Anda di halaman 1dari 17

ANTRAKS

Definisi
Antraks adalah penyakit yang disebabkan Bacillus anthracis .
Penyakit ini dapat menyerang hewan domestik maupun liar, terutama
hewan herbivora, seperti sapi, domba, kambing, beberapa spesies unggas
dan dapat menyerang manusia (zoonosis) (OIE, 2000 ; ToDAR, 2002).
Antraks merupakan penyakit zoonosis penting dan strategis sehingga
perlu ditangani dengan baik. Tingkat kematian karena antraks sangat
tinggi terutama pada hewan herbivora, mengakibatkan kerugian ekonomi
dan mengancam keselamatan manusia (WHO, 1998).
Untuk

mewaspadai

penyakit

antraks

di

Indonesia,

perlu

dikembangkan cara pengendalian penyakit yang efektif yang perlu


didukung

dengan

metode

diagnosis

cepat

dan

akurat

sehingga

penanganan kasus penyakit dapat dilaksanakan dengan segera . Metode


diagnosis yang digunakan di BBalitvet adalah identifikasi agen, uji serologi
dan Ascoli, sedangkan teknik lain yang lebih cepat dan akurat dan
direkomendasikan oleh OIE/WHO (1998; 2000) antara lain : lysis gamma
phage, immunochromatographic assay, Direct Flourescence Assay (DFA)
dan Polymerase Chain Reaction (PCR).
Spora antraks dapat terbentuk apabila bakteri kontak dengan udara
atau oksigen, sangat resisten dan dapat survive bertahun-tahun di tanah,
karena tahan terhadap perubahan lingkungan, sulit dimusnahkan pada
suatu wilayah yang positif antraks, dengan penanganan kurang memadai
sulit untuk penanggulanganya, sehingga perlu pemahaman interaksi
sistem sosial dan sistem ekologi. Dengan mewujudkan eksistensi keluarga
sebagai unit terkecil dari masyarakat, atau sistem sosial yang mempunyai
fungsi

sosialisasi

dan

pendidikan,

untuk

mengimplementasikan

pencegahan dan pengendalian penyakit antraks (Wasito, 2014)


Cara Penularan
Penyakit antraks merupakan penyakit bakterial, disebabkan oleh
Bacillus anthracis pembentuk spora. Spora antraks dapat terbentuk

apabila bakteri kontak dengan udara atau oksigen, sangat resisten dan
dapat survive bertahun-tahun di tanah, karena tahan terhadap perubahan
lingkungan (Dragon and Rennie, 1995), sehingga sulit dimusnahkan.
Spora antraks juga dapat hidup pada bulu hewan, wool, kulit, atau bahan
yang terkontaminasi sehingga dapat menyebar kemana-mana. Sehingga
suatu wilayah yang positif antraks dengan penanganan yang kurang
memadai sulit untuk penanggulangannya.

Infeksi

kuman

antraks

dapat

terjadi

melalui

kulit

dan

alat

pernapasan, tetapi kejadi an yang paling sering adalah melalui saluran


pencernaan. Spora

termakan, kemudian mengalami germinasi dan

menjadi bentuk vegetatif dalam mukosa kerongkongan, ataupun saluran


pencernaan. Pada hewan yang mati karena antraks sekitar 80% bakteri
ditemukan dalam darah, dan sekitar 20% ditemukan di dalam limfa.
Hewan mati diakibatkan oleh produksi toksin yang dikeluarkan oleh
bakteri. Menjelang kematian ternak toksin ditemukan dalam jumlah yang
tinggi, oleh karena itu pemberian antibiotika harus diberikan pada
permulaan infeksi sebelum toksin yang dibentuk mencapai dosis lethal
(Lay dan Hastowo, 1992). Penyakit antraks dibagi atas 4 tipe yaitu tipe:
pencernaan, kulit, pernapasan, dan tipe radang selaput otak.

Pola Penyakit
Di Indonesia berita tentang suatu penyakit yang sangat menyerupai
anthraks pada kerbau di daerah Teluk betung dimuat dalam
Courant"

tahun

1884.

Kemudian

berita

yang

lebih

jelas

"Javasche
tentang

berjangkitnya Anthraks di beberapa daerah di Indonesia di beritakan oleh


"Kolonial Verslag" antara tahun 1885 dan 1886. Kemudian antara tahun
1899 dan 1900 sampai 1914, tahun 1927 sampai 1928, tahun 1930
tercatat kejadian-kejadian anthraks di berbagai tempat di Jawa dan di luar
Jawa.
Insidensi kasus di Indonesia menurut Bulletin Veteriner tahun 1975
di Jabar, Sultra, NTT dan NTB; tahun 1996 di Jambi, Sultra, Sulsel, NTB,
NTT dan Jabar; 1977 di NTB ;1981 di DKI. Jakarta, Jabar, NTT dan NTB;
1982 di NTB, Jatim dan Sulsel; 1983 di DKI Jakarta, NTB, NTT dan Sulsel;
1986 di NTB, Jabar dan Sumbar, 1988 -1993 di NTB;1991 di Jogya, Bali
dan NTB dan 1992 -1994 di NTB.
Kasus anthrak di Jawa Tengah tahun 1990 tercatat 97 kasus pada
manusia di kabupaten marang dan Bojolali, sedang di Jawa Barat pada
tahun 1975 -1974 tercatat 36 kasus di kabupaten Kawarang, 30 kasus di
kabupaten Purwakarta, di kabupaten Bekasi 22 kasus pada tahun 1983
dan 25 kasus pada tahun 1985.
Laporan kasus anthraks pada Januari tahun 2000 yang diduga telah
terjadi tiga bulan sebelumnya, menyatakan kasus terjadi pada penduduk
desa Ciparungsari kecamatan Cempaka, kabupaten Purwakarta, Jabar
yang menjarah burung unta. (Struthio Camelus) milik P.T. Cisada Kema
Suri yang dimusnahkan karena tertular penyakit anthraks.
Laporan kasus anthraks terakhir terjadi pada tahun 2012 di
Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Sragen (Jawa Tengah), Kabupaten
Maros dan Kabupaten Takalar (Sulawesi Selatan), yang menyerang sapi
potong dan sapi perah milik peternak.

Pengenalan penyakit antrax


Mendeteksi secara dini penyakit antraks dapat mudah dilakukan bila
kalangan

medis

sudah

pernah

melihat

secara

langsung

kelainan

pathognomonis yang ada seperti eschar pada kulit, yaitu kerak hitam
yang berada ditengah ulkus yang mongering. Untuk mengenal penyakit
antraks

tersebut

maka

harus

diketahui

manifestasi

klinisnya.

Antraks kulit
Keluhan

penderita

demam

subfebris,

sakit

kepala.

Pada pemeriksaan, umumnya di daerah terbuka seperti muka, leher,


lengan dan tangan ditemukan kelainan berupa papel, vesikel yang berisi
cairan dan jaringan nekrotik berbentuk ulsera yang ditutupi oleh kerak
berwarna hitam, kering yang disebut eschar ( pathognomonik ) disekitar
ulkus, sering didapatkan eritema dan edema. Pada perabaan edema
tersebut tidak lunak dan tidak lekuk ( non pitting ) bila ditekan, disebut
juga

malignant

pustule.

Antraks saluran pencernaan


Keluhan penderita : rasa sakit perut yang hebat, mual, muntah,
tidak napsu makan, suhu badan meningkat, hematemesis.
Pemeriksaan fisik : perut membesar dan keras, dapat berkembang
menjadi ascites dan edema scrotum.
Antraks paru-paru
Keluhan penderita : demam subfebris, batuk non produktif, lesu,
lemah. Dalam 2 ? 4 hari gangguan pernafasan menjadi hebatdisertai suhu
yang meningkat, sianosis. Dispneu, keringat berlebihan, detak jantung
menjadi

lebih

Pemeriksaan fisik : edema subkutan di daerah dada dan leher.

cepat.

Antraks meningitis : akibat dari komplikasi bentuk antraks yang lain.


Gejala klinis seperti randang otak maupun selaput otak yaitu demam,
sakit kepala hebat, kejang, penurunan kesadaran, kaku kuduk.
Gejala penyakit pada hewan
Hewan dapat tertular antraks melalui pakan (rumput) atau minum
yang terkontaminasi spora. Spora yang masuk ke dalam tubuh melalui
oral dan akan mengalami germinasi, multiplikasi di sistem limfe dan
limpa, menghasilkan toksin sehingga menyebabkankematian (biasanya
mengandung 10 9 kuman/ml darah) (OIE, 2000) . Antraks pada hewan
dapat ditemukan dalam bentuk perakut, akut, subakut sampaidengan
kronis . Untuk ruminansia biasanya berbentuk perakut dan akut,

kuda

biasanya berbentuk akut, sedangkan anjing, kucing dan babi biasanya


berbentuksubakut sampai dengan kronis . Gejala penyakit padabentuk
perakut berupa demarn tinggi (42 C), gemetar,susah bernafas, kongesti
mukosa, konvulsi, kolaps danmati . Darah yang keluar dari lubang kumlah
(anus,hidung, mulut atau vulva) berwarna gelap dan sukarmembeku.
Bentuk akut biasanya menunjukan gejala depresi, anoreksia, demam,
nafas cepat, peningkatan denyut nadi, kongesti membran mukosa . Pada
kuda terjadi enteritis, kolik, demam tinggi, depresi dan kematian terjadi
dalam waktu 48 - 96 jam . Sedangkanpada bentuk subakut sampai
dengan kronis, terlihat adanya pembengkakan pada lymphoglandula
pharyngeal karena kumnn antraks terlokalisasi didaerah itu (OIE, 2000). Di
Indonesia, kejadian antraks biasanya perakut, yaitu : demam tinggi,
gemetar, kejang-kejang, konvulsi, kolaps dan mati.
Gejala klinis pada manusia
Antraks pada manusia dibedakan menjadi tipekulit, tipe pencernaan,
tipe pulmonal dan tipe meningitis . Pada tipe kulit, B. anthracis masuk
melalui kulit yang lecet, abrasi, luka atau melalui gigitanserangga dengan
masa inkubasi 2 sampai 7 hari . Gejala klinis yang terlihat adalah demam
tinggi, sakit kepala,ulcus dengan jaringan nekrotik warna hitam di tengah
dan dikelilingi oleh vesikel-vesikel dan oedema. Jika tidak diobati tingkat

kematian dapat mencapai 10 - 20% dan jika diobati kurang dari 1%


(Departemen Kesehatan, 2003 ; WHO, 1998 ; APIC, 2005) . Pada tipe
pencernaan (gastrointestinal anthrax), B. Anthracis dapat masuk melalui
makanan terkontaminasi, dan masa inkubasinya 2 sampai 5 hari .
Mortalitas tipe ini dapat mencapai 25 - 60% dan dibedakan menjadi
antraks intestinal dan antraks oropharingeal . Pada antraks intestinal,
gejala utama adalah demam tinggi, sakit perut, diare berdarah, asites,
dan toksemia. Antraks oropharingeal, gejala utamanya demam tinggi,sakit
tenggorokan,

pembesaran

limfoglandula

regional,

dan

toksemia

(Departemen Kesehatan, 2003; WHO, 1998 ; APIC, 2005) . Tipe pernafasan


(Pulmonary anthrax) terjadi karena terhirupnya spora B. Anthracis dengan
masa inkubasi 2 - 6 hari . Jalannya penyakit perakut sulit bernafas,
sianosis, koma dan mati . Tingkat kematian bisa mencapai 86% dalam
waktu 24 jam (Departemen Kesehatan, 2003; WHO, 1998; APIC, 2005).
Tipe meningitis, merupakan komplikasi gejala demam tinggi, sakit kepala,
sakit otot, batuk, susah bernafas atau lanjutan dari ke-3 bentuk antraks
yang telah disebutkan di atas. Tingkat kematian dapat mencapai 100%
dengan gejala klinik pendarahan otak (WHO, 1998).
Pengendalian Antraks
Pengendalian penyakit anthrax mendapat prioritas secara nasional.
Upaya pengendalian

penyakit Antrax telah ditetapkan dan didasarkan

pada azas pewilayahan/zoning (NIPOSPOS, 2005), sebagai berikut:


1. Bagi daerah bebas Anthrax, didasarkan kepada pengawasan ketat
pemasukan hewan ternak ke daerah tersebut
2.

Bagi daerah endemik Anthrax didasarkan pada pelaksanaan


vaksinasi ternak secara rutin diikuti monitoring.

3. Bagi ternak tersangka sakit, dilakukan penyuntikan antibiotik dan


2 minggu kemudian disusul dengan vaksinasi anthrax.

Pelaksanaan langkah-langkah operasional strategis dalam upaya


mengendalikan penyakit anthrax (Bahri S dan Martindah E,2014) sebagai
berikut :
sebagai berikut:
1.

Pelaksanaan pengamatan untuk meningkatkan kewaspadaan dini


terhadap kemungkinan munculnya kasus pada ternak khususnya di
daerah endemis yang setiap tahun ada kecenderungan muncul, serta
terus memantau secara intensifdaerah dan lokasi endemis yang ada.

2.

Pelaksanaan vaksinasi massal untuk mengoptimalkan cakupan vak


sinasi setiap tahun pada ternak sapi, kerbau,kambing dan domba di
lokasi-lokasi endemis anthrax.

3.

Penelitian untuk dapat menghasilkan vaksin yang lebih baik yaitu


mempunyai potensi atau tingkat kekebalan yang cukup lama, aman
terhadap semua jenis ternak dan murah.

4.

Memproduksi vaksin dalam jumlah cukup untuk kesiap-siagaan


apabilaterjadi wabah minimal sebesar 600 juta dosis dan untuk
memberikan subsidi bagi daerah yang masih kekurangan vaksin.

5.

Pelaksanaan pengawasan lalu lintas ternak yang keluar dan masuk


lokasi endemis bekerjasama dengan aparat karantina hewan dan
instansi terkait lain.

6.

Pelaksanaan pemeriksaan ternak sebelum maupun setelah ternak


dipotong (ante/post mortum) di Rumah Potong Hewan.

7.

Sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman kepada masyarakat


tentang bahaya anthrax serta upaya penanggulangannya dengan
bekerjasama seluruh instansi dan pihak terkait lain termasuk pemuka
masyarakat/agama, LSM, kader desa melalui berbagai cara seperti
pencetakan brosur, leaflet, spanduk, sosialisasi melalui berbagai
media (elektronik dan cetak) serta pertemuan-pertemuan informal.

8. Pertemuan koordinasi untuk meningkatkan koordinasi dengan seluruh


instansi terkait khususnya dengan Departemen Kesehatan beserta
jajarannya

sampai

ke

tingkat

kecamatan/Puskesmas

khususnya

apabila dicurigai adanya kasus penularan pada manusia.

BRUCELLOSIS
Defenisi
Brucellosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
genus Brucella dan
dikategorikan oleh OFFICE INTERNATIONAL DES EPIZOOTIES (OIE) sebagai
penyakit zoonosis (ALTON et al., 1988) . Kuman Brucella oleh WORLD
HEALTH ORGANIZATION (WHO) diklasifikasikan sebagai mikroba kelompok
BSL III (OIE, 2004). Setiap spesies Brucella mempunyai hewan target
sebagai reservoir, yaitu Brucella abortus pada sapi, B. ovis pada domba,
B. melitensis pada kambing, B. suis pada babi,B neotomae dan B. canis
pada anjing (ALTON et al., 1988) .
Brucellosis

pada

hewan

betina

yang

terinfeksi

biasanya

asimptomatik, sedangkan pada hewan bunting dapat menyebabkan


plasentitis yang berakibat terjadinya abortus pada kebuntingan bulan ke-5
sampai ke-9 . Jika tidak terjadi abortus, kuman Brucella dapat dieksresikan
ke plasenta, cairan fetus dan leleran vagina. Kelenjar susu dan kelenjar
getah bening juga dapat terinfeksi dan mikroorganisme ini diekskresikan
ke susu (OIE, 2004) . Infeksi pada hewan terjadi secara persisten seumur
hidup, dimana kuman Brucella dapat ditemukan di dalam darah, urin, susu
dan semen
(BRUCELLOSIS FACT SHEET, 2003).
Pada manusia, spesies Brucella yang patogen adalah B. melitensis,
B . abortus, B. suis dan B. Canis (ENRIGHT, 1990) . Tingkat morbiditas
penyakit tergantung dari spesies Brucella yang menginfeksi . Penularan

brucellosis ke manusia melalui kontak dengan hewan yang terinfeksi atau


melalui konsumsi makanan dan susu asal hewan penderita brucellosis
(FENSTERBANK, 1987) .
Gejala klinis brucellosis pada manusia adalah demam undulant yang
intermiten

dandapat

menyebabkan

terjadinya

komplikasi

endokarditis , arthritis osteomielitis ( young , 1983).

berupa

Brucellosis pada

manusia banyak terjadi di daerah Mediteranean, Asia bagian Barat,


sebagian Afrika dan Amerika Latin (AMATO, 1995) . Jumlah kejadian
brucellosis pada manusia yang sebenarnya belum diketahui tetapi
berdasarkan laporan kejadian penyakit di daerah endemis bervariasi yaitu
kurang dari 0,01 sampai lebih dari 200 kasus per 100.000 orang (MERINO,
1989)

Kejadian brucellosis pada manusia di Indonesia belum pernah

dilaporkan

serta

kurangnya

publikasi

brucellosis

sebagai

penyakit

zoonosis mengakibatkan sebagian besar masyarakat tidak mengetahui


jika brucellosis dapat menular ke manusia .
Kejadian brucellosis pada manusia di Indonesia perlu segera
diantisipasi karena dari hasil uji serologis yang dilakukan oleh Balitvet
terhadap para pekerja kandang sapi perah, kandang babi dan RPH babi di
DKI Jakarta terdeteksi adanya titer antibodi terhadap kuman Brucella
(SUDIBYO, 1995) . Tingginya angka prevalensi brucellosis pada ternak di
Indonesia yang mencapai 40% dan menyebar hampir di seluruh propinsi
di Indonesia memungkinkan untuk terjadinya penularan brucellosis ke
manusia. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka pada review ini
dibahas tentang brucellosis pada hewan dan dampaknya terhadap
manusia serta penanggulangannya dengan tujuan agar masyarakat
mengenal brucellosis sebagai penyakit zoonosis yang dapat menular dari
hewan ke manusia .
ETIOLOGI
Brucellosis disebabkan oleh infeksi bakteri dari genus Brucella.
Secara morfologi, kuman Brucella bersifat Gram negatif, tidak berspora,
berbentuk kokobasilus (short rods) dengan panjang 0,6 - 1,5 m, tidak
berkapsul, tidak berflagella sehingga tidak bergerak (non motil) . Dalam

media biakan, koloni kuman Brucella berbentuk seperti setetes madu


bulat, halus, permukaannya cembung dan licin, mengkilap serta tembus
cahaya dengan diameter 1 - 2 mm . Pada pengecatan Gram, kuman
terlihat sendiri-sendiri, berpasangan atau membentuk rantai pendek
(ALTON,1984, coreel et al ,1989)
Kuman Brucella di luar tubuh induk semang dapat bertahan hidup
pada berbagai kondisi lingkungan dalam waktu tertentu . Kemampuan
daya tahan hidup kuman Brucella pada tanah kering adalah selama 4 hari
di luar suhu kamar, pada tanah yang lembab dapat bertahan hidup
selama 66 hari clan pada tanah becek bertahan hidup selama 151 - 185
hari (CRAWFORD et al ., 1990) . Menurut SUDIBYO (1995), kuman Brucella
dapat bertahan hidup selama 2 hari dalam kotoran atau limbah kandang
bagian bawah dengan suhu yang relatif tinggi . Pada air minum ternak,
kuman dapat bertahan selama 5 - 114 hari dan pada air limbah selama 30
- 150 hari .
PATOFISIOLOGI
Brucellosis merupakan penyakit sistemik yang mempengaruhi
hampir semua organ tubuh. Kuman Brucella yang masuk ke dalam set
epitel

akan

dimakan

oleh

neutrofil

dan

set

makrofag

masuk

ke

limfoglandula . Bakteriemia muncul dalam waktu 1 3 minggu setelah


infeksi, apabila sistem kekebalan tubuh tidak mampu mengatasi . Kuman
Brucella terlokalisir dalam sistem reticuloendothelial seperti pada hati,
limpa dan sumsum tulang belakang dan membentuk granuloma .
Kuman Brucella bersifat fakultatif intraseluler yaitu kuman mampu
hidup dan berkembang biak dalam set fagosit, memiliki 5-guanosin
monofosfat yang berfungsi menghambat efek bakterisidal dalam neutrofil,
sehingga kuman mampu hidup dan berkembang biak di dalam set
neutrofil (CANNING et al ., 1986) . Strain B. abortus yang halus (smooth)
pada LPS-nya mengandung komponen rantai 0-perosamin (BUNDLE et al.,
1989), merupakan antigen paling dominan yang dapat terdeteksi pada
hewan maupun manusia yang terinfeksi brucellosis . Uji serologis standar

brucellosis adalah spesifik untuk mendeteksi rantai 0-perosamin tersebut


(DIAz et al., 1968 ; SCHURIG et al., 1981) .
GEJALA KLINIS
Masa inkubasi brucellosis pada manusia umumnya berkisar 1 - 2
bulan dan kemudian penyakit dapat bersifat akut atau kronis. Brucellosis
yang bersifat akut ditandai dengan gejala klinis berupa demam undulan
yang intermiten, sakit kepala, depresi, kelemahan, arthralgia, myalgia,
orchitis (epididimitis) pada laki-laki dan abortus spontan pada wanita
hamil . Sedangkan, brucellosis kronis dapat menimbulkan sacroilitis,
hepatitis, endocarditis, colitis dan meningitis . Kematian akibat brucellosis
pada manusia biasanya terjadi karena adanya komplikasi endocarditis
yang disebabkan oleh infeksi B. melitensis dengan angka kejadian
mencapai 80%.
Secara umum, simptom dan gejala klinis brucellosis pada manusia
tercantum pada Tabel 3 . Secara klinis infeksi brucellosis dapat
diklasifikasikan menjadi subklinis, akut, subakut dan kronis . Secara
subklinis, biasanya tanpa gejala klinis dan diagnosis ditemukan secara
tidak sengaja dengan uji serologis pada manusia yang banyak terlihat di
bidang peternakan . Pada infeksi akut atau subakut biasanya dapat
sembuh dengan sendirinya.
Gejala Klinis pada Manusia
Gejala-gejala

klinis

penyakit

anthrax

pada

manusia

dapat

dikategorikan ke dalam beberapa bentuk, sebagaimana secara rinci


dijelaskan di bawah ini.
Bentuk pustula maligna
Penularan terjadi melalui kulit/luka/lecet. Tanda-tanda : dalam
waktu 2-3 hari timbul bentol kemerahan, dikelilingi tanda erythema.
Apabila cairan serous dipupuk akan terlihat bacillus anthracis setelah 24 48 jam pemupukan. Tanda-tanda klinis semakin jelas di tengah-tengah
terjadi infiltrasi dan berwarna merah tua, bertambah lama warna jadi
hitam dan sekelilingnya bersifat oedematous, yang kemudian mengeras,

apabila ditekan terasa sakit dan apabila meletus terjadi ulcus dengan
dinding curam, kerak warna coklat tua. Apabila tidak segera diobati maka
akan menyebar secara cepat melalui saluran lymphe ke peredaran darah.
Bentuk sepsis
Bentuk ini ditandai dengan demam, suhu sekitar 40 0C, sakit
kepala, rasa nyeri di daerah lumbar dan epigastrium, mual tanpa muntah.
Sering ada diarrhe campur darah. Beberapa waktu kemudian menurun
tetapi disertai tymphani di daerah epigastrium. Meskipun tanda-tanda
sakit berkurang dan si penderita tenang, bisa terjadi kematian mendadak.
Beberapa menit sebelum mati, cyanotis kuku dan seluruh tubuh jadi biru,
sepuluh jam setelah mati, darah belum beku dan berwarna hitam. Pijat
ujung jari keluar darah. Bentuk ini bisa terjadi pada orang sepulang dari
sawah, orang tersebut tiba-tiba merasa sakit dan beberapa jam kemudian
mati

Bentuk gastro enteritis


Penularan terjadi secara peroral, demam tidak begitu tinggi
apabila dibandingkan dengan bentuk sepsis. Tanda-tanda, seperti rasa
sakit di perut, menggigil, dalam waktu singkat bisa meninggal. Bisa
disertai sesak nafas, daerah limfa dan hati terasa sangat sakit dan
meninggal dalam waktu 2 - 4 hari. Ada pula yang memperlihatkan
kebengkakan di daerah dada dan leher.

Bentuk pulmonair
Penularan terjadi secara inhalasi, Tanda -tanda : mula-mula
mempunyai tanda-tanda infeksi ringan pada alat pernapasan bagian atas.
kira-kira 3,5 hari kemudian memperlihatkan gejala-gejala sesak nafas akut
dan

shock,

kemudian

meninggal.

Kadang-kadang

ada

juga

yang

memperlihatkan gejala meningitis dan hyperemia akut.

PENULARAN PENYAKIT
Anthrax tidak lazim ditularkan dari ternak yang satu ke ternak yang lain secara
langsung. Wabah anthrax pada umumnya ada hubungannya dengan tanah netral atau berkapur
yang alkalis yang menjadi daerah inkubator bakteri tersebut.

Bila penderita anthrax mati kemudian diseksi atau termakan burung-burung atau
ternak pemakan bangkai, maka sporanya akan dengan cepat terbentuk dan mencemari tanah
sekitarnya. Bila terjadi demikian, maka menjadi sulit untuk memusnahkannya. Hal tersebut
menjadi lebih sulit lagi, bila spora yang terbentuk itu tersebar angin. air pengolahan tanah,
rumput makanan ternak dan sebagainya. Di daerah iklim panas lalat penghisap darah antara
lain jenis Tabanus dapat bertindak sebagai pemindah penyakit.
Rumput pada lahan yang tercemari penyakit ini dapat ditempati spora. Apabila rumput
ini dimakan sapi perah maupun ternak lainnya, mereka akan tertulari.
Penyebaran penyakit ini umumnya dapat berkaitan dengan pakan yang kasar atau
ranting-ranting yang tumbuh di wilayah yang terjangkit penyakit anthrax. bahan pakan yang
kasar kadangkala menusuk membran di dalam mulut atau saluran pencernaan dan masuklah
bakteri Bacillus anthracis tersebut melalui luka-luka itu. jadi melalui luka-luka kecil tersebut
maka terjadi infeksi spora.
Penularan dapat terjadi karena ternak menelan tepung tulang atau pakan lain atau air
yang sudah terkontaminasi spora. Selain itu gigitan serangga pada ternak penderita di daerah
wabah yang kemudian serangga tersebut menggigit ternak lain yang peka di daerah yang
masih bebas merupakan cara penularan juga.
Pada manusia, biasanya infeksi berasal dari ternak melalui permukaan kulit terluka,
terutama pada orang-orang yang banyak berhubungan dengan ternak.
Infeksi melalui pernafasan mungkin terjadi pada pekerja-pekerja penyortir bulu
domba (wool-sarters disease), sedangkan infeksi melalui pencernaan terjadi pada orangorang yang makan daging asal ternak penderita anthrax.
Wanita hamil yang terinfeksi brucellosis dapat menularkan kuman
Brucella ke janin melalui plasenta yang mengakibatkan terjadinya abortus
spontan dan kematian fetus intrauterin pada kehamilan trimester pertama
dan kedua (GHOLAMI, 2000) .
DIAGNOSIS
Gambaran klinis dan lesi yang ditimbulkan oleh infeksi brucellosis
pada manusia sering kali sulit dikenali sehingga peneguhan diagnosis
hants didukung dengan uji secara laboratorium (SANTINI et al ., 1994 ;
MADKOUR, 1989). Beberapa uji brucellosis mempunyai tingkat sensitivitas
dan spesifitas yang berbeda-beda untuk peneguhan diagnosi Isolasi

bakteri dari darah masih merupakan metode standar yang digunakan


untuk diagnosis tetapi metode ini hanya efektif selama fase akut (KOLMAN
et al., 1991) . Metode deteksi kuman dengan inkubasi merupakan cara
yang efektif tetapi memerlukan waktu lama karena pertumbuhan kuman
Brucella sangat lambat (SOLOMON dan JACKSON, 1992) . Peneguhan
diagnosis brucellosis didasarkan atas morfologi, isolasi dan serologis dan
dikonfirmasi

dengan

phage-typing,

metabolisme

oksidasi

atau

genotyping .
PENGOBATAN
Pengobatan brucellosis hares segera dilakukan untuk mencegah
terjadinya komplikasi dan relapsis . Pengobatan dilakukan dengan
pemberian antibiotik seperti doksisiklin, streptomisin dan rifampisin setiap
hari selama minimal 6 minggu (WHO, 1986). Pada orang dewasa dan anak
di atas umur 8 tahun, antibiotika yang diberikan adalah doksisiklin dan
rifampisin selama 6 - 8 minggu, sedangkan untuk anak di bawah 8 tahun
sebaiknya diberikan rifampisin dan trimethoprim-sulfamethoxazole (TMPSMX)

selama

minggu.

Penderita

brucellosis

dengan

spondilitis

direkomendasikan antibiotika doksisiklin dan rifampisin dikombinasikan


dengan aminoglikosida (gentamisin) selama 2 - 3 minggu kemudian diikuti
dengan rifampisin dan doksisiklin selama 6 minggu. Tabel 6 menunjukkan
beberapa

alternatif

antibiotika

untuk

pengobatan

dengan

komplikasi

brucellosis

pada

manusia .
Brucellosis
meningoenchepalitis

memerlukan

pengobatan

endocarditis
dengan

atau
kombinasi

antibiotika rifampisin, tetrasiklin dan aminoglikosida (SHAKIR et a! ., 1987)


serta penambahan corticosteroid untuk mengurangi proses peradangan .
Sedangkan, brucellosis dengan komplikasi endocarditis memerlukan
pengobatan yang lebih agresif yaitu dengan kombinasi aminoglikosida
dengan doksisiklin, rifampisin dan TMP-SMX selama 4 minggu diikuti
sekurang-kuranganya kombinasi 2 - 3 jenis antibiotika selama 8 - 12
minggu. Pada wanita hamil penderita brucellosis, antibiotika pilihan yang
harus diberikan adalah juga kombinasi TMP-SMX (GHOLAMI, 2000) .

KONTROL BRUCELLOSIS
Pencegahan brucellosis pada manusia dapat dilakukan dengan
penanggulangan dan kontrol penyakit pada hewan sebagai hospes,
mengurangi kontak langsung den gan hewan terinfeksi, memasak susu
dan produk asal ternak sebelum dikonsumsi (CORBEL, 1997) . Kuman
Brucella sangat sensitif terhadap natrium hipoklorida 1%, etanol 70%,
yodium, glutaraldehida dan formaldehida serta kuman mudah mati pada
pemanasan basah, suhu 121'C selama 15 menit dan pemanasan kering,
suhu 160 - 170C selama satu jam (BRUCELLOSIS FACT SHEET, 2003) .
Kontrol brucellosis pada ternak melibatkan kombinasi dari manajemen
peternakan, program vaksinasi dan test and slaughter (CADDIS, 2003) .
Keputusan untuk memilih metode dalam kontrol brucellosis harus
berdasarkan atas studi epidemiologi dan ekonomi penyakit . Manajemen
peternakan harus diterapkan pada daerah peternakan dengan sejarah
brucellosis . Jika ada ternak yang didiagnosis brucellosis harus segera
dipisahkan dan jika ada kejadian abortus, fetus dan membran fetus harus
segera dikirim ke laboratorium untuk diuji . Kemudian, tempat terjadinya
abortus harus didesinfeksi dan semua material yang terkontaminasi
dipendam dalam tanah . Vaksinasi merupakan metode yang efektif untuk
mencegah brucellosis pada hewan . Anak sapi sampai umur 8 bulan dapat
divaksinasi dengan vaksin hidup' Brucella yang akan melindunginya dari
brucellosis .
Namun, metode yang paling efektif untuk kontrol brucellosis pada
ternak

adalah

dengan

test

and

slaughter

terhadap

ternak

yang

terinfeksi .Pada manusia, brucellosis dapat dicegah dengan vaksinasi


namun peranan vaksinasi dalam pencegahan penyakit sangat kecil .
Beberapa vaksin brucellosis memang telah dikembangkan di masa lalu
seperti vaksin B. abortus strain 19-BA dan 104M dari kuman hidup yang
dilemahkan di mana vaksin tersebut telah digunakan di Uni Soviet dan
China, vaksin phenolinsoluble peptidoglycan telah dibuat di Perancis dan

vaksin polisakarida-protein telah digunakan di Rusia . Efikasi vaksin-vaksin


tersebut sangat terbatas dan menimbulkan reactogenecity yang serius
(CORBEL, 1997) .

KESIMPULAN
Brucellosis merupakan penyakit zoonosis yang dapat menular dari
hewan ke manusia. Rendahnya publikasi brucellosis pada manusia serta
tidak adanya laporan kasus brucellosis pada manusia di Indonesia adalah
sebagai penyebab kurang dikenalnya brucellosis oleh masyarakat .
Tingginya prevalensi brucellosis pada sapi di Indonesia dan terdeteksinya
titer antibodi terhadap Brucella pada para pekerja kandang sapi perah,
kandang babi dan RPH bab i di DKI Jakarta memungkinkan terjadinya
penularan brucellosis pada harus dibakar atau manusia. Pengendalian
brucellosis pada hewan dengan program eradikasi yang komperhensif
berupa eliminasi

hewan positif brucellosis secara serologis dan melalui

program vaksinasi dapat menanggulangi kejadian brucellosis

pada

manusia .
Daftar Pustaka
AGALAR, C ., S. USUBUTUN and R . TURKYILMAZ. 1999 . Ciprofloxacin and
rifampicin versus doxycycline and rifampicin in the treatment of
brucellosis . Eur. J . Clin . aaMicrobiol . Infect. Dis.18 : 535 - 538 .

Association For Professionals In Infection Control and Epidemiology (APIC) .


2005

Anthrax

Current,

Comprehensive

Information

on

Pathogenesis,Microbiology, Epidemiology, Diagnosis, Treatment,and


Prophylaxis, Center for Infectious Disease.
Bahri S dan Martindah E,2014. Kebijakan pengendalian penyakit strategis
Dalam rangka mendukung program kecukupan Daging sapi 2010.
Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
Departemen Kesehatan, 2003 . Pedoman Tata Laksana Kasus dan
Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Antraks di Rumah Sakit. Dirjen
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.
Departemen Kesehatan RI.
Dragon, D.C., and Rennie, R.P. 1995. The Ecology of Anthrax spores: tough
but not invincible. Canadian Veterinary 36.
Lay, B.W. dan Sugyo Hastowo, 1992. Mikrobiologi.
Naipospos, T.S.P. 2005. Kebijakan penanggulangan penyakit zoonosis
berdasarkan

prioritas

Departemen

Pertanian.

Pros.

Lokakarya

Nasional Penyakit Zoonosis. Bogor, 15 September 2005. pp: 23-27.


Research and Policy, University ofMinnesota, USA.OIE, 2000. Anthrax. In:
Manual

of

standards

diagnostic

and

vaccines,

World

Health

Organization.
Wasito, 2014. Pengendalian penyakit antraks: fungsi Sosialisasi dan
pendidikan

keluarga

serta

Inovator

dan

early

adopter.

Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara.


World Health Organization (WHO). 1998. Guidelines forthe surveillance
and control of anthrax in humans and animals, 3`d Ed. Departement
of CommunicableDisease Surveillance and Response . TURNBULL,
P.C .B ., R. BOHM, O. CosIvi . M. DoGANAY, M .E .HUGH JONES, D .D .
Josw, M .K . LALITHA and V . DEVOS. (Eds .). World Health
Organization.

Anda mungkin juga menyukai