Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH ZOONOSIS

“PENYAKIT ANTRHAX”

OLEH :

ALMAN PUTRA (020116A003)

SALMA MAULYDA (020116A025)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS NGUDI WALUYO

UNGARAN

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini
dengan baik dan lancar. Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah
Zoonosis Semester 7 Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Ngudi
Waluyo.

Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah


membantu dan mendukung dalam penyusunan makalah ini.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,


oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun guna memperbaiki
dimasa mendatang.

Sekian dari saya, semoga makalah ini berguna bagi penyusun khususnya dan
pembaca pada umumnya, terimakasih.

Ungaran, September 2019

Penyusun

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Definisi Umum Penyakit Antrhax


Anthraks adalah penyakit menular yang biasanya bersifat akut atau
perakut pada berbagai jenis ternak (pemamah biak, kuda, babi dan
sebagainya), yang disertai dengan demam tinggi dan disebabkan oleh
Bacillus anthracis. Biasanya ditandai dengan perubahan-perubahan jaringan
bersifat septisemia, timbulnya infiltrasi serohemoragi pada jaringan
subkutan dan subserosa, disertai dengan pembengkakan akut limpa.
Berbagai jenis hewan liar (rusa, kelinci, babi hutan dan sebagainya) dapat
pula terserang. Di Indonesia Anthraks menyebabkan banyak kematian pada
ternak, kehilangan tenaga kerja di sawah dan tenaga tarik, serta kehilangan
daging dan kulit karena ternak tidak boleh dipotong.
Anthrax adalah penyakit infeksi gawat yang disebabkan oleh bakteri
yang bernama bacillus anthracis. Antraks paling sering menyerang
herbivora-herbivora liar dan yang telah dijinakkan, namun juga dapat
menjangkiti manusia karena terekspos hewan-hewan yang telah dijangkiti,
jaringan hewan yang tertular, atau tehirup spora antraks. Pada umumnya,
penyakit anthrax yang berakibat fatal itu terjadi apabila orang menghirup
bakteri anthrax dalam kadar yang tinggi saat bakteri berubah menjadi spora.
Spora bakteri antrax ini bisa disebar-luaskan oleh angin karena ukurannya
yang sangat kecil.
Spora yang terhirup kemudian masuk ke paru-paru dan kembali
berkembang menjadi bakteri anthrax ganas yang mengakibatkan
pendarahan dan rusaknya paru-paru, sehingga korbannya akan meninggal
dalam waktu kira-kira satu minggu. Anthrax sebetulnya bukan penyakit
baru dan sudah diketahui sejak lama oleh para peternak sapi, kambing dan
biri-biri. Khususnya di mana ternak potong itu tidak di vaksinasi, seperti di
dunia berkembang. Para pekerja peternakan biasanya terkena penyakit
anthrax kulit karena bersentuhan dengan dari hewan-hewan yang sakit. Kata

3
para pakar 95 persen kasus anthrax yang diketahui adalah anthrax yang
menyerang kulit, dan mudah diobati. Selain penyakit anthrax yang
disebabkan oleh spora yang masuk ke tubuh manusia lewat saluran
pernapasan, anthrax juga bisa ditularkan lewat daging yang tercemar dan
tidak dimasak dengan sempurna.
Orang yang terhirup spora anthrax dalam jumlah cukup banyak,
orang itu akan sakit seperti orang yang terkena demam influenza. Otot-otot
sakit, kemudian demam, yang dilanjutkan dengan kesulitan bernapas dan
akhirnya orang yang bersangkutan akan mati. Karena itulah bakteri anthrax
dalam bentuk spora itu dianggap sebagai bencana potensial kalau digunakan
sebagai senjata pemusnah massal.

B. Gambaran Umum Penyakit Antrhax


Antraks adalah penyakit menular akut dan sangat mematikan yang
disebabkan bakteri Bacillus anthracis dalam bentuknya yang paling ganas.
Antraks bermakna "batubara" dalam bahasa Yunani, dan istilah ini
digunakan karena kulit para korban akan berubah hitam. Antraks paling
sering menyerang herbivora-herbivora liar dan yang telah dijinakkan.
Penyakit ini bersifat zoonosis yang berarti dapat ditularkan dari hewan ke
manusia, namun tidak dapat ditularkan antara sesama manusia. Manusia
dapat terinfeksi bila kontak dengan hewan yang terkena anthraks, dapat
melalui daging, tulang, kulit, maupun kotoran. Penularan penyakit antraks
pada manusia pada umumnya karena manusia mengonsumsi daging yang
berasal dari ternak yang mengidap penyakit tersebut. Meskipun hanya
mengonsumsi dalam jumlah kecil. Terlebih pada saat pertahanan tubuh
manusia menjadi rendah akibat: kelaparan, defisiensi vitamin A, keracunan
(alkohol), kepayahan, iklim yang jelek (sangat dingin/panas) dan cekaman
(stres). Disamping itu penularan pada manusia dapat melalui luka.Meskipun
begitu, hingga kini belum ada kasus manusia tertular melalui sentuhan atau
kontak dengan orang yang mengidap antraks.

4
Anthrax umumnya menyerang hewan herbivora seperti sapi,
kambing, kerbau dan domba, namun untuk kasus di Indonesia sendiri lebih
banyak menyerang sapi. Penularannya sendiri biasanya disebabkan karena
spora anthrax yang tertelan ketika ternak sedang digembalakan. Dalam
tubuh hewan terinfeksi itulah spora mengalami perbenihan dalam bentuk
vegetative dan selanjutnya akan memperbanyak diri sampai berakibat
kematian pada hewan tersebut, dan ketika menjelang mati atau saat sudah
menjadi bangkai, maka bentuk vegetative akan keluar dan menyebar di
lingkungan sekitar menunggu tertelan oleh korban berikutnya dan terulang
siklus yang sama. Sayangnya kejadian kasus anthrax masih saja berulang,
karena berbagai faktor seperti tradisi peternak kita yang masih mengumbar
ternaknya untuk mencari makan sendiri dan akhirnya memakan spora
anthrax yang ada dalam tanah, apalagi di musim kemarau dimana ternak
terpaksa merumput dekat sekali dengan tanah yang telah tercemar.
Kejadian anthrax bersifat universal dimana dapat terjadi di seluruh
wilayah dunia mulai dari negara yang beriklim dingin, subtropis dan tropis,
pada negara yang miskin, negara berkembang hingga negara maju
sekalipun. Kejadian anthrax pada manusia di Indonesia hampir selalu
berhubungan dengan wabah penyakit anthrax pada hewan. Tahun 2001-
2004, kasus antraks pada manusia dilaporkan terjadi setiap tahunnya.
Infeksi anthrax jarang terjadi namun hal yang sama tidak berlaku
kepada herbivora-herbivora seperti ternak, kambing dan unta. Anthrax
dapat ditemukan di seluruh dunia. Penyakit ini lebih umum terjadi di
negara-negara berkembang atau negara-negara tanpa program kesehatan
umum untuk penyakit-penyakit hewan. Beberapa daerah di dunia seperti
(Amerika Selatan dan Tengah, Eropa Selatan dan Timur, Asia, Afrika,
Karibia dan Timur Tengah) melaporkan kejadian antraks yang lebih banyak
terhadap hewan-hewan dibandingkan manusia.

5
BAB II
KAJIAN LITERATUR

A. Definisi
Antraks adalah penyakit yang disebabkan Bacillus anthracis .
Penyakit ini dapat menyerang hewan domestik maupun liar, terutama hewan
herbivora, seperti sapi, domba, kambing, beberapa spesies unggas dan dapat
menyerang manusia (zoonosis) (OIE, 2000 ; ToDAR, 2002).
Antraks merupakan penyakit pada hewan terutama hewan berdarah
panas dan pemakan rumput (herbivora) seperti sapi, kerbau, kambing,
domba, dan kuda. Pada hewan liar, antraks dapat ditemukan pada babi
hutan, rusa, dan kelinci (Cieslak,2005).
Penyakit Antraks merupakan salah satu penyakit menular yang
dapat menimbulkan wabah, sesuai dengan undang-undang Nomor 4 Tahun
1984 tentang wabah penyakit menular dan Peraturan Menteri Kesehatan No.
1501 tahun 2010.
B. Penyebab / Etiologi
Klasifikasi Ilmiah
Kerajaan : Bacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Famili : Bacillaceae
Genus : Bacillus
Spesies : B. anthracis
Penyebab anthraks adalah Bacillus anthracis. Bacillus anthracis
berbentuk batang lurus, dengan ujung-ujung siku-siku. Dalam biakan
membentuk rantai panjang. Dalam jaringan tubuh tidak pernah terlihat
rantai panjang, biasanya tersusun secara tunggal atau dalam rantai pendek
dari 2-6 organisme. Dalam jaringan tubuh selalu berselubung (berkapsul),
kadang-kadang satu selubung melingkupi beberapa organisme. Selubung
tersebut tampak jelas batas-batasnya dan dengan pewarnaan biasa tidak

6
berwarna atau berwarna lebih pucat dari tubuhnya. Basil anthraks bersifat
aerob, membentuk spora yang letaknya sentral bila cukup oksigen. Oleh
karena tidak cukup terdapat oksigen, spora tidak pernah dijumpai dalam
tubuh penderita atau didalam bangkai yang tidak dibuka (diseksi), baik
dalam darah maupun dalam jeroan. Kuman bersifat Gram-positif, dan
mudah diwarnai dengan zat-zat warna biasa.
Pada media agar, kuman anthraks membentuk koloni yang suram,
tepinya tidak teratur, yang pada pembesaran lemah menyerupai jalinan
rambut bergelombang, yang sering kali disebut caput medusae. Pada media
cair mula-mula terjadi pertumbuhan di permukaan, yang kemudian turun ke
dasar tabung sebagai jonjot kapas, cairannya tetap jernih.
Spora tahan terhadap kekeringan untuk jangka waktu yang lama,
bahkan dalam tanah dengan kondisi tertentu dapat tahan sampai berpuluh-
puluh tahun. Lain halnya dengan bentuk vegatif B.anthracis mudah mati
oleh suhu pasteurisasi, desinfektan atau oleh proses pembusukan.
Pemusnahan spora B.anthracis dapat dicapai antara lain dengan : uap basah
bersuhu 90° selama 45 menit, air mendidih atau uap basah bersuhu 100°C
selama 10 menit, dan panas kering pada suhu 120°C selama satu jam.
Meskipun anthrak tersebar di seluruh dunia namun pada umumnya penyakit
terdapat terbatas pada beberapa wilayah saja. Biasanya penyakit timbul
secara enzootik pada saat tertentu saja sepanjang tahun.
Basil bentuk vegetatif bukan merupakan organisme yang kuat, tidak
tahan hidup untuk berkompetisi dengan organisme saprofit.Basil Antraks
tidak tahan terhadap oksigen, oleh karena itu apabila sudah dikeluarkan dari
badan ternak dan jatuh di tempat terbuka, kuman menjadi tidak aktif lagi,
kemudian melindungi diri dalam bentuk spora.
Apabila hewan mati karena Antraks dan suhu badannya antara 28 -
30 °C, basil antraks tidak akan didapatkan dalam waktu 3-4 hari, tetapi kalau
suhu antara 5 -10 °C pembusukan tidak terjadi, basil antraks masih ada
selama 3-4 minggu. Basil Antraks dapat keluar dari bangkai hewan dan suhu
luar di atas 20°C, kelembaban tinggi basil tersebut cepat berubah menjadi

7
spora dan akan hidup. Bila suhu rendah maka basil antraks akan membentuk
spora secara perlahan – lahan.
Bacillus antracis penyebab penyakit antraks mempunyai dua bentuk siklus
hidup, yaitu fase vegetatif dan fase spora
1. Fase Vegetatif
Berbentuk batang, berukuran panjang 1-8 mikrometer, lebar 1-1,5
mikrometer. Jika spora antraks memasuki tubuh inang (manusia atau
hewan memamah biak) atau keadaan lingkungan yang
memungkinkan spora segera berubah menjadi bentuk vegetatif,
kemudian memasuki fase berkembang biak. Sebelum inangnya
mati, sejumlah besar bentuk vegetatif bakteri antraks memenuhi
darah.Bentuk vegetatif biasa keluar dari dalam tubuh melalui
pendarahan di hidung, mulut, anus, atau pendarahan lainnya.Ketika
inangnya mati dan oksigen tidak tersedia lagi di darah bentuk
vegetatif itu memasuki fase tertidur (dorman/tidak aktif).Jika
kemudian dalam fase tertidur itu terjadi kontak dengan oksigen di
udara bebas, bakteri antraks membentuk spora (prosesnya disebut
sporulasi). Pada fase ini juga dikaitkan dengan penyebaran antraks
melalui serangga, yang akan membawa bakteri dari satu inang ke
inang lainnya sehingga terjadi penularan antraks kulit, akan tetapi
hal tersebut masih harus diteliti lebih lanjut.
2. Fase Spora
Berbentuk seperti bola golf, berukuran 1-1,5 mikrometer. Selama
fase ini bakteri dalam keadaan tidak aktif (dorman), menunggu
hingga dapat berubah kembali menjadi bentuk vegetatif dan
memasuki inangnya.Hal ini dapat terjadi karena daya tahan spora
antraks yang tinggi untuk melewati kondisi tak ramah--termasuk
panas, radiasi ultraviolet dan ionisasi, tekanan tinggi, dan sterilisasi
dengan senyawa kimia.Hal itu terjadi ketika spora menempel pada
kulit inang yang terluka, termakan, atau--karena ukurannya yang
sangat kecil--terhirup.Begitu spora antraks memasuki tubuh inang,
spora itu berubah ke bentuk vegetatif.

8
C. Diagnosis
Kelainan kulit berupa ulkus yang dangkal disertai krusta hitam yang
tidak nyeri patut dicurigai suatu antraks kulit. Ditemukannya basil Gram
positif pada pemeriksaan cairan vesikel merupakan temuan yang khas pada
antraks kulit tetapi diagnosis pasti baru dapat ditegakkan bila biakan kuman
positif. Karena mirip penyakit gastrointestinal lainnya maka antraks
gastrointestinal sering sulit didiagnosis. Adanya riwayat makan daging yang
dicurigai mengandung kuman antraks disertai dengan gejala nause,
anoreksia, muntah, demam, nyeri perut, hematemesis, dan diare (biasanya
disertai darah) sangat membantu penegakan diagnosis penyakit antraks.
Dari pewarnaan Gram yang dilakukan, bahan diambil dari darah dan atau
cairan asites, dapat ditemukan basil antraks. Untuk pemeriksaan biakan,
bahan diambil dari apusan faring (antraks faring), darah, dan cairan asites.
Diagnosis antraks inhalasi juga sulit ditegakkan. Seseorang yang
tiba-tiba mengalami gejala seperti flu yang mengalami perburukan secara
cepat dan disertai hasil pemeriksaan foto toraks menunjukkan pelebaran
mediastinum, infiltrat, dan atau efusi pleura, sangat patut dicurigai
menderita antraks inhalasi (apalagi bila pada penderita tersebut juga
ditemukan antraks kulit). Pada pewarnaan Gram bahan diambil dari darah,
cairan pleura, cairan serebrospinalis, dan lesi kulit, dapat ditemukan basil
antraks. Untuk pemeriksaan biakan bahan diambil dari darah, cairan pleura,
cairan serebrospinalis, dan lesi kulit.
Pada pemeriksaan langsung pewarnaan Gram dari lesi kulit, cairan
serospinal atau darah yang mengandung kuman antraks akan menunjukkan
basil besar, encapsulated, dan Gram positif. Pada kultur darah tampak
pertumbuhan pada agar darah domba berupa koloni nonhemolitik, besar,
nonmotil, Gram positif, berbentuk spora, dan tidak tumbuh pada agar Mac
Conkey. Nilai prediksi pemeriksaan kultur apusan hidung (swab nasal)
untuk menentukan antraks inhalasi belum diketahui dan belum pernah diuji.
Oleh karena itu CDC tidak menganjurkan pemeriksaan tersebut sebagai
pemeriksaan diagnostik klinis. Tes serologis berguna secara retrospektif dan
membutuhkan dua kali pengambilan yaitu pada fase akut dan penyembuhan.

9
Pemeriksaan dengan menggunakan cara ELISA untuk mendeteksi antibodi
terhadap antigen protektif dan antigen kapsul.
D. Gambaran Klinis
Gambaran klinis penyakit antrhax pada hewan terdiri dari :
1. Antraks bentuk akut
Pada sapi, kuda dan domba. Gejala-gejala penyakitnya mula-mula
demam, penderita gelisah, depresi, susah bernafas, detak jantung
frekuen dan lemah, kejang, dan kemudian penderita segara mati.
Selama sakit berlangsung, demamnya dapat mencapai 41,50C,
ruminasi berhenti, produksi susu berkurang, pada ternak yang
sedang bunting mungkin terjadi keguguran. Dari lubang-lubang
alami mungkin terjadi eksreta berdarah. Gejala anthraks poda kuda
dapat berupa demam, kedinginan, kolik yang berat, tidak ada nafsu
makan, depresi hebat, otot-otot lemah, diare berdarah, bengkak di
daerah leher, dada, perut bagian bawah, dan di bagian kelamin luar.
Kematian pada kuda biasanya terjadi sehari atau lebih lama bila
dibandingkan dengan anthraks pada ruminansia.
2. Antraks bentuk kronis
Biasanya terdapat pada babi, tetapi kadang-kadang terdapat juga
pada sapi, kuda dan anjing dengan lesi lokal yang terbatas pada lidah
dan tenggorokan. Pada satu kelompok babi yang mendapat infeksi,
beberapa babi diantaranya mungkin mati karena antraks akut tanpa
menunjukan gejala penyakit sebelum nya. Beberapa babi yang lain
menunjukan pembengkakan yang cepat pada tenggorokan, yang
pada beberapa kasus menyebabkan kematian karena lemas.
Kebanyakan babi dalam kelompok itu mati karena anthraks kronis
yang ringan, yang berangsur-angsur akan sembuh. Bila babi tersebut
disembelih, pada kelanjar limfa servikal dan tonsil terdapat infeksi
anthraks.
3. Pada kuda
Anthraks menyebabkan kolik, mungkin karena torsi intestinal atau
invaginasi, dengan tidak disertai akumulasi feses dan gas. Sering

10
juga disertai busung di daerah leher, dada, bahu, dan faring. Busung
tersebut berbeda dengan pembengkakan yang disebabkan oleh
purpura hemoragika, karena pembengkakannya cepat, ada rasa
nyeri, ada demam tinggi dan perbedaan lokalisasinya. Gejala gelisah
jarang terjadi tetapi selalu mengalami sesak nafas dan kebiruan.
Penyakit tersebut biasanya berakhir 8-36 jam, atau kadang-kadang
sampai 3-8 hari.
4. Pada sapi
Gejala-gejala permulaan kurang jelas kecuali demam tinggi sampai
420C. Biasanya sapi-sapi tersebut terus digembalakan atau
dikerjakan. Dalam keadaan seperti itu sapi dapat mendadak mati di
kandang, di padang gembalaan atau saat sedang dikerjakan.
Penyakit ini ditandai dengan gelisah waktu sedang mengunyah,
menanduk benba-benda keras di sekitarnya, kemudian dapat diikuti
dengan gejala-gejala penyakit umum seperti hewan menjadi lemah,
panas tubuh tidak merata, paha gemetar, rasa nyeri meliputi
pinggang, perut atau seluruh tubuh. Nafsu makan hilang sama sekali,
sekresi susu menurun atau terhenti, tidak ada ruminasi, dan perut
nampak agak kembung. Pada puncak penyakit darah keluar melalui
dubur, mulut, lubang hidung, dan urinnya bercampur darah. Pada
beberapa kasus terdapat bungkul-bungkul keras berisi cairan jernih
atau nanah, pada mukosa mulut terdapat bercak-bercak, lidah
bengkak dan kebiruan, serta nampak lidah keluar dari mulut.
Kadang-kadang terdapat anthraks pharyngeal primer.
5. Pada domba dan kambing
Biasanya bentuk perakut dengan perubahanperubahan apopleksi
serebral, hewan-hewan yang terserang tiba-tiba pusing, nampak
berputar-putar, gigi gemeretak dan mati hanya beberapa menit
setelah darah keluar dari lubang-lubang alami tubuh. Pada kasus
yang kurang cepat, penyakit tersebut hanya berlangsung beberapa
jam, dengan tanda-tanda seperti gelisah, berputar-putar, respirasi
berat dan cepat, jantung berdebar-berdebar, feses dan urinnya

11
berdarah, ludah keluar dari mulut dan terjadi konvulsi. Busung dan
enteritis jarang ditemukan.
6. Pada babi
Gejala penyakitnya berupa demam dan pharyngitis dengan
kebengkakan pada daerah subparotidea dan larynx yang
berlangsung dengan cepat (anthraks angina). Pembengkakan
tersebut dapat meluas dari leher sampai ke dahi muka dan dada,
menyebabkan kesulitan makan dan bernafas. Selaput lendir
kebiruan, pada kulit terdapat noda-noda merah, mencret, disfagia
muntah dan sesak nafas menyebabkan hewan mati lemas. Pada
kasus tanpa pembengkakan leher, gejala penyakitnya mungkin
hanya berupa lemah, tidak ada nafsu makan dan menyendiri. Pada
antraks lokal atau kronis hewan sering nampak normal.
7. Pada anjing dan pemakan daging (carnivora) lainnya
Gejala penyakitnya berupa gastroenteritis dan faryngitis, tetapi
kadang-kadang hanya demam. Setelah makan daging yang
mengandung kuman anthraks, bibir dan lidah menjadi bengkak, atau
timbul bungkul-bungkul pada rahang atas. Kadang-kadang dapat
terjadi infeksi umum melalui erosi pada mukosa kerongkongan.
Bakteri anthrax dapat menyerang manusia melalui tiga cara yaitu
melalui kulit yang lecet, abrasi atau luka, melalui pernafasan (inhalasi) dari
spora yang terhirup dan melalui makan dari bahan makanan yang tercemar
kuman antrhax misal daging yang terinfeksi yang dimasak kurang
sempurna.
Berdasarkan gambaran klinis antrhaxpada manusia ada 4 bentuk yaitu
anthrax kulit, antrhax saluran pencernaan, anthrax paru-paru, dan antrhax
meningitis
1. Anthrax kulit adalah yang paling sering terjadi (95 % antrhax adalah
tipe kulit), masa inkubasi 7 hari. Gejala yang ditimbulkan berupa
papel, disertai gatal-gatal, dan rasa sakit, 2-3 hari kemudian menjadi
vesikel yang berisi cairan kemerahan (vesikel hemoragik).
Kemudian terjadi nekrotik yang berbentuk ulcus dengan kerak

12
berwarna hitam di tengah dan kering yang disebut ecshar (tanda
patognomonik anthrax). Penderita anthrax kulit tidak perlu dirawat
hanya berobat jalan saja, kecuali ada infeksi lain.
2. Antrhax tipe saluran pencernaan bersifat akut, masa inkubasi 15
hari. Gejala awal demam, mual, muntah, tidak ada nafsu makan
diikuti rasa sakit perut yang hebat. Konstipasi diikuti diare akut
berdarah dan hematemesis. Shock dan meninggal biasanya kurang
dari 2 hari CFR bervariasi 5 – 75 %. Tipe ini umumnya terjadi karena
memakan daging hewan yang terinfeksi antrhax, tanpa dimasak
sempurna.
3. Antrhax paru-paru sangat jarang terjadi, biasanya akibat menghirup
udara yang mengandung spora anthrax. Masa inkubasi 1-5 hari,
gejala awal ringan, dan tidak spesifik. Dimmulai dengan lemah, lesu,
ssub febris, batuk non produktif (seperti tanda-tanda bronkitis).
Kemudian mendadak sianosis, stridor, dan gangguan respirasi berat.
Shock, meninggal biasanya dalam waktu 24 jam.
4. Anthrax meningitis sangat jarang terjadi, biasanya akibat dari
komplikasi anthrax pencernaan atau paru-paru. Prognosis jelek
meskipun telah diberikan pengobatan sedini mungkin. Gejala yang
ditimbulkan demam, nyeri kepala hebat, kejang, kaku, dan
penurunan kesadaran.
E. Patologi
Perubahan patologi anatomi terhadap hewan yang terkena anthrak
adalah keluar darah berwarna gelap (merah tua-hitam) dari lubang-lubang
kumlah seperti dubur, hidung, mulut, terjadi pembengkakan di daerah leher,
dada dan sisi lambung, pinggang dan alat kelamin luar. Selain itu jika hewan
yang menderita anthrak dilakukan nekropsi maka akan terlihat
peradangan/pembengkakan pada limpa. Hewan yang dicurigai anthrax
sebaiknya tidak dilakukan nekropsi.
F. Epidemiologi
Bacillus anthracis dapat ditemukan di seluruh dunia, kasus antraks
biasanya terjadi hanya di daerah geografis terbatas. Wabah yang paling

13
umum di daerah ditandai dengan tanah basa, tanah berkapur, lingkungan
yang hangat, dan kejadian banjir. Antraks sangat umum di bagian Afrika,
Asia dan Timur Tengah. Di Amerika Serikat, penyakit ini telah dilaporkan
dari sebagian besar negara, tetapi terjadi paling sering di Eropa tengah dan
Barat.
Di Indonesia, anthrax pertama kali diberitakan oleh Javasche
Courant terjadi pada kerbau di Teluk betung ( Sumatra ) tahun 1884.
Berikutnya Koran Kolonial Verslag memberitakan anthrax di Buleleng (
Bali ), Rawas (Palembang) dan lampung pada tahun 1885. Pada tahun 1886,
Koran yang sama memuat berita bahwa wabah penyakit anthrax di Banten,
Padang-darat, Kalimantan Barat dan Timur dan Pulau Rote (NTT).
1. Variabel Orang
a. Jenis kelamin
Berikut adalah distribusi antraks di jawa tengah pada tahun
2011 penderita antraks kebanyakan terjadi pada laki-laki.
Kelompok laki-laki dapat terkena kasus antraks terkait
dengan aktivitas pekerjaannya. Sementara pada kelompok
wanita kasus juga banyak terjadi akibat aktivitasnya dalam
mengolah daging sebagai ibu rumah tangga. Pada sebuah
Penelitian yang dilakukan oleh Wood eta/./ (2004) di
Kazakhtan menyebutkan 67% dari penderita antraks terjadi
pada laki-laki yang terkait dengan pekerjaannya yang lebih
banyak kontak dengan hewan. Menurut Hadisaputro (1990)
dalam hubungan jenis kelamin pada manusia tampak bahwa
penderita laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan
penderita perempuan.
b. Umur
Pada penelitian kasus antraks di Bogor tahun 2008.
Pesentase masyarakat yang terkena kasus penyakit antraks
tipe kulit dengan yang tidak terkena penyakit pada kelompok
masyarakat berusia lebih dari 36 tahun di Kabupaten Bogor
sama besarnya yaitu sebesar 47,1 %. Hal ini menunjukkan

14
antara kelompok usia muda ( <36 tahun) dengan kelompok
yang lebih tua (>36 tahun) memiliki risiko yang hampir sama
untuk terkena penyakit antraks tipe kulit. Kelompok umur
lebih muda ( <36 tahun) biasanya merupakan kelompok usia
produktif yang masih melakukan kegiatan pekerjaan untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari. Wilayah Kabupaten
Bogor yang letaknya berada di sekitar Kota Jakarta
menyebabkan kelompok usia muda lebih menyukai bekerja
di sektor industri seperti pabrik atau garmen. Sementara
pekerjaan berisiko terkena antraks seperti peternak atau
petani banyak dilakukan oleh kelompok umur yang lebih tua
(~36 tahun).
Berbeda dengan hasil ini, penelitian yang telah
dilakukan oleh Kaufmann dan Dannenberg (2002) dengan
melihat data kasus antraks di Haiti tahun 1973-1974
menunjukkan bahwa 36,9% dari kasus antraks bentuk kulit
(36,9%) terjadi pada penduduk yang berumur 15-44 tahun
karena banyak yang bekerja membuat kerajinan yang
berhubungan dengan sumber infeksi seperti kulit dan produk
lainnya yang diambil dari hewan yang terinfeksi antraks.
c. Ras
Tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian
antraks dengan ras tertentu. Kejadian antraks ini pernah
terjadi pada 17 propinsi Indonesia, antara lain Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Jambi, Riau, Sumatera Selatan,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Papua, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa
Barat, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa
Tenggara Barat (ADJID dan SANI, 2005).
Bahkan pernah terjadi di beberapa negara di Afrika
dan Asia, beberapa negara di Eropa, beberapa negara bagian
Amerika, dan beberapa negara di Australian (OIE, 2000).

15
Penyakit antraks tidak mempunyai hubungan yang
signifikan dengan ras, karena hampir semua ras di dunia
pernah terjadi kejadian antraks
d. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan erat kaitannya dengan pengetahuan
sikap dan perilaku. Menurut Soeharsono penyakit antraks
mempunyai potensi besar untuk menular dari hewan
kemanusia terutama pada daerah yang kurang subur dan
tingkat pendidikan masyarakat yang tergolong rendah.
Responden Tingkat pendidikan yang rendah merupakan
salah satu hambatan sosial dalam masyarakat, selain itu
masih terdapat praktek masyarakat yang bertentangan
dengan nilai-nilai kesehatan, seperti kebiasaan menjual
ternak yang sakit dan kebiasaan memotong dan
mengkonsumsi daging ternak yang mati. Pola pemeliharaan
ternak secara pengembalaan yang berlebihan berpeluang
untuk penularan antraks Penelitian ini bertejuan untuk
mengetahui faktor lingkungan sat pH, kandungan bahan
organik dan suhu pada tempat kejadian antraks serta
pengetahuan sikap dan perilaku masyarakat tentang antraks.
e. Jenis Pekerjaan
Pada kejadian antraks di bogor tahun 2008, penderita
antraks lebih besar terjadi pada masyarakat yang memiliki
pekerjaan sebagai petani peternak (39,2%) dibandingkan
dengan masyarakat yang memiliki pekerjaan sebagai bukan
petani/ peternak pada kelompok kontrol (17,6%). Hal ini
berarti orang yang bekerja sebagai petani peternak memiliki
risiko 3 kali lebih besar untuk terkena penyakit antraks
dibandingkan yang bekerja bukan sebagai petani peternak.
Kelompok yang bekerja sebagai petani atau peternak tentu
memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena penyakit
antraks. Pada kelompok yang bekerja sebagai petani, infeksi

16
antraks pada kulit dapat diperoleh dari kegiatan bertani yang
memang banyak berkontak dengan tanah atau mungkin
infeksi didapat dari kontak dari hewan rentan pada saat
membajak sawah. Pada kelompok yang bekerja sebagai
peternak infeksi dapat diperoleh akibat aktivitasnya yang
memiliki riwayat kontak yang erat dengan hewan rentan
antraks.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Irmak (2003) pada penderita antraks tipe kulit
di Anatolia Turki, yaitu bahwa 35,9% dari kasus yang diteliti
memiliki pekerjaan sebagai peternak dan 23% lainnya
memiliki pekerjaan sebagai petani. Kasus banyak terjadi
pada peternak karena para peternak ini memiliki riwayat
kontak yang cukup erat dengan ternak rentan yang mungkin
terinfeksi. Kasus pada petani juga cukup banyak terjadi yang
mungkin diakibatkan oleh aktivitas yang berkaitan erat
dengan tanah yang terkontaminasi atau penggunaan ternak
rentan dalam melaksanakan kegiatan pekerjaanya.
Penelitian oleh Arifin (1990) tentang KLB antraks di
Kabupaten Boyolali, Semarang dan Demak menyebutkan
penderita antraks pada pekerja PIR susu mencapai 56,25%
sedangkan yang pekerjaannya bertani mencapai 25%.
Temuan ini terkait karena para pekerja di PIR susu memiliki
peluang yang lebih besar untuk kontak dengan hewan yang
terinfeksi antraks dibandingkan dengan yang bekerja sebagai
petani. Sebaliknya, penelitian ter-hadap penyakit antraks di
Kabupaten Bogor tahun 2001-2003 menyebutkan pekerjaan
buruh dan ibu rumah tangga merupakan penderita terbesar
kasus antraks masing-masing 28,1% sedangkan yang
pekerjaannya petani mencapai 17,5%. Tingginya jumlah
kasus pada ibu rumah tangga diduga terjadi karena

17
peranannya dalam menangani dan memotong daging dari
hewan sakit akibat antraks (Mulyana,2004)
2. Variabel Tempat
Kejadian antraks di indonesia bersifat endemis. Daerah
endemis anthrax di Indonesia tercatat ada 11 propinsi yaitu: DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, NTB, NTT,
Sumatera Barat, Jambi, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan dan
Papua (DEPKES RI, 2004). Pada tahun 2002 di Indonesia kasus
anthrax terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Barat, Sumbawa NTB dan
Kabupaten Bima. Tahun 2001 sampai tahun 2002 terjadi
peningkatan CFR yang cukup tinggi yaitu dari 6,45% (tahun 2001)
menjadi 27,6% (tahun 2002). Tahun 2004 kasus anthrax berulang
kembali di Jawa Barat. Tahun 2001 sampai tahun 2002 terjadi
peningkatan CFR yang cukup tinggi yaitu dari 6,45% (tahun, 2001)
menjadi 27,6% (tahun 2002).
3. Variabel Waktu
Pada umumnya ledakan anthrax di Indonesia terjadi pada
peralihan musim yaitu dari musim kemarau ke penghujan, seperti
yang dilaporkan DINAS KESEHATAN KABUPATEN BOGOR
(2005) bahwa kejadian anthrax dari tahun 2001-2004 yang paling
tinggi kasusnya terjadi pada bulan-bulan Oktober, dimana pada
bulan tersebut merupakan awal bulan penghujan
G. Vaksin dan Pengobatan
Pencegahan dapat di lakukan dengan cara cucilah tangan sebelum
makan, hindari kontak dengan hewan atau manusia yang sudah terjangkit
anthrax, belilah daging dari rumah potong hewan yang resmi, masaklah
daging dengan sempurna, hindari menyentuh cairan dari luka anthrax,
melaporkan secepat mungkin bila ada masyarakat yang terjangkit anthrax.
Bagi peternak atau pemilik hewan ternak, upayakan untuk menvaksinka
hewan ternaknya. Dengan Pemberian SC ,untuk hewan besar 1 ml dan untuk
hewan kecil 0,5 ml.Vaksin ini memiliki daya pengebalannya tinggi
berlangsung selama satu tahun.

18
Vaksinasi merupakan salah satu cara yang dipergunakan untuk
pencegahan penyakit Anthrax. Vaksin pertama kali dibuat oleh PASTEUR
(1879). Pasteur menemukan bahwa inkubasi bakteri pada suhu 420C akan
menyebabkan penurunan sifat virulensi bakteri ini. Vaksin ini tidak
digunakan lagi setelah ditemukan vaksin spora (“spore live vaccine”) oleh
karena dapat disimpan lebih lama. Vaksin spora ini berasal dari varian yang
tidak berkapsel dan tidak virulen (LAY, 1988). Penambahan saponin dalam
vaksin akan menghambat penyebaran yang cepat dari spora ke dalam
jaringan sehingga akan dihasilkan efek adjuvan (vaksin carbozoo).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam vaksinasi Anthrax
antara lain :
1. Penyimpanan vaksin tidak boleh di frezzer tetapi di refrigeratornya.
2. Hewan-hewan yang sedang dalam pengobatan antibiotika tidak
diijinkan untuk divaksin Anthrax misalnya sapi perah dalam
pengobatan karena mastitis.
3. Hewan yang akan dipotong dalam waktu minimal 6 minggu
sebelumnya tidak boleh divaksin
Perlakuan terhadap hewan yang dinyatakan berpenyakit anthraks dilarang
keras untuk dipotong. Bagi daerah bebas anthraks, tindakan pencegahan di
dasarkan pada pengaturan yang ketat terhadap pemasukan hewan kedaerah
tersebut. Anthraks pada hewan ternak dapat dicegah dengan vaksinasi.
Vaksinasi dilakukan pada semua hewan ternak di daerah enzootik anthraks
setiap tahun sekali, disertai cara-cara pengawasan dan pengendalian yang
ketat.
Bacillus anthracis kerentanannya terhadap hampir semua antibiotika
sangatlah tinggi.Yang paling disukai adalah dengan clindamycin yang
mempunyai aktivitas terhadap Bacillus anthracis dan potensi anti-
eksotoksin.Pengalaman beberapa pasien menunjukkan respon yang lebih
bagus ketika clindamycin 600 mg (iv)/ 8 jam atau 300 mg (po)/8 jam plus
rifampicin 300 mg (po)/12 jam plus golongan quinolone (levofloksasin).
Peniciline masih merupakan antibiotika yang paling ampuh, dengan cara
pemberian tergantung tipe dan gejala klinisnya, yaitu :

19
1. Antraks Kulit
a. Procain Penicilline 2 x 1,2 juta IU, secara IM, selama 5-7
hari
b. Benzyl Penicilline 250.000 IU, secara IM, setiap 6 jam,
sebelumnya harus dilakukan skin test terlebih dahulu.
c. Apabila hipersensitif terhadap penicilline dapat diganti
dengan tetracycline, chloramphenicol atau erytromicine.
2. Antraks Saluran Pencernaan & Paru
a. Penicilline G 18-24 juta IU perhari IVFD, ditambahkan
dengan Streptomycine 1-2 g untuk tipe pulmonal dan
tetracycline 1 g perhari untuk tipe gastrointestinal.
b. Terapi suportif dan simptomatis perlu diberikan, biasanya
plasma expander dan regimen vasopresor. Antraks Intestinal
menggunakan Chloramphenicol 6 gram perhari selama 5
hari, kemudian meneruskan 4 gram perhari selama 18 hari,
diteruskan dengan eritromisin 4 gram perhariuntuk
menghindari supresi pada sumsum tulang.
H. Program Pencegahan
1. Vaksinasi
Anthrax disebabkan oleh bakteri Bacillus Anthracis, penyakit
anthrax umumnya menyerang hewan ruminansia seperti sapi, kerbau
kuda, kambing, dan domba, oleh karena itu hewan ternak tersebut
memerlukan vaksinasi. vaksinasi ditujukan untuk memncegah
terjangkitnya penyakit ini. Bahkan sangat dianjurkan agar vaksinasi
dilakukan sedini mungkin, sebab penyakit ini dapat mewabah.
Kegiatan itu bisa dilakukan saat ruminansia berusia 3 bulan dengan
antrhavet (vaksin anthrax) secara sub kutan atau penyuntikan
dibawah kulit. Untuk sapi atau kerbau dosis yang diberikan 1 cc per
ekor. sedangkan untuk kambing dan domba, diberikan suntikan
dengan dosis setengah dari jumlah tersebut. Selain dengan vaksin,
penyuntikan itupun bisa menggunakan serum anti anthrax sebanyak

20
100 cc per ekor. sebaiknya program vaksinasi itu diulangi setiap 6
bulan sekali, atau paling lambat setahun sekali.
2. Mematikan siklus spora
Ternak yang telah terserang anthrax sebaiknya diisolasi atau
dipisahkan dari ternak yang sehat. Cara terbaik dengan
memindahkan ternak yang sehat ke tempat lain. Bukan ternak yang
sakit. Ini untuk mencegah agar penyebrangan kuman atau spora
anthrax tidak meluas. Pengobatan ternak yang sakit dilakukan
dengan penyuntingan secara sub kutan, serum anti anthrax sebanyak
150 cc per ekor, bagi sapi dan kerbau dewasa. Sedangkan bagi sapi
dan kerbau muda (kecil), serta kambing dan domba, dosisnya cukup
setengah dari jumlah itu.
Di samping itu, bis juga digunakan antibiotik seperti penisilin
dengan dosis 20.000 IU per berat badan. Lama pengobatan biasanya
4 hari, tapi bisa juga diteruskan sampai ternak itu sembuh. Untuk
mencegah mewabahnya penyakit ini daerah pengobatan dan
vaksinasi diperluas dengan radius yang diterapkan 10 km. Pada
raidius inipun diberlakukan pelarangan jual beli dan lalu lintas
ternak ke daerah lain. Satu hal yang harus diperhatikan dan penting
untuk diikuti apabila ternak berpenyakit anthrax itu mati, bangkai
yang banyak mengandung kuman penyakit itu harus cepat ditangani
dengan mebakar dulu lalu menguburkannya sedalam 3 meter.
Sebelum dikubur, masih perlu disiram dengan desinfektan
(KMNO4) dan tanahnya ditaburi kapur. Melalui perlakuan ini, daur
hidup kuman anthrax akan putus. dan tidak sempat membentuk
spora. Di samping itu lakukan daerah-daerah yang terjangkit
anthrax, sehingga jalur lalu lintas ternak dapat diawasi.
3. Sanitasi kandang
Penyebaran anthrax dalam bentuk spora bisa terjadi di mana saja,
maka kebersihan kandang sebagai tempat tinggal ternak mutlak
diperlukan. Kandang dan berbagai peralatan yang digunakan harus
bersih. Bersih dari kotoran ternak, dari serangga yang ada di

21
kandang, dan bebas dari spora. Untuk itu, semuanya harus disemprot
dengan insektisida atau desinfektan secara teratur.
4. Pakan yang bergizi
Pengaruh pakan tidak terlihat secara langsung dalam mencegah
penyakit ini. Tetapi ternak yang lemah karena kekurangan pakan,
dan kualitas gizi yang rendah, akan lebih mudah terserang anthrax.
Karena pemberian pakan yang bergizi, teratur dengan jumlah yang
cukup, dapat meningkatkan daya tahan tubuh ternak.
I. Hasil Penelitian
Judul :
Gambaran Faktor-Faktor Yang Terkait Dengan Antraks Pada Manusia Di
Desa Karangmojo Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali Tahun 2011
Jurnal :
Jurnal Kesehatan Masyarakat, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman
454 – 465
Abstrak :
Antraks merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan Bacillus anthracis
yang dapat menyerang hewan dan manusia. Potensi ancaman penularan
antraks pada manusia didukung oleh faktor lingkungan, faktor perilaku
dan faktor pelayanan kesehatan. Boyolali merupakan salah satu wilayah
endemis antraks. Desa Karangmojo merupakan wilayah yang ditemukan
antraks pada manusia. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran
faktor- faktor yang mempengaruhi antraks pada manusia di desa
Karangmojo. Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif. Subyek
penelitian sebanyak 13 dari 16 penderita antraks dipilih dengan teknik
pusposive sample untuk dibagi dalam kelompok diskusi terarah dan
wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan Kecamatan Klego
merupakan jalur perdagangan ternak antar daerah yang menuju Pasar
Hewan Karanggede. Subyek penelitian tergolong usia dewasa dan usia
anak-anak. Semua subyek penelitian berpendidikan rendah dan sebagian
besar bekerja sebagai petani yang memelihara sapi. Faktor lingkungan
yang mempengaruhi antraks pada manusia adalah keadaan lingkungan

22
tempat tinggal yang berlantaikan tanah, kebiasaan subyek penelitian yang
menyembelih hewan di dalam kandang dan mencuci hasil penyembelihan
di sungai, karena ditemukan penularan yang disebabkan kontak dengan air
sungai dan diperkuat adanya luka pada kulit yang mempermudah penularan
antraks pada manusia. Faktor perilaku yang mempengaruhi antraks pada
manusia adalah kebiasaan kontak dengan ternak tanpa memakai alat
pelindung diri, kebiasaan menyembelih hewan sakit dan didukung tidak
melakukan PHBS secara benar. Perilaku konsumsi daging tidak
mempengaruhi antraks kulit karena diolah dengan pemanasan tinggi. Tidak
adanya penyuluhan antraks yang dapat mempengaruhi pemahaman
mengenai antraks dan tidak adanya vaksinasi antraks untuk ternak dapat
mempengaruhi penularan antraks.
Hasil Penelitian :
1. Kecamatan Klego merupakan jalur lalu lintas perdagangan ternak
antar daerah maupun antar Kabupaten. Hal tersebut dikarenakan
Kecamatan Klego dekat dengan pasar Karanggede yang merupakan
pasar hewan terbesar di Jawa Tengah.
2. Subyek penelitian penderita termasuk usia dewasa dan dua penderita
lainnya masih termasuk dalam usia anak-anak. Semua subyek
penelitian memiliki pendidikan rendah yaitu SD dan tidak tamat SD
dan sebagian besar merupakan petani yang memiliki ternak sapi.
3. Keadaan lingkungan tempat tinggal penderita mempunyai
keterkaitan dengan adanya antraks pada manusia antraks, karena
lantai yang masih tanah dan kandang ternak yang menjadi satu
dengan rumah. Selain itu diperkuat dengan kebiasaan warga
termasuk subyek penelitian melakukan aktivitas penyembelihan
hewan di dalam kandang , halaman dan pencuciannya dilakukan di
sungai.
4. Faktor perilaku yang tekait dengani antraks pada manusia adalah
adanya kebiasaan subyek penelitian menyembelih hewan yang
sedang dalam keadaan sakit. Hal tersebut didukung dengan
kebiasaan subyek penelitian yang belum menggunakan alat

23
pelindung diri (APD) saat melakukan kontak langsung dengan
hewan dan aktivitas penyembelihan hewan serta kurangnya
kesadaran untuk melakukan PHBS minimal dengan mencuci tangan
dengan sabun dan air bersih manjadikan faktor yang mempengaruhi
kejadian antraks manusia.
5. Keberadaan luka sebelum kontak dengan agent penyebab antraks
juga memicu penularan antraks pada manusia, yang telah ditunjukan
hasil dari wawancara mendalam yang diketahui bahwa kaki subyek
penelitian terluka karena duri rumput saat membajak sawah.
6. Perilaku mengkonsumsi daging atau produk hewan tidak ada
keterkaitan dengan antraks kulit, karena daging yang dikonsumsi
sudah dilakukan pengolahan dengan pemanasan tinggi, dengan
ditunjukkan tidak ditemukan indikasi adanya kasus antraks
pencernakan.
7. Faktor perilaku yang mempunyai ketrekaitan dengan antraks pada
manusia yang dilakukan dikarenakan pengambilan keputusan yang
kurang tepat oleh subyek penelitian, ditunjukkan pada saat
mengambil keputusan untuk menyembelih hewan yang sakit. Hal
tersebut dikarenakan kurangnya pemahaman subyek penelitian
mengenai antraks.
8. Tidak adanya sosialisasi dalam bentuk penyuluhan antraks kepada
warga yang mayoritas beternak sapi. Hal tersebut mempengaruhi
pemahaman subyek penelitian mengenai antraks dan kesadaran
untuk melakukan perilaku yang dapat mencegah dirinya dari
penularan antraks.
9. Program vaksinasi antraks untuk hewan ternak yang tidak merata
menyebabkan ternak yang dimiliki warga Desa Karangmojo tidak
mendapatkan vaksinasi.

24
BAB III

KESIMPULAN

1. Anthraks adalah penyakit menular yang biasanya bersifat akut atau perakut
pada berbagai jenis ternak (pemamah biak, kuda, babi dan sebagainya),
yang disertai dengan demam tinggi dan disebabkan oleh Bacillus anthracis.
2. Gejala klinis pada hewan dan manusia pada umumnya diawali dengan suhu
badan yang naik.
3. Vaksinasi merupakan salah satu cara yang dipergunakan untuk pencegahan
penyakit Anthrax. Antraks sering menyerang herbivora-herbivora liar dan
yang telah dijinakkan.
4. Penyakit ini bersifat zoonosis yang berarti dapat ditularkan dari hewan ke
manusia, namun tidak dapat ditularkan antara sesama manusia. Proses
masuknya spora anthrax dapat dengan empat cara yaitu : inhaled anthrax,
cutaneous anthrax, gastrointestinal anthrax dan meningitis anthrax.
5. Epidemiologi Deskriptif Antraks
a. Variabael distribusi kejadian : Bacillus anthracis dapat ditemukan
di seluruh dunia, kasus antraks biasanya terjadi hanya di daerah
geografis terbatas.
b. Variabel Orang
1.) Jenis kelamin : Penderita antraks kebanyakan terjadi pada
laki-laki
2.) Umur : antara kelompok usia muda ( <36 tahun) dengan
kelompok yang lebih tua (>36 tahun) memiliki risiko yang
hampir sama untuk terkena penyakit antraks tipe kulit.
3.) Ras : Tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian
antraks dengan ras tertentu.
4.) Tingkat pendidikan : Menurut Soeharsono penyakit antraks
mempunyai potensi besar untuk menular dari hewan
kemanusia terutama pada daerah yang kurang subur dan
tingkat pendidikan masyarakat yang tergolong rendah.

25
5.) Jenis Pekerjaan : penderita antraks lebih besar terjadi pada
masyarakat yang memiliki pekerjaan sebagai petani peternak
c. Variabel Tempat
Kejadian antraks di indonesia bersifat endemis.
d. Variabel Waktu
Pada umumnya ledakan anthrax di Indonesia terjadi pada peralihan
musim yaitu dari musim kemarau ke penghujan.
6. Program pencegahan yang dapat dilakukan yaitu vaksinasi, mematikan
siklus spora, sanitasi kandang, pakan yang bergizi.

26
DAFTAR PUSTAKA

Akoso, B. T. 2009. Epidemiologi & Pengendalian Anthrax. Kanisius. Yogyakarta.

Cieslak TJ. Ectzen E. Clinical and epidemiology principles of anthrax. Emerging


Infections Diseases,2005.

Jasmin, Brilliantina Aisyah .2012. “Makalah Epidemiologi Wabah Antraks” dalam


http://alloybluebird.blogspot.com/2012/05/makalah-epidemiologi-tentang-
wabah.html diakses pada 9 september 2019 pukul 13.00 WIB

OFFICE INTERNATIONAL DES EPIZOOTIES (OIE) . 2000 . Anthrax. In:


Manual of Standards Diagnostic and Vaccines, World Health Organization.
pp . 235 - 239.

Soeharsono. 2005. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Kanisius.


Yogyakarta.

Yuyun Kurniawati, dkk. Dinamika Penularan dan FaktorFaktor Yang Berhubungan


Dengan Kejadian Penyakit Anthrax Pada Manusia di Wilayah Kecamatan
Babakan Madang,Kabupaten Bogor, Jawa Barat Tahun 2004. Universitas
Sriwijaya Palembang, (Online), Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis,
2005.

27

Anda mungkin juga menyukai