Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN KASUS : BABI SUSPEK ASF (AFRIKA SWINE FEVER) dengan UJI PCR

Yosephina Rengsina Delang*1, Maxs Urias Ebenhaizar Sanam2, Elisabet Tangkonda3, Annytha
Ina Rohi Deta

1. Program Studi Profesi Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Hewan
Universitas Nusa Cendana, Kupang
2
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Hewan
Universitas Nusa Cendana, Kupang
3
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Hewan
Universitas Nusa Cendana, Kupang
4
Laboratorium Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Hewan
Universitas Nusa Cendana, Kupang
Email: yessidelang@gmail.com

Abstrak : African Swine Fever (ASF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang dapat
menyerang babi dengan tingkat mortalitas yang tinggi dan dapat menyebabkan kerugian
ekonomi yang besar. Penularan ASF terjadi secara langsung maupun tidak langsung dari hewan
sakit, caplak Ornithodoros spp, ataupun dari produk daging. Vaksinasi ASF belum ditemukan
hingga saat ini, sehingga perlu dilakukan pencegahan dan pemberantasan terlebih dahulu.
Kejadian ASF di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur telah banyak dilaporkan. Laporan kasus
ini bertujuan untuk memeriksa African Swine Fever (ASF) disalah satu babi yang dikandangkan
di Kelurahan Labat, Kota Kupang, NTT dengan gejala klinis terlihat babi lemas, lesu, anorexia
sehingga terjadinya penurunan berat badan, adanya kemerahan pada tubuh bagian telinga,
moncong, punggung dan kaki dan berdasarkan anamnesa terhadap pemilik, babi mengalami
konstipasi dengan sesekali diikuti diare, sakit berkisar 1 minggu, status vaksinasi belum pernah.
Untuk memperkuat dugaan maka dilakukan pemeriksaan lanjutan yaitu uji laboratorium dengan
menggunakan PCR. Spesimen yang digunakan berupa darah yang diambil dari babi yang
menunjukan gejala klinis menyerupai ASF. Hasil Uji PCR menunjukan hasil negatif.

Kata kunci: African Swine Fever (ASF), Babi, Uji PCR.


1. Pendahuluan
African Swine Fever adalah penyakit menular pada babi yang dapat menyebabkan
kematian pada babi hingga 100% sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi yang sangat
besar. ASF dapat ditransmisikan atau ditularkan secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung dapat melalui sekresi saliva, sekresi hidung, urin, feses dan sekresi
saluran genital dari satu ternak ke ternak babi yang lainnya. Sedangkan secara tidak
langsung ASF dapat ditularkan melalui bahan pakan dan prodak-prodak daging babi yang
terkontaminasi, vaksinasi antara babi yang sehat dan sakit menggunakan jarum yang
sama, vector caplak (kutu halus) Ornithodoros spp. yang menginfeksi serta biosafety dan
biosecurity kandang yang kurang baik yang menyebabkan adanya akses bebas (Alcrodo
et al., 2017)
ASF disebabkan oleh african swine fever virus (ASFV) yang merupakan satu-
satunya spesies virus dalam famili Asfarviridae dan genus Asfivirus. Berdasarkan tingkat
virulensi ASFV diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu isolate virulensi tinggi,
sedang dan virulensi rendah. Sedangkan bentuk klinis ASFV terdiri dari peracut, akut,
sub akut dan kronis. Gejala klinis dari ASF meliputi demam tinggi, nafsu makan
menurun, perdarahan pada kulit dan organ dalam, dan kematian pada 4-10 hari, dan ada
hewan yang ditemukan mati tanpa gejala apapun (OIE, 2019). Penyakit ASF sulit untuk
diberantas karena belum ada vaksin dan obat khusus, serta penyebaran virus yang sangat
cepat. Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OlE) memberikan kebijakan utama bahwa
tindakan yang paling tepat untuk pemberantasan penyakit tersebut adalah pemusnahan
semua populasi babi terancam dan pelarangan transportasi babi dari daerah tertular
terhadap daerah bebas.
Penyebaran ASF didunia meluas mencapai 50 negara di tiga benua yaitu Afrika,
Asia dan Eropa. ASF pertama kali diidentifikasi pada tahun 1921 di Kenya, Afrika
Timur, pada tahun 1957 ASF dilaporkan di Portugal, selanjutnya menyebar ke Eropa.
Kasus ASF selanjutnya menyebar ke Negara Asia lainnya hingga dilaporkan di Timor
Leste dan di Indonesia ASF pertama kali masuk pada september 2019 di daerah
Sumatera, dan hingga kini diketahui ASF sudah meluas hingga ke Nusa Tenggara Timur
(OIE,2020).
2. Presentasi Kasus
2.1 Pemeriksaan Gejala Klinis
Gejala klinis yang diamati pada babi suspek ASF tanggal 13 Apil 2022 bertempat
di kelurahan Labat, kecamatan Kota Raja, Kota Kupang, NTT dengan pemilik Ibu
Monik pada gambar 1, terlihat babi lemas, lesu, anorexia sehingga terjadinya
penurunan berat badan, adanya kemerahan pada tubuh bagian telinga, moncong,
punggung dan kaki. Terjadinya bercak atau lesi merah karena virus masuk ke babi
melalui kontak langsung maupun kontak tidak langsung dan masuk ke sel target yaitu
retikolo-endotel dan melakukan replikasi. Replikasi virus pada endothelial sel akan
menyebabkan produksi dan pelepasan prostaglandin anti-agregat prostasiklin
terganggu yang berdampak pada kerusakan sel edotelial dan lisisnya sel-sel darah
merah sehingga terjadi reaksi agregasi dan pelepasan platelet, selain itu adanya virus
pada sel target secara patofisiologi terjadi pelepasan makrofag. Pada kasus ini
makrofag akan melepaskan produk cyclo-oxygenase dan memecah asam arachidonik
dan terjadi peningkatan prostaglandin agonis poten (PGE2) yang menyebabkan
vasodilator dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga berkontribusi
terjadinya hemoragi, edema dan kolaps sirkulasi. Rusaknya sel endothelial, jaringan
subendotelial dan kolagen menyebabkan terjadinya koagulasi intravascular dan infark
(Anderson, 1986).
Berdasarkan anamnesa terhadap pemilik, babi mengalami konstipasi dengan
sesekali diikuti diare, sakit berkisar 1 minggu, pemilik memberikan makan dengan
cara disuap dan status vaksinasi belum dilakukan (Hogcholera). Gejala klinis yang
diamati menjadi pegangan untuk dikaitkan dengan hasil uji laboratorium, diagnosa
banding dan data epidemiologi penyakit yang sering terjadi pada babi di Kota
Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Gambar 1. Gejala Klnis yang terlihat pada babi betina usia 3 bulan.

Diagnosa klinik pada tahap awal infeksi ASF dapat dikelirukan dengan
beberapa penyakit. Tidak ada diagnosa yang pasti dari tanda klinis yang terjadi sampai
adanya konfirmasi pemeriksaan laboratorium. Beberapa penyakit yang memiliki gejala
klinis hampir sama seperti ASF antara lain Classical Swine fever (CSF), PRRS
(Porcine Reproductive And Respiratory Syndrome), PDNS (Porcine dermatitis and
nephropathy syndrome, Erysipelas, Aujeszky’s disease, dan Salmonelosis
(SanchezVizcano et al., 2015).
2.2 Data Ternak dan Epidemiologi
Babi yang dipelihara berjumlah 3 ekor jenis kelamin betina, dengan 2 ekor yang
sehat ditempatkan 1 kandang, dan yang teridentifikasi sakit ditempatkan dikandang
terpisah dengan babi lainnya. Untuk kondisi kandang yang diamati kurang
diperhatikan hygiene dan sanitasi kandang, sehingga kemungkinan terjadinya
penyakit bisa terjadi. Kondisi kandang yang dimiliki dindingnya dibuat dari kayu,
lantai dari semen kasar, dan atap dari seng. Menurut pengamat kandang harus ditata
kembali dan harus diperhatikan kebersihan agar dapat memberikan kenyamanan baik
dari hewan peliharaan dan juga pemilik. Data epidemiologi hewan sakit seperti gejala
yang dilihat disekitar daerah tersebut sudah pernah terjadi 2 tahun belakangan ini,
sebelumya di NTT, Kota Kupang sudah banyak dilapokan babi sakit dan mati karena
ASF dan Classical Swine fever (CSF/HC), namun untuk pemilik berdasarkan
anamnesa, baru terjadi pertana kali dalam sejarah peliharaan ternak babi dengan
gejala seperti ini.
2.3 Uji Laboratorium
Pengambilan sampel darah babi di vena Jugularis, sampel darah yang diambil
kemudian disimpan dalam tabung EDTA dan selanjutnya dibawa ke laboratoium
untuk diuji. Uji laboratorium dilakukan di Unit Pelaksana Teknis Dinas Veteriner
(UPT), DINAS Peternakan Provinsi NTT. Pengantaran sampel darah untuk uji pada
tanggal 19 April 2022. Uji dilakukan dengan pemeriksaan molekuler menggunakan
teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). PCR digunakan untuk mendeteksi genom
ASF dalam sampel babi baik darah, jaringan maupun organ. PCR memungkinkan
diagnosis penyakit dalam beberapa jam hal ini karena PCR memiliki sensitive,
spesifik dan cepat untuk mendeteksi virus. PCR dapat menjadi alternatif pemeriksaan
ASF sehingga pencegahan dan penyebaran dapat dilakukan sejak dini.
2.4 Hasil Uji Laboratorium
Hasil uji laboratorium dari Unit Pelaksana Teknis Dinas Veteriner (UPT), DINAS
Peternakan Provinsi NTT diperoleh tanggal 25 April 2022. Hasil uji laboratorium
menggunakan PCR menunjukkan hasil Negatif terhadap ASF. Hal ini menjelaskan
babi dengan gejala klinis yang ditunjukkan tidak diakibatkan oleh african swine fever
virus (ASFV).

3. Pembahasan
Pada kasus ini sangat sulit untuk membedakan penyakit yang diduga ASF hanya
dengan pemeriksaan klinis, selain itu hasil laboratorium yang negatif menunjukkan babi
tersebut negatif ASF walaupun gejala yang timbul mirip dengan gejala yang timbul
akibat wabah ASF di Kota Kupang. Sehingga diperlukan diagnosa banding penyakit yang
mirip dengan penyakit ASF ini dan dikaitkan lagi dengan data epidemiologi penyakit
yang ada. Beberapa penyakit virus yang menyerang babi yang memiliki gejalah klinis
yang mirip seperti Classical Swine fever (CSF), PRRS (Porcine Reproductive And
Respiratory Syndrome), PDNS (Porcine dermatitis and nephropathy syndrome,
Erysipelas, Aujeszky’s disease, Salmonelosis. Beberapa penyakit yang memiliki gejalah
klinis yang mirip diatas yang pernah dilaporkan di Indonesia adalah Classical Swine
fever (CSF), PRRS, Erysipelas, dan Salmonelosis. Keempat penyakit ini mirip serta
menimbulkan gejala yang sama dengan ASF yaitu, nafsu makan menurun, lesu, sesak
nafas, kulit bercak kebiruan. Namun pada penyakit PRRS dapat menunjukkan gejala
pernafasan yang berat. Pada penyakit Erysipelas menunjukkan lesi merah yang menonjol
sampai kehitaman dan mengeras hingga terkelupas. Pada penyakit salmonellosis
pemeriksaan patologis saat nekropsi ditemukan Limfonodus mesenterika babi yang
mengalamai pembengkakan dan edema. Pada Aujeszky’s disease dapat menyebabkan
gangguan reproduksi dan neurologis yang parah. Sedangkan untuk CSF dapat dibedakan
saat nekropsi pemeriksaan patologis ditemukan Ensefalomeitis, tonsilitas, petekhie
eccimose epiglottis, kandung kemih, ginjal dan rectum. Jika dilihat dari mortalitasnya,
ASF dan CSF dapat menimbulkan tingkat kematian hingga 100% pada babi yang
terinfeksi tergantung pada gejala yang timbul, Pada penyakit PRRS memiliki morbiditas
dan mortalitas yang sama tinggi, selain itu untuk salomonellosis memiliki mortalitas yang
tinggi dan morbiditas yang bervariasi, begitupun dengan erysipelas dan Aujeszky’s
disease (Simarmata et al., 2020; Manual penyakit hewan mamalia., 2014).
Namun berdasarkan status epidemiologi, kejadian penyakit menular yang cukup
sering ditemukan pada peternakan babi di NTT adalah Classical Swine fever (CSF)/Hog
cholera. Dan jika dilihat, gejala klinis,anamnesa,dan hasil uji laboratorium ASF
menunjukkan hasil negatif, maka diagnosa banding yang dapat diberikan pada kasus ini
adalah Hog cholera.

4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan darah babi dengan uji PCR, dapat disimpulkan
bahwa babi pada kasus ini tidak terinfeksi virus African Swine Fever (ASF) . Beberapa
penyakit pada babi memiliki gejala klinis yang serupa dengan penyakit African Swine
Fever (ASF) yaitu Classical Swine fever (CSF)/Hog cholera, PRRS (Porcine
Reproductive And Respiratory Syndrome), PDNS (Porcine dermatitis and nephropathy
syndrome, Erysipelas, Aujeszky’s disease, dan Salmonelosis.
Sedangkan berdasarkan status epidemiologi, kejadian penyakit menular yang
cukup sering ditemukan pada peternakan babi di NTT adalah Classical Swine fever
(CSF)/Hog cholera. Dan jika dilihat dari gejala klinis, anamnesa dan hasil uji
laboratorium ASF menunjukkan hasil negatif, maka diagnosa banding yang dapat
diberikan pada kasus ini adalah Hog cholera.
Daftar Pustaka

Anderson EC. 1986. African Swine Fever: curent concepts on its pathogenesis and immunology.
Revue Scientifique et Technique de I’ OIE,8(21):477-486.

Alcrodo DB, Arias M, Gallardo , Kramer SA. 2017. African Swine Fever Detection and
Diagnosis a Manual for Veterinarian. Food and Agriculture Organization of the United
Nations. 19-78.

Direktur Kesehatan Hewan 2014. Manual Penyakit Hewan Unggas. Direktorat Kesehatan
Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian RI, Jakarta
Indonesia.

[DITJENAK] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian.


2017. Statistik peternakan dan kesehatan hewan. Kementrian pertanian. Jakarta.
Indonesia.

OIE. (2019). Classical Swine Fever Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial
Animals. [Internet]: [accessed 4nd February 2021].
https://www.oie.int/standard-setting/terrestrial-manual/access-online

OIE. 2019. Classical Swine Fever: Aetiology Epidemiology Diagnosis Prevention and Control .
[Internet]: [accessed 4nd February 2021]. References. https://www.oie.int/en/animal-
health-in-the- world/animal-diseases/Classical-swine-fever/

OIE. 2020. Classical Swine Fever. [Internet]: [accessed 4nd February 2021].
https://www.oie.int/animal-health-in-the-world/official-disease-status/classical-swine-
fever

Sanchez-Vizcano JM, Mur L, Gomez-Villamandos JC, Carrasco JL. 2015. An update on the
epidemiology and pathology of African swine fever. J Comp Pathol. 15:9-21.

Simarmata YTRMR, Tophianong TC, Amalo FA, Nitbani H, Lenda V. 2020. Gambaran patologi
anatomi pada babi landrace suspect african swine fever (asf) di kabupaten kupang.
Kupang. Jurnal Kajian Veteriner. Vol. 8 No. 2:136-146.

Anda mungkin juga menyukai