Anda di halaman 1dari 11

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

AGUSTUS 2016

UNIVERSITAS HALU OLEO

CUTANEOUS ANTHRAX

PENYUSUN :
Chici Endah Purnamasari S.Ked
K1A1 12 018
PEMBIMBING :
dr. Hj. Rohana Sari Suaib, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016

CUTANEOUS ANTHRAX

Chici Endah Purnamasari, Rohana Sari Suaib


A. Pendahuluan
Anthrax adalah zoonosis yang disebabkan oleh bakteri Bacillus
anthracis yang berhubungan dengan daerah pedesaan atau produksi
pertanian. Infeksi pada manusia sering diakibatkan langsung dari kontak
dengan ternak yang terinfeksi atau produk hewani yang terinfeksi. Meskipun
beberapa negara telah menerapkan strategi pengendalian yang sukses, anthrax
tetap muncul kembali sebagai sebuah ancaman bagi kesehatan masyarakat di
daerah-daerah dengan sistem kesehatan yang lemah. [1]
Anthrax sebagian besar mempengaruhi herbivore melalui transmisi
pada saat merumput pada tanah yang terkontaminasi. Manusia dapat ternfeksi
baik melalui hewan yang terinfeksi, bangkai atau produk hewani yang
terkontaminasi. Infeksi pada manusia dapat terjadi dalam tiga cara: [2]
1. Infeksi kulit, yang terjadi ketika bakteri memasuki tubuh melalui
kulit yang abrasi atau luka.
2. Infeksi pulmonal, yang terjadi ketika spora terhirup.
3. Infeksi gastrointestinal, yang terjadi karena konsumsi bahan yang
terkontaminasi.
Rasio

kasus

pada

manusia

di

sebuah

negara

atau

wilayah

mencerminkan kondisi ekonomi, kualitas pengawasan, tradisi sosial, perilaku


diet, dll di negara itu. Berbeda dengan hewan, Bias usia atau berhubungan
dengan seks umumnya tidak jelas pada manusia, meskipun laki-laki

umumnya memiliki tingkat risiko pekerjaan yang lebih tinggi di beberapa


negara. [3]
Gambaran klinis anthrax pada manusia bergantung pada jalur
inokulasinya. Dalam 95 persen kasus pada manusia, penyakit ini diperoleh
melalui inokulasi perkutan spora anthrax. [4]
Bentuk tersering infeksi oleh Bacillus anthracis ialah anthrax dengan
lesi kulit akut yang disebut malignant pustule. [5]
B. Epidemiologi
Kasus terjadi terutama pada laki-laki dengan kaitan pekerjaan sebagai
pemotong daging atau penyembelih hewan yang merupakan sumber infeksi
lebih umum di antara pasien laki-laki. Pengolahan atau penanganan daging
lebih umum terjadi di antara pasien wanita jika dikaitkan pula dengan
pekerjaan. Usia rata-rata pasien adalah 43 tahun. [1]
Penyakit anthrax pada manusia dapat dibagi menjadi kasus agrikultural
industrial. Kasus agrikultural tersering berasal dari kontak dengan hewan
yang terinfeksi anthrax, gigitan serangga yang terinfeksi, dan memakan
daging yang terkontaminasi. Kasus industrial berhubungan dengan paparan,
kulit yang terkontaminasi bulu, wool, atau tulang yang mengandung kuman
anthrax. [5]
C. Etiologi
Bacillus anthracis adalah kuman aerobik gram positif berbentuk batang
(basil), berkapsul, tidak bergerak, yang mempunyai kemampuan untuk
membentuk spora, dan toksin (toksin edema dan toksin letal). Kuman dapat
hidup di tanah, jaringan, atau darah yang kaya dengan asam amino,

nukleosida, serta glukosa. Kuman dalam bentuk vegetative hanya dapat


bertahan di alam kurang dari 24 jam. Menghadapi keadaan alam yang kurang
menguntungkan bagi pertumbuhan, kuman akan berubah bentuk menjadi
spora. Spora tidak berkembang biak, tetapi dapat bertahan hidup di tanah
untuk jangka waktu yang lama bahkan sampai puluhan tahun. Tahan terhadap
berbagai kondisi, seperti kekeringan, panas, radiasi dengan ultraviolet
maupun sinar gamma, dan berbagai jenis desinfektan. Karena sifatnya ini,
kuman anthrax dan sporanya yang dikeringkan telah disalahgunakan sebagai
bioterrorism.[5]
D. Patofisiologi
Spora Bacillus anthracis adalah bentuk infeksi primer. Setelah masuk
ke dalam tubuh manusia, spora Bacillus anthracis mulai tumbuh secara lokal
atau di getah bening regional setelah transportasi melalui sistem limfatik oleh
sel fagosit. Bakteri vegetatif mampu memproduksi toksin pada pertumbuhan.
Bakteri dan racun masuk ke dalam sirkulasi dan menyebar, yang
mengakibatkan penyakit sistemik, sepsis, dan, dalam beberapa kasus dapat
mengakibatkan syok septik. Bacillus anthracis memiliki tiga faktor virulensi
utama: sebuah kapsul antiphagocytic dan dua exotoxins, edema toksin (ET)
dan lethal toksin (LT). Sebagian besar morbiditas dan mortalitas yang diamati
pada anthrax dikaitkan dengan efek enzimatik racun ini. Pelindung antigen
(PA) bergabung dengan edema faktor (EF) dan lethal faktor (LF) untuk
membentuk kombinasi biner ET dan LT. PA diaktifkan oleh proteolitik dalam
darah dan jaringan; sekali diaktifkan, kompleks mengikat reseptor anthrax

toksin (ATRs) pada permukaan sel dan mempromosikan endositosis dari


kompleks toksin dan translokasi EF dan LF ke dalam sitoplasma sel target.
Dalam sitoplasma sel, EF dan LF mempengaruhi fungsi sel dan proliferasi sel
serta memodulasi respon imun. Secara bersamaan, ET dan LT meningkatkan
kapasitas Bacillus anthracis untuk menjadi downregulation dan menghindari
respon imun host. Rute dimana spora infeksius memasuki tubuh menentukan
lokasi dari pertumbuhan dan jenis anthrax yang dimanifestasikan. Spora yang
masuk melalui kulit akan menjadi antraks kulit, ketika spora tertelan maka
akan menjadi penyebab anthrax gastointestinal, dan ketika terhirup maka
akan menjadi penyebab anthrax inhalasi. [6]
E. Diagnosis
1. Gejala Klinis
Antraks kulit pada manusia dilaporkan terjadi >95% di seluruh
dunia. Lesi (eschars) umumnya ditemukan di daerah tubuh yang mudah
terpapar dan hampir selalu disertai dengan edema dari lesi. Masa inkubasi
berkisar dari beberapa jam sampai 3 minggu, paling sering 2 sampai 6 hari.
[3]

Sebagian besar pasien dengan gejala konstitusi yang ringan atau


bahkan tidak terdapat gejala, tidak demam. Pada kasus yang berat,edema
dapat massif terutama bila lesi terdapat pada wajah atau leher dan dapat
menyebabkan syok. Dapat terjadi pembesaran limfadenitis regional
nonspesifik yang nyeri tanpa tanda-tanda limfangitis lainnya.[5]
2. Pemeriksaan Fisis

a. Lokasi : pada leher, tangan, wajah dan kaki. [5,4]


b. Effloresensi: Udema dengan ulkus nekrotik atau eschar ditengahnya.

Gambar 1. Anthrax cutaneous pada wajah dan kaki[7]


3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah: [5]

1. Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan sel darah putih biasanya


meningkat terutama leukosit polimorfonuklear. Jika terjadi meningitis,
cairan serebrospinal akan menjadi hemoragik dan ditemukan banyak
basil Gram positif di dalamnya.
2. Pemeriksaan mikrobiologis akan ditemukan kuman pada pengecatan
usapan lesi kulit dengan Mc Fadyean atau tinta cina.

Gambar 2. Bacillus anthracis.[8]


3. Pemeriksaan histopatologis akan menunjukkan gambaran yang paling
mencolok adalah ditemukannya edema hemoragik, dilatasi pembuluh
limfe dan nekrosis pada epidermis.
4. Pemeriksaan biakan atau kultur, untuk konfirmasi diagnostic,
dilakukan biakan kuman dengan agar nutrisi pada 5% CO2 atau
medium suplemen basal lain dengan 0,8% natrium bikarbonat.

5. Konfirmasi adanya kuman anthrax juga dapat ditentukan dengan


pemeriksaan direct fluorescent antibody pada lesi anthrax kulit.
6. Pemeriksaan dengan metode PCR mendapatkan spesifik marker pada
anthrax ini yaitu vrrA and Ba813. [8]

F. Differential diagnosis
Differential diagnosis dari kutaneous anthrax adalah sebagai berikut.
1. Selulitis akut
Selulitis paling umum terdapat pada ekstremitas bawah, dan sering
terlihat sebagai akut, lunak, eritematosa, dan bengkak pada daerah kulit.
Dalam kasus yang parah dari blister, ulkus, edema, terkait dengan
limfangitis, dan limfadenopati dapat dijumpai. [9]
2. Furunkel/karbunkel
Keluhan nyeri, dengan kelainan berupa nodus eritematosa berbentuk
kerucut, di tengah terdapat pustule. Kemudian melunak menjadi abses
yang berisi pus dan jaringan nekrotik, lalu memecah membenruk fistel.
Tempat predileksi ialah tempat yang banyak friksi, misalnya aksilla dan
bokong. [5]
G. Penatalaksanaan[5]
1. Non-Medikamentosa
Bila dicurigai telah terjadi paparan maka yang bersangkutan
dianjurkan untuk melepaskan semua pakaian dan dimasukkan ke dalam

kantong plastic yang kemudian diikat rapat-rapat. Selanjutnya, penderita


harus mandi dengan sabun dan air yang cukup.
2. Medikamentosa
1. Terapi pilihan untuk anthrax adalah kristalin penisilin-G parenteral 2
juta unit setiap 6 jam, yang diberikan selama 7-14 hari (sampai edema
lokal menghilang atau lesi kulit mengering).
2. Selanjutnya diberikan terapi ciprofloxacin dengan dosis 20-30
mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis (maksimum untuk dewasa 500mg,
2x/hari) atau doksisiklin (100 mg 2x/hari) secara oral selama 60 hari.
3. Untuk anak dan wanita menyusui diberikan amoksisilin dengan dosis
40 mg/kgBB (BB<20 kg) dibagi tiga dosis atau 500 mg 3x/hari untuk
anak-anak BB >20 kg/ dewasa.
H. Pencegahan[8]
Semua individu yang beresiko tinggi perlu dilindungi dengan vaksinasi
untuk menahan kekambuhannya penyakit ini. Merupakan penyakit zoonosis
maka salah satu yang terpenting adalah pencegahan infeksi terutama pada
populasi ternak dari daerah endemis dengan imunisasi massal. Vaksin anthrax
standar, digunakan baik untuk manusia dan hewan adalah Anthrax Vaccine
Absorbed atau AVA yang merupakan aluminium hidroksida yang
diendapkan dan pelindung antigen ( PA ) yang dilemahkan dari non
encapsulated Bacillus anthracis sterne strain.
0,5 ml AVA

Minggu ke 1
Minggu ke 2
Minggu ke 4
Minggu ke 6
Minggu ke 12
Minggu ke 18
Booster 0,5 ml AVA
Sekali setahun
Tabel 1. Jadwal vaksin AVA sterne strain

Untuk tindakan prophylaksis untuk dugaan terkena anthrax pada manusia


yang asimptomatik, dapat diberikan
1. Doxycycline 100 mg 2x/hari selama 6 minggu ,atau
2. Ciprofloxacin 500 mg 2x/hari selama 6 minggu.
I. Prognosis
Pada dasarnya salah satu bentuk antraks bisa diobati jika diagnosis
ditegakkan sedini mungkin dan dengan terapi suportif yang tepat. Pada kasus
bentuk non-kulit, masalah yang dihadapi adalah menegakkan diagnosis secara
dini sangat sulit, sehingga ini terkait dengan angka kematian sangat tinggi.
setelah pemulihan, resolusi dari kecil untuk ukuran sedang pada lesi kulit
umumnya lengkap dengan jaringan parut yang minimal. Dengan lesi yang
lebih besar, atau lesi pada daerah yang mobile (misalnya kelopak mata),
jaringan parut dan kontraktur mungkin memerlukan koreksi bedah untuk
kembali berfungsi normal dan cacat kulit yang besar mungkin memerlukan
tindakan pencangkokan kulit. Beberapa pasien pulih dari peristiwa surat
antraks di Amerika Serikat pada tahun 2001, mengeluhkan kelelahan jangka
panjang dan masalah pada ingatan jangka pendek. Tidak ada dasar organik
untuk keluhan ini yang telah diidentifikasi tetapi mereka menunjukkan bahwa
pemulihan mungkin memerlukan minggu ke bulan tergantung pada keparahan
penyakit dan faktor yang berhubungan dengan pasien.[3]
Diagnosis klinis secara dini dan akurat, pengobatan yang tepat dan
survei epidemiologi secara

komprehensif penting untuk perkembangan

penyakit dan kontrol epidemiologi pada infeksi anthrax.[10]


Banyak kasus dari anthrax kutaneous dilaporkan sembuh secara
spontan, tetapi 5-10% berlanjut menjadi komplikasi sistemik.[11]

DAFTAR PUSTAKA
1. Kracalik I, Malania L, Tsertsvadze N, et al. Human Cutaneous Anthrax,
Georgia 2010-2012. Emerging Infectious Disease. 2014 Feb;20(2):1-4
2. Mapping the Risk and Distribution of Epidemics in the WHO African Region
A Technical Report. WHO. 2016 May.
3. Anthrax in humans and animals 4th ed. WHO. 2008
4. Wolff K, Johnson, Goldsmith LA, et al. Fitzpatricks Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology. 7th ed. New York. Mc Graw Hill Medical;
2009. Chapter 183, Miscellaneous Bacterial Infections with Cutaneous
Manifestations, P. 1755
5. Bramono K, Indriatmi W. Ilmu penyakit kulit kelamin.ed 7. Badan penerbit
FKUI, 2015. Hal 143-145
6. Clinical Framework and Medical Countermeasure Use During an Anthrax
Mass-Casualty Incident: CDC Recommendations. CDC. December 4,2015.
7. Schmid G, and Kaufmann A. Anthrax in Europe: its epidemiology, clinical
characteristics, and role in bioterrorism. European Society of Clinical
Microbiology and Infectious Diseases. 2002;8(2):1-10.
8. Dutta TK, Sujatha S, Sahoo RK. AnthraxUpdate on Diagnosis and
Management. September 2011;59:573-578.
9. Phoenix G, Das S, Joshi M. Diagnosis and management of cellulitis. BMJ. 7
August 2012.
10. Cutaneous Anthrax, Belgian Traveler: Emerging Infectious Diseases. CDC.
March 2006;12(3):523-526
11. Petkova T, Popivanov I, Doichinova T, et al. Cutaneous anthrax
contemporary clinical and epidemiological aspects. Balkan Military Medical
Review. May 19 2014

Anda mungkin juga menyukai