PENDAHULUAN
1
ovarium (estrogen dan progesteron) dan hormon uterus (prostaglandin). Hormon
GnRH memengaruhi secara positif tingkah laku seksual dan terjadinya birahi pada
sapi. Berdasarkan uraian di atas, maka menjadi sangat penting pembahasan yang
lebih luas mengenai regulasi hormon pada siklus estrus sapi berdasarkan aktivitas
ovariumnya.
Manfaat yang dapat diberikan dari penulisan paper ini adalah melalui
paper ini diharapkan kalangan mahasiswa Universitas Udayana, khususnya
Kedokteran Hewan memiliki wawasan lebih mengenai regulasi hormon
selama terjadinya siklus estrus pada fase folikuler dan luteal serta hormon-
hormon yang berperan didalamnya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
sekunder, kelakuan
kelamin jantan.
Ovarium Estrogen/estradiol Mempertahankan
sistem saluran kelamin
betina dan sifat-sifat
kelamin sekunder,
tanda-tanda
birahi/estrus, kelakuan
kelamin betina,
stimulasi kelenjar susu,
mobilisasi Ca, dan
lemak pada unggas
Progesteron Implantasi,
mempertahankan
kebuntingan, stimulasi
kelenjar susu
Relaxin Relaksasi serviks uteri,
kontraksi uterus,
pemisahan simfisis
pubis
Plasenta Human Chorionic Seperti LH (LH-like)
Gonadotrophin (HCG)
Pegnan Mare Serum Seperti FSH (FSH-like)
Gonadotrophin (PMSG)
Estradiol Lihat ovarium
Progesteron Lihat ovarium
Relaxin Lihat ovarium
Prostaglandin Luteolisis (melisiskan
korpus luteum)
4
Thyroid Stimulating Stimulasi kelenjar
Hormone(TSH) tyroid, pelepasan
tiroksin, dan pengikatan
iodium oleh thyroid
Adrenocorticotrophic Stimulasi korteks
Hormone(ACTH) adrenal, pelepasan
kortikoid adrenal
Neurohipofisis Vasopressin (Antidiuretic Pertumbuhan tubuh,
Hormone, ADH) perkembangan dan
pematangan, oksidasi
zat makanan
Tri-iodothyronin Sama dengan atas
Thyrocalcitonin Metabolisme kalsium
Pankreas Aldosteron Metabolisme air dan
elektrolit
Corticoid Metabolisme
karbohidrat, lemak dan
protein
Parathyroid Insulin Metabolisme
karbohidrat, lemak dan
protein
Parathormon Metabolisme Ca dan P
5
2.2 Siklus Estrus pada Sapi
Siklus estrus merupakan interval antara timbulnya satu periode estrus ke
permulaan periode estrus berikutnya. Interval-interval ini disertai oleh suatu seri
perubahan-perubahan fisiologik di dalam saluran kelamin betina. Siklus estrus
terbagi menjadi empat fase yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Namun
ada juga yang membagi siklus estrus hanya menjadi dua fase, yaitu fase folikuler
atau estrogenik yang meliputi proestrus-estrus, dan fase luteal yang terdiri dari
metestrus-diestrus (Toelihere, 1979). Setiap fase estrus pada sapi menunjukkan
ciri-ciri yang berbeda. Siklus estrus pada sapi biasanya berlangsung selama 18 –
24 hari, dengan rata-rata 21 hari.
6
organ reproduksi yaitu oviduct, uterus, dan vagina (Frandson, 1992). Sekresi
estrogen ke dalam urine mengalami peningkatan, sementara progesteron di
dalam darah menurun akibat terjadinya vakuolisasi degenerasi dan pengecilan
corpus luteum secara cepat. (Toelihere, 1979). Proestrus merupakan fase yang
berlangsung selama 1 - 2 hari dan terjadi sebelum fase estrus berlangsung
(Lenira, 2009).
2. Estrus
Estrus merupakan fase yang terpenting dalam siklus estrus, karena
dalam fase ini hewan betina menunjukkan perilaku mau menerima hewan
jantan untuk melakukan kopulasi. Pada fase estrus keseimbangan hormon
hipofisa bergeser dari FSH ke LH. Pengaruh peningkatan LH terlihat pada
masa sesudah estrus, dimana LH membantu terjadinya ovulasi dan
pembentukan corpus luteum. Fase estrus pada dasarnya dipengaruhi oleh
sistem hormonal yang mempengaruhi estrus berpusat pada gonadotropin dari
hipofisa interior dan hormon ovari yaitu FSH dan estrogen (Nurfitriani et al.,
2015). Lama periode estrus pada ruminansia kecil selama 2 - 3 hari.
3. Metestrus
Metestrus merupakan fase mulai tumbuhnya corpus luteum setelah
terjadi ovulasi atau sering disebut dengan fase luteal. Pada fase ini
Luteotropic Hormone (LTH) akan disekresikan oleh adenohipofisa guna
mempertahankan corpus luteum. Terjadi peningkatan sekresi progesteron
yang dihasilkan oleh corpus luteum dan sekresi estrogen menurun.
Progesteron akan menekan keberadaan FSH untuk menghambat terjadinya
perkembangan folikel selanjutnya dan mencegah terjadinya estrus (Frandson,
1992). Metestrus adalah masa setelah estrus yaitu masa dimana corpus luteum
tumbuh cepat dari sel granulosa (Akbar, 2010). Metestrus terjadi setelah fase
estrus berakhir, fase metestrus berlangsung selama 2 - 3 hari (Lenira, 2009).
4. Diestrus
Diestrus merupakan fase yang berlangsung paling lama. Fase diestrus
merupakan fase pematangan corpus luteum dan progesteron secara nyata
mempengaruhi organ-organ reproduksi. Uterus mengalami penebalan pada
endometrium dan kelenjar-kelenjarnya berhipertrofi, serta otot-otot
7
mengendor. Serviks menutup dan lendir vagina menjadi keruh dan lengket.
Selaput mokosa vagina menjadi pucat (Toelihere, 1979). Fase diestrus
berlangsung kurang lebih selama 13 - 14 hari (Lenira, 2009).
Gambar 2.2 Level Hormon dan Aktivitas Ovarium Pada Siklus Estrus
Sumber : Mottershead (2001)
8
BAB III
PEMBAHASAN
9
Selama periode siklus estrus terjadi 2 hingga 3 gelombang folikel. Pada
gelombang yang kedua, folikel dominannya akan menjadi folikel anovulatory
sedangkan folikel dominan dari gelombang ke-3 akan mengalami ovulasi.
Gelombang pertumbuhan folikel terjadi bukan hanya selama siklus estrus, namun
juga telah terjadi sebelum pubertas, selama kebuntingan, dan selama periode post
partus (Siregar, 2010).
10
Donnel et al., 1989). Hormon-hormon steroid ovari memengaruhi sistem saraf
pusat untuk melepas GnRH. Konsentrasi estradiol yang rendah dan progesteron
tinggi akan menurunkan pelepasan GnRH oleh hipotalamus.
Setelah stadium inisiasi, pertumbuhan dan perkembangan folikel
distimulasi oleh kombinasi aksi FSH dan LH pada sel-sel folikel. FSH dan LH
masing-masing berikatan pada reseptor spesifik pada permukaan sel-sel granulosa
dan sel teka. Aktivasi follicle stimulating hormone receptor (FSHR) dan LH
menstimulasi mitosis dan diferensiasi sel-sel granulosa dan sel teka. Sebagai
tambahan, hormon gonadotropin mempunyai 2 efek utama. Pertama, aksi FSH
dan LH menstimulasi produksi estradiol yang secara spesifik dalam folikel
dominan. Sesuai dengan two-cell-two-gonadotrophin theory, kedua gonadotropin
dan kedua sel granulosa dan teka interna mempunyai tugas yang spesifik dalam
proses ini. Respons endokrin yang lain adalah peningkatan produksi inhibin oleh
FSH (Baker, 1982).
Setelah stadium preantral, cairan folikel mulai berakumulasi dalam folikel
yang membuat ukuran folikel membesar secara cepat. Folikel dominan diseleksi
dari kelompok folikel stadium 5 dan keseluruhan stadium tergantung hormon
tersebut berlangsung sekitar 40-50 hari. Hanya satu folikel diseleksi pada satu
waktu (sapi), dan folikel yang lain menjadi atresia. Bukti pertama bahwa
apoptosis bertanggung jawab untuk proses ini berasal dari penelitian pada
rodensia. Hambatan estrogen dan gonadotropin akan menginduksi kematian sel
(Guerin, 2004).
Masing-masing dari setiap folikel dominan akan mengalami atresi bila
terdapat CL. Frekuensi LH yang tinggi menyebabkan folikel dominan dapat terus
tumbuh dan mensekresikan estrogen dan inhibin. Jika folikel besar dari satu
gelombang telah terjadi kembali peningkatan konsentrasi FSH yang menstimulasi
pertumbuhan kelompok folikel baru. Folikel dominan tidak akan dapat
diovulasikan pada fase luteal akibat adanya CL yang mensekresikan progesteron
dan terbatasnya frekuensi LH sehingga terjadilah atresi folikel dominan tersebut.
Folikel besar yang muncul pada saat luteolisis akan menjadi folikel dominan dan
selanjutnya mengalami ovulasi pada fase folikuler (Inskeep, 2004)
11
Fase folikular dimulai dengan penghilangan efek negatif dari progesteron
sehingga konsentrasi GnRH kembali meningkat. Peningkatan konsentrasi GnRH
akan menyebabkan peningkatan produksi FSH dan LH sehingga dapat
mendukung pertumbuhan folikel. Folikel de Graaf akan menghasilkan lebih
banyak estrogen. Jika estrogen telah mencapai kadar maksimal, maka akan
memicu pengeluaran LH sehingga ovulasi.
12
dominan, kondisi hormonal yang sesuai untuk perkembangan akhir folikel akan
nyata setelah luteolisis (tanpa CL) dan menurun kadar progesteron.
13
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa siklus estrus
merupakan interval antara timbulnya satu periode estrus ke permulaan periode
estrus berikutnya. Siklus estrus pada sapi biasanya berlangsung selama 18 – 24
hari, dengan rata-rata 21 hari. Siklus estrus pada aktivitas ovarium terdiri dari fase
folikuler dan luteal dengan masing-masing fase tersebut dipengaruhi oleh
beberapa hormon.
Pada fase folikuler dan luteal hormon yang terlibat secara tidak langsung
yaitu Gonadotrophin releasing hormone yang memengaruhi ovarium dengan
merangsang sintesis dan pelepasan hormon follicle stimulating hormone (FSH)
dan luteinizing hormone (LH) dari hipofisa anterior. Kadar GnRH akan tinggi
tinggi pada fase folikuler yanng berakibat dengan tingginya peningkatan produksi
FSH dan LH sehingga dapat mendukung pertumbuhan folikel. Folikel de Graaf
akan menghasilkan lebih banyak estrogen. Jika estrogen telah mencapai kadar
maksimal, maka akan memicu pengeluaran LH sehingga terjadi ovulasi.
Sedangkan, pada fase luteal konsentrasi progesteron akan mencapai
puncaknya dan akan menekan keberadaan FSH untuk menghambat terjadinya
perkembangan folikel selanjutnya. Konsentrasi LH tidak dapat mencapai kadar
maksimal, akan mengalami regresi dan penurunan sekresi estrogen dan inhibin
menyebabkan terbentuknya gelombang folikel baru.
4.2 Saran
Menyadari paper ini masih jauh dari kata sempurna, diharapkan
kedepannya paper ini dapat disempurnakan lagi dengan sumber–sumber yang
lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan serta menjadi sangat
penting untuk mengetahui tentang regulasi hormon reproduksi pada siklus estrus
sapi karena sangat berkaitan dengan kesuksesan dalam penerapan teknologi
reproduksi
14
DAFTAR PUSTAKA
Afriani, T., Jaswandi, J., Defrinaldi, D., & Satria, Y. E. (2014). Pengaruh Waktu
Pemberian Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) terhadap Jumlah
Korpus Luteum dan Kecepatan Timbulnya Berahi pada Sapi Pesisir. Jurnal
Peternakan Indonesia (Indonesian Journal of Animal Science), 16(3), 193-
197.
Arimbawa, I. W. P., Trilaksana, I. G. N. B., & Pemayun, C. G. O. 2012.
Gambaran Hormon Progesteron Sapi Bali Selama Satu Siklus Estrus.
Indonesia Medicus Veterinus, 1(3), 330336.
Baker, T.G. 1982. Oogenesis and Ovulation. In C.R. Austin and R.V. Short (Eds).
Reproduction in Mammals. Cambridge University Press, Cambridge.
Halaman : 55-70
Frandson, R.D., 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak, Edisi ke-7, diterjemahkan
oleh Srigandono, B dan Praseno, K, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Gordon, I. (2003). Laboratory Production of Cattle Embryos. 2nd edition. CAB
International, Oxon. Halaman : 42-73.
Hafez, E. S. E. 2000. Reproduction in Domestic Animals. Ed., Philadelphia,
London: Lea & Febiger.
Hafizuddin, H., Siregar, T. N., & Akmal, M. 2012. Hormon Dan Perannya Dalam
Dinamika Folikuler Pada Hewan Domestik. Jurnal Edukasi dan Sains
Biologi, 1(1), 77900.
Inskeep, E.K. 2004. Preovulatory, postovulatory, and postmaternal recognition
effects of concentrations of progesterone on embryonic survival in the cow.
J. Anim. Sci. 82 (13): E24E39
Isnaini, N., & Wahjuningsih, S. 2014. Konsentrasi gonadotropin releasing
hormone (GnRH) ekstrak otak sapi peranakan friesien holstein betina fase
folikuler dan luteal. Jurnal Kedokteran Hewan-Indonesian Journal of
Veterinary Sciences, 8(2).
[MAH] Merck Animal Health. 2012. Hormonal regulation of reproduction in
cattle. http://www.partners-inreproduction.com/reproduction-cattle/
hormonal-regulation.asp.
15
McDonnell, S.M., N.K. Dile, M.C. Garcia, and R.M. Kenney. 1989. GnRH effect
precopulatory behavior in testosterone-treated geldings. J. Physiol. 45:145-
149.
Maidaswar. (2007). Efisiensi Superovulasi pada Sapi Melalui Sinkronisasi
Gelombang Folikel dan Ovulasi. Tesis. Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Senger, P.L. (2003). Pathways to Pregnancy and Parturition. 2nd revision
edition. Washington State University Research & Technology Park. Current
Conceptions Inc., Washington. Halaman : 210–230
Siregar, T.N. (2010b). Fisiologi Reproduksi Hewan Betina. Syiah Kuala
University Press, Banda Aceh. Halaman : 25-39
Pemayun, T. G. O. 2010. Kadar Progesteron akibat Pemberian PMSG dan GN-
RH pada Sapi Perah yang Mengalami Anestrus Postpartum. Buletin
Veteriner Udayana.
Teolihere, M.R., 1997. Peran Bioteknologi reproduksi dalam pembinaan produksi
peternakan di Indonesia. Makalah disampaikan pada pertemuan teknis dan
koordinasin Produksi Peternakan Nasional. Cisarua, 4-6 Agustus 1997
16
LAMPIRAN JURNAL
17