Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

STUDI PENYAKIT ANTHRAX PADA HEWAN DAN


MANUSIA

Anggota Kelompok:
1. Fadhilah Amaliyah Haq (B04150
2. Muhammad Farhan (B04150176)
3. I Kadek Fendy Lesmana (B04150181)

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN KESEHATAN


MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbagai penyakit menular pada manusia yang bersumber dari hewan telah
banyak mewabah di dunia.Istilah zoonosis telah dikenal untuk menggambarkan
suatu kejadian penyakit infeksi pada manusia yang ditularkan dari hewan
vertebrata. Hal inilah yang dewasa ini menjadi sorotan publik dan menjadi objek
berbagai studi untuk mengkaji segala aspek yang berkaitan dengan wabah tersebut
yang diharapkan nantinya akan diperoleh suatu sistem terpadu untuk
pemberantasan dan penanggulangannya. Kemunculan dari suatu penyakit
zoonosis tidak dapat diprediksi dan dapat membawa dampak yang menakutkan
bagi dunia, terutama bagi komunitas yang bergerak di bidang kesehatan
masyarakat dan veteriner.
Antraks (anthrax) adalah penyakit infeksius dan menular pada hewan yang
disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis yang membentuk spora. Penyakit ini
dapat ditularkan dari hewan penderita ke manusia, sehingga digolongkan sebagai
penyakit zoonosa atau zoonosis.Spora pada bakteri berfungsi sebagai alat
perlindungan bakteri tersebut dari pengaruh lingkungan yang tidak sesuai untuk
pertumbuhan dan perkembangbiaknya. Spora bakteri antraks dapat ditemukan
pada tanah, bulu, wol, kulit, debu, dan tepung tulang. Spora tersebut dapat
bertahan selama 60 tahun di dalam tanah kering.
Kehadiran bakteri antrhax (Bacillus anthracis) di lingkungan manusia bukan
hal yang aneh. Sejak ratusan tahun lalu, bakteri ini umum ditemukan pada air,
tanah, daun-daunan, dan sebagainya, kemudian menjadi "bibit" penyakit pada
hewan ternak dan hewan liar lainnya, yang ujung-ujungnya juga pada manusia.
Pada awal tahun 1800-an, terjadi kepanikan di lingkungan para peternak di Eropa
dan Asia menyusul kematian mendadak pada ternak peliharaannya seperti sapi,
kuda kerbau, dan domba. Mula-mula, suhu badan ternak meninggi, kemudian
sesak napas, detak jantungnya menjadi berkurang atau melemah, kemudian
kejang-kejang dan akhirnya mati.Tahun 1850 kehadiran bakteri antraks diteliti
oleh pakar penyakit hewan terkenal di Eropa, Dr. Rayer dan Dr. Davaint dari
gumpalan darah ternak yang terjangkiti. Bakteri antraks tersebut kemudian
disuntikkan pada ternak yang masih sehat dan tidak lama berselang, ternak yang
telah disuntik dengan bakteri anthrax menunjukkan gejala yang sama dengan
ternak sebelumnya dan kemudian mati.
Di Indonesia, kasus antrax pertama kali ditemukan di Teluk Betung, pada
tahun 1984. Daerah endemis anthraks yang sering terjadi kasus antraks
adalah Jawa Barat (Bogor, Purwakarta), Jawa Tengah (Boyolali), NTB, NTT, DI
Yogyakarta (Sleman), Sulawesi Selatan, DKI Jakarta, Lampung, Jambi, Sumatera
Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah. Daerah-daerah tersebut merupakan
"kantong-kantong" penyebaran antraks yang sewaktu-waktu dapat menjadi pusat
ledakan wabah untuk daerah sekitarnya. Karena itulah, maka Dinas Peternakan di
semua daerah mencatat, meneliti, dan mengamati, kalau sewaktu-waktu di
daerahnya mulai ada tanda/indikasi wabah tersebut agar sedini mungkin dapat
diketahui, diatasi, atau dibatasi penyebarannya.

1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui pengertian anthraks
1.2.2 Mengetahui jenis,tanda dan gejala antraks
1.2.3 Mengetahui cara penularan antraks
1.2.4 Mengetahui cara penanggulangan dan pengobatan antraks

1.3 Manfaat
1.3.1 Mahasiswa dapat mengetahui definisi anthraks dan etiologinya
1.3.2 Mahasiswa dapat mengetahui cara penularan antraks kepada hewan
dan manusia
1.3.3 Mahasiswa dapat mengetahui cara penanggulangan dan pengobatan
antraks
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Bakteri B. anthracis
Bacillus antrachis merupakan termasuk bakteri gram positif yang
memiliki genus Bacillus dengan bentuk batang, bersama Bacillus cereus dan
Bacillus thuringiensis. Bacillus antrachis yang menginfeksi dapat menyebabkan
permasalahan utama pada pasien dengan gangguan imun dan dipengaruhi oleh
bebagai faktor. Pada seseorang sehat yang terinfeksi, dapat deitemukan adanya
kasus pneumonia fatal dan bakterimia. Diagnosis yang cepat dan tepat sangat
penting dilakukan untuk menentukan perlakuan yang sesuai karena terinfeksi
bakteri ini. Ukuran dari bakteri ini adalah 3-10 mikron dan 1-1.6 mikron. Bakteri
ini memiliki spora batang bersifat erobik yang dapat tahan dengan panas. Bakteri
ini bersifat non-motil dan non acid fast. Bacillus anthracis disebungi oleh kapsul
yang tersusun dari poly d-glutamate-protein, memiliki isi yang tersusun dari 10-
25% bikarbonat, serum albumin, abu, dan pati.
Spora dari bakteri antraks dapat tahan pada tanah berpuluh puluh tahun.
Infeksi oleh bakteri antrax dapat terjadi pad kondisi yang tidak terduga. Bakteri
antraks memiliki kelemahan, yaitu pekembangannya dapat dihambat oleh Kalsium
Klorin, tetapi memiliki ketahanan terhadap pengerinag, sinar UV, sinar gamma,
dan pemanasan.
Karakteristik dari kultur Bacillus antrachis adalah mampu hidup mada
suhu 35-37° C. Suhu ini merupakan suhu rentang manusia, sehingga dapat
berkembang baik dalam tubuh manusia. Suhu optimum untuk sporulasi adalah 25-
30°C. Bacillus antrachis memiliki kemampuan tumbuh pada media biasa, grey
white (Agar Darah domba). Kultur dari bakteri inui bersifat irregular dan non
hemolitik. Kultur bakteri ini memiliki ketahanan yang kuat dan bertekstur kasar.
Pada biakan LPF, terbentuk koloni seperti kepala medusa. Sudut dari koloni
berbentuk panjang, dengan ikatan basil yang terhubung (Klee et al. 2006).
Infeksi antraks dapat terjadi melalui empat tipe, yaitu antraks kutaneus,
antraks gastrointestinal, antraks inhalasi, dan antraks yang terjadi melaui injeksi.
Antraks kutaneus merupakan hasil dari spora yang masuk melalui luka kecil yang
ada pada kulit. Bentuk dari penyakit ini adalah adanya luka pada wilayah yang
terinfeksi yang meningkat menjadi ulcer yang ditutupi oleh eschar (lapiran hitam).
Persentase kejadian antraks kutaneus pada manusia mencapai 95% kejadian dari
pelaporan antraks. Antraks kutaneus dapat terjadi karena pengaruh aerosol.
Antraks gastrointestinal terjadi sebagai akibat mengonsumsi daging hewan yeng
terinfeksi bakteri. Saluran intestinal, mulut dan kerongkongan dapat terinfeksi.
Pada kasus ini, intensitas kejadi lebih dipengaruhi oleh bakteri itu sendiri
dibandingkan oleh sporanya. Sehingga, kejadiaan ini, tidak diduga bersal dari
aerosol spora. Antraks inhalasi merupakan hasil hari masuknya bakteri ke dalam
paru-paru. Kejadiaan ini merpakan kejadian yang paling diperhatikan karena
masuknyanya bakteri secara aerosol ke paru-paru. Antraks yang berhubungan
dengan injeksi merupakan kejadian ynag baru ditemukan. Kejadian ini terjadi di
Eropa pada pengguna obat intravena.

2.2 Etiologi
Anthrax merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Bacillus
anthracis yang termasuk ke dalam family Bacillaceae. Penyakit ini dapat
meninfeksi hewan terutama herbivora dan juga manusia. B. anthracis merupakan
bakteri gram positif, berbentuk batang, aerobik, tidak motil, memiliki kapsul dan
membentuk spora serta lebarnya 1 – 1.5 µm dan panjang 5 – 6 µm. Bakteri ini
seperti barisan batang panjang dengan ujung-ujungnya siku apabila diamati di
bawah mikroskop (Gambar 1a) sedangkan di dalam tubuh inang, B. anthracis
tidak terlihat rantai panjang dan biasanya tersusun secara tunggal atau pendek
serta melindungi dirinya dalam kapsul serta akan membentuk spora di luar tubuh
inang segera setelah berhubungan dengan udara bebas (oksigen). B. anthracis di
luar tubuh inang akan bersporulasi pada suhu 14 – 42 °C dengan suhu optimum 21
– 37 °C. Spora B. anthracis berbentuk oval dan dilepaskan setelah bakteri lisis.
Sporulasi terjadi dalam waktu 48 jam dan akan terhabat jika pada konsentrasi
CO2 yang tinggi. Spora antraks akan mengalami germinasi menjadi bentuk
vegetatif bila masuk ke dalam lingkungan yang kaya nukleotida, asam amino dan
glukosa, seperti yang ditemukan dalam darah dan jaringan binatang atau manusia.
B. anthracis mudah ditumbuhkan pada berbagai media. Bakteri ini ditumbuhkan
pada media yang mengandung darah tanpa antibiotika untuk mendapatkan koloni
yang berkarakteristik. B. anthracis tumbuh subur pada pH media 7.0 – 7.4 dengan
lingkungan aerob. Suhu pertumbuhan berkisar antara 12 – 45 °C dengan suhu
optimumnya 37 °C. Setelah masa inkubasi 24 jam, koloni B. anthracis tampak
sebagai koloni yang besar, opak, putih keabu-abuan dengan tepi tak beraturan. Di
bawah mikroskop, koloni tersusun seperti susunan rambut sehingga sering disebut
sebagai bentuk kaput medusa. Koloni bakteri ini bersifat sticky sehingga jika
diangkat dengan sengkelit akan membentuk formasi seperti stalaktit (beaten
eggwhites appearance). Jika kuman ditumbuhkan selama 3 – 6 jam pada suhu 37
°C pada media yang mengandung penisilin pada kadar 0.05 – 0.5 unit/ml, maka
secara mikroskopik akan terbentuk kuman sferis besar dalam bentuk rantai
(fenomena string of pearls). B. anthracis tidak menyebabkan hemolysis darah
domba dan reaksi katalasenya positif. Bakteri ini mampu memfermentasi glukosa
dan menghidrolisa gelatin tetapi tidak memfermentasi manitol, arabinosa dan
xilosa. Bakteri ini menghasilkan lesitinase, sehingga membentuk zona opaq jika
ditumbuhkan pada media EYA (Egg-Yolk Agar).

2.3 Gejala Klinis


Gejala klinis yang terjadi, ditentukan dari asal kejadian masuknya bakteri
antraks tersebut. Antraks inhalasi memiliki waktu inkubasi 2 hari sampai 6-8
minggu setelah terpapar. Gejala yang muncul, yaitu demam, sakit kepala, nyeri
otot. Apabila tidak ditangani, infeksi ini akan memengaruhi pernapasan, dada
sesak, shok, bahkan kematian. Pada kejadian komplikasi dapat menyebabkan
meningitis. Pada gambaran dada (rontgen), terjadi pelebaran mediastinum,
pembesaran dan perbarahan limfonodus, dan adanyanya cairan darah yang
terkulpul pada paru-paru. Fatalitas pada kasus inhalasi antraks yang tidak
ditangani mencapai 90%, sedangkan untuk kasus tertangani dapat kurang dari
50%.
Antraks kutaneus memiliki waktu inkubasi satu sampai duabelas hari,
bahkan lebih sering terjadi satu hari. Gejala klinis yang muncul adalah adanya
luka kecil pada daerah yang terinfeksi yang meningkat menjadi ulcer yang
ditutupi oleh eschar (lapiran hitam). Terjadi pembengakakan pada sekitar wilayah
yeng mengalami ulcer. Sekitar 20% dari orang yang terinfeksi antraks kutaneus
ini dapat mati jika tidak ditangani dengan antibiotik, apanila tertangani dengan
antibiotik, persentasenya manjadi 1%. Antraks gastrointestinal memiliki waktu
inkubasi satu sampai enam hari setelaha paparan. Gejala klinis yang muncul pada
oropharyngeal adalah demam, ulcer pada mulut dan kerongkongan, kesulitan
menelan, dan pembengkakan limfonodus. Pada infeksi intestinal, mual, dan
muntah, bahkan diare berdarah, sakit area perut dapat terjadi. Kematian yang
terjadi tampa terapi antibiotik mencapai 40%.
Antraks yang berhubunagn dengan injeksi memiliki waktu inkubasi satu
sampai dua hari setelah injeksi. Gejala klinis yang muncul, yaitu inflamasi atau
abses pada daerah injeksi yang terkadang berkembang menjadi selulitis atau
nekrotis. Beberapa pasien meningkat menjadi sepsis tanpa infeksi ekstensif lokal.
Berdasarka pelaporan, 30% pasien mati meskipun dengan terpai mesid yang serius
(Stern et al. 2011)

2.4 Diagnosis
Sejak 10 tahun terakhir, laporan masyarakat terhadap naiknya wabah
antraks di berbagai daerah telah menjadi perhaian khusus dalam dunia medis.
Diagnosa awal terhadap gejala klinis maupun subklinis sangatlah dibutuhkan
demi mencegah naiknya wabah antraks baik pada hewan ternak maupun manusia.
Pengawasan terhadap anthrax memerlukan proses deteksi dini spora dan tanda
infeksi baik dalam skala lingkungan maupun klinik.
Diagnosa klinik terhadap cutaneous antraks dilakukan dengan pengujian
mikrobiologi tradisional seperti pewarnaan gram, pewarnaan kapsul dari sampel
swab pada lesio dan kultur. Pemilihan media kultur B. anthracis cukup penting
dalam memastikan adanya infeksi berdasarkan sampel dilapangan. Media selektif
dengan komposisi polymyxin-B, lysozyme, EDTA dan thallous acetate telah
dilaporkan dapat digunakan sebagai media isoiasi B. anthracis (Marston. 2008).
Media lain seperti agar bikarbonat dapat merangsang pertumbuhan kapsul dengan
kepentingan identifikasi B. anthracis. Akan tetapi, bakteri lain seperti B.cereus
dan B.subtilis juga tumbuh baik dalam media tersebut sehingga nilai utilitas dinlai
kurang dalam mengidentifikasi antraks dan menyebabkan hasil positif
palsu.Teknik Immunofluoresens juga dapat digunakan sebagai metode identifikasi
langsung spora dari B.anthracis.
Diagnosa secara serologik (Serodiagnosis) adalah salah satu prinsip
diagnosis berdasarkan reaksi pertahanan tubuh terhadap adanya infeksi
mikroorganisme patogen, baik itu bakteri, virus, cendawan, dan toksin. B.
anthracis dapat menghasilkan toksin yang disebut Anthrax toksin. Anthrax toksin
terdiri dari komponen cell-binding protein (Antigen protektif/PA), dan dua
komponen enzim antara lain edema factor (EF) dan lethal factor (LF). Ketiga
komponen protein tersebut bekerja secara bersamaan memunculkan dampak
fisiologis pada tubuh.(Quinn.2004)
Diagnosa cepat terhadap anthrax sebelum munculnya gejala dan simptom
dapat membantu proses pengobatan terutama dalam upaya pencegahan infeksi
laten dan akumulasi toksin. Deteksi dini toksin antraks pada plasma dan serum
dapat menjadi informasi penunjang terapi yang sangat membantu dalam proses
pengobatan

2.5 Cara penularan dan epidemiologi


Pada penyakit antraks agent utamanya yaitu bakteri Bacillus anthracis.
Bacillus anthracis adalah organisme berbentuk batang yang sifatnya aerobik,
gram positif, tidak bergerak, dan mampu membentuk spora . Dalam kondisi tidak
kondusif untuk tumbuh dan memperbanyak diri, maka kuman akan mulai
membentuk spora. Untuk pembentukan spora diperlukan keberadaan oksigen
bebas. Dalam situasi alamiah, siklus vegetatif terjadi dalam lingkungan rendah
oksigen dari induk semang terinfeksi, dan dalam tubuh induk semang organisme
tersebut secara khas berada dalam bentuk vegetatif. Begitu berada di luar tubuh
induk semang, spora mulai terbentuk dengan terdedahnya bentuk vegetatif
terhadap udara. Bentuk spora esensialnya adalah fase eksklusif di lingkungan.
Meskipun belum pernah diteliti di Indonesia, lalat dianggap mempunyai
peran penting dalam menyebarkan antraks secara mekanis terutama pada situasi
wabah hebat di daerah endemis. Kebanyakan lalat pengigit (biting flies) dari
spesies Hippobosca dan Tabanus bertindak sebagai penular yang bertanggung
jawab terhadap terjadinya perluasan wabah besar di Zimbabwe pada 1978-1979,
dimana lalat meloncat dari satu komunitas ternak ke komunitas lainnya. Lalat
makan cairan tubuh bangkai ternak terjangkit antraks dan kemudian
mendepositkan feses atau muntahan yang mengandung kontaminan kuman dalam
jumlah besar pada helai daun pepohonan dan semak-semak di sekitarnya.
Secara umum pada mayoritas laporan manusia dan hewan ternak itu
sendiri. menjadi host pada penyakit antraks. Manusia yang terkena penyakit
antraks ditularkan melaui Kontak langsung dengan hewan sakit, Menghirup spora
dari hewan yang sakit, spora antraks yang ada di tanah/rumput dan lingkungan
yang tercemar spora antraks maupun bahan-bahan yang berasal dari hewan yang
sakit, seperti kulit, daging, tulang, dan darah., Mengkonsumsi daging hewan yang
sakit/mati dan produknya karena antraks dan Pernah dilaporkan melalui gigitan
serangga Afrika yang telah memakan bangkai hewan yang tertular kuman
Antraks, serta Penularan dari manusia ke manusia jarang terjadi.
Lingkungan yang kemungkinan penyebaran penyakita ntraks lebih cepat
yaitu pada daerah peternakan dan pada iklim kering dan cuaca panas. Dalam hal
ini, iklim kemungkinan mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung
cara bagaimana ternak kontak dengan spora antraks. Sebagai contoh, selama
periode kering ternak merumput lebih dekat dengan tanah oleh karena kebanyakan
tanaman atau vegetasi menjadi layu dan juga meranggas, sehingga membuka lebih
besar kemungkinan spora antraks tertelan oleh ternak. Begitu juga pola perilaku
musim meningkatkan kemungkinan pendedahan terhadap spora antraks.
Terjadinya wabah antraks dilaporkan seringkali didahului dengan perubahan
ekologi atau iklim yang jelas, seperti banjir atau hujan yang diikuti dengan
kekeringan.
Manusia tertular antraks baik secara langsung maupun tidak langsung.
Tiga modus penularan antraks ke manusia yang umum diketahui sejak lama yaitu
melalui kulit, melalui pencernaan, dan melalui pernafasan. Antraks kulit (antraks
kutaneus) biasanya menjangkiti orang yang melakukan penjagalan, pengulitan
atau pembedahan karkas terinfeksi atau juga penanganan kulit, wol atau bulu
hewan yang terkontaminasi spora antraks. Umumnya penyakit terjadi setelah
kuman atau spora masuk ke jaringan kulit melalui luka lecet/luka tergores.
Dimulai dengan lepuh kecil, kemudian secara cepat membentuk bisul bernanah
dan setelah itu menjadi koreng berwarna hitam (black scab).
Antraks pencernaan atau antraks lambung (antraks gatro-intestinal)
biasanya ditularkan akibat kuman atau spora yang tertelan lewat mulut. Biasanya
akibat makan daging terinfeksi yang tidak dimasak secara matang dari ternak
lokal atau satwa liar. Penularan dari ternak lokal umum terjadi di negara-negara
berkembang (termasuk Indonesia) dimana tidak dilakukan pemeriksaan daging
atau vaksinasi ternak sesuai dengan kaidah kesehatan masyarakat veteriner dan
kesehatan hewan yang benar.
Antraks pernafasan (antraks pulmonal) akibat terhirupnya spora antraks
yang sangat kecil sekali, dengan diameter 1-5 mikron. Biasanya kasus ditemukan
pada para pekerja pabrik wol, akan tetapi dari statistik antraks di dunia pernah
juga tercatat menyerang seorang pemain bola, seorang pekerja konstruksi yang
menangani kain wol terkontaminasi, seorang perempuan yang memainkan alat
musik bongo terbuat dari kulit ternak terinfeksi, dan seorang perempuan lain yang
tinggal dekat dengan pabrik penyamakan kulit. Namun demikian, tingkat kejadian
antraks pernafasan di negara-negara industri tetap rendah dan tidak dianggap
sebagai masalah kesehatan masyarakat.
Pada manusia, angka fatalitas kasus (case fatality rate) dari antraks kulit
biasanya hanya 20% apabila tidak diobati. Sedangkan pada antraks pencernaan
berkisar antara 25-75%, dan antraks pernafasan biasanya sangat fatal (100%).

2.6 Terapi dan pencegahan


Terapi antraks diberikan dengan kombinasi antibiotik Siprofloksasin 2 x
400 mg, Klindamisin 3 x 900 mg, Rifampisin 2 x 300 mg Lama pemberian
antibiotik masih belum disepakati, namun banyak literatur yang menyebutkan
antibiotik dapat diberikan 7-10 hari.
Pada kasus antraks yang dicurigai resisten terhadap penisilin dapat
digunakan imipenem atau vankomisin. Kuman antraks dapat menghasilkan enzim
penisilinase, yang akan merusak zat aktif penisilin. Penisilin G 4 x 4 juta unit
adalah antibiotik pilihan pada kasus cutaneous antraks, alternatifnya adalah
tetrasiklin.
Antraks adalah penyakit yang berbahaya, angka kematian kasus inhalation
antraks adalah 80%, cutaneous antraks 20 %. Namun, dengan diagnosis awal yang
cepat dan pemberian antibiotik sedini mungkin, kasus antraks akan mudah
disembuhkan. Edukasi yang penting disampaikan kepada masyarakat adalah
antraks tidak bisa menular dari manusia ke manusia. Penularan antraks terjadi
melalui kontak pasien dengan hewan yang terinfeksi. Makan daging yang
terinfeksi kuman antraks. Menghirup udara yang mengandung spora antraks.
Terinjak tanah yang mengandung kuman antraks.Vaksin bakteri antraks tersedia
(AVA/anthrax vaccine adsorbed) namun tidak bisa diberikan sebagai post-
exposure prophylaxis

Anda mungkin juga menyukai