FKH 515
Patologi (08/02/2021-07/03/2021)
Disusun oleh:
Disusun oleh:
Muhammad Farhan, SKH B0901201035
Menyetujui,
Drh Mawar Subangkit, MSi, PhD, APVet Drh Mawar Subangkit, MSi, PhD, APVet
NIP 19850522 201012 1 006 NIP 19850522 201012 1 006
Mengetahui,
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan
Fakultas Kedokteran Hewan IPB
Tanggal Pengesahan:
DESKRIPSI KEGIATAN DIAGNOSTIK PATOLOGI
MINGGU PERTAMA
Gambar 3. Dokumentasi diskusi dengan Dr. drh. Sri Estuningsih, MS., PhD.
Gambar 5. Dokumentasi Diskusi Bersama Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MSi, APVet
MINGGU KEDUA
Diskusi dengan Diskusi dengan Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MSi, APVet
Diskusi dilaksanakan pada pukul 08.00-10.00 WIB melalui video
conference dengan aplikasi Zoom. Diskusi membahas mengenai kasus splenitis
pada burung elang.
Splenomegali dapat diamati dari bentuk limpa yang lebih membulat dari
normal dan kapsula yang meregang (terlihat tidak keriput seperti halnya limpa
normal). Splenomegali umumnya disebabkan infeksi, tetapi dapat juga
disebabkan oleh kongesti, tumor dan infiltrasi mineralisasi (kalsium dan amiloid).
Jika terjadi splenitis, maka limpa bila disayat akan terdapat pulpa merah yang
terberai dan menempel ke sisi pisau.
Pewarnaan Congo-Red digunakan untuk mengidentifikasi kandungan
amiloid pada jaringan limpa, sedangkan pewarnaan Ziehl-Neelsen bertujuan
untuk mendeteksi bakteri tahan asam seperti mycobacterium. Pewarnaan Periodic
Acid Schiff (PAS) digunakan untuk mendeteksi polisakarida, yang umum
ditemukan pada dinding sel jamur.
Gambar 12. Dokumentasi Diskusi Bersama Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MSi,
APVet
Gambar 16. Dokumentasi Diskusi Bersama Prof Drh Ekowati Handharyani, PhD,
APVet
Diskusi dengan Drh Mawar Subangkit, MSi, PhD, APVet
Diskusi bersama Drh Mawar Subangkit, MSi, PhD, APVet dilaksanakan
pada pukul 13.30-14.30 WIB. Akan tetapi, akibat adanya gangguan sinyal dari
pihak drh. Subangkit, maka diskusi dilanjutkan pada hari Senin, 22 Februari 2021
pukul 16.00-17.30 WIB. Diskusi dilakukan menggunakan aplikasi Zoom.
Diskusi umumnya bersifat review, artinya membahas materi-materi dasar
yang masih perlu dipertanyakan. Beliau menjelaskan mengenai langkah-langkah
pengambilan kesimplan berdasarkan temuan temuan patologis.
Pertama-tama, dalam melakukan pemeriksaan post-mortem, harus
diperoleh anamnesa dan sinyalemen yang seakurat mungkin. Hal ini sangat
penting, karena informasi mengenai kadaver dapat menentukan “titik
mulai” dari jalannya penyakit. Jika tidak diperoleh, maka dokter hewan
hanya bisa mengandalkan asumsi dan temuan pada pemeriksaan saja, yang
kemungkinan besar tidak selalu menunjukkan hasil yang akurat tanpa
adanya anamnesa yang lengkap.
Kedua, semua temuan patologis wajib dicatat. Baik yang memang bersifat
patologis, maupun yang bersifat normal terjadi (fisiologis). Didukung
dengan anamnesa dari pemilik, riwayat pengobatan, dan informasi lainnya
dapat membantu menentukan status fisiologis hewan pada saat
kematiannya.
Ketiga, semua sistem dalam tubuh saling berhubungan. Sekalipun
misalnya diketahui terdapat masalah pada sistem organ tertentu, pasti
terdapat masalah lainnya yang muncul pada sistem organ lainnya, baik
sebagai kausa maupun akibat dari masalah yang diketahui. Seorang dokter
hewan mampu menghubungkan antara masalah organ tertentu dengan
masalah lain, sehingga diperoleh penyebab kematian secara runut dan
tepat.
Keempat, diagnosa patologis belum merupakan diagnosis final.
Dikarenakan kondisi hewan yang sudah mati, sangat sulit untuk
memperoleh konfirmasi akan benar tidaknya penyebab kematian. Masih
diperlukan pemeriksaan diagnostik lain seperti diagnostik laboratorium.
Gambar 17. Dokumentasi Diskusi Bersama Drh Mawar Subangkit, MSi, PhD,
APVet
MINGGU KETIGA
Gambar 19. Dokumentasi Diskusi Bersama Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD
Diskusi dengan Dr. drh. Sri Estuningsih, MS, PhD
Diskusi mengenai toksikosis pada sapi bersama Dr Drh Sri Estuningsih,
MS., PhD, APVet dilaksanakan pada pukul 14.00-16.00 WIB menggunakan
aplikasi zoom.
Dugaan toxicosis muncul saat 22 ekor sapi mendadak mati dengan kondisi
hipersalivasi. Sapi masih beraktivitas secara normal 6 jam sebelum kematian.
Setelah dilakukan nekropsi, hasil temuan patologi anatomi berupa cyanosis pada
mukosa gingiva, hemorrhagi pada paru-paru, hemorrhagi myokard, edema
pulmonum, cardiomtyopathy, dan nekrosa hati.
Pemeriksaan dengan histopatologi menunjukkan adanya nekrosa hepatosit
pada hati, edema pulmonum, pneumonia intertisialis, infiltrasi sel radang dan
atrofi sel tubulus ginjal, nefritis intertisialis akut dan glomerulophritis akut, dan
poliencepalomalasia. Pemeriksan isi rumen pada laboratorium toksikologi
menunjukkan sapi keracunan sulfat.
Gambar 20. Dokumentasi Diskusi Bersama Dr. drh. Sri Estuningsih, MS, PhD
Diskusi dengan Diskusi dengan Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MSi, APVet
Diskusi dilakasnakan pada pukul 15.00 sampai 17.00 wib dengan apalikasi
Zoom. Materi diskusi yaitu tentang Teknik nekropsi hewan, yang terdiri dari
Teknik nekropsi anjing dan kucing, Teknik nekropsi hewan ruminansia dan
Teknik nekropsi ungags.
Teknik nekropsi pada hewan anjing, unggas dan hewan besar. Sebelum
melakukan nekropsi hewan dilihat keadaan luar dan untuk hewan ruminansia
dilakukan pembuatan ulas darah apakah terkena antraks. Prosedur nekropsi pada
hewan pada umumnya sama diantaranya sebagai berikut, penyayatan pada kulit,
pelepasan ekstremitas, pemeriksaan subkutan dan otot, pemeriksaan ambing,
sayatan pada otot perut dan otot didekat costae terakhir, pembukaan ruang
abdomen, pelepasan dan pembukaan omentum, pembukaan ruang dada,
pemotongan otot diafragma, pemotongan tulang rusuk, pengamatan situs viserum
dan kantung jantung, pengeluaran alat tubuh ruang dada, pemotongan tulang
hyoid, pengeluaran dan pengamatan jantung dan paru, pembukaan dan
pengamatan esofagus, trachea, laring dan faring, pengamatan ginjal, hati, kantung
empedu, lambung ganda, usus, dan organ reproduksi, pelepasan persendian leher
dan kepala, pembukaan ruang otak, sinus hidung. Pada unggas biasanya
sebelumnya bulu dibasahi terlebih dahulu dan pembuatan ulas darah.
Cara pemeriksaan tekanan negative pada rongga dada, yaitu dengan
menusuk costae dan melihat apakah ada gerakan ke belakang. Chicken fat clot
adalah kumpulan dari limfosit dengan erytrosit yang menggumpal post mortem.
Hal ini bisa terjadi karena terlalu banyak jumlah limfosit yang beredar sehingga
terbentuk gumpalan putih menyerupai lemak ayam. Hal ini dapat terjadi juga pada
hewan lain dan tidak ada kaitannya dengan proses peradangan. Chicken fat clot
terjadi karena peredaran limfosit yang dibawa oleh darah dan menuju akhir
pengumpulan darah yaitu di ventrikel kiri.
Gambar 21. Dokumentasi Diskusi Bersama Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MSi,
APVet
MINGGU KEEMPAT
Ujian Patologi Anatomi bersama Prof Drh Ekowati Handharyani, PhD, APVet
Ujian Patologi Anatomi dilaksanakan pada pukul 08.30-09.00 WIB
menggunakan aplikasi zoom. Soal diberikan berupa foto dan gambar melalui
zoom dan dijawab melalui Ms. Word dan dikirim melalui email langsung ke Prof.
Ekowati (ekowatieko@apps.ipb.ac.id) dan dikumpulkan hingga batas wajtu pukul
10.00.
Ujian Patologi Anatomi bersama Prof Drh Ekowati Handharyani, PhD, APVet
Ujian Patologi Anatomi dilaksanakan pada pukul 11.00-.11,20 WIB
menggunakan aplikasi zoom. Soal diberikan berupa foto dan gambar melalui
zoom dan dijawab melalui Ms. Word dan dikirim melalui email langsung ke Prof.
Ekowati (ekowatieko@apps.ipb.ac.id) dan dikumpulkan hingga batas waktu pukul
12.00.