Anda di halaman 1dari 20

1.

RABIES Pendahuluan Rabies adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini bersifat zoonotik yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui gigitan, cakaran hewan penular rabies seperti anjing, kucing, kera, rakun dan kelelawar. Rabies sering juga disebut penyakit anjing gila. Rabies bukanlah penyakit baru dalam sejarah peradaban manusia. Catatan terrulis mengenai perilaku anjing yang tiba-tiba menjadi buas ditemukan pada Kode Mesopotamia yang ditulis 4000 tahun lalu serta pada Kode Babilonia Eshunna yang ditulis pada 2300 sebelum masehi, juga menuliskan karakteristik gejala penyakit yang menyerupai rabies sehingga mereka menjadi agresif dan semua binatang yang digigitnya mengalami sakit yang sama. Rabies disebabkan oleh virus rabies yang termasuk dalam famili Rhabdiviridae dan genus Lysavirus. Penyebab Karakteristik utama virus ini adalah hanya memiliki satu utas negative RNA yang tidak bersegmen. Virus ini hidup pada beberapa jenis hewan yang berperan sebagai perantara penularan atau sering disebut HPR (hewan penular rabies). Hewan perantara menginfeksi inang yang bias berupa hewan lain atau manusia melalui gigitan. Infeksi juga dapat terjadi melalui jilatan hewan perantara pada kulit yang terluka. Setelah infeksi virus akan masuk melalui saraf-saraf menuju sumsum tulang belakang dan otak dan bereplikasi disana. Selanjutnya virus akan berpindah lagi melalui saraf-saraf ke jaringan non saraf, misalnya kelenjar liur dan masuk kedalam air liur. Hewan yang terinfeksi bias mengalami rabies buas/ganas ataupun rabies jinak/tenang. Pada rabies buas/ganas, hewan yang terinfeksi tampak galak, agresif, mengigit dan menelan segala macam barang, air liur terus menetes, meraung-raung gelisah kemudian menjadi lumpuh dan mati. Pada rabies jinak/tenang, hewan yang terinfeksi mengalami kelumpuhan lokan atau kelumpuhan total, suka bersembunyi di tempat gelap, mengalami kejang dan sulit bernafas, serta menunjukkan kegalakan. Meskipun jarang terjadi, rabies bias ditularkan melalui penghirupan udara yang tercemar virus rabies. Dua pekerja laboratorium telah mengkonfirmasi hal ini setelah mereka ter ekspos udara yang mengandung virus rabies. Pada tahun 1950 dilaporkan dua kasus rabies terjadi pada penjelajah gua di Frio Cave, Texas yang menghirup udara dimana ada jutaan kelelawar hidup ditempat itu. Mereka diduga tertular lewat udara karena tidak ditemukan sam sekali adanya tanda-tanda bekas gigitan kelelawar. Manifestasi Klinis Gejala rabies biasanya mulai timbul dalam waktu 30-50 hari setelah terinfeksi. Masa inkubasi virus hingga munculnya penyakit adalah 10-14 hari pada anjing tetapi bisa mencapai 9 bulan pada manusia. Bila disebabkan oleh gigitan anjing, luka yang memiliki risiko tinggi meliputi infeksi pada mukosa, luka diatas daerah lecet serta luka kecil disekitar tangan, badan dan kaki. Gejala sakit yang akan dialami seseorang yang terinfeksi rabies meliputi 4 stadium. Stadium prodromal Dalam stadium prodromal, sakit yang timbul pada penderita tidak khas, menyerupai infeksi virus pada umumnya yang meliputi demam, sulit makan yang menuju taraf anoreksia, pusing dan pening (nausea) dan lain sebagainya. Stadium sensoris Dalam stadium sensoris penderita umumnya akan menglami rasa nyeri pasa daerah luka gigitan, panas, gugup, kebingungan, keluar banyak air liur (hipersalivasi), dilatasi pupil, hiperhidrosis dan hiperlakrimasi Stadium eksitasi Pada stadium eksitasi penderita mengalami kegelisahan, mudah kaget, kejang-kejang setiap ada rangsangan dari luar, sehingga terjadi ketakutan pada urada (aerofobia), ketakutan pada cahaya (fotofobia) dan ketakutan pada air (hidrofobia). Kejang-kejang terjadi akibat adanya gangguan daerah otak yang mengatur proses menelan dan 1

penafasan. Hirofibia yang terjadi pada penderita rabies terutama karena adanya rasa sakit yang sangat luar biasa di kala berusaha menelan air. Stadium paralitik Pada stadium paralitik setelah melalui ketiga stadium sebelumnya, penderita memasuki stadium paralitik, ini menunjukkan tanda kelumpuhan dari bagian atas tubuh ke bawah yang progresif. Karena durasi penyebab penyakit yang cukup cepat maka umumnya keempat stadium di atas tidak dapat dibedakan dengan jelas. Gejala-gejala yang tampak jelas pada penderita di antaranya adalah nyeri pada luka bekas gigitan dan ketakutan pada air, udara dan cahaya serta suara yang keras. Sedangkan pada hewan terinfeksi, gejala yang tampak adalah jinak menjadi ganas, hewan-hewan peiharaan menjadi liar dan lupa jalan pulang serta ekor dilengkungkan di bawah perut. Penanganan dan Pencegahan Bila terinfeksi rabies segera cari pertolongan medis. Rabies dapat diobati namun harus sedini mungkin sebelum menginfeksi otak dan menimbulkan gejala. Bila gejala mulai terlihat tidak ada pengobatan untuk menyembuhkan penyakit ini, kematian biasanya terjadi beberpa hari setelah terjadinya gejala pertama. Jika terjadi kasus gigitan oleh hewan yang diduga terinfeksi rabies atau potensi rabies (anjing, sigung, rakun, rubah dan kelelawar) segera cuci luka dengan sabun atau pelarut lemak lainnya di bawah air mengalir selama 10-15 menit lalu beri antiseptik alkohol 70% atau betadin. Terhadap orang-orang yang belum diimunisasi selama 10 tahun terakhir akan diberikan suntikan tetanus. Orang-orang yang belum pernah mendapat vaksin rabies akan diberikan suntikan globulin imin rabies yang dikombinasikan dengan vaksin. Separuh dari dosisnya disuntikkan di tempat gigitan dan separuhnya lagi disuntikkan di otot biasanya di daerah pinggang. Dalm periode 28 hari diberikan 5 kali suntikan, suntikan pertama untuk menentukan resiko adanya virus rabies akibat bekas gigitan, suntikan selanjutnya diberikan pada hari ke-3, ke-7, ke-14, dan ke-28. Kadang-kadang terjadi rasa sakit, kemerahan, bengkak atau gata-gatal pada tempat penyuntikan vaksin. Pencegahan rabies pada manusia harus dilakukan sesegera mungkin setelah terjadi gigitan oleh hewan yang berpotensi rabies, karena bila tidak dapat mematikan. Langkah-langkah untuk mencegah rabies bias diambil sebelum terjangkit virus atau segera setelah terkena gigitan. Sebagai contoh vaksinasi bisa diberikan kepada orang-orang yang berisiko tinggi terhadap terjangkitnya virus yaitu: - Dokter hewan, - Petugas Laboratorium yang menangani hewan yang terinfeksi, - Orang-orang yang menetap atau tinggal lebih dari 30 tahun di daerah yang rabies pada anjing banyak ditemukan - Para penjelajah gua kelelawar. Vaksinasi idealnya dapat memberikan perlindungan seumur hidup, tetapi seiring berjalannya waktu kadar antibody dapat menurun sehingga orang yang beresiko tinggi terhadap rabies harus mendapat dosis booster vaksinasi setiap 3 tahun. Penting vaksinasi rabies terhadap hewan peliharaan seperti anjing, kucing, kera merupakan salah satu cara pencegahn yang harus diperhatikan.

2.

ANTHRAX

Pendahuluan Penyakit Anthrax adalah penyakit infeksius yang menular pada hewan yang umumnya dapat bersifat akut maupun perakut. Penyakit ini dapat ditularkan dari hewan penderita ke manusia, sehingga dapat digolongkan penyakit zoonosis. Penyakit Anthrax disebabkan oleh kuman Bacillus anthraxis yaitu kuman berbentuk batang lurus dan membentuk spora yang terletak ditengah-tengah. Spora Bacillus anthraxis dapat bertahan lama di alam atau di luar tubuh hewan, seperti di tanah, bulu, wol, kulit, debu, tepung tulang. Bahkan di dalam tanah dengan kondisi tertentu mampu bertahan berpuluh-puluh tahun. Spora kuman ini dapat bertahan dalam kondisi panas, dingin, kekeringan dan bahan-bahan kimia anti kuman (desinfektan). Sedangkan kuman Bacillus anthraxis (bukan dalam bentuk spora) mudah mati pada suhu pasteurisasi dan bahan-bahan kimia anti kuman (desinfektan). Penyakit Anthrax sangat tidak lazim ditularka secara langsung dari satu hewan ke hewan lainnya. Hewan akan terserang penyakit ini apabila memakan pakan yang tercemar oleh spora Anthrax yang berasal dari tanah. Keberadaan spora Anthrax di dalam tanah atau lingkungan berasal dari hewan yang mati karena Anthrax. Hewan tersebut akan mengeluarkan kuman Bacillus anthraxis bersama-sama dengan darah yang umumnya keluar dari lubang-lubang alami/kumlah (anus, hidung, mulut, telinga) yang kemudian segera menjadi spora. Disamping itu apabila hewan yang mati karena penyakit Anthrax dipotong atau dilakukan bedah bangkai maka kuman penyebab Anthrax akansegera berubah menjadi spora dan akan mencemari tanah dan lingkungan. Oleh karena itu sering bangkai hewan yang mati karena diduga Anthrax dilarang untuk dipindahkan ke tempat lain dan harus dibakar ditempat serta dikubur. Pencegahan dan Pengendalian Pada daerah-daerah dimana Anthrax pernah ditemukan, langkah pencegahan adalah dengan melakukan vaksinasi pada hewan ternak setiap tahun. Beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penyakit Anthrax yaitu; - Vaksin Anthrax harus ditempatkan dalam lemari es (kulkas) - Antibiotik tidak boleh diberikan pada ternak beberapa hari sebelum dan sesudah vaksinasi karena akan menyebabkan kegagalan vaksinasi - Hewan yang telah divaksin tidak boleh di potong untuk konsumsi manusia minimum 6 minggu setelah vaksinasi - Hewan bunting sebaiknya tidak divaksinasi - Kambing sangat peka terhadap vaksinasi Anthrax, oleh karenanya dapat diberikan setengah dosis - Setelah melakukan vaksinasi, seluruh peralatan yang digunakan harus disucihamakan. Hewan yang diduga menderita Anthrax harus diasingkan sehingga tidak dapat kontak dengan hewan lainnya. Disekeliling tempat kejadian sejauh 20-30 km dilakukan vaksinasi terhadap semua hewan ternak (Ring Vaccination). Apabila dijumpai kejadian hewan ternak mati mendadak baik disertai atau tidak keluarnya darah dari lubang kumlah maka harus diasumsikan kemungkinan karena penyakit Anthrax, sehingga harus dilakukan tindakan pelarangan untuk melakukan pemotongan atau bedah bangkai. Bangkai hewan hewan harus dibakar dan dkubur dalam-dalam dan dicegah jangan sampai dimangsa oleh hewan-hewan pemangsa bangkai. Apabila dijumpai penyakit dan diduga Anthrax maka harus segera dilaporkan ke Dinas/sub dinas peternakan setempat.

3.

SEPTICAEMIA EPIZOOTICA (SE)

Pendahuluan Penyakit Septicaemia Epizootica sering juga disebut penyakit ngorok yaitu penyakit yang disebabkan oleh Pasteurella multocida, menyerang hewan sapi dan kerbau yang bersifat akut dan sangat fatal. Kerugian ekonomi akibat penyakit ini terjadi di Asia, walaupun estimasi kuantitatif kerugian ekonomis akibat penyakit ini jarang dilakukan. Di Indonesia kematian sapi/kerbau pada tahun 1997 akibat penyakit ngorok mencapai 9288 ekor atau 27,9 miliar rupiah (sumber Direktorat Jenderal Peternakan 1998). Pada tahun 1995, penyakit SE digolongkan pada salah satu penyakit hewan menular dari 13 jenis penyakit hewan menular strategis di Indonesia yang pemberantasandan pengendaliannya berada di bawah tanggung jawab Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah. Vaksinasi massal dan regular setiap tahun sudah rutin dilakukan, tetapi kematian akibat penyakit SE masih sering dilaporkan. Adanya morbilitas ternak di daerah memungkinkan timbulnya daerah-daerah tertular baru. Hal ini dapat diatasi dengan meningkatkan coverage vaksinasi 100% selama 3 tahun berturut-turut dapat bebas dari penyakit SE seperti yang telah dilakukan di Pulau Lombok. Terbatasnya alokasi vaksinasi SE merupakan factor utama rendahnya coverage vaksinasi SE. vaksin hidup aerosol Pasteurella multocida dapat mengatasi masalah ini karena jumlah kuman untuk vaksin mati (2x109 colonyforming unit) dapat menghasilkan 200 dosis vaksin hidup aerosol (1x107 cfu/dosis). Selain biaya murah, vaksinasi Se dengna vaksin hidup aerosol dapat dilakukan sendiri oleh peternak, yang tentunya akan menurunkan biaya operasional vaksinasi di lapangan. Walaupun vaksinasi telah dilakukan secara rutin hamper di setiap Provinsi, laporan kasus masih sering dilaporkan, hal ini salah satu kelemahan program vaksinasi yang dijalankan adalah tidak ada tindak lanjut monitoring terhadap hasil vaksinasi sehingga hasil vaksinasi tidak dapat di evaluasi dengan baik. Penularan Penularan penyakit ini biasanya diperngaruhi oleh stress, kepadatan hewan, manajemen yang tidak baik dan musim. Sumber organism yang infektif dalam wilayah wabah yang baru diduga berasal dari hewan carrier yang secara intermintent dikeluarkan oleh hewan carrier yang kebal tetapi membawa organisme tersebut dalam tonsilnya. Kuman banyak di sekresi melalui leleran hidung pada fase demam awal, sehingga periode ini merupakan masa penularan yang penting. Dalam kondisi yang mendukung yaitu keadaan lembab atau basah kuman yang di ekskresi dapat bertahan selama seminggu sehingga memungkinkan penularan tak langsung ke hewan lainnya. Morbilitas dan mortalitas penyakit dipengaruhi oleh berbagi faktor dan interaksinya, umur endemisitas dari aderah tertentu, kejadian penyakit sebelumnya, kekebalan yang terjadi dan tingkat kekebalan kelompok hewan merupakan faktor-faktor yang penting. Apabila wabah pertama kali melanda wilayah baru, tungkat penyebaran akan sangat tinggi dan kematian dapat terjadi pada hewan segala umur. Pada wilayah endemik dimana proporsi carrier yang kebal tinggi, penyebaran kuman sering terjadi. Bilamana kuman menyebar ke hewan yang sudah kebal, hal ini akan merupakan booster terhadap tingkat kekebalan. Kelompok yang peka di wilayah endemik hanyalah hewan muda yang kekebalan meternalnya sudah menurun atau hewan yang didatangkan dari wilayah yang non-endemik. Jadi wabah tidak akan menjadi epidemik dan hanya terjadi pada hewan muda di daerah endemik. Gejala Kasus penyakit SE biasanya dilaporkan sebagai kematian hewan dalam waktu singkat. Dalam pengamatan hewan mengalami peningkatan suhu tubuh, oedema submandibular yang menyebar ke daerah dada dan gejala pernafasan 4

dengan suara ngorok atau keluarnya cairan dari hidung. Umumnya hewan mengalami kelesuan atau lemah dan kematian. Hewan kerbau lebih peka terhadap penyakit SE dibandingkan dengan sapi. Gejala penyakit timbul setelah masa inkubasi 2-3 hari, gambaran klinis menunjukkan adanya 3 fase. Fase pertama adalah kenaikan suhu tubuh, yang diikuti oleh fase gangguan pernafasan dan diakhiri oleh fase terakhir yaitu kondisi hewan melemah dan hewan berbaring di lantai. Septicaemia dalam banyak kasus merupakan tahap kejadian paling akhir, berbai fase penyakit diatas tidak selamnya terjadi secara berurutan dan sangat tergantung pada lamanya penyakit. Pada kerbau yang diinfeksi secara buatan, kenaikan suhu hingga 43oC dapat teramati 4 jam sesudah injeksi, sedangka pada sapi kenaikan suhu 40oC baru teramati 12 jam sesudah injeksi. Leleran hidung dan mata yang memerah sudah terlihat pada kerbau 4 jam sesudah injeksi, sedang pada sapi 12 jam sesudah injeksi, bakteri dapat di isolasi dari cairan hidung kerbau 12 jam sesudah injeksi dan 16 jam sesudah injeksi pada sapi. Pemantau jumlah kuman dalam darah terus meningkat hingga saat kematian hewan. Pada pemeriksaan pasca mati, kelainan yang tampil menyolok adalah oedema subcutaneous dengan cairan serogelatimous terutama di daerah sub mandibula, leher dan dada. Umumnya kebengkakan lebih sering ditemui pada kerbau daripada sapi. Pada jaringan subcutan dapat ditemui adanya pendarahan titik-titik dan kelenjat limfe membengkak yang dapat berupa pembengkakan, kongesti dan hyperemia atau nekrosis yang nyata. Dalam rongga dada terjadi perubahan pada paru-paru, yang berkisar dari pembendungan umum sampai konsolidasi yang ekstensif dengan penebalan septa interlobular. Perubahan ini lebih nyata pada kerbau daripada sapi. Pleurisy dan pericarditis yang jelas tampak dengan penebalan pericardium dan adanya cairan serosanguinous dalam ruang pleura dan pericardial. Pendarahan dengan derajat yang bervariasi dapat terlihat pada jantung.

4.

NEWCASTLE DISEASE (ND)

Pendahuluan Newcastle Disease adalah penyakit yang menular, dengan angka kematian tinggi yang disebabkan oleh virus genus paramyxovirus dengan famili paramyxoviridae. Nama lain untuk ND adalah tetelo, psedovogolpest, sampar ayam, Rhaniket, pneumoencephalitis dan Tontaor furrens. Kejadian wabah ND sering kali terjadi pada kelompok ayam yang tidak memiliki kekebalan atau pada kelompok ayam yang memiliki kekebalan rendah akibat terlambat dilakukan vaksinasi atau kegagalan vaksinasi. Kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit ND antara lain berupa kematian ayam, penurunan produksi telur pada ayam petelur, gangguan pertumbuhan dan penurunan berat badan pada ayam pedaging. Infeksi oleh virus ND di alam yang tidak menyebabkan kematian akan menimbulkan kekebalan selama 6 12 bulan, demikian juga halnya kekebalan yang diperoleh dari vaksinasi. Terdapat tiga katagori ND: 1) Velogenik Virus golongan ini bersifat akut dan sangat mematikan serta dikatagorikan sangat tinggi patogenitasnya (sangat ganas). Wabah ND di Indonesia umumnya di sebabkan oleh Velogenik tipe Asia yang banyak menimbulkan kematian daripada tipe Amerika. Contoh virus galur ini : Milano, Herts, Texas 2) Mesogenik Virus galur ini bersifat akut, cukup mematikan dan dikatagorikan sedang patogenitasnya. Contoh galur ini : Mukteswar, Kumarov, Hardfordhire dan Roakin. 3) Lentogenik Virus ND akan mulai mengeluarkan virus melalui alat pernafasan antara 1 sampai 2 hari setelah infeksi. Cara Penularan Penularan virus ND dari satu tempat ke tempat lain terjadi melalui alat transportasi, pekerja kandang, litter dan peralatan kandang, burung dan hewan lain. Debu kandang, angin, serangga, makanan dan karung makanan yang tercemar, dapat pula melalui telur terinfeksi yang pecah dalam inkubator dan mengkontaminasi kerabang telur lain. Penyebaran virus ND oleh angin bisa mencapai radius 5 km, burung-burung pengganggu, ayam kampong dan burung pemliharaan lain merupakan reservoir ND. Penularan ND terutama melalui udara terjadi karena adanya batuk dimana virus mudah terlepas dari saluran pernafasan penderita ke udara dan mencemari pakan, air minum, sepatu, pakaian dan alat-alat sekitarnya. Virus dengan cepat menyebar dari ayam kea yam lain dari satu kandang ke kandang lain. Sekresi, ekresi dan bangkai penderita merupakan sumber penularan penting bagi ND. Virus yang tercampur lendir atau feases dan urine mampu bertahan Selma 2 bulan, bahkan dalam keadaan kering tahan lebih lama lagi. Gejala Klinis Gejala klinis yang terlihat pada penderita sangat bervariasi, dari yang sangat ringan sampai terberat. - Bentuk velogenik-viscerotropik: Bersifat akut, menimbulkan kematian yang tinggi mencapai 80-100%. Pada permulaan sakit hilang nafsu amakan, mencret yang kandang-kandang disertai darah, lesu, sesak nafas, megap-megap, ngorok, bersin, batuk, paralisis parsial atau komplit, kadang-kadang terlihat gejala torticolis. - Bentuk velogenik-pneumoencephalitis: 6

Gejala pernafasan dan syaraf, seperti torticalis lebih menonjol terjadi pada velogenik-viscerotropik. Mortalitas bisa mencapai 60-80% - Bentuk mesogenik Bentuk gejala klinis yang ditimbulkan adalah gejala respirasi seperti batuk, bersin,sesak nafas, megap-megap. Pada anak ayam menyebabkan kematian mencapai 10%, sedangkan pada ayam dewasa hanya berupa penurunan produksi telur dan hambatan pertumbuhan, tidak menimbulkan kematian. - Bentuk lentogenik Terlihat gejala respirasi ringan saja, tidak terlihat gejala saraf. Bentuk ini tidak menimbulkan kematian, baik pada anak ayam maupun pada ayam dewasa. Pada galur lentogenik sering tidak memperlihatkan gejala klinis. Pencegahan Tindakan vaksinasi merupakan langkah yang tepat sebagai upaya pencegahan terhadap penyakit ND. Program vaksinasi yang secara umum diterapkan yaitu: 1. Pada infeksi lentogenik ayam pedaging, dicegah dengan pemberian vaksin aerosol atau tetes mata pada anak ayam umur satu hari dengan menggunakan vaksin Hitchner B1, di lanjutkan dengan booster memalui air minum atau secara aerosol. 2. Pada infeksi lentogenik ayam pembibit dapat dicegah dengan pemberian vaksin Hitchner B1,secara aerosol atau tetes mata pada hari ke-10. Vaksin berikutnya dilakukan pada umur 24 hari dan 8 minggu sengan vaksin Hitchner B1 atau LaSota dalam air, di ikuti dengan pemberian vaksinemulsimultivalen yang diinaktivasi dengan minyak pada umum 18-20 minggu. Vaksin mulivalen in dapat diberikan lagi pada umur 45 minggu, tergantung kepada titer antibodi kawanan ayam, resiko terjangkit dan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan pemeliharaan. Tindakan pencegahan lainnya adalah sanitasi. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain: 1. Sebelum kandang dipakai, kandang harus dibersihkan kemudian dilabur dengan kapur yang dibubuhi NaOH 2%. Desinfektan kandang dilakukansecara fumigasi dengan menggunakan fumigat berupa formalin 1-2% dan KMnO4, dengan perbandingan 1:5000. 2. Litter usahaka tetap kering, bersih dengan ventilasi yang baik. Bebaskan kandang dari hewan-hewan vektor yang bisa memindahakan virus ND. Kandang usahakan mendapat sinar matahari yang cukup. 3. Hindari penggunaan karung bekas. 4. DOC harus berasal dari perusahaan bibit yang bebas dari ND. 5. Di pintu-pintu masuk disediakan tempat penghapus hama, baik untuk alat transportasi maupun orang. 6. Berikan pakan yang cukup kuantitas maupun kualitas. Pengendalian Tindakan pengendalian meliputi: 1. Ayam yang mati karena ND harus diabakar atau dikubur. 2. Ayam penderita yang masih hidup harus disingkirkan, disembelih dan dagingnya bisa diperjualbelikan dengan syarat harus dimasak terlebih dahulu dan sisa pemotongan harus dibakar atau dikubur. 3. Larangan mengeluarkan ayam, baik dalam keadaan mati ataupun hidup bagi peternakan yang terkena wabah ND, kecuali untuk kepentingan diagnostis. 4. Larangan menetaskan telur dari ayam penderita ND dan izin menetskan telur harus dicabut selama masih ada wabah ND pada perusahaan pembibitan. 5. Penyakit ND dianggap lenyap dari peternakan setelah 2 bulan dari kasus terakhir atau 1 bulan dari kasus terakhir yang disertai tindakan penghapusan hama.

5. HOG CHOLERA
Pendahuluan Hog cholera adalah penyakit virus yang sangat menular pada babi yang disebabkan oleh virus hog cholera. Virus Hog cholera masuk family flaviviradae dan genus pestvirus. Mikroorganisme memiliki hubungan antigenic yang sangat dengan bovine viral diarrhea virus (BVDV). Penyakit ini dapat terjadi secara akut, sub akut dan kronis disertai angka morbiditas dan mortalitas yang sangat tinggi. Bentuk akut ditandai oleh demam tinggi, depresi berat, pendarahan dalam dan sebatas permukaan mukosa. Secara patologi anatomi ditemukan pendarahan sianotik pada permukaan kulit, pendarahan pada limpha node dan ginjal, infark pada limpa dan pendarahan mulai dari usus halus sampai usus besar. Bentuk sub kronis ditandai dengan depresi, anoreksia dan demam ringan dan kesembuhan dapat terjadi pada babi dewasa. Hal yang paling mendukung untuk terjadi penyakit ini adalah kandang yang kotor, udara sekitar kandang lembab dan manajemen pemeliharaan yang tidak hieginis. Pengendalian dan Pencegahan Upaya pengendalian kasus Hog cholera pada peternakan rakyat hingga saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Hal ini disebabkan oleh pengelolaan ternak babi tidak berdasarkan kaidah atau manajemen pemeliharaan ternak, juga adanya anggapan beternak babi adalah usaha sampingan. Tindakan nyata yang sudah dilakukan pada daerah endemik penyakit Hog cholera adalah untuk mengurangi kerugian yang lebih tinggi melakukan tindakan vaksinasi secara sistemik. Untuk mencegah kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh wabah Hog cholera yang disebabkan oleh virus dari famli flaviviradae dapat dilakukan dengan mengimplementasi manajemen beternak babi secara benar. Adapun hal yang harus diperhatikan meliputi kandang harus dalam keadaan kering dan bersih, pemilihan bibit harus benar, komposisi pakan harus sesuai dengan berat badan dan program vaksinasi disesuaikan dengan petunjuk dari Dinas yang membidangi Kesehatan Hewan dan Peternakan. Wabah penyakit yang bersifat sporadis dapat ditangani dengan pemberian vitamin dan menangkal keterlibatan mikroorganisme skunder dengan pemberian antibiotika.

6. PENYAKIT JEMBRANA (JD) Penyakit jembrana merupakan penyakit viral pada sapi, biasa ditemukan pada sapi bali, ditandai dengan berbagai gejala seperti depresi, anoreksia, demam, perdarahan ekstensif di bawah kulit, dan kebengkakan kelenjar limfe. terutama limfoglandula prefemoralis dan preskapularis serta adanya diare berdarah. Ditemukan juga pada banyak kasus penyakit yang disertai perdarahan kulit, sehingga penyakit ini juga disebut sebagai penyakit keringat darah. Gejala klinik Pada sapi yang terserang penyakit Jembrana (JD), Suhu berkisar antara 39C - 42C. pada suhu Suhu diatas 40C dapat berlangsung selama 3 - 5 hari, dan kemudian akan diikuti penurunan suhu, namun pada derajat subnormal sapi akan mati; Pembengkakan kelenjar limfe; Sapi yang sakit dapat terjadi Diare dengan tinja atau feses lembek, profus sampai tercampur darah; Erosi ringan sampai nekrosis terbatas epitel selaput lendir mulut; Pada sapi betina yang sedang bunting diatas 6 bulan akan mengalami keguguran; Gejala keringat darah; Perdarahan pada mata; Demam, anoreksia, lesu, pernapasan dan detak nadi cepat; Leucopenia disertai dengan leukositosis. Perubahan pasca mati Gejala sepsis; Kelenjar limfe superficial prefemoralis dan prescapularis sangat membengkak, bidang sayatan basah dan berdarah dengan warna kelabu kemerahan tua; Erosi ringan sampai nekrosis superficial epitel selaput lender mulut; Selaput lender usus ada radang bersifat katar, mucus sampai hemoragis; Gejala khas pada rectum adanya perdarahan berupa garis seperti zebra cross; Hemoragi dinding empedu, dinding empedu menebal dan isinya mengental Pada otak ditemukan hiperemi Pengendalian dan Pemberantasan Setiap hewan sakit harus benar-benar diisolasi. Pemusnahan vektor harus dilaksanakan dengan segera, baik pada setiap kandang yang terjangkit maupun sekitarnya secara meluas. Tergantung dari populasi vektor, penyemprotan dengan pestisida dapat diulang setiap 1-2 minggu. Pelaksanaan penanggulangan atau pemberantasan penyakit ingusan dilakukan dengan undang-undang kehewanan, antara lain: a) ternak yang menderita atau terserang sakit ingusan harus disingkirkan sedemikian rupa sehingga tidak akan bersentuhan degan ternak-ternak lain, khususnya dengan domba. b) Tempat pengasingan ternak yang sakit, harus terpisah dari ternak yang sekandang dan sepekarangan lainnya. c) Ternak yang tersangka sakit bila setalah 2-3 bulan dalam pengasingan tidak memperlihatkan gejala-gejala sakit dapat dibebaskan. d) Pengasingan sedapat mungkin dilakukan setempat dan didekatnya disediakan lubang-lubang sedalam 2-2,5 meter untuk tempat pembuangan kotoran atau cairan dari tempat pengasingan. Lubang-lubang tersebut ditimbun dengan tanah, bilamana telah terisi sampai 60 cm di bawah permukaan tanah dan setiap 60 cm ditimbun lagi. e) Semua orang kecuali petugas pemelihara ternak yang diisolasi dilarang memasuki tempat pengasingan. 9

f) Di pintu kandang atau halaman tempat pengasingan di pasang papan yang antara lain bertuliskan Penyakit Hewan Menular Ingusan disertai dengan nama daerah setempat. g) Setelah ternak yang sakit mati atau sembuh maka kandang tempat, barang-barang yang pernah bersentuhan dengan ternak tersebut harus dihapushamakan. Kandang, tempat, atau barang-barang yang terbuat dari bambu atap, alang-alang yang sulit dihapushamakan harus dibakar. h) Bangkai ternak sakit ingusan harus dibakar atau dikubur. Pengobatan Hasil penelitian penggunaan antibiotik kurang memuaskan tetapi tidak ada salahnya antibiotik berspektrum luas digunakan/dicoba untuk pengobatan, setidak-tidaknya untuk mencegah infeksi sekunder. Penyuntikan dengan antibiotik harus dilakukan sedini mungkin dan harus dijelaskan secara tepat kepada pemilik ternak bahwa kemungkinan adanya kematian masih tetap ada, jangan sampai para petugas menjadi bulan-bulanan pekerjaan sendiri. Disamping antibiotik, pemberian obat penguat sangat dianjurkan.

10

7. AVIAN INFLUENZA /AI (FLU BURUNG) Flu Burung ( Avian Influenza/ AI) selain menyebabkan kerugian ekonomis juga berdampak terhadap kehilangan nyawa pada manusia, sehingga penyakit flu burung dikelompokkan pada penyakit kategori I. yaitu penyakit strategis. Flu Burung yang sering dikenal juga dengan istilah Fowl plaque merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza yang menyerang berbagai unggas, termasuk unggas darat maupun air. Pada unggas air, virus tersebut sudah beradaptasi dengan inangnya, sehingga tidak menyebabkan penyakit. Unggas air, seperti bangau, belibis dan bebek liar merupakan reservoir alamiah bagi virus AI. Unggas domestik, seperti ayam dan kalkun sangat rentan terhadap virus AI. Penyebab Virus influenza merupakan virus RNA yang memiliki sifat mudah mengalami perubahan, tergolong dalam Famili Orthomyxoviridae dengan genus Ortho-myxovirus. Virus ini memiliki beberapa tipe, antara lain : A, B dan C. Tipe A menyerang unggas, manusia, babi, kuda dan mamalia lain. Sedangkan tipe B dan C hanya menyerang manusia. Virus memiliki amplop yang mengandung dua bagian penting pada permukaan antigen dan menentukan sifat patogenitas virus. Bagian tersebut adalah hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA). Dikenal 15 macam hemaglutinin dan 9 macam neuraminidase, sehingga dari kombinasi keduanya bisa terbentuk lebih dari 100 strain viruis. Pada Tipe A sudah dikenal antara lain : H1N1, H5N1, H3N2. Virus influenza yang terganas sepanjang sejarah adalah H1N1 yang telah menyebabkan kematian jutaan manusia, terjadi pada tahun 1918 dan dikenal sebagai wabah Spanish Flu. Pada umumnya virus influenza memiliki hospes (inang) yang spesifik ( specific host). Hal ini berarti bahwa virus yang menginfeksi burung tidak akan menginfeksi manusia, dan sebaliknya. Namun perlu diketaui bahwa virus influenza mudah mengalami perubahan, sebagai akibat mutasi gen. Perubahan sifat pada virus influenza dapat berupa antigenic shift, yaitu perubahan sebagai akibat akumulasi mutasi pada genomnya. Bisa juga berupa antigenic drift, yaitu persilangan genom antara virus influenza tipe yang berbeda. Virus H5N1 merupakan contoh virus hasil perubahan antigenic drift, yaitu persilangan antara genom virus penginfeksi burung dengan virus penginfeksi manusia, sehingga H5N1 b bisa menyerang burung maupun mamalia, termasuk manusia. Babi bisa bertindak sebagai perantara (mixing vessel) antara virus dari jenis yang berbeda ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa passage virus Flu Burung (AI) pada babi menghasilkan virus influenza yamg mirip dengan influenza pada manusia. Hal ini berarti bahwa babi memegang peran penting sebagai media perubahan antigenic drift. Perilaku virus AI, perlu dipelajari secara mendalam guna penentuan metode pengendalian penyakit, pada ternak maupun manusia baik upaya pencegahan. maupun pengobatannya, Meskipun virus tidak bisa mati oleh antibiotik, namun upaya untuk mencegah infeksi sekunder bakteri pada penyakit virus perlu diupayakan guna mempertahankan kondisi tubuh. Sifat-sifat virus AI pada unggas, antara lain menggumpalkan/memecah eritrosit unggas, peka terhadap faktor-faktor lingkungan, seperti : panas, pH yang ekstrim, kondisi non isotonis, kering. Virus mati pada pemanasan 60 derajat celcius selama 30 menit dan 56 derajat Celcius selama 3 jam. Peka terhadap pelarut lemak, seperti deterjen, peka juga terhadap desinfektan, antara lain formalin, - propiolakton, cairan yang mengandung iodine, eter, larutan asam, ion ammonium, dan klorida. Tahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22 derajat Celcius dan 30 hari pada 0 derajat Celcius. Tahan hidup dalam kotoran ayam (feses) dan bahanbahan organik. Pada suhu 20 derajat Celcius tahan 1 minggu dan pada suhu 4 derajat Celcius tahan lebih lama lagi. Tahan beberapa lama (30 -35 hari) dalam tubuh unggas. Virus banyak terkandung dalam sektreta dari hidung dan mata serta ekskreta feses. Patogenesis 11

Terdapat dua faktor yang menentukan tingkat pathogen virus AI, yaitu (1) protein hemaglutinin (HA), yang terdapat pada permukaan virus. Adanya cleavage site pada protein HA akan meningkatkan sifat pathogen virus AI. Protein HA juga berperan dalam proses infeksi virus ke dalam sel dengan cara berinteraksi secara langsung dengan reseptor di permukaan sel hospes. Selain itu protein HA juga berfungsi dalam perpindahan virus dari satu sel ke sel lain. Melalui cara akumulasi mutasi pada HA, maka virus AI bisa meningkat daya penularannya. (2) Gen Nonstruktural Protein (gen NS). Keberadaan gen NS akan menciptakan virus yang kebal terhadap dua faktor yang berkaitan dengan sistem imun tubuh, yaitu interferon (IFN) dan tumor necrosis factor alpha (TNF-), yang memiliki peran anti virus. Hasil uji coba menunjukkan bahwa bahwa virus rekombinan yang memiliki NS yang berasal dari virus pathogen, seperti H1N1 berhasil menghambat ekspresi gen yang diregulasi oleh interferon. Cara Penularan Virus AI dikeluarkan oleh unggas penderita lewat cairan hidung, mata dan feses. Unggas peka akan tertular bisa secara kontak langsung dengan ungga s penderita maupun secara tidak langsung melalui udara yang tercemar oleh droplet yang dikeluarkan hidung dan mata atau muntahan penderita. Tinja yang mongering dan hancur menjadi serbuk yang mencemari udara yang terhirup oleh manusia atau hewan lain,kemungkinan juga merupakan cara penularan yang efektif. Tinja, dan muntahan penderita yang mengandung virus seringkali mencemari pakan, air minum, kandang dan peralatan kandang akan menularkan penyakit dari unggas penderita ke unggas peka dalam satu flok kandang. Penularan virus dari peternakan satu ke peternakan lain bisa melalui perantara, antara lain : manusia, pakaian, sepatu, kendaraan dan burung liar. Tidak ada indikasi penularan AI secara vertikal, dari induk kepada keturunannya. Virus bisa terkandung dalam telur dari ayam induk pembibit yang terinfeksi, namun embrio akan mati sebelum menetas. Belum ada indikasi pula virus AI menular dari manusia ke manusia, tetapi tetap harus waspada, karena bisa terjadi perubahan sifat virus secara antigenic drift dalam tubuh babi sebagai mixing vessel, sehingga virus H5N1 bisa menginfeksi manusia maupun burung. Kasus manusia terinfeksi AI cukup kecil, hanya terbatas pada orang-orang yang bersinggungan langsung dengan unggas penderita. Kelompok rawan terinfeksi, antara lain : pekerja di peternakan ayam atau unggas domestik lain, Rumah Potong Ayam (RPA), pengangkut (sopir) distribusi ayam.Tidak ada bukti manusia tertular oleh virus AI karena makan daging atau telur ayam yang telah dimasak, karena virus mati pada pemanasan jauh di bawah suhu mendidih. Sehingga tidak perlu takut mengkonsumsi daging dan telur ayam perlu disosialisasikan secara besarbesaran oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, semua pihak terkait kepada masyarakat luas, karena sumber pangan protein hewani yang bisa mencerdaskan kehidupan bangsa dan terjangkau harganya oleh masyarakat adalah produk unggas. Masa Inkubasi Pada ayam, masa inkubasi virus, yaitu saat virus masuk ke tubuh sampai timbul gejala membutuhkan beberapa jam sampai dengan 3 hari dalam satu individu dan 14 hari dalam satu flok. Hal ini tergantung pada barbagai faktor , antara lain ; jumlah dan patogenitas virus yang menginfeksi, jenis spesies yang terinfeksi, kemampuan deteksi gejala klinis. Pada manusia, inkubasi virus membutuhkan 1- 3 hari, tergantung umur, kekebalan dan kondisi individu. Pada umumnya kasus terjadi pada anak-anak karena sistim kekebalan pada anak belum berkembang sempurna. Gejala Klinis Gejala klinis yang bisa dikenali pada unggas penderita AI, antara lain jengger dan kulit yang tidak berbulu berwarna biru (sianosis). Ilustrasi ditampilkan pada Gambar 7.4. Beberapa kasus mati mendadak, tanpa gejala klinis. Terjadi abnormalitas pada sistim pernapasan, pencernaan dan syaraf serta reproduksi. Pada gejala awal ditemukan adanya penurunan napsu makan, lemah, penurunan produksi telur, gangguan pernapasan berupa batuk, bersin, menjulurkan leher, hiperlakrimasi (leleran mata berlebih), bulu kusam. Terlihat pembengkakan (edema) pada muka dan kaki, terlihat kaki kemerahan, seperti bekas kerokan. Gejala diare sering juga ditemukan. Gejalagejala tersebut bisa muncul secara sendiri atau gabungan. 12

Gejala klinis pada manusia penderita AI, antara lain adalah penderita mengalami demam (38 derajat Celcius), sakit tenggorokan, batuk, beringus, infeksi mata, nyeri otot, sakit kepala, lemas dan dalam waktu singkat dapat menjadi lebih berat dengan terjadinya peradangan paru-paru (pneumonia) dan kematian. Perlu waspada jika kejadian influenza terjadi pada manusia yang kira-kira 7 hari terakhir telah kontak dengan unggas dan unggas tersebut sakit atau mati dengan gejala klinis mengarah pada penyakit flu burung. Perubahan Pasca Mati Gambaran pasca mati bervariasi, tergantung tingkat keparahan penyakit dan patogenitas virus. Pada infeksi ringan, terjadi lesi ringan berupa peradangan pada sinus, edema trakhea disertai eksudat cair sampai kental. Kantong udara menebal dengan eksudat berfibrin sampai perkejuan, peritonitis, enteritis dan eksudat pada oviduk. Pada infeksi virus yang sangat patogen, gejala klinis tidak jelas, karena ternak mati mendadak sebelum lesi berkembang. Pada kasus lain, bisa terjadi perubahan yangmencolok, antara lain : kongesti, hemoragi dan penimbunan cairan dalam rongga perut serta kerusakan (nekrosis) pada berbagai organ dalam. Pada Kasus-kasus infeksi virus H7N7, H5N3, H5N1, H5N9 dan H5N2 terlihat beberapa perubahan, seperti edema pada kepala, bengkak pada sinus, sianosis, kongesti, hemoragi pada pial, jengger dan kaki. Kongesti paru-paru dan hemoragi organ dalam yang lain. Ptekie pada lemak abdominal dan organ dalam yang lain. Hati pucat dan rapuh, lendir dalam sinus dan rongga mulut berlebihan, edema dan hemoragi pada otak. Diagnosis 1. Pada unggas Pada virus yang patogen biasanya gejala klinis akan tampak menonjol dan cukup untuk dasar peneguhan diagnosis. Uji serologis dengan Blood Rapid Test (uji darah cepat) terhadap virus AI, meskipun hasilnya tidak terlalu tepat dan deteksi antigen melalui HI, IF, atau IFA, deteksi antibodi dengan ELISA yang bisa dilakukan antara hari ke 7-10 post infeksi. Diagnosis banding penyakit AI antara lain adalah ND, infeksi paramyxovirus yang lain, coryza, mikoplasmosis (CRD), fowl cholera yang akut. 2. Pada Manusia Pada manusia, pemeriksaan laboratorium yang diperlukan antara lain adalah pemeriksaan darah, usap tenggorokan, kadar hemoglobin, jumlah leukosit total dan masing-masing jenis leukosit, trombosit, laju endap darah. Pemeriksaan radiologi, foto thoraks untuk mengetahui adanya pneumonia. Pemeriksaan secara lengkap bisa merujuk ke RSPI ( Rumah Sakit Penyakit Infeksi) di Jakarta. Kasus dinyatakan positif flu burung, apabila memenuhi beberapa kriteria, yaitu hasil biakan virus positif influenza A (H5N1) atau hasil dengan pemeriksaan PCR positif untuk influenza H5 atau adanya peningkatan titer antibodi spesifik H5 sebesar > 4 kali dan hasil deteksi dengan IFA positif untuk antigen H5. Pengobatan Pada burung, pengobatan tidak efektif. Upaya pemberian antibiotik dan multivitamin bisa dilakukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh ayam. Penggunaan interferon amantadin pada kasus influenza pada puyuh dan kalkun di Italia berhasil menurunkan angka kematian hingga 50 persen. Pada manusia pengobatan bisa dilakukan dengan dua kelompok obat anti virus, yaitu : (1) kelompok ion channel blocker, yang bersifat memblokir aktivitas ion channel dari virus influenza tipe A, sehingga aliran ion hidrogen diblokir dan virus gagal melakukan perkembangbiakan. Termasuk dalam kelompok ini adalah : amantadine dan rimantadine. (2) Neuraminidase inhibitor, yang menghambat virus masuk ke dalam sel dan teragregasi di permuakaan sel saja dan tidak bisa pindah ke sel lain. Pemberian amantadine adalah 48 jam pertama selama 3 5 hari, dengan dosis 5 mg/kg BB per hari dibagi dalam 2 dosis, Apabila berat badannya lebih dari 45 kg diberikan 100 mg 2 kali sehari. 13

Kontrol dan Pencegahan Diperlukan kontrol yang ketat dan tindakan pencegahan penyakit untuk menekan kejadian penyakit AI dan penularan AI ke manusia. Kontrol dan tindakan pencegahan yang penting dilakukan secara rinci dijelaskan di bawah ini. Sanitasi Menghindari kontak dengan ternak penderita dan bahan-bahan yang terkontaminasi tinja dan sekret unggas serta reservoir virus, dengan beberapa langkah, yaitu alat-alat yang digunakan dalam peternakan dibersihkan, dicuci dengan deterjen dan didesinfeksi. Di lingkungan kandang peternakan, desinfektan yang bisa digunakan berupa campuran Kalium Permanganat (KMnO4), dengan formalin. Hal ini dilakukan pada kandang yang tertutup rapat, dengan cara mencampur 7 gram KMnO4 dengan 14 ml formalin untuk tiap 1 meter kubik kandang. Pada saat desinfeksi, suhu ruangan harus tidak lebih dari 15 derajat Celcius, kelembaban relative 60 sampai dengan 80 persen. Bejana diisi lebih dahulu dengan KMnO4, ditambah larutan formalin, pintu dan ventilasi ditutup rapat selama 7 jam, sehingga desinfeksi akan sempurna. Setelah selesai, pintu dan ventilasi kembali dibuka agar udara segar masuk dan menghilangkan bau tak sedap. Kaporit 5% juga sering digunakan untuk menyemprot kandang dan kerangka sarang, tempat pakan dan kendaraaan. Untuk sterilisasi alat-alat dan meja kerja di pabrik pakan, RPH dan pengolahan daging sering digunakan sodium hipoklorida (NaOCl) yang dengan cepat membunuh virus dan tidak menimbulkan residu atau bau tidak sedap. Cairan soda kostik 94% yang dicampur air dan dipanaskan menjadi larutan 1% sampai 2% digunakan untuk mencuci hamakan lantai, dinding kandang, RPA, pabrik pengolahan pakan, kendaraan. Setelah 6 -12 jam obat disemprotkan, dibersihkan dengan air bersih. Kandang dan tinja tidak boleh dikeluarkan dari lokasi peternakan dsn setiap orang yang berhubungan dengan bahan yang berasal dari saluran pencernaan unggas harus menggunakan pelindung berupa masker dan kacamata renang. Mengkonsumsi daging dan telur yang dimasak sampai matang sempurna. Virus AI peka terhadap panas, pada suhu 70 derajat Celsius mati selama 2 sampai dengan 10 menit. Tidak perlu panik, daging unggas, telur dan produk olahan yang sudah matang serta dijual dipasar boleh dikonsumsi. Melaksanakan kebersihan lingkungan dan kebersihan diri dengan cara mandi setelah bekerja bagi kelompok rawan. Pembatasan import ayam dari negara-negara wabah, seperti Thailand, Hongkong dan Vietnam dan dilakukan pemusnahan unggas/burung yang terinfeksi. Meningkatkan pemantauan epidemik terhadap burung migran guna menemukan sumber asal wabah flu burung, seperti beberapa pulau : Pulau Rakit Utara, Gosong dan rakit Selatan atau Pulau Biawak yang menjadi tempat persinggahan burung dari Australia dan Eropa. Di pulaupulau tersebut jutaan ekor burung tinggal dalam waktu cukup lama, 2 2,5 bulan, kawin dan berproduksi, menetaskan telur. Vaksinasi Vaksin unggas yang dibuat harus cocok dengan virus yang akan mewabah, karena vaksin untuk infeksi sub tipe virus tertentu tidak efektif digunakan sebagai vaksin untuk infeksi sub tipe virus lain. Oleh karena virus influenza mudah berubah sifat, maka sangat penting upaya bisa memprediksi virus yang akan mewabah guna pembuatan vaksin. Hal ini tentunya diperlukan tenaga ahli di bidang epidemiologi dan juga peralatan laboratorium yang memadai. Unggas yang sehat yang berada sekitar 5 kilometer sekitar daerah wabah harus divaksinasi darurat. Pada manusia, orang yang beresiko mendapat flu burung harus mendapatkan pencegahan dengan oseltamivir 75 mg dosis tunggal selama 1 minggu. Meskipun vaksinasi yang digunakan tidak efektif terhadap virus H5N1, namun akan mengurangi resiko penyusunan ulang nateri genetik dari virus influenza manusia dan burung di tubuh manusia, dengan kata lain akan mencegah pembentukan tipe baru virus influenza yang lebih ganas. Kelompok individu yang dianjurkan vaksinasi menurut WHO adalah a) semua orang yang kontak dengan ternak 14

atau peternakan yang dicurigai atau diketahui terkena virus AI (H5N1), khususnya orang yang melakukan kontak dengan hewan/ternak yang terjangkit/mati akibat AI, orang-orang yang tinggal dan bekerja pada peternakan dimana dilaporkan atau dicurigai terkena AI atau di tempat pemusnahan ternak penderita. (b) para pekerja kesehatan yang setiap hari berhubungan dengan pasien yang diketahui atau dicurigai menderita H5N1 (c) jika jumlah vaksin memadai, maka para pekerja kesehatan dalam unit gawat darurat di area terjangkit H5N1 pada unggas bisa diberikan. Eliminasi Eliminasi penyakit dilakukan dengan upaya karantina, pemotongan dan pemusnahan, dekontaminasi, desinfeksi, yang tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Di Tiongkok, semua unggas dalam radius 3 kilometer di sekitar daerah wabah harus dimusnahkan guna memberantas flu burung yang berbahaya. Isolasi Tindakan isolasi dilakukan dengan mencegah penularan dari flok unggas yang terinfeksi ke flok lain, membatasi lalu lintas orang dan barang dari dan ke peternakan yang terinfeksi guna mencegah penularan penyakit ke peternakan dan wilayah lain. Biosekuriti Biosekuritas merupakan hal yang utama dalam kontrol dan pencegahan penyakit AI.

15

8. PENYAKIT SURRA (TRYPANOSOMIASIS) Penyakit surra (Trypanosomiasis) merupakan penyakit parasit yang disebabkan oleh protozoa Trypanosoma evansi. Parasit ini hidup dalam darah induk semang dan memperoleh glukosa sehingga dapat menurunkan kadar glukosa darah induk semangnya. Menurunnya kondisi tubuh akibat cekaman misalnya stress, kurang pakan, kelelahan, kedinginan dan sebagainya merupakan faktor yang memicu kejadian penyakit ini. Penularan terjadi secara mekanis dengan perantaraan lalat penghisap darah seperti Tabanidae, Stomoxys, Lyperosia, Charysops dan Hematobia serta jenis arthropoda yang lain seperti kutu dan pinjal. Gejala Klinis Gejala Klinis yang dapat diamati : 1. Gejala Umum meliputi demam, lesu, lemah, nafsu makan berkurang, lekas letih. 2. Anemia, kurus, bulu rontok, busung daerah dagu dan anggota gerak dan akhirnya akan mati. 3. Di daerah endemik ternak mungkin terkena infeksi tetapi tidak terlihat adanya gejala. 4. Keluar getah radang dari hidung dan mata. 5. Selaput lendir terlihat menguning. 6. Jalan sempoyongan, kejang dan berputar-putar (mubeng) disebabkan karena parasit berada dalam cairan Cerebrospinal sehingga terjadi gangguan saraf. Pencegahan: Pencegahan dapat dilakukan dengan Pembasmian serangga penghisap darah dengan tindakan penyemprotan kandang dan ternak dengan Asuntol atau insektisida lain yang aman bagi ternak. Pembersihan tempat yang basah dan rimbun. Pengeringan tanah dan penertiban pembuangan kotoran dan sampah sisa makanan ternak. Pemotongan hewan yang sakit di malam hari untuk menghindari lalat. Ternak yang sakit dapat dipotong dan dikonsumsi dibawah pengawasan dokter hewan. Pengangkutan ternak sakit ke Rumah Potong Hewan (RPH) hanya dapat dilakukan pada malam hari untuk menghindari penyebaran oleh lalat. Seluruh sisa pemotongan harus dibakar dan dikubur dalam-dalam setelah pemotongan, lokasi disuci hamakan dengan disinfektan. Kulit yang berasal dari hewan sakit harus disimpan dari tempat terlindung dari caplak, lalat atau nyamuk sekurang-kurangnya selama 24 jam atau disemprot dengan insektisida sebelum digunakan.

16

9. Penyakit IBR (Infectious Bovine Rinotracheitis) Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus yang dapat menyerang alat pernafasan bagian atas dan alat reproduksi ternak sapi. Biasanya penyakit ini menyerang ternak sapi yang ditandai dengan gejala demam tinggi 40,5 42 C, nafsu makan menurun dan dijumpai leleran hidung, hipersalivasi, produksi air susu menurun disertai dengan kekurusan (Kurniadhi, 2003). Infectious Bovine Rhinotracheitis disebabkan oleh Bovine herpesvirus-1 (BHV-1) dengan gangguan pernafasan, gejala syaraf dan gangguan reproduksi merupakan gejala klinis yang utama. Sindrom berupa demam, vulvovaginitis, repeat breeders, balanoposthitis, metritis terdapat pada gangguan reproduksi, bahkan dapat menjadi abortus dan kematian pada anak sapi. Penularan IBR terjadi karena kontak langsung, terutama pada kelompok ternak yang dikandangkan terlalu padat, sedangkan, penularan bentuk veneral terjadi pada waktu perkawinan atau inseminasi buatan (IB). Kontaminasi pada semen merupakan hal yang sangat potensial dalam pengembangan usaha peternakan, karena virus IBR dapat menyebar lewat kegiatan inseminasi buatan dan menyebabkan berbagai gangguan pada saluran reproduksi betina termasuk di dalamnya endometritis, infertilitas dan keguguran. Diagnosa Penyakit Diagnosis adanya penyakit IBR bukanlah merupakan problem, bila telah ada gejala yang jelas secara khas. Terutama didaerah dimana penyakit pernah terjadi dan berulang kali kejadiannya. Gejala klinis yang dikonfirmasi dengan uji serologis dan isolasi agen penyebab penyakit merupakan diagnosis yang pasti dalam menentukan terjadinya penyakit. Gejala klinis : Secara umum akan terjadi kenaikan temperatur hingga 40- 420C, nafsu makan yang menurun, berat badan menurun dan produksi susu juga menurun. Kadar leukosit dalam darah meningkat serta respirasi menjadi cepat disertai batuk dan sesak nafas. Kejadian diare terkadang tidak muncul. Diare terjadi pada gejala klinis yang sangat parah. Gangguan saluran pencernaan pada hewan muda merupakan penyebab dari kematian. Gejalanya sulit dibedakan dengan BVD (Bvine Viral Diarrhoea) dan sering merupakan infeksi campuran diantara keduanya. Secara lokal akan terjadi keratokonjungtifitis (pink eye), keluarnya cairan mata yang berlebih, rhinitis dan keluar ingus yang berlebih yang bersifat encer dan makin kental dengan berkembangnya penyakit. Keluarnya saliva tanpa adanya gangguan pada rongga mulut. Larynx terkadang normal, tetapi dapat juga terjadi laryngitis dan tracheitis. Paru-paru umumnya normal, demikian pula pleura. Tidak terlihat suatu predisposisi tertentu untuk terjadinya penyakit. Di daerah yang mempunyai 4 musim akan lebih sering terlihat pada musim gugur dan musim dingin. Morbiditasnya/tingkat penyebarannya rendah hanya kurang lebih 18%. Umur yang sering terserang mulai dari 6 bulan hingga dewasa. Mortalitasnya juga rendah, kurang lebih 3%. Kematian terjadi pada saat wabah dan biasanya terlihat adanya nekrose pada saluran pernafasan bagian depan dan pneumonia. Penularan biasanya melalui udara dan bekas muntah. Masa inkubasinya bervariasi dan biasanya 2-4 hari. Abortus dapat terjadi karena adanya kematian pada kandungan. Pada pemeriksaan pasca kematian akan terlihat rongga hidung terjadi rhinitis dan sinusitis. Demikian pula larynx dan Trakhea akan terlihat peradangan katarhalis hingga diphteritis. Pada penyakit yang mengarah kepada sistem reproduksi, penyakit akan ditandai dengan granular vulvovaginitis/radang vulva dan vagina mulai oedematous/penggembungan hingga hiperemik/kemerahan dan nekrose focal. Pada sapi secara umum kejadiannya selalu pada hewan yang catatan reproduksinya sangat jelek. Abortus dapat terjadi pada sapi dan kerbau biasanya pada umur 5 bulan kebuntingan. Pada hewan yang dilakukan 17

inseminasi buatan dari semen yang terkontaminasi BHV-1 biasanya non return rate nya sangat rendah dan mencapai 13,4%. Kadar progesteron pada hewan yang bunting menjadi rendah. Mastitis dapat juga terjadi pada hewan yang terinfeksi oleh BHV-1. PENCEGAHAN DAN PENGAWASAN PENYAKIT Diagnosa yang sensitif dan mudah pelaksanaannya merupakan kebutuhan untuk keberhasilan pengawasan penyakit IBR. Uji serum netralilasi dan isolasi virus biasanya digunakan untuk mengetahui adanya hewan yang terinfeksi dan hewan yang bersifat pembawa penyakit. Akan tetapi kedua uji tersebut sangatlah muluk dan membutuhkan persyaratan laboratorium yang tinggi dengan peralatan memadai dan petugas yang telah terampil. Deteksi virus pada hewan yang terinfeksi secara latent, harus diawali dengan pemberian kortikosteroid agar hewan menjadi stress. Sehingga kita dapat melakukan isolasi virus dengan baik. ELISA dan RIA merupakan cara uji yang praktis untuk digunakan pada sejumlah besar sampel. Walaupun spesifisitasnya lebih rendah, keuntungannya adalah sangat sensitif. Uji hipersensitifity mungkin sangat berguna untuk mendeteksi adanya infeksi latent dan sekali lagi hal ini masih bersifat percobaan. Keberhasilan pengawasan penyakit akan dapat dicapai melalui beberapa tahapan seperti berikut : 1. Hindarkan faktor resiko yang ada pada inseminasi buatan, pisahkan hewan yang positif dan yang negatif, hambat import hewan yang positif, embryo dan semen yang telah terkontaminasi virus BHV-1. 2. Pertahankan kelompok ternak yang bebas BHV-1, lakukan uji dua kali setahun, keluarkan hewan yang positif BHV-1 dan 3. Kelompok hewan yang positif dapat dilakukan vaksinasi terutama dengan vaksin mati guna mencegah infeksi laten. Hindarkan penggunaan vaksin hidup. Penggunaannya dapat dilakukan bila ada outbreak pada beberapa kelompok hewan serta pengawasan hewan yang telah divaksinasi harus lebih ketat. 4. Tidak mentolerir adanya pejantan yang serologi positif terhadap BHV-1 pada Balai Inseminasi Buatan. Hal ini merupakan jaminan terhadap produksi semen beku yang dihasilkan. Reputasi Balai Inseminasi Buatan sangat tergantung dari bebasnya pejantan dari penyakit menular. Program vaksinasi IBR ternyata harus memperhitungkan adanya antibodi bawaan dari kolostrum. Hal ini disebabkan oleh adanya program vaksinasi pada anak. Oleh sebab itu program vaksinasi pada anak wajib memperhitungkan adanya titer antibodi anak terhadap BHV-1. Sebaiknya dilakukan setelah titer antibodi anak terhadap BHV-1 menurun ataupun hilang. Dapat juga dilakukan program dengan metoda revaksinasi (vaksinasi ulang) pada anak. RevakSinasi dilakukan setelah dua minggu dari vaksinasi pertama. Hal ini akan banyak meningkatkan respons kekebalan pada anak tersebut dimasa mendatang. Secara drastis titer antibodi terhadap BHV-1 pada anak yang mendapat vaksinasi ulang.

18

10. PENYAKIT SALMONELLOSIS Salmonellosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, dapat terjadi pada ternak maupun manusia. Serotipe bakteri inipotensial bersifat patogen, juga merupakan kontaminan bagi produk ternakseperti daging, telur, dan susu (Woolcock, 1991). Salmonellosis yang merupakan penyakit zoonose ini juga disebut Food Borne Diseasess karena penularannya terjadi melalui makanan dan minuman (Tamadja, 1982). Salmonella sp. banyak ditemukan pada saluran pencernaan vertebrata maupun invertebrata, dan juga terdapat pada feses ternak. Bakteri ini juga terdapat pada tembolok broiler sehingga dapat mengkontaminasi karkas (Lee, 1992). Berdasarkan uji morfologi terhadap bentuk dan susunan sel bakteri secaramikroskopis serta penentuan Gram bakteri didapatkan bahwa seluruh isolatmerupakan Gram positif. Bakteri FA7 dan FS3 berbentuk batang (basil) mulai dari rantai pendek hingga rantai panjang, bakteri RA3 berbentuk bulat (kokus) berpasangan dua-dua atau diplokokus.

Penyebab Penyakit Ada 2 spesies yaitu Salmonella bongori dan Salmonella enterica Seluruh salmonella yang patogen terhadap manusia dianggap sebagai serovarian dalam subspecies I dan S. enterica. Banyak serotipe Salmonella patogen terhadap binatang maupun manusia. Prevalensi berbagai serotipe yang berbeda bervariasi di berbagai negara; do beberapa negara yang melakukan surveilans salmonella dengan balk, Salmonella enterica serovar Typhimurium (S. typhimurium) dan Salmonella enterica serovar Entiritidis (S. enteritidis) adalah yang paling banyak dilaporkan. Dan 2.000 jenis lebili serotipe, hanya 200 yang dideteksi di AS. Di banyak daerah, hanya sejumlah kecil serotipe saja yang dilaporkan sebagai penyebab kebanyakan kasus. Mekanisme Penularan 1) menelan organisme yang ada di dalam makanan yang berasal dari binatang yang terinfeksi atau makanan yang terkontaminasi oleh kotoran binatang atau kotoran orang yang terinfeksi. Sebagai contoh adalah telur dan produk telur yang tidak dimasak dengan bail( (misalnya suhu yang kurang tinggi) 2) binatang pebliaraan seperti kura-kura, iguana dan anak ayam atau obat-obatan berbahan dasar hewan yang tidak disterilkan 3) salmonellosis yang terjadi baru-baru ini telah dlketahui bersumber dari buah dan sayuran yang terkontaminasi pada saat disiapkan. 4) Penularan rite fekal-oral dari orang ke orang menjadi sangat pelting, terutama pada saat orang tersebut terkena diare; tinja dari anak dan orang dewasa yang menderita diare mempunyai risiko penularan yang lebih besar daripada penularan oleh carrier yang asimtomatik. Pencegahan dan Penanggulangan Pencegahan 1. Mencuci tangan sebelum, selama dan sesudah mengolah makanan. 2. Menyimpan makanan yang sudah diolah didalam wadah kecil. 3. Memasak dengan sempurna semua bahan makanan yang berasal dari binatang 4. Hindari rekontaminasi didalam dapur sesudah memasak. 5. Menjaga kebersthan di dapur dan melindungi makanan dan kontaminasi tikus dan insektisida. Penanggulangan Cari tempat dimana terjadinya kesalahan dalam pengolahan makanan, seperti penggunaan bahan makanan mentah yang terkontaminasi, makanan dimasak kurang sempurna, suhu yang kurang tinggi dan terjadinya kontaminasi silang. 19

11. INFECTIONS BURSAL DISEASE (IBD) Pendahuluan Infections Bursal Desease (IBD) adalah penyakit menular pada ayam yang menyerang ayam muda, baik broiler maupun layer. Organ yang menjadi target adalah bursa fabricius, yaitu organ sistem imun pada ayam muda. Sistem imun pada ayam muda jika terkena penyakit ini akan menyebabkan menurunnya sistem pertahanan tubuh, lebih peka terhadap pathogen, respon buruk terhadap vaksinasi dan kandang menyebabkan mortalitas. Kejadian penyakit IBD telah tersebar di seluruh dunia dan menyerang industri peternakan ayam. Para ahli menamakan penyakit ini sebagai IBD strain very virulent (vvIBD), dimana menyebabkan kematian 70% pada pullet. Lesi penyakit sangat tipikal dengan IBD klasik. Setelah itu penyakit IBD banyak diobservasi di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Di Indonesia sejak tahun 1991 penyakit IBD telah mewabah di berbagai daerah, terutama daerah yang mempunyai populasi ayam tinggi serta skala usaha besar. Kerugian besar pada industry yang disebabkan oleh penyakit IBD ini adalah adanya efek imunosupresif. Efek ini menyebabkan ayam lebih peka terhadap berbagai penyakit serta menurunnya kemampuan ayam dalam merespon vaksin. Selanjutnya adanya penyakit IBD ini dalam sebuah peternakan bisa menjadi infeksi berulang minimal selama 4 bulan. Sekali saja sebuah kandang terkontaminasi virus IBD maka penyakit IBD akan cenderung menyebar dan menjadi resisten pada area flok tersebut. Virus IBD termasuk pada genus Avibirnavirus dan famili Birnaviridae. Virus ini mempunyai 2 segmen genom, yaitu A dan B dengan ukuran 55 dan 65 nm. Virus tersusun atas 4 protein struktur dan komponen antigen dari kapsid virus. Asam amino VP2 yang berada pada posisi 206 sampai 353 sangat penting sebagai neutralizing antigenic site. Bagian ini dinamakan sebagai VP2-variable domain atau vVP2, dimana sebagai besar asam amino akan berbeda dimana virus IBD yang berbeda antigenesitasnya.

20

Anda mungkin juga menyukai