Anda di halaman 1dari 12

Laporan Praktikum Ke-1

MK. Epidemiologi dan Ekonomi Veteriner

KONSEP DASAR EPIDEMIOLOGI

Oleh:

Paralel 1
Kelompok 4

Herlina Maulida Putri B04170003


Lufi Nur Amalia B04170007
Agata Sindi Kesuma Dewi B04170021
Azzahra Maulidina B04170025
Rifdah Septiana Putri B04170037

Dosen Mata Kuliah:


Dr. Drh. Chaerul Basri, M. Epid

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN KESEHATAN


MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
1. Tentukan hal-hal berikut untuk penyakit trypanosomiasis :
a) Mata Rantai Infeksi (6 buah anak rantai)
• Agen : Trypanosoma sp. ( protozoa )
• Reservoir : Lalat penghisap darah ( Tabanus spp, Stomoxys spp, Chrysops spp
), Tikus (Clyomys laticeps, Thrichomys pachyurus dan Oecomys mamorae ) (
Rademaker et al. 2009)
• Portal of exit : metacyclic form ( brntuk infektif ) memenuhi kelenjar air liur
lalat dan siap keluar
• Mode of transmission : direct contact/ fomite
Trypanosoma evansi ditransmisikan dengan cara mekanik murni oleh vektor
(lalat penghisap darah seperti Tabanus spp, Stomoxys spp, Chrysops spp) dan
secara kongenital melalui induk atau plasma. Cara penularan lain adalah melalui
mukosa kelamin saat kopulasi, luka yang terbuka dan memakan jaringan yang
terinfeksi, terutama pada hewan karnivora (Womack et al. 2006). Penularan T.
evansi secara oral dilaporkan oleh Raina et al. (1985) pada anjing dan mencit
yang memakan daging yang dikontaminasi T. evansi.
• Portal of entry : oral / dari makanan inang yang terinfeksi, kontak / fomite
dengan lalat penghisap darah memasuki peredaran darah. Setelah memasuki
peredaran darah inang, Trypanosoma (stadium trypomastigote) segera
memperbanyak diri dengan melakukan pembelahan biner yang terjadi secara
longitudinal (Desquesnes et al. 2013)
• The new host : kuda, babi, anjing, kucing, manusia
Desquesnes et al. (2013) menyebutkan bahwa T. evansi mampu menginfeksi
hampir semua hewan.

b) Riwayat alamiah penyakit (4 tahap)


• Tingkat kerentanan : Hampir semua hewan berdarah panas rentan terhadap
penyakit surra, kecuali bangsa burung. Kuda paling tinggi kerentanannya diikuti
unta, anjing, sapi, dan kerbau. Hewan coba seperti tikus dan kelinci juga
termasuk hewan yang rentan. Pada sapi dan kerbau, penyakit ini bersifat kronis,
tetapi dalam kondisi kurang pakan dan bekerja terlalu keras, keganasan penyakit
meningkat dengan mortalitas 80% .
• Tingkat penyakit subklinis : Pada sapi dan kerbau, Surra dapat terjadi secara
subakut, kronis atau subklinis, sedangkan pada kambing, domba dan babi
bersifat subklinis
• Tingkat penyakit klinis : Monyet mengalami peningkatan suhu tubuh yang
tinggi sekali pada saat puncak parasitemia. Membran mukosa, membran pada
mata dan gusi terlihat pucat. Pembengkakan terjadi di tangan, kaki, wajah dan
hampir seluruh persendian. Secara umum infeksi Surra pada sapi dan kerbau
menyebabkan terjadinya demam, anemia, udema kaki, penurunan berat badan,
penurunan produksi, gangguan siklus estrus dan kehilangan tenaga sebagai
hewan kerja (Desquesnes et al. 2013).
• Tingkat pemulihan, cacat, mati : Surra pada kuda terjadi secara akut dengan
tingkat kematian yang tinggi (Luckins 1994), sedangkan gejala Surra pada kuda
yang berasal dari populasi naif terjadi secara akut dengan mortalitas lebih dari
50% (Silva et al. 1995).

c) Determinan /faktor risiko penyakit (berdasarkan agen, inang dan lingkungan)


• Agen :
❖ Patogenitas : Patogenitas tergantung pada spesies inang dan tingkat virulensi
strain Trypanosoma sp. (Misra et al. 2016)
❖ Virulensi : Tingkat keganasan
❖ Antigenitas : Ditemukan strain T. evansi yang resisten terhadap Apo L-1
sehingga mampu merusak sistem pertahanan tubuh manusia.
❖ Infektifitas : Organ-organ yang terinfeksi ditemukan bentuk spermatigot dan
amastigot. Studi ini membuktikan bahwa T. evansi mampu berkembangbiak
pada rodensia, karnivora dan primata dengan manifestasi klinis yang
berbeda.
• Inang :
❖ Bangsa : Hampir semua hewan berdarah panas rentan terhadap penyakit
surra, kecuali bangsa burung
❖ Jenis kelamin : Semua jenis kelamin
❖ Umur : Semua umur
• Lingkungan :
❖ Lokasi : Spesies hewan yang dominan terserang bervariasi tergantung pada
lokasi dan kondisi geografinya. Menurut Dia et al. (1997). Di Brazil,
penyakit ini lebih banyak menyerang kuda (Da Silva et al. 2010), sedangkan
di Saudi Arabia, Sudan dan Kenya umumnya Surra menyerang ternak unta
(Njiru et al. 2010; Salim et al. 2011). Lain halnya di Mesir, prevalensi Surra
yang menyerang unta mencapai 43% (Abdel-Rady 2008). Seroprevalensi
Surra di India berkisar 11-20% dan menyerang sapi, kerbau, unta, keledai,
kuda dan anjing (Ravindran et al. 2008; Kumar et al. 2013). Seroprevalensi
Surra di Thailand dilaporkan mencapai 8% pada tingkat kawasan peternakan
dan 25% pada sapi perah (Desquesnes et al. 2009), sedangkan seroprevalensi
Surra di Vietnam mencapai 22,4% pada tahun 2010 (Nguyen et al. 2013).
Laporan wabah Surra di Filipina terjadi pada tahun 2008 (Dobson et al.
2009). Laporan lain menyebutkan bahwa wabah Surra juga terjadi di daratan
Perancis tahun 2006 dan Spanyol pada tahun 2008 yang menyerang ratusan
ternak unta (Gutierrez et al. 2010). Adapun prevalensi Surra di beberapa
provinsi di Indonesia sangat bervariasi. Ketika terjadi wabah Surra,
prevalensi penyakit ini di Pulau Sumba mencapai 69,1%, sedangkan
prevalensi di Provinsi Banten lebih rendah, yaitu 13,6%. Laporan investigasi
kasus Surra pada suatu peternakan kerbau dan sapi perah di Bogor yang
dilakukan oleh Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor pada tahun 2016
mendapatkan hasil sangat tinggi, yaitu 85,20% (23/27) pada kerbau dan
62,5% (10/16) pada sapi perah berdasarkan analisis molekular (data belum
dipublikasi). Selain itu, kejadian Surra yang cukup tinggi juga dilaporkan di
Pemalang dan Sumba Timur pada tahun 2017, yaitu secara berurutan 28%
(14/50) dan 37,5% (12/32). Gambaran ini membuktikan bahwa kasus Surra
yang menyerang ternak di Indonesia masih relatif tinggi.
❖ Climate : Perubahan suhu mempengaruhi populasi vektor yang dapat
menimbulkan kerugian bagi kesehatan. Perubahan suhu berhubungan dengan
perubahan dinamika siklus terhadap spesies vektor dan organisme pathogen
seperti protozoa, bakteri, dan virus sehingga dapat meningkatkan potensi
transmisi penyebab penyakit. Peningkatan temperatur akan memperluas
distribusi vector dan meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan parasit
menjadi infeksi.
❖ Peternakan : Seroprevalensi Surra di India berkisar 11-20% dan menyerang
sapi, kerbau, unta, keledai, kuda dan anjing (Ravindran et al. 2008; Kumar et
al. 2013). Seroprevalensi Surra di Thailand dilaporkan mencapai 8% pada
tingkat kawasan peternakan dan 25% pada sapi perah (Desquesnes et al.
2009),
❖ Stress : Kondisi kurang pakan dan bekerja terlalu keras
2. Jumlah wabah dari tiga penyakit tertentu yang dicatat selama 20 tahun adalah
sebagai berikut (terlampir pada tabel)
a. Gambarkan jumlah wabah dari penyakit-penyakit tersebut terhadap waktu (tahun)

Penyakit A

8
7
Jumlah Wabah

6
5
4
3
2
1
0

Tahun

Penyakit B

25

20

15

Tahun
Jumlah Wabah

10

0
Penyakit C

60

50

40
Jumlah Wabah

30
Tahun

20

10

b. Tetapkan pola masing-masing penyakit secara tersendiri sebagai endemik,


sporadik atau endemik?
• Penyakit A
→Pola Point Eoidemic/Point Epizootik, karena Kejadian kenaikan kasus dan
frekuensi penyakit yang luar biasa yaitu dalam periode waktu yang singkat
jumlah kasus dan frekuensi penyakit meningkat sangat tajam.
• Penyakit B
→Pola Endemik, karena dari kolom diatas terlihat kejadian penyakit yang biasa
terjadi dalam jumlah yang relatif sama atau sedikit sekali terjadi penyimpangan
dari keadaan biasanya sehingga kejadiannya dapat diperkirakan.
• Penyakit C
→Pola Propagated Epidemik/epizootik , karena Kejadian kenaikan kasus dan
frekuensi penyakit dalam periode waktu tertentu secara bertahap dan memerlukan
waktu relatif panjang.
3. Pada tahun 2016 satu rangkaian survai untuk menilai prevalensi penyakit PMK pada
sapi dilaksanakan pada sejumlah propinsi di Indonesia. Hasil survei dapat dilihat
sbb:

Propinsi Jumlah sapi yg Jumlah sapi yg


diperiksa positif
Aceh 13.000 1.000
Sumba 1.000 160
Lampung 15.000 800
Sulawesi Selatan 30.000 2.000
Sulawesi Utara 10.000 2.000
Timor 20.000 1.500
Kalimantan 10.000 200
Jawa Tengah 8.000 300
Jawa Barat 40.000 4.500
Irian Jaya 5.000 100
Sumatera Selatan 4.000 3.000
Bali 4.000 920
NTB 15.000 3.225

a. Pada peta yang disediakan (cari peta Indonesia di internet), gambarkan hasil
survai menurut ukuran yang tepat.
Berdasarkan tabel diatas dapat dilakukan pengukuran prevalensi atau insiden
penyakit sebagai gambaran kondisi suatu penyakit di suatu daerah. Tingkat
prevalensi diperoleh dari pembagian antara jumlah kasus penyakit yang ada dengan
jumlah populasi dalam suatu daerah. Berikut adalah perhitungan prevalensi penyakit
PMK di bebrapa daerah di Indonesia dan peta distribusi penyakit:

Daerah Prevalensi (%)


Sumba 16%
Lampung 5,3%
Sulawesi Selatan 6,6%
Sulawesi Utara 20%
Timor 7,5%
Kalimantan 2%
Jawa Tengah 3,7%
Jawa Barat 11,2%
Irian 2%
Sumatera Selatan 75%
Bali 23%
NTB 21,5%
b. Kesimpulan apakah yang dapat Saudara tarik mengenai distribusi penyakit ini?
Penyebaran penyakit PMK dapat ditemukan di berbagai daerah dan pulau
besar di Indonesia. Tingkat insidensi PMK yang paling tinggi berdasarkan data
terletak di daerah Sumatera Selatan dengan presentase 75%, dan prevalensi paling
rendah terletak di daerah Kalimantan dan Irian yaitu 2%. Berdasarkan data, pola
distribusi PMK di Indonesia termasuk pola contagious dalam distribusi spatial yaitu
pola penyebaran penyakit berdasarkan tempat kejadiannya. Pola contagious ditandai
dengan pada daerah tertentu kejadian penyakit PMK tinggi, sedangkan pada daerah
yang lain cenderung sedang, rendah, bahkan kemungkinan tidak ada kejadian
penyakit pada lokasi yang lain.
4. Distribusi temporal penyakit : Rabies di Jawa Tengah
Selama tahun 2015/2016 terjadi epidemic rabies di Jawa Tengah. Jumlah kasus
penyakit yang dilaporkan setiap minggu dapat dilihat pada table terlampir. Kasus
dicatat dari semua spesies, sebagian besar dari anjing.
a. Gambarkan sebuah kurva epidemik, lukiskan pola ini secara ringkas dan tepat

Rabies Cases counted per Week at


Middle Java
9
8
7
6
5
4 Cases
3
2
1
0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35

b. Setelah diadakan pengumuman resmi pada masyarakat mengenai adanya kejadian


penyakit yang penting dan luar biasa, apakah bahaya dari interpretasi peningkatan
insidensi penyakit sebagai peningkatan insidensi yang sesungguhnya?
Akan memicu keadaan propagated endemi yang terjadi lama dan bertahap,
kenaikan probabilitas perkembangan herd immunity, dan memicu spatial pattern pada
grafik dan berkemungkinan memicu terjadinya gelombang kedua epidemi.
5. Distribusi spasial penyakit : Rabies di Jawa Tengah
Sejak September 2015 sampai Maret 2016 terjadi epidemic rabies di Jawa
Tengah. Distribusi kasus dapat dilihat sbb :

Daerah Jumlah kasus yang Estimasi populasi


dipastikan anjing
Wonogiri 21 20000
Tegal 1 1200
Sukoharjo 14 25000
Karanganyar 5 9570
Cilacap 4 8000
Banyumas 3 12750
Klaten 1 20000
Semarang 1 22000

a. Petakan distribusi kasus selama epidemic (dalam peta Jawa Tengah).

b. Berikan ulasan mengenai distribusi ini.


Dari peta dapat dilihat bahwa kasus terbanyak berada di Kota Wonosobo.
Umumnya, kejadian kasus terjadi pada kota yang bersebelahan seperti Klaten,
Sukoharjo, dan Karanganyar. Begitu juga pada kejadian kasus di Cilacap dan
Banyumas umumnya akan diiringi dengan kejadian kasuas di daerah sekitarnya yaitu
Brebes, Tegal, Prbalingga, dan Kebumen. Namun, dari peta didapati bahwa pada
bagian tengah Provinsi Jawa Tengah tidak dilaporkan ada kasus rabies. Menurut
Thrusfield et al. (2018) selama epidemic terjadi distribusi spasial dengan pola
regular dan contagious. Berdasarkan tempat kejadiannya distribusi ini termasuk pola
distribusi contagious. Hal ini disebabkan oleh variance (σ2: 47.1875) yang lebih
besar daripada mean (μ: 6.25).
Daftar Pustaka

Abdel-Rady A. 2008. Epidemiological studies (parasitological, serological and molecular


techniques) of Trypanosoma evansi infection in camels (Camelus dromedarius) in
Egypt. Vet World. 1:325-328.
Da Silva SA, Neto OASDA, Costa MM, Wolkmer P, Mazzantti CM, Santurio JM, Lopes
STDA, Monteiro G. 2010. Tripanossomose em equinos na região sul do Brasil. Acta
Sci Vet. 38:113-120.
Desquesnes M, Bossard G, Thévenon S, Patrel D, Ravel S, Pavlovic D, Herder S, Patout O,
Lepetitcolin E, Hollzmuller P, et al. 2009. Erratum to development and application of
an antibody-ELISA to follow up a Trypanosoma evansi outbreak in a dromedary camel
herd in France. Vet Parasitol. 162:214-220.
Desquesnes M, Dargantes A, Lai DH, Lun ZR, Holzmuller P, Jittapalapong S. 2013.
Trypanosoma evansi and Surra: A review and perspectives on transmission,
epidemiology and control, impact, and zoonotic aspects. Biomed Res Int. 2013:1-20.
Dia ML, Van Meirvenne N, Magnus E, Luckins AG, Diop C, Thiam A, Jacquiet P, Hamers
R. 1997. Evaluation de quatre tests de diagnostic: Frottis sanguins, CATT, IFI et
ELISA-Ag dans l’étude de l’épidémiologie de la trypanosomose cameline à
Trypanosoma evansi en
Dobson RJ, Dargantes AP, Mercado RT, Reid SA. 2009. Models for Trypanosoma evansi
(Surra), its control and economic impact on small-hold livestock owners in the
Philippines. Int J Parasitol. 39:1115-1123.
Gutierrez C, Desquesnes M, Touratier L, Büscher P. 2010. Trypanosoma evansi: Recent
outbreaks in Europe. Vet Parasitol. 174:26-29.
Kumar R, Kumar S, Khurana SK, Yadav SC. 2013. Development of an antibody-ELISA for
seroprevalence of Trypanosoma evansi in equids of North and North-Western regions
of India. Vet Parasitol. 196:251-257.
Luckins AG. 1994. Equine trypanosomiasis. Exotic disease series. Equine Vet Educ. 6:259-
262.
Misra KK, Roy S, Choudhury A. 2016. Biology of Trypanosoma (Trypanozoon) evansi in
experimental heterologous mammalian hosts. J Parasit Dis. 40:1047-1061.
Nguyen QD, Nguyen TT, Pham QP, Le NM, Nguyen GTT, Inoue N. 2013. Seroprevalence of
Trypanosoma evansi infection in water buffaloes from the mountainous region of North
Vietnam and effectiveness of trypanocidal drug treatment. J Vet Med Sci. 75:1267–-
269.
Njiru ZK, Ouma JO, Enyaru JC, Dargantes AP. 2010. Loopmediated isothermal amplification
(LAMP) test for detection of Trypanosoma evansi strain B. Exp Parasitol. 125:196-201.
Rademaker V, Herrera HM, Raffel TR, D’Andrea PS, Freitas TPT, Abreu UGP, Hudson PJ,
Jansen AM. 2009. What is the role of small rodents in the transmission cycle of
Trypanosoma cruzi and Trypanosoma evansi (kinetoplastida trypanosomatidae)? A
study case in the Brazilian Pantanal. Acta Trop. 111:102-107.
Raina AK, Kumar R, Sridhar VSR, Singh RP. 1985. Oral transmission of Trypanosoma
evansi
Ravindran R, Rao J, Mishra A, Pathak K, Babu N, Satheesh C, Rahul S. 2008. Trypanosoma
evansi in camels, donkeys and dogs in India: Comparison of PCR and light micrscopy
for detection-short communication. Veternarski Arh. 78:89-94.
Salim B, de Meeûs T, Bakheit MA, Kamau J, Nakamura I, Sugimoto C. 2011. Population
genetics of Trypanosoma evansi from camel in the Sudan. PLoS Negl Trop Dis.
8:e3417.
Silva RAMS, Barros ATM, Herrera HM. 1995. Trypanosomosis outbreaks due to
Trypanosoma evansi in the Pantanal, Brazi. A preliminary approach on risk factors.
Rev D’Élevage Méd
Thrusfield M, Christley R. 2018. Veterinary Epidemiology 4th Ed. Hoboken (USA): John
Wiley & Sons Ltd.
Womack S, Tarpley HL, Little SE, Latimer KS. 2006. Trypanosoma evansi in Horses. Vet
Clin Path Clerksh Program. 2006:1-5.

Anda mungkin juga menyukai