Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Produksi ternak yang baik dapat diperoleh dari proses reproduksi yang
berjalan dengan normal. Kemampuan reproduksi yang bagus, maka semakin
bagus pula produktivitas ternak tersebut. Pada hakikatnya produksi di bidang
peternakan hanya dapat diperoleh bila ada proses reproduksi. Proses reproduksi
berkaitan dengan mekanisme sistem hormonal, hormon-hormon yang terlibat akan
mempengaruhi pada siklus estrus atau birahi pada hewan. Siklus estrus
merupakan interval antara timbulnya satu periode estrus ke permulaan periode
estrus berikutnya. Siklus estrus pada sapi biasanya berlangsung selama 18 – 24
hari, dengan rata-rata 21 hari.
Menurut Prihatno (2006) pengamatan estrus merupakan salah satu faktor
penting dalam manajemen reproduksi sapi. Kegagalan dalam deteksi estrus dapat
menyebabkan kegagalan kebuntingan. Problem utama deteksi estrus umumnya
dijumpai sapi-sapi yang subestrus atau silent heat. Silent heat adalah estrus yang
tidak disertai munculnya gejala klinis yang nyata.
Dalam siklus estrus sapi terdapat perubahan-perubahan fisiologis yang
terjadi. Salah satu perubahan fisiologis yang terjadi yaitu perkembangan pada
aktivitas ovarium yang terbagi menjadi dua fase yaitu fase folikuler dan fase
luteal. Siklus estrus umumnya terdiri dari empat fase, yaitu proestrus, estrus,
metestrus, dan diestrus. Namun ada juga yang membagi siklus estrus hanya
menjadi dua fase, yaitu fase folikuler dan fase luteal (Toelihere, 1979).
Fase folikuler terdiri dari proestrus (pembentukan folikel-folikel), estrus
(terjadi di folikel de graaf mengovulasikan oosit). Fase luteal terdiri dari metestrus
(fase setelah estrus yang terjadi sangat singkat, biasanya dalam hitungan jam) dan
diestrus (fase tidak estrus, fase ini memiliki waktu paling lama). Pada masing-
masing fase tersebut terdapat perubahan hormon yang memengaruhi siklus birahi
(Hafez, 2000). Hormon yang mempengaruhi siklus estrus yaitu hormon-hormon
hipotalamushipofisa yakni gonadotrophin releasing hormone (GnRH), follicle
stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH), hormon-hormon

1
ovarium (estrogen dan progesteron) dan hormon uterus (prostaglandin). Hormon
GnRH memengaruhi secara positif tingkah laku seksual dan terjadinya birahi pada
sapi. Berdasarkan uraian di atas, maka menjadi sangat penting pembahasan yang
lebih luas mengenai regulasi hormon pada siklus estrus sapi berdasarkan aktivitas
ovariumnya.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana regulasi hormon reproduksi pada siklus estrus sapi fase
folikuler?
1.2.2 Bagaimana regulasi hormon reproduksi pada siklus estrus sapi fase
luteal?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Mengetahui regulasi hormon reproduksi pada siklus estrus sapi fase
folikuler
1.3.2 Mengetahui regulasi hormon reproduksi pada siklus estrus sapi fase
luteal

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat yang dapat diberikan dari penulisan paper ini adalah melalui
paper ini diharapkan kalangan mahasiswa Universitas Udayana, khususnya
Kedokteran Hewan memiliki wawasan lebih mengenai regulasi hormon
selama terjadinya siklus estrus pada fase folikuler dan luteal serta hormon-
hormon yang berperan didalamnya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hormon Reproduksi


Hormon adalah zat kimia dalam bentuk senyawa organik yang dihasilkan
oleh kelenjar endokrin. Hormon mengatur aktivitas seperti metabolisme,
reproduksi, pertumbuhan, dan perkembangan. Hormon dari kelenjar endokrin
mengikuti peredaran darah ke seluruh tubuh hingga mencapai organ-organ
tertentu. Meskipun semua hormon mengadakan kontak dengan semua jaringan di
dalam tubuh, hanya sel jaringan yang mengandung reseptor spesifik terhadap
hormon tertentu yang terpengaruh oleh hormon tersebut. Karena jumlah hormon
yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin sangat sedikit, kadar hormon di dalam
darah sangat rendah.
Hormon reproduksi primer secara langsung memengaruhi berbagai aspek
reproduksi seperti spermatogenesis, ovulasi, kelakuan kelamin, fertilisasi,
pengangkutan ovum, implantasi, kelangsungan kebuntingan, kelahiran, laktasi,
dan tingkah laku induk.

Tabel 2.1 Hormon-hormon Reproduksi Primer


Kelenjar Hormon Fungsi

Adenohipofisis Follicle Stimulating spermatogenesis,


Hormone (FSH) pertumbuhan folikel
Luteinizing Hormon(LH) ovulasi, pelepasan
estrogen, pelepasan
progesteron
Interstitial Cell Stimulating Stimulasi sel-sel
Hormone(ICSH) interstitial leydig,
pelepasan testosterone
Prolaktin/Luteotropic Pelepasan progesteron,
Hormone (LTH) laktasi
Neurohipofisis Oksitosin Kontraksi uterus,
kelahiran, penurunan
(let down) susu
Testis Testosteron Spermatogenesis,
mempertahankan sistem
kelamin jantan dan
sifat-sifat kelamin

3
sekunder, kelakuan
kelamin jantan.
Ovarium Estrogen/estradiol Mempertahankan
sistem saluran kelamin
betina dan sifat-sifat
kelamin sekunder,
tanda-tanda
birahi/estrus, kelakuan
kelamin betina,
stimulasi kelenjar susu,
mobilisasi Ca, dan
lemak pada unggas
Progesteron Implantasi,
mempertahankan
kebuntingan, stimulasi
kelenjar susu
Relaxin Relaksasi serviks uteri,
kontraksi uterus,
pemisahan simfisis
pubis
Plasenta Human Chorionic Seperti LH (LH-like)
Gonadotrophin (HCG)
Pegnan Mare Serum Seperti FSH (FSH-like)
Gonadotrophin (PMSG)
Estradiol Lihat ovarium
Progesteron Lihat ovarium
Relaxin Lihat ovarium
Prostaglandin Luteolisis (melisiskan
korpus luteum)

Hormon reproduksi sekunder berfungsi untuk mempertahankan keadaan


fisiologik yang memungkinkan terjadinya proses reproduksi. pada umumnya
berfungsi pada pertumbuhan, perkembangan, dan metabolisme yang berarti bahwa
hormon-hormon ini memprtahankan keadaan metabolik dan fisiologik yang
normal. Dengan demikian, akan memberikan pengaruh positif terhadap kerja
hormon-hormon reproduksi primer. Oleh karena itu, reproduksi merupakan hasil
kerjasama berbagai sekresi endokrin terhadap organ sasaran dan reaksi-reaksi
khusus di dalam tubuh.
Tabel 2.2 Hormon-hormon Reproduksi Sekunder
Kelenjar Hormon Fungsi
Adenohipofisis Somatotropic Pertumbuhan, sintesa
Hormone (STH) protein

4
Thyroid Stimulating Stimulasi kelenjar
Hormone(TSH) tyroid, pelepasan
tiroksin, dan pengikatan
iodium oleh thyroid
Adrenocorticotrophic Stimulasi korteks
Hormone(ACTH) adrenal, pelepasan
kortikoid adrenal
Neurohipofisis Vasopressin (Antidiuretic Pertumbuhan tubuh,
Hormone, ADH) perkembangan dan
pematangan, oksidasi
zat makanan
Tri-iodothyronin Sama dengan atas
Thyrocalcitonin Metabolisme kalsium
Pankreas Aldosteron Metabolisme air dan
elektrolit
Corticoid Metabolisme
karbohidrat, lemak dan
protein
Parathyroid Insulin Metabolisme
karbohidrat, lemak dan
protein
Parathormon Metabolisme Ca dan P

Hormon-hormon reproduksi terdapat juga di dalam hipotalamus dan


kelompok hormon ini disebut sebagai faktor-faktor pelepas (releasing factor).
Substansi-substansi ini di sekresikan oleh hipotalamus dan mengatur aktivitas
adenohipofisis dan bekerja sebagai faktor-faktor pelepas khusus yang menstimulir
sintesis serta pelepasan berbagai hormon adenohipofisi, satu pengecualian adalah
faktor penghambat prolaktin (prolactin inhibiting factor, PIF).
Tabel 2.3 Faktor-faktor Pelepas (Releasing factors)
Faktor (Hormon) Fungsi
Gonadotropin Releasing Stimulasi pelepasan gonadotropin, (FSH dan
Hormone (Gn-RH) LH)
Thyrotropin Hormone (TRH) Stimulasi pelepasan TSH
Prolacting Inhibition Inhibisi pelepasan prolaktin
Factore (PIF)
Corticotropin Releasing Stimulasi pelepasan ACTH
Fagctore (CRF)
Somatotropic Hormone Stimulasi pelepasan STH
Releasing Factore(STH-RH)

5
2.2 Siklus Estrus pada Sapi
Siklus estrus merupakan interval antara timbulnya satu periode estrus ke
permulaan periode estrus berikutnya. Interval-interval ini disertai oleh suatu seri
perubahan-perubahan fisiologik di dalam saluran kelamin betina. Siklus estrus
terbagi menjadi empat fase yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Namun
ada juga yang membagi siklus estrus hanya menjadi dua fase, yaitu fase folikuler
atau estrogenik yang meliputi proestrus-estrus, dan fase luteal yang terdiri dari
metestrus-diestrus (Toelihere, 1979). Setiap fase estrus pada sapi menunjukkan
ciri-ciri yang berbeda. Siklus estrus pada sapi biasanya berlangsung selama 18 –
24 hari, dengan rata-rata 21 hari.

Gambar 2.1 Siklus Estrus Pada Sapi


Sumber: www.fda.gov
1. Proestrus
Proestrus merupakan periode persiapan yang ditandai dengan pemacuan
pertumbuhan folikel oleh Follicle Stimulating Hormone (FSH). Folikel yang
sedang tumbuh menghasilkan cairan folikel dan estradiol yang lebih banyak.
Fase proestrus ini FSH yang dikeluarkan oleh kelenjar adenohipofisa akan
memicu perkembangan folikel di dalam ovarium, bersama Luteinizing
Hormone (LH) ovarium kemudian meningkatkan produksi estrogen melalui
peningkatan cairan folikel. Pada fase ini juga terjadi perkembangan organ-

6
organ reproduksi yaitu oviduct, uterus, dan vagina (Frandson, 1992). Sekresi
estrogen ke dalam urine mengalami peningkatan, sementara progesteron di
dalam darah menurun akibat terjadinya vakuolisasi degenerasi dan pengecilan
corpus luteum secara cepat. (Toelihere, 1979). Proestrus merupakan fase yang
berlangsung selama 1 - 2 hari dan terjadi sebelum fase estrus berlangsung
(Lenira, 2009).
2. Estrus
Estrus merupakan fase yang terpenting dalam siklus estrus, karena
dalam fase ini hewan betina menunjukkan perilaku mau menerima hewan
jantan untuk melakukan kopulasi. Pada fase estrus keseimbangan hormon
hipofisa bergeser dari FSH ke LH. Pengaruh peningkatan LH terlihat pada
masa sesudah estrus, dimana LH membantu terjadinya ovulasi dan
pembentukan corpus luteum. Fase estrus pada dasarnya dipengaruhi oleh
sistem hormonal yang mempengaruhi estrus berpusat pada gonadotropin dari
hipofisa interior dan hormon ovari yaitu FSH dan estrogen (Nurfitriani et al.,
2015). Lama periode estrus pada ruminansia kecil selama 2 - 3 hari.
3. Metestrus
Metestrus merupakan fase mulai tumbuhnya corpus luteum setelah
terjadi ovulasi atau sering disebut dengan fase luteal. Pada fase ini
Luteotropic Hormone (LTH) akan disekresikan oleh adenohipofisa guna
mempertahankan corpus luteum. Terjadi peningkatan sekresi progesteron
yang dihasilkan oleh corpus luteum dan sekresi estrogen menurun.
Progesteron akan menekan keberadaan FSH untuk menghambat terjadinya
perkembangan folikel selanjutnya dan mencegah terjadinya estrus (Frandson,
1992). Metestrus adalah masa setelah estrus yaitu masa dimana corpus luteum
tumbuh cepat dari sel granulosa (Akbar, 2010). Metestrus terjadi setelah fase
estrus berakhir, fase metestrus berlangsung selama 2 - 3 hari (Lenira, 2009).
4. Diestrus
Diestrus merupakan fase yang berlangsung paling lama. Fase diestrus
merupakan fase pematangan corpus luteum dan progesteron secara nyata
mempengaruhi organ-organ reproduksi. Uterus mengalami penebalan pada
endometrium dan kelenjar-kelenjarnya berhipertrofi, serta otot-otot

7
mengendor. Serviks menutup dan lendir vagina menjadi keruh dan lengket.
Selaput mokosa vagina menjadi pucat (Toelihere, 1979). Fase diestrus
berlangsung kurang lebih selama 13 - 14 hari (Lenira, 2009).

Gambar 2.2 Level Hormon dan Aktivitas Ovarium Pada Siklus Estrus
Sumber : Mottershead (2001)

8
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Regulasi Hormon pada Fase Folikuler


Pengaturan hormonal diawali oleh hormon hipotalamus yaitu GnRH yang
disekresikan oleh hipotalamus akan menstimuli FSH dan LH dilepaskan dari
adenohipofise, selama proestrus terjadi peningkatan, mencapai puncaknya pada
fase estrus, dan akhirnya menurun pada akhir metestrus. Pada periode diestrus
akan tetap rendah sampai periode proestrus. Hormon-hormon hipofise yang ikut
dalam pengaturan siklus estrus adalah FSH dan LH. FSH dihasilkan oleh
adenohipofise akan merangsang perkembangan folikel pada ovarium yang
akhirnya mengasilkan estrogen. FSH ada di dalam darah dan jumlahnya
meningkat pada hari ke-4 sampai hari ke-6, akan terus meningkat dan merangsang
perkembangan folikel sampai terjadinya ovulasi. Siklus estrus dibagi menjadi
beberapa fase yang dapat dibedakan dengan jelas yang disebut fase luteal dan fase
folikuler (Frandson, 1996).
Satu siklus estrus pada aktivitas ovarium terdiri dari fase folikuler dan
luteal. Fase folikuler (proestrus-estrus) ditandai dengan pertumbuhan dan
perkembangan folikel yang berlangsung selama 3-4 hari (Gordon, 1996).
Sebanyak satu atau dua folikel besar menghasilkan estrogen yang dapat menekan
pertumbuhan folikel kecil lainya (Jainudeen dan Hafez, 2000). Setiap folikel sehat
yang berdiameter 2 mm memiliki kesempatan untuk tumbuh menjadi folikel
dominan yang siap untuk diovulasikan (Gordon, 1996).
Perkembangan folikel ditandai dengan adanya gelombang pertumbuhan
folikel. Satu gelombang didefinisikan sebagai suatu proses pertumbuhan folikel
yang sinkron dari beberapa folikel kecil. Dari kelompok folikel kecil tersebut,
salah satu diantaranya akan terseleksi dan tumbuh menjadi folikel dominan,
sedang folikel lainnya akan terhenti pertumbuhannya dan menuju atresi. Setelah
mencapai ukuran maksimal, folikel dominan juga akan mengalami atresi dan
regresi. Atresi dari folikel dominan akan menyebabkan pertumbuhan gelombang
folikel baru.

9
Selama periode siklus estrus terjadi 2 hingga 3 gelombang folikel. Pada
gelombang yang kedua, folikel dominannya akan menjadi folikel anovulatory
sedangkan folikel dominan dari gelombang ke-3 akan mengalami ovulasi.
Gelombang pertumbuhan folikel terjadi bukan hanya selama siklus estrus, namun
juga telah terjadi sebelum pubertas, selama kebuntingan, dan selama periode post
partus (Siregar, 2010).

Gambar 3.1 Regulasi Hormon Reproduksi Pada Sapi


(Sumber: MAH, 2012)
Gonadotrophin releasing hormone tidak secara langsung memengaruhi
ovarium, tetapi hormon yang dihasilkan hipothalamus ini bekerja merangsang
sintesis dan pelepasan hormon follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing
hormone (LH) dari hipofisa anterior. Senger (2003) menyatakan hormon
Gonadotrophin releasing hormone (GnRH) mengatur sekresi gonadotropin yang
juga disebut LH/FSH releasing hormone (LH/FSH-RH). Hormon GnRH
memiliki fungsi sebagai pengatur aktivitas adenohipofisa dalam menstimulasi
pelepasan FSH dan LH. Pada saat preovulatori, konsentrasi GnRH meningkat.
Dalam hal ini GnRH beraksi sebagai neurotransmiter dan neuromodulator pada
sistem saraf pusat dan ini akan beraksi pada pituitari gonadotrop. Tingginya
GnRH akan berakibat dengan tingginya LH. Hormon GnRH memengaruhi secara
positif terhadap tingkah laku seksual dan terjadinya birahi pada sapi dan kuda (Mc

10
Donnel et al., 1989). Hormon-hormon steroid ovari memengaruhi sistem saraf
pusat untuk melepas GnRH. Konsentrasi estradiol yang rendah dan progesteron
tinggi akan menurunkan pelepasan GnRH oleh hipotalamus.
Setelah stadium inisiasi, pertumbuhan dan perkembangan folikel
distimulasi oleh kombinasi aksi FSH dan LH pada sel-sel folikel. FSH dan LH
masing-masing berikatan pada reseptor spesifik pada permukaan sel-sel granulosa
dan sel teka. Aktivasi follicle stimulating hormone receptor (FSHR) dan LH
menstimulasi mitosis dan diferensiasi sel-sel granulosa dan sel teka. Sebagai
tambahan, hormon gonadotropin mempunyai 2 efek utama. Pertama, aksi FSH
dan LH menstimulasi produksi estradiol yang secara spesifik dalam folikel
dominan. Sesuai dengan two-cell-two-gonadotrophin theory, kedua gonadotropin
dan kedua sel granulosa dan teka interna mempunyai tugas yang spesifik dalam
proses ini. Respons endokrin yang lain adalah peningkatan produksi inhibin oleh
FSH (Baker, 1982).
Setelah stadium preantral, cairan folikel mulai berakumulasi dalam folikel
yang membuat ukuran folikel membesar secara cepat. Folikel dominan diseleksi
dari kelompok folikel stadium 5 dan keseluruhan stadium tergantung hormon
tersebut berlangsung sekitar 40-50 hari. Hanya satu folikel diseleksi pada satu
waktu (sapi), dan folikel yang lain menjadi atresia. Bukti pertama bahwa
apoptosis bertanggung jawab untuk proses ini berasal dari penelitian pada
rodensia. Hambatan estrogen dan gonadotropin akan menginduksi kematian sel
(Guerin, 2004).
Masing-masing dari setiap folikel dominan akan mengalami atresi bila
terdapat CL. Frekuensi LH yang tinggi menyebabkan folikel dominan dapat terus
tumbuh dan mensekresikan estrogen dan inhibin. Jika folikel besar dari satu
gelombang telah terjadi kembali peningkatan konsentrasi FSH yang menstimulasi
pertumbuhan kelompok folikel baru. Folikel dominan tidak akan dapat
diovulasikan pada fase luteal akibat adanya CL yang mensekresikan progesteron
dan terbatasnya frekuensi LH sehingga terjadilah atresi folikel dominan tersebut.
Folikel besar yang muncul pada saat luteolisis akan menjadi folikel dominan dan
selanjutnya mengalami ovulasi pada fase folikuler (Inskeep, 2004)

11
Fase folikular dimulai dengan penghilangan efek negatif dari progesteron
sehingga konsentrasi GnRH kembali meningkat. Peningkatan konsentrasi GnRH
akan menyebabkan peningkatan produksi FSH dan LH sehingga dapat
mendukung pertumbuhan folikel. Folikel de Graaf akan menghasilkan lebih
banyak estrogen. Jika estrogen telah mencapai kadar maksimal, maka akan
memicu pengeluaran LH sehingga ovulasi.

3.1 Regulasi Hormon pada Fase Luteal


Fase luteal (metestrus-diestrus) berlangsung kurang lebih 13 hari dan
ditandai dengan pematangan korpus luteum (CL) yang menghasilkan progesteron
dengan konsentrasi yang mencapai puncak pada hari ke 6 setelah ovulasi. Hormon
progesteron merupakan hormon steroid yang disekresikan oleh sel korpus luteum,
placenta dan kelenjar adrenal (McDonald, 2000 ; Hafez 2000). Sekresi hormon
progesteron sangat tergantung dari status siklus estrus, kadar tertinggi hormon
progesteron adalah pada fase luteal oleh karena korpus luteum merupakan sumber
utama dari hormon progesteron dan kadar terendah adalah pada fase folikel
(McDonald, 2000). Hormon progesteron merupakan hormon yang sangat penting
dalam pengaturan fungsi dari siklus normal reproduksi betina (Hafez,2000).
Fase luteal terdapatnya CL (Corpus Luteum) yang menghasilkan
progesteron yang dapat menghambat pertumbuhan folikel dominan mencapai
ovulasi sehingga akan mengurangi pengaruh negatif dari inhibin dan estradiol
yang dihasilkan oleh folikel dominan dalam menghambat pertumbuhan folikel
subordinat. Sehingga hal tersebut menyebabkan jumlah folikel subordinat yang
tumbuh menjadi lebih banyak pada pasangan ovarium yang memiliki CL (Corpus
Luteum) daripada ovarium yang memiliki FD (Folikel Dominan) (Boediono, et
al., 1995)
Pada fase luteal, konsentrasi LH tidak dapat mencapai kadar maksimal,
akan mengalami regresi dan penurunan sekresi estrogen dan inhibin menyebabkan
terbentuknya gelombang folikel baru. Folikel dominan yang mengandung
estrogen dan inhibin dengan konsentrasi tinggi berhubungan dengan penekanan
konsentrasi FSH dalam sirkulasi darah (Maidaswar, 2007). Penyebab tidak
terjadinya ovulasi menurut Senger (2003) karena kadar progesteron masih

12
dominan, kondisi hormonal yang sesuai untuk perkembangan akhir folikel akan
nyata setelah luteolisis (tanpa CL) dan menurun kadar progesteron.

Gambar 3.2 Corpus Luteum Pada Ovarium Sapi


Lisisnya CL diakibatkan oleh kerja PGF2α, dengan mekanisme alaminya
diawali oleh sekresi oksitosin oleh CL dengan reseptor sudah terbentuk pada
dinding uterus. Respons selanjutnya uterus mensekresikan PGF2α ke dalam
pembuluh darah sampai mencapai reseptornya di sel luteal CL.

13
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa siklus estrus
merupakan interval antara timbulnya satu periode estrus ke permulaan periode
estrus berikutnya. Siklus estrus pada sapi biasanya berlangsung selama 18 – 24
hari, dengan rata-rata 21 hari. Siklus estrus pada aktivitas ovarium terdiri dari fase
folikuler dan luteal dengan masing-masing fase tersebut dipengaruhi oleh
beberapa hormon.
Pada fase folikuler dan luteal hormon yang terlibat secara tidak langsung
yaitu Gonadotrophin releasing hormone yang memengaruhi ovarium dengan
merangsang sintesis dan pelepasan hormon follicle stimulating hormone (FSH)
dan luteinizing hormone (LH) dari hipofisa anterior. Kadar GnRH akan tinggi
tinggi pada fase folikuler yanng berakibat dengan tingginya peningkatan produksi
FSH dan LH sehingga dapat mendukung pertumbuhan folikel. Folikel de Graaf
akan menghasilkan lebih banyak estrogen. Jika estrogen telah mencapai kadar
maksimal, maka akan memicu pengeluaran LH sehingga terjadi ovulasi.
Sedangkan, pada fase luteal konsentrasi progesteron akan mencapai
puncaknya dan akan menekan keberadaan FSH untuk menghambat terjadinya
perkembangan folikel selanjutnya. Konsentrasi LH tidak dapat mencapai kadar
maksimal, akan mengalami regresi dan penurunan sekresi estrogen dan inhibin
menyebabkan terbentuknya gelombang folikel baru.

4.2 Saran
Menyadari paper ini masih jauh dari kata sempurna, diharapkan
kedepannya paper ini dapat disempurnakan lagi dengan sumber–sumber yang
lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan serta menjadi sangat
penting untuk mengetahui tentang regulasi hormon reproduksi pada siklus estrus
sapi karena sangat berkaitan dengan kesuksesan dalam penerapan teknologi
reproduksi

14
DAFTAR PUSTAKA

Afriani, T., Jaswandi, J., Defrinaldi, D., & Satria, Y. E. (2014). Pengaruh Waktu
Pemberian Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) terhadap Jumlah
Korpus Luteum dan Kecepatan Timbulnya Berahi pada Sapi Pesisir. Jurnal
Peternakan Indonesia (Indonesian Journal of Animal Science), 16(3), 193-
197.
Arimbawa, I. W. P., Trilaksana, I. G. N. B., & Pemayun, C. G. O. 2012.
Gambaran Hormon Progesteron Sapi Bali Selama Satu Siklus Estrus.
Indonesia Medicus Veterinus, 1(3), 330336.
Baker, T.G. 1982. Oogenesis and Ovulation. In C.R. Austin and R.V. Short (Eds).
Reproduction in Mammals. Cambridge University Press, Cambridge.
Halaman : 55-70
Frandson, R.D., 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak, Edisi ke-7, diterjemahkan
oleh Srigandono, B dan Praseno, K, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Gordon, I. (2003). Laboratory Production of Cattle Embryos. 2nd edition. CAB
International, Oxon. Halaman : 42-73.
Hafez, E. S. E. 2000. Reproduction in Domestic Animals. Ed., Philadelphia,
London: Lea & Febiger.
Hafizuddin, H., Siregar, T. N., & Akmal, M. 2012. Hormon Dan Perannya Dalam
Dinamika Folikuler Pada Hewan Domestik. Jurnal Edukasi dan Sains
Biologi, 1(1), 77900.
Inskeep, E.K. 2004. Preovulatory, postovulatory, and postmaternal recognition
effects of concentrations of progesterone on embryonic survival in the cow.
J. Anim. Sci. 82 (13): E24E39
Isnaini, N., & Wahjuningsih, S. 2014. Konsentrasi gonadotropin releasing
hormone (GnRH) ekstrak otak sapi peranakan friesien holstein betina fase
folikuler dan luteal. Jurnal Kedokteran Hewan-Indonesian Journal of
Veterinary Sciences, 8(2).
[MAH] Merck Animal Health. 2012. Hormonal regulation of reproduction in
cattle. http://www.partners-inreproduction.com/reproduction-cattle/
hormonal-regulation.asp.

15
McDonnell, S.M., N.K. Dile, M.C. Garcia, and R.M. Kenney. 1989. GnRH effect
precopulatory behavior in testosterone-treated geldings. J. Physiol. 45:145-
149.
Maidaswar. (2007). Efisiensi Superovulasi pada Sapi Melalui Sinkronisasi
Gelombang Folikel dan Ovulasi. Tesis. Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Senger, P.L. (2003). Pathways to Pregnancy and Parturition. 2nd revision
edition. Washington State University Research & Technology Park. Current
Conceptions Inc., Washington. Halaman : 210–230
Siregar, T.N. (2010b). Fisiologi Reproduksi Hewan Betina. Syiah Kuala
University Press, Banda Aceh. Halaman : 25-39
Pemayun, T. G. O. 2010. Kadar Progesteron akibat Pemberian PMSG dan GN-
RH pada Sapi Perah yang Mengalami Anestrus Postpartum. Buletin
Veteriner Udayana.
Teolihere, M.R., 1997. Peran Bioteknologi reproduksi dalam pembinaan produksi
peternakan di Indonesia. Makalah disampaikan pada pertemuan teknis dan
koordinasin Produksi Peternakan Nasional. Cisarua, 4-6 Agustus 1997

16
LAMPIRAN JURNAL

17

Anda mungkin juga menyukai