Anda di halaman 1dari 12

Nama : Vitra Nurdian Cahyani

NIM : 6411422098

Rombel : 3B

RESUME MK EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

Dosen pengampu: dr. Arulita Ika Fibriana, M. Kes

ANTRAKS

A. DEFINISI

Antraks adalah penyakit yang disebabkan Bacillus anthracis. Penyakit ini dapat
menyerang hewan domestik maupun liar, terutama hewan herbivora, seperti sapi, domba,
kambing, beberapa spesies unggas dan dapat menyerang manusia (zoonosis) (OIE, 2000;
ToDAR, 2002). Antraks merupakan penyakit zoonosis penting dan strategis sehingga
perlu ditangani dengan baik. Tingkat kematian karena antraks sangat tinggi terutama pada
hewan herbivora, mengakibatkan kerugian ekonomi dan mengancam keselamatan
manusia (WHO, 1998).

Antraks merupakan penyakit infeksi yang menular dari hewan ternak. Seseorang
dapat terkena penyakit antraks jika menyentuh atau memakan daging hewan yang terkena
antraks. Penyakit antraks adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
pembentuk spora Bacillus Anthracis yang biasa ditemukan di dalam tanah. Walau
biasanya menjangkiti hewan, penyakit antraks juga bisa menyerang manusia. Penyakit
antraks menyerang hewan ternak atau hewan liar, seperti sapi, domba, kambing, unta,
kuda, dan babi. Pada bangkai hewan yang terkena antraks sering terlihat adanya darah
yang keluar dari lubang-lubang kumlah seperti mulut, telinga, hidung, dan anus. Darah
tidak membeku dan biasanya limpa membesar berwarna merah kehitaman. Infeksi bisa
terjadi ketika hewan tersebut menghirup atau menelan spora bakteri yang ada di tanah,
tanaman, atau air yang telah terkontaminasi bakteri antraks. Penyakit antraks lebih umum
terjadi di negara berkembang dan negara yang tidak memiliki program vaksinasi hewan
secara rutin. Antraks umumnya menyerang ternak. Apabila anraks menyerang manusia,
hal ini terjadi karena terpapar sewaktu bekerja oleh binatang yang terinfeksi atau
produknya.
B. ETIOLOGI

Agent penyebab penyakit Antraks adalah Bacillus anthracis, pertama kali ditemukan
oleh Davaine dan Bayer (1849), yang kemudian diidentifikasi lebih lanjut oleh Pollender
(1855). Bravel (1857) berhasil memindahkan penyakit ini dengan cara menginokulasi
darah hewan yang terkena antraks. Koch (1877), dapat menguraikan sifat-sifat basil
tersebut (Cluff 1979; Christie 1983). Bacillus anthracis merupakan bakteri berbentuk
batang, ujung-ujungnya persegi dengan sudut-sudut yang nampak jelas, tersusun dua-dua
atau berderet, sehingga nampak seperti ruas-ruas bambu atau susunan batu bata,
membentuk spora, bersifat gram positif, dengan ukuran 1-2 µ m x 5-10 µ m, dan non
motil (Kemenkes, 2017).

C. KLASIFIKASI PENYAKIT
Kementrian Kesehatan RI mengklasifikasikan antraks pada manusia berdasarkan
gejala klinisnya menjadi 4, yaitu:
1. Antraks Kulit (Cutaneuous Anthrax)
Ditemukan 95% kasus penyakit antraks kulit dari keseluruhan kasus antraks di
Indonesia. Penderita antraks kulit memiliki riwayat pekerjaan kontak langsung
dengan hewan atau produk hewan yang menderita antraks. Antraks kulit dapat terjadi
pada manusia karna spora masuk melalui barier kulit.
2. Antraks Saluran Pencernaan (Gastrointestinal Anthrax)

Antraks saluran pencernaan dapat menyerang manusia akibat dari infeksi Bacillus
Anthracis melalui makanan yang tertular oleh bakteri atau spora antraks. Pekerja
peternakan yang makan dengan tangan yang tidak cukup bersih dan sudah
terkontaminasi bakteri antraks akan memungkinkan terkena antraks saluran
pencernaan. Bagian saluran pencernaan yang dapat terinfeksi oleh bakteri Bacillus
Anthracis yaitu traktus intestinal, rongga mulut atau kerongkongan.

3. Antraks Paru-paru (Pulmonary Anthrax)

Pulmonary Anthrax terjadi karena menghirup udara yang telah terinfeksi bakteri
Bacillus Anthracis yang membuat paru-paru terinfeksi. Selain itu antraks paru-paru
juga dapat terjadi sebagai akibat perluasan antraks kulit atau menghirup udara yang
mengandung spora antraks.

4. Antraks Meningitis (Meningitis Anthrax)


Antraks Meningitis merupakan antraks yang terjadi akibat dari komplikasi berbagai
antraks yang lain. Biasanya antraks bentuk ini dimulai dengan adanya lesi primes
yang seterusnya berkembang menjadi meningitis hemoragik dan kematianya dapat
terjadi antara 1-6 hari. Mortalitas hampir 100%. Terdapat tanda-tanda perangsangan
meningen, tekanan cairan serebrospinal meningkat, penurunan kesadaran. Cairan
serebrospinal (LCS) berwarna kuning keruh kemerahan, pleiositosis, lekosit 100-
100.000 per mm3, protein cairan LCS > 45 mg/dl, glukosa cairan LCS < 40 mg/dl.

Infeksi antraks umumnya terjadi melalui kontak langsung antara kulit atau membran
mukosa dengan spora Bacillus Anthracis (ketika menyembelih, memproses bagian, atau
kontak dengan produk hewan terinfeksi), mengkonsumsi daging hewan terinfeksi, dan
menghirup spora antraks.

D. SUMBER PENULARAN DAN FAKTOR RISIKO

Antraks adalah suatu penyakit zoonotik, oleh karena itu penularan dapat terjadi
diantara hewan dan dapat menular juga kepada manusia. Cara penularan yang sering
terjadi adalah sebagai berikut:

1. Penularan dari Hewan ke Hewan atau ke manusia


Penularan dapat terjadi bila hewan atau manusia terpapar dengan cairan tubuh yang
mengandung bakteri antraks atau oleh spora yang ada disekelilingnya. Kondisi tanah
dengan keasaman netral atau tanah berkapur alkalis dapat menyebabkan bakteri
antraks berkembang biak dan membentuk spora dalam jumlah yang lebih banyak.

2. Penularan melalui spora

Bakteri antraks akan dikeluarkan dari tubuh hewan melalui sekresi dan ekskresi
selama sakit atau menjelang kematiannya. Bila hewan tersebut mati di ladang maka
spora yang keluar melalui lubang-lubang kumlah spora dengan cepat akan terbentuk
dan mencemari tanah atau obyek lain di sekitarnya. Bila sudah terjadi hal demikian
maka sulit untuk memusnahkan spora yang sudah terlanjur terbentuk sehingga
tersebar mencemari lingkugan. Spora antraks juga ikut terbongkar pada saat petani
melakukan pengolahan tanah dan selanjutnya terbawa oleh aliran air di musim hujan
atau terbawa oleh limbah cair ke tempat lain. Spora di permukaan tanah juga dapat
terkikis oleh gerusan aliran air hujan ke parit di sekitar lokasi dan terbawa ke tempat
yang cukup jauh.

3. Penularan melalui hewan dan pakan ternak

Rumput yang dipangkas untuk pakan ternak sangat 18 Petunjuk Teknis Pencegahan
dan Pengendalian Antraks berpotensi membawa spora dan berisiko menularkan
antraks dari satu daerah ke daerah lainnya. Selain itu juga akibat dari hewan ternak
yang digembalakan di daerah tercemar spora antraks, dan merumput sampai pangkal
batang yang berdekatan dengan tanah pada saat mulai musim penghujan dimana
rumput masih pendek.

4. Penularan melalui konsentrat atau bahan pakan dari hewan

Penularan melalui konsentrat protein yang terkontaminasi oleh spora antraks ini
pernah terjadi di Inggris dan Amerika Serikat. Indonesia telah melarang pemberian
tepung tulang kepada ruminansia untuk menghindari penularan antraks dan sapi gila
(BSE).

5. Penularan dari bahan produk industri asal hewan


Penularan antraks pada orang yang disebabkan oleh secara tidak sengaja terpapar
dengan spora yang terbawa oleh produk ternak misalnya penyamakan kulit,
pembuatan wool.

Berdasarkan lokasi dari sumber penularan, dikenal tiga macam penyakit antraks yaitu:

1. Antraks kawasan industri (Industrial anthrax). Misalnya pabrik wool, kulit, tepung
tulang, dsb.

2. Antraks daerah pertanian (Agricultural anthrax)

3. Antraks yang terjadi di laboratorium. Misalnya infeksi dari hewan-hewan percobaan


seperti tikus putih, marmut, kelinci, dsb.

Hewan mamalia, seperti sapi, kambing, domba, dan manusia, dapat terinfeksi melalui
tiga cara utama :

1. Antraks Kulit (Cutaneous Anthrax)

Infeksi terjadi ketika spora Bacillus anthracis masuk ke dalam tubuh melalui luka atau
goresan pada kulit. Penularan terjadi ketika seseorang menyentuh kulit, bulu, tulang, atau
daging hewan yang terinfeksi. Namun, ada kemungkinan bahwa seseorang juga dapat
terinfeksi antraks kulit dari kontak dengan luka di kulit penderita antraks. Antraks kulit
merupakan jenis antraks yang paling sering terjadi, tetapi tidak berbahaya. Gejala anthrax
kulit baru berkembang 1–7 hari setelah paparan. Gejala umumnya termasuk pembentukan
lecet berwarna hitam di kulit (lesi eschar), kemerahan, bengkak, demam, dan menggigil.
Case fatality rate nya mencapai 25%.

2. Antraks Paru (Pulmonary Anthrax)

Antraks pernapasan merupakan antraks yang paling berbahaya. Bentuk ini lebih jarang
tetapi lebih serius. Infeksi biasanya terjadi ketika seseorang menghirup spora bakteri dari
udara yang terkontaminasi. Infeksi akibat antraks pernapasan biasanya baru berkembang
setelah 7 hari hingga 2 bulan sesudah paparan terhadap spora. Gejala awal mirip dengan
flu, tetapi kemudian berkembang menjadi sesak napas, demam tinggi, batuk berdarah, dan
bisa berujung pada kematian. Case fatality rate nya mencapai 80%.

3. Antraks Usus (Gastrointestinal Anthrax)


Bentuk ini juga jarang pada manusia dan terjadi setelah mengonsumsi daging hewan
yang terinfeksi atau mati akibat antraks, terutama yang dimasak kurang matang. Gejala
meliputi demam, mual, muntah darah, diare darah, dan peradangan usus yang serius.
Gejala anthrax pencernaan umumnya muncul 1–7 hari setelah paparan bakteri. Case
fatality rate nya mencapai 25-75%.

Selain itu, faktor-faktor lingkungan termasuk bioclimatic (suhu dan curah hujan),
edafis (vegetasi dan tanah properti), dan topografi (ketinggian) faktor yang diketahui
mempengaruhi kegigihan B. anthracis di lingkungan (Barro, 2016). Wabah dipicu di
daerah dimana tanah terkontaminasi dengan spora antraks dari bangkai hewan yang
terinfeksi sebelumnya, peristiwa alam seperti periode lama panas, cuaca kering setelah
hujan lebat dan banjir, atau dengan timbulnya hujan mengakhiri masa kekeringan (Ira
Abawi, 2019). Faktor-faktor lingkungan dapat dianggap untuk memprediksi eksposur dan
risiko infeksi antraks di daerah tertentu (Nsoh, 2016).

Manusia yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi antraks antara lain pekerja pengolah
produk hewan (daging, kulit, rambut, tulang atau produk tulang, dan wol), dokter hewan
dan petugas kesehatan hewan, pekerja peternakan dan pertanian terutama di daerah
endemis antraks, rumah tangga atau peternak yang pernah mengalami kematian ternak
dan mengonsumsi daging terkontaminasi spora antraks, pekerja laboratorium yang
menangani sampel antraks, personel militer dan pekerja tanggap darurat yang menangani
bioterorisme menggunakan spora antraks, serta pengguna heroin suntik. Selain itu,
perilaku tidak menggunakan alas kaki ketika melakukan kegiatan di luar rumah terutama
di sawah dan bermain meningkatkan risiko terinfeksi spora antraks.

E. MEKANISME INFEKSI

Siklus infeksi diawali ketika ternak terinfeksi antraks, ternak terutama herbivora (sapi
dan domba) sebagai inang primer umumnya terinfeksi spora B. antrachis ketika
merumput atau memakan dedaunan yang terkontaminasi spora antraks. Bakteri antraks
yang masuk ke dalam tubuh hewan bersamaan dengan makanan akan berkembangbiak di
saluran cerna. Hewan terinfeksi kemudian akan mengeluarkan bakteri antraks bersamaan
dengan feses, urin, atau kotoran lainnya. Selain itu, hewan terinfeksi antraks yang mati
masih mengandung banyak bakteri antraks di dalam jaringannya yang kemudian akan
berubah menjadi bentuk spora apabila bangkai hewan terbuka dan terekspos oksigen atau
air. Spora antraks yang keluar dari tubuh hewan terinfeksi kemudian akan mencemari
tanah, rumput, dan sumber air disekitarnya. Tanah atau area yang terkontaminasi dengan
spora B. antrachis dikenal sebagai reservoir antraks. Manusia dapat terinfeksi antraks
melalui beberapa rute dan umumnya disebabkan adanya interaksi dengan hewan
terinfeksi, memakan atau memproses produk hewan yang terkontaminasi.

Manusia dapat terinfeksi antraks melalui 4 rute utama yaitu inhalasi, gastrointestinal,
kutaneus, dan intravena/ injeksi. Pada rute inhalasi, spora antraks yang ada di udara
masuk melalui saluran pernafasan, pada rute gastrointestinal spora masuk melalui saluran
pencernaan akibat mengonsumsi daging atau produk hewan terinfeksi antraks, sedangkan
pada rute kutaneus, spora antraks masuk akibat adanya kontak langsung antara luka atau
lesi pada kulit dengan ternak atau produk ternak terinfeksi antraks. Beberapa literatur
menyebutkan gigitan serangga juga dapat menjadi media penularan antraks ke manusia.
Spora antraks yang masuk ke dalam tubuh akan bergerminasi dengan cepat dan
menghasilkan toksin dalam jumlah banyak. Toksin kemudian menyebar melalui aliran
darah dan menyebabkan gejala klinis mulai dari edema dan nekrosis, sepsis, serta
rusaknya pembuluh (Sari & Apriliana, 2020).

Tanda klinis penyakit antraks berbeda-beda tergantung jenis yang terserang. Dikenal 3
bentuk yaitu per akut, akut dan kronis, serta kutan.

1. Bentuk per akut (sangat mendadak)

Antraks per akut gejala/tandanya sangat mendadak, hewan mendadak mati kerena
pendarahan otak. Bentuk per akut sering terjadi pada domba dan kambing dengan
perubahan apopleksi serebral, hewan berputar-putar, gigi gemeretak dan mati hanya
beberapa menit setelah darah keluar dari lubang kumlah. Kasus lain dapat berlangsung
beberapa jam.

2. Bentuk akut

Tanda penyakit bermula demam (pada kuda mencapai 41,5°C dan pada sapi mencapai
42°C), gelisah, depresi, sesak nafas, detak jantung cepat tetapi lemah, hewan kejang
kemudian mati. Pada sapi tanda umumnya adalah pembengkakan sangat cepat di daerah
leher, dada, isi perut, pinggang dan kelamin luar. Dari lubang kumlah (telinga, hidung
anus, kelamin) keluar cairan darah encer merah kehitaman. Kematian terjadi antara 1-3
hari setelah nampak gejala klinis.
3. Bentuk kronis

Terlihat lesi/ luka lokal yang terbatas pada lidah dan tenggorokan, biasanya
menyerang ternak babi dan jarang pada sapi, kuda dan anjing. Penyakit berakhir setelah
10-36 jam atau terkadang mencapai 2-5 hari tetapi pada sapi berlangsung 2-3 bulan. Pada
terak babi dapat mati karena antraks akut tanpa gejala tanda, atau mati tercekik karena
pembengkakan tenggorokan, atau berangsur dapat sembuh pada antraks kronis yang
ringan.

4. Bentuk kutan

Ditandai dengan pembengkakan di macam-macam tempat dibagian tubuh. Terdapat


pada sapi dan kuda, bila luka-luka atau lecet kulit dicemari oleh bakteri antraks.

F. MASA INKUBASI

Masa inkubasi dari penyakit antraks adalah 7 hari, tetapi umumnya berkisar antara 2 -
5 hari.

G. PATOGENESIS

Kerentanan manusia terhadap penyakit ini berada diantara binatang buas (carnivora)
dan binatang memamah biak (herbivora), yaitu pada carnivora lebih tahan terhadap
antraks sedangkan herbivora lebih rentan terhadap infeksi B. anthracis. Virulensi antraks
tergantung dari kapsul polipeptida dan toksin yang dihasilkan, selain itu tergantung juga
pada resistensi alamiah dan resistensi yang didapat oleh host. Smith dan Keppie (1970)
menyatakan bahwa kematian akibat infeksi antraks disebabkan oleh toksin bakteri yang
ada dalam darah tersebut.

Bakteri antraks dapat menginfeksi manusia melalui tiga cara yaitu melalui kulit yang
lecet, abrasi atau luka, melalui saluran pernapasan karena inhalasi spora antraks dan
melalui saluran pencernaan karena mengkonsumsi bahan makanan yang tercemar bakteri
antraks misalnya daging hewan terinfeksi yang dimasak kurang sempurna.
H. PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT

Pencegahan penyakit hewan adalah semua tindakan untuk mencegah


timbulnya/berjangkitnya/menjalarnya suatu penyakit hewan dalam kegiatan pengendalian
dan pemberantasan penyakit hewan. Sedangkan pemberantasan adalah suatu usaha
terorganisir untuk menghilangkan (membebaskan) suatu penyakit di suatu daerah sampai
tidak terjadi lagi (Kementan, 2016).

1). Pencegahan penyakit Anthrax dapat dilakukan sebagai berikut:

(1). Bagi daerah bebas Anthrax, tindakan pencegahan didasarkan kepada peraturan
yang ketat dalam pengawasan pemasukan hewan ke daerah tersebut.

(2). Bagi daerah endemik/enzootik, untuk pencegahan penyakit dilakukan vaksinasi


sesuai anjuran diikuti monitoring ketat.

(3). Untuk hewan tersangka sakit dapat dipilih perlakuan, yaitu penyuntikan antibiotik
atau kemoterapeutik, penyuntikan serum, penyuntikan serum kombinasi dengan
antibiotik atau kemoterapeutik. Dua minggu kemudian disusul dengan vaksinasi.

2). Pemberantasan penyakit dilaksanakan sesuai ketentuan sebagai berikut:

(1). Hewan penderita Anthrax harus diasingkan sedemikian rupa terpisah dengan
hewan lain, pengasingan sedapat mungkin di kandang atau tempat hewan sakit. Dekat
tempat tersebut dibuat lubang sedalam minimal 2 meter untuk menampung sisa
makanan dan tinja dari kandang hewan yang sakit/penampung limbah asal hewan
sakit.

(2). Hewan sakit jangan dikeluarkan dari tempatnya berdiam dan hewan dari luar
jangan dimasukkan ke tempat tersebut.

(3). Apabila hewan mati ataupun sembuh atau bilamana lubang itu telah terisi sampai
60 cm dari permukaan tanah, maka lubang tersebut harus ditimbun dengan tanah
segar.

(4). Yang tidak berkepentingan dilarang masuk ke tempat pengasingan kecuali petugas
dan pemelihara hewan sakit atau tersangka sakit. Lakukan sanitasi umum terhadap
orang yang bersentuhan dengan hewan penderita Anthrax untuk mencegah perluasan
penyakit.
(5). Di pintu-pintu masuk halaman atau daerah tempat pengasingan hewan
sakit/tersangka sakit dan bila kejadian penyakit bersifat wabah maka di kampung/desa
atau daerah tertular dipasang papan bertuliskan “Awas sedang berjangkit penyakit
hewan menular Anthrax” yang disertai tulisan dalam bahasa daerah setempat.

(6). Bilamana diantara hewan tersangka sakit dalam jangka waktu 20 hari tidak
menunjukkan gejala sakit maka hewan tersebut dibebaskan kembali dari pengasingan.
Tetapi manakala diantara hewan tersangka sakit timbul kejadian sakit, hewan yang
sakit tersebut segera diasingkan.

(7). Setelah penderita mati atau sembuh, kandang dan semua perlengkapan yang
tercemar harus didesinfeksi. Kandang dari bambu atau alang-alang dan semua alat-
alat yang tidak dapat didesinfeksi harus dibakar.

(8). Bangkai hewan yang mati karena penyakit Anthrax harus segera dimusnahkan
dengan dibakar hangus dalam lubang dan atau dikubur sekurang-kurangnya sedalam
minimal 2 meter kemudian dikubur, cegah jangan sampai dimakan oleh hewan
pemakan bangkai. Cegah pula perluasan penyakit melalui serangga, pergunakan obat
pembasmi serangga yang pemakaiannya sesuai petunjuk dari pabriknya.

(9). Apabila kejadian penyakit bersifat wabah maka daerah yang meliputi desa,
kecamatan, kabupaten/kota atau provinsi ditutup dari lalu lintas hewan dan bahan asal
hewan. Dalam suatu daerah, penyakit dianggap telah lenyap setelah lewat masa 20
hari sejak mati atau sembuhnya penderita terakhir.

3). Hewan sakit atau tersangka sakit Anthrax dilarang dipotong.

Tindak Pemberantasan dan Pengendalian.

Pengendalian adalah suatu usaha terorganisir di Daerah/ Pusat untuk mengurangi


kejadian/kerugian suatu penyakit sampai tingkat terkendali/ tidak berdampak serius
terhadap kestabilan kesehatan hewan dan masyarakat.

1). Penanganan terhadap hewan. Penyakit Anthrax dapat dicegah dengan vaksinasi rutin
sesuai anjuran. Hewan yang sakit dapat diobati dengan antibiotik Penicilline dikombinasi
dengan roboransia (mengandung kalsium dan lainlain). Pemberian antibiotik secara intra
muskuler (IM) untuk ternak dewasa 20.000 IU/Kg dan anak setengahnya, selama 4-5 hari
berturut-turut.
2). Penanganan terhadap kuman. Bacillus anthracis mudah dibunuh dengan pemanasan
pada suhu pasteurisasi, macam-macam desinfektansia (formalin 10%, karbol 5%, iodine
dan lain-lain) serta oleh pembusukan. Namun kuman setelah menjadi bentuk spora lebih
tahan yaitu baru musnah dengan pemberian uap basah bersuhu 120 derajat Celcius dalam
beberapa detik, air mendidih atau uap basah bersuhu 100 derajat Celcius selama 10 menit,
uap basah bersuhu 90 derajat Celcius selama 45 menit atau panas kering pada suhu 120
derajat Celcius selama 1 jam.

3). Perlakuan terhadap hasil produksi hewan. Hasil produksi berupa susu, daging serta
bahan asal hewan seperti kulit, tulang, bulu dan lain-lain yang berasal dari hewan
penderita/mati karena Anthrax samasekali tidak boleh dikonsumsi atau dimanfaatkan, dan
harus dimusnahkan dengan jalan dibakar atau dikubur.

I. PENGOBATAN
1. Pilihan Antibiotik pada manusia

Antraks responsif terhadap terapi antibiotik asalkan diberikan pada awal perjalanan
infeksi. Penisilin telah lama menjadi antibiotik pilihan, namun jika hal ini
dikontraindikasikan, terdapat banyak pilihan alternatif di antara antibiotik spektrum luas.
Ciprofloxacin dan doksisiklin mendapat perhatian tinggi sebagai alternatif pengobatan
utama dalam beberapa tahun terakhir. Doxycycline memiliki kelemahan yaitu penetrasi
yang buruk ke sistem saraf pusat (SSP) (WHO, 2008).

2. Imunoterapi

Pengobatan antraks dengan serum hiperimun, yang dikembangkan pada berbagai


spesies hewan, sudah ada beberapa dekade sebelum antibiotik. Ini dianggap efektif dan
masih merupakan pengobatan yang tersedia di Tiongkok dan Rusia.
DAFTAR PUSTAKA

Ira Abawi, A. I. F. (2019). HIGEIA JOURNAL OF PUBLIC HEALTH Analisis Spasial


Faktor Lingkungan Fisik Daerah Endemik Antraks. 3(2), 190–201.

Kemenkes. (2017). Pencegahan dan pengendalian antraks.

Kementan. (2016). PENYAKIT HEWAN MENULAR ( PHM ).

Sari, I. Z. R., & Apriliana, S. (2020). Gambaran Umum, Prevalensi, dan Pencegahan Antraks
pada Manusia di Indonesia. Balaba: Jurnal Litbang Pengendalian Penyakit Bersumber
Binatang Banjarnegara, 135–148. https://doi.org/10.22435/blb.v16i2.3401

WHO. (2008). Anthrax in Man and Animals. Anthrax in Humans and Animals, 4th ed., 1–
208.

Anda mungkin juga menyukai