I. PENDAHULUAN
Anthrax merupakan penyakit infeksi menular akut yang termasuk
salah satu dari penyakit – penyakit zoonosis. Anthrax sebagian besar
mempengaruhi herbivore melalui transmisi pada saat merumput pada
tanah yang terkontaminasi. Manusia dapat terinfeksi baik melalui hewan
yang terinfeksi, bangkai atau produk hewani yang terkontaminasi. Infeksi
pada manusia dapat terjadi dalam tiga cara: 1
1. Infeksi kulit, yang terjadi ketika bakteri memasuki tubuh melalui kulit
yang abrasi atau luka.
2. Infeksi pulmonal, yang terjadi ketika spora terhirup.
3. Infeksi gastrointestinal, yang terjadi karena konsumsi bahan yang
terkontaminasi.
Penyakit Anthrax bersifat universal karena secara geografis
tersebar di seluruh dunia, baik negara yang beriklim tropis maupun sub
tropis. Daerah Anthrax di benua Asia antara lain negara Saudi Arabia,
Tiongkok, Iran, Irak, Indonesia, Jepang, Pakistan, Siberia dan Tibet.
Kuman Anthrax apabila jatuh ke tanah atau mengalami kekeringan
ataupun dalam lingkungan yang kurang baik lainnya akan berubah
menjadi bentuk spora. Spora Anthrax ini tahan hidup sampai 40 tahun
lebih, dapat menjadi sumber penularan penyakit baik kepada manusia
maupun hewan.2
Pada manusia terdapat tiga tipe antraks yaitu: antraks kulit, antraks
inhalasi, dan antraks gastrointestinal. Gambaran klinis anthrax pada
manusia bergantung pada jalur inokulasinya. Antraks inhalasi secara
alamiah sangat jarang terjadi.3 Dalam 95 persen kasus pada manusia,
penyakit ini diperolehmelalui inokulasi perkutan spora anthrax.4
1
II. DEFINISI
Antraks adalah suatu penyakit menular akut terutama pada
binatang rumahan atau piaraan dan binatang liar, tetapi manusia secara
kebetulan juga dapat terkena melalui kontak terhadap binatang atau
produk binatang yang terinfeksi.5
Anthrax jarang terjadi di sebagian besar dunia. Infeksi pada
manusia umumnya terjadi akibat kontak dengan hewan yang terinfeksi.
Peternak, woolsorters, penyamak kulit, tukang daging, dan pekerja di
industri bulu kambing paling rentan terhadap infeksi. Penularan dari
manusia ke manusia terjadi dari kontak dengan dressing dari lesi.6
III. EPIDEMIOLOGI
Kasus terjadi terutama pada laki-laki dengan kaitan pekerjaan
sebagai pemotong daging atau penyembelih hewan yang merupakan
sumber infeksi lebih umum di antara pasien laki-laki. Pengolahan atau
penanganan daging lebih umum terjadi di antara pasien wanita jika
dikaitkan pula dengan pekerjaan. Usia rata-rata pasien adalah 43 tahun.7
Anthrax umumnya terjadi pada hewan mamalia ruminansia, seperti
domba, sapi, dan kambing. Pada manusia paling sering terlihat di daerah-
daerah yang bergantung hidup pada pertanian. Presentasi klinis antraks
pada manusia tergantung pada rute inokulasi. Dalam 95% kasus manusia,
penyakit ini diperoleh melalui inokulasi percikan dari spora anthrax.
Anthrax manusia juga bisa didapatkan sebagai penyakit inhalasi dan
gastrointestinal. Wabah masih terjadi di daerah endemik. Selama akhir
abad ke dua puluh, ribuan orang di Negara-negara Afrika Zambia dan
Zimbabwe mengalami anthrax. Lebih dari 90% kasus adalah kulit dan
sisanya mewakili campuran inhalasi yang sama dan penyakit
gastrointestinal.4
Penyakit antraks “alami” telah dilaporkan di Indonesia, sejak tahun
1832 dari pulai Sulawesi. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal
Peternakan Departemen Pertanian, saat ini daerah tertular antraks terdapat
2
di 12 provinsi, di Indonesia, yaitu Sumatera Barat, Jambi, Lampung, Jawa
Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DIY, NTB,NTT, Sulawesi
Selatan,Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara. Dari 12 provinsi, 5
provinsi dinyatakan positif endemis untuk kasus antraks, yaitu Jawa Barat
(Bogor dan Purwakarta), Jawa Tengah (Boyolali), NTB, NTT, dan DIY
(Sleman). Kejadian luar biasa (KLB) pernah terjadi di Purwakarta, dengan
22 kasus tanpa kematian. Terakhir dilaporkan terjadi KLB antraks
padamanusia di desa Hambalang, Kabupaten Bogor, dengan 32 kasus
antraks kulit disertai dua kasus kematian.5
IV. ETIOLOGI
Bacillus anthracis adalah kuman aerobik gram positif berbentuk
batang (basil), berkapsul, tidak bergerak, yang mempunyai kemampuan
untuk membentuk spora dan toksin (toksin edema dan toksin letal).
Kuman dalam bentuk vegetatif hanya dapat bertahan dialam kurang dari
24 jam. Menghadapi keadaan alam yang kurang menguntungkan bagi
pertumbuhan, kuman akan berubah bentuk menjadi spora. Spora tidak
berkembang biak, tetapi dapat bertahan hidup di tanah untuk jangka waktu
lama bahkan sampai puluhan tahun.5
V. PATOGENESIS
Spora Bacillus anthracis adalah bentuk infeksi primer. Setelah
masuk ke dalam tubuh manusia, spora Bacillus anthracis mulai tumbuh
secara lokal atau di getah bening regional setelah transportasi melalui
sistem limfatik oleh sel fagosit. Bakteri vegetatif mampu memproduksi
toksin pada pertumbuhan. Bakteri dan racun masuk ke dalam sirkulasi dan
menyebar, yang mengakibatkan penyakit sistemik, sepsis, dan dalam
beberapa kasus dapat mengakibatkan syok septik.8
Infeksi Anthrax dimulai dengan pengenalan spora melalui kulit
(cutaneous anthrax) atau masuk melalui mukosa (anthrax gastrointestinal).
Setelah dicerna oleh makrofag di tempat masuk, pertumbuhan ke vegetatif
3
terbentuk, diikuti oleh multiplikasi extraselular dan kapsul dan produksi
racun.9
Tiga protein yang disekresikan oleh virulen strain Bacillus anthracis.
Tiga protein bertindak bersama-sama dengan cara yang sinergis
melakukan endocytosed dan translocated ke dalam sitoplasma dari
makrofag, mengganggu sinyal seluler dan menginduksi kematian sel, dan
memungkinkan bakteri untuk menghindari sistem kekebalan tubuh.10
Antigen pelindung (PA)
Edema faktor (EF)
Faktor Lethal (LF)
4
adalah kulit, mungkin juga terjadi bersamaan antraks gastrointestinal atau
pulmonal. Anthrax pulmonal adalah contoh bentuk anthrax inhalasi, di
mana spora anthrax terdapat di udara yang terhirup. Ini adalah risiko bagi
orang-orang dalam profesi pembuat wol dan menangani domba, dengan
demikian bentuk ini disebut sebagai Wool Sorter’s Disease. Penyakit ini
dimulai dengan perlahan-lahan progresif, tetapi segera menyebabkan
limfadenitis hemoragik, mediastinitis dengan pelebaran mediastinum dan
efusi pleura.9
Patogenesis dan tipe Anthrax :9
VI. HISTOPATOLOGI
Secara mikroskopis, tampak hilangnya epidermis di lokasi ulkus,
disertai spongiosis dan vesikula intraepidermal. Leukosit berlimpah di
epidermis. Dermis bersifat edematosa dan berisi infiltrat eritrosit dan
neutrofil yang melimpah. Vasodilasi merupakan penanda. Organisme
penyebab sangat banyak dan mudah dilihat, terutama dengan pewarnaan
Gram.6
5
VII. DIAGNOSIS
a. Gejala Klinis
Diagnosis antraks kulit berdasarkan gambaran lesi kulit yang
karakteristik dan adanya riwayat paparan atau riwayat pekerjaan dengan
hewan atau produk hewan yang terinfeksi. Dengan ditemukannya batang
besar Gram positif dalam cairan vesikel atau dari cairan aspirasi di bawah
krusta lesi kulit menunjang diagnosis tersebut.5
Setelah periode inkubasi 1–7 hari, pasien mungkin mengalami
demam ringan dan malaise dan timbul papula di tempat yang terpapar.
Lesi tersering ditemukan pada daerah kulit yang terbuka, biasanya pada
tangan, wajah, dan leher. Di kulit manusia, spora kembali ke bentuk
batang dan menghasilkan racun.4 Lesi awal tersebut dapat disertai dengan
rasa gatal atau rasa terbakar. Minggu berikutnya dalam 1 atau 2 hari lesi
berkembang menjadi stadium vesikuler dengan diameter 1-2 cm berisi
cairan jernih atau serosanguinosa yang mengandung sedikit lekosit dan
kuman basilus gram positif dalam jumlah yang banyak.5 Lesi membesar
menjadi pseudobulla yang berkilau yang menjadi hemoragik dengan
nekrosis sentral dan mungkin umbilicated.4 Vesikel membesar, menjadi
hemoragik dan akan membentuk ulkus dengan eskhar nekrotik kehitaman,
dikelilingi zona edema non pitting kecoklatan, seperti gelatin. Mungkin
terdapat lesi satelit berupa vesikel kecil yang mengelilingi lesi yang lebih
besar. Eskhar akan mengering dan rontok dalam 1 atau 2 minggu dengan
meninggalkan jaringan parut yang minimal.5 Kemajuan Lesional
disebabkan oleh racun dan tidak terpengaruh oleh terapi antibiotik.
Anthrax cutaneus dapat menyebabkan demam, takikardia, dan hipotensi.4
6
Anthrax Cutaneous10
b. Pemeriksaan Fisik5,10
o Lokasi : pada leher, tangan, wajah dan kaki.
o Effloresensi: Udema dengan ulkus nekrotik atau eschar
ditengahnya.
c. Pemeriksaan Penunjang:
1. Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan sel darah putih
biasanya meningkat terutama leukosit polimorfonuklear. Jika
terjadi meningitis, cairan serebrospinal akan menjadi hemoragik
dan ditemukan banyak basil Gram positif di dalamnya.5
2. Pemeriksaan mikrobiologis akan ditemukan kuman pada
pengecatan usapan lesi kulit dengan Mc Fadyean atau tinta cina.5
Pewarnaan Methylene blue pada apusan CSF, darah, dan cairan
pleura menunjukkan basil panjang dan tebal, dikelilingi oleh
7
daerah ungu keunguan yang mewakili bahan kapsular (reaksi
McFadyean). Bagian dari kelompok Bacilli cereus bacilli, Bacilli
anthracis mudah dibedakan dari anggota lain dari kelompok Bacilli
cereus dengan mengamati fitur morfologi koloni pada lempeng
darah-agar. Koloni paling banyak isolat Bacilli anthracis adalah
non-hemolitik dan berwarna putih sampai abu-abu, sering terlihat
seperti ground glass. Ini nonmotile, nonhemolytic pada agar darah
domba, tumbuh dengan mudah pada suhu 37°C, dan bentuk koloni
besar dengan pertumbuhan luar yang tidak beraturan (“medusa
head” penampilan umumnya dilihat dengan daya rendah dari
mikroskop di mana basil kusut muncul seperti ular pada mitologi
medusa head). Kultur pada pertumbuhan jaringan B. anthracis;
Namun, semua sampel kulit mungkin tidak positif untuk bakteri.
Namun demikian, sampel lain seperti darah, cairan pleura, CSF
tumbuh sejumlah besar bacilli encapsulated. Kultur darah dalam
kasus infeksi sistemik anthrax hampir selalu positif, karena jumlah
sel bakteri banyak dalam sirkulasi.9
Bachillus Antracis9
3. Pemeriksaan histopatologis akan menunjukkan gambaran yang
paling mencolok adalah ditemukannya edema hemoragik, dilatasi
pembuluh limfe dan nekrosis pada epidermis.5
4. Pemeriksaan biakan atau kultur, untuk konfirmasi diagnostic,
dilakukan biakan kuman dengan agar nutrisi pada 5% CO2 atau
medium suplemen basal lain dengan 0,8% natrium bikarbonat.5
8
5. Konfirmasi adanya kuman anthrax juga dapat ditentukan dengan
pemeriksaan direct fluorescent antibody pada lesi anthrax kulit.5
6. Tes Serologis dan Imunologi
Protein imunogenik utama dari B. anthracis muncul antigen
capsular dan komponen eksotoksin. Spesifik tes enzyme-linked
immunosorbent assays (ELISA) yang menunjukkan empat kali
lipat antibodi terhadap komponen-komponen ini merupakan
diagnostik dari infeksi atau vaksinasi di masa lalu. Indikator yang
paling dapat diandalkan adalah titer antibodi terhadap antigen
pelindung dan komponen kapsular. Dalam studi pengukuran titer
antibodi oleh ELISA, sensitivitas indikator yang mungkin adalah
sebagai berikut: 72 persen untuk antigen pelindung, 95 hingga 100
persen untuk antigen kapsul, 42 persen untuk faktor letal, dan 26
persen untuk faktor edema. Mikrohemaglutinasi indirect
memberikan hasil serupa dengan yang diperoleh dengan ELISA
tetapi memiliki kelemahan tertentu, termasuk masa simpan singkat
dari persiapan sel yang tersensitisasi antigen, reproduktifitas tes
yang terbatas, dan waktu persiapan yang lebih lama.9
7. Metode Molekuler Diagnostik Terbaru
Teknik diagnostik baru telah berfokus pada penggunaan reaksi
rantai polimerase untuk memperkuat penanda khusus untuk B.
anthracis atau kelompok B. cereus. Dua penanda, vrrA dan Ba813,
telah menjadi subyek penelitian ekstensif.9
9
2. Furunkel/karbunkel
Keluhan nyeri, dengan kelainan berupa nodus eritematosa
berbentuk kerucut, di tengah terdapat pustule. Kemudian melunak
menjadi abses yang berisi pus dan jaringan nekrotik, lalu memecah
membenruk fistel. Tempat predileksi ialah tempat yang banyak friksi,
misalnya aksilla dan bokong.5
IX. PENATALAKSANAAN
a. Non Medikamentosa
Bila dicurigai telah terjadi paparan maka yang bersangkutan
dianjurkan untk melepaskan semua pakaian dan dimasukkan ke dalam
kantong plastik yang kemudian diikat rapat-rapat. Selanjutnya
penderita harus mandi dengan sabun dan air yang cukup.5 Pakaian
yang terkena cairan lesi kulit atau alat-alat laboratorium yang
terkontaminasi sebaiknya dibakar atau dimasukkan ke dalam autoklaf.
Dekontaminasi dapat dilakukan dengan memberikan larutan sporosidal
yang biasa dipakai di rumah sakit pada tempat yang terkontaminasi.
Bahan pemutih atau larutan hipoklorit 0,5% dapat dipergunakan untuk
dekontaminasi.3
b. Medikamentosa
Pengobatan pilihan untuk infeksi Bacilli anthracis adalah
penisilin. Pasien dengan meningitis anthrax selalu mati dalam
24 jam. Semua kasus meningitis diobati dengan dosis penisilin
intravena yang tinggi 'meningitic' yaitu 2 juta unit setiap dua
jam (24 juta unit setiap 24 jam). Pasien dengan anthrax kulit
diobati dengan penisilin intravena 2 juta unit setiap 4 jam
selama 5 hari diikuti oleh unit penisilin intramuskular 8 lakh
dua kali sehari selama 8 hari. Semua pasien dengan anthrax
kulit merespon dengan baik. Pengobatan antibiotik harus
dilanjutkan selama setidaknya 14 hari untuk antraks sistemik
10
setelah gejala mereda. Doxycycline dan ciprofloxacin dapat
digunakan dalam situasi resistensi terhadap penisilin.
Pada anthrax sistemik (Septicemic, meningits, gastrointestinal:8
1.Penicillin IV : 2 juta unit setiap 2 jam sampai gejala mereda,
selama 2 minggu berikutnya
2. Ciprfloxacin IV : 400 mg 2 kali sehari sampai gejala mereda,
selama 2 minggu berikutnya
3. Oral doxycyline: 100 mg 2 kali sehari sampai gejala mereda,
selama 2 minggu berikutnya
X. PENCEGAHAN9
Semua individu yang beresiko tinggi perlu dilindungi dengan
vaksinasi untuk menahan kekambuhannya penyakit ini. Merupakan
penyakit zoonosis maka salah satu yang terpenting adalah pencegahan
infeksi terutama pada populasi ternak dari daerah endemis dengan
imunisasi massal. Vaksin anthrax standar, digunakan baik untuk manusia
dan hewan adalah “Anthrax Vaccine Absorbed” atau AVA yang
merupakan aluminium hidroksida yang diendapkan dan pelindung
antigen ( PA ) yang dilemahkan dari non encapsulated Bacillus anthracis
sterne strain.
11
XI. PROGNOSIS
12
DAFTAR PUSTAKA
13
11. Phoenix G, Das S, Joshi M. Diagnosis and management of
cellulitis. BMJ. 7 August 2012.
12. Petkova T, Popivanov I, Doichinova T, et al. Cutaneous anthrax–
contemporary clinical and epidemiological aspects. Balkan
Military Medical Review. May 19 2014
14