Anda di halaman 1dari 33

DIAGNOSTIK PATOLOGI Tanggal Pelaksanaan

FKH 515
Patologi (08/02/2021-07/03/2021)

LAPORAN KEGIATAN PPDH


DIVISI PATOLOGI
08 FEBRUARI 2021 – 07 MARET 2021

Disusun oleh:

Muhammad Farhan, SKH B0901201035

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Diagnostik Patologi Tanggal Pelaksanaan


FKH 515
Patologi (08/02/2021-07/03/2021)

LAPORAN KEGIATAN PPDH


DIVISI PATOLOGI
08 FEBRUARI 2021 – 07 MARET 2021

Disusun oleh:
Muhammad Farhan, SKH B0901201035

Menyetujui,

Koordinator Mata Kuliah Dosen Penanggung Jawab Diagnostik


Diagnostik Patologi Patologi

Drh Mawar Subangkit, MSi, PhD, APVet Drh Mawar Subangkit, MSi, PhD, APVet
NIP 19850522 201012 1 006 NIP 19850522 201012 1 006

Mengetahui,
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan
Fakultas Kedokteran Hewan IPB

Prof Drh Ni Wayan Kurniani Karja, MP, PhD


NIP. 19690207 199601 2 001

Tanggal Pengesahan:
DESKRIPSI KEGIATAN DIAGNOSTIK PATOLOGI
MINGGU PERTAMA

Hari pertama (Senin, 08 Februari 2020)

Pertemuan dengan Staff Divisi Patologi


Pertemuan pertama perkuliahan daring dilakukan dengan media video
conference menggunakan aplikasi Zoom. Pertemuan ini dihadiri oleh semua staf
pengajar divisi Patologi dan semua mahasiswa kelompok A. Pertemuan pertama
dimulai dengan perkenalan masing-masing dari pihak mahasiswa maupun dosen,
kemudian dilanjutkan dengan penjelasan teknis pembelajaran dan jadwal kegiatan
yang akan dilakukan selama kurang lebih satu bulan.

Gambar 1. Dokumentasi Pertemuan dengan staff Divisi Patologi

Diskusi dengan Drh Vetnizah Juniantito, PhD, APVet


Diskusi dilaksanakan pada pukul 09.00-11.00 WIB kemudian dilanjutkan
pada pukul 13.00-15.00 WIB melalui video conference dengan aplikasi Zoom.
Drh Vetnizah kemudian mendemonstrasikan kepada mahasiswa bagaimana cara
menggunakan newLMS IPB sebagai media pembelajaran sekaligus media
komunikasi. Semua materi bahan diskusi sudah diupload ke newLMS secara
berkala oleh staf divisi Patologi, sehingga diharapkan mahasiswa sudah
memperoleh bahan bahan bacaan yang cukup sebelum memulai perkuliahan.
Akhir sesi diskusi, mahasiswa mendapatkan tugas individu yang terdapat
pada newLMS IPB yaitu mengenai pembahasan kasus pada video 1, kasus pada
video 2, dan kasus pada video 3. Tugas diminta untuk dikumpulkan pada hari
Jumat dengan format PDF, dikirim via email sebelum jam 12.00 WIB.
Gambar 2. Dokumentasi diskusi dengan Drh Vetnizah Juniantito

Hari kedua (Selasa, 9 Februari 2021)

Diskusi dengan Dr. drh. Sri Estuningsih, MS, PhD


Diskusi dilakasnakan pada pukul 10.00 sampai 12.00 WIB dengan aplikasi
Zoom. Diskusi membahas mengenai patologi organ limforetikuler. Selain itu,
pada akhir diskusi ini juga mahasiswa diberikan tugas untuk membuat Power
Point mengenai kasus kelainan pada organ limforetikuler dan di presentasikan
pada pertemuan selanjutnya.
Sistem limforetikuler merupakan sebuah sistem yang menjalankan fungsi
pertahanan atau imunitas tubuh. Secara umum, organ limforetikuler terdiri atas
organ limforetikuler primer dan sekunder. Organ limforetikuler primer berfungsi
untuk menghasilkan sel-sel pertahanan aktif yang berupa limfosit, monosit dan
juga disertai pembentukan RBC dan platelet. Organ limforetikuler primer terdiri
dari sum-sum tulang merah dan timus. Pada spesies unggas, terdapat organ
limforetikuler primer khusus yang disebut bursa fabrisius, yang terletak pad a
pangkal ekor bagian dorsal dari kloaka. Organ pada ayam tersebut memiliki
fungsi untuk menghasilkan dan menjadi tempat pendewasaan limfosit B. Organ
limfoid sekunder terdiri dari limpa, limfonodus, agregat limfoid (Bronchus
Associated Lymphoid Tissue/BALT, Mucosal Associated Lymphoid
Tissue/MALT, Gut Associated Lymphoid Tissue/GALT, dan payer patches), serta
pembuluh limfatik. Pertahanan secara lokal dibantu oleh sel-sel makrofag.
Terdapat beberapa jenis sel makrofag diantaranya adalah sel dendritik langerhans
pada kulit, sel debu pada peru-paru, sel kupfer pada hati, dan sel glia pada otak.
Timus merupakan organ penghasil limfosit T, sekaligus juga menjadi tempat
pematangan limfosit Tdari sum-sum tulang. Bursa fabrisius juga memiliki fungsi
yang serupa, hanya saja yang diproduksi merupakan limfosit B. Seiring
berkembangnya usia dari ayam, disertai dengan paparan antigen maka limfosit B
akan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel memori. Sel plasma merupakan
penghasil antibodi/imunoglobulin, sedangkan sel memori merupakan sel plasma
yang sudah pernah teraktivasi terhadap antigen spesifik, sehingga dapat diaktivasi
lagi sewaktu-waktu infeksi berulang terjadi.

Gambar 3. Dokumentasi diskusi dengan Dr. drh. Sri Estuningsih, MS., PhD.

Diskusi dengan Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD


Diskusi dilakasnakan pada pukul 14.00 sampai 15.00 WIB dengan aplikasi
Zoom. Diskusi membahas mengenai patologi sistem syaraf pusat. Selain itu, pada
akhir diskusi ini juga mahasiswa diberikan tugas untuk mencari gambaran
patologi anatomi beserta dengan gambaran histologi dari organ pada sistem saraf
pusat yang mengalami kelainan secara patologis.
Pemeriksaan nekropsi terhadap kelainan sistem saraf pusat hanya perlu
dil;akukan apabila hewan semasa hidupnya menunjukkan ada indikasi gangguan
saraf. Gangguan saraf misalnya paresis, paralisis, inkoordinasi, tremor, dll. Organ
pertama yang diamati dalam pemeriksaan saraf adalah otak. Tengkorak hewan
dibuka secara melintang sehingga bagian permukaan otak (gyri dan sulci) dapat
diamati.
Lesio patologis yang umum ditemui pada sistem saraf pusat meliputi
malacia, encephalitis, tumor, kongesti, hemorrhagi, dan lain-lain. Malacia
merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan kejadian nekrosa pada
jaringan otak. Malacia menyebabkan otak lebih lunak dari normalnya akibat
infark yang menyebabkan nekrosa. Encephalitis merupakan istilah terjadinya
peradangan pada jaringan otak, ditandai dengan adanya perivascular cuffing.
Perivascular cuffing terjadi karena adanya blood brain-barrier pada pembuluh
darah otak, mencegah adanya substansi dari luar otak dapat masuk menuju
jaringan otak. Kongesti pada otak ditandai dengan timbulnya pola buluh darah
pada permukaan otak. Sementara itu, haemoragi pada otak ditandai dengan
adanya darah segar maupun yang telah menggumpal menyebar pada bagian otak
dan tidak terdapat pola yang beraturan. Hemoragi salah satunya dapat terjadi
akibat defisiensi vitamin A.
Gambar 4. Dokumentasi diskusi dengan Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD.

Hari ketiga (Rabu, 10 Februari 2021)

Diskusi dengan Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MSi, APVet


Diskusi dilakasnakan pada pukul 08.00 sampai 10.00 WIB dengan aplikasi
Zoom. Diskusi membahas mengenai tehnik nekropsi sistem respirasi pada hewan
beserta beberapa perubahan yang sering ditemukan pada sistem repirasi.
Materi yang dibahas pada pertemuan ini umuimnya meliputi pemeriksaan
makroskopis pada sistem respirasi. Pertama-tama, sesaat setelah rongga thorax
dibuka tekanan negatif diperiksa terlebih dahulu dengan cara menusuk otot
interkostalis dan diamati apakah ada pergerakan diafragma. Jika ada, maka
menunjukkan tekanan negatif masih ada saat sebelum penusukan, namun jika
tidak ada, bahwa sudah terdapat ruptur atau lesio lain yang menyebabkan paru-
paru kehilangan tekanan negatifnya. Tekanan negatif perlu diperiksa, karena
hilangnya tekanan negatif mengindikasikan adanya gangguan paru-paru lainnya,
seperti hernia diafragmatika, ruptur diafragma, adanya cairan pada rongga
thoraks, dan trauma yang menyebabkan fraktur os costae atau ruptur intercostae
Pengamatan terhadap situs viscerum rongga thoraks meliputi pemeriksaan
terhadap adanya cairan atau eksudat, serta perlekatan pada setiap organ.
Pengeluaran organ dilakukan dengan memotong otot di ventral mandibula dan
menarik lidah hingga trakea, esofagus, paru-paru, dan jantung terlepas dari
pertautannya. Pemeriksaan hidung dan sinus dilakukan jika terdapat discharge
atau adanya sejarah epistaksis pada hewan. Pembukaan sinus dapat dilakukan
dengan potongan secara horizontal maupun longitudinal. Pembukaan sinus pada
ayam dilakukan pada sinus infraorbitalis. Pemeriksaan laring, trakea, dan bronkus
meliputi pengamatan isi dari lumen serta keadaan mukosa. Pemeriksaan paru-paru
dilakukan dengan inspeksi untuk melihat perubahan warna, bentuk, ukuran,
adanya bungkul, dan kembung-kempis paru, palpasi untuk merasakan adanya
pemadatan, krepitasi, bungkul, dan konsistensi seperti pasir pada paru, serta insisi
untuk melihat bidang sayatannya. uji apung hanya dilakukan pada bagian paru-
paru yang mengalami kelainan.

Gambar 5. Dokumentasi Diskusi Bersama Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MSi, APVet

Diskusi dengan Prof. Drh. Agus Setiyono, MS, PhD, APVet


Diskusi dilakasnakan pada pukul 13.30 sampai 15.00 WIB dengan aplikasi
Zoom. Diskusi membahas mengenai kasus Q Fever. Q fever merupakan penyakit
menular strategis yang disebabkan oleh infeksi bakteri Coxiella burneti. Bakteri
ini akan bertahan harian hingga tahunan di lingkungan dan akan bersifat subklinis
serta mengakibatkan splenitis dan endocarditis. Q fever dapat dideteksi dengan
IHK, ELISA, atau uji dot immunobloting.
Patologi anatomi hewan yang terinfeksi Q-Fever menunjukkan adanya
hepatitis, pneumonia, splenitis, endokarditis, dan lesi pada syaraf pada infeksi
yang berjalan secara kronis aktiv. Endocarditis nodularis valvularis yang paling
banyak ditemukan menyebabkan terjadinya penurunan elastisitas katub jantung
sehingga menyebabkan gangguan hemodinamik yang ditandai dengan penurunan
Cardiac Output (CO) pada hewan dan menyebabkan kematian dalam waktu
singkat karena perubahan bersifat ireversibel.
Pada gambaran HP (HE) terlihat deplesi folikel limfoid, piknosis, karyoreksis
dan karyolisis nucleus limfoid (deplesi pulpa merah) serta infiltrasi sel radang
limfosit, neutrophil, dan makrofag. Kejadian hemosiderofag dapat berasosiasi dengan
kejadian hemoraghi dan kongesti pulpa merah.
Gambar 6. Dokumentasi Diskusi Bersama Prof. Drh. Agus Setiyono, MS, PhD,
APVet

Hari Keempat (Kamis, 11 Februari 2021)

Diskusi dengan Prof. Drh. Bambang Pontjo P., MS, PhD, APVet.


Diskusi dilakasnakan pada pukul 08.00 sampai 10.00 WIB dengan aplikasi
Zoom. Diskusi membahas mengenai kasus pangamatan patologi anatomi sistem
sirkulatori. Setelah diskusi, mahasiswa diberikan tugas untuk kegiatan literasi
mengenai kasus-kasus penyakit sistem sirkulatori dan berdiskusi melalui grup
WhatsApp hingga pukul 12.00 WIB.
Sistem sirkulatorius merupakan sistem transportasi antar organ yang
berfungsi untuk menyalurkan berbagai macam zat-zat dan materi, meliputi nutrisi,
oksigen, antibodi, plasma, dengan media berupa darah. Jantung merupakan sistem
penyusun utama dari sistem sirkulatori. Jantujng terdiri dari dua bagian utama,
yaitu atrium dan ventrikel. Kedu bagian tersebut terbagi lagi menjadi dua
berdasarkan kedua sisi (kanan dan kiri). Ventrikel memiliki fungsi sebagai bagian
untuk memompa darah ke bagian paru-paru (ventrikel kanan), dan memompa
darah ke seluruh tubuh (ventrikel kiri). Sedangkan atrium merupakan bagian
jantung yang berfungsi “menyalurkan darah” yang berasal dari paru-paru (atrium
kiri) dan dari seluruh tubuh (atrium kanan) menuju ke ventrikel untuk
dipompakan lagi keluar jantung. Darah dialirkan ke seluruh tubuh melalui arteri
dan kapiler, kemudian kembali melalui ke dalam jantung melalui vena. Pembuluh
tersebut memiliki endotel yang licin dan terdiri atas selapis sel untuk mencegah
rusaknya sel darah merah, berbeda dengan epitel yang kasar dan berlapis lapis.
Vena memiliki tunika adventitia yang lebih tebal dibandingkan dengan arteri.
Sementara itu, arteri memiliki tunika media yang lebih tebal dibandingkan dengan
vena.
Pemeriksaan makroskopis organ jantung meliputi bagian perikardium,
perototan jantung, warna, ketebalan, dan rongga jantung. Adanya peradangan
pada pericardium (pericarditis) biasanya ditandai dengan adanya peningkatan
kekeruhan paricardium menjadi opak dan tidak transparan. Pericarditis biasanya
ditemukan pada kasus collibacillosis ayam broiller disertai dengan perihepatitis
dan airsaculitis.
Kardiomiopati merupakan degenerasi otot jantung yang ditandai dengan
jantung mengalami perubahan warna menjadi pucat. Kardiomiopati dapat
diakibatkan oleh adanya kompensasi terhadap adanya atherosklerosis.
Endocarditis nodularis valvularis merupakan suatu kejadian akibat adanya infeksi
agen infeksius yang memiliki reseptor pada sel jantung secara hematogen. Salah
satu agen tersebut adalah Staphylococcus aureus. Hipertrofi pada ventrikel kiri
dapat disebabkan oleh glomerulonefritis yang mengaktivasi sistem Renin
Angiotensin Aldosteron System (RAAS).

Gambar 7. Dokumentasi Diskusi Bersama Prof. Drh. Bambang Pontjo P., MS,


PhD, APVet.

Diskusi dengan Dr. Drh. Eva Harlina, MSi, APVet


Diskusi dilakasnakan pada pukul 13.00 sampai 15.00 WIB dengan aplikasi
Zoom. Diskusi membahas mengenai teknik dan interpretasi hasil pemeriksaan
patologi anatomi sistem digesti.
Pemeriksaan saluran pencernaan dimulai dari pemeriksaan rongga mulut.
Lesio yang umum ditemukan pada rongga mulut meliputi hemorrhagi, stomatitis,
glossitis, dan lain-lain. Stomatitis dapat ditandai dengan adanya lesi papula
maupun difterik. Glossitis merupakan peradangan pada lidah misalnya terdapat
lesi ulcus uremicus akibat uremia ditandai dengan lesi iskemia vaskular. Ureum
merupakan zat yang bersifat iritan karena bersifat asam dan menyebabkan
asidosis.
Organ selanjutnya yang diperiksa adalah esofagus. Lesio yang ditemui pada
esofagus umumnya merupakan ada nodul, hemorrhagi, eksudat, dan lain- lain.
Selain itu, pada esofagus juga sering terjadi obstruksi, stenosis, dan striktura.
Stenosis merupakan obstruksi akibat adanya penyempitan, sementara itu striktura
merupakan pengerutan akibat fibrosis pada proses persembuhan. Kelainan yang
sering ditemukan pada lambung diantaranya adalah kekosongan pada lambung,
hiperemi, hemoragi, dan ulkus. Hemorrhagi dapat terjadi akibat infestasi cacing
atau parasit lainnya. Pendarahan akibat infestasi parasit tersebut jika bercampur
dengan asam lambung dan kemudian tercerna enzim pencernaan di usus
menyebabkan digesta berubah menjadi warna hitam.
Peradangan pada usus dapat terjadi pada bagian serosa dan mukosa. Jika
terdapat tanda-tanda peradangan pada serosa usus, besar kemungkinan terjadi
peradangan pada peritoneum yang menyentuh langsung bagian serosa usus. Usus
perlu disayat terbuka secara memanjang agar dapat melihat bagian lumen.
Kelainan pada mukosa usus umumnya berupa enteritis, baik disertai eksudat
purulent (pus), hemorrhagic (darah), maupun katarrhal (lendir), dan fibrinous.
Gangguan pada rongga perut disebut ascites, umumnya terjadi sebagai efek
samping langsung dari gangguan sirkulasi. Ascites merupakan pengisian ruangan
intersisial dengan cairan plasma yang merembes keluar dari kap[iler. Penyebab
ascites bisa disebabkan oleh malnutrisi, maupun gangguan kongestif jantung.

Gambar 8. Dokumentasi Diskusi Bersama Dr. Drh. Eva Harlina, MSi, APVet

MINGGU KEDUA

Hari pertama (Senin, 15 Februari 2020)

Diskusi dengan Drh Vetnizah Juniantito, PhD, APVet


Diskusi dilaksanakan pada pukul 08.00-10.00 WIB melalui video
conference dengan aplikasi Google Meet. Diskusi membahas mengenai introduksi
tehnik patologi khususnya tehnik biopsi dan pewarnaan khusus pada jaringan
yang dibiopsi. Setelah melakukan diskusi mahasiswa mendapatkan tugas individu
yang terdapat pada newLMS IPB yaitu mengenai pembahasan kasus pada video
4, kasus pada video 5, dan kasus pada video 6. Tugas diminta untuk dikumpulkan
pada hari Jumat dengan format PDF, dikirim via email sebelum jam 12.00 WIB.
Biopsi merupakan metode pengambilan jaringan pad hewan hidup yang
bertujuan untuk mendukung diagnosa klinis. Indikasi dilakukannya biopsi adalah
untuk mengidentifikasi penyebab lesio hingga ke tahap histologi, sehingga dapat
menentukan pemilihan terapi yang tepat dan spesifik. Biopsi juga mampu menilai
keparahan dari suatu lesi dan mengidentifikasi tipe lesio yang tidak mampu
dibedakan melalui mata dan pemeriksaan fisik.
Terdapat dua metode biopsi, yaitu tipe cytological sampling dan tissue
sampling. Sampling berbasis cytologik dilakukan pada lesi eksfoliatif atau cairan
dengan Fine Needle Aspiration (FNA). Cytologi sampling hanya bisa digunakan
untuk melihat jenis sel, prosesnya sangat cepat, tidak perlu fixasi, dan pewarnaan
yang biasa digunakan adalah papanicolo, giemsa, serta HE. Liquid biasanya yang
diambil adalah darah/ nanah, preparat ini harus difixasi dengan etanol, diwarnai
dengan papnicolo dan giemsa, serta dapat melihat jenis selnya. Fine needle
aspiration (FNA) dilakukan dengan memasukkan jarum dengan bantuan USG/
dengan CT-Scan. Tipe biopsi tissue sampling dilakukan sengan membuat slid/
preparat yang memerlukan waktu 24 jam- 2 hari dan harus difixasi dengan
formalin.
Pemeriksaan khusus didasarkan pada protein tertentu atau molekular dengan
mendeteksi DNA/RNA. Pemeriksaan berdasarkan protein tertentu dilakukan
dengan imunohistokimia atau imunositokimia. Sementara itu pemeriksaan
berbasis molekuler dapat memanfaatkan PCR, RT-PCR, dan FISH (Fluorosent in
Situ Hibridization). FISH merupakan metode yang diguanakan untuk mendeteksi
asam nukleat spesifik pada suatu jaringan tanpa adanya ekstraksi inti pada sel
sehingga dapat diketahui sel jenis apa yang terinfeksi. Margin dye merupakan
pewarnaan khusus yang digunakan untuk mewarnai margin atau tepian dari suatu
masa.

Gambar 9. Dokumentasi Diskusi Bersama Drh. Vetnizah Juniantito, PhD, APVet

Hari Kedua (Selasa, 16 Februari 2020)

Diskusi dengan Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD


Diskusi dilaksanakan pada pukul 09.00-11.00 WIB melalui video
conference dengan aplikasi Zoom. Diskusi membahas patologi anatomi dan
histopatologi penyakit pada saluran pernafasan dan saluran urinari. Diskusi
membahas kasus yang terjadi pada sapi, unggas, ikan, dan kucing.
Bronkhitis umumnya ditemukan adanya peningkatan mukus (lendir) pada
lumen bronkus. Berdasarkan gambaran histopatologi, paru-paru ditemukan
adanya pneumonia, emfisema, dan atelektasis. Pneumonia merupakan peradangan
pada alveol, dan ditunjukkan dengan penumpukan sel-sel radang pada dinding
alveol. Emfisema merupakan temuan berupa terjadinya ruptur dinding alveol,
sehingga menyebabkan berkurangnya elastisitas alveol dalam menampung udara,
sehingga udara tidak sepenuhnya keluar masuk secara sempurna. Hal tersebut
menyebabkan penurunan efektifitas penukaran oksigen dan karbondioksida.
Radang granulomka merupakan lesio yang ditemukan pada infeksi kronis
yang dapat ditemukan pada berbagai organ, salah satunya adalah paru-paru.
Radang granuloma ditandai dengan adanya jaringan nekrosa yang dikelilingi oleh
jaringan ikat, sel-sel raksasa, dan makrofag. Pada radang granuloma akibat
tuberkulosis, sel radang yang khas ditemukan adalah sel raksasa tipe langhans
dengan inti yang berderet di tepi agregat sel makrofag. Secara makroskopis
gambaran patologi anatomi granuloma terlihat seperti jaringan fokal nekrotik
berwarna putih atau kekuningan dengan konsistensi agak kasar dan keras.
Gagal ginjal merupakan suatu keadaan gagalnya fungsi ginjal dalam
menjaga homeostasis. Kerusakan fungsi filtrasi akibat kerusakan glomerulus akan
menyebabkan genangan pada kapsula bowman dan tubuli dan berdampak pada
hipoperfusi tubulus. Hipoperfusi pada tubulus akan menyebabkan aparatus
juxtaglomerularis melepaskan renin yang akan mengubah angiotensinogen dari
hati menjadi angiotensin I. Angiotensin I akan diubah menjadi angiotensin II oleh
Angiotensin Converting Enzim (ACE) sehingga menyebabkan vasokonstriksi
yang beimplikasi pada peningkatan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah
akan menyebabkan kerja jantung menjadi lebih berat, sehingga jantung akan
mengalami kompensasi yaitu dengan hipertrofi pada ventrikel kanan dan dilatasi
pada ventrikel kiri. Kerusakan pada jantung ditandai dengan adanya degenerasi
hidropis atau degenerasi berbutir pada myocardium. Retensi natrium
menyebabkan kalium tertahan dan beredar kembali ke dalam sirkulasi
menyebabkan hiperkalemia. Hiperkalemia akan menyebabkan gangguan pada
konduksi jantung.
Gambar 10. Dokumentasi Diskusi Bersama Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD

Diskusi dengan Dr. drh. Sri Estuningsih, MS, PhD


Diskusi dilaksanakan pada pukul 15.00-17.00 WIB melalui video
conference dengan aplikasi Zoom. Drh Estu memberikan tugas kepada mahasiswa
untuk membahas mengenai septicemia sebelum perkuliahan dimulai, sehingga
diskusi bisa berjalan lebih lancar. Akhir diskusi, mahasiswa diberikan tugas untuk
menjawab beberpa pertanyaan mengenai septisemia.
Septikemia merupakan infeksi tahap lanjutan yang berawal dari infeksi akut
yang berubah menjadi infeksi sistemik akibat penyebaran agen infeksi melalui
pembuluh darah. Agen infeksi dapat menyebar melalui pembuluh darah dan
pembuluh limfatik. Septicaemia akan menyebabkan vaskulitis, sehingga memaksa
makrofag dan neutrofil memenuhi pembuluh darah. Jika sudah parah, maka
kerusakan endotel yang mengakibatkan terbentuknya thrombus di berbagai bagian
tubuh. Secara makroskoppis kondisi ini terlihat seperti terjadinya hemorrhagi
pada berbagai bagian organ. Aktivitas platelet yang masif, akan emnyebabkan
disseminated intravascular coagulation (DIC) sehinga menyebabkan thrombus
atau darah yang membeku terbentuk di tempat yang tidak semestinya dan
menurunkan fungsi sirkulasi tubuh >> shock septic. Shock septic terjadi akibat
hipotensi dan konsentrasi darah sehat menjadi lebih rendah sehingga darah yang
beredar sedikit dan menyebabkan berhentinya fungsi vital akibat kekurangan
nutrisi dan iskemia.
Gambar 11. Dokumentasi Diskusi Bersama Dr. drh. Sri Estuningsih, MS, PhD

Hari Ketiga (Rabu, 17 Februari 2020)

Diskusi dengan Diskusi dengan Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MSi, APVet
Diskusi dilaksanakan pada pukul 08.00-10.00 WIB melalui video
conference dengan aplikasi Zoom. Diskusi membahas mengenai kasus splenitis
pada burung elang.
Splenomegali dapat diamati dari bentuk limpa yang lebih membulat dari
normal dan kapsula yang meregang (terlihat tidak keriput seperti halnya limpa
normal). Splenomegali umumnya disebabkan infeksi, tetapi dapat juga
disebabkan oleh kongesti, tumor dan infiltrasi mineralisasi (kalsium dan amiloid).
Jika terjadi splenitis, maka limpa bila disayat akan terdapat pulpa merah yang
terberai dan menempel ke sisi pisau.
Pewarnaan Congo-Red digunakan untuk mengidentifikasi kandungan
amiloid pada jaringan limpa, sedangkan pewarnaan Ziehl-Neelsen bertujuan
untuk mendeteksi bakteri tahan asam seperti mycobacterium. Pewarnaan Periodic
Acid Schiff (PAS) digunakan untuk mendeteksi polisakarida, yang umum
ditemukan pada dinding sel jamur.
Gambar 12. Dokumentasi Diskusi Bersama Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MSi,
APVet

Diskusi dengan Prof. Drh. Agus Setiyono, MS, PhD, APVet


Diskusi dilakasnakan pada pukul 13.30 sampai 15.00 WIB dengan aplikasi
Zoom. Diskusi membahas mengenai Fenomena virus COVID-19, asal-usul dan
kekerabatannya dengan yang terdapat pada hewan hingga potensi zoonosis di
masa mendatang. Diskusi ini membahas epidemiologi sekaligus patologi dari
virus corona pada hewan.
Corona virus memiliki beberapa jenis penyakit seperti SARS CoV dan
MERS CoV. SARS CoV yaitu yang diidentifikasi pada tahun 2002. Reservoir
bisa terjadi karena kelelawar, menyebar ke musangbats, dan pada manusia
terinfeksi pertama kali di Cina pada tahun 2002. MERS CoV ditemukan di timur
tengah yang menginfeksi manusia, kelelawar, dan unta pada tahun 2012.
Penelitian terkini yaitu adanya coronavirus baru yang ditemukan pada
kelelawa dengan nama RmYN02, memliki 93.3% genom sama dengan SARS-
CoV 2, analisis terhadap 302 sampel dari 227 kelelawar yang berasal dari provinsi
Yunnan, China pada paruh kedua tahun 2019. Virus membutuhkan host
intermediet (tikus) dan hewan domestik untuk berpindak ke manusia.
Perubahan patologi pada SARS-CoV-2 yaitu konsolidasi pulmonary,
pneumonia, edema, neutrofil, eritrosit, fibrin pada lumen alveolar, Tipe II
penumosite atau alveolar makrofag, sinsitium di alveolar lumen, Diffuse alveolar
damage, tipe I dan tipe II pneumocytes pada paru-paru, dan ruang hidung
.Dampak kerusakan akibat terinfeksi covid-19 pada primata menunjukkan tingkat
lesio sistem pernapasan yang signifikan dibandingkan dengan virus SARS dan
MERS, refleksi pada manusia. Coronovirus dapat hidup di berbagai hewan liar
maupun domestik yang secara klinis hewan tidak menunjukkan gejala klinis,
sehingga potensi zoonosis sangat dimungkinkan terjadi.
Gambar 13. Dokumentasi Diskusi Bersama Prof. Drh. Agus Setiyono, MS, PhD,
APVet

Hari Keempat (Kamis, 18 Februari 2021)

Diskusi dengan Dr. Drh. Eva Harlina, MSi, APVet


Diskusi dilakasnakan pada pukul 13.00 sampai 15.00 wib dengan aplikasi
Zoom. Kasus mengenai amoebiasis pada biawak ambon. Pemeriksaan keadaan
luar ditemukannya caplak pada beberapa daerah kulit. Hasil pemeriksaan patologi
anatomi menunjukan Hati terdapat banyak nekrotik, acites 20 cc. Fat pads yang
mengalami hiperemi, paru-paru terlihat berwarna pink tetapi ada bagian yang
berwarna merah tua, uji apung paru-paru tenggelam, nephritis multifocal nekrosis.
Pemeriksaan histopatologi terlihat adanya kista dan hemoragi pada usus, sel
hepatosis nekrotis, adanya parasit pada pembuluh darah dengan adanya sel radang
eusinofil dengan sitoplasma bergranul merah.
Histopatologi yang ditemukan pada organ komodo tersebut diantaranya
adalah degenerasi myocardium, nekrosa otot jantung, mineralisasi pada aorta,
mineralisasi pada alveol, hemoragi alveolaris, asteriks atau kristal urat pada
tubulus (tidak terwarnai HE), glomerulopati, kalsifikasi buluh di ovarium, ulkus
lambung oleh kapang akibat infeksi sekunder Candida sp., dan degenerasi lemak
hati.
Gambar 14. Dokumentasi Diskusi Bersama Dr. Drh. Eva Harlina, MSi, APVet

Diskusi dengan Prof. Drh. Bambang Pontjo P., MS, PhD, APVet.


Diskusi dilakasnakan pada pukul 13.00 sampai 15.00 WIB dengan aplikasi
Zoom. Diskusi membahas mengenai kasus Demodikosis pada anjing.
Pembahasan diskusi ini meliputi sejarah klinis, temuan patologi anatomi, temuan
histopatologi, dan diagnosis.
Hewan yang dinekropsi merupakan anjing betina jenis Doberman berumur 4
tahun yang ditemukan mati tiba-tiba oleh pemiliknya. Sebelunm dilaukan
pembukaan tubuh, dilakukan inspeksi terlebih dahulu pada keadaan umum luar
terhadap adanya area alopesia pada rambut di ekstremitas. Alopesia yang
ditemukan pada anjing tersebut diikuti dengan kulit yang keras, kasar, berkerak,
ada pustule, eritema, lisenifikasi, hiperpigmentasi, dan adanya respon inflamasi
ditandai dengan kulit kemerahan. Selain itu juga ditemukan area kulit yang
nekrotik. Kerak pada kulit merupakan tanda khas dari adanya infeksi scabies atau
demodex.
Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya hiperkeratosis pada
epidermis, acanthosis, dan ulserasi. Radang kronis disekeliling folikel rambut
juga ditemukan dengan infiltrasi sel-sel radang. Folikel yang mengalami radang
tidak memiliki rambut dan juga mengalami sebaceous adenitis ditandai dengan
hiperplasia kelenjar sebaceous. Koloni bakteri ditemukan juga di berbagai bagian
kulit. Demodex dengan potongan vertikal maupun horizontal juga ditemukan di
dalam folikel rambut atau di dalam lapisan dermis kulit. Demodex merupakan
tungau yang diketahui dapay membuat trowongan pada kulit dan menyebabkan
radang pada folikel rambut sehingga menyebabkan alopesia.
Pengamatan yang dilakukan secara teliti pada buluh darah, ditemukan
organisme intra eritrosit terlihat seperti titik-titik berwarna biru pada sitoplasma
eritrosit. Hal ini memunculkan kecurigaan terhadap adanya infeksi parasit darah
yaitu Babesia. Kasus ini didiagnosa sebagai demodecosis dan babesiosis. Parasit
darah umumnya menyebabkan kerusakan pada eritrosit berupa lisis sehingga agen
maupun lisisnya eritrosit akan menyebabkan radang pada limpa dan
limfoglandula. Splenitis dan limpaenitis terjadi secara umum karena adanya
mikroorganisme yang bersifat antigenik beredar dalam sirkulasi dan mencapai
kedua organ tersebut atau infeksi berjalan secara hematogen. Demodeks adalah
penyakit yang umum pada anjing, yang disebbabkan oleh parasite Demodex
canis. Terdapat dua jenis umum demodekosis pada anjing yaitu juvenile dan
adult. Juvenile demodikosis merupakan demodikosis yang terjadi pada anjing
dengan umur dibawah 2 tahun, dan sebaliknya adult demodikosis. Juvenile
demodikosis terdiri atas infeksi lokal dan sistemik. Demodikosis merupakan salah
satu tanda adanya imunosupresi pada hewan. Demodikosis juga dapat disebabkan
oleh imunosupresi yang diinduksi oleh pemberian kemoterapi seperti pemberian
kortikosteroid. Prongnosis dari penyakit demodekosis tergantung dengan penyakit
utamanya. Secara umum, kasus demodikosis menjadi penanda bagi kasus atau
penyakit utama.
Babesia disebabkan oleh parasit kelompok protozoa. Organisme babesia
sering ditemukan dalam jumlah yang banyak pada darah yang berskirkulasi
bahkan pada buluh darah perifer terutama pada tahap awal infeksi. Babesia
ditemukan banyak di dalam sitoplasma dieritrosit. Gejala penyakit ini adalah
anemia hemolitik, karena eritrosit akan mengalami lisis akibat invasi protozoa di
dalamnya, penurunan trombosit akibat peningkatan konsumsi dan penurunan
sintesa di dalam sumsum tulang, serta adanya demam (infeksi sistemik).
Kerusakan akibat babesia menyebabkan hipoksia yang berdampak pada
kerusakan organ-organ tubuh yang lain. Kerusakan eritrosit juga akan
menyebabkan pendaurulangan darah oleh limpa yang terjadi di sinusoid limpa.
Perubahan patologi yang sangat serius terjadi pada hati, ginjal, paru-paru jantung,
limpa, dan otak. Anemia hemolitik juga akan menyebabkan terjadinya
extramedullary hematopoiesis yang dimanifestasikan sebagai nodular hyperplasia
pada limpa

Gambar 15. Dokumentasi Diskusi Bersama Prof. Drh. Bambang Pontjo P., MS,


PhD, APVet.
Hari kelima (Jumat, 19 Februari 2020)

Diskusi dengan Prof Drh Ekowati Handharyani, PhD, APVet


Diskusi bersama Prof Drh Ekowati Handhayani, MS, PhD, APVet
dilaksanakan pada pukul 09.30-11.00 WIB menggunakan aplikasi zoom. Diskusi
kali ini membahas mengenai perubahan patologi pada unggas. Gangguan
pernafasan pada unggas dapat diamati dari paruh. Ayam akan mengalami panting
saat kondisi temperatur kandang lebih tinggi dari yang diperlukan. Paruh unggas
yang membuka keatas juga menunjukkan terdapat gangguan pernafasan, baik
disebabkan oleh lingkungan maupun secara patologis Selanjutnya, mata ayam
yang normal menunjukkan warna sklera yang bening, pupil tidak mengalami
miosis, konjunctriva tidak membengkak. Penyakit yang erat kaitannya dengan
mata adalah Marek’s disease, yang ditandai dengan pengecilan (mkiosis) pupil
yang cukup signifikan. Gejala ayam yang mengalami respiratori tract adalah
sneezing (bersin-bersin), less elethargg (produksi telur menurun), coughing
(batuk), lethargy (lesu/lemah), laboured breth (ngorok), dan face sweeling (muka
bengkak). Ayam yang menunjukkan kepala ke bawah/ terbalik (torticosis) adalah
gejala khas dari ND, AI, Tumor Marek, Avian Ensepaltomielitis.
Pada ayam yang terinfeksi infectius bronkitis akan menunjukkan gejala
bulu kotor sengan posisi seperti duduk mirip pinguin. Posisi mirip pnguin
disebabkan oleh oviduct berisi cairan (kista) atau banyak ovarium yang berisi
cairan (multiplecyst). Gejala dari penyakit marek adalah bulu kusut, kepala
merunduk, stunting, mata menutup, mata buram, dan ada nekrosis pada jengger.
Fowl pox memiliki gejala nodul pada jengger dan pial.

Gambar 16. Dokumentasi Diskusi Bersama Prof Drh Ekowati Handharyani, PhD,
APVet
Diskusi dengan Drh Mawar Subangkit, MSi, PhD, APVet
Diskusi bersama Drh Mawar Subangkit, MSi, PhD, APVet dilaksanakan
pada pukul 13.30-14.30 WIB. Akan tetapi, akibat adanya gangguan sinyal dari
pihak drh. Subangkit, maka diskusi dilanjutkan pada hari Senin, 22 Februari 2021
pukul 16.00-17.30 WIB. Diskusi dilakukan menggunakan aplikasi Zoom.
Diskusi umumnya bersifat review, artinya membahas materi-materi dasar
yang masih perlu dipertanyakan. Beliau menjelaskan mengenai langkah-langkah
pengambilan kesimplan berdasarkan temuan temuan patologis.
 Pertama-tama, dalam melakukan pemeriksaan post-mortem, harus
diperoleh anamnesa dan sinyalemen yang seakurat mungkin. Hal ini sangat
penting, karena informasi mengenai kadaver dapat menentukan “titik
mulai” dari jalannya penyakit. Jika tidak diperoleh, maka dokter hewan
hanya bisa mengandalkan asumsi dan temuan pada pemeriksaan saja, yang
kemungkinan besar tidak selalu menunjukkan hasil yang akurat tanpa
adanya anamnesa yang lengkap.
 Kedua, semua temuan patologis wajib dicatat. Baik yang memang bersifat
patologis, maupun yang bersifat normal terjadi (fisiologis). Didukung
dengan anamnesa dari pemilik, riwayat pengobatan, dan informasi lainnya
dapat membantu menentukan status fisiologis hewan pada saat
kematiannya.
 Ketiga, semua sistem dalam tubuh saling berhubungan. Sekalipun
misalnya diketahui terdapat masalah pada sistem organ tertentu, pasti
terdapat masalah lainnya yang muncul pada sistem organ lainnya, baik
sebagai kausa maupun akibat dari masalah yang diketahui. Seorang dokter
hewan mampu menghubungkan antara masalah organ tertentu dengan
masalah lain, sehingga diperoleh penyebab kematian secara runut dan
tepat.
 Keempat, diagnosa patologis belum merupakan diagnosis final.
Dikarenakan kondisi hewan yang sudah mati, sangat sulit untuk
memperoleh konfirmasi akan benar tidaknya penyebab kematian. Masih
diperlukan pemeriksaan diagnostik lain seperti diagnostik laboratorium.
Gambar 17. Dokumentasi Diskusi Bersama Drh Mawar Subangkit, MSi, PhD,
APVet

MINGGU KETIGA

Hari pertama (Senin, 22 Februari 2020)

Diskusi dengan Drh Vetnizah Juniantito, PhD, APVet


Diskusi dilakasnakan pada pukul 09.00 sampai 11.00 WIB dengan aplikasi
Google meet. Terdapat tugas kasus dari empat video di LMS, membahaskan topik
dari video tersebut. Antaranya patologi Blastomycosis pada kucing, patologi
gastrointestinal candidiasis pada kura-kura, patologi luka bakar pada anjing dan
patologi penyakit Marek pada ayam.
Radang granuloma merupakan salah satu lesion yang terjadi pada radang
kronis yang ditandai dengan focus kumpulan sel-sel mono nuclear yang terbentuk
akibat adanya produk non-degradable dalam tubuh atau sebagai respon
hipersensitivitas. Radang kronis disebabkan oleh rangsangan yang menetap,
seringkali berlangsung lama selama beberapa minggu atau bulan. Radang kronis
dapat terjadi sesudah radang akut atau timbul tanpa terjadinya peradangan akut.
Radang kronis karena ditandai oleh adanya sel epitrloid, limfosit, sel plasma, dan
sel raksasa di sekeliling lesion tersebut (Soldati et al. 2004). Jenis sel radang akut
yang paling sering berkembang menjadi radang kronis ialah jenis radang
supuratif. Sel-sel yang terlibat dalam proses radang kronis yaitu limfosit, sel
plasma, dan makrofag lebih banyak ditemukan dan biasanya disertai pula dengan
pembentukan jaringan granulasi yaitu menghasilkan fibrosis.
Patologi anatomi radang granuloma tampak adanya nodul-nodul seperti
keju yang bewarna putih, aspek tampak buram dan disekitarnya terdapat jaringan
fibrosis. Adanya jaringan fibrosis dikarenakan peradangan yang bersifat kronis,
sehingga sudah banyak jaringan-jaringan yang sudah nekrosis dan digantikan
dengan jaringan fibrosis. Histopatologi radang granuloma dicirikan dengan
ditemukannya sel raksasa yang mengelilingi lesion, dan disekitar lesion juga ada
sel-sel mononuclear yang mengelilingi.
Gambar 18. Dokumentasi diskusi dengan Drh Vetnizah Juniantito

Hari kedua (Selasa, 23 Februari 2020)

Diskusi dengan Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD


Diskusi dilakasnakan pada pukul 09.00 sampai 11.00 wib dengan aplikasi
Zoom. Diskusi ini membahas mengenai penyakit Runting Stunting Syndrome
(RSS) dan histopathologi pada sistem imun unggas. Penyebab utama penyakit
RSS masih belum diketahui, namun pada terdapat penelitian menyebutkan bahwa
penyebab Runting-Stunting Syndrome adalah virus RSS sama seperti makrofag
namun adanya di jaringan limfoid. Nekrosis itu berrti yang rusak adalah
parenkimnya. Kalau infiltrasi sel radang berarti sel radang yg mendatangi jaringan
tersebut. Biasanya kalau sel radang di interstitial (diantara sel). Degenerasi dan
nekrosa mempunyai ciri sepsis pada organ parenkim (hati, jantung, paru-paru,
ginjal). Artefak jaringan merupakan kesalahan operator pembuat preparat Pada
kasus ayam kekurangan nutrisi maka pergantian bulu menjadi tidak sempurna.
Sehingga pada kasus helicopter disease mengalami ini dan kekerdilan akibat mal
nutrisi diawali dengan penurunan imun.
Kasus avian tumor pada organ imun dapat mengganggu kerja dari sel T
dan sel B. Sel T berperan dalam sistem pertahanan selular, yaitu sistem
pertahanan spesifik yang melibatkan sel pengancur antibodi seperti sel mast, dan
makrofag. Sedangkan sel B berperan dalam sistem pertahanan humoral, yaitu
sistem pertahanan spesifik yang melibatkan peran antibodi pada prosesnya

Gambar 19. Dokumentasi Diskusi Bersama Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD
Diskusi dengan Dr. drh. Sri Estuningsih, MS, PhD
Diskusi mengenai toksikosis pada sapi bersama Dr Drh Sri Estuningsih,
MS., PhD, APVet dilaksanakan pada pukul 14.00-16.00 WIB menggunakan
aplikasi zoom.
Dugaan toxicosis muncul saat 22 ekor sapi mendadak mati dengan kondisi
hipersalivasi. Sapi masih beraktivitas secara normal 6 jam sebelum kematian.
Setelah dilakukan nekropsi, hasil temuan patologi anatomi berupa cyanosis pada
mukosa gingiva, hemorrhagi pada paru-paru, hemorrhagi myokard, edema
pulmonum, cardiomtyopathy, dan nekrosa hati.
Pemeriksaan dengan histopatologi menunjukkan adanya nekrosa hepatosit
pada hati, edema pulmonum, pneumonia intertisialis, infiltrasi sel radang dan
atrofi sel tubulus ginjal, nefritis intertisialis akut dan glomerulophritis akut, dan
poliencepalomalasia. Pemeriksan isi rumen pada laboratorium toksikologi
menunjukkan sapi keracunan sulfat.

Gambar 20. Dokumentasi Diskusi Bersama Dr. drh. Sri Estuningsih, MS, PhD

Hari Ketiga (Rabu, 24 Februari 2020)

Diskusi dengan Diskusi dengan Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MSi, APVet
Diskusi dilakasnakan pada pukul 15.00 sampai 17.00 wib dengan apalikasi
Zoom. Materi diskusi yaitu tentang Teknik nekropsi hewan, yang terdiri dari
Teknik nekropsi anjing dan kucing, Teknik nekropsi hewan ruminansia dan
Teknik nekropsi ungags.
Teknik nekropsi pada hewan anjing, unggas dan hewan besar. Sebelum
melakukan nekropsi hewan dilihat keadaan luar dan untuk hewan ruminansia
dilakukan pembuatan ulas darah apakah terkena antraks. Prosedur nekropsi pada
hewan pada umumnya sama diantaranya sebagai berikut, penyayatan pada kulit,
pelepasan ekstremitas, pemeriksaan subkutan dan otot, pemeriksaan ambing,
sayatan pada otot perut dan otot didekat costae terakhir, pembukaan ruang
abdomen, pelepasan dan pembukaan omentum, pembukaan ruang dada,
pemotongan otot diafragma, pemotongan tulang rusuk, pengamatan situs viserum
dan kantung jantung, pengeluaran alat tubuh ruang dada, pemotongan tulang
hyoid, pengeluaran dan pengamatan jantung dan paru, pembukaan dan
pengamatan esofagus, trachea, laring dan faring, pengamatan ginjal, hati, kantung
empedu, lambung ganda, usus, dan organ reproduksi, pelepasan persendian leher
dan kepala, pembukaan ruang otak, sinus hidung. Pada unggas biasanya
sebelumnya bulu dibasahi terlebih dahulu dan pembuatan ulas darah.
Cara pemeriksaan tekanan negative pada rongga dada, yaitu dengan
menusuk costae dan melihat apakah ada gerakan ke belakang. Chicken fat clot
adalah kumpulan dari limfosit dengan erytrosit yang menggumpal post mortem.
Hal ini bisa terjadi karena terlalu banyak jumlah limfosit yang beredar sehingga
terbentuk gumpalan putih menyerupai lemak ayam. Hal ini dapat terjadi juga pada
hewan lain dan tidak ada kaitannya dengan proses peradangan. Chicken fat clot
terjadi karena peredaran limfosit yang dibawa oleh darah dan menuju akhir
pengumpulan darah yaitu di ventrikel kiri.

Gambar 21. Dokumentasi Diskusi Bersama Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MSi,
APVet

Diskusi dengan Prof. Drh. Agus Setiyono, MS, PhD, APVet


Diskusi dilakasnakan pada pukul 13.30 sampai 15.00 WIB dengan aplikasi
Zoom. Diskusi membahas mengenai kasus-kasus patologi pada unggas.
Gumboro/IBD. Gumboro disebut juga sebagai avian nephrosis ditandai
dengan kerusakan ginjal hebat mirip dengan infeksi akibat infectious bronchitis
pada ayam dan kalkun. Ayam disebabkan oleh tipe birnavirus 1 dan kalkun
disebabkan oleh birnavirus tipe 2. Birnavirus sangat tahan terhadap desinfektan
dan sulit untuk mencegah terulangnya kasus pada kandang yang sama. Kasus
infeksi oleh tipe 1 lebih rendah seroprevalensinya pada unggas domestic. Inkubasi
terjadi selama 3-4 hari pada ayam dengan umur diatas 3 minggu dan penyakit
berakhir 5-7 hari dengan diobati atau tidak (self limiting disease).
Patologi anatomi pada bentuk klinis gumboro menunjukkan adanya
kebengkakan ginjal dengan tanda pucat. Sedimentasi asam urat sehingga terlihat
seperti cacing atau batik, myositis hemoragis, dehidrasi ditandai dengan otot dada
menjadi gelap dan kering, enteritis catharralis ditandai dengan anus yang banyak
kotoran, osteomalacia akibat eksresi kalsium berlebihan, splenitis dengan
pembengkakan limpa, bursa membengkak pada stadium dini berisi perkejuan
hingga darah (edema bursa hingga bursitis haemoragika), pada stadium lanjut
bursa akan mengalami atrofi, serta beberapa kasus menunjukkan ayam tampak
seperti menderita koksidiosis sebab tidak makan dan tidak mendapatkan
koksidiostat.
Koksidiosis juga diperburuk oleh diare sehingga koksidiostat cepat
dikeluarkan. Gejala subklinik akan terlihat pada ayam yang terinfeksi kurang dari
21 hari. Ayam tidak terlihat sakit. Kelainan tidak akan terlihat karena belum
terjadi kerusakan organ. Kasus yang ditemukan dikandang biasanya klinis,
sementara pada infeksi berikutnya pada kandang yang sama biasanya bersifat
subklinis.
HP akan menunjukkan nekrosis pada folikel limfoid bursa menimbulkan
kista pada kasus subkronis dan kronis. Nekrosis ditandai dengan inti piknosis,
karioreksis, dan kariolisis pada folikel limfoid bursa fabrisius disertai dengan
infiltrasi sel heterofil. Gambaran ini sering ditemukan pada kasus gumboro yang
akut. Kasus yang akut ini ditandai dengan adanya infiltrasi heterofil. Diagnosa
banding (IB galur nerotoksis tapi bursa tidak atrofi, marek, dan mikotoksin)
Newcastle Disease/ND. ND merupakan penyakit pernafasan dan syaraf
yang bersifat akut. Penyakit ini bersifat menyebar dengan cepat pada unggas.
Tanda umum adalah ngorok, batuk, bersin, diikuti gejala syaraf seperti tortikolis.
ND disebabkan oleh paramyxovirus (PMV-1) mirip dengan virus nipah dan
hendra (novel paramyxovirus). Bentuk klinis yaitu doyle (VVND-sistem
pencernaan), beach (NVND-pernafasan dan syaraf), baudete (mesogenik), dan
hitchner (lentogenik-seed live vaccine).
Patologi anatomi yang dapat terlihat diantaranya adalah lesi nekrotik dan
hemoragis pada usus halus, proventrikulus, dan cecal tonsil (VVND), lesi
hemoragis dan kongesti di trachea (NVND), airsaculitis dengan eksudat catarrhal
atau caseous (infeksi campuran antara virus dengan bakteri), ovarium mengalami
hemoragi stigmata (oophoritis), selulitis pada kelopak mata, dan splenitis
nekrotikan. Perlukaan pada proventrikulus mencapai lapis submukosa ditandai
dengan adanya hemoragi. Lesi khas diantaranya hemoragi proventrikulus, caecal
tonsil, dan payerpatches.
HP menunjukkan adanya atrofi neuron akibat nekrosis pada medulla
oblongata dan IHC menunjukkan virus berada di sitoplasma neuron. Diagnosa
berdasarkan lesi patognomonis hamper tidak ada. Diagnosa dilakukan dengan
ELISA dan PCR. Enteritis nekrotikan et hemoragi tidak ditemukan pada AI
sehingga dapat menjadi salah satu ciri khusus.
Coccidiosis. Koksidiosis disebabkan oleh Eimeria sp. ditandai dengan
adanya diare berdarah, penurunan berat badan, dan nafsu makan turun. Prinsip
pengobatan 3-2-3 (diberikan-istirahat-diberikan). E. tenella terutama pada
caecum. E. necatrix dan praecox berada pada usus halus. Patologi anatomi yang
ditemukan adanya caecal core. HP akan menunjukkan nekrosis ekstensif pada vili
usus halus akibat adanya skizon E. necatrix disertai hemoragi dan infiltrasi sel
radang. Diagnosa dilakukan dengan gambaran PA dicocokan dengan pemeriksaan
mikroskopik preparat natif usus. Koksidiostat yang sering digunakan adalah
quinolone, ionofor, dll.
Gambar 22. Dokumentasi Diskusi Bersama Prof. Drh. Agus Setiyono, MS, PhD,

Hari Keempat (Kamis, 25 Februari 2021)

Diskusi dengan Prof. Drh. Bambang Pontjo P., MS, PhD, APVet


Diskusi dilakasnakan pada pukul 08.30 sampai 10.30 WIB dengan aplikasi
Zoom. Sebelum perkuliahan, drh. Bambang menugaskan mahasiswa untuk
mempelajari mengenai kasus-kasus osteosarcoma dan patofisiologinyua, sehingga
nanti diskusi bisa berjalan dengan lancar. Setelah diskusi berlangsung mahasiswa
mendapatkan tugas makalah mengenai osteosarcoma yang dikumpulkan pada hari
minggu, 28 Februari 2021 pukul 12.00 WIB.
Setelah dipalpasi, terdapat metastasis pada limfoglandula regional diantara
os ulna dan os radius. Anjing sudah dalam kondisi yang parah dan menuinjukkan
prognosa yang buruk, sehingga dieuthanasia dengan metode injeksi barbiturate.
Dilakukan pengambilan radiografi pada kaki depan dan costaenya sebelum
dieuthanasia
Pada proses nekropsi, ditemukan bahwa masa metastasis sudah menjalar
menuju ke beberapa organ. Masa tumor dikaki depan kanan berdiameter 5 cm,
limfoglandula aksilaris kanan dengan ukuran 4x2x3 cm, limfoglandula
prescapularis 2 buah nodul dengan diameter 3 cm, metastasis pada limpa 3 nodul
berdiameter 0.4 cm, dan metastasis ke tulang costae kanan ke-6.
Gambaran histopatologi menunjukkan adanya svariasi sel yang sangat tinggi
dengan berbagai tipe, yaitu spindel, oval, sel raksasa, dan anaplastik. Indeks
mitotik tinggi menandakan tingginya proses pembelahan sel. Ciri sel yang
mengalami mitosis akan memiliki inti yang bergerombol seperti bunga kol serta
mengambil lebih banyak warna ungu.
Gambar 23. Dokumentasi Diskusi Bersama Prof. Drh. Bambang Pontjo P., MS,
PhD, APVet.

Diskusi dengan Dr. Drh. Eva Harlina, MSi, APVet


Diskusi dilakasnakan pada pukul 13.30 sampai 15.00 WIB dengan aplikasi
Zoom. Diskusi membahas mengenai kasus Inclusion Body Hepatitis (IBH) pada
unggas.
Diskusi dilakasnakan pada pukul 13.30 sampai 15.00 wib dengan aplikasi
zoom. Diskusi membahas tentang penyakit Inclusion Body Hepatitis (IBH )pada
unggas. Hewan pada kasus merupakan ayam parent stock berumur 10 hari dengan
gejala klinis depresi, lemah, mengantuk, sayap terkulai, dengan kematian 20%.
Pemeriksaan patologi anatomi terlihat adanya hidroperikardium, adanya hemoragi
pada otot paha, ascites, hati berwarna kunig pucat dengan hemoragi ptechie,
kelenjar proventriculus membesar, kongesti dan endapan asam urat di ginjal,
hidronefrosis. Gambaran histopatologis yang terlihat adalah adanya kumpulan sel-
sel pleomorfik mirip limfosit yang disebut limfoid di serebelum.
Sel-sel limfoid juga berada di otot jantung, sclera, proventrikulus, ganglion
perifer, bursa fabrisius, pankareas, ginjal, hati, deplesi folikel linfoid bursa
fabrisius, edema ginjal, adanya focus nekrotik di hati, dan adanya badan inklusi
intranukleus basofilik di hepatosit. IBH merupakan penyakit infeksius yang
menyerang hewan dalam keadaan imunosupresif. Dalam kasus ini, hasil PA dan
HP menunjukkan kasus IBH ini dimulai dari adanya penyakit IBD, serta ayam
juga terinfeksi Marek
Gambar 24. Dokumentasi Diskusi Bersama Dr. Drh. Eva Harlina, MSi, APVet

Hari Kelima (Jumat, 26 Februari 2021)

Diskusi dengan Prof Drh Ekowati Handharyani, PhD, APVet


Diskusi dilakasnakan pada pukul 07.00 sampai 09.00 WIB dengan aplikasi
Zoom. Diskusi membahas mengenai tata cara penulisan laporan pemeriksaan
patologi pada hasil kegiatan nekropsi atau biopsi.
Hal-hal yang penting dicantumkan dalam penulisan laporan nekropsi antara
lain meliputi anamnesa, sinyalemen, deskripsi perubahan secara lengkap,
diagnosis patologi anatomi, dan pemberian kesimpulan. Radiografi atau
diagnostic imaging yang diambil sebelum hewan mati juga dapat mendukung
ketepatan pengambilan kesimpulan.
Informasi mengenai hewan harus dilapirkan sejelas-jelasnya, seperti
identitas pemilik, waktu kematian, sinyalemen ,anamnesa dan pemeriksaan fisik.
Jika ditemukan lesi wajib dideskripsikan mencakup organ, warna, jumlah, ukuran,
dan lain sebagainya.
Tahap terakhir adalah pengambilan kesimpulan. Setelah semia informasi
sudah tersusun, maka diagnosa dapat ditegakkan terhadap perubahan patologi
yang terjadi. Berbekal informasi dari anamnesa, maka perubahan patologi yang
terjadi dapat dibedakan lebnih rinci lagi, terjadi post mortem atau terjadi
premortem. Pentingnya informasi mengenai riwayat hewan agar pengambilan
kesimpulan dapat lebih akurat dan tidak terlepas hanya sebagai “asumsi”
dikkarenakan dokter hewan tidak selalu bisa mengamati kondisi hewan saat masih
hidup.
Gambar 25. Dokumentasi Diskusi Bersama Prof Drh Ekowati Handharyani, PhD,
APVet

Diskusi dengan Drh Mawar Subangkit, MSi, PhD, APVet


Diskusi dilakasnakan pada pukul 13.00 sampai 14.00 WIB dengan aplikasi
Zoom. Diskusi membahas mengenai tata cara penulisan laporan pemeriksaan
patologi pada hasil kegiatan nekropsi atau biopsi.
Saluran cerna jarang ditemukan 100% normal saat dilakukan nekropsi.
Saluran cerna sangat mudah mengalami kerusakan atau infeksi karena merupakan
port d’entry yang besar. Esophagitis merupakan salah satu lesio yang sering
ditemukan pada unggas. Umumnya sering sekali disebabkan oleh jamur, cacing,
dan bakteri. Pox merupakan infeksi virus pada esofagus, membentuk pseudo
membran menyerupai membrandifterik dan menghambat pernafasan.
Proventrikulus menyerupai organ lambung pada mamalia, tepatnya sebagai
lambung kelenjar dimana terjadinya proses pencernaan secara kimiawi di sini.
Lumen proventrikulus dapat menghasilkan berbagai macam enzim pencernaan.
Sedangkan gizzard (ventriculus) lebih dikenal sebagai lambung otot merupakan
tempat terjadinya pencernaan secara mekanis. Permukaan gizzard dilapisi oleh
lapisan koilin. Lapisan koilin diproduksi dari enzim pada proventriculus, sehingga
bila terdapat kelainan maka ada kemungkinan terdapat masalah pada
proventriculus. Lpisan ventrikulus terdiri atas lapisan otot yang cukup tebal.
Duodenum memiliki vili yang besar dan pendek, bertujuan untuk menahan
asam dari ,lambung. Oleh sebab itu, absorbsi nutrisi tidak terjadi pada bagian ini,
melainkan disini adalah terjadinya berbagai reaksi enzimatis. Asam dari lambung
juga dinetralkan oleh sekresi empedu oleh hati agar tidak terjadi autodigesti.
Jejunum memiliki vili yang berukuran lebih panjang, dengan tujujan untuk
memperluas luas permukaan sehingga mempercepat proses penyerapan nutrisi.
Cacing paling banyak menginfeksi usus di bagian ini. Ileum merupakan bagian
terakhir dari usus, memiliki bagian lebih pipih dikarenakan penyerapan lebih
sedikit terjadi. Terdapat peyer’s patches di bagian ileum, berffungsi sebagai
sistem pertahanan lokal, disamping juga limfonodus mesenterik..
Lesio yang sering ditemukan pada hati adalah perubahan warna hati. Hewan
dengan metabolism lemak tinggi dan produksi telur tinggi akan menyebabkan hati
menjadi pucat. Fatty liver hemoraghic syndrome disebabkan oleh hati yang rapuh
akibat akumulasi lemak menggantikan hepatosit. Rupture pada hati menyebabkan
hemoragi dan menyebabkan gangguan pada airsac dalam mengalirkan udara.
Perubahan warna pada organ juga dapat sebabkan oleh toksin dan stagnasi
empedu. Aflatoksikosis akan menyebabkan peningkatan pembentukan emperu
sehingga hati menjadi kehijauan. Kapsula hati juga sering menyebabkan
terjadinya inflamasi. Inflamasi akibat bakteri akan menyebabkan lesi yang
membentuk miliary nekrosis atau perihepatitis akibat adanya penarikan
neutrophil. Cholangitis merupakan radang pada saluran empedu, sementara itu
cholecystitis merupakan radang pada kantung empedu. Gangguan fungsi empedu
dan pancreas akan menyebabkan steatorea atau adanya bolus-bolus lemak pada
usus. Pancreas meghasilkan lipase untuk memecah lemak. Pancreas biasanya
mengalami atrofi yang ditandai dengan perluasan penggantung pada duodenum
serta duodenum seakan terpelintir akibat retraksi pancreas atrofi. Reovirus dapat
menyebabkan atrovi virus sehingga menyebabkan maldigesti. Radang akut juga
ditemukan pada AI dengan adanya ptechie, sementara radang kronis dapat
disebabkan oleh marek dan AE.
Unggas tidak mengeluarkan urin tatami mengeluarkan asam urat. Kasus
tertentu terjadi deposisi asam urat dengan stagnasi urin disebut sebagai nefrosis.
Nefrosis merupakan gangguan fungsi sebelum terjadi nefritis diakibatkan oleh
kelainan metabolisme dan infeksi (salmonellosis/bakteri lain - nefritis). CIA
menyerang ginjal dan sumsum tulang sehingga regenerasi sel darah merah tidak
terjadi. Ginjal dan jantung juga memiliki hubungan yang erat. Asam urat di dalam
pembuluh darah bersifat cair dan berbentuk pasta di luar buluh darah. Tekanan
darah diatur oleh GFR atau Glomerular Filtation Rate Tekanan darah, kecepatan
darah, dan volume darah mempengaruhi GFR dan menyebabkan respon
homeostasis. Respon tersebut berasal dari induksi sel jukstaglomerularis. Induksi
terus menerus juxtraglomerularis akibat gagal ginjal akan menyebabkan aktivasi
system RAAS terus menerus sehingga menyebabkan hipertensi dan menyebabkan
degenerasi otot jantung sebagai kompensasi. Gangguan pada ginjal juga
menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan mineral dan menyebabkan
mineralisasi tipe metastatic.
Gambar 26. Dokumentasi Diskusi Bersama Drh Mawar Subangkit, MSi, PhD,
APVet

MINGGU KEEMPAT

Hari Pertama (Selasa, 2 Maret 2021)

Ujian Teori bersama Prof Drh Ekowati Handharyani, PhD, APVet


Ujian patologi anatomi dilaksanakan pada pukul 09.00-09.30 WIB
menggunakan aplikasi zoom. Soal diberikan berupa file pada grup Whatsapp dan
kemudian dijawab menggunakan Ms. Word dan dikirim melalui email langsung
ke Prof. Ekowati (ekowatieko@apps.ipb.ac.id) dan dikumpulkan hingga batas
wajtu pukul 11.00.

Gambar 1 Ujian Patologi Anatomi danTeori bersama Prof Drh Ekowati


Handharyani, PhD, APVet
Hari Kedua (Rabu, 3 Maret 2021)

Ujian Patologi Anatomi bersama Prof Drh Ekowati Handharyani, PhD, APVet
Ujian Patologi Anatomi dilaksanakan pada pukul 08.30-09.00 WIB
menggunakan aplikasi zoom. Soal diberikan berupa foto dan gambar melalui
zoom dan dijawab melalui Ms. Word dan dikirim melalui email langsung ke Prof.
Ekowati (ekowatieko@apps.ipb.ac.id) dan dikumpulkan hingga batas wajtu pukul
10.00.

Gambar 28 Ujian Patologi Anatomi bersama Prof Drh Ekowati Handharyani,


PhD, APVet

Hari Ketiga (Kamis, 4 Maret 2021)

Ujian Patologi Anatomi bersama Prof Drh Ekowati Handharyani, PhD, APVet
Ujian Patologi Anatomi dilaksanakan pada pukul 11.00-.11,20 WIB
menggunakan aplikasi zoom. Soal diberikan berupa foto dan gambar melalui
zoom dan dijawab melalui Ms. Word dan dikirim melalui email langsung ke Prof.
Ekowati (ekowatieko@apps.ipb.ac.id) dan dikumpulkan hingga batas waktu pukul
12.00.

Anda mungkin juga menyukai