Anda di halaman 1dari 2

3.

3 Patogenesa
Menurut Tanzil (2013), infeksi dimulai dengan masuknya endospora kedalam tubuh.
Endospora dapat masuk melalui abrasi kulit,tertelan atau terhirup udara pernapasan. Pada
antrakskulit dan saluran cerna, sebagian kecil spora berubah menjadi bentuk vegetatif di jaringan
subkutan dan mukosa usus. Bentuk vegetatif selanjutnya membelah,mengeluarkan toksin yang
menyebabkan terjadinya edemadan nekrosis setempat. Endospora yang di fagositosis makrofag,
akanberubah jadi bentuk vegetatif dan dibawa ke kelenjar getah bening regional tempat kuman
akan membelah,memproduksi toksin, dan menimbulkan limfadenitis hemoragik.
Bakteri akan menyebar secara hematogen dan limfogen dan dapat menyebabkan
septikemia dan toksemia. Dalam darah, kuman dapat mencapai sepuluh sampai seratus juta per
millimeter darah. Kematian biasanya akibat septikemia, toksemia, dan komplikasi paru dan
umumnya terjadi dalam kurun waktu satu sampai sepuluh hari pasca paparan. Reaksi peradangan
hebat terjadi terutama akibat toksin letal. Toksin letal kuman menyebabkan pelepasan oksigen
antara reaktif (reactive oxygen intermediates) dan pelepasan tumor necrosis factor (TNF) dan
interleukin-1.

3.4 Gejala Klinis


Menurut Zulfikar (2014), antrax umumnya dapat dibagi menjadi beberapa bentuk
berdasarkan gejala klinisnya, yaitu:
1. Perakut
Penyakit yang sangat mendadak dan segera terjadi kematian karena perdarahan di otak,
sesak napas, gemetar kemudian ternak rebah, kejang-kejang. hanya dalam waktu 2 - 6
jam dapat mengalami kematian, dan kematian dapat mencapai 100%.
2. Akut
Suhu badan meningkat (demam), gelisah, depresi, susah pernafasan, jantung terlihat
berpacu dengan cepat dan, lemah, kejang-kejang dan segera mengalami kematian. Selama
penyakit berlangsung, demamnya mencapai 41,5oC. Produksi susu berkurang, susu yang
dihasilkan berwarna sangat kuning atau kemerahan. Terjadi pembengkakan pada
tenggorokan dan lidah kematian bisa mencapai 90% meski telah dilakukan pengobatan.

3. Kronis
Sedangkan anthrax bentuk kronis umumnya terdapat pada babi dan terdapat pada ternak
lainnya. Dengan gejala yang ditandai dengan adanya lepuh lokal terbatas pada lidah dan
tenggorokan.

3.5 Diagnosa dan Diagnosa Banding


Diagnosa dapat dilakukan dengan pengambilan specimen berupa sisa daging sapi yang
diduga terinfeksi penyakit antrax dan dilakukan pengujian specimen bakteriologi untuk
isolasi dan identifikasi bakteri antrax, selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan biologis,
dan serologis untuk diagnosa antrax (Mutiasari, dkk., 2017).
Diagnosa banding dari penyakit ini adalah, sering dikelirukan dengan penyakit
Leptospirosis. Karena, pada sapi yang bunting yang tekena antrax dapat mengalami abortus.
Selain itu, dapat dikaitkan dengan anemia infeksiosa yang akut, purpura haemorrhagica,
macam-macam kolik, mempunyai gejala yang sama dengan antrax. Dapat juga dikaitkan
dengan Malignany Catarrhal Fever (MCF). Diagnosa banding ini dilakukan dengan berbagai
macam pertimbangan. Semua sapi yang mengalami kematian semua mengalami gejala
demam, tidak mau makan, keluar leleran dari hidung yang berwarna kuning kental, dan
pembengkakan limfoglandula (Widodo, dkk., 2018).

DAFTAR PUSTAKA
Mutiasari, D., Djatmikowati, T.F., Anis, S., Haeriah., Rahman, A. 2017. Investigasi Kasus
Antraks pada Sapi di Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi
Selatan. Jurnal Diagnosa Veteriner. 16(2): 1-8.
Tanzil, K. 2013. Aspek Bakteriologi Penyakit Antraks. Jurnal Ilmiah Widya Kesehatan dan
Lingkungan. 1(1):1-5.
Widodo, E., Yuriati, Hariyah. 2018. Investigasi Kematian Sapi Potong di Desa Banjararum
Kalibawang Kulonprogo Tahun 2017. Jurnal Hemera Zoa. 1(3):422-425.

Kata kunci, Patogenesis anthrax, Gejala klinis anthrax pada sapi, diagnosa penyakit anthrax
pada sapi, diagnosa banding anthrax pada sapi.

Anda mungkin juga menyukai