2011). Dalam kondisi parah, lebih dari seratus nodul berkembang pada kulit di
seluruh tubuh dan tahap ini bertahan selama 7 sampai 12 hari.

Mengingat kasus LSD belum ada di Indonesia, maka dampak ekonomi yang
ditimbulkan akan sangat merugikan peternak apabila penyakit ini masuk ke Indonesia.
Beberapa kerugian yang akan dirasakan peternak antara lain kerusakan kulit sapi/ kerbau
yang akhirnya tidak laku dijual, turunnya berat badan ternak, produksi susu menurun,
abortus dan ternak tidak fertile sementara, kehilangan tenaga kerja hewan sebagai
pembajak sawah, kematian ternak, biaya untuk vaksinasi dan pengobatan simptomatis
ternak yang terinfeksi, biaya pencegahan kontak vektor dan hewan serta disinfeksi lokasi
ternak. Hal tersebut belum termasuk biaya kompensasi apabila akan menerapkan sistem
stamping out. Dampak tersebut dapat berakibat secara global dengan terjadi pembatasan
lalu lintas ternak dan pembatasan terhadap perdagangan ternak. Untuk itu teknologi yang
cepat dan akurat sangat diperlukan dalam mendeteksi dini adanya infeksi LSD di
Indonesia. Balai Besar Penelitian Veteriner (BBLitvet) telah memiliki sumber daya
manusia (SDM), teknologi deteksi dini, fasilitas pengembangan biakan jaringan dan
fasilitas laboratorium BSL 3 untuk melakukan penelitian penyakit eksotik seperti LSD
secara aman.

2.4 Diagnosis Penyakit Lumpy Skin Disease (LSD)


Diagnosis LSD tidak hanya berdasarkan gejala klinis, namun harus dengan
dilakukankan uji laboratorium baik secara serologis, virologis, biologi molekuler maupun
identifikasi virus dengan mikroskop elektron. Selain itu, dalam menegakkan diagnosis
perlu dipertimbangkan diagnosis banding (differential diagnosis) penyakit mengingat
terdapat penyakit lain yang menunjukkan gejala klinis yang mirip dengan LSD (Wartazoa
2021).

10
Diagnosis penyakit eksotis sedikit menantang karena kurangnya keakraban dan
logistik. Dalam kasus LSD, tanda-tanda klinis dapat dikacaukan dengan penyakit lain
seperti penyakit kaki dan mulut (FMD), gigitan serangga, demodikosis dan
hipersensitivitas. Diagnosis tentatif dapat dibuat berdasarkan nodul kulit diamati pada
wajah, kelopak mata, leher, moncong, lubang hidung, ambing, anggota badan. Sampel
biopsi kulit dapat dikumpulkan untuk konfirmasi lebih lanjut penyakit. Sampel harus
diangkut dalam media transportasi dengan 20 sampai 50% gliserol dalam salin buffer
fosfat. Sampel kulit dapat diperiksa dengan mikroskop elektron untuk mengidentifikasi
virus (Davies dkk. 1971). Sampel kulit juga menunjukkan karakteristik perubahan
histopatologis, yang meliputi vaskulitis dan infiltrasi perivaskular dengan sel darah putih
menyebabkan trombosis pembuluh darah di dermis dan subkutis. Sel yang menginfiltrasi
lesi adalah sel epitel, yang dikenal sebagai "celles clavelauses", yang juga dijelaskan pada
penyakit cacar domba. Pengendapan gel agar tes tidak spesifik untuk LSD karena antigen
LSDV digunakan bersama dengan capripoxvirus dan parapox viurs lainnya. Isolasi virus
dapat digunakan untuk diagnosis konfirmasi di ceruk baru. Testis sapi dan domba pra-
pubertas, primer dan kultur sekunder paling sensitif untuk isolasi virus.

Diagnosis molekuler dengan PCR paling efisien dan cepat tes untuk diagnosis
penyakit. Konvensional dan real-time PCR telah dikembangkan untuk diagnosis cepat
(Heine dkk. 1999; Mangana-Vougiouka dkk. 1999; Orlova dkk. 2006; Tuppurainen dkk.
2005; Zheng dkk. 2007; Bowden dkk. 2008). Diferensiasi LSDV dari yang lain
Capripoxvirus dengan PCR waktu nyata telah dikembangkan (Lamien et al. 2011).

Mengingat LSD belum masuk ke Indonesia, dan fasilitas laboratorium untuk


menangani penyakit eksotik seperti laboratorium BSL3 masih terbatas, maka pengujian
VNT sulit dilakukan dengan pertimbangan, menggunakan virus hidup, menggunakan
biakan jaringan baik primer maupun lestari. Padahal, tidak semua laboratorium Veteriner
yang ada mempunyai fasilitas untuk pengembang biakan jaringan. Oleh karena itu,
penggunaan uji ELISA lebih dianjurkan, selain menggunakan antigen mati atau
rekombinan, uji ini baik untuk skrining, meskipun reaksi silang dengan virus goat pox
dan virus sheep pox masih terjadi. Apabila di Indonesia ditemukan hewan yang
menunjukkan gejala klinis seperti LSD, maka pengujian yang dapat dilakukan yaitu

11
dengan menggunakan PCR dan dilanjutkan dengan sekuensing sebagai uji konfirmasi
diagnosis penyebab penyakit.

Diagnosa Banding

Beberapa gejala klinis infeksi LSD, seperti adanya nodul, nekrosis pada nodul,
demam, dan pembesaran limfonodus, juga terlihat pada penyakit ternak lainnya seperti
pseudo-lumpy skin disease/bovine herpes mammillitis, dermatophilosis, ringworm,
gigitan serangga atau kutu, vaccinia virus dan cowpox virus (Orthopoxviruses),
rinderpest, demodikosis, onchocercosis, pseudocowpox (Parapoxvirus), besnoitiosis,
infestasi Hypoderma bovis, photosensitization, bovine papular stomatitis, urtikaria, dan
cutaneous tuberculosis (Sudhakar et al. 2020).

2.5 Faktor Resiko Terjadinya Infeksi Penyakit Lumpy Skin Disease (LSD)
Faktor risiko terjadinya infeksi LSD diantaranya adalah kondisi lingkungan, letak
demografi, manajemen peternakan, populasi vektor, dan data epidemiologi termasuk
pergerakan hewan, virulensi virus, status imun, iklim baik angin dan curah hujan (Ince &
Turk 2019).

Faktor risiko keparahan LSD diidentifikasi dalam 3 kategori dasar.

Faktor Terkait Host

LSD adalah penyakit spesifik inang yang menyerang sapi secara parah dan kerbau
air Asia (Bubalus bubalis) memiliki tingkat morbiditas yang jauh lebih rendah daripada
sapi. Sapi dari kedua jenis kelamin rentan terhadap virus, berapa pun usianya. Derajat
keparahan penyakit ditentukan oleh kerentanan pejamu dan kondisi imunologis. Breed
asli (Bos indicus) kurang rentan terhadap penyakit klinis dibandingkan dengan Bos
Taurus. Selain itu, hewan muda menunjukkan kerentanan dan keparahan yang lebih
tinggi daripada sapi tua. Peran satwa liar sebagai reservoir virus yang mungkin harus
diklarifikasi Jerapah (Giraffa camelopardalis) dan impala (Aepyceros melampus)
menunjukkan kerentanan terhadap LSDV dalam inokulasi eksperimental.

12
Faktor Terkait Agen

LSDV sangat stabil dalam berbagai kondisi lingkungan. Ini tahan terhadap
pengeringan dan inaktivasi, dapat bertahan dalam keropeng kering dan juga tahan
terhadap lapisan es dan pencairan. Virus dilaporkan keluar melalui eksudasi hidung, air
mata, dan faring dari hewan yang sakit, dan juga dalam air liur, darah, susu, dan air mani.
Pada darah sapi yang menular, virus telah diisolasi dalam waktu sekitar 8,8 hari dan DNA
virus dalam waktu 16,3 hari. Itu bisa bertahan hingga 22 hari dalam air mani dan 11 hari
dalam air liur di lingkungan yang sesuai. Keberadaan untuk waktu yang lebih lama di
fomites, pakaian, dan peralatan telah terbukti tetapi tidak ada indikasi telah ditemukan
pada serangga melebihi empat hari.

Faktor Manajemen Lingkungan

LSDV dapat menginfeksi, bertahan, dan berkembang di dalam host yang rentan
saat mendapatkan lingkungan yang tepat. Kondisi iklim yang hangat dan lembab yang
mendukung perkembangbiakan nyamuk, lalat, dan caplak yang lebih tinggi dilaporkan
sebagai faktor risiko lingkungan yang penting. Penyakit ini paling sering terlihat selama
musim hujan ketika ada banyak serangga penghisap darah di sekitarnya. Beberapa
penelitian melaporkan morbiditas yang lebih tinggi di peternakan besar intensif
dibandingkan dengan peternakan kecil di halaman belakang. Tempat penggembalaan dan
pengairan umum dapat memfasilitasi sirkulasi virus melalui transmisi vektor. Selain itu,
masuknya hewan baru dalam kawanan tanpa mengamati periode karantina yang tepat
dilaporkan sebagai faktor risiko LSD.

Faktor lokasi demografi dan iklim diantaranya sumber air, suhu lingkungan, dan
curah hujan. Di negara 4 musim, infeksi LSD sering terjadi pada musim panas, sedangkan
di daerah tropis terjadi pada musim hujan. Populasi sapi yang hidup di daerah basah
memiliki risiko paling tinggi. Hal ini mungkin disebabkan karena di daerah basah dan
lembah merupakan tempat perkembangbiakan yang baik bagi vektor mekanik seperti
Aedes sp. Dengan meningkatnya populasi vektor mekanik, maka peluang penularan virus
LSD dari vektor tersebut akan meningkat yang menyebabkan prevalensi LSD akan
meningkat (Molla et al. 2018). Hasil ini juga didukung oleh penelitian Ochwo et al.

13
(2019), menyebutkan bahwa prevalensi LSD lebih tinggi pada daerah dengan curah hujan
tahunan rata-rata> 1000 mm. Lebih lanjut, penelitian Ince & Turk (2020) menyatakan
bahwa wabah LSD di Turki meningkat antara bulan Juni hingga Oktober atau pada musim
panas, dan wabah tertinggi terjadi pada bulan Agustus sedangkan pada musim semi
merupakan musim yang paling rendah terjadi wabah.

Manajemen perkandangan dengan sistem kandang komunal dapat meningkatkan


penularan LSD karena bila ada sapi yang sakit dan tersedianya vektor, maka penularan
akan semakin banyak terjadi (Ochwo et al. 2019). Faktor risiko lebih tinggi pada ternak
bibit daripada ternak potong, karena ternak bibit lebih panjang waktu kontak dengan
vektor dan hewan lain pun lebih tinggi (Horigan et al. 2018). Lebih lanjut, ternak hasil
persilangan (26%) lebih tahan terhadap infeksi LSD daripada ternak lokal (38%) dan
mortalitasnya 2,5% pada sapi persilangan dan 9,8% pada sapi lokal (Ince & Turk 2020).

Faktor umur dan jenis kelamin menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap
infeksi LSD. Morbiditasnya lebih tinggi pada hewan muda dan betina karena faktor
laktasi dan kebuntingan yang dapat menyebabkan stres dan penurunan imunitas. Hewan
muda lebih peka dibanding yang tua erutama pada musing kemarau. Hal ini terlihat pada
penelitian Ince & Turk (2020) di Turki yang menunjukkan bahwa morbiditas dapat
mencapai 61% dan mortalitas dapat mencapai 6% pada sapi berusia dibawah 2 tahun,
sedangkan pada sapi yang berusia diatas 4 tahun prevalensinya hanya mencapai 6%.
Demikian pula morbiditas pada hewan betina (29.9%) lebih tinggi dari jantan (11 %).
Namun hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Molla et al. (2018) di Ethiopia, yang
menyatakan bahwa prevalensi LSD pada sapi dewasa (> 4 tahun) lebih tinggi dari pada
sapi muda. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor stres akibat ternak di perkerjakan
sangat berat untuk membajak sawah dan untuk produksi susu di masa laktasi. Dari data
tersebut tampak bahwa letak geografis, sistem manajemen, umur dan jenis kelamin ikut
berperan dalam variasi prevalensi infeksi LSD.

Akhir-akhir ini, terjadi peningkatan pergerakan/ lalu lintas antar negara, baik
berupa hewan, bahan asal hewan, dan produk hewan. Faktor lalu lintas hewan baik secara
legal maupun ilegal memegang peranan penting dalam penyebaran penyakit LSD
disamping faktor vektor mekanik dan hewan yang asimptomatik. Vektor artropoda

14
berperan memindahkan agen penyakit yang berasal dari tubuhnya sendiri ataupun yang
berasal dari hospes vertebrata ke hospes lainnya. Hal ini sangat berbahaya apabila ada
vektor artropoda yang membawa agen penyakit dari suatu daerah secara tidak sengaja
masuk ke suatu daerah yang bebas agen penyakit tersebut, dan pada akhirnya akan
menularkan dan menyebarkannya. Untuk itu, sistem karantina yang ketat dan monitoring
secara laboratori perlu dilakukan. Di Indonesia sendiri telah ada pedoman karantina yang
mengatur tentang vektor ini, yaitu Surat Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian
No. 2159 tahun 2018. Pedoman ini mengatur semua vektor yang akan masuk ke dalam,
dibawa, dikirim dari suatu area ke area lain atau dikeluarkan dari Indonesia dikenakan
tindakan karantina yang meliputi pemeriksaan, penahanan, penolakan, pemusnahan, atau
pembebasan.

Melihat kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan beriklim tropis


dengan curah hujan yang cukup tinggi maka sangat dimungkinkan kejadian LSD dapat
berkembang dan menyebar. Mayoritas peternak di Indonesia merupakan peternakan
tradisional yang berkelompok dan di kandangkan dengan sistem pembuangan limbah
ternak belum dilakukan dengan baik, misalnya feses yang bertumpuk dapat menjadi
media perkembangbiakan vektor, sehingga berpotensi meningkatnya populasi vektor
yang akhirnya dapat menularkan virus ini. Selain itu biosecurity pada peternakan rakyat
belum bisa maksimal atau bahkan tidak ada. Dengan melihat banyaknya faktor risiko
yang dimiliki Indonesia, seperti iklim, letak demografi, manajemen peternakan dan
keberadaan vektor, maka pencegahan masuknya penyakit ini harus mendapat perhatian
khusus mengingat dampaknya yang begitu merugikan.

2.6 Perkembangan Penyebaran Penyakit Lumpy Skin Disease (LSD) Khususnya


Asia dan Asia Tenggara
Di Timur Tengah dan Asia, konflik sipil menghambat layanan veteriner dan
mengganggu pola pergerakan ternak dalam meningkatnya penyebaran virus.
Meningkatnya perdagangan ilegal hewan mengarah penyebaran lebih lanjut
(Tuppurainen dan Oura, 2012). Beberapa wabah LSD yang pernah endemik hanya di
benua Afrika, secara sporadis terjadi di luar Afrika, di Madagaskar (1929), Israel (1989),
dan Timur Tengah (misalnya, Kuwait 1991) dan baru-baru ini di Uni Arab Emirates
(2000), Bahrain (2003), Oman (2009), Bangladesh (2019), India (2019), Tiongkok (2019,

15
2020), Nepal (2020), Sri Lanka (2020), Bhutan (2020), Vietnam (2020), Myanmar
(2020), Thailand (2021), Malaysia (2021), Laos (2021) dan Kamboja (2021) (Odend'hal,
1983; Shimshony, 1989; Tuppurainen dan Oura, 2012; Tageldin et al., 2014). Penyakit
LSD di Asia kini telah muncul sebagai tantangan bagi manajemen peternakan Asia dan
ancaman terhadap ketahanan pangan.

Saat ini sebagian besar hewan Asia Tenggara terpengaruh dengan cepat oleh penyakit
LSD. Tanah pertama di benua Asia yang melaporkan terjadinya LSD adalah Bangladesh.
Menurut laporan situasi OIE dan artikel ilmiah baru-baru ini, terdapat 8 negara di wilayah
yang melaporkan wabah penyakit ini termasuk Bangladesh, Cina, India, Nepal, Bhutan,
Vietnam, Hong Kong, dan Myanmar hingga penyelidikan dilakukan. Republik
Bangladesh adalah negara bagian terpadat kedelapan di dunia, dan secara terestrial
dikelilingi oleh India dari timur, barat, dan utara, Teluk Benggala dari selatan dan
Myanmar dari tenggara. Sekitar 24 juta sapi bersama dengan 1,5 juta kerbau
didokumentasikan di tanah ini.

Secara teratur, sejumlah besar hewan diimpor dari India dan melakukan perjalanan ke
pedalaman untuk memenuhi permintaan daging sapi yang tinggi di dalam negeri, serta di
Cina. Selain itu, impor satwa kebun binatang dari berbagai belahan dunia dapat membuat
LSDV lebih mudah masuk ke negara tersebut. Karena kemunculan pertamanya di tiga
upazilla, Anowara, Karnophuli, dan Patia di Chattogram pada Juli 2019, LSD telah
diklasifikasikan sebagai penyakit eksotis di Bangladesh.

Pada 3 Agustus 2019, China menjadi negara kedua di Asia Tenggara yang mengalami
epidemi. Terdapat 65 hewan yang terinfeksi di wilayah Ili Kazak yang terletak di provinsi
Xinjiang barat laut yang berbatasan dengan Kazakhstan dan merupakan daerah 4 juta
sapi, sebagaimana dibuktikan oleh QPCR. Sejak saat itu, total 9 wabah terpisah telah
didokumentasikan di 7 provinsi di Cina dengan tingkat morbiditas 19,5% (156 dari 801)
dan kematian 0,9% (7 dari 801). Penyebaran penyakit telah meningkat pesat dari bagian
barat ke timur Cina dalam waktu satu tahun dan bahkan di luar benua ke Pulau Taiwan.

Menurut OIE, India menghadapi 3 wabah utama LSD di distrik Mayurbhanj di negara
bagian Odisha diikuti oleh masing-masing satu serangan di 4 distrik lagi, sehingga jumlah

16
total wabah di bagian timur negara itu. Terdapat 182 yang terpengaruh secara klinis
diantaranya 2.539 hewan yang rentan dengan tingkat morbiditas yang jelas 7,1% tanpa
kematian yang tercatat. Dalam hal kabupaten yang terkena dampak, Cuttack
menunjukkan tingkat morbiditas tertinggi 38,34%, dan Kendrapara menunjukkan 0,75%.
Hampir setelah jeda satu tahun, Nepal mengalami wabah LSDV pertamanya pada Juni
2020 di beberapa peternakan sapi di Morang yang berbatasan dengan India. Akibatnya,
beberapa kabupaten lain terkena dampak sepanjang Juli. Semua sampel nodul eksternal
(34 sampel) bereaksi positif terhadap RT-PCR dan tidak ada informasi kematian hewan.

Berdasarkan portal situasi OIE, 4 negara lagi di Asia Tenggara yaitu Bhutan,
Vietnam, Hong Kong dan Myanmar telah diserang oleh LSDV. Tidak ada publikasi
ilmiah yang tersedia mengenai lokasi spesifik yang terkena, morbiditas dan mortalitas di
negara negara tersebut kecuali laporan situasi OIE.

Epidemiologi Wabah pada Beberapa Negara di Asia

• Bangladesh

Wabah pertama di Asia terjadi di Bangladesh pada pertengahan Juli 2019 menyerang
66 ekor sapi di Chittagong/Chattogram (Badhy et al., 2021). Wabah kedua terjadi di
Dhaka pada Oktober 2019 dan menginfeksi 16 ternak. Wabah ketiga terjadi di Khulna
pada Maret 2020 dan berdampak 33 sapi, sementara wabah keempat terjadi di Rajshahi
pada Maret 2020 dan menginfeksi 60 ekor sapi. Tidak ada kematian yang dilaporkan
dalam setiap wabah mana pun dan tingkat morbiditas bervariasi.

• China

Wabah pertama di Republik Rakyat Tiongkok terjadi di Provinsi Xinjiang pada


minggu pertama Agustus 2019 dan menyerang 65 sapi, dengan semua hewan yang
terinfeksi disembelih. Pada Juli 2020 delapan wabah di tujuh provinsi Cina dilaporkan,
mempengaruhi 156 ternak dan mengakibatkan kematian tujuh orang (Lu et al., 2020).

• India

Wabah terjadi di India pada minggu kedua Agustus 2019 mnginfeksi 9 sapi di negara
bagian Orissa/Odisha. Kemudian dua wabah lainnya terjadi pada bulan Agustus, di

17
negara bagian yang sama menyerang 79 sapi. Secara keseluruhan tingkat morbiditas dan
mortalitas yang jelas di negara ini adalah 8,48% dan 0% (Sudhakar et al., 2020).

• Nepal

Wabah Nepal pertama terjadi pada minggu keempat Juni 2020 (Acharya and Subedi,
2020), menyerang persilangan 500 Jersey, Holstein Persilangan Friesian, dan sapi lokal
dari berbagai kelompok umur (4 bulan sampai 8 tahun). Dalam seminggu, beberapa
daerah di Provinsi Koshi terpengaruh menyebabkan kematian 12 ekor sapi. Wabah kedua
dan ketiga di bulan Juli 2020 menyerang 700 sapi persilangan Jersey dari berbagai
kelompok umur di Provinsi Narayani dan 20 sapi persilangan Jersey dari berbagai
kelompok umu di dua wilayah Provinsi No. 2. Di Provinsi Bagmati, 175 Jersey sapi
persilangan terpengaruh dan tidak ada kematian yang dilaporkan pada yang terakhir
wabah. Empat wabah lagi terjadi pada bulan Juli dan Agustus, dua di Provinsi Gandaki,
juga menyerang kerbau Murrah. Namun kerbau yang tidak bersentuhan langsung dengan
ternak tampaknya tidak terpengaruh. Total dari 1220 hewan terinfeksi termasuk 12
kematian. Secara keseluruhan terlihat angka kesakitan dan kematian di negara tersebut
adalah 14,52% dan 0,14%.

• Sri Lanka

Enam wabah terjadi dari minggu pertama September 2020 di Kota Kopay dekat Kota
Jaffna di Provinsi Utara mempengaruhi 36 ternak. Wabah kedua terjadi di
Chavakachcheri, sebuah kota besar di Jaffna di provinsi yang sama menyerang 9 sapi,
dan tiga wabah lainnya terjadi di provinsi yang sama yang menyerang 36 sapi. Yang
terakhir wabah terjadi di daerah Vavuniya di Provinsi Utara menyerang 2 ekor sapi. Tidak
ada kematian yang dilaporkan dalam wabah mana pun.

• Bhutan

Tujuh wabah terjadi pada minggu keempat September 2020 mempengaruhi 147
ternak, dan menyebabkan tiga kematian. Secara keseluruhan terlihat angka kesakitan dan
kematian di negara tersebut adalah 11,86% dan 0,24%

• Vietnam

18
Pada minggu kedua Oktober 2020, virus terdeteksi pada sapi dan kerbau di Vietnam.
Pada Maret 2021, 163 komune di 65 distrik dari 18 kota dan provinsi terpengaruh, dengan
LSD ditemukan di antara 2748 sapi dan kerbau yang rentan; ada 137 kasus, dua kematian
dan sembilan hewan dimusnahkan.

• Myanmar

Pada awal wabah pada minggu kedua November 2020, 6 ternak terpengaruh di Me
Thei dan Nyein Chan, Tabayin dan Daerah Shwebo di Wilayah Sagaing. Tingkat
morbiditas adalah 9,52% dan tidak ada kematian dilaporkan di salah satu wabah.

• Thailand

Wabah pertama di Thailand dilaporkan pada minggu kedua April 2021 di distrik Saen
Suk dan Panom Phrai di Provinsi Roi Et. Hal ini berdampak pada 10 ekor sapi potong
yang dimusnahkan.

• Malaysia

Dari minggu kedua Mei 2021, 23 wabah terjadi di negara bagian Perak, Kedah,
Pahang, Perlis, Melaka dan Terebgganu menyerang 54 ternak dan penyakit tampaknya
terbatas pada negara bagian Semenanjung Malaysia. Tidak ada kematian yang dilaporkan
dalam salah satu wabah, meskipun 6 hewan yang terkena dampak (dari peternakan kecil
di desa) adalah dimusnahkan.

• Laos

Setelah wabah awal pada minggu ketiga Mei 2021 total 9 wabah terjadi di provinsi
Savannakhet dan Vientiane menyerang 369 ekor sapi. Tidak ada kematian yang
dilaporkan dalam wabah mana pun.

• Kamboja

Wabah yang dimulai pada minggu terakhir Mei 2021 (Dunia Organisasi untuk
Kesehatan Hewan [OIE], 2021e) mempengaruhi 103 sapi di pertanian halaman belakang
di Desa Akphivoath di Provinsi Preah Vihear. Tidak ada kematian yang dilaporkan.

19
2.7 Kaitan Penyakit Lumpy Skin Disease (LSD) di Indonesia
Terjadi peningkatan pergerakan/ lalu lintas antar negara akhir-akhir ini, baik berupa
hewan, bahan asal hewan, dan produk hewan. Faktor lalu lintas hewan baik secara legal
maupun ilegal memegang peranan penting dalam penyebaran penyakit LSD disamping
faktor vektor mekanik dan hewan yang asimptomatik. Vektor artropoda berperan
memindahkan agen penyakit yang berasal dari tubuhnya sendiri ataupun yang berasal dari
hospes vertebrata ke hospes lainnya. Hal ini sangat berbahaya apabila ada vektor
artropoda yang membawa agen penyakit dari suatu daerah secara tidak sengaja masuk ke
suatu daerah yang bebas agen penyakit tersebut, dan pada akhirnya akan menularkan dan
menyebarkannya. Untuk itu, sistem karantina yang ketat dan monitoring secara laboratori
perlu dilakukan. Di Indonesia sendiri telah ada pedoman karantina yang mengatur tentang
vektor ini, yaitu Surat Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian No. 2159 tahun
2018. Pedoman ini mengatur semua vektor yang akan masuk ke dalam, dibawa, dikirim
dari suatu area ke area lain atau dikeluarkan dari Indonesia dikenakan tindakan karantina
yang meliputi pemeriksaan, penahanan, penolakan, pemusnahan, atau pembebasan.

Melihat kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan beriklim tropis dengan
curah hujan yang cukup tinggi maka sangat dimungkinkan kejadian LSD dapat
berkembang dan menyebar. Mayoritas peternak di Indonesia merupakan peternakan
tradisional yang berkelompok dan di kandangkan dengan sistem pembuangan limbah
ternak belum dilakukan dengan baik, misalnya feses yang bertumpuk dapat menjadi
media perkembangbiakan vektor, sehingga berpotensi meningkatnya populasi vektor
yang akhirnya dapat menularkan virus ini. Selain itu biosecurity pada peternakan rakyat
belum bisa maksimal atau bahkan tidak ada. Dengan melihat banyaknya faktor risiko
yang dimiliki Indonesia, seperti iklim, letak demografi, manajemen peternakan dan
keberadaan vektor, maka pencegahan masuknya penyakit ini harus mendapat perhatian
khusus mengingat dampaknya yang begitu merugikan.

Dalam rangka kesiapsiagaan dini menghadapi masuknya LSD ke Indonesia, maka 3


komponen penting yaitu early detection, early report dan early response perlu dilakukan.
Melihat data sebaran penyakit LSD di Asia, negara yang paling berisiko adalah Myanmar
dan Vietnam. Kasus LSD terjadi di Myanmar Utara yang lebih dekat dengan Philipina.

20
Melihat letak geografis Indonesia, Indonesia saat ini masih memiliki risiko yang rendah.
Namun Indonesia tidak boleh lengah, dan harus tetap waspada untuk mengantisipasi
masuknya virus LSD ke Indonesia. Perhatian juga diterapkan untuk importasi ternak dan
produk ternak yang berasal dari negara tertular.

Monitoring kesehatan hewan perlu ditingkatkan, sosialisasi penyakit LSD perlu


dilakukan sehingga laporan mengenai adanya LSD atau yang diduga dapat dilakukan
secepatnya. Disamping itu, penyediaan perangkat deteksi penyakit LSD telah disiapkan,
sehingga adanya gejala yang mirip dengan LSD dapat dideteksi lebih awal untuk
menghindari penyebaran yang lebih luas atau menimbulkan wabah penyakit emerging.
Untuk itu, kerjasama lintas instansi perlu dilakukan agar masuknya penyakit LSD ke
Indonesia dapat diantisipasi sedini mungkin.

Vaksinasi LSDV belum dapat diimplementasikan di Indonesia karena belum pernah


ada laporan tentang LSDV di Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah
masuk dan menyebarnya penyakit LSD ke Indonesia yaitu dengan memperketat prosedur
karantina, terutama dalam hal lalu lintas hewan maupun produk hewan dari negara yang
tidak bebas LSDV, serta menerapkan biosekuriti peternakan. Disamping itu pemahaman
dokter hewan lapang maupun penyuluh tentang penyakit LSD perlu ditingkatkan,
sehingga laporan masuknya penyakit yang diduga LSD lebih cepat dan dapat ditindak
lanjuti.

Dalam rangka pencegahan penyebaran penyakit LSD di Indonesia, beberapa


rekomendasi yang diperlukan antara lain: a) dilakukan bimbingan teknis kepada praktisi
lapangan baik dokter hewan lapang, penyuluh dan peternak serta melaporkan terduganya
kasus LSD dalam rangka diagnosis dini dan penanganan kasus LSD yang tepat, b)
Melakukan kontrol dan pengawasan yang ketat dan aktif apabila terdapat kasus yang
diduga LSD, c) penerapan sanitasi dan biosekuriti untuk meningkatkan keterlibatan
peternak dalam melakukan tindakan pencegahan termasuk lalu lintas ternak, d) bila
diperlukan melakukan survei entomologi pada zona prevalensi tinggi untuk
mengidentifikasi kemungkinan keberadaan vektor dan lokasi berkembangbiaknya serta
laju penularan dalam rangka pengendalian vektor dan surveilans serologis pada

21
ruminansia liar lokal untuk mengetahui peran potensial hewan tersebut dalam siklus
penularan penyakit.

2.8 Upaya Pengendalian Penyakit Lumpy Skin Disease (LSD)


Sampai saat ini, LSD tidak memiliki rencana pengobatan yang layak. Pencegahan dan
pengendalian infeksi LSD dapat dilakukan antara lain dengan vaksinasi, pembatasan lalu
lintas ternak, pelaksanaan karantina yang ketat, kontrol vektor, dan apabila
memungkinkan stamping out. Terapi penyakit biasanya hanya didasarkan pada
penggunaan antibiotik dan antiinflamasi.. Satu-satunya solusi yang efektif
mengendalikan penyakit ini adalah untuk mengembangkan rencana pencegahan. Berikut
merupakan strategi pengendalian LSD :
• Kontrol migrasi dan eksodus hewan

Untuk meminimalkan kemungkinan penyebaran penyakit lintas batas, hewan dari daerah
endemik harus dibatasi terutama lintas perbatasan. Jika suatu kasus dicurigai dengan lesi
seperti itu di dalam negeri, karantina kebijakan harus diadopsi untuk evaluasi
menyeluruh. Tidak mungkin dikatakan bahwa wabah penyakit atau munculnya penyakit
dapat dikendalikan dengan hanya mengendalikan vektor. Tapi itu bagian dalam
mengendalikan penyakit. Selain mengendalikan vektor, kita dapat mengurangi
penyebaran penyakit pada tingkat tertentu. tidak ada nilai terukur untuk penyebaran virus
melalui vektor adalah menetapkan bahwa keterlibatan vektor dalam penyebaran penyakit
adalah ancaman dalam penyebaran penyakit.

• Gerakan pembatasan vector

Vektor penyakit dapat bergerak jarak jauh dengan angin badai dan dapat menularkan
penyakit. Jadi, strategi pengendalian vektor seperti vector penggunaan insektisida
perangkap harus diterapkan di daerah dengan vektor tinggi populasi untuk mengendalikan
penyebaran penyakit.

• Vaksinasi

Vaksinasi merupakan langkah terbaik yang memungkinkan secara ekonomi untuk


mengendalikan penyakit yang ditularkan melalui vektor ini. Sejauh ini terdapat 3 macam
vaksin untuk pencegahan dan penanggulangan LSD, yaitu vaksin homolog dan heterolog,

22
serta vaksin inaktif yang baru-baru ini dikembangkan (Tuppurainen & Galon 2016;
(Hamdi et al. 2020).

Keamanan, imunogenositas, dan efikasi vaksin lumpy skin disease yang tersedia
secara komersial dapat dievaluasi menggunakan kombinasi antara uji tantang dan
monitoring respon imun hewan yang telah divaksinasi di lapang (Gari et al. 2015).
Namun, perlu dipertimbangkan efek samping seperti penurunan produksi susu pada
pemberian vaksin (umumnya 7 hari pasca vaksinasi) (Calistri et al. 2018). Mengingat
DNA vaksin LSD dapat dideteksi pada nodul, susu, darah dan saliva sapi yang
divaksinasi, maka pemberian vaksin LSD harus tidak dalam keadaan laktasi, dan diamati
dengan iklim lingkungan dan musim, yang berpengaruh terhadap meningkatnya populasi
vektor mekanik (Bedekovic et al. 2017).

Oleh karena itu, akhir-akhir ini telah dikembangkan vaksin bivalen rekombinan, yang
dilaporkan meminimalkan efek samping (Calistri et al. 2020). Selanjutnya, Morgenstern
& Klement (2020), melaporkan bahwa vaksinasi dengan live attenuated LSD di Israel
dinilai sangat efektif. Selain itu, hewan yang menunjukkan tanda klinis parah dengan lesi
kulit harus dipisahkan dari ternak yang lain karena nodul ini mengandung titer virus yang
tinggi. Ternak yang belum divaksinasi yang berasal dari zona yang terkena dampak harus
dilarang atau diatur secara ketat (Tuppurainen et al. 2018; Roche et al. 2020).

• Pelaksanaan Stamping out

Ketika penyakit muncul untuk pertama kalinya di negara bebas penyakit, stamping-
out hewan yang terinfeksi merupakan upaya pencegahan dan pengendalian yang paling
efisien sebelum terjadi wabah. Namun kebijakan ini masih belum dapat diterima dan
diaplikasikan di beberapa negara, terutama pada negara berkembang seperti Indonesia
mengingat dampak ekonomi yang akan mengikutinya. Lalu lintas ternak merupakan
risiko utama penyebaran LSDV, sehingga diperlukan karantina sebelum mengizinkan
hewan masuk atau keluar dari suatu wilayah. Infeksi ringan dan hewan subklinis akan
menyebarkan penyakit melalui lalu lintas ternak dan perdagangan.

• Peningkatan pengetahuan tentang penyakit

23
Peningkatan pengetahuan tentang gejala, penularan, sifat virus, cara pengambilan
sampel, dan teknik diagnosis LSD kepada masyarakat terutama pada medik dan
paramedik veteriner di lapang, penyuluh dan peternak merupakan usaha pencegahan
terhadap penyebaran penyakit ini. Apabila terdapat kasus dengan gejala yang mengarah
ke LSD bisa segera dilaporkan dan tertangani dengan baik sehingga penyebaran dapat
diminimalkan.

24
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Spesies sapi merupakan ternak domestik yang paling penting pada sekelompok
hewan mengingat kontribusi mereka yang tak terbantahkan dan signifikan dalam
perekonomian dunia. Penyakit Lumpy Skin Disease adalah penyakit parah dari sapi dan
kerbau dengan konsekuensi sosial ekonomi yang luas. Sebelumnya penyakit ini terbatas
pada negara-negara Afrika tetapi baru-baru ini, penyebaran penyakit di negara-negara
yang berbatasan dengan Pakistan seperti India, Cina dan Iran adalah masalah yang sangat
memprihatinkan bagi sektor peternakan. Pakistan yang memiliki ekonomi berbasis
pertanian dimana peternakan merupakan proporsi utama dari PDB, penyebaran penyakit
akan sangat merugikan. Pakistan dengan terbesar ke-2 populasi ternak di dunia dan
ekonomi yang sudah berkurang, jika terpengaruh oleh LSD akan menderita implikasi
serius pada kemakmuran negara karena penurunan ekspor ternak dan komoditasnya.,
terutama akan menghambat perekonomian pedesaan. LSD merupakan ancaman serius
yang kemunculannya di Pakistan karena kehadirannya di hampir semua berbatasan.
Kemungkinan alasan epidemiologis di balik masuk dan munculnya penyakit di Pakistan
adalah pergerakan hewan yang tidak terbatas melintasi perbatasan dari negara tetangga
dan tindakan pengendalian vektor yang tidak memadai. Namun, tindakan karantina yang
efektif, pengendalian vektor dan vaksinasi dapat membatasi penyebaran penyakit ini.
Karena penyakit ini belum dikonfirmasi didiagnosis, Pakistan berisiko tinggi karena
lokasi geografisnya. Penyelidikan secara menyeluruh dari penyakit di Pakistan sangat
dibutuhkan. Di Pakistan ada lembaga pemerintah yang berurusan dengan penyakit
menular. Sebagian besar vaksin didukung oleh Departemen Peternakan Pakistan. Negara
yang memiliki lokasi geografis seperti itu sulit untuk memberantas lintas batas. Jadi, lebih
baik untuk mengurangi dampak dari penyakit dengan mengendalikan vektor dan
membatasi pergerakan hewan bersama dengan vaksinasi pada populasi ternak yang
rentan. Biaya vaksin akan ditanggung oleh instansi pemerintah sesuai kebijakan
peternakan untuk penyakit menular. Namun, yang negara yang lemah dalam bidang

25
ekonomi tidak memungkinkan untuk membayar kompensasi tersebut di pemogokan skala
besar.
3.2 Saran
Untuk menghadapi situasi yang mengkhawatirkan ini, berikut ini rekomendasi
diteruskan;

• Diagnosis yang akurat diperlukan untuk mengontrol LSDV.


• Selain tanda khas penyakit, profil biokimia dan hematologi klinik profil hewan
yang terkena LSD untuk diidentifikasi.
• Vaksinasi hewan dengan strain virus yang homolog adalah wajib di daerah
endemis setiap tahun.
• Kontrol vektor dengan menggunakan metode yang berbeda
• Pembatasan pergerakan hewan selama periode puncak vektor (serangga adalah
wajib.
• Banteng yang digunakan untuk pembiakan alami perlu didiagnosis memiliki kulit
yang tebal virus penyakit.

26
DAFTAR PUSTAKA

Abutarbush, S. M., Ababneh, M. M., Al Zoubi, I. G., Al Sheyab, O. M., Al Zoubi, M. G.,
Alekish, M. O., & Al Gharabat, R. J. (2015). Lumpy Skin Disease in Jordan: Disease
Emergence, Clinical Signs, Complications and Preliminary-associated Economic
Losses. Transboundary and Emerging Diseases, 62(5), 549–554.
https://doi.org/10.1111/tbed.12177

Al-Salihi, K. A., & Hassan, I. Q. (2015). Lumpy Skin Disease in Iraq: Study of the
Disease Emergence. Transboundary and Emerging Diseases, 62(5), 457–462.
https://doi.org/10.1111/tbed.12386

Azeem, S., Sharma, B., Shabir, S., Akbar, H., & Venter, E. (2022). Lumpy skin disease
is expanding its geographic range: A challenge for Asian livestock management and
food security. Veterinary Journal, 279(December 2021), 105785.
https://doi.org/10.1016/j.tvjl.2021.105785

Das, M., Chowdhury, M. S. R., Akter, S., Mondal, A. K., Uddin, M. J., Rahman, M. M.,
& Rahman, M. M. (2021). An updated review on lumpy skin disease: Perspective of
southeast asian countries. Journal of Advanced Biotechnology and Experimental
Therapeutics, 4(3), 322–333. https://doi.org/10.5455/JABET.2021.D133

Davies, F. G. . (1991). Special Review Series Lumpy Skin Disease , an African Capripox
Virus Disease of Cattle. British Veterinary Journal, 1929.

Elhaig, M. M., Selim, A., & Mahmoud, M. (2017). Lumpy skin disease in cattle:
Frequency of occurrence in a dairy farm and a preliminary assessment of its possible
impact on Egyptian buffaloes. Onderstepoort Journal of Veterinary Research, 84(1),
1–6. https://doi.org/10.4102/ojvr.v84i1.1393

Es-sadeqy, Y., Bamouh, Z., Ennahli, A., Safini, N., El Mejdoub, S., Omari Tadlaoui, K.,
Gavrilov, B., & El Harrak, M. (2021). Development of an inactivated combined
vaccine for protection of cattle against lumpy skin disease and bluetongue viruses.
Veterinary Microbiology, 256, 109046.
https://doi.org/10.1016/j.vetmic.2021.109046

Gari, G., Bonnet, P., Roger, F., & Waret-Szkuta, A. (2011). Epidemiological aspects and
financial impact of lumpy skin disease in Ethiopia. Preventive Veterinary Medicine,
102(4), 274–283. https://doi.org/10.1016/j.prevetmed.2011.07.003

Gupta, T., Patial, V., Bali, D., Angaria, S., Sharma, M., & Chahota, R. (2020). A review:
Lumpy skin disease and its emergence in India. Veterinary Research
Communications, 44(3–4), 111–118. https://doi.org/10.1007/s11259-020-09780-1

Hasib, F. M. Y., Islam, M. S., Das, T., Rana, E. A., Uddin, M. H., Bayzid, M., Nath, C.,
Hossain, M. A., Masuduzzaman, M., Das, S., & Alim, M. A. (2021). Lumpy skin

27
disease outbreak in cattle population of Chattogram, Bangladesh. Veterinary
Medicine and Science, 7(5), 1616–1624. https://doi.org/10.1002/vms3.524

Haque, M. H., Roy, R. K., Yeasmin, F., Fakhruzzaman, M., Yeasmin, T., Sazib, M. R. I.,
Uddin, M. N., & Sarker, S. (2021). Prevalence and Management Practices of Lumpy
Skin Disease (LSD) in Cattle at Natore District of Bangladesh. European Journal of
Agriculture and Food Sciences, 3(6), 76–81.
https://doi.org/10.24018/ejfood.2021.3.6.420

Sprygin, A., Pestova, Y., Wallace, D. B., Tuppurainen, E., & Kononov, A. V. (2019).
Transmission of lumpy skin disease virus: A short review. Virus Research,
269(May), 197637. https://doi.org/10.1016/j.virusres.2019.05.015

Şevik, M., & Doğan, M. (2017). Epidemiological and Molecular Studies on Lumpy Skin
Disease Outbreaks in Turkey during 2014–2015. Transboundary and Emerging
Diseases, 64(4), 1268–1279. https://doi.org/10.1111/tbed.12501

Lu, G., Xie, J., Luo, J., Shao, R., Jia, K., & Li, S. (2021). Lumpy skin disease outbreaks
in China, since 3 August 2019. Transboundary and Emerging Diseases, 68(2), 216–
219. https://doi.org/10.1111/tbed.13898

Khan, Y. R., Ali, A., Hussain, K., Ijaz, M., Rabbani, A. H., Khan, R. L., Abbas, S. N.,
Aziz, M. U., Ghaffar, A., & Sajid, H. A. (2021). A review: Surveillance of lumpy
skin disease (LSD) a growing problem in Asia. Microbial Pathogenesis,
158(March), 105050. https://doi.org/10.1016/j.micpath.2021.105050

Kiplagat, S. K., Kitala, P. M., Onono, J. O., Beard, P. M., & Lyons, N. A. (2020). Risk
Factors for Outbreaks of Lumpy Skin Disease and the Economic Impact in Cattle
Farms of Nakuru County, Kenya. Frontiers in Veterinary Science, 7(May).
https://doi.org/10.3389/fvets.2020.00259

Mulatu, E., & Feyisa, A. (2018). Review: Lumpy Skin Disease. Journal of Veterinary
Science & Technology, 09(03). https://doi.org/10.4172/2157-7579.1000535

Namazi, F., & Khodakaram Tafti, A. (2021). Lumpy skin disease, an emerging
transboundary viral disease: A review. Veterinary Medicine and Science, 7(3), 888–
896. https://doi.org/10.1002/vms3.434

Sendow, I., Assadah, N. S., Ratnawati, A., Dharmayanti, N., & Saepulloh, M. (2021).
Lumpy Skin Disease : Ancaman Penyakit Emerging bagi Status Kesehatan Hewan
Nasional ( Lumpy Skin Disease : Emerging Diseases Threats for National Animal
Health Status ). 31(2)(2), 85–96.

Skrypnyk, A., Kreindel, S., Masiulis, M., Zdravkova, A., Escher, M., & Raizman, E.
(2016). Emergence of lumpy skin disease in Asia and Europe. EMPRES-Animal
Health 360, 46(September), 24–26.

28
Tran, H. T. T., Truong, A. D., Dang, A. K., Ly, D. V., Nguyen, C. T., Chu, N. T., Hoang,
T. Van, Nguyen, H. T., Nguyen, V. T., & Dang, H. V. (2021). Lumpy skin disease
outbreaks in vietnam, 2020. Transboundary and Emerging Diseases, 68(3), 977–
980. https://doi.org/10.1111/tbed.14022

Tuppurainen, E. S. M., & Oura, C. A. L. (2012). Review: Lumpy Skin Disease: An


Emerging Threat to Europe, the Middle East and Asia. Transboundary and
Emerging Diseases, 59(1), 40–48. https://doi.org/10.1111/j.1865-
1682.2011.01242.x

Venter, E. (2014). Lumpy Skin Disease Virus. Manual of Security Sensitive Microbes and
Toxins, 665–678. https://doi.org/10.1201/b16752-64

WOODS, J. A. (1990). Lumpy Skin Disease Virus. Virus Infections of Ruminants, 53–
67. https://doi.org/10.1016/b978-0-444-87312-5.50018-7

29

Anda mungkin juga menyukai