OLEH
Kadek Satria Adi Marhendra, S.KH
NIM. 1909612038
GELOMBANG 16 KELOMPOK D
LABORATORIUM
KOASISTENSI DIAGNOSTIK ILMU LABORATORIK
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2021
1. Sinyalemen:
Hewan : Babi ras campuran sebanyak 3 ekor
Jenis Kelamin : Dua jantan dan satu betina
Umur : 2,5 bulan (Selwyn A. H, et al., 2012)
2. Anamnesa
Dalam kasus ini babi dilaporkan menunjukkan manifestasi disfungsi neurologis,
yaitu gerakan mendayung, inkoordinasi, dan ketidakmampuan untuk berdiri. Dua babi
yang terinfeksi mati dalam waktu 3 hari setelah manifestasi neurologis teramati; babi
jantan lainnya diserahkan ke Rumah Sakit Pendidikan Hewan, Universitas sidade Norte
do Paraná (VTH UNOPAR), Arapongas, Paraná, Brazil, untuk evaluasi dan pengobatan
pada akhir September 2011. Setibanya, hewan itu sangat kurus, tetapi tidak diperagakan
manifestasi klinis penyakit selama 2 hari pengamatan dan dengan demikian dipulangkan
tanpa menjadi sasaran intervensi terapeutik. Namun, ketika babi dikembalikan ke
peternakan, manifestasi neurologis serupa dilaporkan diamati oleh pemiliknya, yang
mengindikasikan bahwa ini menjadi lebih intens, progresif, dan teratur. Babi dibawa
kembali ke VTH UNOPAR 7 hari kemudian secara ekstrim, menunjukkan tortikolis,
gerakan mengayuh, posisi berbaring ke samping, dan kejang. Pemiliknya meminta
eutanasia. Durasi periode antara ia melaporkan timbulnya manifestasi neurologis dan
nekropsi adalah 21 hari. Dokter hewan yang merawat menunjukkan bahwa tidak ada
riwayat penyakit reproduksi atau pernafasan dalam kekerabatan dan bahwa ransum
tersebut terdiri dari jagung produksi komersial yang dicampur dengan limbah rumah
tangga. Selain itu, tidak pasti apakah babi tersebut telah diberi obat di peternakan.
Selanjutnya, sembilan babi tambahan yang disapih, satu babi hutan, dan tiga babi betina
di peternakan tidak menunjukkan manifestasi klinis yang serupa (Selwyn A. H, et al.,
2012).
3. Gejala Klinis
Gejala klinis dari babi kasus tersebut menunjukkan gejala tortikolis, gerakan
mengayuh, berbaring ke samping, dan kejang. (Selwyn A. H, et al., 2012).
4. Epidemiologi
a. Hospes
Hospes dalam kasus ini adalah tiga babi ras campuran yang sakit berumur 2,5
Bulan (dua jantan dan satu betina) yang dimiliki oleh di pertanian subsisten kecil yang
terletak di dalam kota Arapongas, Paraná, Brasil (Selwyn A. H, et al., 2012).
b. Agen
Streptococcus suis adalah bakteri patogen gram positif penting pada babi yang
terjadi di seluruh dunia dan sering dikaitkan dengan ensefalitis, meningitis, artritis, proses
septikemia, endokarditis, bronkopneumonia, poliserositis, rinitis, perikarditis, dan abses
(Selwyn A. H, et al., 2012). Meskipun jumlah serotipe S suis telah mencapai 35 serotipe
(Higgins dan Gottschalk, 2006), dengan serotipe-2 yang paling virulen dan bersifat
zoonosis (Higgins dan Gottschalk, 1990; Wertheim et al., 2009). Pada blood agar agen
Streptococcus suis umunya berukuran kecil, warna kekuningan, mukoid, diameter bakteri
berukuran 0,7-1,4µm dan memproduksi zona hemolitika.
c. Lingkungan
Peralatan kandang, alat transportasi, dan keranjang pengangkut babi yang
tercemar berperan sebagai sumber penular. Pembuangan limbah pemotongan babi yang
kurang baik dan lalu lintas ternak babi yang pesat mempercepat penyebaran penyakit.
Pada babi, penularan lebih banyak terjadi per os lewat ekskreta atau sisa-sisa pemotongan
babi yang mencemari tempat minum. Penularan Streptococcus sius terjadi melalui
kontaminasi cairan vagina ke rongga mulut dari anak babi pada saat partus (Amass et al.
1996) dan koloni pada tonsil setelah lahir (Amass et al., 1995).
d. Distribusi penyakit
Wabah Streptococcus sp. pertama pada babi dilaporkan terjadi di Inggris pada 1951
dengan angka kematian yang tinggi serta gejala meningitis dan artritis. Setelah itu
dilaporkan terjadi di Belanda pada 1954, sampai akhirnya dilaporkan muncul juga di
Amerika utara pada 1969. Gejala pada hewan pada umumnya ditandai dengan
septikemia, meningitis, endokarditis, artritis, dan kadang-kadang infeksi lainnya. Kasus
manusia pertama terinfeksi Streptococcus sp. dilaporkan di Denmark pada 1968, dan
sejak itu Eropa utara dan Asia Tenggara mengalami sejumlah wabah kasus meningitis
pada manusia yang disebabkan oleh Streptococcus sp tipe 2. Di China terjadi wabah pada
1998 dengan 25 kasus manusia dan 14 meninggal. Gejala pada manusia berupa demam
tinggi, tidak enak badan, mual dan muntah, diikuti dengan gejala syaraf, bercak
kemerahan subkutaneus, syok septik dan koma pada kasus parah. (Ramirez 2011).
Pada 2004, jumlah kasus menginfeksi manusia mencapai lebih dari 200 orang di
seluruh dunia. Kemudian pada 2005, China mengalami wabah untuk kedua kalinya yang
mendapatkan perhatian dunia akan potensi zoonosis dari Streptococcus sp. ini. Antara
bulan Juni dan Agustus tahun tersebut, di Ziyang County, Provinsi Sichuan, terjadi wabah
dengan 204 kasus dan 38 meninggal (angka fatalitas kasus 18,6%). Sampai saat ini,
relatif hanya sekitar 700 kasus Streptococcus sp. dilaporkan di seluruh dunia, kebanyakan
terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Di negara maju kebanyakan dikaitkan dengan
pekerjaan yang berkaitan dengan babi, seperti pekerja peternakan babi dan pekerja rumah
pemotongan hewan. Di negara berkembang dengan sistem produksi babi yang intensif
seperti di Asia Tenggara, risiko untuk terinfeksi Streptococcus sp tidak diketahui pasti
mengingat penyakit ini bukan merupakan penyakit yang wajib dilaporkan (notifiable
disease) dan umumnya kurang berhasil didiagnosa secara tepat (Wertheim et al; 2009).
Streptococcosis pernah mewabah di Bali pada bulan april tahun 1994 dan telah
menimbulkan kematian sekitar 2.200 babi di peternakan rakyat Bali. Secara bersamaan
streptokosis juga menimbulkan kematian pada ratusan monyet di kawasan Hutan Wisata
Alam Bali, antara lain di Sangeh, Ubud, dan Alas Kedaton. Penyebab wabah tersebut
telah diidentifikasi oleh Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah VI Denpasar Bali
yaitu bakteri Streptococcus sp zooepidemicus (Dibia et al, 1995). Penyakit ini menyerang
babi segala umur, jenis kelamin dan ras. Tingkat morbiditas dan mortalitas pada babi
berkisar 51% dan 38% sedangkan case fatality rate mencapai 75% (Suarjana, 2012).
6. Diagnosa Sementara :
Diagnosa sementara yang dapat disimpulkan adalah babi tersebut terinfeksi
Streptococcus sp dikarenakan babi tersebut memiliki gejala serupa dengan streptococcus
sp. Diagnosa banding dari Streptococcus sp. adalah Hog cholera, Erysipelas, dan
Pasteurellosis.
7. Diagnosa Definitif :
Streptococcosis Suis. Berdasarkan hasil anamnesa, gejala klinis, pemeriksaan
patologi anatomi, data epidemiologi, pemeriksaan laboratorium patologi, dan
laboratorium bakteriologi maka permeriksaan yang dilakukan berupa kultur bakteri pada
Sheep blood agar, pewarnaan gram dan uji biokimia. Kultur bakteri pada media untuk
mengisolasi adanya bakteri Streptococcus. Pewarnaan gram memastikan adanya bakteri
coccus gram positif. Uji biokimia digunakan untuk mengidentifikasi bakteri
streptococcus, dan hasil PCR menggunakan DNA dari bakteri yang dibiakkan dari
sampel, PCR menargetkan gen kapsul S. suis serotipe 2 dengan fragmen 459 bp (Selwyn
A. H, et al., 2012).
8. Diskusi Kasus
Sampel yang di ambil dari hewan kasus meliputi otak, paru-paru, ginjal, jantung,
dan limpa. Streptococcus sp. merupakan golongan bakteri yang heterogen.
Streptococcus sp. adalah bakteri gram positif, namun pada biakan yang lama dan
bakteri yang mati Streptococcus sp. kehilangan gram positifnya dan terlihat seperti
gram negatif. Hal ini dapat terjadi setelah inkubasi semalaman (Jawetz et al., 2007).
Streptococcus sp. berbentuk bulat atau oval, coccus tunggal berbentuk batang atau
ovoid dan tersusun seperti rantai, bersifat fakultatif aerob. Diameter bakteri berukuran
0,7-1,4µm. Strain Streptococcus patogenik memiliki beberapa faktor virulensi seperti
antigen karbohidrat dan protein spesifik, produksi toksin maupun enzim (Vecht, et
al.,1989). Menurut Vecht, et al.(1991) Streptococcus suis type 2 memiliki dua penanda
antigen protein spesifik yang dikenal dengan Muramidase released protein (MRP) dan
Extracellular factor (EF). Selanjutnya Vecht, et al. (1992) menemukan bahwa strain
S.suis type 2 yang memiliki MRP dengan berat molekul 136 kDa (MRP+ ) dan EF
dengan berat molekul 110 kDa (EF+) lebih virulen daripada strain MRP+ EF- dan/atau
MRP- EF-. Strain yang memiliki MRP+ EF+ selain menimbulkan peradangan pada
beberapa organ, juga menyebabkan meningitis pada babi. Sedangakan strain MRP+
EF- dan MRP- EF- tidak menimbulkan meningitis.
Diagnosa banding dari Streptococcus sp. adalah Hog cholera, Erysipelas berupa
kulit kemerahan dan Pasteurellosis berupa suara ngorok (Smith, et al., 2008). Penyakit
streptoccocosis sering dikelirukan dengan penyakit pasteurellosis dan mycoplasmosis.
Hal itu dikarenakan pasteurellosis dan mycoplasmosis sama-sama menyerang sistem
pernafasan babi (Taylor, 1989). Namun pada Pasteurellosis tidak ditemukan gejala klinis
berupa gangguan syaraf sedangkan pada kasus babi yang di nekropsi gejala klinis post-
mortem menunjukkan adanya gangguan syaraf yang merupakan salah satu gejala klinis
dari streptococcosis pada babi. Bronchopneumonia merupakan salah satu lesi khas dari
infeksi Pasteurella multocida tetapi pada Streptococcosis juga sering ditemukan lesi pada
paru-paru berupa bronchopneumonia. Pada beberapa penelitian Pasteurella multocida
sering dihubungkan dengan infeksi pulmonary dengan bakteri Streptococcus suis. Pada
pemeriksaan histopatologi pada kasus babi yang di nekropsi ditemukan juga perubahan
berupa kongesti, vaskulitis yang disertai infiltrasi sel radang neutrofil, dan meningitis
yang merupakan lesi khas dari infeksi Streptococcus yang tidak ditemukan dalam infeksi
dari bakteri Pasteurella. Hal ini didukung oleh pernyataan Suarjana et al., (2012) bahwa
perubahan patologik infeksi Streptococcus yang menonjol dijumpai pada babi adalah
meningitis dengan prevalensi 80%.
Hog cholera merupakan salah satu diagnosa banding dari infeksi Streptococcus.
Terkadang gejala klinis hog cholera akut sering dikelirukan dengan Streptococcosis.
Menurut Van Oirschot, (1999) sebelum mati babi menunjukan lesi khas berupa eritema
pada kulit, gejala klinis ini mirip dengan yang terjadi pada infeksi streptococcus. Tetapi
lesi khas dari hog cholera berupa adanya “botton ulcer”
Babi yang menderita streptococcosis akan menunjukkan adanya meningitis akut
yang ditandai dengan kongesti disertai infiltrasi neutrofil pada kapiler meninges. Pada
beberapa kasus, selain meningitis juga dijumpai adanya peradangan pada organ lain
seperti usus, hati, paru-paru dan limpa. Menurut Vecht, et al. (1989) pada umumnya
kasus streptococcosis menimbulkan septikemia yang disertai adanya perubahan patologik
pada berbagai organ. Selanjutnya Chanter, et al. (1993) mengatakan bahwa infeksi oleh
S. suis type 2 dapat menyebabkan meningitis pada babi oleh karena bakteri bersifat
intraseluler dalam monosit atau makrofag kemudian mengikuti aliran darah sampai ke
cairan cerebrospinalis melewati pleksus koroideus. Bakteri streptococcus memiliki
hemaglutinin dan sebagai adhesin untuk perlekatan bakteri pada sel hospes. Selanjutnya
monosit diperkirakan memproduksi sitokin yang dapat merangsang terjadinya reaksi
peradangan. Menurut Salasia, et al.(2002) sifat hidrofobisitas pada Streptococcus
zooepidemicus mempunyai hubungan dengan kemampuan hemaglutinasi. Bakteri yang
mempunyai protein dengan sifat hidrofobik mampu melekat pada sel epitel dan mudah
difagosit oleh sel polimorfonuklear leukosit. Selanjutnya Galina, et al. (1994)
mengatakan kematian babi pada umumnya disebabkan oleh adanya lesi pada sistem saraf
pusat.
Vaksin untuk mencegah Streptococcus sp. pada babi belum tersedia. Pemberian
antibiotika dalam makanan pernah digunakan untuk membersihkan penularan dalam
suatu peternakan babi. Dalam keadaan seperti ini, perlu diperhatikan waktu penghentian
antibiotika (withdrawal time) sebelum babi dipotong agar tidak terdapat residu antibiotika
dalam daging (Jawetz et al., 1986). Pencegahan dapat dilakukan dengan dengan menjaga
kebersihan kandang, tempat pakan dan minum. Pemberian pakan berasal dari limbah
hewan sakit hrus dihindari.
LAMPIRAN
Nekropsi
Pengambilan sampel
(Otak, paru-paru, ginjal, jantung, dan
limpa )
Dehidrasi Trimming organ dipotong Fiksasi organ selama 24 jam dengan NBF
Alkohol, Toluena, Xylol, 1x1cm 10%
Parafin
Keringkan diatas kertas filter, sediaan Cuci dengan air mengalir dan celupkan
ditetesi dengan entelan dan ditutup ke aquades dan alkohol
dengan cover glass
Mengetahui
Dosen Pembimbing Mahasiswa
Prof. drh. Anak Agung Ayu Mirah Adi, M.Si, Ph.D. Kadek Satria Adi Marhendra,S.KH
NIP : 196308261988032001 NIM : 1909612038
PEMERIKSAAN LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI
Ukuran
Elevasi
Tepian/Margin
Media Umum Bentuk
Warna
Hemolisis
Ukuran
Elevasi Hasil : Media Sheep blood agar
Media Selektif Tepian/Margin Berukuran kecil, warna kekuningan,
Sheep Blood Agar Bentuk memiliki alfa-hemolitik
(Selwyn A. H, et Warna
al., 2012) Hemolisis
Mengetahui
Dosen Pembimbing Mahasiswa
Sidik Epidemiologi
gejala klinis penyakit ND
Identifikasi virus
Serologi Molekuler
Mengetahui
Dosen Pembimbing
Mahasiswa
Sample
Makroskopis Mikroskopis
Natif Ulas Darah Tipis Sentuh organ Knott
Kerokan kulit
Pemupukan
Kualitatif Kuantitatif
Konsentrasi Stool Mc
Natif
Master
Baermann
Modifikasi
Sidementasi Pengapungan
Mengetahui