ISOLASI DAN IDENTIFIKASI African Swine Fever (ASF) PADA TERNAK BABI
KOASISTENSI DIAGNOSTIK LABORATORIK VIROLOGI
OLEH
NIM. 2009020024
KUPANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Untuk menegakkan diagnosa penyakit berdasarkan gejala klinis dan hasil pengujian
laboratorium.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etiologi
Penyakit ASF disebabkan oleh virus ASF, yang merupakan virus DNA beruntai ganda
genus Asfivirus. Hingga saat ini virus ASF hanya memiliki satu serotipe meskipun terdapat 23
genotipe dengan virulensi yang bervariasi (Rodriguez et al. 2015). Meskipun virus ASF
mempunyai satu serotipe, namun penelitian terakhir menyatakan bahwa virus ASF dapat
dikelompokkan menjadi 8 serogroup berdasarkan hemadsorption inhibition assay (HAI) pada
biakan jaringan. Adanya hemadsorption, merupakan patognomonik adanya virus ASF yang
membedakan dengan virus Classical Swine Fever (CSF) (Malogolovkin et al. 2015).
Virus ASF bertahan dalam waktu yang lama pada suhu rendah, namun dengan
pemanasan 56°C selama 70 menit dan 90°C selama 30 menit virus ini akan inaktif, selain itu
virus ini bertahan lama dalam darah, feses, jaringan dan dapat berkembang biak dalam vektor
Ornithodoros sp.). Virus ini juga tahan terhadap beberapa bahan kimia seperti tripsin dan EDTA
(Ethylene Diamine Tetraacetic Acid). Virus ini juga tidak tahan hidup dalam kondisi antara pH
3,9 hingga 13,4 (OIE 2018).
2.3 Patogenesis
Penularan penyakit ASF dapat terjadi melalui kontak langsung maupun tidak langsung
dan melalui gigitan kutu caplak (Ornithodorus sp) yang telah mengandung virus ASF. Penularan
secara kontak langsung melalui cairan tubuh hewan yang terinfeksi seperti air liur, sekresi
pernapasan, urin dan feses, sedangkan kontak tidak langsung melalui fomit atau benda-benda
lain yang tercemar virus ASF termasuk pemberian pakan sampah (swill feeding) baik dari
pesawat maupun restoran yang mengandung daging babi yang tercemar virus ASF, kendaraan
pengangkut babi yang terinfeksi, pakaian dan peralatan pakan babi yang telah tercemar virus
ASF dan melalui lalu lintas babi sakit (Kipanyula & Nong’ona 2017).
Faktor utama penyebab terjadinya siklus penularan ASF adalah populasi babi yang tinggi,
sistem peternakan ekstensif dan biosekuriti yang tidak ketat serta penggunaan swill feeding
sebagai pakan babi, melalui jalur transportasi, melalui rantai penjualan babi di pasar seperti
rendahnya tingkat kesadaran dan pengetahuan akan penyakit ASF seperti gejala klinis, cara
transmisi ASF diantara peternak babi.
2.4 Epidemiologi
Penyakit ASF pertama kali ditemukan di Afrika Kenya pada tahun 1921, yang kemudian
menyebar di sebagian besar sub-Sahara Afrika termasuk di Pulau Madagaskar, sehingga penyakit
ini menjadi endemik di Afrika pada babi (FAO 2018). Situasi ASF di Asia, pertama kali terjadi
di Cina pada tahun 2018 (Zhao et al. 2019), penyakit ini telah menyebar ke Mongolia (Januari
2019), Vietnam (Februari 2019), Kamboja (Maret 2019), Hongkong dan Korea Utara (Mei
2019), Laos (Juni 2019) dan kemudian ke Myanmar (Agustus 2019), Philipina, Korea Selatan
dan Timor Leste (September 2019) (OIE 2019). Indonesia masih dinyatakan bebas ASF hingga
bulan September 2019, namun pada bulan Oktober 2019 dilaporkan banyak kematian pada babi
di Kota Kupang, Kabupaten Kupang, TTS (Timor Tengah Selatan), Kabupaten Lembata dan
Kabupaten Sikka (FAO, 2021). Dinas Peternakan Provinsi NTT mencatat bahwa kasus kematian
ternak babi milik masyarakat di Pulau Timor hingga bulan Maret tahun 2020 mencapai 4.888
ekor akibat terserang virus ASF (Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2020).
2.5 Diagnosa
Deteksi antibodi terhadap ASF dapat dilakukan dengan uji serologi seperti uji ELISA,
Hemaglunisasi Inhibisi dan Immunodot blot (Balyshev et al. 2018; Zhao et al. 2019). Sementara
uji deteksi virus ASF dilakukan dengan uji fluorescent antibodi (DFA), real time q-PCR dan
konvensional PCR (Balyshev et al. 2018; Mazur-Panasiuk & Woźniakowski 2019a). ELISA dan
Real time PCR merupakan diagnosis baku dan paling sering digunakan (Chenais et al. 2017).
Sampel yang dapat dikoleksi diantaranya serum untuk pemeriksaan serologi (Chenais et
al. 2017) dan untuk uji virologik berupa organ seperti limpa, hati, tonsil, ginjal, limfoglandula,
jantung dan paru atau darah dalam EDTA, swab nasal dan swab rektal (Sanchez-Vizcano et al.
2015; Beltran-Alcrudo et al. 2017). Untuk pengujian RT-PCR, dapat menggunakan sampel
seperti tanah yang telah terkontaminasi cairan tubuh babi atau tempat pemotongan babi secara
tradisional, air minum babi, sisa makanan atau tempat pembuangan feses (Chenais et al. 2017).
3.1 Materi
Waktu dan Tempat
Pengambilan sampel darah dilakukan pada tanggal 26 maret 2021 di Manutapen.
Pemeriksaan serum sampel darah dilakukan oleh petugas Laboratorium UPT Veteriner.
Alat dan bahan yang digunakan adalah babi dengan gejala sakit, venoject, ependrof,
tabung vacum non-EDTA, termometer, kapas, alcohol, masker, alat tulis dan kamera.
3.2 Metode
Melakukan wawancara dengan pemilik ternak.
Metode pengambilan sampel darah dilakukan dengan cara mengambil darah pada babi
yang menunjukkan gejala sakit pada vena jugularis, lalu sampel darah dimasukkan
kedalam tabung non-EDTA, tabung dimiringkan dan disimpan pada suhu ruang. Setelah
serum terbentuk, di masukkan kedalam tabung ependrof. Selanjutnya dibawa ke
laboratorium UPT Veteriner untuk dilakukan pemeriksaan ELISA.
4.1 Hasil
a. Data Pemilik
Nama Pemilik : Bapak Soleman
Alamat : Manutapen
b. Data Hewan
Jenis hewan : Babi
Ras : Landrace
Umur : 5 bulan
Jenis kelamin : Betina
Warna kulit : Putih
c. Keadaan Umum Hewan
Berdasarkan pengamatan, gejala yang tampak pada babi adalah fatigue (lemah,
lemas, dan tidak ingin bergerak), terdapat kemerahan pada telinga (hemoragi ecicimosis),
anoreksia, hanya minum air dan suhu tubuh mencapai 39,4oC.
d. Anamnesa
Berdasarkan hasil pengamatan dan anamnesa diketahui bahwa babi yang diperiksa
merupakan babi yang dipelihara secara semi intensif berjumlah 1 ekor dan telah
mengalami gejala klinis sekitar 2 hari yang lalu. Populasi babi di kandang tersebut adalah
3 ekor babi, 2 ekor babi sudah mati sehari sebelumnya. Beberapa babi dengan gejala yang
sama disekitar daerah tersebut juga mati dan bangkai babi dibuang disekitar daerah
tersebut. Berdasarkan keterangan dari pemilik babi belum pernah divaksin. Kondisi
kandang bersih, beratap seng, berlantai semen kasar dan terdapat tempat pembuangan
limbah.
e. Pemeriksaan laboratorium
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dari sampel darah babi yang dibawa
ke UPT Veteriner menunjukkan hasil negatif. Namun berdasarkan hasil wawancara dan
gejala klinis yang ditunjukkan oleh hewan kasus, maka suspect babi tersebut mengarah
ke penyakit African Swine Fever (ASF).
Gambar 2. Hasil pemeriksaan suhu dan gejala klinis pada babi
Pada kasus ini sangat sulit untuk membedakan penyakit yang diduga ASF hanya dengan
pemeriksaan gejala klinis. Selain itu hasil laboratorium yang negatif menunjukkan babi tersebut
negatif ASF, walaupun gejala yang muncul mirip dengan gejala ASF. Oleh karena itu,
diperlukan diagnosa banding penyakit yang mirip dengan penyakit ASF ini yaitu Classical Swine
Fever/Hog Cholera. Penyakit ini mirip dan menimbulkan gejala yang sama dengan ASF yaitu :
nafsu makan menurun, lesu, sesak nafas, dan kulit bercak kebiruan. Jika dilihat dari
mortalitasnya, ASF dan CSF dapat menimbulkan tingkat kematian hingga 100% pada babi yang
terinfeksi tergantung pada gejala klinis yang timbul.
Hog cholera atau classical swine fever (CSF) adalah penyakit viral yang sangat menular
pada babi yang sudah didomestikasi dan babi liar (Sus domestica and Sus scrofa) (Donahue et
al., 2012). Penyakit Hog cholera disebabkan oleh virus dari familia Flaviviridae dan genus
Pestivirus. Virus ini berbentuk bundar dengan diameter berkisar 40-50 nm, memiliki
nukleokapsid yang berbentuk heksagonal dengan ukuran sekitar 29 nm dan mengandung
material genetik RNA berbentuk single stranded berpolaritas positif (Horzinck, 1981). Virus
Hog cholera merupakan virus yang sangat rentan terhadap keadaan lingkungan. Ketahanan Hog
cholera di lingkungan dipengaruhi oleh variabel fisikokimia seperti suhu, kelembapan, pH,
keberadaan organisme lainnya serta paparan bahan kimia (Edwards, 2000). Virus ini stabil pada
pH 5-10 dan inaktif dengan cepat pada pH 10 serta sensitif pada suhu 60oC (OIE, 2020). Namun
demikian, virus ini memiliki envelope dan sangat sensitif terhadap kekeringan dan sinar
ultraviolet (Edwards, 2000).
Kejadian Hog cholera di Indonesia dicurigai berasal dari Malaysia dan dilaporkan untuk
pertama kali di Sumatra Utara pada tahun 1994 (Leslie et al., 2015) dan secara bertahap
menyebar ke Jawa pada awal tahun 1995, Bali dan Kalimantan pada akhir tahun 1995 dan terus
menyebar luas ke wilayah timur Indonesia (Ratundima et al., 2012). Hog cholera pertama kali
masuk ke wilayah NTT pada tahun 1997 di wilayah Pulau Sumba dan Pulau Flores. Namun pada
saat itu belum diperoleh informasi yang pasti. Identifikasi dan konfirmasi ini baru diperoleh pada
kasus Hog cholera di Kota Kupang pada tahun 1998. Sejak saat itu wilayah NTT masuk dalam
daftar provinsi yang terinfeksi Hog cholera (Christie, 2007; Leslie et al., 2015).
Jalur utama penularannya adalah melalui oronasal yaitu dengan kontak langsung maupun
tidak langsung dengan babi yang terinfeksi HC ataupun lewat makanan yang telah
terkontaminasi virus ini (Moennig et al., 2003). Virus ini disebarkan melalui cairan mulut, mata,
hidung, urin maupun feses ternak yang terinfeksi. Virus HC juga dapat menular melalui
peralatan peternakan ataupun pekerja kandang. Selain itu, HC dapat pula menular secara vertikal
dari induk ke anak. Infeksi kongenital HC yang terjadi apada awal kebuntingan dapat
mengakibatkan abortus. Apabila induk terinfeksi virus HC pada masa kebuntingan 42-67 hari
maka tinggi resiko terjadi mumifikasi dan stillborn, sementara induk terinfeksi pada hari 6 ke-68
sampai 88 hari kebuntingan maka anak akan lahir dengan viremia (Dewulf et al.,2001). Pada
peternakan dengan tingkat kepadatan yang tinggi, virus HC lebih cepat menyebar.
Pada babi yang sembuh dari infeksi HC namun belum memiliki antibodi protektif, virus
masih dapat ditularkan ke babi lain. Pada hewan yang menderita HC akut, virus virulen dapat
disebarkan ke lingkungan selama 10-20 hari sedangkan pada hewan yang menderita HC kronis,
virus disebarkan secara intermitten ke lingkungan.. Pada umumnya, HC relatif lebih gampang
menyerang babi muda namun babi dewasa yang belum pernah mendapat vaksinasi juga sangat
rentan terhadap infeksi HC (Dahle dan Liess, 1995). Periode inkubasi dapat terjadi selama 2-6
hari (Moennig, 2003). Pada beberapa kondisi lapangan, gejala penyakit dpat muncul pada 2-4
minggu setelah introduksi virus.
Menurut OIE (2020) gejala klinis pada babi terdiri atas perakut, akut, subakut dan kronis.
Bentuk perakut, ditandai dengan kematian mendadak, tidak ditemukan gejala klinis dan
perubahan patologi; bentuk akut, ditandai dengan demam, suhu tubuh meningkat sampai dengan
42o C, tingkat kematian bisa mencapai 100%, gangguan pernapasan dan batuk, disentri dan diare,
konjungtivitis, hemoragi kulit dengan bercak-bercak warna merah ungu, gerakan kaki tidak
koordinasi dan konvulsi dimana hewan tidak bisa bangun; bentuk subakut, ditandai dengan suhu
tubuh sedikit lebih ringan dan rendah 40-40,5oC, pada hewan bunting terjadi mumifikasi fetus,
lahir dini atau keadaan lemah dan anak babi terlihat gemetar; bentuk kronis, akan terlihat batuk,
anoreksia, suhu tubuh naik turun, depresi dan leukopenia.
Metode pengujian yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi virus Hog cholera yaitu
uji antibodi fluoresens/Fluorescent Antibody Test (FAT), ELISA antigen dan PCR. Deteksi
antibodi dapat dilakukan dengan beberapa uji serologis seperti Agar Gel Double Diffusion
Precipitin (AGDP), Immuno Electro Osmohoresis (EIOP) dan ELISA. Diagnosa banding
penyakit ini dapat dikelirukan dengan African Swine Fever (ASF), salmonellosis sepsis,
pateurellosis, streptococosis, erysipelas dan infeksi Haemophilus somnus. Uji ELISA merupakan
screening awal pengujian suatu penyakit, yang bertujuan untuk mengidentifikasi antibodi Hog
cholera dalam serum. Prinsip dasar uji ELISA adalah analisis interaksi antara antigen dan
antibodi dengan menggunakan enzim sebagai penanda reaksi (Yusrini, 2005). Uji ELISA
memiliki indeks sensifitas, spesifitas dan kecepatan tinggi dengan biaya rendah dan interpretasi
hasil dengan mudah.
Tindakan yang paling efektif untuk mencegah atau mengendalikan penyakit adalah
melakukan vaksinasi dan stamping out atau tindakan pemotongan bersyarat (Subronto, 2003).
Vaksinasi yang diberikan akan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi antibodi
terhadap virus Hog cholera. Keberhasilan program vaksinasi sangat tergantung dari strain, dosis
dan aplikasi vaksin serta status kesehatan hewan yang divaksinasi.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian ELISA terhadap babi diperoleh nilai %. Hal ini
menunjukkan bahwa antibodi sampel serum babi negatif dalam pengujian ELISA. Oleh karena
itu, dapat disimpulkan bahwa babi pada kasus ini tidak terinfeksi virus ASF, sehingga diagnosa
banding dari kasus ini adalah Hog cholera berdasarkan kemiripan gejala klinis yang timbul.
5.2 Saran
Untuk mendiagnosis suatu penyakit, tidak bisa dilakukan hanya berdasarkan gejala klinis
yang ditimbulkan, melainkan harus melalui pengujian laboratorium dengan berbagai uji yang
merupakan “gold standart” dari masing-masing penyakit tersebut sehingga penanganan penyakit
dapat dilakukan dengan tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Balyshev VM, Vlasov ME, Imatdinov AR, Titov I, Morgunov S, Malogolovkin AS. 2018.
Biological properties and molecular-genetic characteristics of African Swine Fever virus
isolated in various regions of Russia in 2016–2017. Russ Agric Sci. 44:469-473.
Beltrán-Alcrudo D, Arias M, Gallardo C, Kramer S, Penrith ML. 2017. African swine fever:
detection and diagnosis – A manual for veterinarians. FAO Animal Production and Health
Manual No. 19. Rome (Italy): Food and Agriculture Organization of the United Nations.
Mazur-Panasiuk N, Woźniakowski G. 2019a. The unique genetic variation within the O174L
gene of Polish strains of African swine fever virus facilitates tracking virus origin. Arch
Vir. 164:1667-1672.
Moennig V, Floegel-Niesmann G, dan Greiser-Wilke I. 2003. Clinical Signs and Epidemiology
of Classical Swine Fever: A Review of New Knowledge. The Veterinary Journal, 165(1),
11-20.
OIE Manual Terrestial. 2019. Africa Swine Fever (Infection Africa Swine Fever Virus). Chapter
3.8.1, hal. 1-18.pdf.
OIE. 2020. Classical Swine Fever dalam OIE Terrestrial Manual www.oie.int. hal 1092-1106.
Ratundima, E.M., Suarta, I.N., Mahardika, I.G.N.K. 2012. Deteksi Antibodi terhadap Virus
Classical Swine Feverdengan Teknik Enzyme-Linked Immunosorbent Assay. Indonesia
Medicus Veterinus.1(2) : 217 – 227
Rodriguez JM, Moreno LT, Alejo A, Lacasta A, Rodriguez F, Salas ML. 2015. Genome
sequence of African swine fever virus BA71, the virulent parental strain of the
nonpathogenic and tissue-culture adapted BA71V. PLoS One. 10:p.e0142889.
Retnaningsih T W. 2019. Mengenal Demam Babi Afrika atau African Swine Fever (ASF).
Medik Veteriner Muda
Sanchez-Vizcano JM, Mur L, Gomez-Villamandos JC, Carrasco JL. 2015. An update on the
epidemiology and pathology of African swine fever. J Comp Pathol. 15:9-21.
Subronto. 2003. Ilmu Penykit Ternmaak (Mamalia). Gadjah mMada Press. Yogyakarta.
Van Oirschot, JT. 2003. Vaccinology of Classical Swine Fever: From Lab to Field. Veterinary
Microbiology 96, 367-384.
Zhao D, Liu R, Zhang X, Li F, Wang J, Zhang J, Liu X, Wang L, Zhang J, Wu X, Guan Y, Chen
W, Wang X, He X, Bu Z.2019. Replication and virulence in pigs of the first African
swine fever virus isolated in China. Emerging Microbes Infect. 8:438-447.