Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS MANDIRI

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI African Swine Fever (ASF) PADA TERNAK BABI
KOASISTENSI DIAGNOSTIK LABORATORIK VIROLOGI

OLEH

GRACELA UTAMI ARA, S. K. H

NIM. 2009020024

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Nusa Tenggara Timur (NTT), merupakan salah satu provinsi dengan populasi ternak
babi tertinggi di Indonesia (Dirkeswan, 2017). Daerah NTT merupakan daerah yang sangat
berpotensi untuk pemeliharaan dan pengembangan ternak babi (Wea, 2002). Hal ini
didukung oleh kondisi sosial budaya yaitu pemeliharaan babi yang merupakan suatu
kebiasaan turun temurun, babi banyak digunakan dalam upacara adat atau keagamaan, serta
daging babi sebagai sumber protein hewani utama bagi masyarakat NTT serta beternak babi
merupakan salah satu usaha rumah tangga yang penting sebagai sumber penghasilan.
Keberhasilan suatu usaha peternakan babi tidak terlepas dari berbagai kendala yang
sangat merugikan peternak, diantaranya serangan penyakit baik yang bersifat menular
maupun tidak. Beberapa penyakit yang sering menyerang babi adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus, bakteri, dan parasit. Salah satu penyakit virus yang pada saat ini telah
banyak menyebabkan kematian ternak babi di NTT diantaranya : African Swine Fever (ASF).
ASF merupakan penyakit infeksius pada babi bersifat hemoragik yang disebabkan oleh virus
DNA beruntai ganda, dalam family Asfarviridae dan genus Asfivirus (Dixon et al, 2005).
ASFV dapat menyebabkan kematian pada ternak babi sampai dengan 100% sehingga
mengakibatkan kerugian ekonomi yang sangat besar (OIE, 2019).
Deteksi ASF dapat dilakukan dengan menggunakan teknik diagnostik Enzyme Linked
Immunosorbent Assay (ELISA). Prinsip dari uji ELISA adalah mendeteksi antibodi terhadap
ASF dengan sampel darah dari babi yang diduga terinfeksi ASF. Oleh karena itu, dalam
laporan kasus ini akan menjelaskan tentang suspect African Swine Fever (ASF) pada babi
berdasarkan diagnosa laboratorik menggunakan metode ELISA.

1.2 Tujuan
Untuk menegakkan diagnosa penyakit berdasarkan gejala klinis dan hasil pengujian
laboratorium.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etiologi
Penyakit ASF disebabkan oleh virus ASF, yang merupakan virus DNA beruntai ganda
genus Asfivirus. Hingga saat ini virus ASF hanya memiliki satu serotipe meskipun terdapat 23
genotipe dengan virulensi yang bervariasi (Rodriguez et al. 2015). Meskipun virus ASF
mempunyai satu serotipe, namun penelitian terakhir menyatakan bahwa virus ASF dapat
dikelompokkan menjadi 8 serogroup berdasarkan hemadsorption inhibition assay (HAI) pada
biakan jaringan. Adanya hemadsorption, merupakan patognomonik adanya virus ASF yang
membedakan dengan virus Classical Swine Fever (CSF) (Malogolovkin et al. 2015).
Virus ASF bertahan dalam waktu yang lama pada suhu rendah, namun dengan
pemanasan 56°C selama 70 menit dan 90°C selama 30 menit virus ini akan inaktif, selain itu
virus ini bertahan lama dalam darah, feses, jaringan dan dapat berkembang biak dalam vektor
Ornithodoros sp.). Virus ini juga tahan terhadap beberapa bahan kimia seperti tripsin dan EDTA
(Ethylene Diamine Tetraacetic Acid). Virus ini juga tidak tahan hidup dalam kondisi antara pH
3,9 hingga 13,4 (OIE 2018).

2.2 Gejala Klinis


Menurut OIE (2020) manifestasi infeksi ASF dibagi dalam 4 bentuk gejala klinis
tergantung dari virulensi strain dan status antibodi yang menginfeksi, yaitu :
 Bentuk per akut ASF menunjukkan gejala klinis seperti kematian sangat cepat dan
tiba-tiba, dengan gejala gejala klinis yang sedikit.
 Bentuk akut menunjukkan gejala klinis seperti demam mencapai 40,5–42°C,
anoreksia, lesu, sianosis, inkoordinasi, peningkatan nadi dan laju pernapasan,
erithrema (pada sekitar telinga dan badan), diare (terkadang disertai darah),
muntah, batuk dan sesak nafas, leukopenia dan trombositopenia (pada 48-72 jam),
abortus pada babi bunting.
 Bentuk subakut menunjukkan gejala klinis seperti demam ringan, nafsu makan
hilang, dan depresi, kadang disertai dengan abortus pada babi bunting.
 Bentuk kronis menunjukkan gejalan klinis seperti nafsu makan tidak ada, tidak
demam atau suhu normal, pernapasan cepat, nekrosis kulit, borok kulit kronis dan
pembengkakan sendi.
Gejala penyakit Hog Cholera mirip dengan penyakit ASF, sehingga pemeriksaan
laboratorium sangat dibutuhkan untuk membedakan kedua penyakit tersebut (SanchezVizcano et
al. 2015).

2.3 Patogenesis
Penularan penyakit ASF dapat terjadi melalui kontak langsung maupun tidak langsung
dan melalui gigitan kutu caplak (Ornithodorus sp) yang telah mengandung virus ASF. Penularan
secara kontak langsung melalui cairan tubuh hewan yang terinfeksi seperti air liur, sekresi
pernapasan, urin dan feses, sedangkan kontak tidak langsung melalui fomit atau benda-benda
lain yang tercemar virus ASF termasuk pemberian pakan sampah (swill feeding) baik dari
pesawat maupun restoran yang mengandung daging babi yang tercemar virus ASF, kendaraan
pengangkut babi yang terinfeksi, pakaian dan peralatan pakan babi yang telah tercemar virus
ASF dan melalui lalu lintas babi sakit (Kipanyula & Nong’ona 2017).
Faktor utama penyebab terjadinya siklus penularan ASF adalah populasi babi yang tinggi,
sistem peternakan ekstensif dan biosekuriti yang tidak ketat serta penggunaan swill feeding
sebagai pakan babi, melalui jalur transportasi, melalui rantai penjualan babi di pasar seperti
rendahnya tingkat kesadaran dan pengetahuan akan penyakit ASF seperti gejala klinis, cara
transmisi ASF diantara peternak babi.

2.4 Epidemiologi
Penyakit ASF pertama kali ditemukan di Afrika Kenya pada tahun 1921, yang kemudian
menyebar di sebagian besar sub-Sahara Afrika termasuk di Pulau Madagaskar, sehingga penyakit
ini menjadi endemik di Afrika pada babi (FAO 2018). Situasi ASF di Asia, pertama kali terjadi
di Cina pada tahun 2018 (Zhao et al. 2019), penyakit ini telah menyebar ke Mongolia (Januari
2019), Vietnam (Februari 2019), Kamboja (Maret 2019), Hongkong dan Korea Utara (Mei
2019), Laos (Juni 2019) dan kemudian ke Myanmar (Agustus 2019), Philipina, Korea Selatan
dan Timor Leste (September 2019) (OIE 2019). Indonesia masih dinyatakan bebas ASF hingga
bulan September 2019, namun pada bulan Oktober 2019 dilaporkan banyak kematian pada babi
di Kota Kupang, Kabupaten Kupang, TTS (Timor Tengah Selatan), Kabupaten Lembata dan
Kabupaten Sikka (FAO, 2021). Dinas Peternakan Provinsi NTT mencatat bahwa kasus kematian
ternak babi milik masyarakat di Pulau Timor hingga bulan Maret tahun 2020 mencapai 4.888
ekor akibat terserang virus ASF (Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2020).

2.5 Diagnosa
Deteksi antibodi terhadap ASF dapat dilakukan dengan uji serologi seperti uji ELISA,
Hemaglunisasi Inhibisi dan Immunodot blot (Balyshev et al. 2018; Zhao et al. 2019). Sementara
uji deteksi virus ASF dilakukan dengan uji fluorescent antibodi (DFA), real time q-PCR dan
konvensional PCR (Balyshev et al. 2018; Mazur-Panasiuk & Woźniakowski 2019a). ELISA dan
Real time PCR merupakan diagnosis baku dan paling sering digunakan (Chenais et al. 2017).
Sampel yang dapat dikoleksi diantaranya serum untuk pemeriksaan serologi (Chenais et
al. 2017) dan untuk uji virologik berupa organ seperti limpa, hati, tonsil, ginjal, limfoglandula,
jantung dan paru atau darah dalam EDTA, swab nasal dan swab rektal (Sanchez-Vizcano et al.
2015; Beltran-Alcrudo et al. 2017). Untuk pengujian RT-PCR, dapat menggunakan sampel
seperti tanah yang telah terkontaminasi cairan tubuh babi atau tempat pemotongan babi secara
tradisional, air minum babi, sisa makanan atau tempat pembuangan feses (Chenais et al. 2017).

2.7 Pencegahan dan Pengendalian


Pencegahan dan kontrol penyakit ASF belum dapat dilakukan dengan vaksinasi maupun
obat antiviral karena belum tersedia secara komersial. Bagi negara yang masih dinyatakan bebas
ASF, maka beberapa pencegahan yang dapat dilakukan antara lain peningkatan karantina dan
biosekuriti yang ketat, membatasi lalu lintas babi dan pengurangan populasi ternak babi yang
sakit dan terpapar. Disamping penerapan biosekuriti yang baik, mengurangi kontak dengan
pakan/alat yang tercemar seperti penggunaan swill feeding sebagai pakan ternak babi dan
pengolahan limbah.
BAB III
METODOLOGI

3.1 Materi
 Waktu dan Tempat
Pengambilan sampel darah dilakukan pada tanggal 26 maret 2021 di Manutapen.
Pemeriksaan serum sampel darah dilakukan oleh petugas Laboratorium UPT Veteriner.
 Alat dan bahan yang digunakan adalah babi dengan gejala sakit, venoject, ependrof,
tabung vacum non-EDTA, termometer, kapas, alcohol, masker, alat tulis dan kamera.

3.2 Metode
 Melakukan wawancara dengan pemilik ternak.
 Metode pengambilan sampel darah dilakukan dengan cara mengambil darah pada babi
yang menunjukkan gejala sakit pada vena jugularis, lalu sampel darah dimasukkan
kedalam tabung non-EDTA, tabung dimiringkan dan disimpan pada suhu ruang. Setelah
serum terbentuk, di masukkan kedalam tabung ependrof. Selanjutnya dibawa ke
laboratorium UPT Veteriner untuk dilakukan pemeriksaan ELISA.

Gambar 1. Proses pengambilan sampel darah babi


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
a. Data Pemilik
Nama Pemilik : Bapak Soleman
Alamat : Manutapen
b. Data Hewan
Jenis hewan : Babi
Ras : Landrace
Umur : 5 bulan
Jenis kelamin : Betina
Warna kulit : Putih
c. Keadaan Umum Hewan
Berdasarkan pengamatan, gejala yang tampak pada babi adalah fatigue (lemah,
lemas, dan tidak ingin bergerak), terdapat kemerahan pada telinga (hemoragi ecicimosis),
anoreksia, hanya minum air dan suhu tubuh mencapai 39,4oC.
d. Anamnesa
Berdasarkan hasil pengamatan dan anamnesa diketahui bahwa babi yang diperiksa
merupakan babi yang dipelihara secara semi intensif berjumlah 1 ekor dan telah
mengalami gejala klinis sekitar 2 hari yang lalu. Populasi babi di kandang tersebut adalah
3 ekor babi, 2 ekor babi sudah mati sehari sebelumnya. Beberapa babi dengan gejala yang
sama disekitar daerah tersebut juga mati dan bangkai babi dibuang disekitar daerah
tersebut. Berdasarkan keterangan dari pemilik babi belum pernah divaksin. Kondisi
kandang bersih, beratap seng, berlantai semen kasar dan terdapat tempat pembuangan
limbah.
e. Pemeriksaan laboratorium
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dari sampel darah babi yang dibawa
ke UPT Veteriner menunjukkan hasil negatif. Namun berdasarkan hasil wawancara dan
gejala klinis yang ditunjukkan oleh hewan kasus, maka suspect babi tersebut mengarah
ke penyakit African Swine Fever (ASF).
Gambar 2. Hasil pemeriksaan suhu dan gejala klinis pada babi

Gambar 3. Kondisi kandang dan pembuangan limbah


4.2 Pembahasan
Berdasarkan gejala klinis yang terlihat pada babi tersebut, terdapat satu gejala klinis
yang mirip dengan gejala pada ASF yaitu hemoragi yang muncul pada telinga. Menurut
Retnaningsih (2019) babi yang terinfeksi ASF ditandai dengan demam tinggi hingga 42°C,
depresi, nafsu makan menurun, malas bergerak, cenderung berkumpul, hemoragi pada kulit
dan organ dalam, abortus pada babi bunting, sianosis (warna kulit kebiruan), muntah, dan
diare. Begitupun dengan gejala klinis yang timbul oleh babi yang terinfeksi penyakit Hog
cholera/CSF pada kasus akut.
Dilihat dari status epidemiologi mengenai penyebaran penyakit ASF dimana saat ini
kejadian ASF sedang meningkat di Kota Kupang, gejala pada babi yang terserang penyakit
ini mirip dengan gejala ASF yang mulai mewabah hingga menimbulkan ribuan babi mati
mendadak dangan ciri yang sama. Pada kasus ini babi yang diperiksa mati setelah 5 hari
sejak menunjukkan gejala, diduga gejala yang timbul pada kasus ini adalah akut, dikarenakan
hewan menunjukkan gejala dan mati tiba-tiba, hal ini didukung oleh pernyataan Retnaningsih
(2019) bahwa gejala klinis pada babi terdiri atas perakut, akut, subakut dan kronis. Pada
kasus akut, kematian biasanya terjadi dalam 5-10 hari setelah muncul gejala klinis, selain itu
angka kematian dapat mencapai 100%.
Selain itu riwayat babi belum pernah divaksin, dapat memperbesar kemungkinan jika
babi tersebut terinfeksi penyakit ASF/Hog cholera walaupun tidak menutup kemungkinan
bahwa penyakit ini tidak dapat terjadi walaupun babi tidak divaksin karena babi yang tidak
divaksinpun ada kemungkinan ditemukan antibodi. Hal ini bisa terjadi karena babi sudah
mengalami infeksi alam ataupun sudah memiliki maternal antibodi dimana mampu
menetralisir antigen yang masuk (Van Oirschot, 2003). Jika dilihat dari gejala yang timbul
maka akan sulit untuk membedakan kedua jenis penyakit tersebut jika hanya melakukan
pemeriksaan klinis dikarenakan gejala yang timbul hampir sama. Oleh karena itu untuk
menegakkan diagnosa perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi agen
penyebab penyakit.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahui penyebab panyakit dapat
menggunakan diagnosis ELISA, teknik diagnosis ELISA merupakan salah satu teknik
serologi yang dapat digunakan untuk mendeteksi patogen secara efektif dan efisien (Halk
&De Boer, 1985). Teknik pengujian ini mampu memeriksa sampel dalam jumlah yang besar
dalam waktu yang singkat, sehingga ideal untuk kepentingan screening. Berdasarkan hasil
yang diperoleh bahwa titer antibodi babi negatif dalam pengujian ELISA. Hasil negatif ini
berarti bisa dikatakan gejala klinis yang timbul bukanlah disebabkan oleh ASF dan jika
dilihat dari nilai yang diperoleh % menunjukkan bahwa ada titer antibodi, namun nilai ini
masih dibawah batas yaitu 40% titer antibodi untuk Hog Cholera sehingga virus tidak
terdeteksi. Hal ini menunjukan bahwa babi yang tidak divaksinpun ada kemungkinan
ditemukan antibodi, ini bisa terjadi karena babi sudah mengalami infeksi alam ataupun
sudah memiliki maternal antibodi dimana mampu menetralisir antigen yang masuk sehingga
jumlah titer antibodi lebih rendah dari 40% (Van Oirschot, 2003). Selain itu juga, factor
human eror juga bisa mempengaruhi hasil yang didapat dimana mungkin terjadi kesalahan
pada saat proses pengemasan sampel maupun pada saat pemeriksaan sampel.

Gambar 4. Hasil pengujian ELISA

Pada kasus ini sangat sulit untuk membedakan penyakit yang diduga ASF hanya dengan
pemeriksaan gejala klinis. Selain itu hasil laboratorium yang negatif menunjukkan babi tersebut
negatif ASF, walaupun gejala yang muncul mirip dengan gejala ASF. Oleh karena itu,
diperlukan diagnosa banding penyakit yang mirip dengan penyakit ASF ini yaitu Classical Swine
Fever/Hog Cholera. Penyakit ini mirip dan menimbulkan gejala yang sama dengan ASF yaitu :
nafsu makan menurun, lesu, sesak nafas, dan kulit bercak kebiruan. Jika dilihat dari
mortalitasnya, ASF dan CSF dapat menimbulkan tingkat kematian hingga 100% pada babi yang
terinfeksi tergantung pada gejala klinis yang timbul.
Hog cholera atau classical swine fever (CSF) adalah penyakit viral yang sangat menular
pada babi yang sudah didomestikasi dan babi liar (Sus domestica and Sus scrofa) (Donahue et
al., 2012). Penyakit Hog cholera disebabkan oleh virus dari familia Flaviviridae dan genus
Pestivirus. Virus ini berbentuk bundar dengan diameter berkisar 40-50 nm, memiliki
nukleokapsid yang berbentuk heksagonal dengan ukuran sekitar 29 nm dan mengandung
material genetik RNA berbentuk single stranded berpolaritas positif (Horzinck, 1981). Virus
Hog cholera merupakan virus yang sangat rentan terhadap keadaan lingkungan. Ketahanan Hog
cholera di lingkungan dipengaruhi oleh variabel fisikokimia seperti suhu, kelembapan, pH,
keberadaan organisme lainnya serta paparan bahan kimia (Edwards, 2000). Virus ini stabil pada
pH 5-10 dan inaktif dengan cepat pada pH 10 serta sensitif pada suhu 60oC (OIE, 2020). Namun
demikian, virus ini memiliki envelope dan sangat sensitif terhadap kekeringan dan sinar
ultraviolet (Edwards, 2000).
Kejadian Hog cholera di Indonesia dicurigai berasal dari Malaysia dan dilaporkan untuk
pertama kali di Sumatra Utara pada tahun 1994 (Leslie et al., 2015) dan secara bertahap
menyebar ke Jawa pada awal tahun 1995, Bali dan Kalimantan pada akhir tahun 1995 dan terus
menyebar luas ke wilayah timur Indonesia (Ratundima et al., 2012). Hog cholera pertama kali
masuk ke wilayah NTT pada tahun 1997 di wilayah Pulau Sumba dan Pulau Flores. Namun pada
saat itu belum diperoleh informasi yang pasti. Identifikasi dan konfirmasi ini baru diperoleh pada
kasus Hog cholera di Kota Kupang pada tahun 1998. Sejak saat itu wilayah NTT masuk dalam
daftar provinsi yang terinfeksi Hog cholera (Christie, 2007; Leslie et al., 2015).
Jalur utama penularannya adalah melalui oronasal yaitu dengan kontak langsung maupun
tidak langsung dengan babi yang terinfeksi HC ataupun lewat makanan yang telah
terkontaminasi virus ini (Moennig et al., 2003). Virus ini disebarkan melalui cairan mulut, mata,
hidung, urin maupun feses ternak yang terinfeksi. Virus HC juga dapat menular melalui
peralatan peternakan ataupun pekerja kandang. Selain itu, HC dapat pula menular secara vertikal
dari induk ke anak. Infeksi kongenital HC yang terjadi apada awal kebuntingan dapat
mengakibatkan abortus. Apabila induk terinfeksi virus HC pada masa kebuntingan 42-67 hari
maka tinggi resiko terjadi mumifikasi dan stillborn, sementara induk terinfeksi pada hari 6 ke-68
sampai 88 hari kebuntingan maka anak akan lahir dengan viremia (Dewulf et al.,2001). Pada
peternakan dengan tingkat kepadatan yang tinggi, virus HC lebih cepat menyebar.
Pada babi yang sembuh dari infeksi HC namun belum memiliki antibodi protektif, virus
masih dapat ditularkan ke babi lain. Pada hewan yang menderita HC akut, virus virulen dapat
disebarkan ke lingkungan selama 10-20 hari sedangkan pada hewan yang menderita HC kronis,
virus disebarkan secara intermitten ke lingkungan.. Pada umumnya, HC relatif lebih gampang
menyerang babi muda namun babi dewasa yang belum pernah mendapat vaksinasi juga sangat
rentan terhadap infeksi HC (Dahle dan Liess, 1995). Periode inkubasi dapat terjadi selama 2-6
hari (Moennig, 2003). Pada beberapa kondisi lapangan, gejala penyakit dpat muncul pada 2-4
minggu setelah introduksi virus.
Menurut OIE (2020) gejala klinis pada babi terdiri atas perakut, akut, subakut dan kronis.
Bentuk perakut, ditandai dengan kematian mendadak, tidak ditemukan gejala klinis dan
perubahan patologi; bentuk akut, ditandai dengan demam, suhu tubuh meningkat sampai dengan
42o C, tingkat kematian bisa mencapai 100%, gangguan pernapasan dan batuk, disentri dan diare,
konjungtivitis, hemoragi kulit dengan bercak-bercak warna merah ungu, gerakan kaki tidak
koordinasi dan konvulsi dimana hewan tidak bisa bangun; bentuk subakut, ditandai dengan suhu
tubuh sedikit lebih ringan dan rendah 40-40,5oC, pada hewan bunting terjadi mumifikasi fetus,
lahir dini atau keadaan lemah dan anak babi terlihat gemetar; bentuk kronis, akan terlihat batuk,
anoreksia, suhu tubuh naik turun, depresi dan leukopenia.
Metode pengujian yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi virus Hog cholera yaitu
uji antibodi fluoresens/Fluorescent Antibody Test (FAT), ELISA antigen dan PCR. Deteksi
antibodi dapat dilakukan dengan beberapa uji serologis seperti Agar Gel Double Diffusion
Precipitin (AGDP), Immuno Electro Osmohoresis (EIOP) dan ELISA. Diagnosa banding
penyakit ini dapat dikelirukan dengan African Swine Fever (ASF), salmonellosis sepsis,
pateurellosis, streptococosis, erysipelas dan infeksi Haemophilus somnus. Uji ELISA merupakan
screening awal pengujian suatu penyakit, yang bertujuan untuk mengidentifikasi antibodi Hog
cholera dalam serum. Prinsip dasar uji ELISA adalah analisis interaksi antara antigen dan
antibodi dengan menggunakan enzim sebagai penanda reaksi (Yusrini, 2005). Uji ELISA
memiliki indeks sensifitas, spesifitas dan kecepatan tinggi dengan biaya rendah dan interpretasi
hasil dengan mudah.
Tindakan yang paling efektif untuk mencegah atau mengendalikan penyakit adalah
melakukan vaksinasi dan stamping out atau tindakan pemotongan bersyarat (Subronto, 2003).
Vaksinasi yang diberikan akan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi antibodi
terhadap virus Hog cholera. Keberhasilan program vaksinasi sangat tergantung dari strain, dosis
dan aplikasi vaksin serta status kesehatan hewan yang divaksinasi.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian ELISA terhadap babi diperoleh nilai %. Hal ini
menunjukkan bahwa antibodi sampel serum babi negatif dalam pengujian ELISA. Oleh karena
itu, dapat disimpulkan bahwa babi pada kasus ini tidak terinfeksi virus ASF, sehingga diagnosa
banding dari kasus ini adalah Hog cholera berdasarkan kemiripan gejala klinis yang timbul.

5.2 Saran
Untuk mendiagnosis suatu penyakit, tidak bisa dilakukan hanya berdasarkan gejala klinis
yang ditimbulkan, melainkan harus melalui pengujian laboratorium dengan berbagai uji yang
merupakan “gold standart” dari masing-masing penyakit tersebut sehingga penanganan penyakit
dapat dilakukan dengan tepat.
DAFTAR PUSTAKA

Balyshev VM, Vlasov ME, Imatdinov AR, Titov I, Morgunov S, Malogolovkin AS. 2018.
Biological properties and molecular-genetic characteristics of African Swine Fever virus
isolated in various regions of Russia in 2016–2017. Russ Agric Sci. 44:469-473.
Beltrán-Alcrudo D, Arias M, Gallardo C, Kramer S, Penrith ML. 2017. African swine fever:
detection and diagnosis – A manual for veterinarians. FAO Animal Production and Health
Manual No. 19. Rome (Italy): Food and Agriculture Organization of the United Nations.

Chenais E, Sternberg-Lewerin S, Boqvist S, Liu L, LeBlanc N, Aliro T, Masembe C, Ståhl K.


2017. African swine fever outbreak on a medium-sized farm in Uganda: Biosecurity
breaches and within-farm virus contamination. Trop Anim Health Prod. 49:337-346.
Christie, B. M. 2007. A Review Of Animal Health Research Opportunities In Nusa Tenggara
Timur Dan Nusa Tenggara Bata Provinces Eastern Indonesia. Australian Center For
International Agricultural Research, 65 : 2-11.
Dahle, J. and Liess, B. 1995. Comparative study with clones classical swine strains ALFORT
and GLENTORF: clinical, pathological, virological, serological findings in weaner pigs.
Wiener Tieratztliche Monatsschrift 82: 232-238.
[DITJENAK] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian.
2017. Statistik peternakan dan kesehatan hewan. Kementrian pertanian. Jakarta.
Indonesia.
Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI. 2020.“Cegah Penyebaran
Kasus, Kementan Petakan Kasus Kematian Babi Di NTT”.Diakses tanggal 26 Maret 2021.

Dewulf J, Laevens H, Koenen F, Mintiens K, dan De Kruif A. 2001. An experimental infection


with classical swine fever virus in pregnant sows:transmission of the virus, course of the
disease, antibody response and effect on gestation. Journal of Veterinary Medicine, Series
B, 48(8), 583- 591.\
Dixon LJ, Boinas FS, Wilson AJ, Hutchings GH, Martins C. 2011. The persistence of African
Swine Fever Virus in field-infected Ornithodoros erraticus during the ASF endemic
period in Portugal. PLoS ONE. 6:e20383.
Donahue, B. C., Petrowski, H. M., Melkonian, K., ward, G. B., Mayr, G. A. dan Metwally, S.
(2012). Analysis Of Clinical Sampels For Early Detection Of Classical Swine Fever
During Infection With Low, Moderate And Highly Virulent Strains In Relation To The
Onset Of Clinical Signs. Journal of Virological metods, 179 (1). 108-115.
Edwards S, Fukusho A, Lefevre PC, Lipowski A, Pejsak Z, Roehe P dan Westergaard J. 2000.
Classical swine fever: the global situation. Veterinary microbiology, 73(2), 103-119.
highlands of Tanzania: a field experience. Trop Anim Health Prod. 49:303-310.
[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2018. African Swine Fever
threatens people ’s Republic of China: A rapid risk assessment of ASF introduction
[Internet]: [accessed 26 Maret 2021]. Available from: http://www.fao.org/3/
I8805EN/i8805en.pdf.
[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2021. ASF (African Swine
Fever) situation in asia and pacific update. [Internet]: [accessed 26 Maret 2021].
Available from:
http://www.fao.org/ag/againfo/programess/en/empres/ASF/situation_update. Html.
Horzinck. 1981. Non.-Arthropod-BorneToga-viruses. Academc Press, New york.
Kipanyula MJ, Nong’ona SW. 2017. Variations in clinical presentation and anatomical
distribution of gross lesions of African swine fever in domestic pigs in the southern
Leslie EE, Geong M., Abdurrahman M., Ward MP dan Toribio JAL. 2015. A description of
smallholder pig production systems in easternIndonesia. Preventive veterinary medicine,
118(4), 319-327.
Malogolovkin A, Burmakina G, Titov I, Sereda A, Gogin A, Baryshnikova E, Kolbasov D. 2015.
Comparative analysis of African swine fever virus genotypes and serogroups. Emerg
Infect Dis. 21:312-315.

Mazur-Panasiuk N, Woźniakowski G. 2019a. The unique genetic variation within the O174L
gene of Polish strains of African swine fever virus facilitates tracking virus origin. Arch
Vir. 164:1667-1672.
Moennig V, Floegel-Niesmann G, dan Greiser-Wilke I. 2003. Clinical Signs and Epidemiology
of Classical Swine Fever: A Review of New Knowledge. The Veterinary Journal, 165(1),
11-20.
OIE Manual Terrestial. 2019. Africa Swine Fever (Infection Africa Swine Fever Virus). Chapter
3.8.1, hal. 1-18.pdf.
OIE. 2020. Classical Swine Fever dalam OIE Terrestrial Manual www.oie.int. hal 1092-1106.
Ratundima, E.M., Suarta, I.N., Mahardika, I.G.N.K. 2012. Deteksi Antibodi terhadap Virus
Classical Swine Feverdengan Teknik Enzyme-Linked Immunosorbent Assay. Indonesia
Medicus Veterinus.1(2) : 217 – 227

Rodriguez JM, Moreno LT, Alejo A, Lacasta A, Rodriguez F, Salas ML. 2015. Genome
sequence of African swine fever virus BA71, the virulent parental strain of the
nonpathogenic and tissue-culture adapted BA71V. PLoS One. 10:p.e0142889.

Retnaningsih T W. 2019. Mengenal Demam Babi Afrika atau African Swine Fever (ASF).
Medik Veteriner Muda

Sanchez-Vizcano JM, Mur L, Gomez-Villamandos JC, Carrasco JL. 2015. An update on the
epidemiology and pathology of African swine fever. J Comp Pathol. 15:9-21.
Subronto. 2003. Ilmu Penykit Ternmaak (Mamalia). Gadjah mMada Press. Yogyakarta.
Van Oirschot, JT. 2003. Vaccinology of Classical Swine Fever: From Lab to Field. Veterinary
Microbiology 96, 367-384.
Zhao D, Liu R, Zhang X, Li F, Wang J, Zhang J, Liu X, Wang L, Zhang J, Wu X, Guan Y, Chen
W, Wang X, He X, Bu Z.2019. Replication and virulence in pigs of the first African
swine fever virus isolated in China. Emerging Microbes Infect. 8:438-447.

Anda mungkin juga menyukai